Anda di halaman 1dari 21

BAB III

KONSEP HAK DALAM ISLAM

A. Pengertian Hak
Kata hak berasal dari bahasa arab al-haqq yang secara etimologi
mempunyai beberapa pengertian berbeda, diantaranya berarti milik,
ketetapan dan kepastian.
Dalam terminologi fiqh terdapat beberapa pengertian hak yang
dikemukakan para ulama fiqh, diantaranya adalah:

‫مصلحة مستحقة شرعا‬


“kemaslahatan yang diperoleh dengan syara”.
Selain itu juga Mustafa ahmad az-Zarqa mendefinisikan hak
dengan:

‫احلق هو جممعة القواعد و النصوص الشريعة الىت تنتظم على سبيل اإللزام عال ئق الناس‬
‫من حيث اإلسخاص واألموال‬
“Hak adalah himpunan kaidah nash-nash syariat yang harus dipatuhi untuk
menertibkan pergaulan manusia baik yang berkaitan perorangan maupun yang
berkaitan dengan harta benda.”.
kata kunci dalam definisi diatas adalah kaidah nash syar’iyyah, jika
diperhatikan definisi diatas lebih menekankan fungsi syari’at aturan
hukum sebagai rujukan hak. Dengan demikian definisi diatas belum
menggambarkan substansi hak.
Definisi yang lebih menggambarkan substansi hak adalah:
“Hak adalah kewenangan atas sesuatu,/ sesuatu yang wajib atas seseorang untuk
orang lain”.
Berdasarkan hal tersebut ada 2 substansi hukum, Pertama,hak
sebagai’ kewenangan atas sesuatu/ barang” yakni hak yang berlaku atas
benda ( Hak ‘Aini ). Kedua, hak sebagai “keharusan/kewajiban pada pihak
lain ( Hak Syakhsi ).

1
Musthafa Az-Zarqa berusaha menggabungkan aspek syar’iyyah
sebagai sumber hak dan aspek substansi hak dalam pengertiannya yaitu:
“Hak keistimewaan(ihtishash) yang dengannya syara menetapkan kewenangan
otoritas ( al Syulthah ) dan beban ( taklif ).

B. Rukun-Rukun Hak
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa rukun hak itu ada 2,
yaitu:pertama, pemilik hak (shahibul haq). Kedua, objek hak (mahalu al-haq),
baik sesuatu yang bersifat materi maupun hutang.
Yang menjadi pemilik hak dalam syari’at islam adalah Allah SWT,
manusia (as-Syakhsu al-Thabi’i), badan hukum (as-Syakhysu al-I’tibary),
seperti perseroan terbatas (PT), dan yayasan.
Seorang manusia menurut ketetapan syara’ telah memiliki hak-hak
pribadi sejak ia masih dalam janin, dengan syarat lahir dalam keadaan
hidup sekalipun hidupnya dikira-kirakan. Hak-hak pribadi yang
diberikan Allah ini akan habis dengan wafatnya pemilik hak, baik mati
yang sebenarnya atau dihukumi mati, seperti orang yang hilang.

C. Macam-Macam Hak
Para ulama fiqh mengemukakan pembagian hak dari berbagai segi,
yaitu:
1. Dari segi Pemilik Hak
Hak dari segi pemiliknya dibagi menjadi tiga macam; hak Allah,
hak manusia, dan hak perpaduan (hak musytarik) antara hak Allah dan
hak manusia yang kadangkala lebih dominan salah satunya.
a. Hak Allah
Hak Allah adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan
diri mengagungkan, dan melaksanakan ajaran-ajaran agama-Nya, atau
untuk merealisasikan kemanfaatan dan kebaikan bagi masyarakat umum.
Aspek kedua ini dikaitkan dengan hak Allah swt karena besarnya

2
dampak yang akan ditimbulkan baik positif maupun negatifnya bagi
masyarakat.
Hak Allah yang terkait dengan upaya pendekatan diri dan
mengagungkan-Nya seperti kewajiban ibadah; shalat, puasa, zakat, haji,
amal ma’ruf nahi munkar, nazhar, dan sumpah. Sedangkan hak Allah
yang terkait dengan upaya merealisasikan kebaikan atau manfaat bagi
masyarakat antara lain, dilarang berzina untuk menjaga kehormatan dan
keturunan, diharamkan mencuri, merampok dan menipu untuk menjaga
harta, dilarang riddah (keluar dari agama Islam) untuk menjaga
kehormatan agama, dan untuk menjaga akal pikiran maka dilarang
mengkonsumsi benda yang merusak akal. Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut, dikenakan sanksi hukum yang disebut
sanksi hukum hudud.
Hak Allah yang berupa peribadatan melekat pada setiap individu
karenanya tidak dapat di wakilkan, sedang hak Allah yang berupa sanksi
pidana tidak dapat digugurkan melalui perdamaian juga tidak dapat
digugurkan melalui perma’affan. Hak-hak Allah yang berupa sanksi
pidana ini juga melekat pada setiap individu karena tidak dapat
diwariskan kepada ahli waris. Misalnya Orang yang melakukan kejahatan
zina, atau pencurian misalnya, bilamana telah terbukti dan mencukupi
syarat-syaratnya, harus dituntut serta dikenakan sanksi, dan tidak seorang
pun yang bisa memaafkannya serta tidak seorangpun ahli waris yang
boleh mewakilinya.

b. Hak Manusia
Yaitu hak yang ditujukan untuk melindungi kepentingan manusia
secara pribadi-pribadi sebagai pemilik hak. Contoh hak manusia yang
paling penting ialah hak milik. Pada hakikatnya hak ini untuk memelihara
kemashlahatan terhadap pribadi manusia. Seseorang boleh memaafkan,
menggugurkan/mengubahnya, serta dapat diwariskan kepada ahli waris.

3
Disamping itu, hak manusia maksudnya adalah hak-hak yang bilamana
dilanggar, akan merugikan diri perorangan yang bersangkutan, tidak
merugian orang lain. Misalnya, hak yang berhubungan dengan harta
benda perorangan. Untuk memelihara hak-hak seperti ini, dalam hukum
islam dirumuskan aturan aturan hukum dibidang mu’amalat.
Dalam fiqh islam ketentuan ketentuan hukum yang berhubungan
dengan hak manusia, bila dilanggar sepenuhnya terserah kepada pemilik
hak yang dilanggar, apakah ia akan menuntut atau memaafkannya. Begitu
juga tentang penyelesaian hak dalam bentuk ini bisa diselesaikan secara
damai atau secara kekeluargaan. Contohnya saja ketika seseorang
memecahkan kaca mobil orang lain, terserah kepada pihak yang punya
mobil,apakah ia akan meminta ganti rugi atau merelakannya. Demikian
pula seseorang yang berpiutang kepada pihak lain, maka yang berpiutang
bebas memilih antara tetap menagih piutangnya atau membebaskannya
tanpa perlu membayarnya.

c. Hak Berserikat antara Hak Allah dan Hak manusia.


Jenis hak ini secara konseptual dapat dipahami sebagai sebuah hak
yang pada satu sisi ditujukan untuk melindungi kepentingan umum
sekaligus untuk melindungi kepentingan pribadi dan pada setiap hak
manusia terdapat juga perlindungan terhadap kepentingan umum.
Namun pada kenyataannya, keduanya merupakan dua hak yang
masing-masing mempunyai sifat yang berbeda sehingga sangat sulit
dibayangkan kedua jenis hak yang berbeda ini bersatu dan berserikat.
Kenyataan yang terjadi bukan persekutuan dua hak melainkan
persekutuan kasus. Artinya, pada satu kasus terjadi pelanggaran dua hak
sekaligus.misalkan saja pada kasus pencurian terjadi pelanggaran hak
Allah sehingga sanksi pidana pencurian tidak dapat digugurkan/
dimaafkan, pada sisi lain terjadi pelanggaran terhadap hak manusia yakni

4
hak milik kebendaan. Pemilik hak milik ini dapat menggugurkan hak
menuntut kerugian atau denda permaafan/ perdamaian.

2. Dari Segi Obyek Hak.


Para ulama fiqh membagi hak dari segi objeknya kepada haqq mali
dan hak ghair mali.
Yang dimaksud dengan haqq mali adalah hak-hak yang terkait
dengan kehartabendaan dan manfaat seperti hak penjual terhadap harga
barang yang dijual, hak pembeli terhadap barang yang dibeli, hak khiyar
dan hak penyewa terhadap sewaannya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ghair mali adalah hak yang
tidak terkait dengan harta benda. Hak ghair mali terbagi kepada dua
bagian, yakni hak syakhsi dan hak ‘aini.
Hak syakhshi ialah kewajiban yang ditetapkan syara’ terhadap
seseorang untuk kepentingan orang lain. Dalam hak syakhshi terdapat 2
pihak yang saling berhadapan; pertama, pihak yang mempunyai
kewajiban (multazim) kedua, pihak yang mempunyai hak ( multazam lahu).
Hak syahshi ada kalanya muncul berdasarkan kehendak kedua
belah pihak, yaitu melalui akad, atau kehendak sepihak seperti dalam janji
dan nadzar. Di samping itu, hak syakshi juga bisa lahir karena ketetapan
syara’ (karena undang-undang) misalnya hubungan hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak.
Sedangkan Hak ‘aini adalah kewenangan dan keistimewaan yang
timbul karena hubungan antara seseorang dengan benda tertentu secara
langsung. Yang termasuk hak aini, yaitu:
Pertama, haq al-milk (hak milik) yaitu keistimewaan (yang dimiliki
seseorang) atas suatu benda yang menghalangi pihak lain dari benda
tersebut, dan pemiliknya dapat menggunakannya secara langsung selama
tidak bertentangan dengan kepatutan hukum (syar’i). Uraian tentang hak
milik akan dibahas dalam sub bab tersendiri.

5
Kedua, Haqq intifa’, yaitu hak untuk memanfaatkan harta benda
orang lain melalui sebab-sebab yang dibenarkan oleh syara’. Di antara
sebab-sebab yang menimbulkan hak intifa’ adalah pinjam-meminjam
(i’arah), sewa menyewa (ijarah), wakaf, wasiat untuk memanfaatkan
barang tertentu (wasiat bi al-manfaat).
Ketiga, Haqq Irtifa, yaitu hak yang berlaku atas suatu benda tidak
bergerak untuk kepentingan benda tidak bergerak milik pihak lain.
Adapun penyebab timbulnya hak irtifa’ adalah
a. Al syirkah al ‘ammah (hubungan ketetanggaan dengan fasilitas
umum seperti, jalan, dan sungai)
b. Kesepakatan pihak-pihak yang berakad
c. Kesepakatan Jiwar ( ketetanggaan ).
Hak irtifak terdiri dari ; Haqq al syurb (hak untuk memanfaatkan air
untuk kepentingan pengairan tanaman, hewan/ untuk kepentingan
manusia), Haqq al majra (hak pemilik tanah yang jauh untuk
menggunakan tanah tetangganya yang lebih dekat untuk mengalirkan air
dari sumbernya), Haqq al masil, (hak memanfaatkan tanah orang lain
untuk menyalurkan limbah keluarga ketempat pembuangan), Haqq al
muruur (hak bagi pemilik tanah yang lebih jauh untuk melewati tanah
orang lain yang lebih dekat), Haqq al jiwar, (haq tetangga yang dindingnya
bersebelahan/bersatu), Haqq at ta’ali,(hak tetangga pada rumah susun).
Kedua macam hak tersebut di atas, hak syakhsi dan hak ‘aini, dapat
dibedakan dalam tiga hal berikut ini:
a. Hak ‘aini bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya
sekalipun benda tersebut berada ditangan orang lain.
b. Materi hak ‘aini dapat berpindah tangan sedang hak syahshi tidak
dapat berpindah tangan melainkan melekat pada pribadi sebagai
sebuah tanggung jawab.
c. Hak ‘aini gugur apabila materi (obyek) hak hancur dan musnah,
sedangkan hak syakhshi tidak akan gugur dengan hancur/

6
musnahnya materi, karena hak syakhsi melekat pada diri seseorang
kecuali pemilik hak meninggal.

3. Dari Segi Kewenangan Pengadilan terhadap Hak Itu.


Dari segi ini, para ulama fiqh membaginya kepada 2 macam, yaitu
hak diyaniy dan hak qadha’i. Hak diyaniy yaitu hak-hak yang
pelaksanaannya tidak menjadi wewenang oleh kekuasaan kehakiman.
Atau dengan kata lain hak-hak manusia yang tidak bisa diselesaikan atau
dilaksanakan melalui mekanisme pengadilan. Hal ini bisa terjadi karena
beberapa sebab di antaranya; tidak cukup atau lemahnya melakukan
pembuktian di depan pengadilan. Misalnya seorang (laki-laki) yang
melakukan nikah sirri (tanpa dicatat di KUA), maka apabila ia ingin cerai
tidak bisa diselesaikan dipengadilan karena tidak ada bukti tertulis bahwa
ia pernah melakukan pernikahan. Tetapi berdasarkan hukum agama
(diyany) ia dianggap telah cerai apabila sudah mengucapkan thalak di
depan istrinya walau tanpa melalui pengadilan.
Sedangkan Hak Qadha’I yaitu seluruh hak yang tunduk di bawah
aturan atau wewenang kekuasaan kehakiman, sepanjang pemilik hak
tersebut mampu menuntut dan membuktikannya di depan pengadilan.
Keputusan pengadilan ditentukan berdasarkan aspek lahiriyah (sesuatu
yang tampak), bukan atas dasar niatan atau hakekat kejadian yang tidak
nampak. Oleh karena itu, apabila seseorang mentalak istrinya di depan
pengadilan, padahal sebenarnya dia tidak berniat mentalaknya, maka
pengadilan akan menjatuhkan talaknya atas dasar pernyataan
lahiriyahnya. Akan tetapi, dari sisi hak diyanatan bisa jadi dianggap belum
jatuh talak, maka semua itu akan kembali pada Allah swt.

D. Sumber-Sumber Hak dan Sebab-Sebabnya


Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sumber atau penyebab
adanya hak itu adalah syara’. Syara’lah yang menjadi sumber asli segala

7
hak dan syara’lah yang menyebabkan seseorang mamiliki hak. Namun
demikian, adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara langsung
tanpa adanya sebab, seperti perintah untuk melaksanakan berbagai
ibadah, perintah untuk memberikan nafkah kepada kerabat, larangan
untuk melakukan berbagai bentuk tindak pidana, larangan untuk
mengkonsumsi yang diharamkan syara’, dan kebolehan untuk
memanfaatkan seluruh yang baik. Hak-hak seperti ini ditetapkan syara’
secara langsung tanpa adanya latar belakang yang menyebabkan
timbulnya hak itu. Disamping itu, syara’ juga menetapkan hak melalui
suatu sebab. Artinya, ada sebab yang melatarbelakangi syara’ untuk
menetapkan suatu hak. Misalnya, dalam persoalan perkawinan. Akibat
dari perkawianan ini muncullah hak dan kewajiban memberi nafkah bagi
suami. Istri mempunyai hak untuk dinafkahi suaminya, muncul pula hak
waris mewarisi antara suami dan istri, dan lain sebagainya.
Para ulama fiqh menetapkan bahwa yang dimaksud dengan sebab
atau penyebab di sini adalah sebab-sebab langsung yang datangnya dari
syara’ atau sebab-sebab yang diakui oleh syara’. Atas dasar itu, sumber hak
itu menurut para ulama fiqh ada lima, yaitu:
1. Syara’, seperti kewajiban nafkah suami untuk istri dan anak.
2. Akad, seperti akad jual beli, hibah, dan ijarah dalam pemindahan hak
milik
3. Kehendak satu pihak (al-iradah al-munfaridah), seperti janji dan nazar
4. Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi hutang yang
menurutnya ia berhutang kepada seseorang atau melunasi hutang
orang lain atas perintahnya.
5. Perbuatan yang menimbulkan kemudharatan bagi orang lain, seperti
kewajiban seseorang membayar ganti rugi (dhaman) akibat
kelalaiannya dalam merusak sesuatu milik seseorang, atau karena
memakai barang orang lain tanpa izin (ghashab)

8
E. Ketentuan-ketentuan yang Terkait dengan Hak (ahkam al-Haq)
Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan
hak (ahkam al-haq) disini adalah dampak atau akibat yang muncul setelah
tetapnya suatu hak pada pemiliknya, Para ulama fiqh mengemukakan ada
beberapa ketentuan hukum yang terkait dengan adanya hak, yaitu:
1. Pelaksanaan dan Penuntutan Hak.
Para pemilik hak harus melaksanakan hak-haknya itu dengan cara-
cara yang disyari’atkan. Dalam persoalan hak Allah yang berkaitan
dengan persoalan ibadah, seseorang harus menunaikannya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang tidak mau menunaikan hak
Allah itu dan hak itu terkait dengan persoalan harta, seperti zakat, maka
hakim berhak untuk memaksanya menunaikan zakat. Jika hak Allah itu
tidak terkait dengan persoalan harta, maka hakim harus mengajak orang
itu untuk menunaikan hak itu dengan menempuh berbagai cara. Jika
orang itu tetap tidak mau menunaikan hak Allah itu, Allah akan
menurunkan cobaan-cobaan-Nya di dunia ini dan di akhirat ia akan
disiksa.
Dalam persoalan hak manusia penunaiannya dilakukan dengan
cara mengambilnya dan membayarkannya kepada orang yang berhak
menerimanya (pemilik hak). Misalnya, jika seseorang mencuri harta orang
lain, maka pencuri itu harus mengembalikan harta itu jika masih utuh
atau menggantinya dengan nilai harta itu, jika harta yng dicuri tidak utuh
lagi. Yang terpenting dalam kasus seperti ini, menurut para ulama fiqh
adalah sifat keadilan dalam pengembalian hak, sehingga masing-masing
pihak tidak dirugikan. Atas dasar keadilan ini, syariat islam
menganjurkan agar para pemilik hak berlapang hati dalam menuntut dan
menerima haknya, apalagi orang yang mengambil hak itu mempunyai
kesulitan. Hal ini, menurut ulama fiqh sejalan dengan firman Allah dalam
surat al-Baqarah,2. 280 yang berbunyi:

9
‫وإن كان ذو عسرة فنظرة إىل ميسرة وأن تصدقوا خري لكم إن كنتم تعلمون‬
Dan jika ( orang berhutang itu ) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Dan menyedekahkan ( sebagian atau semua hutang itu ), lebih
baik bagimu,jika kamu mengetahui.
Yang dimaksud dengan ungkapan menyedekahkan dalam ayat ini
menurut para mufasir dan fukaha’ adalah memaafkan hutang itu.
2. Pemeliharaan Hak.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa syariat islam telah menetapkan
agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari
segala bentuk kesewenagan orang lain, baik yang menyangkut hak-hak
kepidanaan maupun hak-hak keperdataan. Apabila harta seseorang
dicuri, maka ia berhak menuntut secara pidana dan secara perdata.
Tuntutan pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan, dan
secara perdata menuntut agar harta yang dicuri itu dikembalikan, jika
masih utuh dan mengganti yang senilai dengan harta yang dicuri jika
harta itu telah habis.

3. Penggunaan Hak.
Para ulama fiqh menyatakan bahwa hak itu harus digunakan untuk
hal-hal yang disyariatkan Islam. Atas dasar itu seseorang tidak boleh
menggunakan haknya apabila dalam penggunaan hak itu merugikan atau
memberikan mudharat kepada pihak lain, baik perorangan maupun
masyarakat, baik sengaja maupun tidak sengaja. Disamping itu, pemilik
hak tidak boleh menggunakan haknya secara mubazir. Apabila seseorang
ingin membangun rumah dilahannya sendiri, maka bangunan yang akan
didirikannya itu tidak boleh sampai menghalangi udara dan cahaya
menuju ke rumah tetangganya, dia tidak boleh membuat jendela apabila
berhadapan dengan jendela itu kamar mandi tetangganya, atau rumah

10
yang dibangun itu menutup lalu lintas masyarakat untuk sampai ke
rumahnya masing-masing, sekalipun jalan itu adalah lahannya.
Perbuatan-perbuatan yang memberi mudharat kepada orang lain,
sengaja atau tidak, di dalam fiqh disebut sebagai ta’assuf fi isti’mali al-haqq
(sewenang-wenang dalam menggunakan hak). Ta’assuf fi isti’mal al-haqq
dilarang oleh syara’. Apabila seseorang menggunakan sesuatu yang
bukan haknya, tidak dinamakan dengan ta’assuf fi isti’mal al-haqq, tetapi
disebut dengan ta’addi (melampaui batas).
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ta’assf fi isti’mal al-haqq itu
dilarang syara’ diantaranya adalah firman Allah dalam surat al-
Baqarah,2:231 yang berbunyi:

‫وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن مبعروف أو سرحوهن مبعروف وال متسكوهن‬
‫ضرارا لتعتدوا ومن يفعل ذلك فقد ظلم نفسه‬
Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir’iddahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang ma’ruf pula. Jangan lah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa
berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri
Dalam ayat ini, menurut ulama fiqh, para suami dilarang untuk
menggunakan hak rujuk mereka dengan tujuan untuk menganiaya istri
mereka, sebagaimana yang dilakukan para lelaki di masa jahiliyah. Dalam
persoalan wasiat juga tidak boleh dilakukan ta’assuf fi isti’mal al-haqq,
sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’,4:12 yang berbunyi:

000‫من بعد وصية يوصني هبا أو دين غري مضار‬


…sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat ( kepada ahli warisnya )…
Berdasarkan ayat ini, para pakar fiqh menyatakan bahwa berwasiat
tidak dibolehkan apabila memberi mudharat kepada ahli waris, sekalipun
hak wasiat adalah hak orang yang wafat itu sebelum ia wafat. Dalam

11
menyusui anak pun seorang ibu tidak boleh mendapat mudharat dari
anaknya, sebagaimnana firman Allah dalam surat Al-baqarah,2:233 yang
berbunyi:

000‫ال تضار والدة بولدها وال مولود له بولده‬000


… janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga
seorang ayah karena anaknya…

F. Pemindahan Hak
Sebagai pemilik hak, menurut para ulama fiqh, seseorang boleh
memindah tangankan haknya kepada orang lain sesuai dengan cara-cara
yang disyariatkan Islam, baik yang menyangkut hak kehartabendaan,
seperti melalui jual beli dan hutang, maupun hak yang bukan bersifat
kehartabendaan, seperti hak perwalian terhadap anak kecil. Kedua bentuk
hak ini boleh dipindahkan kepada pihak lain.
Sebab-sebab pemindahan hak yang disyariatkan Islam itu cukup
banyak, seperti melalui suatu akad (transaksi), melalui pengalihan hutang
(al-hiwalah), dan disebabkan wafatnya seseorang. Yang penting
pemindahan hak ini, menurut para ulama fiqh, dilakukan sesuai dengan
cara dan prosedur yang ditetapkan oleh syara’. Misalnya, dalam persoalan
wasiat atau hibah, hak yang dipindahkan itu tidak melebihi sepertiga
harta, menuntut nafkah kepada suami harus sesuai dengan kemampuan
suami, dan melakukan berbagai transaksi harus memenuhi rukun dan
syarat yang ditetapkan syara’.

G. Berakhirnya Suatu Hak.


Suatu hak hanya akan berakhir sesuai dengan sebab-sebab yang
telah ditentukan atau ditetapkan syara’, dan masing-masing hak memiliki
perbedaan dalam cara mengakhirinya. Misalnya, hak-hak dalam
perkawinan akan berakhir dengan terjadinya talak, hak milik akan
berakhir dengan terjadinya suatu transaksi jual beli, haqq al-intifa’ akan

12
berakhir apabila akadnya dibatalkan, baik karena telah habis masa
berlakunya, seperti dalam sewa-menyewa maupun batal karena
terdapatnya cacat atau uzur dalam akad itu, seperti runtuhnya rumah
yang disewa. Dan hak piutang bagi kreditur akan berakhir dengan
dibayarkan hutang oleh debitur, atau dibebaskan hutang (al-ibra’) tersebut
oleh kreditur, atau dengan saling melepaskan hutang-piutang keduanya
yang memiliki jumlah yang sama (muqashah).

H. Hak Milik
1. Pengertian Hak Milik
Secara etimologi, kata milik berasal dari bahasa Arab al-Milk yang
berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga berarti sesuatu yang
dimiliki (harta).
Secara terminologi, ada beberapa definisi al-milk yang
dikemukakan oleh para fuqaha, antara lain :
Definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa al-syalabi

‫اختصاص بالشيئ مينع الغري وميكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء اال ملانع شرعي‬
“Hak milik adalah keistimewaan (ihtishash) atas suatu benda yang menghalangi
pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya membelanjakannya
secara langsung selama tidak ada halangan syara (halangan yang ditetapkan
hukum Islam).
Ali al-Khafifi menyampaikan definisi sebagai berikut :

‫اختصاص ميكن صاحبه شرعا ان يستبد بالتصرف واالنتفاع عند عدم املانع الشرعي‬
“Hak milik adalah keistimewaan yang memungkinkan pemiliknya bebas
membelanjakan dan memanfaatkannya sepanjang tidak ada halangan syara’ ‘.
Definisi yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa:

13
‫التصرف إال املانع‬
ّ ‫اختصاص حاجز شرعا صاحبه‬
“Milik adalah keistimewaan (ihtishash) yang bersifat menghalangi (orang
lain) yang syara’ memberikan kewenangan kepada pemiliknya membelanjakan
kecuali terdapat halangan syara’.
Definisi yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily :

‫اختصاص بالشيئ مينع الغري منه وميكن صاحبه من التصرف ابتداء إال ملانع شرعي‬
“Milik adalah keistimewaan (istishash terhadap sesuatu yang menghalangi
orang lain darinya dan pemiliknya bebas membelanjakannya secara langsung
kecuali ada halangan syar’iy.”
Seluruh definisi yang disampaikan di atas menggunakan term
ihtishash sebagai kata kunci milkiyah. Jadi hak milik adalah sebuah
ihtishash (keistimewaan/kekhususan). Dalam definisi tersebut terdapat
dua ihtishash atau keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada
pemilik harta :
Pertama, keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk
memanfaatkannya tanpa kehendak atau tanpa izin pemiliknya.
Kedua, keistimewaan dalam mebelanjakannya (tasharruf). Tasarruf
adalah :

‫كل مايصدر من شخص بإرادته ويرتب الشرع عليه نتائج حقوقية‬


“Sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah
(kehendak)-nya dan syara’ menetapkan atasnya beberapa konsekuensi
yang berkaitan dengan hak”.
Jadi pada prinsipnya atas dasar milkiyah (pemilikan) seseorang
mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam membelanjakannya
selama tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’.
Halangan syara’ (al-mani’) yang membatasi kebebasan pemilik
dalam membelanjakan sesuatu yang menjadi haknya ada dua macam;
Pertama, halangan yang disebabkan karena pemilik dipandang tidak
cakap secara hukum, seperti anak kecil, atau karena safih (cacat mental),

14
atau karena alasan taflis (pailit)., Kedua, halangan yang dimaksudkan
untuk melindungi hak orang lain seperti yang berlaku pada harta
bersama, dan halangan yang dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan orang orang lain atau kepentingan masyarakat umum,
sebagaimana yang telah disampaikan pada ta’assuf fi isti’malil al-haq pada
bab terdahulu.

2. Sebab-Sebab Kepemilikan
Harta yang dikuasai manusia pada hakekatnya adalah milik Allah
swt. Kedudukan manusia hanyalah sebagai makhluk yang diberi amanah
(kepercayaan) untuk menguasai dan mendayagunakan harta tersebut
sesuai dengan petunjuk Allah dan rasulnya. Walaupun demikian tidak
semua manusia dapat menguasai atau memilikinya sehingga ia dapat
dengan bebas mendayagunakannya. Faktor-faktor yang menyebabkan
harta dapat dimiliki antara lain :
1. Penguasaan terhadap harta bebas (ihraz al-mubahat), yaitu harta yang
belum dimilki orang lain secara sah dan tak ada penghalang syara’
untuk memilikinya.” Untuk memiliki benda-benda bebas yang
diperlukan dua syarat, yaitu
a. Benda bebas tersebut belum dikuasai oleh orang lain. Contoh
Seseorang mengumpulkan air dalam suatu wadah, maka orang
lain tidak berhak mengambil air tersebut, sebab telah dikuasai
oleh orang lain.
b. Adanya niat (maksud) untuk memiliki. Maka seseorang
memperoleh harta bebas tanpa adanya niat, tidak dianggap telah
menguasai harta tersebut, umpamanya seorang memancing di
sungai karena hobbi, kemudian ikan hasil pancingan ditinggal saja
dipinggir sungai tanpa dibawa pulang, maka dalam keadaan
seperti itu ikan belum benjadi miliknya karena dia tidak

15
bermaksud memilikinya hanya ingin menyalurkan hobinya
(kegemaran)
2. Khalafiyah, yaitu berpindahnya sesuatu menjadi milik seseorang karena
kedudukannya sebagai penerus pemilik lama atau kedudukannya
sebagai pemilik barang tertentu yang telah rusak/musnah dan
digantikan dengan sesuatu yang baru oleh orang yang merusakannya.
Atas dasar pengertian di atas, Khalafiyah dibagi menjadi dua
macam, yaitu :
a. Khalafiyah syakhsy’ an syakhsy, yaitu si waris menempati tempat si
muwaris dalam memilik harta-harta yang ditinggalkan oleh
muwaris, harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
b. Khalafiyah Syai ’an Syai, yaitu apabila seseorang merugikan milik
orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak
ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar harganya dan
diganti kerugian-kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai ’an
syai’ ini disebut tadhmin atau ta’widh (menjamin kerugian).
3. Tawallud Mamluk, yaitu segala sesuatu yang lahir atau tumbuh dari
obyek hak yang telah dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki obyek
hak tersebut. Misalnya bulu domba menjadi milik pemilik domba.
4. Akad, yaitu pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai
dengan kehendak syari’ah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan
akibat hukum pada obyek akad. Seperti akad jual beli, hibah, dan
wasiat. Akad merupakan sumber utama kepemilikan.

3. Sifat kepemilikan
Dari keempat sebab yang dikemukakan ulama fiqih di atas, maka
seseorang menjadi pemilik dari harta yang telah diusahakan dan dikuasai
tersebut. Namun timbul pertanyaan tentang apakah pemilikan harta itu
bersifat mutlak.

16
Persoalan ini dibahas ulama fiqih dalam kaitan milik pribadi
dengan kepentingan umum. Mereka sepakat bahwa islam sangat
menghormati kemerdekaan seseorang untuk memiliki sesuatu, selama itu
sejalan dengan cara yang digariskan syara’. Ia bebas mengembangkan
hartanya tersebut dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
cara yang jujur. Namun demikian, pemilik harta secara hakiki adalah Alla
SWT. Seseorang dikatakan memiliki harta hanya secara majasi dan harta
itu merupakan amanah di tangannya yang harus dipergunakan untuk
kemaslahatan dirinya dan orang lain (QS.5:120 dan QS.57:7)
Islam menganggap setiap individu adalah bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat. Oleh sebab itu, pada setiap harta seseorang,
banyak atau sedikit, ada hak-hak lain yang harus ditunaikan, seperti
zakat, sedekah, dan nafkah. Hal inilah yang dimaksudkan Rasulullah
SAW dalam sabdanya: “sesungguhnya dalam setiap harta itu ada hak-hak
orang lain selain dari zakat. (HR. At-Tirmidzi). Dalam hadis lain
Rasululloh SAW bersabda: “bumi ini adalah bumi Allah, dan siapa yang
menggarapnya ia lebih berhak atas garapannya itu” (HR. Al-Bukhari)
Di samping itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, ahli fiqih dari
Universitas Amman (Yordania), kebebasan seseorang dalam bertindak
terhadap hak milik pribadinya dibatasi oleh hal-hal yang terkait dengan
kepentingan umum. Menurutnya, setiap orang bebas untuk mencari harta
sebanyak-banyaknya, tetapi cara mendapatkan harta itu tidak boleh
melanggar aturan syara’ dan merugikan kepentingan orang lain, baik
pribadi maupun masyarakat. Oleh sebab itu, menurut az-Zarqa, cara
bermuamalah dengan riba, ikhtikar, penipuan, dan penyelundupan
adalah cara yang diharamkan syara’, karena perbuatan tersebut
disamping bertentangan dengan kehendak syara’ juga merugikan orang
lain dan masyarakat.
Ada beberapa batasan yang dikemukakan ulama fiqih terhapap
milik pribadi, diantaranya sebagai berikut :

17
a. tidak memberi mudharat kepada orang lain dan sebaiknya orang lain
pun ikut menikmati manfaatnya.
b. Dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dan pemerintah,
seperti zakat, pajak, dan biaya lainnya yang dibutuhkan negara dalam
situasi tertentu (misalnya perang), dan untuk kebutuhan fakir miskin.

4. Macam-Macam Hak Milik


Dari segi unsur harta (benda dan manfaat) dibedakan menjadi dua:
a. Milk al-tam (pemilikan sempurna), yaitu, apabila materi dan manfaat
harta itu dimiliki sepenuhnya oleh seseorang sehingga seluruh hak
yang terkait dalam harta itu berada dibawah penguasaannya. Milik
seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi masa, dan tidak bisa
digugurkan orang lain. Misalnya orang yang memiliki sebuah rumah
akan berkuasa penuh terhadap rumah itu dan bisa memanfaatkannya
secara bebas.
Menurut ulama fiqih, ciri khusus al-milk at-tamm adalah:
1). Sejak awal, pemilikan terhadap materi dan terhadap manfaat
harta itu bersifat sempurna
2). Pemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki
sebelumnya, artinya materi dan manfaat sudah ada sejak
pemilikan benda itu.
3). Pemilikannya tidak dibatasi waktu
4). Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka masing-
masing orang dianggap bebas mempergunakan miliknya
tersebut sebagaimana milik mereka masing-masing.
b. Milk al-naqish (pemilikan tidak sempurna), yakni pemilikan atas salah
satu unsur harta saja. Dengan demikian Milk al-naqish ada dua
bentuk. (1) pemilikan atas manfaat tanpa memiliki bendanya.
Pemilikan manfaat seperti ini diperoleh berdasarkan salah satu dari
empat sebab berikut ini : Ijarah, i’arah, wakaf, dan wasiyat atas

18
manfaat. (2) merupakan kebalikan dari yang pertama, yakni pemilikan
atas benda tanpa disertai pemilikan atas manfaatnya. Misalnya orang
yang menyewakan rumahnya, maka rumah tersebut statusnya dalah
miliknya tetapi manfaat rumah menjadi milik yang menyewa.
Dari segi obyek (mahal) kepemilikan dibedakan menjadi tiga, yaitu
:
a. Milk’Ain (memiliki benda). Pemilikan ini diperoleh melalui empat
sebab pemilikan yang telah disampaikan di muka. Pada prinsipnya
pemilikan benda disertai dengan pemilikan atas manfaat benda,
sampai ada kehendak untuk melepaskan manfaat benda melalui cara
yang dibenarkan oleh syara’.
b. Milk Manfaat, yaitu pemilikan seseorang untuk memanfaatkan suatu
harta benda milik orang lain dengan keharusan menjaga materi
bendanya. Seperti pemilikan atas manfaat membaca buku, mendiami
rumah atau menggunakan segala perabotan berdasarkan ijarah
(persewaan) atau ‘ariyah (pinjaman).
c. Milik Dain, yaitu pemilikan harta benda yang berada dalam tanggung
jawab orang lain karena sebab tertentu. Seperti harta yang
dihutangkan, harga jual yang belum terbayar, harga kerugian barang
yang dirusak atau dimusnahkan oleh pihak lain.
Dalam pandangan Fuqaha’ Hanafiyah haqq al-intifa’ merupakan
istilah lain dari milk al-manfaat. Antara keduanya tidak mempunyai
implikasi hukum yang berbeda. Sedang pandangan yang berkembang
dikalangan fuqaha’ jumhur haqq al-intifa’ dan milk al-manfaat, keduanya
merupakan dua hal yang berbeda dan masing-masing mempunyai
implikasi hukum yang berbeda.
Menurut pandangan fuqaha’ jumhur, milk al-manfaat merupakan
keistimewaan (ihtishash) yang memberikan kewenangan kepada
seseorang untuk mengambil manfaat atas suatu harta benda untuk diri
sendiri dan kewenangan untuk menyerahkan manfaat tersebut kepada

19
pihak lain. Sedang haqq al-intifa’ merupakan kewenangan (al-syulthah)
untuk memanfaatkan suatu harta benda untuk kepentingan diri sendiri.
Jadi pada prinsipnya haqq al-intifa’ merupakan amanat berdasarkan
perizinan pemilik, oleh karena itu haqq al-intifa tidak dapat diserahkan
kepada pihak lain.
Dari sisi bentuknya, milik dibedakan menjadi dua:
1. milk al-mutamayyaz (milik jelas) adalah pemilikan sesuatu benda
yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat
dipisahkan dari yang lainnya. Seperti pemilikan terhadap seekor
binatang, sebuah kitab, sebuah rumah dan lain-lain, atau pemilikan atas
sebagian tertentu dari rumah yang terdiri dari beberapa bagian.

2. milk al-masya’ (milik bercampur) adalah pemilikan atas sebagian, baik


sedikit atau banyak, yang tidak tertentu dari sebuah harta-benda,
seperti pemilikan atas separuh rumah, atau seperempat kebundan lain
sebagainya. Ketika diadakan pembagian atas harta campuran ini untuk
masing-masing pemiliknya, maka berakhirlah pemiliknya masya’
menjadi pemilikan mutamayyaz.

5. Berakhirnya Kepemilikan
Ada beberapa sebab yang menyebabkan berkhirnya al-milk at-tamm
menurut pakar fiqh, yaitu pertama, pemilik meninggal dunia, sehingga
seluruh miliknya berpindahtangan kepada ahli warisnya, dan kedua,
harta yang dimiliki itu rusak atau hilang.
Adapun al-milk an-naqis atau pemilikan terhadap manfaat suatu
harta akan berakhir dalam hal-hal sebagai berikut: pertama, habisnya
masa berlaku pemanfaatan itu, misalnya pemanfaatan sawah berakhir
setelah padi dipanen, kedua, barang yang dimanfaatkan itu rusak atau
hilang. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqih, ketiga, orang
yang memanfaatkannyameninggal dunia. Dalam hal ini terdapat
perbedaan pendapat. Menurut ulama mazhab Hanafi, manfaat tidak

20
dapat diwariskan. Sebaliknya jumhur ulama berpendapat bahwa manfaat
dapat diwariskan karena manfaat termasuk harta. Keempat, wafatnya
pemilik harta apabila pemilikan manfaat dilakukan melalui pinjam-
meminjam, sewa-menyewa. Dalam hal ini pun terdapat perbedaan
pendapat. Menurut ulama mazhab Hanafi, akad ijarah tidak bisa
diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, baik pinjam-meminjam
maupun sewa menyewa tidak berhenti masa berlakunya apabila
pemiliknya meninggal, karena kedua akad ini boleh diwariskan.

21

Anda mungkin juga menyukai