Anda di halaman 1dari 30

'ARIYAH

ARIYAH
A. Pendahuluan
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling
sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala
ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi
yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan
tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus
kita kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam
meminjam (Ariyah).
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak
teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang
halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang
menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa izin
pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap
ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan
oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan Ariyah ada beberapa hal yang
harus diperhatikan diantaranya Al-Muir dan Al-Mustair adalah orang yang
berakal dan dapat bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang
yang hilang akal melakukan akad Ariyah, barang yang dipinjam bukan jenis
barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti
makanan, minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh
dan

tidak

musnah

contohnya

dimanfaatkan oleh peminjam.

buku

atau

barang

lain

yang

dapat

Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai Ariyah (pinjam
meminjam) dan segala ruang lingkupnya, sehingga kita bisa memahami dan
menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi
dalam proses pinjam meminjam.

B. Susbtansi kajian
1. DEFINISI ARIYAH
Berkata Syaikh Abu Syujak :
.. . . : . .
Artinya : Setiap yang boleh dipergunakan manfaatnya dengan kekal
zatnya, boleh pula dipinjamkan (kepada orang), apabila manfaatnya kekal
(tidak menjejas zatnya).
Berkata Ibnu Rifah: Hakikat Ariyah (pinjaman) yaitu memperbolehkan
mengambil

manfaat

terhadap

apa

yang

dibolehkan.

Syarak

memanfaatkannya dengan syarat kekal zatnya untuk dikembalikan kepada


yang

punya.

Al-Mawardi

menamakannya

mendermakan

manfaat

dari

sesuatu benda.1[1]
Pinjaman adalah mengambil manfaat dari barang orang lain dalam waktu
yang ditentukan dan untuk maksud tertentu pula, dengan syarat bahwa
barang itu barang kemas dan tidak akan rusak ainnya (keasliannya).2[2]
Lafadz Ariyah dengan ditasydid huruf yak-nya menurut pendapat yang lebih
shahih adalah diambil dari lafadz Aara. Artinya ketika sesuatu telah
pergi, sedangkan hakekatnya menurut pengertian syara Ariyah adalah
memenangkan dalam mengambil manfaat dari orang yang ahli karena Allah
dengan

barang

yang

halal

untuk

mengambil

manfaatnya

beserta

1[1] Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina Iman), hal 654
2[2] Drs. H. ibnu Masud, Fiqih Madzhab Syafii (Bandung : CV Pustaka Media), hlm
109

kelangsungan keadaannya, agar orang yang meminjam mengembalikan


kepada orang yang karena Allah itu.3[3]
Secara etimologi, ariyah diambil dari kata Aara yang berarti datang dan
pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata At-Taaawuru
yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling
menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.4[4]
Al Ariyah di ambil dari kata Al Uryu yaitu terlepas dari pinjaman barang
ini tidak memerlukan kompensasi
Secara terminologi Al Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan
barang yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian
dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan ungkapan
atau

perbuatan

apapun

yang

menunjukkan

kepadanya

peminjaman

dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.5[5]


As-Sarkhasi dan para ulama Madzhab Maliki mendefinisikan iaarah sebagai
pemberian kepemilikan terhadap manfaat tanpa imbalan. Dinamakan Iaarah
karena ia tanpa imbalan.6[6]
Adapun

para

ulama

Madzhab

Syafii

dan

Hambali 7[7],

mereka

mendefinisikan Iaarah sebagai pemberian izin kepada orang lain untuk


mengambil manfaat dari suatu benda yang dimiliki tanpa adanya imbalan. Ia
berbeda dengan hibah karena kad pinjam meminjam ini berlaku pada
3[3] Drs. H. Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib (Kudus : Menara Kudus,tt), hlm.
279
4[4] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), cet I,
hlm 247
5[5] Abdullah bin aburrahman abasam, syarah bulughul maram, hlm 606
6[6] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011),
hlm 573
7[7] Ibid, hlm 573

manfaat saja. Adapun akad hibah maka ia berlaku pada sosok benda itu
secara langsung.
Perbedaan antara kedua definisi Aariyah di atas adalah bahwa definisi
pertama menunjukkan pemberian kepemilikan manfaat, sehingga peminjam
boleh meminjamkan kembali apa yang dia pinjam kepada orang lain,
sedangkan definisi kedua hanya menunjukkan adanya kebolehan mengambil
manfaat, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan apa yang dia pinjam
atau menyewakannya kepada orang lain.

Secara terminologi syara, ulama fiqh berbeda pendapat dalam


mendefinisikan ariyah, antara lain :
1) Ibnu Rifah berpendapat, bahwa yang dimaksud ariyah adalah kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya
dapat dikembalikan kepada pemiliknya.8[8]
2) Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah alJuhaili, ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya
imbalan,. Adapun menurut al-Syafiiyah dan al-Hanabah ariyah adalah
pembolehan

untuk

mengambil

manfaat

suatu

barang

tanpa

adanya

imabalan.9[9]
3) Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ariyah adalah transaksi atas manfaat
suatu

barang

tanpa

imbalan,

dalam

arti

sederhana

ariyah

adalah

menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa


adanya imbalan.10[10]

8[8] Abi Bakr Muhammad Taqiyudin, Kifayat al-Akhyar, (Bandung:Al-Maarif, tt), hlm.
291.
9[9] Wahbah al-Juhaili, Op, cit, hlm. 4036.
10[10] Amir Syarifudin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. II, hlm,
219.

Ariyah pada asal hukumnya adalah sunnah karena sangat dirasa


keperluannya. Tapi kadang-kadang hokum sunnah tersebut bisa berubah
menjadi Wajib, seperti contoh: meminjamkan pakaian yang menjadikan
sahnya suatu shalat atau meminjamkan alat penyelamat pada orang yang
akan tenggelam atau juga meminjamkan alat penyembelih binatang yang
dimulyakan syara.
Para ulama Fiqh membedakan pengertian Ariyah dan hibah, kendatipun
keduanya

mengandung

pengertian

kebebasan

memanfaatkan

barang.

Menurut mereka dalam ariyah unsur yang dipinjam hanya manfaatnya, serta
dalam jangka waktu yang terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan materi
barang yang disedekahkan dan tidak memiliki batas waktu.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ariyah dapat berlaku
pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat
tradisional

maupun

masyarakat

modern,

dan

oleh

sebab

itu

dapat

diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu
sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
Mengenai definisi Ariyah, para ulama mengemukakan pendapat
mereka. Ulama Malikiyah ,dan Imam as-Syarakhsi (tokoh fikih Hanafi),
mengemukakan definisinya:
.
Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.
Ulama Syafiiyah dan Hanbali mengemukakan definisinya :

.
Kebolehan memanfaatkan barang (orang lain) tanpa ganti rugi.11[11]
Ariyah termasuk salah satu bentuk transaksi tolong menolong yang murni
yang terlepas dari unsur komersial.
Contoh : Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si
B berhak memanfaatkan barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah dengan
ketentuan bahwa si B berhak menempati rumah tersebut hingga waktu
11[11] M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, (Jakarta : Darul Falah,
2000) hlm 239-240

tertentu sebagai sebuah pinjaman yang benar, diperbolehkan, wajib diganti


jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada waktu yang telah
disepakati. Muir (orang yang meminjamkan) menyerahkan rumah tersebut
di atas kepada mustair (orang yang meminjam) dan mustair menerimanya
dengan penerimaan yang syarI kemudian rumah tersebut berada dalam
pemanfaatannya. Dan masing-masing dari kedua belah pihak menerima
kesepakatan ini dari pihak satunya dengan penerimaan yang syari dan ini
terjadi pada tanggal sekian (disebutkan tanggalnya).12[12]
Ariyah dinyatakan berlangsung dengan ucapan dan perbuatan apa saja yang
menunjukkan hal itu.

2. HUKUM DAN DASAR ARIYAH


Ariyah hukumnya sunnah yang didasarkan dari Al-Quran, Hadits, dan
ijma.
Dasar dari Al-Quran adalah firman Allah :
t%!$# Nd `t NkEx| tbqd$y t%!$# Nd cr!#t
tbquZJtur tbq$yJ9$#
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya.
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Dalam Surat Al-Maidah, Allah berfirman :
pkr't t%!$# (#qZtB#u w (#q=tB uyx !$# wur $
tk9$# tP#tpt:$# wur yol;$# wur yn=s)9$# Iwur
tiB!#u |Mt79$# tP#tpt:$# tbqtG6t Wxs `iB Nkh5
$ZRuqur

#s)ur

L=n=ym

(#r$s$$s

wur

N3ZtBgs b$toYx BQqs% br& N2r| `t fyJ9$#


Q#tpt:$# br& (#rtGs? (#qRur$ys?ur n?t h99$# 3uq)12[12] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah, (Jakarta :
Rajagrafindo persada, 2004) hlm 551

G9$#ur ( wur (#qRur$ys? n?t OOM}$# bur9$#ur 4 (#q)?


$#ur !$# ( b) !$# x >$s)9$#
Artinya : Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan
ketaqwaan, serta janganlah tolong menolong untuk berbuat dosa dan
permusuhan. (Q.S. Al-Maidah : 2)13[13]
Rasulullah SAW bersabda :
. . .
Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong
saudaranya (shahih: Shahibul Jamius Shaghir no: 6577)14[14]
Dasar

dari

hadits

adalah

bahwa

Abu

Dawud

dan

at-Turmudzi

meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Umamah bahwa Nabi


Muhammad SAW bersabda dalam khutbah haji wada:
. .
Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.
(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)15[15]
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan :
: : . . . .
Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai
daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah
perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab:

13[13] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997),
cet II, hlm 38

14[14] Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), cet V, hlm 707
15[15] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997),
cet II, hlm 41

Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin. (Riwayat Abu Dawud dan
Ahmad)16[16].
. . . . . .. . ..
(. .)
Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya,
maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan
kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya. (Hadits
riwayat Al-Bukhari).
Dasar dari ijma adalah bahwa Fuqaha sepakat di syariatkannya ariyah.
Ariyah disunahkan berdasarkan ijma kaum muslimin.
Ibnu Hubairah berkata, Ulama sepakat bahwa ariyah hukumnya
boleh sebagai ibadah yang disunahkan sehingga orang yang meminjamkan
mendapatkan pahala.17[17]
Ada pendapat yang menyatakan bahwa ariyah hukumnya wajib. Ibnu
Taimiyyah berpendapat bahwa ariyah wajib bagi orang kaya yang memiliki
barang

yang

dapat

dipinjamkan,

kepada

seseorang

yang

amat

membutuhkan yang bila orang itu tidak diberi pinjaman menyebabkan ia


teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama, seperti ia akan
mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Akan
tetapi, bila seseorang memberikan pinjaman yang dengan meminjamkan itu
ia bermaksud menganiaya peminjam atau peminjam itu akan memanfaatkan
harta yang dipinjamnya itu untuk berbuat maksiat, maka hukum ariyah
menjadi haram. Dengan demikian, didasarkan pada kondisi-kondisi yang
amat bervariasi, hukum pinkam-meminjam pun bisa amat bervariasi pula,
seperti wajib, haram, makruh, ataupun mubah.
Madzhab Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa ariyah merupakan
akad yang menyebabkan peminjam memiliki manfaat barang yang
16[16] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam
pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm 342-343
17[17] Ibid, hlm 343

dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari
pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak peminjam berhak meminjamkan
barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang
tersebut

telah

menjadi

miliknya,

kecuali

pemilik

barang

membatasi

pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkannya


kepada orang lain.
Madzhab Syafii, Hanafi , Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al Karkhi
berpendapat, bahwa akad ariyah hanya bersifat memanfaatkan benda
tersebut karena itu pemanfaatannya terbatas kepada pihak kedua saja
(peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain, namun, semua
ulama sepakat, bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang
lain.
Ulama

juga

berbeda

pendapat

dalam

menentukan

hukum,

berdasarkan sifat peminjam.


Jumhur

ulama

berpendapat,

bahwa

pemanfaatan

barang

oleh

peminjam terbatas pada izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.


Ulama Madzhab Hanafi membedakan antara ariyah yang bersifat
mutlak dan terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak
ketiga), maka peminjam (pihak kedua), berkewajiban mengganti kerugian,
sekiranya terjadi kerusakan dan mengganti sepenuhnya sekiranya benda itu
hilang.
Ulama Madzhab Hanafi, Syafii dan Hanbali berpendapat, bahwa akad
ariyah sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak. Pihak pertama (pemilik
barang) boleh membatalkan pinjaman tersebut kapan saja dia kehendaki dan
peminjam pun (pihak kedua) boleh mengembalikan benda tersebut, bila dia
kehendaki, apakah pinjaman mutlak atau terbatas.
Ulama Madzhab Maliki mengatakan, bahwa pihak yang meminjamkan
barang (pihak pertama), tidak dapat mengambil barang ariyah sebelum
dimanfaatkan oleh peminjam (pihak kedua). Demikian juga halnya, apabila
dalam akad ariyah itu ada disebutkan tenggang waktu. Sebelum jatuh
tempo, barang itu tidak boleh dibatalkan.

Diantaranya hukum-hukum al-ariyah adalah sebagai berikut :


a.

Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah.


Contoh : seseorang tidak boleh meminjamkan orang Muslim untuk melayani

orang kafir.
b. Jika Muir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan bahwa mustair
(peminjam)

berkewajiban

mengganti

barang

yang

dipinjam

jika

ia

merusaknya, maka mustair wajib menggantinya.


c.
Mustair (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang
pinjaman ketika ia mengembalikanya kepada muir jika barang pinjaman
tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi.
d. Mustair (peminjam) tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamkannya.
Adapun meminjamkannya kepada orang lain, maka tidak apa-apa dengan
syarat muir merelakannya.
e. Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh
meminta pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh.
Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh
meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang diatasnya di
f.

panen.
Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunahkan
tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu
peminjaman.18[18]

3. RUKUN-RUKUN ARIYAH
Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adanya
unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud
sebagai suatu hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun yang
harus dipenuhi.
Adapun rukun Ariyah menurut Jumhur Ulama ada empat, yaitu :
a) Al Muir (orang yang meminjamkan), disyaratkan ahli mengendalikan harta
(tasarruf) dan berhak penuh atas hartanya itu.

18[18] Abu Bakar al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah, (Jakarta :


Rajagrafindo, 2004) hlm 549- 551

b)
c)

Al-Mustair

(Orang

yang

meminjam),

disyaratkan

jelas

dan

ahli

mengendalikan harta.
Al-Muar (barang yang dipinjam), disyaratkan mengandung manfaat yang
dibolehkan kekal ainnya. Tidaklah sah meminjamkan makanan, uang, dll,

d)

yang berubah atau habis ainnya.


Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam
meminjam.19[19] Seperti, Aku pinjamkan barang ini kepadamu selama
sebulan.

4. SYARAT-SYARAT ARIYAH
a) Al-Muir (orang yang meminjamkan) adalah orang yang harus berakal dan
dapat (cakap) bertindak atas nama hukum, karena orang yang tidak berakal
tidak dapat dipercayai memegang amanah. Padahal barang ariyah ini pada
dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya.
Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh
melakukan akad atau transaksi ariyah. Menurut para ulama Madzhab
Hanafi, tidak disyaratkan baligh dalam akad ini.
b) Barang yang dipinjam dapat dimanfaatkan dengan kondisi tetap utuh, dan
bukan barang yang musnah atau habis seperti makanan. Jenis-jenis barang
yang tidak habis atau musnah yang apabila dimanfaatkan seperti rumah,
pakaian, dan kendaraan.
c) Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh
peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ariyah pihak peminjam harus
menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung
pula.20[20]
19[19] Drs. H. Ibnu Masud, Fiqih Madzhab Syaii, (Bandung : Pustaka Media, 2000)
hlm 110
20[20] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), cet I,
hlm 249-250

d) Manfaat yang diambil adalah mubah. Misalnya apabila meminjam kendaraan


orang

lain

hendaknya

kendaraan

itu

digunakan

untuk

hal-hal

yang

bermanfaat dalam pandangan syara, seperti digunakan untuk silaturahmi,


berziarah ke berbagai masjid dan sebagainya. Apabila kendaraan itu
digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh syara,
sekalipun akad atau transaksi ariyah pada dasarnya sah. Ia dicela karena
pemanfaatannya tidak sesuai dengan syara yaitu tolong menolong dalam
kebaikan.21[21]
Dalam Fathul Qorib juga disebutkan syarat-syarat tentang ariyah:
a) Ariyah tidak sah tanpa adanya izin dari Muir (orang yang meminjamkan).
b) Barang yang dipinjamkan bermanfaat bagi si peminjam.
c)

Barang yang dipinjam boleh tanpa adanya batasan waktu. Jika Muir tidak
memberikan batasan waktu.

d) Barang yang dipinjam oleh Mustair rusak, maka Musta;ir harus bertanggung
jawab terhadap barang tersebut meskipun barang tersebut belum dipakai
sama sekali.22[22]
Para ulama telah menetapkan bahwa pinjam-meminjam sah pada semua
benda yang dapat dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu dan
manfaatnya boleh untuk diambil, seperti rumah, tanah, pakaian, hewan,
tunggangan dan semua yang dikenali dengan sosoknya, tetapi, tidak boleh
meminjamkan

para

budak

wanita

untuk

digauli.

Juga

dimakruhkan

meminjamkan budak wanita untuk membantu, kecuali jika untuk kerabat


dzawil arham yang merupakan mahramnya, karena bisa jadi orang yang
dipinjami itu akan berkhalwat dengan si budak lalu menggaulinya. 23[23] Dan
21[21] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004) cet II, hlm 243
22[22] Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qorib , hlm 36.
23[23] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011)
hlm 575

diharamkan meminjamkan senjata dan kuda untuk orang kafir harbi (yang
memerangi umat Islam)., juga mushaf Al-Quran dan sejenisnya kepada
orang kafir serta binatang buruan kepada orang yang sedang berihram.24[24]
5. HUKUM TRANSAKSI ARIYAH
1)

Mayoritas fuqaha dari kalangan Hanafiyah dan Syafiiyah berpendapat


bahwa ariyah adalah transaksi jaiz (boleh/tidak mengikat). Oleh karena itu,
orang yang meminjamkan boleh menarik barangnya yang dipinjam kapan
pun.

2)

Malikiyyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh menariknya


kembali sebelum dimanfaatkan oleh peminjam, ia wajib membiarkannya
selama masa itu. Jika tidak disyaratkan masa peminjaman, waktunya
disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.

3) Hanafilah berpendapat bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya jika


tidak merugikan peminjam, seperti jika seseorang meminjamkan tanah
kepada orang lain agar ia menanaminya. Dalam kasus ini, pemilik tanah
boleh menarik tanahnya sebelum ditanami. Jika telah ditanami, ia tidak boleh
menarik tanahnya kecuali setelah peminjam mendapatkan hasil dari
tanaman itu.25[25]
Pendapat yang rajah (valid) adalah bahwa pemilik barang boleh
menarik barangnya jika tidak merugikan peminjam. Namun, jika dapat
merugikannya,

ia

harus

memberikan

tenggang

waktu

agar

tujuan

peminjaman tersebut dapat tercapai dan penarikan tersebut pada waktu


yang tidak akan merugikan peminjam. Dengan demikian, tujuan pinjammeminjam telah tercapai.
24[24] Ibid, hlm 576
25[25] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam
pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm 345

6. KEWAJIBAN MENGEMBALIKANNYA
Si peminjam wajib mengembalikan barang pinjaman yang ia pinjam,
setelah ia mendapatkan manfaat yang ia perlukan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 58 :
b) !$# N.B't br& (#rxs? MuZtBF{$# #n<) $yg=dr& *
#s)ur OFJs3ym tt/ $Z9$# br& (#qJ3trB Ay9$$/ 4 b)
!$# $KR /3t m/ 3 b) !$# tb%x. $Jx #Zt/
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada

yang

berhak

menerimanya,

dan

(menyuruh

kamu)

apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan


adil.

Sesungguhnya

kepadamu.

Allah

Sesungguhnya

memberi
Allah

pengajaran

adalah

Maha

yang

sebaik-baiknya

mendengar

lagi

Maha

Melihat.26[26]
Dari abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
. . ..
Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberikan amanat
kepadamu, dan janganlah kau berbuat khianat, kendatipun kepada orang
yang pernah mengkhianatimu. (Abu Daud. Tirmidzi, Darimiy). 27[27]
(Dikeluarkan oleh Abu Daud, dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al
Hakim).
Orang yang meminjam dialah yang bertanggung jawab atas barang
yang dipinjamnya itu, baik berkenan dengan penggantiannya bila rusak atau
ongkos pengembaliannya.

26[26] Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), cet V, hlm 707
27[27] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Maarif, 1987), cet I, hlm 69

Dalam sebuah hadis disebutkan:


( . . . ). : . . .
Dari Sumurah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda, Wajib atas tangan
menjaga apa yang telah dipinjam sampai barang itu dikembalikan (H.R.
Abu Dawud dan Tirmizi)28[28]
Dalam hadis lain disebutkan:
. . . . . : . . .
(.)
Dari abu Umamah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, pinjaman itu
mesti dikembalikan, dan orang yang meminjam adalah orang yang
berhutang, dan utang itu harus di bayar.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan menshahihkannya dari
Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw bersabda :

. .
Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan. 29
[29]
7. KONSEKUENSI HUKUM AKAD PINJAM MEMINJAM
1)

Asal konsekuensi hukum pinjam meminjam

28[28] Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam, (Jakarta :
Akbar, 2007) cet I, hlm 399
29[29] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Almarif, 1987), cet I, hlm 69

Konsekuensi hukumya, menurut para ulama Madzhab Maliki dan


jumhur ulama Madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda
yang ia pinjam tanpa memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa
dikategorikan sebagai manfaat secara tradisi dan kebiasaan.30[30]
Al- Kurkhi, para ulama Madzhab SyafiI dan para ulama Madzhab
Hanbali mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah
peminjam boleh memanfaatkan benda yang dia pinjam. Maka Ariyah adalah
akad ibadah.31[31] Dan Ariyah menurut mereka adalah membolehkan
peminjam untuk memanfaatkan benda yang dia pinjam yang mempunyai
nilai harta.
a.

Hak-hak pemanfaatan Benda Pinjaman


Jumhur ulama, mengatakan bahwa peminjam boleh memanfaatkan

benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Sedangkan para ulama


Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada
peminjam dalam akad ini berbeda-beda sesuai dengan bentuk akad itu,
apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.
b.

Akad pinjam meminjam yang mutlak


Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang meminjam

sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk


orang lain ketika akad. Misalnya : seseorang meminjamkan tunggangan
kepada orang lain tanpa menyebutkan tempat dan batas waktunya. Juga
tanpa menentukan apakah untuk ditunggangi atau untuk mengangkut
barang.
Konsekuensi dari akad pinjam-meminjam yang mutlak ini adalah
menempati posisi pemilik barang sehingga semua yang dilakukan pemilik
terhadap barang itu dalam rangka mengambil manfaat darinya.
30[30] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011),
cet I, hlm 576
31[31] Ibid, 576

c. Akad pinjam meminjam yang dibatasi


Akad pinjam meminjam yang dibatasi adalah dibatasi waktu dan
penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya
adalah peminjam harus memperhatikan batasan itu semampunya. Karena
pada dasarnya sesuatu yang dibatasi harus dipertimbangkan batasannya,
kecuali jika memang tidak mampu untuk mengikuti batasan itu karena tidak
adanya faedah dan sejenisnya. Sehingga, batasan itu pun diabaikan, karena
dalam kondisi ini pembatasan itu sama saja dengan kesia-siaan.
2) Status pinjaman, harus dijamin gantinya atau sekedar amanah
Para ulama Madzhab Hanafi mengatakan bahwa pinjaman adalah
amanah di tangan peminjam, baik ketika dipakai maupun tidak. Peminjam
tidak harus memberikan jaminan gantinya dalam semua kondisi, kecuali jika
kerusakan terjadi karena pelanggarannya atau ketidakseriusan dalam
menjaganya.
Para ulama Madzhab Maliki mengatakan bahwa peminjam harus
mengganti pinjaman yang bisa disembunyikan seperti pakaian, perhiasan,
dan perahu yang sedang berjalan diatas air, jika ia rusak atau hilang. Hal ini
jika tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hilangnya atau rusaknya
barang pinjaman itu bukan karena ulah peminjam.
Menurut pendapat yang ashah dalam Madzhab Syafii, pinjaman harus
di ganti nilainya oleh peminjam hari kerusakan jika ia rusak karena
pemakaian yang tidak diizinkan, walaupun pemakaian itu tidak berlebihan.
Para ulama Madzhab Hanbali dalam pendapatnya yang kuat
menyatakan bahwa peminjam harus mengganti barang pinjaman secara
mutlak jika ia rusak atau hilang, baik itu karena pelanggarannya atau tidak.
Ganti tersebut adalah nilainya ketika barang itu rusak atau hilang.32[32]
a. Pemberi pinjaman mensyaratkan adanya jaminan ganti
Para ulama Madzhab Hanafi mengatakan bahwa adanya jaminan
ganti untuk barang yang dia pinjamkan, maka persyaratan itu tidak sah.
Para ulamaMadzhab Maliki berkata bahwa jika pemilik barang
mensyaratkan adanya jaminan ganti dari peminjam dalam kondisi ketika
32[32] Wahbah Az Zuhaili, Ibid, 578-586

jaminan ganti tidak diwajibkan, maka peminjam tidak perlu memberikannya


namun cukup memberikan bayaran sewa yang umum untuk pemakaian
barang itu. Karena syarat adanya jaminan ganti itu mengeluarkan akad
peminjaman dari statusnya menjadi akad sewa menyewa tidak sah.
Para ulama Madzhab Syafii dan Hambali mengatakan bahwa jika
peminjam mensyaratkan agar peminjaman itu sekedar amanah atau tanpa
jaminan ganti, maka jaminan itu tidak gugur dan syarat itu pun tidak berlaku
ketika terjadi pelanggaran darinya. Karena semua akad yang mengharuskan
adanya jaminan ganti tidak bisa diubah oleh syarat yang ditetapkan, seperti
barang yang diterima pada jual beli yang sah atau tidak sah.33[33]
b. Perubahan status pinjaman dari sekedar amanah menjadi harus
dijamin gantinya
Menurut Madzhab Hanafi :
Membuatnya hilang atau merusaknya.
Tidak menjaganya ketika sedang memakainya atau menyewakannya.
Menggunakannya untuk sesuatu yang tidak disepakati atau sesuatu yang
tidak umum untuk benda itu.
Menyalahi kesepakatan dalam menjaganya.
3. Perselisihan antara pemilik barang dan peminjam
a. Perselisihan dalam asal akad atau sifatnya
Jika kedua pihak mengaku bahwa dia menerima barang itu sebagai
pinjaman sedangkan pemilik barang mengatakan bahwa itu adalah akad
Ariyah sedangkan pemiliknya mengatakan bahwa pihak kedua ghassab,
maka perkataan yang diterima adalah perkataan pemilik barang dengan
disertai sumpah. Ini berdasarkan pendapat Madzhab Syafii.
Jika barang yang dipinjamkan rusak, lalu peminjam mengatakan bahwa
barang itu rusak karena pemakaian yang diizinkan, sedangkan pemberi
pinjaman mengingkarinya, dan berkata barang itu rusak karena dipakai
untuk hal-hal yang tidak diizinkan, maka para ulama sepakat yang diterima
adalah perkataan peminjam yang disertai sumpahnya.
33[33] Ibid, 586

Jika peminjam menyatakan bahwa dia telah mengembalikan barang


pinjamannya, namun pemiliknya mengingkarinya, maka pemiliknya tersebut
harus bersumpah untuk perkataannya itu.
b. Berakhirnya akad peminjaman
1. Pemberi pinjaman meminta agar pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena
akad
2.
3.
4.
5.

peminjaman

tidaklah

mengikat,

sehingga

ia

berakhir

dengan

pembatalan (fasakh).
Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.
Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan diri.
Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak

pelaku akad karena kedunguan (safah).


6. Al- Hajr yang disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman. Hal ini karena
dengan kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari
harta bendanya dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk kepentingan para
pemberi utangnya.

8. MENANGGUNG RESIKO
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak
ada tanggungan atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi
pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman harus bertanggung jawab.
: . . . : .
. : . , .
Dari Shafwan bin Yala dari bapaknya, ia berkata, Rasulullah saw
pernah bersabda kepadaku, Apabila sejumlah kurirku datang kepadamu,
maka berilah kepada mereka tiga puluh baju besi dan tiga puluh ekor unta,
Kemudian dia bertanya, Ya Rasulullah, apakah ini pinjaman yang terjamin,

ataukah pinjaman yang tertunaikan? Jawab beliau, (Bukan), tetapi


pinjaman yang tertunaikan. (Shahih: Shahih Abu Daud III no: 3045, ashShahihah no: 630 dan Aunul Mabud IX: 479 no: 3549).34[34]
9. TANGGUNG JAWAB ARIYAH
Peminjam wajib mengembalikan barang yang ia pinjam jika masih
utuh. Jika barang itu rusak, dalam kasus seperti ini terjadi kontroversi di
kalangan fuqaha menjadi beberapa pendapat sebagaimana berikut.
1)

Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Atha asy-Syafii, Ishaq Ahmad, dan salah satu
pendapat Malik berpendapat bahwa jika barang pinjaman rusak, peminjam
wajib menggantinya, baik kerusakan itu akibat keteledorannya atau bukan.
Mereka beragumentasi dengan hadits Shafwan :

Akan tetapi pinjaman yang dijamin.
Begitu juga hadits Samurah dari Rasulullah saw bersabda :
.

Pemegang berkewajiban menjaga apa yang diterima sampai ia


mengembalikannya.
(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi).35[35]

34[34] Abdul azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz
(Jakarta : Pustaka As-Sunnah, 2008), cet V, hlm706
35[35] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 346

Selain itu, karena peminjam mengambil barang milik orang lain untuk
diambil manfaatnya saja, bukan untuk dirusakkan sehingga ia harus
menggantinya jika terjadi kerusakan.
2)

Al Hasan, an-Nakhai, asy-Syabi, Umar ibn Abdul Aziz, ats-Tsauri, dan Abu
Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib mengganti barang pinjaman yang
rusak kecuali jika disengaja. Mereka beragumentasi dengan hadits Umar ibn
Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda :
. .
Peminjam yang tidak khianat tidak wajib mengganti. (Riwayat al-Baihaqi).
Al-Muhgill adalah orang yang berkhianat. Di samping itu, karena ia
telah memegang barang pinjaman dengan seizin pemiliknya sehingga posisi
barang tersebut sebagai amanat seperti barang titipan.

3)

Imam malik dalam pendapat yang masyhur darinya, Ibnu al-Qasim, dan
mayoritas ulama yang sepaham dengannya berpendapat bahwa jika barang
pinjaman berupa sesuatu yang dapat disembunyikan, seperti baju dan
perhiasan, maka wajib diganti jika rusak. Jika barang itu berupa sesuatu yang
tidak dapat disembunyikan, seperti kebun atau hewan, tidak wajib diganti
jika rusak. Begitu juga dengan sesuatu yang ada bukti atas kerusakannya. 36
[36]
Pendapat yang rajah (valid) adalah wajib mengganti barang pinjaman
jika rusak, baik karena kesengajaan atau tidak berdasarkan hadits di atas.
Selain itu, karena kemashlahatan barang itu diperuntukkan bagi peminjam,
bukan pemilik barang. Adanya kewajiban mengganti barang membuat
peminjam menjaga barang pinjaman dengan baik.
36[36] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ibid, 347

4)

Menurut Ulama Hanafiyah ariyah di tangan peminjam bersifat amanah.


Oleh karena itu peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan
barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam
memanfaatkan barang tersebut. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut
disengaja maka ia akan dikenakan ganti rugi.
Menurut Hanafiyah akad ariyah yang semula bersifat amanah dapat
berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai
berikut :
a. Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.
b. Apabila barang itu tidak dipelihara sama sekali.
c. Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan akad yang
berlaku, atau tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika
d.

berlangsungnya akad.
Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat
yang ditentukan sejak semula dalam akad.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa ariyah adalah akad yang
mempunyai resiko ganti rugi, baik disebabkan oleh peminjam ayau
disebabkan hal-hal lain. Oleh sebab itu, apabila barang tersebut rusak, atau
hilang, baik disebabkan pemanfaatan barang itu oleh peminjam maupun
oleh sebab-sebab lainnya di luar jangkauan peminjam, maka menurut
Hanabilah pihak peminjam wajib membayar ganti rugi semenjak barang itu
rusak atau hilang. Alasan mereka adalah hadits Rasulullah saw. sebagai
berikut :
( . . ).
Orang yang mengambil barang orang lain bertanggung jawab atas
resikonya sampai ia mengembalikannya. (HR. Ahmad dan Hakim).
Menurut Ulama Syafiiyah, apabila kerusakan barang itu disebabkan
oleh pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam
dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh

orang lain. Alasan mereka adalah hadits Sofwan Ibnu Umaiyah yang
mengatakan bahwa ariyah itu dikenakan ganti rugi (HR. Abu dawud dan
Ahmad). Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas pemanfaatan
yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam itu tidak dikenakan ganti rugi.
Ulama Malikiyah menyatakan bahwa apabila barang yang dipinjamkan
itu dapat disembunyikan seperti pakaian, cincin, kalung, dan jam tangan,
lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan
ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Akan tetapi,
apabila ia dapat membuktikannya, ia tidak dikenakan ganti rugi. Selanjutnya,
apabila barang yang dipinjam itu termasuk jenis yang tidak dapat
disembunyikan seperti rumah, tanah, dan kendaraan, kemudian barang itu
rusak ketika dimanfaatkan maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan
itu.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw. sebagai berikut :
( . . . . ). .
Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi. (HR.
Abu Dawud dan Hakim).37[37]
Menurut ketentuan agama, pihak peminjam tidak hanya sekedar wajib
mengembalikan pinjamannya apa adanya, tetapi ia juga wajib memelihara
barang pinjaman itu selama dalam tanggungannya. Pihak peminjam
bertanggung jawab sepenuhnya atas barang hilang atau rusak, disebabkan
kelalaiannya atau karena pemakaian yang berlebihan. Karena itu, bila barang
yang dipinjamnya itu hilang ditangannya maka ia wajib menggantinya, serta
bila rusak maka ia wajib memperbaiki atau mengganti kerugian karena
kerusakan itu. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda :
.

37[37] Abdul Rahman Al Ghazaly, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010) cet 1,
hlm 252-253

Pemegang berkewajiban memelihara apa yang sudah ia terima


sampai benda itu dipulangkan kembali kepada pemiliknya. (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi,, Ahmad, dan Darimiy).38[38]
Bertolak dari prinsip tidak boleh ada pihak yang dirugikan dan merugikan
dalam suatu transaksi, maka kewajiban dari pihak peminjam untuk
mengganti atau memperbaiki barang yang hilang atau rusak di tangannya
merupakan

suatu

yang

bisa

diterima

akal.

Karena

pihak

peminjam

memperoleh manfaat dan keuntungan dari benda yang dipinjamnya, yang


merupakan milik pihak lain, maka tidaklah layak bila ia berdiam diri tanpa
mengganti rugi sesuatu yang rusak ditangannya akibat kelalaiannya sendiri.
10. MEMINJAMKAN DAN MENYEWAKAN ARIYAH
1) Sebagaian fuqaha, diantaranya Hanafiyah, berpendapat bahwa peminjam
boleh meminjamkan barang yang ia pinjam kepada orang lain meskipun
pemilik barang itu tidak memberi izin. Hal ini jika barang tidak berubah
2)

meskipun dipinjamkan lagi kepada orang lain.


Sebagian fuqaha diantaranya Hanabilah, berpendapat bahwa peminjam
tidak boleh meminjamkan barang yang ia pinjam atau menyewakannya
kepada orang lain kecuali dengan izin pemilik barang.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak boleh meminjamkan atau
menyewakannya kepada orang lain kecuali dengan izin pemilik barang
karena pemilik barang meminjamkan kepadanya, bukan kepada orang lain.
Mungkin saja pemilik tidak menyukai tindakan peminjam.
Namun demikian, ada benarnya juga pendapat yang menyatakan
bolehnya meminjamkan barang pinjaman, khususnya jika ada pernyataan
untuk mengganti kerusakan pada barang pinjaman, baik disengaja maupun
tidak. Hal ini karena barang milik orang yang menyewakan merupakan
sesuatu yang harus ditanggung. Karena itu, tidaklah relevan pendapat yang
membolehkan

untuk

meminjamkannya

tanpa

adanya

jaminan

untuk

38[38] Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta : Kencana, 2010) cet I, hlm
252-253

mengganti jika rusak karena berarti telah menghilangkan hak pemilik tanpa
ada keinginan darinya.39[39]
Syarat tidak Mengganti Barang Pinjaman
1) Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ariyah
dapat menggugurkan tanggungan, dan ini merupakan salah satu riwayat dari
Ahmad. Jika pemilik barang memberi izin kepada peminjam untuk merusak
barang pinjamannya, maka tidak wajib menggantinya. Begitu pula jika
pemilik

barang

membebaskan

peminjam

dari

kewajiban

mengganti

pinjaman.
2) Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ariyah
tidak dapat diberlakukan, dan ini meripakan salah satu riwayat dari Ahmad.
Ini berdasarkan hadits (artinya), Tidak, tetapi barang pinjaman yang
dijamin. (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad). Hal ini karena semua transaksi
yang mempunyai konsekuensi menjamin tidak dapat diubah oleh syarat. 40
[40]
Pendapat yang rajih (valid) bahwa pada asalnya, ariyah wajib
ditanggung (diganti). Hal ini merupakan hak pemilik barang. Namun, jika
pemilik menghapuskan kewajiban untuk menanggung karena keinginan dan
kehendaknya sendiri, dalam hal ini dibenarkan.
Cara menanggung
Fuqaha berpendapat bahwa wajib mengganti barang yang rusak
dengan barang sejenis. Jika tidak ada, dengan mengganti harganya saat
dirusakkan. Jika yang rusak hanya sebagaiannya, dalam hal ini dihitung
bagian yang rusak saja.41[41]

39[39] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalam
pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif, 2009), hlm 348-349
40[40] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 349

C. Kesimpulan
Ariyah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang
masih

di

gunakan,

untuk

kemudian

dikembalikan

pada

pemiliknya.

Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang


menunjukkan

kepadanya

peminjaman

dilakukan

berdasarkan

alquran,

sunnah, dan ijma ulama.


Ariyah hukumnya sunnah/ mubah karena dalam Al-Quran Surat AlMaun 5-7 dan Surat Al-Maidah ayat 2 dianjurkan kepada manusia agar saling
tolong menolong dalam kebaikan, dan jangan tolong menolong dalam
kejelekan.
Dalam melakukan Ariyah ada beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi oleh oleh Al-Muir maupun yang Al-Mustair. Rukun Ariyah bagi AlMuir dan Al-Mustair harus disyaratkan ahli dalam mengendalikan harta, dan
barang yang dipinjam diharapkan memberikan manfaat kepada yang
meminjam barang tersebut, dan barang tersebut harus kekal dan tidak sah
meminjamkan barang yang dapat habis. Dan yang terakhir harus ada
Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam
meminjam.
Adapun syarat dalam melakukan Ariyah yaitu Al Muir harus berakal,
barang yang dipinjamkan harus bermanfaat, dan pihak peminjam harus
menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung
pula.
Bagi Al Muir kewajibannya yaitu : Memberikan wasiat kepada AlMustair, barang yang dipinjamkan dapat bermanfaat bagi si peminjam, dan
barang yang di pinjamkan halal.
Bagi Al-Mustair : Kewajiban

mengembalikan

barang

pinjaman,

Menanggung resiko terhadap barang pinjaman, dan Al-Mustair harus


bertanggung jawab terhadap barang yang dipinjam.

41[41] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ibid, 350

D.
Rukun Ariyah :
Al-Muir (orang yang meminjamkan)
Al-Mustair (orang yang dipinjami)
Al-Muar (barang yang dipinjam)
Shighah ariyah
Ariyah : adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan,
untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya.
Hukum Ariyah adalah mubah (boleh).
Dasar Ariyah :
Q.S Al-Maun : 7
Q.S. Al-maidah : 2

1.
2.
3.
4.

Skematika

Tanggung jawab Al Mustair :


Kewajiban mengembalikan barang pinjaman.
Menanggung resiko terhadap barang pinjaman.
Tanggung jawab terhadap barang yang dipinjam.

ARIYAH
Syarat Ariyah :
1. Al-Muir adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hukum.
2. Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah.
3. Barang yang dipinjamkan itu lansung dapat dikuasai si peminjam.
Manfaat barang yang dipinjam adalah mubah.

Akad Ariyah

Perjanjian Ariyah

Al-Muir (orang yang meminjamkan)


Al-Mustair (orang yang meminjam)
Barang yang dipinjam

Memberikan wasiat kepada Al-Mustair.


Barang yang dipinjamkan dapat bermanfaat.
Barang yang di pinjamkan halal.
Kewajiban mengembalikan barang pinjaman.
Menanggung resiko terhadap barang pinjaman.
Tanggung jawab terhadap barang yang dipinjam.

DAFTAR PUSTAKA
Masud, Ibnu, dan Abidin, Zainal. 2007. Fiqih Madzhab Syafii. Bandung:
Pustaka Media.
Azhim, Abdul. 2008. Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz. Jakarta:
Pustaka as Sunnah.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih Sunnah. Bandung : Almaarif.
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari. Terjemah Fathul Muin.
Surabaya : Al-Hidayah.
Drs. H. Imron Abu Amar. Terjemah Fathul Qarib. Kudus : Menara Kudus.
Az zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta : Gema Insani.
Ghazaly, Abdul Rahman, Ihsan, Ghufron, dan Shiddiq, Sapiudin. 2010. Fiqih
Muamalat. Jakarta : Kencana.
Karim, Helmi. 1997. Fiqih Muamalah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Hasan, M, Ali. 2004. Berbagai macam transaksi dalam Islam. Jakarta:

PT.

RajaGrafindo Persada.
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini. 2007. Kifayatul
Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtisar. Surabaya : CV. Bina Iman.
Abu Bakar Jabir Al Jazairi. 2000. Ensiklopedia Muslim. Jakarta : PT. Darul
Falah.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Terjemah Lengkap Bulughul Maram. Jakarta :
Akbar Media Eka Sarana.
Abdul Qadir Syaibah al-Hamd. 2007. Syarah Bulughul Maram. Jakarta:Darul
Haq.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram.
Jakarta : Pustaka Azzam.
Ath

Thayyar,

Abdullah

bin

Muhammad,

Al-Mutlaq,

Abdullah

bin

Muhammmad, dan Al Musa, Muhammad bin Ibrahim. 2009. Ensiklopedia


Fiqih dalam Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta :Maktabah Al-Hanif.

Anda mungkin juga menyukai