Anda di halaman 1dari 3

1

MEMAKSIMALKAN KINERJA HUMAS PADA PERADILAN AGAMA


Oleh Drs. H. Ambo Asse, S.H., M.H.
Banjarmasin, 08 Oktober 2013

Peradilan Agama sebagai Lembaga Negara, yang kita telah peringati hari jadi yang ke 360 tahun,
terbilang umurnya sudah tua, perjalanan sejarah peradilan agama telah ada sejak orang Islan mendiami
bumi nusantara ini , namun pertumbuhanya selama 350 tahun (masa penjajahan Belanda dan Jepang)
hingga Negara Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, peradilan agama tumbuh bagaikan sebuah bunga
demokrasi yang dibonsai (harus hidup sebagai hiasan demokrasi tidak boleh mati, tetapi juga tidak boleh
tumbuh besar), upaya Belanda dengan tokoh sentralnya Snouck Hoorgronye, memisahkan masyarakat
Islam dari ajaran hukum agamanya (khusunya penegakan hukum Islam), lalu mengagungkan Hukum
Adat sebagai panduan, jika hukum agama tidak selaras dengan hukum adat maka ia tidak dapat
diterapkan dalam masyarakat sekalipun masyarakat itu beragama Islam, dengan demikian lembaga
peradilan agama semula dengan kewenagan yang luas (meliputi jinayat/pidana) kemudian dipersempit
(pedata agama yan sangat terbatas) dan tidak diberikan fasilitas yang mendukung pertumbuhannya, ia
dilekatkan sebagai bagian dari kantor departemen agama dalam dan bekerja dalam sebuah ruang/kamar
yang menangani laporan sengketa tentang Nikah Cerai Talak dan Rujuk NTCR) dimana putusan hakimnya
diucapkan secara lisan dengan dokomen dan arsip yang sangat sedrhana dan persidangan tanpa diatur
sebuah hukum acara tertentu dan hanya merujuk kepada kitab-kitab kuning yang berserakan yang
memuat praktek-peraktek peradilan para ulama terdahulu, akan tetapi putusan hakimnya cukup
diterima oleh masyarakat karena hakimnya adalah para ustadz dan kiyai, sebagian diantaranya diangkat
sebagai Pegawai Negeri Sipil dan sebagian besar diperbantukan sebagai hakim honor.

Perkembangan peradilan agama, setelah penjajah telah pergi, meskipun peradilan agama bertumbuh
lambat tapi pasti, karena bangsa Indonesia (mayoritas Islam) telah memegang kendali pemerintahan
sendiri, telah dilakukan reformasi semua bidang terutama pada bidang politik, ekonomi, social, budaya
dan dan diiringi dengan dengan reformasi hukum dengan gerakan supremasi hukum, semakin membuat
peradilan agama telah menempati posisi yang semakin baik dalam ketatanegaraan.

Pekembangan peradilan agama dari tahun ke tahun dalam masa dalam alam kemerdkaan ini, telah
mengalami perubahan besar dari segi landasar hukum keberadaannya sbagai lembaga resmi negara
tersebut dalam Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 dalam Pasal 18 yang menyatakan :

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi 1.

Selanjutnya dengan Sistim Satu Atap (one roof system) dengan diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999
tentang perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 yang disempurnakan dengan UU Nomor 4 Tahun 2004,
menjadikan semua lembaga peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung RI.2, kemudian perkantoran
peradilan agama ditingkatkan dari sejarah menderitaannya antara lain : Sewaktu peradilan masih dalam
naungan departemen agama sebagai induk oraganisasi dan finansialnya, belum ada anggaran tersendiri
untuk pembangunan kantornya, meskipun telah sangat dibutuhkan sebagai sebuah lembaga penegak
hukum, maka dengan kerifan Menteri Agama (Alamsyah Ratu Prawira Negara) ketika mendapat
anggaran pembangunan Kantor Urusan Agama Kecamatan yang dikenal sebagai Balai Nikah dalam tahun
1980an, maka salah satu diantara bangunan tersebut yang berada di walayah ibu kota kabupaten
diperuntukkan kepada pengadilan agama untuk bersidang dan kemudian diberi nama Balai Sidang
Pengadilan Agama sekaligus tempat berkantor, bentuknya sama besar dan tata ruangnya juga sama
dengan Balai Nikah, dengan demikian masyarakat Islam sendiri tidak dapat membedakan mana Kantor
Urusan Agama dan mana Kantor Pengadilan Agama ada perbedaan tata kerjanya. Hingga sekarang ini
dikalangan umat Islam sendiri baik yang terpelajar lebih-lebih yang awam belum banyak tahu
perkembangan peradilan agama dan tatakerjanya, serta kewenangan apa yang menjadi tugas pokoknya

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

2
Lembaga Penelitian, Penerbitan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Fakultas Syariah UIN Maliki Malang, 2010.
2

bahkan dikalangan para Pegawai Negeri Sipil sekalipun dan bahkan pula dikalangan ahli hukumpun
demikian, dan masih sering terjadi nada-nada miris seperti “mohon doanya ustadz” mungkin karena
lebih dikenal sebagai ustadz (perceramah/muballigh) dibanding sebagai Qadhi (hakim) dan terjadi pula
dimana-mana hakim pengadilan agama, bahkan wakil ketua, ketua diposisikan pada posisi yang tidak
selajaknya, lebih-lebih lagi kalau hakim itu mengambil sikap yang tidak layak dipandang, pakaian lusuh
tanpa seterika, pecinya tua, janggut dan kumis yang tidak rapi, pakai sandal jepit sambil berpakaian
dinas tampa cakra, untung saja sekarang dengan bangunan perkantoran yang mewah dari anggaran
Mahkamah Agung RI., mengangkat pandangan orang-orang itu terhadap pengadilan agama.

Kita bersyukur sekarang peradilan agama diluar negeri khususnya Australia, Sudan, Turki, Mesir, tahu
persis kelebihan-kelebihan yang dimiliki peradilan agama Indonesia sekarang, akan tetapi harus juga
disadari peradilan agama belum popular di dalam negeri, masih banyak instansi tidak memahami
peradilan agama sebagai sebuah lembaga Negara bergerak dibidang penegakan hukum yang setara
dengan lingkungan perdilan lainnya (Pengadilan Negeri, Peradilan Milirer dan Pengadilan Tata Usaha
Negara), masih ada instansi pemerintah merasa tidak layak berguru pada kemampuan penguasaan
teknologi informasi yang dimiliki Lembaga Peradilan Agama seperti SIADPA, SIADPA PLUS, PAPER LIST,
SIMPEG Pardilan Agama, mungkin merasa tidak layak karena peradilan agama tidak popular ini
memerlukan kerja keras bagi kita untuk memasyarakatkan peradilan agama dalam negeri,
keprotokoleran para hakim paradilan agama masih abu-abu apalagi kalau hakimnya memang selalu
berperinsip duduk dibelakang pada sebuah acara nda apa-apa, kenapa demikian sadang umur peradilan
agama telah 3 abad, ditengah-tengah umat Islam sendiri dan 20 tahun terakhir paradilan agama sebagai
peradilan yang mandiri sejak Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, masih kebanyakan aktifitas hakim
kita dibidang da’wah bahkan ada yang memilih meninggalkan siding atau menunda siding untuk
kepentingan cerramah, ceramah-ceramah kita tidakmenmgikutkan pokok bahasan mengenai
kewenangan peradilan agama sebagai imlementasi dari ibadah ghairu mahdhah, meskipun tidak salah
bercerita/berda’wah tentang, Tharah, Sholat, Zakat, Puasa dan haji (ibadah mahdhah) tetapi sebagai
hakim sebaiknya mendiskusikan/menceramhkan nilai-nilai ibadah mahdah tersebut dalam korelasinya
dengan tugas pokok sebagai hakim agama, kalau tidak apasih bedanya ceramah kita dengan ustdz yang
bukan hakim ?

Melihat semua aspek di atas, ketertinmggalan kita, kekurang fahaman masyarakat kita, keterasingan
kita, ditengah-tengah masyarakat Islam sendiri lebih-lebih lagi pada non Islam, hanya dapat diatasi
dengan memaksimalkan fungsi jabatan Hubungan Masyarakat (HUMAS) pada peradilan agama sebagai
ujung tombak pengelolaan informasi yang mengacu kepada Permen PAN Nomor 30 Tahun 2011 Tentang
Tata Kelola Kehumasan Instansi Pemerintah3, yang masih perlu banyak mendapat perhatian, agar
memaksimalkan pelaksanaan tugasnya, memberikan informasi tentang peradilan dan pengadilan agama
dengan konsentrasi dalam negeri, biar yang keluar negeri ditangani para petinggi Badilag, para HUMAS
pengadilan agama harus ada perhatian khusus hingga sekarang sampai dimana memberikan penjelasan
kepada masyarakat tentang peradilan agama, baik melalui ceramah, pemanfaatan informasi teknologi,
atau yang lebih penting lagi sejauh mana para HUMAS telah memperkenalkan peradilan agama kepada
instansi pemerintah (eksekutif) dan DPRD Tk I dan TK II (Legislatif), kecuali para legislator DPR khususnya
komisi III telah mapan mengenai peradilan agama, sehingga posisi pimpinan pengadilan agama dapat
memperoleh hak-hak konstutusionalnya seperti layaknya pimpinan pengadilan negeri, mendapat
tempat yang layak pada acara resmi dan terhormat dimasyarakat, jangan kita mengelu seperti sekarang
ini, ketika kita tidak mendapat penghargaan yang layak siapa yang disalahkan, pada hal ada adagium
“karena tak kenal maka tak sayang”, untuk itu para HUMAS agar aktif memperkenalkan pengadilan
agama kepada mereka, oleh karena itu sebaiknya yang diberi tugas HUMAS adalah mereka yang
mempunyai kemampuan indifidual (indifidual skiils), meliputi kemampuan berkomunikasi, mempunyai
pengetahuan yang generalistik, bakat journalist, pengetahuan yang mendalam terhadap keberadaan
dan perkembangan lembaganya sendiri (peradilan agama) dan juga memahami apa yang menjadi tugas-
tugas pokok lembaga lain, serta menjalin komunikas dengan Humas instasi lainnya, makanya diperlukan
tenaga muda yang agresif, bersemangat, cerdas untuk membawa missi tersebut (tidak berdasarkan
senioritas tetapi berdasarkan kemampuan meski masih yunior), dengan demikian paranan HUMAS yang

3
Pedoman umum tata kelola kehumasan instansi pemerintah, Menteri Pendayagunaan aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Tahun 2011.
3

maksimal dapat mempercepat popularitas pengadilan agama (dalam arti positif) sebagai lembaga
negara bukan lembaga swasta dengan tugas-tugas yang sering dilekatkan pada hakim agama sebagai
imam yang mengawinkan dan sebagai imam mesjid, tetapi lebih dari itu ada tugas negara yang besar
yaitu menegakkah hukum sebagai Qadhi (Hakim) mari kita maksimalkan kinerja HUMAS kita, minimal
dalam sebulan ada informasi baik melalui media cetak atau elektronik tentang peradilan agama, yang
merupakan konsumsi publik, sehingga nilai-nilai tradisionalnya dilupakan orang menjadi pemahaman
baru sebagai sebuah peradilan agama peradilan negara yang yang mendukung visi misi Mahkamah
Agung RI, terciptanya peradilan yang agung (AAS).

Anda mungkin juga menyukai