Anda di halaman 1dari 24

‘ARIYAH

A.     Pendahuluan

Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama
keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-
rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus
taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita kita
laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam meminjam (‘Ariyah).
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur,
antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram
semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah
ada aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan,
seperti meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat
terhadap ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh
agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan ‘Ariyah ada beberapa hal yang harus
diperhatikan diantaranya Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir adalah orang yang berakal dan dapat
bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad
‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis
atau musnah, seperti makanan, minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang
yang utuh dan tidak musnah contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan
oleh peminjam.
Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai ‘Ariyah (pinjam meminjam)
dan segala ruang lingkupnya, sehingga kita bisa memahami dan menjadikannya sebagai
pedoman yang benar untuk melakukan transaksi dalam proses pinjam meminjam.

B.      Susbtansi kajian


1.  DEFINISI ‘ARIYAH
Berkata Syaikh Abu Syujak :
‫ وك ّل ما أمكن االنتفاع به مع بقاء عينه جازت إعارته إذا كانت منافعه اثارًا‬: ‫فصل في العا ية‬.

Artinya : Setiap yang boleh dipergunakan manfaatnya dengan kekal zatnya, boleh
pula dipinjamkan (kepada orang), apabila manfaatnya kekal (tidak menjejas zatnya).
Berkata Ibnu Rif’ah: Hakikat Ariyah (pinjaman) yaitu memperbolehkan mengambil
manfaat terhadap apa yang dibolehkan. Syarak memanfaatkannya dengan syarat kekal
zatnya untuk dikembalikan kepada yang punya. Al-Mawardi menamakannya
mendermakan manfaat dari sesuatu benda.1[1]
Pinjaman adalah mengambil manfaat dari barang orang lain dalam waktu yang
ditentukan dan untuk maksud tertentu pula, dengan syarat bahwa barang itu barang kemas
dan tidak akan rusak ‘ainnya (keasliannya).2[2]
Lafadz ‘Ariyah dengan ditasydid huruf yak-nya menurut pendapat yang lebih shahih
adalah diambil dari lafadz “Aara”. Artinya “ketika sesuatu telah pergi”, sedangkan
hakekatnya menurut pengertian syara’ “Ariyah” adalah memenangkan dalam mengambil
manfaat dari orang yang ahli karena Allah dengan barang yang halal untuk mengambil
manfaatnya beserta kelangsungan keadaannya, agar orang yang meminjam
mengembalikan kepada orang yang karena Allah itu.3[3]
Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi.
Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama artinya
dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam
konteks tradisi pinjam meminjam.4[4]
Al Ariyah di ambil dari kata Al Uryu yaitu terlepas dari pinjaman barang ini tidak
memerlukan kompensasi

4
Secara terminologi Al Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang
masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya.
Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan
kepadanya peminjaman dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama. 5[5]
As-Sarkhasi dan para ulama’ Madzhab Maliki mendefinisikan i’aarah sebagai
pemberian kepemilikan terhadap manfaat tanpa imbalan. Dinamakan I’aarah karena ia
tanpa imbalan.6[6]
Adapun para ulama’ Madzhab Syafi’i dan Hambali 7[7], mereka mendefinisikan
I’aarah sebagai pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu
benda yang dimiliki tanpa adanya imbalan. Ia berbeda dengan hibah karena kad pinjam
meminjam ini berlaku pada manfaat saja. Adapun akad hibah maka ia berlaku pada sosok
benda itu secara langsung.
Perbedaan antara kedua definisi ‘Aariyah di atas adalah bahwa definisi pertama
menunjukkan pemberian kepemilikan manfaat, sehingga peminjam boleh meminjamkan
kembali apa yang dia pinjam kepada orang lain, sedangkan definisi kedua hanya
menunjukkan adanya kebolehan mengambil manfaat, sehingga peminjam tidak boleh
meminjamkan apa yang dia pinjam atau menyewakannya kepada orang lain.

Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan


‘ariyah, antara lain :
1)     Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil
manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada
pemiliknya.8[8]
2)     Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah al-Juhaili, ‘ariyah
adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan,. Adapun menurut al-

8
Syafi’iyah dan al-Hanabah ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu
barang tanpa adanya imabalan.9[9]
3)     Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang
tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang
untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan.10[10]

Ariyah pada asal hukumnya adalah sunnah karena sangat dirasa keperluannya. Tapi
kadang-kadang hokum sunnah tersebut bisa berubah menjadi Wajib, seperti contoh:
meminjamkan pakaian yang menjadikan sahnya suatu shalat atau meminjamkan alat
penyelamat pada orang yang akan tenggelam atau juga meminjamkan alat penyembelih
binatang yang dimulyakan syara’.
Para ulama’ Fiqh membedakan pengertian ‘Ariyah dan hibah, kendatipun keduanya
mengandung pengertian kebebasan memanfaatkan barang. Menurut mereka dalam ‘ariyah
unsur yang dipinjam hanya manfaatnya, serta dalam jangka waktu yang terbatas.
Sedangkan hibah terkait dengan materi barang yang disedekahkan dan tidak memiliki
batas waktu.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh
jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun
masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau
transaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang
lainnya.
Mengenai definisi ‘Ariyah, para ulama’ mengemukakan pendapat mereka. Ulama’
Malikiyah ,dan Imam as-Syarakhsi (tokoh fikih Hanafi), mengemukakan definisinya:
‫تمليك المنفعة بغير عوض‬
“Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.”
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbali mengemukakan definisinya :
‫ض‬
ٍ ‫إ باحة المنفعة بال عو‬
“Kebolehan memanfaatkan barang (orang lain) tanpa ganti rugi.” 11[11]

10
‘Ariyah termasuk salah satu bentuk transaksi tolong menolong yang murni yang
terlepas dari unsur komersial.
Contoh : “Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak
memanfaatkan barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah dengan ketentuan bahwa si B
berhak menempati rumah tersebut hingga waktu tertentu sebagai sebuah pinjaman yang
benar, diperbolehkan, wajib diganti jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan
pada waktu yang telah disepakati. Mu’ir (orang yang meminjamkan) menyerahkan rumah
tersebut di atas kepada musta’ir (orang yang meminjam) dan musta’ir menerimanya
dengan penerimaan yang syar’I kemudian rumah tersebut berada dalam pemanfaatannya.
Dan masing-masing dari kedua belah pihak menerima kesepakatan ini dari pihak satunya
dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian (disebutkan
tanggalnya).12[12]
‘Ariyah dinyatakan berlangsung dengan ucapan dan perbuatan apa saja yang
menunjukkan hal itu.

2.     HUKUM DAN DASAR ‘ARIYAH


‘Ariyah hukumnya sunnah yang didasarkan dari Al-Qur’an, Hadits, dan ijma’.
Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah :
            

5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,


6. Orang-orang yang berbuat riya.
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Dalam Surat Al-Ma’idah, Allah berfirman :
           
           
           
           
          

11

12
Artinya : Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan,
serta janganlah tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. Al-Ma’idah :
2)13[13]

Rasulullah SAW bersabda :


‫ ما كا ن العبد في عون أخيه‬9‫وهللا فىي عون العبد‬
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya” (shahih:
Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)14[14]
Dasar dari hadits adalah bahwa Abu Dawud dan at-Turmudzi meriwayatkan hadits
yang bersumber dari Abu Umamah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda dalam khutbah
haji wada’:
‫والعا رية مؤداة‬
“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu
Dawud dan at-Turmudzi)15[15]
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan :
ٌ‫ بل عارية مضمو نة‬: ‫ أغصبًا يا محمدُ؟ قال‬:‫أن النّب ّي صلى هللا عميه وسلّم استعار منه أدراعا يوم حنين فقال‬
ّ
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai daripada
Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus
dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang
dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)16[16].
‫من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ا ّدى هللا عنه ومن اخذ ير يد إتالفها اتلفه هللا‬
(‫)رواه البخاري‬
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan
membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka
Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).

13

14

15

16
Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqaha’ sepakat di syariatkannya ‘ariyah. ‘Ariyah
disunahkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Ibnu Hubairah berkata, “Ulama’ sepakat bahwa ‘ariyah hukumnya boleh sebagai
ibadah yang disunahkan sehingga orang yang meminjamkan mendapatkan pahala. 17[17]
Ada pendapat yang menyatakan bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Ibnu Taimiyyah
berpendapat bahwa ‘ariyah wajib bagi orang kaya yang memiliki barang yang dapat
dipinjamkan, kepada seseorang yang amat membutuhkan yang bila orang itu tidak diberi
pinjaman menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama,
seperti ia akan mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,
Akan tetapi, bila seseorang memberikan pinjaman yang dengan meminjamkan itu ia
bermaksud menganiaya peminjam atau peminjam itu akan memanfaatkan harta yang
dipinjamnya itu untuk berbuat maksiat, maka hukum ‘ariyah menjadi haram. Dengan
demikian, didasarkan pada kondisi-kondisi yang amat bervariasi, hukum pinkam-
meminjam pun bisa amat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh, ataupun mubah.
Madzhab Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa ‘ariyah merupakan akad yang
menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu
dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak
peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena
manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi
pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkannya kepada orang
lain.
Madzhab Syafi’i, Hanafi , Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al Karkhi berpendapat,
bahwa akad ‘ariyah hanya bersifat memanfaatkan benda tersebut karena itu
pemanfaatannya terbatas kepada pihak kedua saja (peminjam) dan tidak boleh
dipinjamkan kepada pihak lain, namun, semua ulama’ sepakat, bahwa benda tersebut tidak
boleh disewakan kepada orang lain.
Ulama’ juga berbeda pendapat dalam menentukan hukum, berdasarkan sifat
peminjam.
Jumhur ulama’ berpendapat, bahwa pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas
pada izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.
17
Ulama’ Madzhab Hanafi membedakan antara ‘ariyah yang bersifat mutlak dan
terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak ketiga), maka peminjam
(pihak kedua), berkewajiban mengganti kerugian, sekiranya terjadi kerusakan dan
mengganti sepenuhnya sekiranya benda itu hilang.
Ulama’ Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa akad ‘ariyah
sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak. Pihak pertama (pemilik barang) boleh
membatalkan pinjaman tersebut kapan saja dia kehendaki dan peminjam pun (pihak
kedua) boleh mengembalikan benda tersebut, bila dia kehendaki, apakah pinjaman mutlak
atau terbatas.
Ulama’ Madzhab Maliki mengatakan, bahwa pihak yang meminjamkan barang
(pihak pertama), tidak dapat mengambil barang ‘ariyah sebelum dimanfaatkan oleh
peminjam (pihak kedua). Demikian juga halnya, apabila dalam akad ‘ariyah itu ada
disebutkan tenggang waktu. Sebelum jatuh tempo, barang itu tidak boleh dibatalkan.
Diantaranya hukum-hukum al-ariyah adalah sebagai berikut :
a.       Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah.
Contoh : seseorang tidak boleh meminjamkan orang Muslim untuk melayani orang kafir.
b.      Jika Mu’ir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan bahwa musta’ir (peminjam)
berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta’ir wajib
menggantinya.
c.       Musta’ir (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia
mengembalikanya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali
oleh kuli pengangkut atau dengan taksi.
d.      Musta’ir (peminjam) tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamkannya. Adapun
meminjamkannya kepada orang lain, maka tidak apa-apa dengan syarat mu’ir
merelakannya.
e.       Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta
pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang
meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah
tersebut hingga tanaman yang diatasnya di panen.
f.        Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunahkan tidak meminta
pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman. 18[18]

3.     RUKUN-RUKUN ARIYAH

‘Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adanya unsur-unsur yang
mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud sebagai suatu hukum. Dalam hal
ini sudah pasti ada beberapa rukun yang harus dipenuhi.
Adapun rukun ‘Ariyah menurut Jumhur Ulama’ ada empat, yaitu :
a)     Al Mu’ir (orang yang meminjamkan), disyaratkan ahli mengendalikan harta (tasarruf) dan
berhak penuh atas hartanya itu.
b)     Al-Musta’ir (Orang yang meminjam), disyaratkan jelas dan ahli mengendalikan harta.
c)      Al-Mu’ar (barang yang dipinjam), disyaratkan mengandung manfaat yang dibolehkan kekal
‘ainnya. Tidaklah sah meminjamkan makanan, uang, dll, yang berubah atau habis ‘ainnya.
d)     Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam meminjam. 19[19]
Seperti, “Aku pinjamkan barang ini kepadamu selama sebulan”.

4.     SYARAT-SYARAT ‘ARIYAH

a)     Al-Mu’ir (orang yang meminjamkan) adalah orang yang harus berakal dan dapat (cakap)
bertindak atas nama hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai
memegang amanah. Padahal barang ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus
dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan
orang bodoh tidak boleh melakukan akad atau transaksi ‘ariyah. Menurut para ulama’
Madzhab Hanafi, tidak disyaratkan baligh dalam akad ini.
b)     Barang yang dipinjam dapat dimanfaatkan dengan kondisi tetap utuh, dan bukan barang
yang musnah atau habis seperti makanan. Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah
yang apabila dimanfaatkan seperti rumah, pakaian, dan kendaraan.
18

19
c)      Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya,
dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu
dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.20[20]
d)     Manfaat yang diambil adalah mubah. Misalnya apabila meminjam kendaraan orang lain
hendaknya kendaraan itu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan
syara’, seperti digunakan untuk silaturahmi, berziarah ke berbagai masjid dan sebagainya.
Apabila kendaraan itu digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela
oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. Ia dicela karena
pemanfaatannya tidak sesuai dengan syara’ yaitu tolong menolong dalam kebaikan. 21[21]

Dalam Fathul Qorib juga disebutkan syarat-syarat tentang ‘ariyah:


a)     ‘Ariyah tidak sah tanpa adanya izin dari Mu’ir (orang yang meminjamkan).
b)     Barang yang dipinjamkan bermanfaat bagi si peminjam.
c)      Barang yang dipinjam boleh tanpa adanya batasan waktu. Jika Mu’ir tidak memberikan
batasan waktu.
d)     Barang yang dipinjam oleh Musta’ir rusak, maka Musta;ir harus bertanggung jawab
terhadap barang tersebut meskipun barang tersebut belum dipakai sama sekali. 22[22]
Para ulama’ telah menetapkan bahwa pinjam-meminjam sah pada semua benda yang
dapat dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu dan manfaatnya boleh untuk
diambil, seperti rumah, tanah, pakaian, hewan, tunggangan dan semua yang dikenali
dengan sosoknya, tetapi, tidak boleh meminjamkan para budak wanita untuk digauli. Juga
dimakruhkan meminjamkan budak wanita untuk membantu, kecuali jika untuk kerabat
dzawil arham yang merupakan mahramnya, karena bisa jadi orang yang dipinjami itu akan
berkhalwat dengan si budak lalu menggaulinya. 23[23] Dan diharamkan meminjamkan
senjata dan kuda untuk orang kafir harbi (yang memerangi umat Islam)., juga mushaf Al-

20

21

22

23
Qur’an dan sejenisnya kepada orang kafir serta binatang buruan kepada orang yang sedang
berihram.24[24]

5.  HUKUM TRANSAKSI ‘ARIYAH

1)     Mayoritas fuqaha’ dari kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa ‘ariyah
adalah transaksi jaiz (boleh/tidak mengikat). Oleh karena itu, orang yang meminjamkan
boleh menarik barangnya yang dipinjam kapan pun.
2)     Malikiyyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh menariknya kembali sebelum
dimanfaatkan oleh peminjam, ia wajib membiarkannya selama masa itu. Jika tidak
disyaratkan masa peminjaman, waktunya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
3)     Hanafilah berpendapat bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya jika tidak
merugikan peminjam, seperti jika seseorang meminjamkan tanah kepada orang lain agar ia
menanaminya. Dalam kasus ini, pemilik tanah boleh menarik tanahnya sebelum ditanami.
Jika telah ditanami, ia tidak boleh menarik tanahnya kecuali setelah peminjam
mendapatkan hasil dari tanaman itu.25[25]
Pendapat yang rajah (valid) adalah bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya
jika tidak merugikan peminjam. Namun, jika dapat merugikannya, ia harus memberikan
tenggang waktu agar tujuan peminjaman tersebut dapat tercapai dan penarikan tersebut
pada waktu yang tidak akan merugikan peminjam. Dengan demikian, tujuan pinjam-
meminjam telah tercapai.

6.     KEWAJIBAN MENGEMBALIKANNYA

Si peminjam wajib mengembalikan barang pinjaman yang ia pinjam, setelah ia


mendapatkan manfaat yang ia perlukan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 58 :

24

25
             
              
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.26[26]

Dari abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

‫ا ّداالمانة الى من اءتمنك وال تخن من خا نك‬

“Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberikan amanat kepadamu, dan


janganlah kau berbuat khianat, kendatipun kepada orang yang pernah mengkhianatimu.”
(Abu Daud. Tirmidzi, Darimiy).27[27]
(Dikeluarkan oleh Abu Daud, dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Hakim).
Orang yang meminjam dialah yang bertanggung jawab atas barang yang
dipinjamnya itu, baik berkenan dengan penggantiannya bila rusak atau ongkos
pengembaliannya.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

)‫ على اليد ماأخذت حتى تؤ ّدي (رواه أبوداود والتر مدى‬:‫عن سمرة رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا غليه وسلم قال‬

“Dari Sumurah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Wajib atas tangan menjaga apa
yang telah dipinjam sampai barang itu dikembalikan”” (H.R. Abu Dawud dan Tirmizi)28[28]
Dalam hadis lain disebutkan:

26

27

28
.‫ العا رية مؤداة والزعيم غارم والد ين مقضي‬:‫عن أبى أمامة رضي هللا عنه عن النبى صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫(رواهالترمدى‬

“Dari abu Umamah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “pinjaman itu mesti
dikembalikan, dan orang yang meminjam adalah orang yang berhutang, dan utang itu
harus di bayar.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan menshahihkannya dari Abu
Umamah, bahwa Rasulullah Saw bersabda :

ٌ‫العا رية مؤ ّداة‬

“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan. 29[29]


7.     KONSEKUENSI HUKUM AKAD PINJAM MEMINJAM

1)     Asal konsekuensi hukum pinjam meminjam

Konsekuensi hukumya, menurut para ulama’ Madzhab Maliki dan jumhur ulama’
Madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang ia pinjam tanpa memberi
imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai manfaat secara tradisi
dan kebiasaan.30[30]
Al- Kurkhi, para ulama’ Madzhab Syafi’I dan para ulama’ Madzhab Hanbali
mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam boleh
memanfaatkan benda yang dia pinjam. Maka ‘Ariyah adalah akad ibadah.31[31] Dan ‘Ariyah
menurut mereka adalah membolehkan peminjam untuk memanfaatkan benda yang dia
pinjam yang mempunyai nilai harta.

29

30

31
a.                        Hak-hak pemanfaatan Benda Pinjaman
Jumhur ulama, mengatakan bahwa peminjam boleh memanfaatkan benda pinjaman
sesuai dengan izin pemiliknya. Sedangkan para ulama’ Madzhab Hanafi mengatakan bahwa
hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad ini berbeda-beda sesuai dengan
bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.

b.                        Akad pinjam meminjam yang mutlak


Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa
menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain ketika akad.
Misalnya : seseorang meminjamkan tunggangan kepada orang lain tanpa menyebutkan
tempat dan batas waktunya. Juga tanpa menentukan apakah untuk ditunggangi atau untuk
mengangkut barang.
Konsekuensi dari akad pinjam-meminjam yang mutlak ini adalah menempati posisi
pemilik barang sehingga semua yang dilakukan pemilik terhadap barang itu dalam rangka
mengambil manfaat darinya.

c. Akad pinjam meminjam yang dibatasi


Akad pinjam meminjam yang dibatasi adalah dibatasi waktu dan penggunaannya
secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya adalah peminjam harus
memperhatikan batasan itu semampunya. Karena pada dasarnya sesuatu yang dibatasi
harus dipertimbangkan batasannya, kecuali jika memang tidak mampu untuk mengikuti
batasan itu karena tidak adanya faedah dan sejenisnya. Sehingga, batasan itu pun
diabaikan, karena dalam kondisi ini pembatasan itu sama saja dengan kesia-siaan.

2)  Status pinjaman, harus dijamin gantinya atau sekedar amanah


Para ulama’ Madzhab Hanafi mengatakan bahwa pinjaman adalah amanah di
tangan peminjam, baik ketika dipakai maupun tidak. Peminjam tidak harus memberikan
jaminan gantinya dalam semua kondisi, kecuali jika kerusakan terjadi karena
pelanggarannya atau ketidakseriusan dalam menjaganya.
Para ulama’ Madzhab Maliki mengatakan bahwa peminjam harus mengganti
pinjaman yang bisa disembunyikan seperti pakaian, perhiasan, dan perahu yang sedang
berjalan diatas air, jika ia rusak atau hilang. Hal ini jika tidak ada bukti yang menunjukkan
bahwa hilangnya atau rusaknya barang pinjaman itu bukan karena ulah peminjam.
Menurut pendapat yang ashah dalam Madzhab Syafi’i, pinjaman harus di ganti
nilainya oleh peminjam hari kerusakan jika ia rusak karena pemakaian yang tidak
diizinkan, walaupun pemakaian itu tidak berlebihan.
Para ulama’ Madzhab Hanbali dalam pendapatnya yang kuat menyatakan bahwa
peminjam harus mengganti barang pinjaman secara mutlak jika ia rusak atau hilang, baik
itu karena pelanggarannya atau tidak. Ganti tersebut adalah nilainya ketika barang itu
rusak atau hilang.32[32]
a.      Pemberi pinjaman mensyaratkan adanya jaminan ganti
Para ulama’ Madzhab Hanafi mengatakan bahwa adanya jaminan ganti untuk
barang yang dia pinjamkan, maka persyaratan itu tidak sah.
Para ulama’Madzhab Maliki berkata bahwa jika pemilik barang mensyaratkan
adanya jaminan ganti dari peminjam dalam kondisi ketika jaminan ganti tidak diwajibkan,
maka peminjam tidak perlu memberikannya namun cukup memberikan bayaran sewa
yang umum untuk pemakaian barang itu. Karena syarat adanya jaminan ganti itu
mengeluarkan akad peminjaman dari statusnya menjadi akad sewa menyewa tidak sah.
Para ulama’ Madzhab Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa jika peminjam
mensyaratkan agar peminjaman itu sekedar amanah atau tanpa jaminan ganti, maka
jaminan itu tidak gugur dan syarat itu pun tidak berlaku ketika terjadi pelanggaran
darinya. Karena semua akad yang mengharuskan adanya jaminan ganti tidak bisa diubah
oleh syarat yang ditetapkan, seperti barang yang diterima pada jual beli yang sah atau tidak
sah.33[33]

b.   Perubahan status pinjaman dari sekedar amanah menjadi harus dijamin gantinya
Menurut Madzhab Hanafi :
  Membuatnya hilang atau merusaknya.
  Tidak menjaganya ketika sedang memakainya atau menyewakannya.

32

33
  Menggunakannya untuk sesuatu yang tidak disepakati atau sesuatu yang tidak umum untuk
benda itu.
  Menyalahi kesepakatan dalam menjaganya.

3. Perselisihan antara pemilik barang dan peminjam

a. Perselisihan dalam asal akad atau sifatnya


Jika kedua pihak mengaku bahwa dia menerima barang itu sebagai pinjaman
sedangkan pemilik barang mengatakan bahwa itu adalah akad ‘Ariyah sedangkan
pemiliknya mengatakan bahwa pihak kedua ghassab, maka perkataan yang diterima adalah
perkataan pemilik barang dengan disertai sumpah. Ini berdasarkan pendapat Madzhab
Syafi’i.
Jika barang yang dipinjamkan rusak, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu
rusak karena pemakaian yang diizinkan, sedangkan pemberi pinjaman mengingkarinya,
dan berkata “ barang itu rusak karena dipakai untuk hal-hal yang tidak diizinkan”, maka
para ulama’ sepakat yang diterima adalah perkataan peminjam yang disertai sumpahnya.
Jika peminjam menyatakan bahwa dia telah mengembalikan barang pinjamannya,
namun pemiliknya mengingkarinya, maka pemiliknya tersebut harus bersumpah untuk
perkataannya itu.

b.   Berakhirnya akad peminjaman

1.      Pemberi pinjaman meminta agar pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena akad
peminjaman tidaklah mengikat, sehingga ia berakhir dengan pembatalan (fasakh).
2.      Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.
3.      Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan diri.
4.      Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
5.      Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad
karena kedunguan (safah).
6.      Al- Hajr yang disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan
kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari harta bendanya dan
tidak mengambilnya. Ini adalh untuk kepentingan para pemberi utangnya.

8.  MENANGGUNG RESIKO


Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan
atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan
penerima pinjaman harus bertanggung jawab.
: ‫ درعًا وثالثين بعيرًا قال‬9‫ قال لي رسو هللا صلياهلل عليه وسلم إذا أتتك رسلي فأعطهم ثالثين‬: ‫عن صفوا ن يعلى عن أبيه قال‬
ٌ‫ بل مؤداة‬: ‫ أوعارتةٌ مؤ داةٌ؟ قال‬,‫فقلت يا رسو ل هللا أعا رية مضمو نة‬
Dari Shafwan bin Ya’la dari bapaknya, ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda
kepadaku, “Apabila sejumlah kurirku datang kepadamu, maka berilah kepada mereka tiga
puluh baju besi dan tiga puluh ekor unta, “Kemudian dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah
ini pinjaman yang terjamin, ataukah pinjaman yang tertunaikan? “ Jawab beliau, “(Bukan),
tetapi pinjaman yang tertunaikan.” (Shahih: Shahih Abu Daud III no: 3045, ash-Shahihah
no: 630 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 479 no: 3549). 34[34]

9.     TANGGUNG JAWAB ‘ARIYAH

Peminjam wajib mengembalikan barang yang ia pinjam jika masih utuh. Jika barang
itu rusak, dalam kasus seperti ini terjadi kontroversi di kalangan fuqaha’ menjadi beberapa
pendapat sebagaimana berikut.

1)                 Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Atha’ asy-Syafi’i, Ishaq Ahmad, dan salah satu pendapat Malik
berpendapat bahwa jika barang pinjaman rusak, peminjam wajib menggantinya, baik

34
kerusakan itu akibat keteledorannya atau bukan. Mereka beragumentasi dengan hadits
Shafwan :

ٌ‫بل عارية مضمونة‬

“Akan tetapi pinjaman yang dijamin.”


Begitu juga hadits Samurah dari Rasulullah saw bersabda :

‫على اليد ما أخذت حتّى تؤديه‬

“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang diterima sampai ia mengembalikannya.”


(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi).35[35]

Selain itu, karena peminjam mengambil barang milik orang lain untuk diambil
manfaatnya saja, bukan untuk dirusakkan sehingga ia harus menggantinya jika terjadi
kerusakan.

2)              Al Hasan, an-Nakha’i, asy-Sya’bi, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, ats-Tsauri, dan Abu Hanifah
berpendapat bahwa tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak kecuali jika
disengaja. Mereka beragumentasi dengan hadits ‘Umar ibn Syu’aib, dari bapaknya, dari
kakeknya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ليس على المستعير غير المغل ضمان‬

“Peminjam yang tidak khianat tidak wajib mengganti.” (Riwayat al-Baihaqi).

Al-Muhgill adalah orang yang berkhianat. Di samping itu, karena ia telah memegang
barang pinjaman dengan seizin pemiliknya sehingga posisi barang tersebut sebagai amanat
seperti barang titipan.

35
3)              Imam malik dalam pendapat yang masyhur darinya, Ibnu al-Qasim, dan mayoritas ulama
yang sepaham dengannya berpendapat bahwa jika barang pinjaman berupa sesuatu yang
dapat disembunyikan, seperti baju dan perhiasan, maka wajib diganti jika rusak. Jika
barang itu berupa sesuatu yang tidak dapat disembunyikan, seperti kebun atau hewan,
tidak wajib diganti jika rusak. Begitu juga dengan sesuatu yang ada bukti atas
kerusakannya.36[36]
Pendapat yang rajah (valid) adalah wajib mengganti barang pinjaman jika rusak,
baik karena kesengajaan atau tidak berdasarkan hadits di atas. Selain itu, karena
kemashlahatan barang itu diperuntukkan bagi peminjam, bukan pemilik barang. Adanya
kewajiban mengganti barang membuat peminjam menjaga barang pinjaman dengan baik.

4)              Menurut Ulama’ Hanafiyah ‘ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Oleh karena itu
peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan disebabkan
oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang tersebut. Akan tetapi,
apabila kerusakan tersebut disengaja maka ia akan dikenakan ganti rugi.

Menurut Hanafiyah akad ‘ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah
menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut :
a.       Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.
b.      Apabila barang itu tidak dipelihara sama sekali.
c.       Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan akad yang berlaku, atau
tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika berlangsungnya akad.
d.      Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan
sejak semula dalam akad.

Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah akad yang mempunyai resiko
ganti rugi, baik disebabkan oleh peminjam ayau disebabkan hal-hal lain. Oleh sebab itu,
apabila barang tersebut rusak, atau hilang, baik disebabkan pemanfaatan barang itu oleh
peminjam maupun oleh sebab-sebab lainnya di luar jangkauan peminjam, maka menurut

36
Hanabilah pihak peminjam wajib membayar ganti rugi semenjak barang itu rusak atau
hilang. Alasan mereka adalah hadits Rasulullah saw. sebagai berikut :

)‫على اليد ما أخذت حتّى تؤديه (رواه أحمد والحاكم‬

“Orang yang mengambil barang orang lain bertanggung jawab atas resikonya
sampai ia mengembalikannya.” (HR. Ahmad dan Hakim).

Menurut Ulama’ Syafi’iyah, apabila kerusakan barang itu disebabkan oleh


pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi,
baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh orang lain. Alasan mereka adalah hadits
Sofwan Ibnu Umaiyah yang mengatakan bahwa “ariyah itu dikenakan ganti rugi” (HR. Abu
dawud dan Ahmad). Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas pemanfaatan
yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam itu tidak dikenakan ganti rugi.
Ulama’ Malikiyah menyatakan bahwa apabila barang yang dipinjamkan itu dapat
disembunyikan seperti pakaian, cincin, kalung, dan jam tangan, lalu peminjam mengatakan
bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia
dikenakan ganti rugi. Akan tetapi, apabila ia dapat membuktikannya, ia tidak dikenakan
ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang yang dipinjam itu termasuk jenis yang tidak dapat
disembunyikan seperti rumah, tanah, dan kendaraan, kemudian barang itu rusak ketika
dimanfaatkan maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw. sebagai berikut :

ٌ
)‫ضمان (رواه ابو داود والحاكم‬ ‫ليس على المستعير غير المح ّل‬

“Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi.” (HR. Abu Dawud
dan Hakim).37[37]
Menurut ketentuan agama, pihak peminjam tidak hanya sekedar wajib
mengembalikan pinjamannya apa adanya, tetapi ia juga wajib memelihara barang pinjaman

37
itu selama dalam tanggungannya. Pihak peminjam bertanggung jawab sepenuhnya atas
barang hilang atau rusak, disebabkan kelalaiannya atau karena pemakaian yang
berlebihan. Karena itu, bila barang yang dipinjamnya itu hilang ditangannya maka ia wajib
menggantinya, serta bila rusak maka ia wajib memperbaiki atau mengganti kerugian
karena kerusakan itu. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda :

‫على اليد ما أخذت حتى تؤديه‬

“ Pemegang berkewajiban memelihara apa yang sudah ia terima sampai benda itu
dipulangkan kembali kepada pemiliknya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,, Ahmad, dan
Darimiy).38[38]

Bertolak dari prinsip tidak boleh ada pihak yang dirugikan dan merugikan dalam
suatu transaksi, maka kewajiban dari pihak peminjam untuk mengganti atau memperbaiki
barang yang hilang atau rusak di tangannya merupakan suatu yang bisa diterima akal.
Karena pihak peminjam memperoleh manfaat dan keuntungan dari benda yang
dipinjamnya, yang merupakan milik pihak lain, maka tidaklah layak bila ia berdiam diri
tanpa mengganti rugi sesuatu yang rusak ditangannya akibat kelalaiannya sendiri.

10.   MEMINJAMKAN DAN MENYEWAKAN ‘ARIYAH

1)     Sebagaian fuqaha’, diantaranya Hanafiyah, berpendapat bahwa peminjam boleh


meminjamkan barang yang ia pinjam kepada orang lain meskipun pemilik barang itu tidak
memberi izin. Hal ini jika barang tidak berubah meskipun dipinjamkan lagi kepada orang
lain.
2)     Sebagian fuqaha’ diantaranya Hanabilah, berpendapat bahwa peminjam tidak boleh
meminjamkan barang yang ia pinjam atau menyewakannya kepada orang lain kecuali
dengan izin pemilik barang.

38
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak boleh meminjamkan atau menyewakannya
kepada orang lain kecuali dengan izin pemilik barang karena pemilik barang meminjamkan
kepadanya, bukan kepada orang lain. Mungkin saja pemilik tidak menyukai tindakan
peminjam.
Namun demikian, ada benarnya juga pendapat yang menyatakan bolehnya
meminjamkan barang pinjaman, khususnya jika ada pernyataan untuk mengganti
kerusakan pada barang pinjaman, baik disengaja maupun tidak. Hal ini karena barang milik
orang yang menyewakan merupakan sesuatu yang harus ditanggung. Karena itu, tidaklah
relevan pendapat yang membolehkan untuk meminjamkannya tanpa adanya jaminan
untuk mengganti jika rusak karena berarti telah menghilangkan hak pemilik tanpa ada
keinginan darinya.39[39]

      Syarat tidak Mengganti Barang Pinjaman

1)     Sebagian ulama’ berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ‘ariyah dapat
menggugurkan tanggungan, dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad. Jika pemilik
barang memberi izin kepada peminjam untuk merusak barang pinjamannya, maka tidak
wajib menggantinya. Begitu pula jika pemilik barang membebaskan peminjam dari
kewajiban mengganti pinjaman.
2)     Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ‘ariyah tidak dapat
diberlakukan, dan ini meripakan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini berdasarkan hadits
(artinya), “Tidak, tetapi barang pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad).
Hal ini karena semua transaksi yang mempunyai konsekuensi menjamin tidak dapat
diubah oleh syarat.40[40]
Pendapat yang rajih (valid) bahwa pada asalnya, ‘ariyah wajib ditanggung (diganti).
Hal ini merupakan hak pemilik barang. Namun, jika pemilik menghapuskan kewajiban
untuk menanggung karena keinginan dan kehendaknya sendiri, dalam hal ini dibenarkan.

      Cara menanggung


39

40
Fuqaha’ berpendapat bahwa wajib mengganti barang yang rusak dengan barang
sejenis. Jika tidak ada, dengan mengganti harganya saat dirusakkan. Jika yang rusak hanya
sebagaiannya, dalam hal ini dihitung bagian yang rusak saja.41[41]

C.   Kesimpulan
‘Ariyah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di
gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan
ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan
berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.
‘Ariyah hukumnya sunnah/ mubah karena dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’un 5-7 dan
Surat Al-Maidah ayat 2 dianjurkan kepada manusia agar saling tolong menolong dalam
kebaikan, dan jangan tolong menolong dalam kejelekan.
Dalam melakukan ‘Ariyah ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh
oleh Al-Mu’ir maupun yang Al-Musta’ir. Rukun ‘Ariyah bagi Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir harus
disyaratkan ahli dalam mengendalikan harta, dan barang yang dipinjam diharapkan
memberikan manfaat kepada yang meminjam barang tersebut, dan barang tersebut harus
kekal dan tidak sah meminjamkan barang yang dapat habis. Dan yang terakhir harus ada
Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam meminjam.
Adapun syarat dalam melakukan ‘Ariyah yaitu Al Mu’ir harus berakal, barang yang
dipinjamkan harus bermanfaat, dan pihak peminjam harus menerima langsung barang itu
dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
Bagi Al Mu’ir kewajibannya yaitu : Memberikan wasiat kepada Al-Musta’ir, barang
yang dipinjamkan dapat bermanfaat bagi si peminjam, dan barang yang di pinjamkan halal.
Bagi Al-Musta’ir : Kewajiban mengembalikan barang pinjaman, Menanggung resiko
terhadap barang pinjaman, dan Al-Musta’ir harus bertanggung jawab terhadap barang
yang dipinjam.

41

Anda mungkin juga menyukai