Anda di halaman 1dari 9

BAB VII

MUSYARAKAH (KERJASAMA)
A. Pengertian dan Dasar Hukum Musyarakah
Musyarakah menurut bahasa berarti percampuran (al-ikhtilath).
Dalam literatur berbahasa Inggris, musyarakah disebut juga dengan
“partnership”. Lembaga-lembaga keuangan islam menerjemahkannya
dengan istilah “participation financing”.
Secara terminologi, ada beberapa definisi Musyarakah yang
dikemukakan oleh para ulama fiqh. Pertama, menurut ulama Malikiyah,
musyarakah adalah: Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua
orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Kedua, definisi yang
dikemukakan oleh ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, menurut mereka,
musyarakah adalah: Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada
sesuatu yang mereka sepakati. Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah. Menurut mereka, asy-musyarakah adalah: Akad yang dilakukan
oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fiqh
di atas hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang
terkandung di dalamnya adalah sama; yaitu ikatan kerjasama yang
dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad
musyarakah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang
mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan
berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang
disepakati.
Akad musyarakah dibolehkan berdasarkan kepada firman Allah
dalam QS al-Nisa' ayat 12 “… maka mereka berserikat pada sepertiga ...” ,
Shad ayat 24: “ Sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat aniaya (dzhalim) kepada sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh.” dan juga Hadist
Nabi saw. Yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah

1
SAW bersabda: “Allah swt. Berfirman : aku adalah pihak ketiga dari dua orang
yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika
salah satu pihak berkhianat, aku keluar dari mereka.”
Para ulama juga sepakat (ijma) akan kebolehan musyarakah secara
umum, tetapi mereka berbeda pendapat tentang macam-macamnya yang
akan dibahas selanjutnya.

B. Rukun dan Syarat Umum Musyarakah


Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun musyarakah, baik
musyarakah al-amlak maupun musyarakah al-uqud dengan segala
bentuknya adalah ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan),
dan qobul (ungkapan penerimaan). Menurutnya, prinsip musyarakah
adalah adanya kerelaan di antara kedua belah pihak. Bagi ulama
Hanafiyah yang berakad dan objeknya bukan termasuk rukun, tetapi
termasuk syarat.
Menurut jumhur ulama, rukun perserikatan itu ada tiga yaitu:
pertama, Kedua pihak yang berakad, kedua, Sighat (lafal ijab dan qobul),
ketiga, objek akad. Sedangkan Syarat-syarat musyarakah secara umum
adalah:
1). Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan meperhatikan hall-hal berikut: (a) penawaran dan penerimaan
harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak; (b) penerimaan
dari penerimaan dilakukan pada saat kontrak; (c) akad dituangkan
secara tertulis melalui korespondensi.
2). Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan
hal-hal berikut: (a) kompeten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan perwakilan; (b) setiap mitra harus menyediakan dana dan
pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil; (c)
setiap mitra memiliki hak untuk mengatur asset musyarakah dalam

2
proses bisnis normal; (d) setiap mitra memberikan wewenang kepada
mitra yang lain untuk mengelola asset dan masing-masing dianggap
telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan
meperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan
kesalahan yang disengaja; (seorang mitra tidak diizinkan untuk
mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya
sendiri.
3). Obyek akad berupa modal harus harus memenuhi syarat sebagai
berikut: (a) modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau
yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari asset perdagangan,
seperti barang, property, dan sebagainya. Jika modal berbentuk asset,
haruslah terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para
mitra; (b) para pihak tidak boleh meminjamkan, menyumbangkan atau
menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas
dasar kesepakatan; (c) pada prinsipnya pada pembiayaan musyarakah
tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
4). Obyek akad berupa kerja harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a)
partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarakah, akan tetapi kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan
syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang
lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan
tambahan bagi dirinya; (b) setiap mitra melaksanakan kerja dalam
musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan
masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
5). Obyek akad berupa keuntungan harus memenuhi syarat sebagai
berikut: (a) keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau penghentian musyarakah; (b) setiap keuntungan
mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh

3
keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang
ditetapkan bagi seorang mitra; (c) seorang mitra boleh mengusulkan
bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau
prosentase itu diberikan kepadanya; (d) system pembagian
keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
6). Obyek akad berupa kerugian harus dibagi antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
7). Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
8). Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
9). Persentase pembagian keuntungan (al-ribh) untuk masing-masing
pihak yang berserikat hendaknya diketahui ketika berlangsungnya
akad, seperti seperlima, sepertiga, atau sepuluh persen. Jika prosentase
pembagian tidak diketahui (majhul) maka akad musyarakah batal,
karena keuntungan merupakan obyek akad musyarakah (ma’qud alaih).
Ketidakjelasan obyek akad menyebabkan rusaknya/fasad akad.

C. Macam-Macam Musyarakah
Para ulama fiqh membagi musyarakah ke dalam dua bentuk, yaitu: 1)
Syikah al-Amlak (perserikatan dalam kepemilikan). (2) Musyarakah al-'Uqud
(perserikatan yang dibentuk melalui akad).
Menurut ulama fiqh Syikah al-Amlak adalah persekutuan dua orang
atau lebih dalam pemilikan suatu barang tanpa melalui atau didahului
oleh akad musyarakah. Musyarakah amlak dibagi menjadi dua bentuk,
yaitu :
a. Musyarakah Ikhtiariyah, yaitu persekutuan yang terjadi atas perbuatan
dan kehendak pihak-pihak yang berserikat. Misalnya dua orang yang
bersepakat membeli suatu barang atau mereka menerima harta hibah

4
dari orang lain dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam
kasus seperti ini harta yang dibeli bersama atau dihibahkan menjadi
harta serikat bagi mereka berdua.
b. Musyarakah ijbariyah, yaitu persekutuan yang terjadi tanpa adanya
perbuatan dan kehendak pihak yang berserikat (perserikatan yang
muncul secara paksa, bukan atas keinginan yang berserikat) yaitu
sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa
kehendak dari mereka seperti harta warisan yang mereka terima dari
seseorang yang wafat. Harta warisan itu menjadi milik bersama oarng-
orang yang menerima warisan itu.
Dalam kedua bentuk musyarakah al-amlak menurut para pakar
fiqh status harta masing-masing orang yang berserikat sesuai dengan hak
masing-masing, bersifat berdiri sendiri secara hukum apabila masing-
masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin
dari mitranya karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian
harta orang yang menjadi mitra serikatnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan musyarakah al-uqud adalah akad
yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bekerjasama dalam modal
dan keuntungan.
Adapun macam-macam musyarakah al-uqud, para ulama berbeda
pendapat. Menurut madzhab Hanabilah ada lima macam, yaitu musyarakah
al-inan, musyarakah al-mufawadhah, musyarakah al-abdan, musyarakah al-wujuh,
dan mudharabah. Sementara menurut madzhab Hanafiyah ada enam, yaitu
musyarakah al-amwal, musyarakah al-a’mal, musyarakah al-wujuh, dan dari
ketiga macam ini ada yang bersifat mufawadhah dan ada yang inan.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’iyyah dan Malikiyyah musyarakah ada
empat, yaitu musyarakah al-inan, musyarakah al-mufawadhah, musyarakah al-
abdan, musyarakah al-wujuh. Macam musyarakah menurut pendapat yang
terakhir inilah yang akan diuraikan lebih lanjut dalam bahasan berikut ini.

5
1). Musyarakah 'inan, yaitu perserikatan dalam modal (harta) pada suatu
kontrak bisnis yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan
dibagi bersama. Para ulama fiqh sepakat bahwa bentuk perserikatan
seperti ini adalah boleh. Dalam perserikatan al-'inan, modal yang
digabungkan oleh masing-masing pihak tidak harus sama jumlahnya,
tetapi boleh satu pihak memiliki modal yang lebih besar dari pihak
lainnya. Demikian juga halnya dalam soal tanggungjawab dan kerja.
Boleh saja satu pihak bertanggungjawab penuh terhadap perserikatan
itu, sedangkan pihak lain tidak bertanggungjawab. Keuntungan dari
perserikatan ini dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan
kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab orang-orang yang bers-
erikat sesuai dengah porsi modal usaha masing-masing. Dalam hal ini
para ulama fiqh membuat kaidah: Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan
dan kerugian sesuai dengan porsi modal masing-masing pihak.
2) Musyarakah mufawadhah, yaitu adalah kontrak kerja sama antara dua
orang atau lebih yang mana setiap pihak memberikan kontribusi yang
sama baik dalam dana maupun kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. Masing-masing mitra dapat
bertindak sebagai kuasa/wakil atau agent bagi kemitraan tersebut,
masing-masing mitra menjadi penjamin/kafil bagi para mitra lainnya.
Dengan demikian, syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah
kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban
hutang dibagi oleh masing-masing pihak. Para pihak yang
mengikatkan diri dalam perserikatan ini mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Oleh sebab itu, dalam perserikatan al-mufawadhah, jika salah
satu pihak melakukan suatu transaksi untuk perserikatan, setelah
melakukan musyawarah dengan mitra serikatnya, maka transaksi itu
sah, karena ketika itu ia bertindak atas nama orang-orang yang
berserikat, dan merupakan wakil dari pihak lainnya.

6
3). Musyarakah Abdan/A'mal, yaitu perserikatan yang dilaksanakan oleh
dua pihak atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan yang dikerjakan
secara kolektif. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan itu
dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka. Pada musyarakah
ini yang terpenting adalah pembagian kerja atas dasar keahlian
masing-masing sesuai kesepakatan. Ketidakjelasan pembagian kerja
dapat menimbulkan perselisihan di kemudian hari terutama dalam hal
pembagian keuntungan.
4). Musyarakah al-Wujuh, yaitu serikat yang dilakukan dua orang atau
lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan
suatu pembelian dengan bayar tangguh serta menjualnya dengan
harga tunai; sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. Di
zaman sekarang, perserikatan ini mirip makelar dan banyak dilakukan
orang. Dalam perserikatan seperti ini, pihak yang berserikat membeli
barang secara tangguh, hanya atas dasar suatu kepercayaan, kemudian
barang tersebut mereka jual dengan harga tunai, sehingga mereka
meraih keuntungan.

D. Berakhirnya Akad Musyarakah


1. Salah seorang mitra menghentikan akad musyarakah.
2. Salah seorang meninggal, atau hilang akal. Dalam hal ini mitra
yang meninggal atau hilang akalnya dapat digantikan oleh salah
seorang ahli warisnya yang cakap hokum (baligh dan berakalsehat)
apabila disetujui oleh semua ahli waris dan mitra lainnya.
3. Modal musyarakah hilang/habis.

E. Aplikasi Musyarakah di Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah


Lembaga keuangan syariah baik bank maupun non-bank harus
memiliki produk yang berfareasi sebagaimana halnya produk yang ada di
bank konvensional, sehingga masyarakat memiliki pilihan yang beragam

7
ketika bertransaksi di lembaga keuangan syariah. Akan tetapi produk
yang beragam tersebut harus diimbangi dengan kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh syari’ah Islam. Fatwa DSN-
MUI adalah satu diantara rujukan utama dalam memenuhi kepatuhan
tersebut. Berdasarkan fatwa DSN-MUI produk-produk lembaga keuangan
keuangan untuk memenuhi kepatuhannya terhadap prinsip syari’ah
dapat menggunakan akad musyarakah.
Musyarakah adalah akad kerjasama atau percampuran antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan
produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai
nisbah yang disepakati dan resiko akan ditanggung sesuai porsi
kerjasama. Diantara produk lembaga keuangan syari’ah yang dapat
menggunakan akad musyarakah adalah pembiayaan proyek, modal
ventura dan lain sebagainya.

8
1. Nasabah mengajukan pembiayaan kepada bank dengan akad
musyarakah.
2. Nasabah dan bank memberikan kontribusi dana dan keahlian.
3. Nasabah dan bank menentukan nisbah bagi hasil sesuai
kesepakatan.
4. Apabila proyek tersebut menghasilkan keuntungan, maka
keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang sudah disepakati di
awal.
5. Apabila proyek tersebut mengalami kerugian, maka kerugian
tersebut dibagi di antara nasabah dan bank secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.

Anda mungkin juga menyukai