Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah tidak asing lagi kata istilah pinjam-meminjam dalam kehidupan sehari-hari
kita. Pada asalnya, manusia adalah makhluk social yang tidak bisa hidup tanpa
kemasyarakatan. Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.

Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa kita sadari pula
kita melakukan yang namanya ‘Aariyyah (pinjam-meminjam). Pinjam meminjam kita
lakukan baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian
pertikaian ataupun kerusuhan di masyarakat dikarenakan pinjam meminjam. Dan tidak
heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke meja hijau.
Hal ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap yang
dipinjamkan.

Berbicara mengenai pinjaman (‘Aariyyah), penulis berminat untuk


membahas tuntas mengenai ‘Aariyyah itu sendiri dari pengertian, hukum, syarat, rukun,
macam-macam, kewajiban dan lainnya mengenai pinjam meminjam (‘Aariyyah) agar
tidak ada kesalah pahaman mengenai pinjam meminjam ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian pinjam meminjam?
2. Bagaimanakah dasar hukum pelaksanaan pinjam meminjam?
3. Apa sajakah ruang lingkup pinjam meminjam?

C. Batasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan arti dalam makalah ini, maka dalam hal itu penulis
memberikan batasan istilah tentang pembahasan pinjam meminjam dalam ruang lingkup
pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah

D. Kegunaan Penulisan
1
1. Untuk mengetahui pengertian pinjam meminjam.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pelaksanaan pinjam meminjam.
3. Untuk mengetahui ruang lingkup pinjam meminjam.

E. Kajian Terdahulu

Dari hasil penelitian penulis menemukan beberapa penelitian yang lain yang

berkaitan dengan sewa menyewa dan upah mengupah.

Diantaranya:

1. Dyan Ayu, dalam judul makalahnya “Pinjam Meminjam”. Dalam makalah ini
penulis menjelaskan mengenai pengertian pinjam meminjam, dasar hukum
pinjam meminjam, rukun syarat pinjam meminjam, pelaksanaan pinjam
meminjam, macam-macam pinjam meminjam, dan hikmah pinjam meminjam

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-‘Ariyyah
Al-‘Ariyyah dengan huruf ya ditasydidkan dan ada yang ditahfifkan/tidak
ditasydid. Al-aariyyah lebih fasih dan lebih masyhur yang ditasydidkan1. Al-aariyyah
sendiri adalah nama untuk sesuatu yang dipinjamkan, atau akad untuk pinjam meminjam.
Kata Al-aariyyah terambil dari kata ‘aara yang artinya pergi dan datang. Ada juga
yang mengatakan bahwa ‘aariyyah terambil dari kata at-tadawur, yang artinya tadaawul
atau saling bergantian.
Al- ‘Aariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa
memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya 2.
Menurut para ulama madzhab Syafi’I dan Hambali ‘aariyyah merupakan pemberian izin
kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang dimiliki tanpa adanya
imbalan3. ‘Aariyyah merupakan sebuah kebaikan yang diperintahkan oleh Alloh
sebagaimana firmanNya:

ِ ‫َوأَ ْح‬
ِ ‫سنُوا ۛ إِنَّ هَّللا َ يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْح‬
‫سنِين‬

Artinya: “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”.

‘ariyah merupakan bolehnya menggunakan atau memanfaatkan suatu barang bukan


untuk memilikinya4. Berbeda lagi dengan hibbah (hadiah).

B. Hukum Al-‘Aariyyah
Hukum ‘aariyyah ialah Sunnah, berdasarkan dari firman Allah:
‫َو تَعا َونُوا َعلَى ا ْلبِ ِّر َو التَّ ْق َوى‬

1
. Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini, Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, darul fikr),
2009, hlm.263.

2
.Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus,Darul Fikr ) hal.355.

3
.Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini, Mughni muhtaj, jilid 2, (Damaskus, darul fikr),
2009, hlm.264.

4
. Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu Dzil Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo, Al-Maktabah Al-
Islamiyah) 2006, hlm.194

3
Artinya: “Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa.”

‫َوأَحْ ِسنُوا ۛ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِيْن‬

Artinya: “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.”

Maka tidak diragukan lagi, bahwasanya menutup kesulitan orang lain dan berbuat
baik kepadanya merupakan suatu kebaikan.
Bisa jadi al-‘aariyyah itu hukumnya ialah wajib, misalnya ada seseorang yang
sangat membutuhkan baju ketika musim dingin dan ketika itu kamu memiliki baju, maka
keadaan seperti inilah yang membuatmu wajib untuk meminjamkannya agar dia terhindar
dari dingin.

C. Rukun Al-‘Aariyyah

Rukun Al-‘Aariyyah ada 4:

1. Al-Mu’iir(orang yang memberi pinjaman)


2. Al-Musta’iir(orang yang meminjam)
3. Al-Musta’ar/ Al-Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
4. As-shighot.5
Dan menurut hanafiyah rukun ‘aariyyah ada satu yakni ijab dan qobul, dan ijab
dan qobul itu harus ada karena ‘aariyyah itu pindah kepemilikan, dan ‘aariyyah tidak sah
tanpa ijab dan qobul. Ijab dan qobulnya tidak disyaratkan harus dengan lafadz, mungkin
cukup menyerahkan barang pinjaman kepada si peminjam6.

D. Syarat-Syarat dalam ‘Ariyah


1. Syarat mu’iir

5
. Abdurrohman Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah) 2011, cet.4, hlm.240.

6
. Abdurrohman Al-Jazari, Al- Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah),
2011, cet.4, hlm. 239.

4
Syaratnya, dia haruslah orang yang memiliki kelayakan untuk bertransaksi
tabarru’ atau orang yang mempunyai kewenangan untuk menyumbang secara sukarela
tanpa paksaan. Sebab ‘aariyyah merupakan transaksi tabarru’. Dan juga disyaratkan
telah dewasa, berakal dan dilakukan tanpa paksaan. Begitu juga menurut Syafi’iyah,
Hanabilah, Malikiyah disyaratkan bagi yang memberi pinjaman bukan orang yang
diisolasi, entah karena kebodohannya atau bangkrut. Syarat dari al-mu’ir juga ialah
berakal (mumayyiz), maka tidak sah pinjam meminjam dilakukan oleh anak kecil dan
orang gila, menurut para ulama madzhab Hanafi tidak disyaratkan baligh pada akad ini.

2. Syarat musta’ir
Syaratnya, dia mampu menerima, ahlliatut tabarru’, baligh, berakal. Dan
peminjam harus dita’yiin (jelas orangnya).
3. Syarat musta’ar/ mu’aar
Setiap barang yang dimiliki, yang bisa dimanfaatkan, dan tetap utuh nilai benda
tersebut7. Dan dilarang meminjamkan sesuatu yang tidak boleh dimanfaatkan seperti ulat,
kumbang, dan sejenisnya. Karena di dalamnya tidak terkandung suatu manfaat. Dan yang
diperbolehkan yakni sesuatu yang boleh digunakan/diambil manfaatnya. Begitu pula jika
sesuatu itu bisa diambil manfaatnya tapi hukum asal sesuatu itu haram, maka pinjam
meminjam dalam hal ini juga tidak diperbolehkan.
Seperti meminjamkan anjing yang liar untuk menjaga keamanan, ini tidak diperbolehkan
karena seharusnya anjing tidak untuk dipelihara8.
Dan haram juga pinjam meminjam dalam masalah farj, sebagaimana firman Alloh:
‫َواَل تَ َعا َونُوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َوا ْل ُعد َْوا ِن‬

Artinya: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

Karena farj tidak halal kecuali untuk suami atau tuannya.

4. Syarat shighot

7
. Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi Kabir, jilid 7, (Beirut,
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994, hlm. 115.

8
.Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, jilid 4, (Kairo, Jannatul
Afkar) 2008, hlm. 291.

5
Lafadznya menunjukkan perizinan untuk menggunakan atau memanfaatkan suatu
barang.9

E. Konsekuensi Hukum Akad Pinjam Meminjam


Kata ‘aariyyah (pinjam meminjam) dalam kebiasaan orang-orang digunakan
untuk dua makna, yaitu makna hakiki dan makna majazi. Yang akan menjadi pembahasan
kita di sini adalah makna hakikinya, yaitu peminjaman terhadap benda-benda yang bisa
dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu.
Konsekuensi hukumnya, menurut para ulama madzhab Maliki dan jumhur
madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang dia pinjam tanpa
memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai manfaat
secara tradisi dan kebiasaan10.
Al-Kurkhi, para ulama madzhab Syafi’I dan para ulama madzhab Hanbali
mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam boleh
memanfaatkan benda yang ia pinjam.
Konsekuensi perbedaan kedua kelompok di atas dalam mendefinisikan akad
pinjam meminjam adalah bahwa menurut kelompok pertama, peminjam boleh
meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain, walaupun tidak ada izin dari
pemiliknya. Tetapi madzhab Maliki mengatakan jika pemilik barang melarang peminjam
meminjamkannya kepada orang lain, maka dia tidak boleh meminjamkannya.
Dan menurut madzhab yang kedua, peminjam tidak boleh meminjamkannya
kembali barang pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam meminjam saja, sehingga
peminjam tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan kebolehan kepada orang
lain11.
F. Hak-Hak Pemanfaatan Benda Pinjaman12

.Abu Bakar bin Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid 3, (Jakarta, Dar
9

Al-Kutub Al-Islamiyah) 2009, hlm. 235.

. dr.Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqhu Islam wa Adilatuhu , jild 5, (Damaskus, Darul


10

Fikr),2007, cet.10 hlm. 576.

.ibid, hlm.576.
11

12
.ibid, hlm 577.

6
Jumhur ulama, selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa peminjam boleh
memanfaatkan benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Menurut madzhab Hanafi
mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad ini berbeda
sesuai dengan bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.
1. Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang meminjam
sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk
orang lain. Dan tidak menjelaskan bagaimana penggunaannya.
Maka konsekuensi dari akad ini, peminjam menempati posisi pemilik barang,
sehingga semua yang dilakukan pemilik terhadap barang itu dalam rangka
mengambil manfaat darinya juga boleh dilakukan oleh peminjam.
2. Akad pinjam meminjam yang dibatasi
Adapun akad yang ini adalah dibatasi waktu dan penggunaannya secara
bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya peminjam harus memperhatikan
batasan itu semampunya.

G. Sifat Konsekuensi Hukum Akad Pinjam-Meminjam


Para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali mengatakan bahwa
kepemilikan peminjam tidaklah mengikat. Karena ia merupakan kepemilikan yang
diperoleh tanpa imbalan, sehingga tidak bisa mengikat sebagaimana kepemilikan karena
hibah. Dengan demikian pemilik barang pinjaman boleh mengambil kembali barangnya
kapan saja, sebagaimana peminjam boleh mengembalikan kapan saja dia mau, baik itu
pinjaman yang bersifat mutlak maupun terbatas oleh waktu. Hal ini selama pemiliknya
tidak mengizinkan kepada peminjam untuk menggunakannya untuk sesuatu yang
membuatnya rusak jika dikembalikan dalam kondisi itu, atau jika pinjaman itu bersifat
mengikat13.
Pinjaman yang bersifat mengikat seperti jika ada seseorang meminjam tempat
tinggal untuk ditempati seorang wanita dalam masa iddah. Dalam kasus ini, pemberi
pinjaman tidak boleh mengambil kembali tempat tinggalnya itu hingga habis masa iddah
perempuan tersebut.

. dr.Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqh Islam wa Adilatuhu, jiild 5, (Damaskus, darul fikr), 2007
13

cet.10, hlm.573.

7
H. Sifat hukum ‘ariyah/I’arah

Kita telah mengetahui bahwa I’arah atau yang biasa disebut ‘ariyah adalah
mengambil manfaat dengan meminjam sesuatu dari orang lain. Sedangkan untuk sighot
I’arah sendiri adalah lafadz apa saja yang menandakan izin pemanfaatan atau
peminjaman barang tersebut dari mu’ir (pemilik barang) seperti kalimat A’artuka atau
A’irni. I’arah biasanya dilakukan antara kerabat dengan tetangganya atau
selainnya.14Adapun status barang yang dipinjam, para ulama madzhab berbeda pendapat
dalam hal ini :

1. Syafi’iyyah dan hanafiyyah


Mereka berpendapat mu’ir berhak mengambil kembali barang miliknya yang ada
pada musta’ir kapanpun dia menghendakinya.15 Entah itu pinjaman bertempo ataupun
tidak. Mereka bersandar dengan hadits nabi tatkala beliau meminjam baju besi dari
shofwan.
Mereka juga beristidlal dengan ayat qur’aniyyah,
‫يا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ْوفُوا بِا ْل ُعقُو ِد‬
Mereka berargumen, pemberi pinjaman telah mengizinkan orang lain mengambil
manfaat dari miliknya selama waktu yang diketahui, sehingga ia mempunyai hak
menariknya dengan akad yang diperbolehkan.
Pun bagi peminjam, ia diperbolehkan mengembalikan kapanpun ia berkehendak
mengembalikannya. Entah pinjaman itu bersifat mutlaq ataupun terbatas. Ini juga
pendapat imam Abu Hanifah dan imam Ahmad.16
2. Imam Malik
Perkataan imam malik yang masyhur tentang status barang ariyah adalah Mu’ir
tidak berhak membatalkan ataupun menarik kembali sesuatu miliknya sebelum
dimanfaatkan oleh musta’ir. Meskipun ada tempo atau jangka waktu. Maka musta’ir

14
Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah. 2011 ) juz
15, hlm 304

15
Ibnu Rusydi Al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut : darul ma’rifah,
1982) juz 2 hal 313

16
Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-Ilmiyah. 2011 ) juz 15, hlm
318

8
masih berhak mengambil manfaat dari barang tersebut. Jika ada batasan waktu
peminjaman maka mu’ir harus menunggu sampai waktunya berakhir. 17 Jikalau tidak ada
batasan waktu peminjaman, maka pemilik harta boleh mengambil barangnya sesuai
waktu yang biasa disepakati oleh kebanyakan orang.18
3. Hanabilah
Musta’ir wajib mengembalikannya setelah urusannya selesai.
4. Jumhur
Kepemilikan bisa dinisbatkan kepada musta’ir jika barang tersebut tergolong
ghoiru lazim. Sebagaimana hibah. Pun bagi Mu’ir, ia boleh menarik barangnya kapanpun,
kecuali ariyah lazimah seperti meminjam tanah untuk mengubur mayat. Ariyah ini tidak
boleh ditarik kembali sampai bekas kuburnya menjadi debu. Juga meminjam tempat
untuk tempat tinggal dengan batasan. Maka pemilik tidak bisa menarik pinjaman
tersebut. Karena, jika tidak seperti itu, akan terjadi dzoror dikarenakan penarikan barang
diluar kesepakatan. Seperti, meminjam tanah untuk bertanam pada musim tertentu. Jika
pemilik menariknya sebelum panen, maka akan timbul dzoror karenanya.19
Ringkasnya dari permasalahan hak pengembalian pinjaman, pemilik harta boleh
mengambil barangnya kapanpun selama tidak merugikan pihak peminjam. Dan bagi
peminjam diharuskan baginya mengembalikan barang tersebut jika pemanfaatannya
selesai. Sebagaimana firman Allah dalam QS. AnNisa : 58)

I. Pengecualian ‘Ariyah
Tidak semua akad ‘ariyah diperbolehkan antara mu’ir dan musta’ir. Ada beberapa
kriteria yang dilarang utuk dilakukan, diantaranya :
Dilarang meminjamkan sesnjata kepada orang kafir untuk memerangi kaum
muslimin, atau meminjamkan alat berburu ketika ihram, atau meminjamkna budaknya
kepada oranglain. Dan lainnya.

J. Tanggungan atau amanah?


17
Ibid, 318

18
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fie Fiqh Islam, (Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2 hlm 184

19
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fie Fiqh Islam, (Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2 hlm 184

9
Dalam akad ‘ariyah, status kepeminjaman barang oleh musta’ir di perselisihkan
oleh para ulama, apakah ia tanggungan atau menjadi amanah bagi musta’ir. Adapun
perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah :
1. Hanafiyyah
Bahwasanya ‘ariyah adalah amanah di tangan musta’ir. Entah barang tersebut
digunakan atau tidak, sehingga tidak ada tanggungan baginya kecuali jika ada
pelanggaran dan kelalaian oleh musta’ir.20 Sebagamana sabda Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassalam,
‫ ضمان‬،‫ليس على المستري غير المغ ّل‬

Artinya: “tidak ada tanggungan bagi peminjam jika tidak merusaknya”

Akad ariyah yang dilakukan menjadi bukti bahwa musta’ir pada hakekatnya
sedang menjaga harta orang lain. Dan sebagai bentuk kedermawanan pemilim harta.
2. Syafi’iyyah
Barang itu menjadi tanggungan. Tetapi jika mu’ir tidak mensyaratkan adanya
tanggungan baginya ketika ada kerusakan, maka gugur tanggungan dari tangan musta’ir.
Sebagaimana tertera pada hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam,
‫ أغصبا يا مح ّمد؟‬: ‫حنين؛ فقال‬
ِ ‫ أن النب ّي ﷺ استعار منه أدرعا يوم‬: ‫لما روى صفوان‬
] ‫ [ بل عارية مضمونة‬: ‫قال‬.

“Diriwayatkan dari Sofwan, bahwasanya Nabi Muhammad meminjam darinya baju besi
pada saat perang Hunain. Lantas ia bertanya “ Apakah Engkau akan mengambilnya
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab :” Tidak, Aku menjaminnya( menanggungnya dan
akan dikembalikan).”

Kaum muslimin telah berijma’ tentang kebolehan meminjam barang orang lain
untuk diambil manfaatnya, bahkan menganjurkan itu. Tetapi bukan suatu kewajiban.
Bahkan sebagian yang lain mewajibkan akad ini.
3. Hanabilah
Peminjam wajib menanggungnya jika barang rusak, entah di tangannya atau tidak.
Sengaja maupun tidak sengaja.21 Mereka bersandar pada hadits Shafwan,
20
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Riyadh: Darul ‘Alim AlKutub, 1997) juz 7 hlm 351
21
Ibid, 351

10
‫بل العارية مضمون‬

“Tetapi ditanggung (menjaminnya dan akan dikembalikan)”

Alasannya adalah, peminjam mengambil manfaat dari barang tersebut untuk


dirinya sendiri, dan hanya untuk memanfaatkannya bukan memilikinya. Dan ia juga tidak
ada izin atau diperbolehkan merusaknya. Seperti ghozob.22sehingga Ariyah adalah akad
yang memiliki resiko ganti rugi.
Tetapi sebagian dari mereka mengatakan, barang pinjaman tersebut statusnya
amanah. Karenanya tidak dibebankan kepada peminjam jika terjadi kerusakan kecuali
karena kesalahannya. Tetapi kerusakan yang diterima adalah pengakuan peminjam. Ini
adalah pendapat Hasan Bashri, An-Nakho’I, Al Auza’I, dan At Tsauri.23
4. Adapun pendapat Malikiyyah, Atho’, Imam Syafi’I, Ishak, dan selainnya
Mereka berpendapat bahwa status ‘ariyah adalah amanah. Sehingga tak wajib
menggantinya jika barang tersebut rusak kecuali kerusakan tersebut akibat perbuatannya,
maka ia harus menggantinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Amru bin Syu’aib, dari
bapaknya, dari kakeknya, bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam
bersabda,
‫ ضمان‬،‫ليس على المستري غير المغ ّل‬

Artinya:"Tidak ada tanggungan bagi peminjam jika ia tidak merusaknya”

Karena mereka menerima barang tersebut atas izin pemiliknya, sehingga menjadi
amanah baginya. Seperti barang titipan.24 Mereka juga berhujjah dengan dalil perkataan
Nabi,
‫العارية مؤدّاة‬

"pinjaman itu ditunaikan”

Kemudian mereka mengaitkan hadits tersebut dengan QS. An-Nisa : 58. Yang
mana artinya menunjukkan amanah.

22
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Berut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008) juz 4 hlm 251

23
Syaik Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab, ( Bandung: Hasyimi, 2016)
hlm 263
24
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Berut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008) juz 4 hlm 251

11
Dalam kitab Al-Wajiz fie Al-Fiqh Islam disebutkan, jika sifat barang tersebut bisa
disimpan atau disembunyikan seperti pakaian, perhiasan. Maka, barang pinjaman tersebut
menjadi tanggungan musta’ir jika barang tersebut hilang menurut pengakuannya tetapi
musta’ir tidak bisa mendatangkan bukti. Tetapi, jika sifat barang tersebut bukan sesuatu
yang mudah disembunyikan maka tidak menjadi tanggungan musta’ir apabila hilang.
Seperti hewan, rumah, tanah dan selainnya.
5. Qatadah dan ulama lainnya
Apabila pemilik barang mensyaratkan kepada peminjam adanya tanggungan jika
terjadi kerusakan, maka tanggungan menjadi beban peminjam. Jika tidak disyaratkan
maka bukan tanggungan peminjam.

K. Tanggung jawab peminjam


Status pinjaman termasuk amanah ditangan musta’ir, tetapi bisa juga menjadi
tanggungan karena beberapa hal, diantaranya : :
1. Barang tersebut sengaja dihilangkan
2. Dirusak
3. Dicuri
4. Menahannya ketika pemilik memintanya, atau setelah batasan peminjaman habis
5. Tidak menjaganya dalam masa penggunaan
6. Menyewakannya
7. Memakai diluar ketentuan juga diluar kebiasaan
8. dan berbeda cara menjaganya.
Sehingga, beban dinisbatkan kepada musta’ir. Maka, kewajiban menanggungnya
dialihkan kepadanya dan pada kenyataannya, musta’ir mengambil manfa’at dari
peminjaman tersebut sehingga sudah menjadi kewajiban musta’ir untuk
mengembalikannya.25

25
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fil Fiqh Islami, ( Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2 hlm 186

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al- ‘Aariyyah ialah sesuatu yang diberikan kepada orang yang bisa
memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya.
Sedangkan ‘ariyah merupakan bolehnya menggunakan atau memanfaatkan suatu barang
bukan untuk memilikinya.
Hukum ‘aariyyah ialah Sunnah, berdasarkan dari firman Alloh:
‫َو تَعا َونُوا َعلَى ا ْلبِ ِّر َو التَّ ْق َوى‬

13
Bisa jadi al-‘aariyyah itu hukumnya ialah wajib, misalnya ada seseorang yang
sangat membutuhkan baju ketika musim dingin.
Rukun Al-‘Aariyyah: Al-Mu’iir,Al-Musta’iir,Al-Musta’ar,As-shighot. Syarat
mu’iir yaitu memiliki kelayakan untuk bertransaksi tabarru’. Syarat musta’ir, dia mampu
menerima, ahlliatut tabarru’. Syarat musta’ar, Setiap barang yang dimiliki, yang bisa
dimanfaatkan, dan tetap utuh nilai benda tersebut. Syarat shighot,Lafadznya
menunjukkan perizinan untuk menggunakan atau memanfaatkan suatu barang.
konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam boleh memanfaatkan
benda yang ia pinjam. Tetapi peminjam tidak boleh meminjamkannya kembali barang
pinjaman itu. karena akadnya hanya pinjam meminjam saja, sehingga peminjam tidak
mempunyai kewenangan untuk memberikan kebolehan kepada orang lain.
Untuk hak pengembalian pinjaman, pemilik harta boleh mengambil barangnya
kapanpun selama tidak merugikan pihak peminjam. Dan bagi peminjam diharuskan
baginya mengembalikan barang tersebut jika pemanfaatannya selesai.
Sebagian dari mereka mengatakan, barang pinjaman tersebut statusnya amanah.
Karenanya tidak dibebankan kepada peminjam jika terjadi kerusakan kecuali karena
kesalahannya. Tetapi kerusakan yang diterima adalah pengakuan peminjam. Ini adalah
pendapat Hasan Bashri, An-Nakho’I, Al Auza’I, dan At Tsauri.
Status pinjaman termasuk amanah ditangan musta’ir, tetapi bisa juga menjadi
tanggungan karena beberapa hal, diantaranya :Barang tersebut sengaja dihilangkan,
Dirusak, Dicuri, Menahannya ketika pemilik memintanya, atau setelah batasan
peminjaman habis, Tidak menjaganya dalam masa penggunaan, Menyewakannya,
Memakai diluar ketentuan juga diluar kebiasaan,dan berbeda cara menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus,Darul Fikr ).


Abdurrohman Al-Jazari, Al-Fiqh ‘ala Madzhahibi Al-Arba’ah, jilid 3, (Beirut, Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah) 2011, cet.4.
Abi ‘Amru Al-Marani, Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, ( Beirut : Darul kutub Al-
Ilmiyah. 2011 ) juz 15.

14
Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri, Al-Khawi
Kabir, jilid 7, (Beirut, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah) 1994.
Abu Bakar bin Muhammad Syuto Ad-Dimyati, Khasiyatu ‘Ianatut Tholibin, jilid
3, (Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah) 2009.
Abu Bakar Jabir Al Jaziri, Minhajul muslim (Damaskus, Darul Fikr ) hal.355.
Wahbah Az-Zuhaili, Terjemah Al-Fiqhu Islam wa Adilatuhu , jild 5, (Damaskus,
Darul Fikr),2007, cet.10.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Mughni, ( Riyadh: Darul ‘Alim Al-Kutub, 1997)
juz 7.
Ibnu Rusydi Al-Qurtuby, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut :
Darul Ma’rifah, 1982) juz 2.
Muhammad bin Ahmad Al-Khatiib Asy-Syarbini, Mughni muhtaj, jilid 2,
(Damaskus, Darul Fikr), 2009.
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Fathu Dzil Jalali wal Ikrom,jilid 4, ( Kairo,
Al-Maktabah Al-Islamiyah) 2006.
Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, jilid
4, (Kairo, Jannatul Afkar) 2008.
Syaik Muhammad bin Abdurrahman Ad Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab,
( Bandung: Hasyimi, 2016).
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fie Fiqh Islam, (Damaskus : Darul Fikr, 2006) juz 2

15

Anda mungkin juga menyukai