Anda di halaman 1dari 9

‘Ariyah dan Ijarah

Shofiyyah Azizah
Fauziyatus Sa’diyah
Dhbbf

UIN Imam Bonjol Padang

University Of West Sumatra

Azizahshofiyyah820@gmail.com
dyhfauziyaa@gmail.com

dda
Kata Pengantar
Tulisan ini bertujuan untuk membahas pengertian ‘Ariyah dan Ijarah
‘Ariyah dan Ijarah
Pengertian Ariyah
Secara Bahasa 'Ariyah berasal dari kata i'arah yang berarti meminjamkan. Dalam
istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan 'ariyah dengan dua definisi yang berbeda.
Ulama hanafiyyah dan malikiyyah mendefinisikan 'ariyah sebagai berikut:
‫تمليك منفعة مؤقتة بال عوض‬
"Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan."
Sedangkan ulama Syafi'iyyah , Hanbilah dan Zahiriyyah, mendefinisikan 'ariyah sebagai
berikut:
‫إباحة االنتفاع بما يحل االنتفاع به مع يقاء عينه بالعوض‬

"Izin menggunakan barang yang dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan
wujudnya tanpa disertai imbalan."

Pengertian Ijarah
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti alwadh atau penggantian, dari
sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-Ajru atau upah.
Adapun secara terminologi, para ulama fiqh berbeda pendapatnya antara lain:
1. Menurut Sayyid Sabiq, al-ijanah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk
mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
2. Menurut Ularna Syafi'iyah al-ijarah adalah suatu jenis akad atau tran saksi
terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh
dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu.
3. Menurut Amir Syarifuddin al-ijarah secara sederhana dapat diarti kan dengan
akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut
Ijarah al'Ain, seperti sewa menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang
menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut Ijarah
ad-Dzimah atau upah mengupah, seperti upah mengetik skripsi. Sekalipun
objeknya berbeda keduanya dalam konteks figh disebut al-Ijarah.
Al-ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah
merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum asalnya menurut Jumhur
Ulama adalah mubah atau bolch bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh yara berdasarkan ayat al-Qur'an, hadis-hadis Nabi, dan ketetapan lima Ulama.

Dasar Hukum ‘Ariyah


Dasar hukum berlakunya ariyah adalah sebagai berikut:
1. QS. Al-Maidah (5): 2
‫وتعاونوا على البر والتقوى وال تعاونوا على اإلثم والعدوان واتقوا هللا إن هللا شديد‬

)۲( ‫العقاب‬

Artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."
2. Hadis
Ada beberapa hadis yang menjadi dasar berlakunya ariyah, yaitu:
a. Dari Syafwan Ibnu Umayah," Rasulullah saw meminjam kuda Abi Thalhah
dan mengendarainya" (HR. Bukhari-Muslim).
b. Dari Shafwan," Rasulullah saw meminjam baju perang Abu Shafwan, lalu ia
mengatakan: apakah hal itu merupakan pemakaian tanpa izin wahai
Rasulullah? Rasul menjawab: "Tidak, ini saya pinjam dengan jaminan. (HR.
Abu Daud).
c. "Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan" (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi).

Dasar Hukum Ijarah


Dasar-dasar hukum atau rujukan ijarah adalah Alquran, Al-Sunnah dan Al-ljma’
Dasar hukum ijarah dalam Alquran adalah:
)6 :‫فإن أرضعن لكم فأتوهن أجوره وهن أجورهن (الطالق‬
“ Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka” (Al-Thalaq: 6)
‫قالت إحدهماياء بت استأجره إن خير من استأجرت‬

)٢٦:‫القوي األمين (القصص‬

“Salah seorang dari wanita itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah dia sebagai pekerja kita
karena orang yang paling baik untuk dijadikan pekerja adalah orang yang kuat dan dapat
dipercaya” (Al-Qashash: 26), Dasar hukum ijarah dari Al-Hadis adalah:

‫ان يجف عرفه أعطوااألخيرا‬.

“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah).

)‫احتجم واعط الحجام أجره « اجره (رواه البخاری و مسلم‬


“Berbekamlah kamu kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”
(Riwayat Bukhari dan Muslim).

‫كنائكرى األرض بماعلى السوافي من الــــــع فــى رسول هللا ص م ذلك وامرتابة هب اوورق (رواه احمد‬

‫)و ابوداود‬

"Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh Lalu
Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang
mas atau perak" (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

Landasan Ijma'nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (ijma) ini, sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang
berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.

Rukun dan Syarat ‘Ariyah


Menurut mayoritas ulama, agar akad 'ariyah menjadi sah, maka harus memenuhi
beberapa rukun dan syarat yang akan diurai dalam deskripsi berikut:
1. Adanya mu'ir, yakni orang yang memberikan pinjaman, dengan syarat:
a. Inisiatif sendiri bukan paksaan;
b. Ahliyah dan wilayah untuk melakukan akad 'ariyah, dalam arti mu'ir adalah
orang cakap meminjamkan dan memiliki terhadap manfaat barang yang
dipinjamkan meskipun tidak memiliki hak pada barang tersebut. Misal barang
yang disewa.
2. Adanya musta'ir (orang yang meminjam), dengan syarat:
a. Musta'ir telah ditentukan, maka tidak sah akad 'ariyah pada salah satu dari dua
musta'ir yang tidak ditentukan;
b. Ahliyah dan wilayah untuk melakukan akad 'ariyah;
c. Musta'ir tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya kepada orang
lain tanpa mendapat izin dari mu'ir;
d. Musta'ir harus memanfaatkan mu'ar sesuai dengan ketentuan dari mu'ir terkait
cara, jenis, waktu dan tempat pemanfaatan mu'ar.
e. Musta'ir harus mengembalikan mu'ar dalam kondisi utuh seperti semula.
3. Adanya mu'ar/musta'ar (barang yang dipinjamkan), dengan syarat:
a. Manfaat mu'ar sesuai dengan yang dimaksud dari mu'ar tersebut. Maka tidak
sah akad 'ariyah pada pemotong keramik yang dipakai untuk memotong kaca;
b. Musta'ir bisa memanfaatkan mu'ar atau sesuatu yang dihasilkan darinya.
c. Manfaat mu'ar adalah manfaat yang dibolehkan syara'. Maka tidak sah akad
'ariyah pada barang yang manfaatnya tidak dibolehkan syara'.
d. Mu'ar dimungkinkan untuk dimanfaatkan dengan tanpa merusaknya (tetap
dalam kondisi utuh). Maka tidak sah akad 'ariyah pada makanan untuk
dikonsumsi atau pada sabun untuk dipakai mandi. Sebab bisa mengurangi atau
merusak (menghabiskan) barang yang dipinjamkan (makanan/sabun) tersebut.
4. Shighat (ijab dan qabul) yang menunjukkan pemberian dan penerimaan manfaat
mu'ar.
Ditinjau dari cara pemanfaatan mu'ar, 'ariyah dibagi menjadi 2 macam:
a. Ariyah muthlaqah, yakni peminjaman suatu barang oleh mu'ir kepada musta'ir
yang tidak ditentukan cara, waktu dan tempat pemanfaatannya pada mu'ar.
Maka musta'ir bebas memanfaatkan mu'ar sepuasnya sampai mu'ir meminta
mu'ar itu;
b. "Ariyah muqayyadah, yakni peminjaman suatu barang oleh mu'ir kepada
musta'ir yang ditentukan cara, waktu dan tempat pemanfaatannya pada mu'ar.
Maka musta'ir harus memanfaatkan mu'ar sesuai ketentuan tersebut.
Ditinjau dari manfaat yang diperoleh musta'ir, 'ariyah dibagi menjadi dua macam:
a. Manfaat asli/murni yang tidak berupa benda. Msial menempati rumah,
mengendarai mobil, dll;
b. Manfaat tidak murni (manfaat yang diambil dari benda yang dipinjam). Misal
tinta dari pena, susu dari kambing, buah dari pohon, dll.

Rukun dan Syarat Ijarah


Menurut Hanafiyah rukun al-ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah
pihak yang bertransaksi. Adapun menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat, yaitu:
1. Dua orang yang berakad.
2. Sighat (ijab dan kabul).
3. Sewa atau imbalan.
4. Manfaat
Adapun syarat-syarat al-ijarah sebagaimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai
berikut:
a. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi'iyah dan
Hanabilah disyaratkan telah baligh dan berakal Oleh sebab itu, apabila orang yang
belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah. Akan
tetapi, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad
itu tidak harus mencapai usia baligh. Oleh karenanya, anak yang baru mumayyiz pun
boleh melakukan akad al-ijarah, hanya pengesahannya perlu persetujuan walinya,
b. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaanya melakukan akad al-ijarah.
Apabila salah seorang di antaranya terpaksa melakukan akad ini, maka akad al-ijarah
nya tidak sah.
c. Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul
perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka
akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis
manfaatnya dan penjelasan berapa lama manfaat itu di tangan penyewanya.
d. Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada
cacatnya. Oleh sebab itu, para ulama figh sepakat, bahwa tidak boleh menyewakan
sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
Misalnya, seseorang menyewa rumah, maka rumah itu dapat langsung diambil
kuncinya dan dapat langsung boleh ia manfaatkan.
e. Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara'. Oleh sebab itu para ulama
fiqih sepakat mengatakan tidak boleh menyewa sorang untuk menyantet orang lain,
menyewa seorang untuk membunuh orang lain, demikian juga tidak boleh
menyewakan rumah untuk dijadikan tempat-tempat maksiat.
f. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa, misalnya menyewa orang
untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa atau menyewa orang yang belum haji
untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa akad
sewa menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban
penyewa itu sendiri.
g. Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti, rumah,
kendaraan, dan alat-alat perkantoran. Oleh sebab itu tidak boleh dilakukan akad sewa
menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai sarana
penjemur pakaian. Karena pada dasarnya akad untuk sebatang pohon bukan
dimaksudkan seperti itu.
h. Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai
ekonomi.

Macam-macam ‘Ariyah
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat
dibedakan menjadi dua macam :
1. ‘Ariyah Muqayyadah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu.
Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangka waktu tertentu. Dengan
demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan
lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang
berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat
karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar
batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada perbedaan
pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang,
tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir
karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan
keinginannya.
2. ‘Ariyah Mutlaqah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad
‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun
tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang
membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait
obyek yang akan dipinjamkan. Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam
akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut,
misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Namun demikian harus disesuaikan dengan
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang
malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman
rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.

Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi obyeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam
ijarah, yaitu:
1. Ijarah 'ala al-manafi
Ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk
di tempati, mobil untuk di kendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. Dalam ijarah ini
tidak dibolehkan menjadikan obyeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk
kepentingan yang dilarang oleh syara'. Karena akad ijarah memiliki sasaran manfaat
dari benda yang disewakan, maka pada dasarnya penyewa berhak untuk
memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya, bahkan dapat meminjamkan
atau menyewakan ke pada pihak lain sepanjang tidak mengganggu dan merusak
barang yang disewakan.
2. Ijarah 'ala al-'amaal ijarah
Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini, menurut para ulama fiqih,
hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang
jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu. Ijarah atas pekerjaan ini ada yang bersifat
peribadi (ijarah khas), dan ada yang bersifat serikat (ijarah musytarak).
3. Ijarah Khas Ijarah khas
Ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja
tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah. Misalnya
pembantu rumah tangga.
4. Ijarah musytarak
Ijarah musytarak ialah seorang atau kelompok orang yang menjual jasanya
untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang
jahit.

DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama.

Ihwanudin, Nandang, dkk. 2022. Etika Bisnis Dalam Islam (Teori dan Aplikasi). Bandung:
Widina Bhakti Persada Bandung.

Mardani. 2022. Hukum Perikat Syariah Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.

Wahab, Muhammad Abdul. 2018. Fiqh Pinjam Meminjam (‘Ariyah). Jakarta: Rumah Fiqh
Publishing.

Yakin, Ainul. 2018. Fiqh Muamalah Kajian Komprehensif Ekonomi Islam. Pemakasan: Duta
Media Publishing.

Anda mungkin juga menyukai