Anda di halaman 1dari 16

‘ARIYAH DAN QARADH

Mata Kuliah : Fiqh Muamalah II


Dosen Pengampu: Ahmad Zuhri Rangkuti Lc., M.H.I

Disusun Oleh:
Ade Bili Reksana (08.19.613)

Bobby Trie Masyuri (08.19.650)

Dinda Pebiola (08.19.666)

Evi Syahfitri (08.19.679)

Lala Pusvitawati (08.19.710)

PROGAM STUDI EKONOMI SYARIAH


STAI SYEKH H. ABDUL HALIM HASAN AL-ISHLAHIYAH
BINJAI
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, Inayah,
taufik dan hinayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami konsep
pinjam meminjam dan qaradh dalam Islam.
Penyusun mengakui masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu
diharapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Binjai, April 2021

Penyusun

i
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama
keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-
rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia
harus taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan.

Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita kita
laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan qarad.

Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur,
antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram
semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah
ada aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama Islam harus
memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak menyepelekan
peraturan-peraturan agama.

Seperti kita ketahui, dalam ketentuan ‘Ariyah ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir adalah orang yang berakal dan dapat
bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad
‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis
atau musnah, seperti makanan, minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang
yang utuh dan tidak musnah contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan
oleh peminjam.

Dan pada Qarad dianggap sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang
dibolehkan syara’. Selain itu, qaraad pun dipandang sah setelah adanya ijab dan qabul,
seperti pada jual-beli dan hibah.

Untuk itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Qarad sehingga kita bisa
memahami dan menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi
dalam muamalah.

2. Rumusan Masalah
a. Pengertian dan Landasan (‘Ariyah)
b. Pengertian Qaradh

1
c. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
d. Rukun Qaradh dan Ketentuan Syariah
e. Dasar Hukum ‘Ariyah
f. Dasar Hukum Qaradh
g. Ihwal ‘Ariyah, Tanggungan atau Amanat
h. Hukum (ketetapan) Qaradh

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Landasan (‘Ariyah)

'Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab (‫ ) اْلَعاِر َيُة‬diambil dari kata (‫)عار‬
yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (‫)التعاور‬
yang artinya sama dengan (‫ )التناول او التناوب‬artinya saling tukar menukar,yakni dalam tradisi
pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah
yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya,
dengan tidak merusak zatnya agar zatnyatetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya,
sedangkan dalam definisi oleh para Ulama’ sebagai berikut :1

a. Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah

“pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”

b. Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah


“pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”

Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam akibat hukum


selanjutnya,pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada peminjam,sehingga
membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain atau pihak ketiga tanpa melalui
pemilik benda,sedangkan pengertian yang kedua menunjukkan arti kebolehan dalam
mengambil manfaat saja,sehingga peminjam dilarang meminjamkan terhadap orang lain.

Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk diambil
manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil keduanya, baik dari
zat dan juga manfaatnya.

Dalam undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah hak mutlak
atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut memberikan kekuasaan langsung pada
pemiliknya.

Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754 dijumpai ketentuan
yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

1
Sri Soedewi Masychoen Sofwan, HukumPerdata : Hukum Kebendaan,(Yogyakarta: Liberty,2004)

3
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut

al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika

awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Al-Qur’an ialah:

) ٢: ‫وتعا ونوا على البر والتقوى وال تعا ونوا على اال ثم والعدوان ( الما ئدة‬

“Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu

tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” [Al-Maidah:2]

Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain Al-Qur’an landasan hukum yang kedua ialah

Al-Hadis, dalam landasan ini, ariyah dinyatakan sebagai berikut:

▪ “Dari Abu Umamah ra. Dari Nabi saw. bersabda, “Pinjaman itu harus dikembalikan dan

orang yang meminjam dialah yang berutang, dan utang itu wajib dibayar.” (HR. At-

Turmudzi)

▪ “Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu dan janganlah kamu

khianat sekalipun dia khianat kepadamu” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud].

▪ “Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya maka Allah akan

membayarkannya, barang siapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan

melenyapkan hartanya” [Riwayat Buhari].

B. Pengertian Qaradh
Secara Etimologi, qaraad berarti (potongan). Harta yang dibayarkan kepada muqtarid
(yang diajak akad qarad).2
Secara Syar’i para ahli fiqh mendefenisikan qarad3 sebgai berikut:
1. Menurut pengikut madzhab Hanafi

2
Muslich Wardi, Ahmad.2010.Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah, hlm. 67
3
http://resnajalilah.blogspot.com/2013/04/makalah-al-qard..html. Di akses tanggal 17 April 2021

4
Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang
lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam
baik hati.
2. Menurut Madzhab Maliki
Mengatakan Qarad adaalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk
pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
3. Menurut Madzhab Hanbali
Qarad adalah Pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat
dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
4. Menurut Madzhab Syafi’i
Qarad adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu
membayar kembali kepadanya.

C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah


1. Rukun Pinjam Meminjam
a. Mu’ir

Mu’ir adalah pihak yang meminjamkan atau mengizinkan penggunaan manfaat

barang pinjaman. Syarat mu’ir yaitu :

1) Ahli at-tabarru. Yaitu perizinan pemanfaatan barang.

2) Berstatus sebagai pemilik manfaat barang, meskipun tidak berstatus sebagai

pemilik barang. Sebab objek akad ‘ariyah adalah manfaat, bukan barang.

3) Mukhtar. Yakni akad ‘ariyah dilakukan atas dasar inisiatif sendiri, bukan
atas dasar tekanan atau paksaan.
b. Musta’ir

Musta’ir adalah pihak yang meminjam atau mendapat izin penggunaan manfaat

barang. Syarat musta’ir yaitu:

1) Sah menerima hak melalui akad tabarru’.

2) Tertentu (mua’yan).

5
c. Musta’ar

Musta’ar adalah barang yang dipinjamkan, atau barang yang manfaatnya diizinkan

untuk dipergunakan musta’ir. Syarat musta’ar yaitu:

1) Memiliki potensi bisa dimanfaatkan

2) Manfaatnya merupakan milik pihak mu’ir

3) Pemanfaatannya legal secara agama

4) Manfaat yang memiliki nilai ekonomis (maqshudah)

5) Pemanfaatannya tidak berkonsekuensi mengurangi fisik barang.


d. Shighah
Shighah dalam akad ‘ariyah adalah bahasa interaksi meliputi ijab dan qabul yang
menunjukkan perizinan penggunaan manfaat barang.
D. Rukun Qaradh dan Ketentuan Syariah
1. Rukun Qaradh
a. Pelaku yang terdiri dari pemberi (muqridh) dan penerima pinjaman (muqtaridh).
b. Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan.
c. Ijab kabul atau serah terima
2. Ketentuan Syariah
a. Pelaku harus cakap hukum dan baligh.
b. Objek akad
1) Jelas nilai pinjamanya dan waktu pelunasanya.
2) Peminjam diwajibkan membayar pokok pinjaman pada waktu yang telah
disepakati, tidak boleh diperjanjikan akan ada penambahan atas pokok
pinjamanya. Namun peminjam diperbolehkan memberikan sumbangan secara
sukarela.
3) Apabila memang peminjam mengalami kesulitan keuangan maka waktu
peminjaman dapat diperpanjang atau menghapuskan sebagian atau seluruh
kewajibanya. Namun jika peminjam lalai maka dapat dikenakan denda.
4) Ijab qabul adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha/rela diantara pihak-
pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal atau tertulis.4
E. Syarat-Syarat Pinjam Meminjam
4
Sri Nurhayati & Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4,(Jakarta: Salemba Empat,2014) Hal.
261

6
1. Syarat peminjam

a. Sudah dewasa, jadi apabila masih kecil maka tidak sah pinjam meminjamnya
b. Sehat akalnya
c. Berhak untuk menerima pinjaman dan memanfaatkan dari barang yang
dipinjamkan
d. Hanya memanfaatkan barang tersebut tanpa mengurangi nilai apalagi
merusaknya
e. Tidak berhak untuk memaksa
f. Bertanggung jawab ketika barang yang dipinjam rusak

2. Syarat orang yang meminjamkan

a. Dewasa
b. Sehat akalnya
c. Tidak dipaksa dalam meminjamkan suatu barang atau meminjamkan dengan
suka rela
d. Meminjamkan barang yang halal
e. Tidak dihalang – halangi dalam meminjamkan suatu barang kepada peminjam
f. Tidak memberikan suatu persyaratan dalam meminjamkan barang

3. Syarat barang yang dipinjamkan


a. Barang tersebut halal atau miik sendiri
b. Barang yang dipinjamkan memiliki manfaat
c. Barang yang dipinjamkan bukan barang rusak

F. Dasar Hukum Pinjam Meminjam

Dalam kegiatan Pinjam-meminjam atau ariyah dianjurkan atau boleh (mandub). Dalam
praktik Ariyah pun mendapatkan pengakuan dari syariah.5
Al Qur’an
Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-menolong serta
saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada surat al-maidah ayat kedua allah
berfirman :

Yang Artinya :
5
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia,2001)

7
“ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”

Dalam surat al-Nisa’ ayat 58 Allah berfirman :


Yang Artinya:

“sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menunaikan amanah kepada yang berhak
menerimannya.”

Bila Seseorang tidak mengembalikan waktu peminjamannya atau menunda waktu


pengembaliannya, berarti ia berbuat khianat. Serta berbuat maksiat kepada pihak yang sudah
menolongnya. Perbuatan seperti ini jelas bukan merupakan suatu tindakan terpuji, sebab
selain ia tidak berterima kasih kepada orang yang menolongnya, pihak peminjam itu sudah
menzalimi pihak yang sudah membantunya. Ini berarti bahwa ia telah melanggar amanah dan
melakukan suatu yang dilarang agama.
Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah yang mewajibkan
seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat khianat.
Al-Hadits
Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara lain :

‫ َقاَل َم اِم ن ُم سِلٍم ُيْقِر ُض ُم سِلًم ا َقرًض ا َم َّر َتيِن ِااَّل َك اَن َك َص َد َقِتَهاَم َّر ًة‬: ‫َعن َاِبي َم سُعوٍد َاَن الَّنِبي ص ل‬

Artinya :

” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak ada seorang
muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti shodaqoh.”

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

‫َاْلَعاِر َيُة ُم َؤ َّداٌة َو الَّز ِع يُم َغ اِرٌم َو الَّديُن َم قِض ٌي‬

Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar
dan hutang itu wajib dibayar.”

Dalam hadist Rasulullah:

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah meminjam beberapa
baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain. Sofwan bertanya kepada

8
Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya Muhammad?”, jawab Rasulullah, “ bukan
tapi pinjaman yang dijamin”. Kemudian baju itu hilang sebagian , maka Rasulullah
mengemukakan akan digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan
dalam Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai).

F. Dasar Hukum Qaradh


Transaksi qaradh diperbolehkan oleh para ulama6 berdasarkan firman Allah SWT dan
hadis Nabi. Ayat yang memperbolehkan transaksi qarad adalah Q.S. Al-Hadid Ayat 11.

‫َم ْن َذ ا اَّلِذ ي ُيْقِر ُض َهَّللا َقْر ًضا َح َس ًنا َفُيَض اِع َفُه َلُه َو َلُه َأْج ٌر َك ِر يٌم‬

Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan
melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang
banyak.”

Dasar hukum dari Al-Qur’an yang lain juga disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 245,
yang berbunyi:

‫َم ْن َذ ا اَّلِذ ي ُيْقِر ُض َهَّللا َقْر ًضا َح َس ًنا َفُيَض اِع َفُه َلُه َأْض َع اًفا َك ِثيَر ًةۚ َو ُهَّللا َيْقِبُض َو َيْبُس ُط َو ِإَلْيِه ُتْر َج ُعوَن‬

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan
(rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”

Dan dasar hukum lain yang berasal dari Nabi, yaitu:

Rasulullah bersabda:

“Tiada orang muslim yang memberikan utang kepada seorang muslimin dua kali, kecuali
piutangnya bagaikan sedekah satu kali”(HR. Ibnu Majah)

Menurut riwayat al-Bukhari sabda Nabi yang berbunyi :

“Barang siapa yang mengambil harta seseorang dan ia bermaksud untuk membayarnya,
Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang bermaksud mengambilnya dam
melenyapkannya, Allah akan melenyapkannya.”

6
Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj, juz II. Hlm.263. Dikutip dari buku Prof. Dr. H.
Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah., Hal.139

9
Juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Hakim ucapan Nabi yang
bunyinya :

“Sesungguhnya Allah bersama orang yang berutang hingga ia membayar hutangnya.”

Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa meringankan suatu beban dari seorang muslim di dunia ini, mnaka Allah akan
meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya.7

G. Ihwal Pinjam Meminjam, Tanggungan Amanat

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman iu merupakam amanat bagi


peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menaggung barang
tersebut jika terjadi kerusakan, seperti itu juga dalam sewa menyewa atau barang titipan,
kecuali kerusakan tersebut akibat disengaja atau kelalaian. Hal ini karena tanggunagn tidak
dibebankan kepada mereka yang bukan pelaku. Selain itu peminjapun dikategorikan sebagai
orang yangmenjaga milik orang.8
Dalam kalangan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung
barang yang tidak ada adanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti baju. Muir tidak
perlu menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan seperti hewan atau barang yang
jelasdalam hal kerusakannya.
Sedangkan dari para kalangan Syafi’iyah, peminjam menaggung harga barang bila terjadi
kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai izin yang diberikan pemilik walaupun
tanpa disengaja. Yhadist tersebut sesuai hadist tentang sofwan yang telah dibahas
sebelumnya. Adapun barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak
menanggungnya ketika terjadi kerusakan.
Sedangkan ulama hanabilahberpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang
pinjamannya secara mutlak, baik sengaja maupun tidak. Golongan ini mendasarkan pendapat
mereka pada hadis dari Shafwan bin umayyah.
Ulama hanabilah pun mendasarkan pendapat dengan Hadist Rasulullah SAW:

“Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang diambilnya sehingga
dipenuhi.” ( HR Ahmad )
7
Syamsuddin Asy-Syakhrasyi, Al-Mabsuth, juz XI. Hlm. 133. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat
Syafei, MA, Fiqh Muamalah., Hal.139
8
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,(Bandung : Pustaka Setia, 2008)

10
Barang pinjaman adalah harta orang lain yang diambil manfaatnya. Ulama hambaliyah
menyatakan, jika barang-barang dipinjam adalah benda-benda wakaf, seperti kitab-kitab
ilmiah, dan suatu saat rusak, maka yang meminjamnya tidak menanggung kerusakannya
dikarenakan barang tersebut untuk maslahat.
Ariyah dapat dikatakan berubah dari Amanah ke tanggungan, yang menurut ulama
Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah ketanggungan karena diantara
keduannya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan
barang yaitu dengan sebab-sebab:

1. Menghilangkan barang.
2. Tidak menjaganya ketika menggunakan barang.
3. Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyaratan.
4. Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya

Sedangkan untuk biaya pengembalian barang pinjaman itu ditanggung oleh


peminjam, sebab pengembaliannya barang merupakan kewajiban peminjam yang telah
mengambil manfaatnya.

H. Hukum Atau Ketetapan Qaradh


Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh menjadi tetap setelah pemegangan
atau penyerahan. Dengan demikian, jika seseorang menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram
gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus memberikan benda sejenis
(gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya.
Jika muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya, walaupun
Qardh (barang yang ditukarkan) masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid tidak
memiliki Qardh selama Qardh masih ada. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan
Qardh, sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun
belum ada penyerahan dan pemegangan: Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang
sejenis dengan Qardh muqrid meminta zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika
Qardh telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda sejenis.
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan pendapat Abu Hanifah bahwa
ketetapan Qardh dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus
menyerahkan benda sejenis (Mitsil) jika penukaran terjadi pada harta mitsil sebab lebih
11
mendekati hak muqrid. Adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai) didasarkan pada
gambarannya. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian Qardh pada harta yang
ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya,
yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat., Pertama sebagaimana
pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari akad Qardh. Kedua
mengembalikan benda sejenis yang mendekati Qardh pada sifatnya.

12
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab (‫ ) اْلَعاِر َيُة‬diambil dari kata (‫)عار‬
yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata (‫)التعاور‬
yang artinya sama dengan (‫ )التناول او التناوب‬artinya saling tukar menukar,yakni dalam tradisi
pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah
yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya,
dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya,
sedangkan dalam definisi oleh para Ulama’ sebagai berikut :

Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah yaitu “pemilikan atas manfaat suatu benda
tanpa pengganti”

Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah yaitu “pembolehan untuk mengambil manfaat
tanpa mengganti”

Secara Etimologi, qaraad berarti (potongan). Harta yang dibayarkan kepada muqtarid
(yang diajak akad qarad). Transaksi qarad diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan firman
Allah SWT dan hadis Nabi. Ayat yang memperbolehkan transaksi qarad adalah Q.S. Al-
Hadid Ayat 11, QS. Al-Baqarah ayat 245, dan juga terdapat dalam beberapa hadis.

Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup tolong-menolong serta
saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada surat al-maidah ayat kedua allah
berfirman :

Yang Artinya : “ Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://resnajalilah.blogspot.com/2013/04/makalah-al-qard..html Dikutip Pada Tanggal 17


April 2021

Djuwaini. Dimyauddin (2008), Pengantar Fiqh Muamalah, bandung: Pustaka setia.

Muslich Wardi, Ahmad. (2010).Fiqih Muamalah. Jakarta: Amzah

Soedewi Masychoen Sofwan. Sri,(1924), Hukum Perdata: Hukum Kebendaan,Yogyakarta:


Liberty Yogya.

Sri Nurhayati dan Wasilah. (2014). Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 4. Jakarta: Salemba
Empat.

Syafei. Rahmat. (2001). Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.

14

Anda mungkin juga menyukai