Anda di halaman 1dari 6

Nama : ANA KARNAINI

Npm : 19112769
Unit :1
Sems :2
Mk : Syariat Islam di Aceh
Dosen : FAISAL, MA

Jawaban :

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:

I. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum


yang bersifat istimewa yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang
Gubernur.
1. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.
2. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing.
3. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan
kewenangan masing-masing.
4. Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh yang
terdiri atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh.
5. Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu
proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang selanjutnya disingkat DPRA adalah
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
7. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota yang terdiri atas Bupati/Walikota dan perangkat
daerah Kabupaten/Kota.
8. Bupati/Walikota adalah kepala pemerintah daerahKabupaten/Kota yang
dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
9. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat
DPRK adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten/Kota
yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

2. Qanun yang telah diberlakukan Di Aceh

Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :

a. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang


Aqidah, Ibadah dan Syir’ar Islam.
b. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang larangan Khamar (minuman keras),
pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40
kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi
rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman
ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan
denda paling banyak Rp 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling
sedikit Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
c. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang larangan Maysir (perjudian).
d. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangan Khalwat (perbuatan
mesum).
e. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Zakat.

3. Isu syariat Islam dalam politik islam di Indonesia bukanlah persoalan yang baru
mencul. Masalah ini menguak dalam piagam Jakarta 22 Juni 1959, ketika itu
kelompok islam kalah secara politik dan sila pertama pada Pancasila yang
mencantumkan syaiat Islam dihapus dan digantikan dengan Ketuhanan Yang
Maha sa. Para wakil islam di Majelis Konstituante (1956-1959) yang terdiri
dari partai Mayumi yang dimotori oleh Muhammad Natsir dan partai NU
memperjuangkan agar rumusan Piagam Jakarta dimasukkan kembali ke dalam
UUD 1945. Usulan ini mendapat perlawanan dari kelompok nasionalis,
sehingga perdepatan sangat sengit tidak dapat dielakkan. Majelalis Konstituate
kemudian dibubarka oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit 5
Juni 1959. Akan tetapi banyak tokoh yang mengakui bahwa episode sejarah
tersebut cukup penting artinya bagi perjalanan bangsa Indonesia.

Di Aceh sendiri pelaksanaan syariat islam mempunyai banyak saekali


tantangan tersendiri. Bahka Wakil Presiden Yusuf Kalla pernah mengatakan
“walaupun Aceh dapat menerapkan syariat Islam seperti ditegaskan dalam
Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tetapi aturan
dan implementasinya tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional.”

4. Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar’iyah yang menyangkut seluruh


Wewenang Peradilan Agama UU Pemerintahan Aceh memberi kewenangan
untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai badan peradilan yang akan
melaksanakan syari’at Islam. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi
khusus dan keistimewaan di bidang kehidupan beragama (Syariat Islam)
Pemerintah Provinsi Aceh telah membentuk beberapa lembaga pendukung
seperti Dinas Syari’at Islam, Wilayatul Hisbah dan beberapa lembaga lain
terkait dengan pelaksanaan syari’at Islam. Pemerintah Aceh juga
mengesahkan beberapa Peraturan Daerah/Qanun terkait dengan pelaksanaan
wewenang Mahkamah Syar’iyah. Adapun hukum materil dalam bidang
mu’amalah (perdata pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi
kewenangan Mahkamah Syar’iyah, sampai saat ini belum disusun qanunnya.
Oleh karena itu kewenangan di bidang tersebut belum dapat dilaksanakan,
kecuali beberapa perkara perdata yang sejak dulu telah menjadi kewenangan
Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah, wasiat dan
sadaqah.Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan agama
(Mahkamah Syar’iyah di Aceh) tersebut dibagi dua yaitu:

a. Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara
yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan
mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur
pembagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara Pengadilan
Agama Banjarnegara dengan Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga
untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan
Agama Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama Purbalingga, didasarkan
kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa
Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van
rechtsmacht” . Atas dasar ini maka berlakulah asas.Namun demikian ada
penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu khusus perkara gugat cerai
bagi yang beragama Islam, maka gugatan dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat tinggal. Hal ini adalah
hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis derogat legi generalis”
artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.
b. Kewenangan mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang badan
peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk
menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa
ekonomi syari’ah menjadi kewenangan Pengadilan Negeri ataukah
Pengadilan Agama. Dalam bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut
“atribute van rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman.

5. a. Landasan Historis Dalam Penerapan Syari’at Di Aceh

Secara bahasa, landasan Historis terdiri atas dua suku kata


yaitu Landasan dan Historis. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia kata
Landasan berasal dari kata landas yang berakhiran an yang berarti alas,
dasar, paron, besi yang menempa, bukti (keterangan) untuk menguatkan
suatu keterangan. Sedangkan kata Historis diambil dari kata plural (jamak)
bahasa inggris History yang berarti segala hal yang berkenaan dengan
sejarah dan masa lalu. Jadi, dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
landasan historis adalah segala bukti sejarah yang bersifat mendukung dan
dapat dijadikan sebagai alasan dasar dari suatu permasalahan. Yang menjadi
permasalahan dari landasan historis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di
Aceh.

b. Landasan Yuridis Dalam Penerapan Syari’at Islam Di Aceh

Menurut bahasa, Yuridis dapat juga diartikan Rechtens yang berarti segala


hal yang berdasarkan hukum, menurut hukum. Jadi dapat disimpulkan
bahwa landasan yuridis adalah segala bukti yang yuridis atau berdasarkan
hukum yang bersifat mendukung dan dapat dijadikan sebagai alasan dasar
dari suatu permasalahan. Yang menjadi permasalahan dari landasan
Yuridis ini adalah pelaksaan Syari’at Islam di Aceh itu sendiri. UU No. 44
Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar yuridis kuat bagi
tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kaffah di Nanggroe Aceh
Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat
Aceh melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang
hukum keluarga dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah,
sadakah dan wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang
muámalah lainnya hampir sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu,
keberadaan undang-undang UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun
2001 merupakan moment penting dalam rangka menjadikan hukum Islam
sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya, keberadaan
hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai