ARIYAH
A. Pendahuluan
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling
sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala
ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi
yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan
tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus
kita kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam
meminjam (Ariyah).
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak
teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang
halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang
menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa izin
pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap
ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan
oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan Ariyah ada beberapa hal yang
harus diperhatikan diantaranya Al-Muir dan Al-Mustair adalah orang yang
berakal dan dapat bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang
yang hilang akal melakukan akad Ariyah, barang yang dipinjam bukan jenis
barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti
makanan, minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh
dan
tidak
musnah
contohnya
buku
atau
barang
lain
yang
dapat
Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai Ariyah (pinjam
meminjam) dan segala ruang lingkupnya, sehingga kita bisa memahami dan
menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi
dalam proses pinjam meminjam.
B. Susbtansi kajian
1. DEFINISI ARIYAH
Berkata Syaikh Abu Syujak :
.. . . : . .
Artinya : Setiap yang boleh dipergunakan manfaatnya dengan kekal
zatnya, boleh pula dipinjamkan (kepada orang), apabila manfaatnya kekal
(tidak menjejas zatnya).
Berkata Ibnu Rifah: Hakikat Ariyah (pinjaman) yaitu memperbolehkan
mengambil
manfaat
terhadap
apa
yang
dibolehkan.
Syarak
punya.
Al-Mawardi
menamakannya
mendermakan
manfaat
dari
sesuatu benda.1[1]
Pinjaman adalah mengambil manfaat dari barang orang lain dalam waktu
yang ditentukan dan untuk maksud tertentu pula, dengan syarat bahwa
barang itu barang kemas dan tidak akan rusak ainnya (keasliannya).2[2]
Lafadz Ariyah dengan ditasydid huruf yak-nya menurut pendapat yang lebih
shahih adalah diambil dari lafadz Aara. Artinya ketika sesuatu telah
pergi, sedangkan hakekatnya menurut pengertian syara Ariyah adalah
memenangkan dalam mengambil manfaat dari orang yang ahli karena Allah
dengan
barang
yang
halal
untuk
mengambil
manfaatnya
beserta
1[1] Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina Iman), hal 654
2[2] Drs. H. ibnu Masud, Fiqih Madzhab Syafii (Bandung : CV Pustaka Media), hlm
109
perbuatan
apapun
yang
menunjukkan
kepadanya
peminjaman
para
ulama
Madzhab
Syafii
dan
Hambali 7[7],
mereka
manfaat saja. Adapun akad hibah maka ia berlaku pada sosok benda itu
secara langsung.
Perbedaan antara kedua definisi Aariyah di atas adalah bahwa definisi
pertama menunjukkan pemberian kepemilikan manfaat, sehingga peminjam
boleh meminjamkan kembali apa yang dia pinjam kepada orang lain,
sedangkan definisi kedua hanya menunjukkan adanya kebolehan mengambil
manfaat, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan apa yang dia pinjam
atau menyewakannya kepada orang lain.
untuk
mengambil
manfaat
suatu
barang
tanpa
adanya
imabalan.9[9]
3) Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ariyah adalah transaksi atas manfaat
suatu
barang
tanpa
imbalan,
dalam
arti
sederhana
ariyah
adalah
8[8] Abi Bakr Muhammad Taqiyudin, Kifayat al-Akhyar, (Bandung:Al-Maarif, tt), hlm.
291.
9[9] Wahbah al-Juhaili, Op, cit, hlm. 4036.
10[10] Amir Syarifudin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. II, hlm,
219.
mengandung
pengertian
kebebasan
memanfaatkan
barang.
Menurut mereka dalam ariyah unsur yang dipinjam hanya manfaatnya, serta
dalam jangka waktu yang terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan materi
barang yang disedekahkan dan tidak memiliki batas waktu.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ariyah dapat berlaku
pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat
tradisional
maupun
masyarakat
modern,
dan
oleh
sebab
itu
dapat
diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu
sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
Mengenai definisi Ariyah, para ulama mengemukakan pendapat
mereka. Ulama Malikiyah ,dan Imam as-Syarakhsi (tokoh fikih Hanafi),
mengemukakan definisinya:
.
Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.
Ulama Syafiiyah dan Hanbali mengemukakan definisinya :
.
Kebolehan memanfaatkan barang (orang lain) tanpa ganti rugi.11[11]
Ariyah termasuk salah satu bentuk transaksi tolong menolong yang murni
yang terlepas dari unsur komersial.
Contoh : Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si
B berhak memanfaatkan barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah dengan
ketentuan bahwa si B berhak menempati rumah tersebut hingga waktu
11[11] M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, (Jakarta : Darul Falah,
2000) hlm 239-240
#s)ur
L=n=ym
(#r$s$$s
wur
dari
hadits
adalah
bahwa
Abu
Dawud
dan
at-Turmudzi
13[13] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997),
cet II, hlm 38
14[14] Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), cet V, hlm 707
15[15] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997),
cet II, hlm 41
Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin. (Riwayat Abu Dawud dan
Ahmad)16[16].
. . . . . .. . ..
(. .)
Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya,
maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan
kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya. (Hadits
riwayat Al-Bukhari).
Dasar dari ijma adalah bahwa Fuqaha sepakat di syariatkannya ariyah.
Ariyah disunahkan berdasarkan ijma kaum muslimin.
Ibnu Hubairah berkata, Ulama sepakat bahwa ariyah hukumnya
boleh sebagai ibadah yang disunahkan sehingga orang yang meminjamkan
mendapatkan pahala.17[17]
Ada pendapat yang menyatakan bahwa ariyah hukumnya wajib. Ibnu
Taimiyyah berpendapat bahwa ariyah wajib bagi orang kaya yang memiliki
barang
yang
dapat
dipinjamkan,
kepada
seseorang
yang
amat
dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari
pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak peminjam berhak meminjamkan
barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang
tersebut
telah
menjadi
miliknya,
kecuali
pemilik
barang
membatasi
juga
berbeda
pendapat
dalam
menentukan
hukum,
ulama
berpendapat,
bahwa
pemanfaatan
barang
oleh
orang kafir.
b. Jika Muir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan bahwa mustair
(peminjam)
berkewajiban
mengganti
barang
yang
dipinjam
jika
ia
panen.
Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunahkan
tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu
peminjaman.18[18]
3. RUKUN-RUKUN ARIYAH
Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adanya
unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud
sebagai suatu hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun yang
harus dipenuhi.
Adapun rukun Ariyah menurut Jumhur Ulama ada empat, yaitu :
a) Al Muir (orang yang meminjamkan), disyaratkan ahli mengendalikan harta
(tasarruf) dan berhak penuh atas hartanya itu.
b)
c)
Al-Mustair
(Orang
yang
meminjam),
disyaratkan
jelas
dan
ahli
mengendalikan harta.
Al-Muar (barang yang dipinjam), disyaratkan mengandung manfaat yang
dibolehkan kekal ainnya. Tidaklah sah meminjamkan makanan, uang, dll,
d)
4. SYARAT-SYARAT ARIYAH
a) Al-Muir (orang yang meminjamkan) adalah orang yang harus berakal dan
dapat (cakap) bertindak atas nama hukum, karena orang yang tidak berakal
tidak dapat dipercayai memegang amanah. Padahal barang ariyah ini pada
dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya.
Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh
melakukan akad atau transaksi ariyah. Menurut para ulama Madzhab
Hanafi, tidak disyaratkan baligh dalam akad ini.
b) Barang yang dipinjam dapat dimanfaatkan dengan kondisi tetap utuh, dan
bukan barang yang musnah atau habis seperti makanan. Jenis-jenis barang
yang tidak habis atau musnah yang apabila dimanfaatkan seperti rumah,
pakaian, dan kendaraan.
c) Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh
peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ariyah pihak peminjam harus
menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung
pula.20[20]
19[19] Drs. H. Ibnu Masud, Fiqih Madzhab Syaii, (Bandung : Pustaka Media, 2000)
hlm 110
20[20] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), cet I,
hlm 249-250
lain
hendaknya
kendaraan
itu
digunakan
untuk
hal-hal
yang
Barang yang dipinjam boleh tanpa adanya batasan waktu. Jika Muir tidak
memberikan batasan waktu.
d) Barang yang dipinjam oleh Mustair rusak, maka Musta;ir harus bertanggung
jawab terhadap barang tersebut meskipun barang tersebut belum dipakai
sama sekali.22[22]
Para ulama telah menetapkan bahwa pinjam-meminjam sah pada semua
benda yang dapat dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu dan
manfaatnya boleh untuk diambil, seperti rumah, tanah, pakaian, hewan,
tunggangan dan semua yang dikenali dengan sosoknya, tetapi, tidak boleh
meminjamkan
para
budak
wanita
untuk
digauli.
Juga
dimakruhkan
diharamkan meminjamkan senjata dan kuda untuk orang kafir harbi (yang
memerangi umat Islam)., juga mushaf Al-Quran dan sejenisnya kepada
orang kafir serta binatang buruan kepada orang yang sedang berihram.24[24]
5. HUKUM TRANSAKSI ARIYAH
1)
2)
ia
harus
memberikan
tenggang
waktu
agar
tujuan
6. KEWAJIBAN MENGEMBALIKANNYA
Si peminjam wajib mengembalikan barang pinjaman yang ia pinjam,
setelah ia mendapatkan manfaat yang ia perlukan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 58 :
b) !$# N.B't br& (#rxs? MuZtBF{$# #n<) $yg=dr& *
#s)ur OFJs3ym tt/ $Z9$# br& (#qJ3trB Ay9$$/ 4 b)
!$# $KR /3t m/ 3 b) !$# tb%x. $Jx #Zt/
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada
yang
berhak
menerimanya,
dan
(menyuruh
kamu)
apabila
Sesungguhnya
kepadamu.
Allah
Sesungguhnya
memberi
Allah
pengajaran
adalah
Maha
yang
sebaik-baiknya
mendengar
lagi
Maha
Melihat.26[26]
Dari abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
. . ..
Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberikan amanat
kepadamu, dan janganlah kau berbuat khianat, kendatipun kepada orang
yang pernah mengkhianatimu. (Abu Daud. Tirmidzi, Darimiy). 27[27]
(Dikeluarkan oleh Abu Daud, dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al
Hakim).
Orang yang meminjam dialah yang bertanggung jawab atas barang
yang dipinjamnya itu, baik berkenan dengan penggantiannya bila rusak atau
ongkos pengembaliannya.
26[26] Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil
Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), cet V, hlm 707
27[27] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Maarif, 1987), cet I, hlm 69
. .
Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan. 29
[29]
7. KONSEKUENSI HUKUM AKAD PINJAM MEMINJAM
1)
28[28] Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam, (Jakarta :
Akbar, 2007) cet I, hlm 399
29[29] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Almarif, 1987), cet I, hlm 69
peminjaman
tidaklah
mengikat,
sehingga
ia
berakhir
dengan
pembatalan (fasakh).
Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.
Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan diri.
Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak
8. MENANGGUNG RESIKO
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak
ada tanggungan atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi
pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman harus bertanggung jawab.
: . . . : .
. : . , .
Dari Shafwan bin Yala dari bapaknya, ia berkata, Rasulullah saw
pernah bersabda kepadaku, Apabila sejumlah kurirku datang kepadamu,
maka berilah kepada mereka tiga puluh baju besi dan tiga puluh ekor unta,
Kemudian dia bertanya, Ya Rasulullah, apakah ini pinjaman yang terjamin,
Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Atha asy-Syafii, Ishaq Ahmad, dan salah satu
pendapat Malik berpendapat bahwa jika barang pinjaman rusak, peminjam
wajib menggantinya, baik kerusakan itu akibat keteledorannya atau bukan.
Mereka beragumentasi dengan hadits Shafwan :
Akan tetapi pinjaman yang dijamin.
Begitu juga hadits Samurah dari Rasulullah saw bersabda :
.
34[34] Abdul azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz
(Jakarta : Pustaka As-Sunnah, 2008), cet V, hlm706
35[35] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 346
Selain itu, karena peminjam mengambil barang milik orang lain untuk
diambil manfaatnya saja, bukan untuk dirusakkan sehingga ia harus
menggantinya jika terjadi kerusakan.
2)
Al Hasan, an-Nakhai, asy-Syabi, Umar ibn Abdul Aziz, ats-Tsauri, dan Abu
Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib mengganti barang pinjaman yang
rusak kecuali jika disengaja. Mereka beragumentasi dengan hadits Umar ibn
Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda :
. .
Peminjam yang tidak khianat tidak wajib mengganti. (Riwayat al-Baihaqi).
Al-Muhgill adalah orang yang berkhianat. Di samping itu, karena ia
telah memegang barang pinjaman dengan seizin pemiliknya sehingga posisi
barang tersebut sebagai amanat seperti barang titipan.
3)
Imam malik dalam pendapat yang masyhur darinya, Ibnu al-Qasim, dan
mayoritas ulama yang sepaham dengannya berpendapat bahwa jika barang
pinjaman berupa sesuatu yang dapat disembunyikan, seperti baju dan
perhiasan, maka wajib diganti jika rusak. Jika barang itu berupa sesuatu yang
tidak dapat disembunyikan, seperti kebun atau hewan, tidak wajib diganti
jika rusak. Begitu juga dengan sesuatu yang ada bukti atas kerusakannya. 36
[36]
Pendapat yang rajah (valid) adalah wajib mengganti barang pinjaman
jika rusak, baik karena kesengajaan atau tidak berdasarkan hadits di atas.
Selain itu, karena kemashlahatan barang itu diperuntukkan bagi peminjam,
bukan pemilik barang. Adanya kewajiban mengganti barang membuat
peminjam menjaga barang pinjaman dengan baik.
36[36] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ibid, 347
4)
berlangsungnya akad.
Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat
yang ditentukan sejak semula dalam akad.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa ariyah adalah akad yang
mempunyai resiko ganti rugi, baik disebabkan oleh peminjam ayau
disebabkan hal-hal lain. Oleh sebab itu, apabila barang tersebut rusak, atau
hilang, baik disebabkan pemanfaatan barang itu oleh peminjam maupun
oleh sebab-sebab lainnya di luar jangkauan peminjam, maka menurut
Hanabilah pihak peminjam wajib membayar ganti rugi semenjak barang itu
rusak atau hilang. Alasan mereka adalah hadits Rasulullah saw. sebagai
berikut :
( . . ).
Orang yang mengambil barang orang lain bertanggung jawab atas
resikonya sampai ia mengembalikannya. (HR. Ahmad dan Hakim).
Menurut Ulama Syafiiyah, apabila kerusakan barang itu disebabkan
oleh pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam
dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh
orang lain. Alasan mereka adalah hadits Sofwan Ibnu Umaiyah yang
mengatakan bahwa ariyah itu dikenakan ganti rugi (HR. Abu dawud dan
Ahmad). Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas pemanfaatan
yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam itu tidak dikenakan ganti rugi.
Ulama Malikiyah menyatakan bahwa apabila barang yang dipinjamkan
itu dapat disembunyikan seperti pakaian, cincin, kalung, dan jam tangan,
lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan
ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Akan tetapi,
apabila ia dapat membuktikannya, ia tidak dikenakan ganti rugi. Selanjutnya,
apabila barang yang dipinjam itu termasuk jenis yang tidak dapat
disembunyikan seperti rumah, tanah, dan kendaraan, kemudian barang itu
rusak ketika dimanfaatkan maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan
itu.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw. sebagai berikut :
( . . . . ). .
Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi. (HR.
Abu Dawud dan Hakim).37[37]
Menurut ketentuan agama, pihak peminjam tidak hanya sekedar wajib
mengembalikan pinjamannya apa adanya, tetapi ia juga wajib memelihara
barang pinjaman itu selama dalam tanggungannya. Pihak peminjam
bertanggung jawab sepenuhnya atas barang hilang atau rusak, disebabkan
kelalaiannya atau karena pemakaian yang berlebihan. Karena itu, bila barang
yang dipinjamnya itu hilang ditangannya maka ia wajib menggantinya, serta
bila rusak maka ia wajib memperbaiki atau mengganti kerugian karena
kerusakan itu. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda :
.
37[37] Abdul Rahman Al Ghazaly, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010) cet 1,
hlm 252-253
suatu
yang
bisa
diterima
akal.
Karena
pihak
peminjam
untuk
meminjamkannya
tanpa
adanya
jaminan
untuk
38[38] Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta : Kencana, 2010) cet I, hlm
252-253
mengganti jika rusak karena berarti telah menghilangkan hak pemilik tanpa
ada keinginan darinya.39[39]
Syarat tidak Mengganti Barang Pinjaman
1) Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ariyah
dapat menggugurkan tanggungan, dan ini merupakan salah satu riwayat dari
Ahmad. Jika pemilik barang memberi izin kepada peminjam untuk merusak
barang pinjamannya, maka tidak wajib menggantinya. Begitu pula jika
pemilik
barang
membebaskan
peminjam
dari
kewajiban
mengganti
pinjaman.
2) Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ariyah
tidak dapat diberlakukan, dan ini meripakan salah satu riwayat dari Ahmad.
Ini berdasarkan hadits (artinya), Tidak, tetapi barang pinjaman yang
dijamin. (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad). Hal ini karena semua transaksi
yang mempunyai konsekuensi menjamin tidak dapat diubah oleh syarat. 40
[40]
Pendapat yang rajih (valid) bahwa pada asalnya, ariyah wajib
ditanggung (diganti). Hal ini merupakan hak pemilik barang. Namun, jika
pemilik menghapuskan kewajiban untuk menanggung karena keinginan dan
kehendaknya sendiri, dalam hal ini dibenarkan.
Cara menanggung
Fuqaha berpendapat bahwa wajib mengganti barang yang rusak
dengan barang sejenis. Jika tidak ada, dengan mengganti harganya saat
dirusakkan. Jika yang rusak hanya sebagaiannya, dalam hal ini dihitung
bagian yang rusak saja.41[41]
39[39] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalam
pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif, 2009), hlm 348-349
40[40] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 349
C. Kesimpulan
Ariyah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang
masih
di
gunakan,
untuk
kemudian
dikembalikan
pada
pemiliknya.
kepadanya
peminjaman
dilakukan
berdasarkan
alquran,
mengembalikan
barang
pinjaman,
D.
Rukun Ariyah :
Al-Muir (orang yang meminjamkan)
Al-Mustair (orang yang dipinjami)
Al-Muar (barang yang dipinjam)
Shighah ariyah
Ariyah : adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan,
untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya.
Hukum Ariyah adalah mubah (boleh).
Dasar Ariyah :
Q.S Al-Maun : 7
Q.S. Al-maidah : 2
1.
2.
3.
4.
Skematika
ARIYAH
Syarat Ariyah :
1. Al-Muir adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hukum.
2. Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah.
3. Barang yang dipinjamkan itu lansung dapat dikuasai si peminjam.
Manfaat barang yang dipinjam adalah mubah.
Akad Ariyah
Perjanjian Ariyah
DAFTAR PUSTAKA
Masud, Ibnu, dan Abidin, Zainal. 2007. Fiqih Madzhab Syafii. Bandung:
Pustaka Media.
Azhim, Abdul. 2008. Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz. Jakarta:
Pustaka as Sunnah.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih Sunnah. Bandung : Almaarif.
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari. Terjemah Fathul Muin.
Surabaya : Al-Hidayah.
Drs. H. Imron Abu Amar. Terjemah Fathul Qarib. Kudus : Menara Kudus.
Az zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta : Gema Insani.
Ghazaly, Abdul Rahman, Ihsan, Ghufron, dan Shiddiq, Sapiudin. 2010. Fiqih
Muamalat. Jakarta : Kencana.
Karim, Helmi. 1997. Fiqih Muamalah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
PT.
RajaGrafindo Persada.
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini. 2007. Kifayatul
Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtisar. Surabaya : CV. Bina Iman.
Abu Bakar Jabir Al Jazairi. 2000. Ensiklopedia Muslim. Jakarta : PT. Darul
Falah.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Terjemah Lengkap Bulughul Maram. Jakarta :
Akbar Media Eka Sarana.
Abdul Qadir Syaibah al-Hamd. 2007. Syarah Bulughul Maram. Jakarta:Darul
Haq.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram.
Jakarta : Pustaka Azzam.
Ath
Thayyar,
Abdullah
bin
Muhammad,
Al-Mutlaq,
Abdullah
bin