Anda di halaman 1dari 12

BAB VI

IJARAH (SEWA MENYEWA)


A. Pengertian dan Dasar Hukum
Ijarah menurut etimologi berarti upah, sewa, jasa, dan imbalan.
sedangkan menurut terminologi para ulama berbeda-beda dalam
memberikan definisi walaupun memiliki makna yang saling
berdekatan.
Ulama Hanafiyah, mendefinisikan ijarah adalah :

‫عقد على املنافع بعوض‬


“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”
Sementara ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:

‫متليك بعوض منافع شيء مباحة مدة معلومة‬


“Pemilikan manfaat dengan suatu imbalan terhadap sesuatu yang
dibolehkan dalam waktu tertentu.”
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, ada beberapa
karakteristik akad ijarah yaitu:
a. Ijarah merupakan akad yang obyeknya adalah manfaat, bukan
benda (al-‘ain). Ini untuk membedakannya dengan jual beli dan
hibah yang obyeknya adalah benda/barang. Namun demikian, Para
ulama fiqh tidak membolehkan ijarah terhadap nilai tukar/uang
karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya;
sedangkan dalam al-ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu
benda. Selain itu menyewakan uang berarti cenderung kepada
adanya kelebihan pada barang ribawi yang cenderung kepada riba
yang jelas diharamkan.
b. Manfaat yang menjadi obyek ijarah adalah manfaat terhadap
sesuatu yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan syara’. Oleh
karena itu, menyewa penari dan penyanyi yang gerakan atau isi
lagunya menyalahi ketentuan hukum Islam maka dilarang.
c. Hak memanfaatkan dalam ijarah harus disertai dengan imbalan. Hal
ini untuk membedakan dengan akad pinjam-meminjam (‘iarah),
wasiat, dan hibah manfaat yang kesemuanya merupakan pemberian
hak pemanfaatan terhadap sesuatu tanpa disertai dengan imbalan
(’iwadl)
Dasar hukum dibolehkannya akad ijarah adalah terdapat pada
firman Allah surat Ath-Thalaq ayat 6:” Jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu, maka berikanlah upah kepada mereka.”, Al-Qashash ayat 26:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata ‘hai ayahku! Ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.” al- Baqarah ayat 233 yang artinya:“ Dan apabila kamu ingin
anakmu disusui oleh orang lain, maka tidaklah ada dosa atasmu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang pantas. Bertakwalah kamu kepada Allah,
dan ketahuilah bahwa Allah itu Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasai dari Sa’ad bin
Waqas:”Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman
yang tumbuh, lalu Rasulullah melarang cara itu dan memerintahkan kami agar
membayarnya dengan uang emas atau perak.” Hadis riwayat Abu Ya'la, Ibn
Majah, ath-Thobroni, dan at-Tirmidzi: “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.”
Di samping Al-Qur’an dan As-Sunnah, umat Islam pada masa
sahabat telah berijma’ bahwa ijarah diperbolehkan sebab bermanfaat bagi
manusia.

B. Rukun dan Syarat Ijarah


Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah itu terdiri dari ijab
(ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-
menyewa). Akan tetapi jumhur Ulama mengatakan bahwa rukun ijarah
ada empat, yaitu:
1). Orang yang berakad
2). Sewa/imbalan
3). Manfaat,
4). Shighat (ijab- qabul) .
Sedangkan syarat-syarat ijarah yaitu:
1. Untuk kedua orang yang berakad (al-muta’aqidain), menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh
sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak
kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka
(sebagai buruh), menurut mereka ijarahnya tidak sah. Akan tetapi
ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang
yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh. Anak yang telah
mumayiz pun boleh melakukan akad ijarah. Namun mereka
mengatakan, apabila seorang anak yang mumayiz melakukan akad
ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu baru dianggap sah
apabila disetujui oleh walinya.
2. Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad ijarah. Apabila salah seorang di antaranya terpaksa
melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah.
3. Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna,
sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari. Apabila manfaat
yang akan menjadi obyek ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak
sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan
manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat di tangan penyewa.
Dalam masalah penentuan waktu sewa ini, ulama Syafi’iyah
memberikan syarat yang ketat.
4. Obyek ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung
dan tidak cacat. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat bahwa tidak
boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan
dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
5. Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu
para ulama fiqh sepakat menyatakan tidak boleh menyewa seseorang
untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh
orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh
menyewakan rumah kepada orang non muslim untuk dijadikan
tempat ibadah mereka. Menurut mereka, obyek sewa menyewa dalam
contoh di atas termasuk maksiat, sedangkan kaidah fiqh menyatakan:

‫اإلستئجار على املعصية الجيوز‬


“Sewa menyewa dalam masalah maksiat tidak boleh.”
6. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya,
menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa. Para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sewa menyewa seperti ini
tidak sah, karena shalat merupakan kewajiban bagi orang yang
disewa.
7. Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti
rumah, mobil, dan hewan tunggangan. Oleh sebab itu, tidak boleh
dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan
dimanfaatkan penyewa sebagai penjemur kain cucian, karena akad
pohon bukan dimaksudkan untuk penjemur cucian.
8. Upah/sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang
bernilai harta. Ulama Hanafiyah mengatakan upah/sewa itu tidak
sejenis dengan manfaat yang disewa. Akan tetapi jumhur ulama tidak
menyetujui syarat ini, karena menurut mereka antara sewa dengan
manfaat yang disewakan boleh sejenis, seperti yang dikemukakan
ulama Hanafiyah.
9. Jika barang yang disewakan rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang diperbolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas
kerusakan tersebut.
10. Penyewa menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya
ringan (tidak materiil).

C. Sifat dan Hukum Akad Ijarah


1. Sifat Akad Ijarah
Para ulama fiqh sepakat bahwa akad ijarah merupakan akad yang
bersifat mengikat (mulzim) karena ijarah merupakan akad tukar menukar
(mu’awadlah) antara harta dengan manfaat. Sifat mengikat (luzum) tersebut
menurut para ulama fiqh merupakan prinsip dasar dari akad tukar
menukar. Mereka mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah/laksanakan akad-akad
kalian”. Ayat ini menunjukkan wajibnya memenuhi akad, karenanya,
apabila salah satu pihak membatalkan akad, maka akad tersebut tidak
terlaksana. Walaupun demikian para ulama berpendapat bahwa ijarah
bisa dibatalkan secara umum karena adanya cacat atau halangan-
halangan (al-‘a’dzar). Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada sub bab
berikutnya.

2. Hukum Akad Ijarah


Hukum akad ijarah dikatakan shahih ketika manfaat tetap
berlangsung bagi penyewa dan upah bagi pekerja atau orang yang
menyewakan barang sewaan, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran.
Menurut ulama hanafiyah hukum akad ijarah rusak, jika penyewa
telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang
bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini terjadi
bila kerusakan tersebut pada syarat. Akan tetapi jika kerusakan
disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Ja’far dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama
dengan jual beli fasid, yaitu harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran
yang dicapai oleh barang sewaan.

D. Macam-macam Ijarah
Dilihat dari segi obyeknya, ijarah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
Ijarah manfaat benda atau barang (manafi’ al-a’yan) dan ijarah manfaat
manusia (manafi’ al-insan).
Ijarah manfaat benda atau barang (manafi’ al-a’yan) umpamanya
adalah sewa menyewa rumah, toko, kendaraan dan pakaian. Apabila
manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk
dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan
obyek sewa menyewa.
Ijarah manfaat benda/barang dibagi menjadi tiga macam:
1. Ijarah benda yang tidak bergerak (uqar), yaitu mencakup benda-
benda yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan
menggunakannya seperti sewa rumah untuk ditempati atau sewa
tanah untuk ditanami.
2. Ijarah kendaraan (kendaraan tradisional maupun modern) seperti
unta, kuda dan benda-benda yang memiliki fungsi sama seperti
mobil, pesawat, dan kapal.
3. Ijarah barang-barang yang bisa dipindah-pindahkan (al-manqul),
seperti baju, perabot, dan tenda.
Sedangkan ijarah yang berupa manfaat manusia merupakan ijarah
yang obyeknya adalah pekerjaan atau jasa seseorang, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu, dokter, konsultan,
dan advokat. Ijarah jenis ini dibagi menjadi dua macam:
1. Ijarah manfaat manusia yang bersifat khusus (al-khas), yaitu
seseorang yang disewa tenaga atau keahliannya secara khusus oleh
penyewa untuk waktu tertentu. Dan dia tidak bisa melakukan
pekerjaan lain kecuali pekerjaan atau jasa untuk penyewa tersebut,
seperti pembantu rumah tangga hanya mengerjakan pekerjaan
untuk tuan rumahnya bukan pada yang lain.
2. Ijarah manfaat manusia yang bersifat umum (musytarik), artinya
pekerjaan atau jasa seseorang disewa/diambil manfaatnya oleh
banyak penyewa. Misalnya jasa dokter tidak hanya disewa orang
tertentu tetapi bisa banyak orang dalam waktu tertentu.

E. Tanggung Jawab Kerusakan atau Kerugian Pada Obyek


Ijarah
Apabila seseorang menyewa sesuatu barang/benda untuk
dimanfaatkan, seperti rumah atau mobil, maka tanggung jawab penyewa
terhadap obyek sewa bersifat amanah, yaitu dia tidak dituntut tanggung
jawab atas kerusakan barang yang berada dalam kuasanya kecuali
kerusakan tersebut terjadi atas kelengahan atau kecerobohannya dalam
menjaganya. Apabila ia menggunakan obyek akad ijarah tersebut sesuai
dengan syarat-syarat yang disepakati dalam akad dan tidak bertentangan
dengan kebiasaan dalam penggunannya, maka tanggung jawab tetap
pada pemilik barang sewaan.
Demikian juga yang terjadi pada ijarah yang berupa pekerjaan atau
jasa manusia, khususnya yang bersifat khusus (al-khas), para ulama fiqh
sepakat bahwa apabila obyek yang dikerjakannya itu rusak di tangannya,
bukan karena kelalaian dan kesengajaan, maka ia tidak boleh dituntut
ganti rugi. Apabila kerusakan itu terjadi atas kesengajaan atau
kelalaiannya, maka menurut kesepakatan pakar fiqh, ia wajib membayar
ganti rugi. Misalnya sebuah piring terjatuh dari tangan pembantu rumah
tangga ketika mencucinya. Dalam kasus seperti ini, menurut kesepakatan
pakar fiqh, pembantu itu tidak boleh dituntut ganti rugi, karena pecahnya
piring itu bukan disengaja atau karena kelalaiannya.
Sedangkan ijarah yang berupa pekerjaan atau jasa manusia yang
bersifat umum (musytarik), maka apabila pekerjaan yang dilakukan
menimbulkan kerugian para ulama sepakat bahwa pekerja harus
bertanggung jawab bila kerugian tersebut timbul dari kecerobohan dan
kelalaiannya. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat bila kerugian
tersebut bukan karena kelalaian dan kecerobohannya. Menurut ulama
madzhab hanafi, Syafi’i dan Hambali ia tidak harus bertanggung jawab
karena akad ijarah bersifat amanah. Sedangkan menurut sebagian ulama,
di antaranya Abu Yusuf dan Syaibani, pekerja tersebut tetap harus
bertanggung jawab kecuali kerugian tersebut disebabkan oleh bencana
banjir atau kebakaran yang umumnya tidak bisa dikendalikan. Atau
menurut bahasa hukum konvensional dikenal dengan force majeure
(keadaan memaksa).

F. Berakhirnya Akad Ijarah


Pada prinsipnya ijarah merupakan akad yang mengikat (lazim)
kedua belah pihak yang melakukannya. Artinya ketika akad terjadi,
masing-masing pihak harus menunaikan kewajiban dan menerima hak
masing-masing serta tidak boleh membatalkannya (fasakh) kecuali ada hal-
hal yang menurut ketentuan hukum (syara’) dapat dijadikan alasan
pembatalan. Adapun hal-hal yang bisa menyebabkan batalnya akad ijarah
yaitu:
1. Salah satu pihak meninggal dunia. Ini merupakan pendapat ulama’
madzhab Hanafi. Bagi madzhab ini, waris hanya berlaku pada sesuatu
yang ada (wujud fisiknya) dan menjadi hak milik. Sementara, manfaat
yang diperoleh dari ijarah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap
dan ketika meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak ada
(ma’dum) dan tidak sedang dimilikinya. Maka sesuatu yang tidak
dimiliki mustahil bisa di wariskan. Oleh karena itu, akad ijarah harus
diperbaharui dengan ahli waris sehingga akad berlangsung dengan
pemiliknya (yang baru). Sedangkan menurut jumhur ulama, akad
ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad,
karena menurut jumhur ulama manfaat itu boleh diwariskan dan
ijarah sama dengan jual-beli, yaitu mengikat kedua belah pihak.
2. Terjadinya kerusakan pada barang sewaan, seperti rumah terbakar
atau mobil hilang.
3. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan
kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu jasa seseorang, maka
ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati uleh seluruh
ulama fiqh.
4. Menurut ulama Hanafiyah apabila ada uzur dari salah satu pihak,
seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang
banyak, maka akad ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan
akad ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak
mengalami kepailitan, dan berbpindah tempatnya penyewa, misalnya
seseorang digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur
itu selesai, penduduk desa itu pindah ke desa lain. Akan tetapi
menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad ijarah itu
hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat atau manfaat yang
dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
5. Berakhir dengan iqalah yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan
antara kedua belah pihak. Hal ini karena ijarah merupakan akad
pertukaran (mu’awadlah) harta dengan harta. Oleh karena itu,
diperbolehkan adanya iqalah sebagaimana dalam jual beli.
G. Al-Ijarah al-Muntaha bit-Tamlik (IMBT)
Ijarah Muntahiyah Bittamlik (financial lease with purchase option)
adalah transaksi ijarah yang diikuti perpindahan hak kepemilikan atas
barang itu sendiri. IMBT di dalam Fatwa MUI nomor: 27/DSN-
MUI/III/2002 diartikan sebagai perjanjian sewa-menyewa yang disertai
dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada
Penyewa, setelah selesai masa aqad ijarah. Transaksi IMBT merupakan
pengembangan transaksi iajrah untuk mengakomodasi kebutuhan
masyarakat, karena IMBT merupakan pengembangan transaksi ijarah,
maka ketentuannya mengikuti ketentuan ijarah.
Rukun Ijarah Muntahia bit-Tamlik meliputi penyewa (musta’jir),
pemberi sewa (mu’ajir), objek sewa (ma’jur), harga sewa (ujrah), manfaat
sewa (manfa’ah) dan ijab qabul (sighat).
Adapun proses perpindahan kepemilikan objek dalam transaksi IMB
secara umum dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan
kepemilikan barang secara hibah dari pemilik objek sewa kepada
penyewa. Pilihan ini diambil bila kemampuan financial penyewa
untuk membayar sewa relatif lebih besar. Sehingga akumulasi sewa di
akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutup harga beli
barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank
b. Janji untuk menjual, yakni transaksi ijarah yang diikuti dengan janji
menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa kepada penyewa
dengan harga tertentu. Pilihan ini biasanya diambil bila kemampuan
financial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Karena sewa
yang dibayarkan relatif kecil, maka akumulasi nilai sewa yang sudah
dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli
barang tersebut dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Bila pihak
penyewa ingin memiliki barang tersebut, maka ia harus membeli
barang itu di akhir periode.
H. Aplikasi Ijarah di Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah
Lembaga keuangan syariah baik bank maupun non-bank harus
memiliki produk yang berfareasi sebagaimana halnya produk yang ada di
bank konvensional, sehingga masyarakat memiliki pilihan yang beragam
ketika bertransaksi di lembaga keuangan syariah. Akan tetapi produk
yang beragam tersebut harus diimbangi dengan kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh syari’ah Islam. Fatwa DSN-
MUI adalah satu diantara rujukan utama dalam memenuhi kepatuhan
tersebut. Berdasarkan fatwa DSN-MUI produk-produk lembaga keuangan
keuangan untuk memenuhi kepatuhannya terhadap prinsip syari’ah
dapat menggunakan akad ijarah.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Jika diterapkan dalam perbankan syariah, maka bank syariah
bertindak selaku muajjir (pemberi sewa) dan nasabah selaku penyewa
(mustakjir)
Dalam praktek perbankan syariah tahapan ideal ijarah ialah :
1. Nasabah menjelaskan kepada bank bahwa ia ingin menyewa suatu
asset dan mampu membayar sewa secara priodik, misalnya
perbulan
2. Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset
itu kepada nasabah
3. Bank membeli atau menyewa asset yang dibutuhkan nasabah
4. Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka
waktu tertentu dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan
5. Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai
dengan kesepakatan
6. Bank melakukan penyusutan terhadap asset. Biaya penyusutan
dibebankan kepada laporan laba rugi
7. Di akhir masa sewa, nasabah mengembalikan asset tersebut kepada
bank.

Skema ijarah di perbankan syari’ah

1. Nasabah mendatangi bank syariah memohon pembiayaan


penyewaan sebuah rumah selama setahun, secara cicilian (bulanan)
dan mereka melakukan negosiasi tentang harga
2. Bank menyewa rumah tersebut Rp 10 juta setahun dibayar cash di
muka.
3. Bank selanjutnya menyewakan rumah itu secara cicilan per bulan
Rp 1 juta dengan akad ijarah (Di sini dilaksanakan
pengikatan/kontrak)
4. Rumah dimanfaatkan (digunakan) oleh nasabah
5. Nasabah mencicil biaya sewa setiap bulan kepada bank

Anda mungkin juga menyukai