Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PINJAM MEMINJAM DAN HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Laporan Tugas

Mata Kuliah Fiqh

Dosen Pengampuh : Rudini, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Kelompok 11

Asma Al Husni (2214024)

Siti Fatimah (2214017)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH

IAIN SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan


kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup
untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpahkan kepada baginda tercinta kita Nabi besar Muhammad
Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang kita nanti-nantikan syafa'atnya di akhirat
nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas


limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran,
sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dengan
judul "Pinjam meminjam dan hutang piutang dalam islam".

Kami tentunya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta
masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Kami juga
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

2
DAFTAR ISI

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqh muamalat adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mana


mengatur hubungan atau interaksi antara manusia dengan manusia yang lain
dalam bidang kegiatan ekonomi. Dari pengertian ini dapatdipahami bahwa
muamalat mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Dalam arti
umum, muamalat mencakup semua jenis hubungan antara manusia dengan
manusia dalam segala hal.

Dari definisi yang dikemukakan dapat diketahui bahwa objek


pembahasan fiqh muamalat adalah hubungan manusia dengan manusia lain
yang berkaitan dengan benda atau mal. Hakikat dari hubungan tersebut
adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban antara satu dengan yang lain.

Oleh karena ini yang melatarbelakangi kami untuk menyusun makalah


ini dengan judul “Pinjam meminjam dan hutang piutang dalam islam”
yang akan kami bahas tentang pengertian, syarat-syarat, status barang
pinjaman, dan waktu jatuh tempo dalam hutang piutang.

B. Rumusan Masalah

a. jelaskan pengertian ‘Ariyah?


b. Apa dasar hukum ‘Ariyah?
c. Bagaimana hukum ‘Ariyah?
d. Apa rukun dan syarat ‘Ariyah?
e. Apa status barang pinjaman?
f. Apa pengertian Qardh (utang piutang)?
g. Apa dasar hukum Qardh (utang piutang)?
h. Apa rukun dan syarat Qardh (utang piutang)?
i. Apa Hukum Qardh (utang piutang)?

4
j. Bagaimana pengambilan manfaat Qardh (utang piutang)?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian ‘Ariyah


b. Untuk mengetahui dasar hukum ‘ariyah
c. Untuk mengetahui hukum ‘Ariyah
d. Untuk mengetahui rukun dan syarat ‘Ariyah
e. Untuk mengetahui status barang pinjaman
f. Untuk mengetahui pengertian Qardh (utang piutang)
g. Untuk mengetahui dasar hukum Qardh (utang piutang)
h. Untuk mengetahui Hukum Qardh (utang piutang)
i. Untuk mengetahui rukun dan syarat Qardh (utang piutang)
j. Untuk mengetahui pengambilan manfaat Qardh (utang piutang)

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. PINJAM MEMINJAM (‘ARIYAH)


A. Pengertian ‘Ariyah

Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti


datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata
‘At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-
Tanaasubu yang berarti saling bertukar dan mengganti dalam kontekas
tradisi pinjam meminjam.1

Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam


mendefinisikan ‘ariyah, antara lain :

1. Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah


kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap
zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.2
2. Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh
wahbah al-juhaili, ‘ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu
barang tanpa adanya imbalan. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-
Hanabalah ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat
suatu barang tanpa adanya imbalan.3
3. Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas
kemanfaatan suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana
‘ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk
dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan.4

Menurut Wahbah al-juhaili akad ini berbeda dengan hibah, karena


‘ariyah dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat suatu barang,
sedangkan hibah mengambil zat dan manfaat sekaligus. ‘Ariyah

1
Wahbah al-juhaili, al-Fiqh al-Islami Wa adilatuhu (Damaskus:Dar al-Fiqr al-
Mua’sshim,2005), Jilid V, cet. 8, hlm. 4035.
2
Abi Bakr Muhammad Taqiyyudin, Kifayat al-Akhyar, (Bandung:Al-Maarif,tt). Hlm. 291.
3
Wahbah al-Juhaili. Op. cit., hlm. 4036
4
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 11, hlm. 219.

6
berbeda pula dengan ijarah, sebab pada ijarah, barang yang
dimanfaatkan tersebut harus diganti dengan imbalan tertentu.

Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku
pada seluruh jenis tingkat masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat
tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat
diperkirakan bahwa jenis akad dan transaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak
manusia satu berhubungan dengan yang lainnya.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Adapun dasar hukum dibolehkannya ‘ariyah sebagaimana yang
terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
ۤ ( ‫اونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوان‬
)2 :5/‫المائدة‬ َ ‫اونُوْ ا] َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق ٰو ۖ]ى َواَل تَ َع‬
َ ‫َؤ تَ َع‬
ِ
Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan permusuhan. (Al-Maidah:2)

ۤ
)58 :4/‫النساء‬ ( ‫ت اِ ٰلٓى اَ ْهلِهَا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫اِ َّن َ يَْأ ُم ُر ُك ْ]م اَ ْن تَُؤ ُّدوا] ااْل َمٰ ٰن‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya (An-Nisa'/4:58)

)7 :107/‫َويَ ْمنَعُوْ نَ ْال َما ُعوْ نَ ࣖ ( الماعون‬


dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.(Al-Ma'un/107:7)
Ayat diatas menerangkan bahwa orang yang munafik memiliki
sifat enggan tolong-menolong terhadap orang lain dengan barang
berguna. Al-Qurtubi menjelaskan mengenai sebagian pendapat
ulama bahwa kalimat ‫ الما عون‬sebagaimana yang terdapat dalam ayat
di atas maknanya adalah ‘ariyah (pinjaman).

C. Hukum ‘Ariyah

Mengenai hukum pelaksanaan ‘ariyah (pinjam meminjam) di


dalam syariat Islam Jumhur ulama Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah dan

7
Hanabilah, mereke berpendapat bahwa hukum asal dari ‘ariyah adalah
sunnah (nadb).5

Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt yang berbunyi:

)77 :22/‫َوا ْف َعلُوا] ْال َخي َْر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ نَ ۚ۩ ( الحج‬

dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan


kemenangan.(Al-Hajj/22:77)

Hukum meminjamkan barang pula bisa menjadi wajib, jika


peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak
mendapatkan kerugian kemudharatan meminjamkannya jadi diharuskan
kepada pemilik barang untuk meminjamkan barangnya. Misalnya, pada
saat cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai
pakaian seadanya dan sangat kedinginan. Maka, jika ada orang yang
bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena
orang tersebut bisa saja meninggal akibat kedinginan seandainya tidak
dipinjami baju.

Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa pinjam-


meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal
yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja
dengan orang kafir.6

Terkadang hukumnya bisa menjadi haram, seperti meminjamkan


alat berburu kepada orang yang sedang memakai pakaian ihram dan
ibadah haji atau meminjamkan pisau untuk membunuh. Jadi hukum
‘ariyah dapat berubah sesuai keadaan yang mempengaruhi.7

D. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

5
Enang Hidayat, Transaksi Ekonomi Syariah, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2016),
hlm. 55
6
Muhammad Abdul Wahab, Fiqh Peminjaman, (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2018),
hlm. 7-8
7
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), Cet. 42, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2009), hlm. 323

8
Menurut ulama Hanafiyah rukun ‘ariyah terdiri dari ijab dan qabul.
Ijab qabul tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan
pemilikan barang kepada peminjam barang yang dipinjam, namun demikian
juga boleh ijab qabul tersebut disampaikan dengan ucapan.8

Adapun menurut jumhur ulama, dalam akad ‘ariyah harus terdapat


beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:

1. Dua orang berakad (mu’ir dan mustair). Mu’ir ialah orang yang
meminjam barang, sedangkan musta’ir adalah orang yang meminjam
barang. Meraka harus memenuhi syarat sebagai orang cakap
melakukan perbuatan hukum, untuk itu mereka harus sudah baligh
dan berakal sehat. Di samping terdapat syarat yang berlaku secara
umum, juga ada syarat yang bersifat khusus bagi mereka. Untuk
mu’ir disyaratkan, bahwa dia adalah pemilik benda yang
dipinjamkan, sedangkan bagi musta’ir syaratnya orangnya
(peminjam) harus jelas.

2. Mu’ar atau musta’ar, yaitu barang yang dipinjamkan. Dalam hal ini,
barang yang dipinjam harus mempunyai unsur manfaaat dan
dibolehkan oleh syara’. Selain itu, benda yang dipinjamkan harus
tidak mengalami kerusakan karena dipinjamkan. Dengan kata lain,
manfaat benda yang dipinjamkan itu tidak akan rusak benda yang
dipinjamkan.

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai kedudukan benda yang


dipinjamkan oleh muir kepada mustair. Ulama hanafiyah berpendapat
bahwa barang yang dipinjamkan itu merupakan benda amanah di tangan
peminjam. Mereka mendasarkan pada informasi hadits yang berbunyi :
“peminjam dan pemegang titipan tidak wajib mengganti, kecuali karena

8
Abd. Ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, juz 3, hlm. 239

9
khianat”. Karena itu, peminjam tidak wajib mengganti barang yang rusak
atau hilang yang disebabkan bukan karena kelalaian peminjam.

E. Status Barang Pinjaman

Para ulama berbeda pendapat mengenai hak pemanfaatan pihak


peminjam terhadap barang yang dipinjamkan muir kepadanya. Jumhur
ulama mengatakan, bahwa peminjam hanya boleh memanfaatkan benda
yang dipinjamnya sesuai dengan izin muir. Adapun ulama hanafiyah
membedakan ‘ariyah menjadi dua macam, yaitu ‘ariyah muthlaqah dan
‘ariyah muqayyadah. ‘Ariyah muthlaqah adalah seseorang yang meminjam
suatu barang dari orang lain tanpa menyebutkan secara spesifik siapa yang
boleh memanfaatkan barang tersebut dan bagaimana cara penggunaannya.

Adapun ‘ariyah muqayyadah ialah seseorang yang meminjam suatu


barang dari orang lain dengan menyebutkan tempat, waktu, maupun
peruntukannya secara spesifik. Dalam ‘ariyah muqayyadah ini, apabila
peminjam melmpaui batas yang telah ditetapkan dalam akad, maka dia
harus bertanggung jawab terhadap segala konsekwensi yang diakibatkan
oleh tindakan diluar akad tersebut.9

2. HUTANG PIUTANG (AL-QARDH)

A. Pengertian Qardh

Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha yang sinonimnya:
qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang
memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan
kepada orang yang memberikan utang (muqtaridh).

Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikana oleh beberapa ulama


fikih di antaranya sebagai berikut:

9
Ibid., h. 244-248. Lihat Fathur. Djamil, “Fiqh Mu’amalah”, h. 152.

10
a. Menurut Sayid Sabiq qadh adalah harta yang diberikan oleh pemberi
hutang (muqridh) kepada penerima hutang (muqtaridh) untuk
kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang
diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.10
b. Adapun Hanafiah mendefinisikan qardh adalah harta yang diberikan
kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau
dikembalikan. Atau dengan ungkapan lain, qardh adalah suatu
perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada
orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang
diterimanya.11
c. Hanabilah sebagaimana yang dikutip oleh Ali Fikri qardh adalah
memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan
kemudian mengembalikan gantinya.12

Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil


intisari bahwa qardh adalah suatu akad antara dua pihak, di mana pihak
pertama memberi uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan
dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan utuh
seperti yang ia terima dari pihak pertama. Baik Hanafiah ataupun
Hanabilah , keduannya memandang bahwa qardh diartikan sebagai harta
yang diberikan oleh muqridh kepada muqtaridh, yang suatu saat harus
dikembalikan.

Disamping itu, dari definisi yang telah disebutkan di atas dapat


dipahami bahwa qardh juga bisa diartikan sebagai akad atau transaksi antara
dua pihak. Jadi, dalam hal ini qardh diartikan dengan perbuatan
memberikan sesuatu kepada pihak lain yang nanti harus dikembalikan,
bukan suatu (mal/harta) yang diberikan itu.

10
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, Cet, III, 1981, hlm. 182.
11
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet.III,
1989, hlm. 720.
12
Ali Fikri, Al-Mua’malat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy,
Mesir, 1356 H, hlm. 346.

11
B. Dasar Hukum Qardh

Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan


Rasul. Dalam Al-Qur’an, qardh disebutkan dalam beberapa ayat, antara
lain:

1. Surah Al-Baqarah (2) ayat 245:

ۖ
‫طُ َواِلَ ْي ِه‬ ُۣ ‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ ٓ اَضْ َعافًا َكثِي َْرةً ۗ َوهّٰللا ُ يَ ْقبِضُ َويَب‬
] ‫ْص‬ ً ْ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَر‬
ٰ ‫ضا َح َسنًا فَي‬
)245 :2/‫تُرْ َجعُوْ نَ ( البقرة‬

Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah, Dia akan
melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali
lipat. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki dan Kepada-Nya-lah
kamu dikembalikan (Al-Baqarah/2:245)

2. Surah Al-Hadid (57) ayat 11:

)11 :57/‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ َولَهٗ ٓ اَجْ ٌر َك ِر ْي ٌم ( الحديد‬ ً ْ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَر‬
ٰ ‫ضا َح َسنًا فَي‬

Siapakah yang (mau) memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman


yang baik? Dia akan melipatgandakan (pahala) untuknya, dan baginya
(diberikan) ganjaran yang sangat mulia (surga). (Al-Hadid/57:11)

3. Surah At-taghabun (64) ayat 17:

١٧ ‫ُّض ِع ْفهُ لَ ُك ْم َويَ ْغفِرْ لَ ُك ۗ ْم َوهّٰللا ُ َش ُكوْ ٌر َحلِ ْي ۙ ٌم‬


ٰ ‫اِ ْن تُ ْق ِرضُوا] هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا ي‬

Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Dia
akan melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampunimu. Allah Maha
Mensyukuri lagi Maha Penyantun.

Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan


perbuatan qardh (memberikan hutang) kepada orang lain, dan imbalannya
adalah akan dilipatgandakan oleh Allah Swt.

12
C. Rukun dan Syarat Qardh

Seperti halnya jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para
fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sedangkan
menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah

1. ‘aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh,


2. Ma’qud ‘alaih, yaitu uang atau barang, dan
3. Shighat, yaitu ijab dan qabul.

1. ‘Aqid

Untuk ‘aqid, baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus


orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’.13
Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih di
bawah umur atau orang gila. Syafi’iyyah memberikan persyaratan untuk
muqridh, antar lain:

1. Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’;


2. Mukhtar (memiliki pilihan).

Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus mrmiliki ahliyah atau


kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak
mahjur ‘alaih.

2. Ma’qud ‘Alaih

Menurut jumhur yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah, dan


Hanabilah yang menjadi objek akad dalam al-qardh sama dengan objek
akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan
ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada
persamaannya di pasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan

13
Syamsuddin bin Qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, Juz2, Dar Al-Fikr. hlm. 479.

13
berang yang dihitung. Atau dalam kata lain, setiap barang yang boleh
dijadikan objek jual beli, boleh juga dijadikan objek akad qardh.

3. Shighat (ijab dan Qabul)

Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu,
akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti
akad jual beli dan hibah.

Shighat ijab bisa dengan menggunakan lafal qardh (utang atau


pinjam) dan salaf (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti
kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barang ini, dengan
ketentuan Anda harus mengembalikan kepada saya penggantinya”.
Penggunaan kata milik di sini bukan berarti diberikan cuma-cuma,
melainkan pemberian hutang yang harus dibayar.

14
BAB III

PENUTUPAN

KESIMPULAN

15
DAFTAR PUSTAKA

Wahbah al-juhaili, al-Fiqh al-Islami Wa adilatuhu (Damaskus:Dar


al-Fiqr al-Mua’sshim,2005),
Abi Bakr Muhammad Taqiyyudin, Kifayat al-Akhyar, (Bandung:Al-
Maarif,tt).
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2005),
Muhammad Abdul Wahab, Fiqh Peminjaman, (Jakarta: Rumah Fiqh
Publishing, 2018),
Qomarul Huda, Fiqh Muamalat, (Yogyakarta: Teras, 2011),
Abdul Rahman Ghazaly,dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana,
2010),

16

Anda mungkin juga menyukai