Anda di halaman 1dari 24

ARIYAH (PINJAM MEMINJAM)

DI

N
OLEH

KELOMPOK 5
Nama : Ria Maulianda
Yatasya Sahira
M. Hafiz
Semester /Unit : 6/4
Prodi : HES
Dosen : Safwan , MA

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH


AL-HILAL SIGLI
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan Kehadirat Allah swt, yang telah

memberikan Taufiq dan Hidayah kepada penulis sehingga dapat Menyusun

Makalah ini.

Dalam Melakaukan Makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

sebanyak-banyaknya kepada Pembimbing atas bimbingan kepada penulis

sehingga tersusunnya Makalah ini semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak.

Penulis menyadari, dalam penulisan Makalah ini masih banyak terdapat

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang

sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan di masa akan

datang.

Sigli, Juni 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
A. Definisi Ariyah.............................................................................................3
B. Landasan Hukum Syara’..............................................................................4
C. Rukun Dan Syarat Ariyah............................................................................6
D. Ketetapan Hukum Akad Ariyah...................................................................8
E. Ihwal Ariyah, Tanggungan, dan Amanat...................................................13
BAB III PENUTUP.............................................................................................15
A. Kesimpulan................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta adalah komponen pokok dalam kehidupan manusia, yamng mana

harta merupakan unsur dharuri yang memang tidak bisa ditinggalkan dengan

begitu saja. Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan

sekunder ataupun primer dalam hidupnya. Dalam rantai untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidup, terjadilah suatu hubungan yang horizontal antar manusia yakni

Muamalah, karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna, dan saling

membutuhkan, karena menusia juga memiliki hasrat untuk mencukupi kebutuhan,

yang tidak ada habisnya, kecuali dengan tumbuhnya rasa syukur dan ikhlas yang

luar biasa kepada Tuhan, secara pasti hal ini pula perlu mengenalkan adanya

Tuhan yang memberi nikmat dan rizki kepada manusia sehingga dapat merasakan

kebahagiaan dalam dirinya.

Manusia merupakan makhluk social yang tidak dapat memenuhi

kebutuhannya sendiri, dengan dibutuhkannya orang lain untuk mencukupinya

maka dalam dunia bisnis Islam biasa dikenal dengan kegiatan Muamalah, salah

satunya yakni yang membahas tentang harta dalam konteksnya harta hadir sebagai

obyek transaksi , sehingga harta pun dapat dijadikan sebagai obyek transaksi jual

beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam (ariyah),dan sebagainya. Jika diihat pula

dalam katakteristik dasarnya harta juga dijadikan sebagai obyek kepemilikan,

kecuali terdapat factor yang menghalanginya.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Ariyah?

2. Apa Landasan Hukum Ariyah?

3. Apasaja Rukun dan Syarat Ariyah?

4. Bagaimana Hukum Ketetapan Ariyah?

5. Ihwal Ariyah, Tanggungan atau Amanat?

6. Apa Saja Yang Bisa Menggugurkan Ariyah?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Ariyah

2. Untuk Mengetahui Apa Landasan Hukum Ariyah

3. Untuk Mengetahui Apasaja Rukun dan Syarat Ariyah

4. Untuk Mengetahui Bagaimana Hukum Ketetapan Ariyah

5. Untuk Mengetahui Ihwal Ariyah, Tanggungan atau Amanat

6. Untuk Mengetahui Apa Saja Yang Bisa Menggugurkan Ariyah

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Ariyah

Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab ( ‫ ) اْلَع اِريَُة‬diambil

dari kata (‫ )عار‬yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah

berasal dari kata (‫ )التعاور‬yang artinya sama dengan (‫ )التناول اُو التناوب‬artinya saling

tukar menukar,yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah

dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang

halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya

agar zatnyatetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan dalam definisi

oleh para Ulama’ sebagai berikut :1

1. Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah

“pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”

2. Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah

“pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”

Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam

akibat hukum selanjutnya,pendapat pertama memberikan makna kepemilikan

kepada peminjam,sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap

orang lain atau pihak ketiga tanpa melalui pemilik benda,sedangkan pengertian

yang kedua menunjukkan arti kebolehan dalam mengambil manfaat saja,sehingga

peminjam dilarang meminjamkan terhadap orang lain.

1
Sri Soedewi Masychoen Sofwan, HukumPerdata : Hukum Kebendaan,(Yogyakarta:
Liberty,2004)

3
Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk

diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil

keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.

Dalam undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect)

adalah hak mutlak atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut memberikan

kekuasaan langsung pada pemiliknya

Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754

dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah

suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang

lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan

syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang

sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

B. Landasan Hukum Syara’

Dalam kegiatan Pinjam-meminjam atau ariyah dianjurkan atau boleh

(mandub). Dalam praktik Ariyah pun mendapatkan pengakuan dari syariah.2

Al Qur’an

Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup

tolongmenolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada

surat almaidah ayat kedua allah berfirman :

2
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia,2001)

4
‫ٰي ـَاُّيَها اَّل ِذ ْيَن ٰا َم ُن ْو ا اَل ُتِح ُّل ْو ا َش َع ٓاِئَر ِهّٰللا َو اَل الَّش ْهَر اْلَح ـَر ا َم َو اَل‬

‫اْلَه ْد َي َو اَل اْلَقاَل ِئ َد َو اَل ٰٓا ِّم ْيَن اْلَبْيَت اْلَح ـَر ا َم َيْبـَتُغ ْو َن َفْض اًل ِّم ْن َّرِّبِهْم‬

‫َو ِرْض َو ا ًناۗ  َو ِا َذ ا َح َلْلُتْم َفا ْص َطا ُد ْو اۗ  َو اَل َيْج ِرَم َّنُك ْم َشَنٰا ُن َقْو ٍم َاْن َص ُّد ْو ُك ْم‬

‫َع ِن اْلَم ْس ِج ِد اْلَح ـَر ا ِم َاْن َتْعَت ُد ْو اۘ  َو َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اْلِب ِّر َو ا لَّتْق ٰو ىۖ  َو اَل‬

‫َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اِاْل ْثِم َو ا ْلُع ْد َو ا ِن ۖ  َو ا َّتُقوا َهّٰللاۗ  ِاَّن َهّٰللا َش ِد ْيُد اْلِع َق‬
Yang artinya 3

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-

syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram,

jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan

kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang

mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya.

Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu.

Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-

halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada

mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."

Dalam surat an – nisa’ ayat 58 Allah SWT berfirman :

‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّد وا اَاْل ٰم ٰن ِت ِاٰل ى َاْهِلَهاۙ  َو ِا َذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّنا ِس َاْن‬
‫َتْح ُك ُم ْو ا ِبا ْلَع ْد ِل ۗ  ِاَّن َهّٰللا ِنِع َّم ا َيِع ُظُك ْم ِبٖه ۗ  ِاَّن َهّٰللا َك ا َن َسِم ْيًعا َبِص ْيًرا‬

3
Dalam QS almaidah ayat 2

5
Yang artinya :

"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat." 4

Bila Seseorang tidak mengembalikan waktu peminjamannya atau

menunda waktu pengembaliannya, berarti ia berbuat khianat. Serta berbuat

maksiat kepada pihak yang sudah menolongnya. Perbuatan seperti ini jelas bukan

merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain ia tidak berterima kasih kepada

orang yang menolongnya, pihak peminjam itu sudah menzalimi pihak yang sudah

membantunya. Ini berarti bahwa ia telah melanggar amanah dan melakukan suatu

yang dilarang agama.

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu

'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua

orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada

temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka."

Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.

‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا‬: ‫َع ْن َسُمَر َة ْبِن ُج ْنُد ٍب رضي هللا عنه َقاَل‬

,‫ َو اَأْلْر َبَع ُة‬, ‫عليه وسلم ( َع َلى َاْلَيِد َم ا َأَخ َذْت َح َّتى ُتَؤ ِّد َيُه ) َر َو اُه َأْح َم ُد‬

‫َو َص َّح َح ُه َاْلَح اِكُم‬

4
QS an nisa’ ayat 58

6
Hadits

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu

'alaihi wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu

amanat dan janganlah berkhianat kepada orang yang menghianatimu." Riwayat

Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih menurut

Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga

oleh segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman.

‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا صلى هللا‬: ‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة رضي هللا عنه َقاَل‬

‫ َو اَل َتُخ ْن َم ْن َخ اَنَك ) َر َو اُه َأُبو‬, ‫عليه وسلم ( َأِّد َاَأْلَم اَنَة ِإَلى َم ْن ِاْئَتَم َنَك‬

‫ َو اْسَتْنَك َر ُه َأُبو َح اِتٍم َالَّراِزُّي‬, ‫ َو َص َّح َح ُه َاْلَح اِكُم‬,‫ َو َالِّتْر ِمِذ ُّي َو َح َّسَنُه‬, ‫َد اُوَد‬

Hadits

Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah

Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang

kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai

Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan?

Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud,

dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

7
( ‫ َقاَل َرُس وُل َالَّلِه صلى اهلل عليه وسلم‬: ‫َو َعْن َيْع َلى ْبِن ُأَم َّيَة رضي اهلل عنه َقاَل‬

‫ َيا َرُس وَل َالَّلِه ! َأَعاِر َيٌة َم ْض ُم وَنٌة َأْو َعاِر َيٌة‬: ‫ ُقْلُت‬, ‫ِإَذا َأَتْتَك ُرُس ِلي َفَأْع ِط ِه ْم َثاَل ِثَني ِدْر عًا‬

‫ َو َص َّح َحُه ِاْبُن ِح َّباَن‬, ‫ َو الَّنَس اِئُّي‬,‫ َو َأُبو َداُو َد‬, ‫ َبْل َعاِر َيٌة ُمَؤ َّداٌة ) َرَو اُه َأَمْحُد‬: ‫ُمَؤ َّداٌة? َقاَل‬

Hadits

Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi

Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu

perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai Muhammad. beliau

menjawab: "Tidak, ia pinjaman yang ditanggung." Riwayat Abu Dawud, Ahmad,

dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.


5

Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah yang

mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat khianat.

Al-Hadits

Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara

lain :

‫ُ َقاَل َم اِم ن مسِلٍم ي ْقِر ض مسِلًم اُ َقرًض ا َم َّر تِنَي ُ ِاَّل َك اَن‬: ُ‫َعنُ ايِب َم سعوٍدُ اَن ُ النيِّب ُ صل‬
‫َك َص دَقَتِه اَم َّر ُة‬
Artinya :

5
H. Hendi Suhendi ( 2008 ) , fiqih muamalah halaman 93 – 98

8
” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada

seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya

seperti shodaqoh.”

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

‫اَل اِر ة م دَّاٌة الَّز ِعي َغاِر الدَّين قِض‬


‫َم ٌي‬ ‫َع َي َؤ َو ُم ٌم َو‬
Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus

membayar dan hutang itu wajib dibayar.”

Dalam hadist Rasulullah:

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam

beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan

bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”,

jawab Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu

hilang sebagian , maka Rasulullah mengemukakan akan digantinya, Sofwan

berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam Islam”. (HR. Ahmad

dan An Nasai)

C. Rukun Dan Syarat Ariyah

1. Rukun Ariyah

Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari

yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.

9
Menurut Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shigot akad, yakni

ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu

transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.6

Secara umum, jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada

empat, yaitu : mu’ir (peminjam), musta’ir(yang meminjamkan), mu’ar(yang

dipinjamkan), sighot, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk

mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

2. Syarat ariyah

Ulama Fuqoha mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:

a. Mu’ir berakal sehat

Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak

dapat meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan

sudah baligh, sedangkan ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang

berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan

sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh

dan juga bangkrut.7

b. Pemegang barang oleh peminjam

Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah

memegang barang adalah peminjam, digunakan sesuai manfaatnya,

tetapi tidak dimiliki zatnya, hukumnya pun dalam syara’ seperti

halnya dalam hibah.

6
Sulaiman Rashd, Fiqh Islam,(Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)
7
H. Hendi Suhendi ( 2008 ) , fiqih muamalah halaman 94 - 95

10
c. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatlan tanpa merusak zatnya, jika

musta’ar tidak dapat dimanfaatkan akad tidak sah. Para Ulama telah

menetapkan ariyah diperbolehkan terhadap setiap barang yang dapat

diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjam

sebidang lahan tanah, pakaian, hewan ternak. Dalam musta’ar tidak

diperbolehkan meminjamkan barang yang satu kali guna atau mudah

habis zatnya, misalnya makanan. Diharamkan meminjam senjata dan

kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan Al Qur’an dan

yang berkaitan dengan Al Qur’an kepada orang kafir. Serta dilarang

pula untuk meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang

ihram.

d. Shighat

Menyangkut lafal, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam

meminjam tersebut. Namun demikan, sebagian ahli berpendapat

bahwa perjanjian pinjam meminjam tersebut sah walaupun tidak

dengan lafal. Tetapi untuk kekuatan dan kejelasan akad haruslah

menggunakan lafal yang jelas dalm pinjam meminjam.

D. Ketetapan Hukum Akad Ariyah

1. Dasar Hukum Ariyah

Dari suatu kebiasaan, ariyah dapat diartikan dalam dua macam:8

a. Secara Hakikat

8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta : Gaya Media Pratama,2000)

11
Pinjam-meminjam atau Ariyah adalah suatu kegiatan muamalah yang

mengambil manfaat dari suatu barang tanpa memiliki zatnya. Menurut ulama’

Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah bagi peminjam tanpa ada pengganti

apapun, atau peminjaman memiliki sesuatu yang semaksa dengan manfaat

menurut kebiasaan.

Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ariyah

adalah suatu kebolehan untuk mengambil manfaat dari benda. Dari penjelasan

kedua berbeda maksud dan tujuan dari keduanya. Utnuk pendapat yang pertama,

dalam ariyah boleh hukumnya memaksimalkan manfaat dari musta’ar (barang

yang dipinjam, dan juga dapat dipinjamkan kepada orang lain, akan tetapi untuk

pendapat yang kedua hanya dapat menggunakan manfaat dari musta’ar tanpa

dipinjamkan kepada orang lain.

Allah Berfirman

‫اَي أاُّي اها الِذ ي ان آماُنوا اَل ِتُّلوا اشعاائ ار اَّل َِّل اواَل الَّش ْه ار ااْْل اراما اواَل ااْْل ْد اي اواَل‬

‫ِم‬
‫اْل اق اَلئ اد اواَل آِِم اين اْلب ا ْي ات ااْْل ارام ا ي اْب تا غ و ان ف اْض اَل ْن ارِِِّبْم اورْض‬

‫اوااًن ۚ اوِإذاا احالْلُتْم فااْص طااُدواۚ اواَل اَْي رم اَّنُك ْم اش ناآُن ق اْو ٍم أاْن ص اُّدوُك ْم ع اِن اْل‬

‫امْس ِج ِد ااْْل اراِم أاْن ت اْع تاُدواۘ اوت اع اااونوا ع االى اْلِِِب اوالَّت ْق اوٰى ۖ اواَل ت‬

‫اعاااونوا عاالى اِْْلِْْث اواْلُعْد اواِن ۚ اواَّت ُقوا اَّلاَّل ۖ ِإَّن اَّلاَّل اشِد يُد اْلِع اقاِب‬

“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar

syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan

(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan

12
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang

mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah

menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali

kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu

dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan

tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan

tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu

kepada

Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Tafsir

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar

Allah) jamak sya`iiratun; artinya upacara-upacara agama-Nya. Melanggar yaitu

dengan berburu di waktu ihram (dan jangan pula melanggar bulan haram) dengan

melakukan peperangan padanya (dan jangan mengganggu binatang-binatang

hadya) yakni hewan yang dihadiahkan buat tanah suci (serta binatang-binatang

berkalung) jamak dari qilaadatun; artinya binatang yang diberi kalung dengan

kayu-kayuan yang terdapat di tanah suci sebagai tanda agar ia aman, maka

janganlah ada yang mengganggu baik hewan-hewan itu sendiri maupun para

pemiliknya (jangan pula) kamu halalkan atau kamu ganggu (orang-orang yang

berkunjung) atau menuju (Baitulharam) dengan memerangi mereka (sedangkan

mereka mencari karunia) artinya rezeki (dari Tuhan mereka) dengan berniaga (dan

keridaan) daripada-Nya di samping berkunjung ke Baitullah tidak seperti

pengertian mereka yang salah itu. Ayat ini dimansukh oleh ayat Bara`ah. (Dan

apabila kamu telah selesai) dari ihram (maka perintahlah berburu) perintah di sini

13
berarti ibahah atau memperbolehkan (dan sekali-kali janganlah kamu terdorong

oleh kebencian) dibaca syana-aanu atau syan-aanu berarti kebencian atau

kemarahan (kepada suatu kaum disebabkan mereka telah menghalangi kamu dari

Masjidilharam untuk berbuat aniaya) kepada mereka dengan pembunuhan dan

sebagainya. (Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan) dalam mengerjakan yang

dititahkan (dan ketakwaan) dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang (dan

janganlah kamu bertolong-tolongan) pada ta`aawanu dibuang salah satu di antara

dua ta pada asalnya (dalam berbuat dosa) atau maksiat (dan pelanggaran) artinya

melampaui batas-batas ajaran Allah. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah)

takutlah kamu kepada azab siksa-Nya dengan menaati-Nya (sesungguhnya Allah

amat berat siksa-Nya) bagi orang yang menentang-Nya.9

Dalam hadist Rasulullah:

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah

meminjam beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain.

Sofwan bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya

Muhammad?”, jawab Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”.

Kemudian baju itu hilang sebagian , maka Rasulullah mengemukakan akan

digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam

Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)

Yang arti penjelasan dari hadist ini adanya unsur kerelaan antara Mustair

dan Muir atas musta’ar, sehingga ada keridhaan jika barang yang di pinjam

mengalami suatu kecacatan.

9
https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-2

14
Dari golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki

hak kepemilikan sebagaimana dengan gadai barang. Menurut golongan kedua,

peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja, dan tidak bisa untuk memiliki

bendanya. Adapun menurut golongan pertama gadai adalah akad yang lazim atau

resmi akan tetapi ariyah adalah akad tabarru’ ( tolong menolong).

b. Secara Majazi

Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam antara benda-benda yang

takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain. Misalnya telur, uang, dan segala

sesuatu yang bisa dihitung. Dalam hal tersebut dalam pengembaliannnya harus

serupa dan senilai dengan benda yang dipinjam. Dengan demikian dapat disebut

dengan ariyah secara majazi , sebab tidak dapat dimanfaatkan tanpa merusak

zatnya.10

2. Hak Menggunakan Barang Pinjaman (Musta’ar)

Jumhur Ulama’ selain Hanafiyah berpendapat, bahwa musta’ar dapat

mengambil manfaat barang sesuai dengan izin dari pemberi pinjaman (muir).

Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh

musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah muir meminjamkan secara

terikat atau secara mutlak.

a. Ariyah Mutlak

Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan

persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk

10
https//ejournal.stebisigm.ac.id

15
peminjam saja atau dibolehkan untuk orang lain, atau tidak dijelaskan

penggunaannya.

b. Ariyah Muqayyad

Adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan

kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya.

Hukumnya, mustair harus sebisa mungkin untuk menjaga batasan

tersebut.batasan tersebut melingkupi,

1) batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam

2) pembatasan waktu dan tempat

3) pembatasan ukuran berat dan jenis

Contoh yaitu apabila si C meminjam motor untuk keperluan tertentu kepada si


D maka ketika motor sudah selesai dipinjam, maka hendaknya dikembalikan
dalam keadaan utuh.

E. Ihwal Ariyah, Tanggungan, dan Amanat

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman iu merupakam

amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak

menaggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti itu juga dalam sewa

menyewa atau barang titipan, kecuali kerusakan tersebut akibat disengaja atau

kelalaian. Hal ini karena tanggunagn tidak dibebankan kepada mereka yang bukan

pelaku. Selain itu peminjapun dikategorikan sebagai orang yangmenjaga milik

orang.11

11
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,(Bandung : Pustaka Setia, 2008)

16
Dalam kalangan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus

menanggung barang yang tidak ada adanya, yakni yang dapat disembunyikan,

seperti baju. Muir tidak perlu menanggung sesuatu yang tidak dapat

disembunyikan seperti hewan atau barang yang jelasdalam hal kerusakannya.

Sedangkan dari para kalangan Syafi’iyah, peminjam menaggung harga

barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai izin yang

diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Yhadist tersebut sesuai hadist

tentang sofwan yang telah dibahas sebelumnya. Adapun barang tersebut

digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggungnya ketika

terjadi kerusakan.

Sedangkan ulama hanabilahberpendapat bahwa peminjam menanggung

kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik sengaja maupun tidak.

Golongan ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis dari Shafwan bin

umayyah.

Ulama hanabilah pun mendasarkan pendapat dengan Hadist Rasulullah

SAW:

“Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang diambilnya

sehingga dipenuhi.” ( HR Ahmad )

Barang pinjaman adalah harta orang lain yang diambil manfaatnya. Ulama

hambaliyah menyatakan, jika barang-barang dipinjam adalah benda-benda wakaf,

seperti kitab-kitab ilmiah, dan suatu saat rusak, maka yang meminjamnya tidak

menanggung kerusakannya dikarenakan barang tersebut untuk maslahat.

17
Ariyah dapat dikatakan berubah dari Amanah ke tanggungan, yang

menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah ketanggungan

karena diantara keduannya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan

tersebut pada penitipan barang yaitu dengan sebab-sebab:

1. Menghilangkan barang

2. Tidak menjaganya ketika menggunakan barang

3. Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyaratan

4. Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya

Sedangkan untuk biaya pengembalian barang pinjaman itu ditanggung

oleh peminjam, sebab pengembaliannya barang merupakan kewajiban peminjam

yang telah mengambil manfaatnya.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Ariyah menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang

memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil

manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zat nyatetap bisa dikembalikan

kepadanya

Landasan hukum syara’

Dalam surat an – nisa’ ayat 58 Allah SWT berfirman :


‫ٰۤل‬
‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّد وا اَاْل ٰم ٰن ِت ِا ى َاْهِلَهاۙ  َوِا َذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّنا ِس َاْن َتْح ُك ُم ْو ا ِبا ْلَع ْد ِل ۗ  ِاَّن َهّٰللا ِنِع َّم ا َيِع ُظُك ْم ِبٖه ۗ  ِاَّن َهّٰللا َكا‬
‫َن َسِم ْيًۢع ا َبِص ْيًرا‬

Yang artinya :

18
"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang

berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia

hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang

memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha

Melihat."

DAFTAR PUSTAKA

Rashd.Sulaiman,(1994), Fiqh Islam,Bandung:Sinar Baru Algesindo

Rahman. Afzalur,(1996),Dok.Ekonomi Islam:Yogyakarta:Dhana Bakti

SoedewiMasychoenSofwan.Sri,(1924),HukumPerdata:Hukum

Kebendaan,Yogyakarta:Liberty Yogya

Haroen. Nasrun, (2000), Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama

Syafei.Rahmat,(2001),Fiqih Muamalah, Bandung:Pustaka Setia

Djuwaini. Dimyauddin (2008), Pengantar Fiqh Muamalah, bandung:

Pustaka setia

H. Hendi Suhendi ( 2008 ) , fiqih muamalah halaman 93 – 98

19
20

Anda mungkin juga menyukai