Anda di halaman 1dari 101

e d e A b d u l

Dr. D
a t ah , M . Si .
F

a k d a l a m
Kons e p H
Islam
A. Pengertian Hak
B. Rukun-rukun Hak
C. Macam-macam Hak
D. Sumber-sumber Hak dan Seba-sebabnya
E. Ketentuan-ketentuan yang terkait
dengan Hak
F. Pemindahan Hak
G. Berakhirnya Suatu Hak
H. Hak Milik
A. Pengertian Hak

Kata hak berasal dari bahasa arabal-


haqq yang secara etimologi
mempunyai beberapa pengertian
berbeda, diantaranya berarti milik,
ketetapan dan kepastian.
Dalam terminologi fiqh terdapat
beberapa pengertian hak yang
dikemukakan para ulama fiqh,
diantaranya adalah:
Pengertian Hak
‫مصلحة مستحقة شرعا‬
“kemaslahatan yang diperoleh dengan syara”
Selain itu juga Mustafa ahmad az-Zarqa
mendefinisikan hak dengan
‫الحق هو مجمعة القواعد و النصوص الشريعة التى تنتظم على‬
‫سبيل اإللزام عال ئق الناس من حيث‬
‫اإلسخاص واألموال‬
“Hak adalah himpunan kaidah nash-nash syariat yang
harus dipatuhi untuk menertibkan pergaulan manusia
baik yang berkaitan perorangan maupun yang
berkaitan dengan harta benda.”.
Definisi yang lebih menggambarkan
substansi hak adalah:“Hak adalah
kewenangan atas sesuatu,/ sesuatu yang
wajib atas seseorang untuk orang lain”.
Berdasarkan hal tersebut ada 2 substansi
hukum, Pertama,hak sebagai’
kewenangan atas sesuatu/ barang” yakni
hak yang berlaku atas benda ( Hak ‘Aini ).
Kedua, hak sebagai “keharusan/kewajiban
pada pihak lain ( Hak Syakhsi ).
Berdasarkan hal tersebut ada 2
substansi hukum,
Pertama,hak sebagai’ kewenangan atas
sesuatu/ barang” yakni hak yang
berlaku atas benda ( Hak ‘Aini ).
Kedua, hak sebagai
“keharusan/kewajiban pada pihak
lain ( Hak Syakhsi ).
Pemilik Hak
Yang menjadi pemilik hak dalam
syari’at islam adalah
a. Allah SWT
b.manusia (as-Syakhsu al-Thabi’i)
c. badan hukum (as-Syakhysu al-
I’tibary), seperti perseroan terbatas
(PT), dan yayasan.
Rukun Hak
1. Pemilik Hak (Shahibul Haqq)
2. Obyek Hak (Mahall al-Haqq)
Macam-macam Hak Milik
1. Dari segi Pemilik Hak
2. Dari Segi Obyek Hak.
3. Dari Segi Kewenangan Pengadilan
terhadap Hak Itu
1. Dari Segi Pemilik Hak
a. Hak Allah
Hak Allah adalah sesuatu yang dimaksudkan
untuk mendekatkan diri mengagungkan, dan
melaksanakan ajaran-ajaran agama-Nya,
atau untuk merealisasikan kemanfaatan dan
kebaikan bagi masyarakat umum. Aspek
kedua ini dikaitkan dengan hak Allah swt
karena besarnya dampak yang akan
ditimbulkan baik positif maupun negatifnya
bagi masyarakat.
b. Hak Manusia
Yaitu hak yang ditujukan untuk melindungi kepentingan
manusia secara pribadi-pribadi sebagai pemilik hak.Contoh
hak manusia yang paling penting ialah hak milik.Pada
hakikatnya hak ini untuk memelihara kemashlahatan
terhadap pribadi manusia.Seseorang boleh memaafkan,
menggugurkan/mengubahnya, serta dapat diwariskan
kepada ahli waris. Disamping itu, hak manusia maksudnya
adalah hak-hak yang bilamana dilanggar, akan merugikan
diri perorangan yang bersangkutan, tidak merugian orang
lain. Misalnya, hak yang berhubungan dengan harta benda
perorangan. Untuk memelihara hak-hak seperti ini, dalam
hukum islam dirumuskan aturan aturan hukum dibidang
mu’amalat.
c. Hak Berserikat antara Hak Allah dan
Hak Manusia
Jenis hak ini secara konseptual dapat
dipahami sebagai sebuah hak yang pada
satu sisi ditujukan untuk melindungi
kepentingan umum sekaligus untuk
melindungi kepentingan pribadi dan pada
setiap hak manusia terdapat juga
perlindungan terhadap kepentingan
umum.
2. Dari Segi Obyeknya
• Para ulama fiqh membagi hak dari segi objeknya
kepada haqq mali dan hak ghair mali.
• Yang dimaksud dengan haqq mali adalah hak-hak
yang terkait dengan kehartabendaan dan manfaat
seperti hak penjual terhadap harga barang yang
dijual, hak pembeli terhadap barang yang dibeli,
hak khiyar dan hak penyewa terhadap sewaannya.
• Sedangkan yang dimaksud dengan ghair mali
adalah hak yang tidak terkait dengan harta benda.
Hak ghair mali terbagi kepada dua bagian, yakni
hak syakhsi dan hak ‘aini.
Hak syakhshi ialah kewajiban yang
ditetapkan syara’ terhadap
seseorang untuk kepentingan orang
lain. Dalam hak syakhshi terdapat 2
pihak yang saling berhadapan;
pertama, pihak yang mempunyai
kewajiban (multazim) kedua, pihak
yang mempunyai hak ( multazam
lahu).
Hak syahshi ada kalanya muncul
berdasarkan kehendak kedua belah
pihak, yaitu melalui akad, atau
kehendak sepihak seperti dalam janji
dan nadzar.Di samping itu, hak
syakshi juga bisa lahir karena
ketetapan syara’ (karena undang-
undang) misalnya hubungan hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak.
Ketentuan Khusus Hukum Akad-
Akad
a. Kedudukan Akad dari Segi
Kerelaannya
b. Kedudukan akad dari segi mengikat
atau tidaknya
c. Kedudukan akad dari primer dan
sekundernya
d. Kedudukan akad dari segi tanggung
jawabnya
Kedudukan Akad dari Segi
Kerelaannya
Unsur kerelaan merupakan sesuatu yang urgen
dalam suatu akad atau transaksi. Dilihat dari sisi
kerelaan akad dibagi menjadi dua, yaitu
syakliyah dan ridha’iy. Akad syakliyah
adalah akad yang unsur kerelaannya dapat
dipenuhi melalui qabdh (penyerahan barang).
Sedangkan ridha’iy adalah akad yang unsur
kerelaannya tidak melalui penyerahan barang, akan
tetapi cukup dengan tulisan dan ucapan saja.Yang
termasuk akad syakliyah adalah qardh, rahn,
wadi’ah. Sedangkan yang termasuk akad ridha’iy
adalah wakalah, hiwalah, dan kafalah.
b. Kedudukan akad dari segi mengikat atau
tidaknya

Setiap akad memiliki kadar yang berbeda


dalam hal kekuatannya mengikat
terhadap pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya (pihak-pihak yang betransaksi).
Ada yang sifat hanya mengikat satu pihak
saja, mengikat kedua belah pihak dan ada
pula yang tidak mengikat keduanya. Di
antara akad yang hanya mengikat satu
pihak saja adalah adalah kafalah dan
rahn.
c. Kedudukan akad dari segi primer dan
sekundernya

Akad dilihat dari segi primer dan


kesekunderannya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Di antara akad
yang primer adalah wadiah.
Sedangkan bersifat sekunder di
antaranya kafalah, rahn.
d. Kedudukan akad dari segi tanggung
jawabnya
• Dilihat dari kadar tanggung jawab, akad tabarru’ dibagi menjadi
amanah dan dhamanah. Di antara akad tabarru’ yang termasuk
akad amanah adalah wadiah, ini sesuai dengan hadis rasulullah
SAW
)‫من أودع وديعة فال ضمان عليه(رواه ابن ماجه‬
Barang siapa melakukan akad wadiah, maka dia terbebas dari
tanggung jawab (HR. Ibn Majah)
• Diantara karakteristik dhamanah adalah: (1) ada unsur
mubadalah seperti jual beli (2) ada unsure taustiq seperti kafalah
dan rahn atau dengan kata lain apabila tujuan suatu akad adalah
mu’awadhah maka dhamanah, apabila sebaliknya, maka
amanah. Lihat Ibn Hammam, Fath al-Qadir jilid VI, h. 185. Lihat
juga al-Babarti, al-‘Inayah ‘ala al-Hidayah Jilid VI, h. 185.
• Lihat Ibn Majah, Sunan Ibn Majah Jilid II, h. 802. Lihat juga al-
Baihaqi, Sunan al-Baihaqi Jilid VI, h. 289
Lihat makalah tentang transformasi
akad tabarru’ menuju fee based
service pada Perbankan syariah.
No Akad Ridha’iy Mengikat/TidakMengikat Amanah/Dhamanah Tabi’/ghairTabi’

1 Wakalah Ridha’iy Tidakmengikatkeduanya Amanah Sekunder

2 Hawalah Ridha’iy Mengikatkeduanya Dhamanah Sekunder

3 Kafalah Ridha’iy Mengikatsatupihak Dhamanah Sekunder

4 Qardh Syakliyah Tidakmengikatkeduanya Dhamanah Primer

5 Rahn Syakliyah Mengikatsatupihak Dhamanah Sekunder

6 Hibah Syakliyah Tidakmengikatkeduanya Amanah Primer

7 Wadiah Syakliyah Tidakmengikatkeduanya Amanah Primer


Sedangkan Hak ‘aini adalah
kewenangan dan keistimewaan yang
timbul karena hubungan antara
seseorang dengan benda tertentu
secara langsung. Yang termasuk hak
aini, yaitu:
Macam-macam hak aini

Pertama, haq al-milk (hak milik) yaitu


keistimewaan (yang dimiliki seseorang)
atas suatu benda yang menghalangi
pihak lain dari benda tersebut, dan
pemiliknya dapat menggunakannya
secara langsung selama tidak
bertentangan dengan kepatutan hukum
(syar’i). Uraian tentang hak milik akan
dibahas dalam sub bab tersendiri.
Kedua, Haqq intifa’, yaitu hak untuk
memanfaatkan harta benda orang lain
melalui sebab-sebab yang dibenarkan
oleh syara’. Di antara sebab-sebab
yang menimbulkan hak intifa’ adalah
pinjam-meminjam (i’arah), sewa
menyewa (ijarah), wakaf, wasiat
untuk memanfaatkan barang tertentu
(wasiat bi al-manfaat).
Ketiga, Haqq Irtifa, yaitu hak yang berlaku
atas suatu benda tidak bergerak untuk
kepentingan benda tidak bergerak milik
pihak lain. Adapun penyebab timbulnya
hak irtifa’ adalah
• Al syirkah al ‘ammah (hubungan
ketetanggaan dengan fasilitas umum
seperti, jalan, dan sungai)
• Kesepakatan pihak-pihak yang berakad
• Kesepakatan Jiwar ( ketetanggaan ).
3. Dari Segi Kewenangan Pengadilan
terhadap Hak Itu.

Dari segi ini, para ulama fiqh membaginya kepada


2 macam, yaitu:
a. hak diyaniy
Hak diyaniy yaitu hak-hak yang pelaksanaannya
tidak menjadi wewenang oleh kekuasaan
kehakiman.
b. hak qadha’i.
yaitu seluruh hak yang tunduk di bawah aturan
atau wewenang kekuasaan kehakiman, sepanjang
pemilik hak tersebut mampu menuntut dan
membuktikannya di depan pengadilan.
D. Sumber-Sumber Hak dan Sebab-
Sebabnya
sumber hak itu menurut para ulama fiqh ada lima, yaitu:
• Syara’, seperti kewajiban nafkah suami untuk istri dan anak.
• Akad, seperti akad jual beli, hibah, dan ijarah dalam
pemindahan hak milik
• Kehendak satu pihak (al-iradah al-munfaridah), seperti janji
dan nazar
• Perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi hutang yang
menurutnya ia berhutang kepada seseorang atau melunasi
hutang orang lain atas perintahnya.
• Perbuatan yang menimbulkan kemudharatan bagi orang
lain, seperti kewajiban seseorang membayar ganti rugi
(dhaman) akibat kelalaiannya dalam merusak sesuatu milik
seseorang, atau karena memakai barang orang lain tanpa
izin (ghashab
E. Ketentuan-ketentuan yang Berkaitan
dengan Hak

Yang dimaksud dengan ketentuan-


ketentuan yang terkait dengan hak
(ahkam al-haq) disini adalah dampak
atau akibat yang muncul setelah
tetapnya suatu hak pada pemiliknya,
Para ulama fiqh mengemukakan ada
beberapa ketentuan hukum yang
terkait dengan adanya hak, yaitu:
1. Pelaksanaan dan Penuntutan Hak
2. Pemeliharaan Hak
3. Penggunaan Hak
1. Pelaksanaan dan Penuntutan Hak

Para pemilik hak harus melaksanakan hak-haknya itu


dengan cara-cara yang disyari’atkan.Dalam persoalan hak
Allah yang berkaitan dengan persoalan ibadah, seseorang
harus menunaikannya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Allah.Apabila seseorang tidak mau
menunaikan hak Allah itu dan hak itu terkait dengan
persoalan harta, seperti zakat, maka hakim berhak untuk
memaksanya menunaikan zakat. Jika hak Allah itu tidak
terkait dengan persoalan harta, maka hakim harus
mengajak orang itu untuk menunaikan hak itu dengan
menempuh berbagai cara. Jika orang itu tetap tidak mau
menunaikan hak Allah itu, Allah akan menurunkan
cobaan-cobaan-Nya di dunia ini dan di akhirat ia akan
disiksa.
2. Pemeliharaan Hak
Dalam persoalan hak manusia penunaiannya dilakukan
dengan cara mengambilnya dan membayarkannya kepada
orang yang berhak menerimanya (pemilik hak). Misalnya, jika
seseorang mencuri harta orang lain, maka pencuri itu harus
mengembalikan harta itu jika masih utuh atau menggantinya
dengan nilai harta itu, jika harta yng dicuri tidak utuh
lagi.Yang terpenting dalam kasus seperti ini, menurut para
ulama fiqh adalah sifat keadilan dalam pengembalian hak,
sehingga masing-masing pihak tidak dirugikan. Atas dasar
keadilan ini, syariat islam menganjurkan agar para pemilik
hak berlapang hati dalam menuntut dan menerima haknya,
apalagi orang yang mengambil hak itu mempunyai kesulitan.
Hal ini, menurut ulama fiqh sejalan dengan firman Allah
dalam surat al-Baqarah,2. 280 yang berbunyi:
‫وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة وأن تصدقوا خير لكم‬
‫إن كنتم تعلمون‬
Dan jika ( orang berhutang itu ) dalam
kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan ( sebagian
atau semua hutang itu ), lebih baik bagimu,jika
kamu mengetahui.
Yang dimaksud dengan ungkapan
menyedekahkan dalam ayat ini menurut para
mufasir dan fukaha’ adalah memaafkan hutang
itu.
Dari ayat di atas dan ayat –ayat sebelumnya jelas
bahwa konsep sedekah adalah alternatif terakhir
setelah meminjamkan hak dan harta kita
Apabila kita perhatikan surat al-Baqarah ayat
278-279 hal tersebut menunjukan bahwa konsep
meminjamkan harta lebih memberikan unsur
pendidikan yang lebih dari sekedar
mensedekahkan harta kita.
Bahkan dalam suatu riwayat dikatakan bahwa
meminjamkan uang lebih besar pahalanya dari
pada mensedekahkannya.
pada dasarnya para ulama berbeda pendapat
dalam memandang mana yang lebih utama,
bersedekah atau memberi pinjaman atau
hutang? Sebagian ulama mengatakan bahwa
memberi pinjaman lebih utama  daripada
bersedekah. Di antara dalil yang mereka pakai
adalah hadits riwayat al-Bayhaqi,
"Meminjamkan sesuatu lebih baik daripada
menyedekahkannya." Atau riwayat yang
berbunyi, "Sedekah mendapat balasan sepuluh
kalinya, sementara meminjamkan mendapat
balasan delapan belas kali."
Sementara sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa bersedekah lebih baik
daripada memberi pinjaman. Di antara
dalilnya dengan hadits yang berbunyi,
"Siapa yang memberi pinjaman satu dirham
dua kali maka ia mendapatkan pahala
seperti bersedekah satu kali." Selain itu,
siapa yang menanggalkan hartanya karena
Allah lebih baik daripada yang memberi lalu
mengambilnya kembali.
2. Pemeliharaan Hak
Para ulama fiqh menyatakan bahwa syariat islam
telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk
memelihara dan menjaga haknya itu dari segala
bentuk kesewenagan orang lain, baik yang
menyangkut hak-hak kepidanaan maupun hak-hak
keperdataan. Apabila harta seseorang dicuri, maka
ia berhak menuntut secara pidana dan secara
perdata. Tuntutan pidana dengan melaksanakan
hukuman potong tangan, dan secara perdata
menuntut agar harta yang dicuri itu dikembalikan,
jika masih utuh dan mengganti yang senilai
dengan harta yang dicuri jika harta itu telah habis
3. Penggunaan Hak
Para ulama fiqh menyatakan bahwa hak
itu harus digunakan untuk hal-hal yang
disyariatkan Islam. Atas dasar itu
seseorang tidak boleh menggunakan
haknya apabila dalam penggunaan hak itu
merugikan atau memberikan mudharat
kepada pihak lain, baik perorangan
maupun masyarakat, baik dengan sengaja
memberi mudharat kepada pihak lain
maupun tidak sengaja.
Perbuatan-perbuatan yang memberi mudharat
kepada orang lain, sengaja atau tidak, di dalam
fiqh disebut dengan
a. ta’assuf fi isti’mali al-haqq (sewenang-wenang
dalam menggunakan hak). Ta’assuf fi isti’mal al-
haqq dilarang oleh syara’.
b. Ta’addimenggunakan sesuatu yang bukan haknya
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ta’assf fi
isti’mal al-haqq itu dilarang syara’ diantaranya
adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah,2:231
yang berbunyi:
‫وإذا طلقتم النساء فبلغن أجلهن فأمسكوهن بمعروف أو‬
‫سرحوهن بمعروف وال تمسكوهن ضرارا لتعتدوا‬
‫ومن يفعل ذلك فقد ظلم نفسه‬
Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka
mendekati akhir’iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma’ruf pula. Jangan lah kamu
rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya
merekaBarangsiapa berbuat demikian, maka sungguh
ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri
Dalam ayat ini, menurut ulama fiqh, para suami
dilarang untuk menggunakan hak rujuk mereka
dengan tujuan untuk menganiaya istri mereka,
sebagaimana yang dilakukan para lelaki di masa
jahiliyah. Dalam persoalan wasiat juga tidak boleh
dilakukan ta’assuf fi isti’mal al-haqq, sebagaimana
firman Allah dalam surat an-Nisa’,4:12 yang
berbunyi:
‫من بعد وصية يوصين بها أو دين غير مضار‬
…sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat ( kepada ahli warisnya )…
Berdasarkan ayat di atas, para pakar
fiqh menyatakan bahwa berwasiat
tidak dibolehkan apabila memberi
mudharat kepada ahli waris,
sekalipun hak wasiat adalah hak
orang yang wafat itu sebelum ia
wafat.
F. Pemindahan Hak

Sebagai pemilik hak, menurut para ulama


fiqh, seseorang boleh memindah tangankan
haknya kepada orang lain sesuai dengan
cara-cara yang disyariatkanIslam, baik yang
menyangkut hak kehartabendaan, seperti
melalui jual beli dan hutang, maupun hak
yang bukan bersifat kehartabendaan,
seperti hak perwalian terhadap anak kecil.
Kedua bentuk hak ini boleh dipindahkan
kepada pihak lain.
Sebab-sebab pemindahan hak yang disyariatkan
Islam itu cukup banyak diantaranya melalui:
a. akad (transaksi)
b. pengalihan hutang (al-hiwalah)
c. disebabkan wafatnya seseorang.
Yang penting pemindahan hak ini, menurut para ulama fiqh,
dilakukan sesuai dengan cara dan prosedur yang ditetapkan
oleh syara’. Misalnya, dalam persoalan wasiat atau hibah,
hak yang dipindahkan itu tidak melebihi sepertiga harta,
menuntut nafkah kepada suami harus sesuai dengan
kemampuan suami, dan melakukan berbagai transaksi harus
memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan syara
pengalihan hutang (al-hiwalah)
• Kegiatan hutang piutang merupakan suatu kelaziman
dalam aktivitas kehidupan manusia. Dalam kegiatan
hutang piutang tersebut, seringkali terjadi pemindahan
hutang atau piutang dari satu pihak kepada pihak
lainnya.
• Islam sejak kelahirannya telah melegitimasi kebolehan
praktek ini, karena dipandang dapat mengurangi
kesulitan serta mendatangkan kemudahan dan
kemaslahatan bagi kegiatan ekonomi manusia.
Selanjutnya Lihat slide tentang hiwalah
G. Berakhirnya Suatu Hak

Suatu hak hanya akan berakhir sesuai dengan


sebab-sebab yang telah ditentukan atau
ditetapkan syara’, dan masing-masing hak
memiliki perbedaan dalam cara mengakhirinya.
Misalnya hak milik akan berakhir dengan
terjadinya suatu transaksi jual beli, haqq al-
intifa’akan berakhir apabila akadnya dibatalkan,
baik karena telah habis masa berlakunya,
seperti dalam sewa-menyewa maupun batal
karena terdapatnya cacat atau uzur dalam akad
itu, seperti runtuhnya rumah yang disewa.
hak piutang bagi kreditur akan
berakhir dengan dibayarkan hutang
oleh debitur, atau dibebaskan
hutang (al-ibra’) tersebut oleh
kreditur, atau dengan saling
melepaskan hutang-piutang
keduanya yang memiliki jumlah yang
sama (muqashah).
H. Hak Milik
1. Pengertian hak milik
2. Sebab-seba Kepemilikan
3. Sifat kepemilikan
4. Macam-macam hak milik
5. Berakhirnya kepemilikan
1. Pengertian Hak Milik
• Secara etimologi, kata milik berasal
dari bahasa Arab al-Milk yang
berarti penguasaan terhadap
sesuatu. Al-milk juga berarti sesuatu
yang dimiliki (harta).
• Secara terminologi, ada beberapa
definisi al-milk yang dikemukakan
oleh para fuqaha, antara lain :
• Definisi yang disampaikan oleh
Muhammad Musthafa al-syalabi
‫• اختصاص بالشيئ يمنع الغير ويمكن صاحبه من‬
‫التصرف فيه ابتداء اال لمانع شرعي‬
“Hak milik adalah keistimewaan (ihtishash)
atas suatu benda yang menghalangi pihak lain
bertindak atasnya dan memungkinkan
pemiliknya membelanjakannya secara
langsung selama tidak ada halangan syara
(halangan yang ditetapkan hukum Islam).
• Ali al-Khafifi3 menyampaikan definisi
sebagai berikut :
• ‫اختصاص يمكن صاحبه شرعا ان يستبد‬
‫بالتصرف واالنتفاع عند عدم المانع الشرعي‬
“Hak milik adalah keistimewaan yang
memungkinkan pemiliknya bebas
membelanjakan dan
memanfaatkannya sepanjang tidak
ada halangan syara’
• Definisi yang disampaikan oleh
Musthafa Ahmad al-Zarqa4 :
‫التصرف إال المانع‬
ّ ‫اختصاص حاجز شرعا صاحبه‬
“Milik adalah keistimewaan (ihtishash)
yang bersifat menghalangi (orang lain)
yang syara’ memberikan kewenangan
kepada pemiliknya membelanjakan
kecuali terdapat halangan syara’.
• Definisi yang disampaikan oleh
Wahbah al-Zuhaily:
‫• اختصاص بالشيئ يمنع الغير منه ويمكن‬
‫صاحبه من التصرف ابتداء إال لمانع شرعي‬
“Milik adalah keistimewaan (istishash
terhadap sesuatu yang menghalangrang
lain darinya dan pemiliknya bebas
membelanjakannya secara langsung
kecuali ada halangan syar’iy.”
Seluruh definisi yang disampaikan di atas
menggunakan term ihtishash sebagai kata kunci
milkiyah. Jadi hak milik adalah sebuah ihtishash
(keistimewaan/kekhususan). Dalam definisi
tersebut terdapat dua ihtishash atau
keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada
pemilik harta :
• Pertama, keistimewaan dalam menghalangi orang
lain untuk memanfaatkannya tanpa kehendak
atau tanpa izin pemiliknya.
• Kedua, keistimewaan dalam mebelanjakannya
(tasharruf). Tasarruf adalah :
‫كل مايصدر من شخص بإرادته ويرتب الشرع‬
‫عليه نتائج حقوقية‬
“Sesuatu yang dilakukan oleh
seseorang berdasarkan iradah
(kehendak)-nya dan syara’
menetapkan atasnya beberapa
konsekuensi yang berkaitan dengan
hak”
Jadi pada prinsipnya atas dasar
milkiyah (pemilikan) seseorang
mempunyai keistimewaan berupa
kebebasan dalam
membelanjakannya selama tidak
ada halangan tertentu yang diakui
oleh syara’.
Halangan syara’ (al-mani’) yang membatasi
kebebasan pemilik dalam membelanjakan sesuatu
yang menjadi haknya ada dua macam; Pertama,
halangan yang disebabkan karena pemilik
dipandang tidak cakap secara hukum, seperti anak
kecil, atau karena safih (cacat mental), atau
karena alasan taflis (pailit).,
Kedua, halangan yang dimaksudkan untuk
melindungi hak orang lain seperti yang berlaku
pada harta bersama, dan halangan yang
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan orang
orang lain atau kepentingan masyarakat umum.
2. Sebab-sebab Kepemilikan

Harta yang dikuasai manusia pada


hakekatnya adalah milik Allah swt.
Kedudukan manusia hanyalah sebagai
makhluk yang diberi amanah (kepercayaan)
untuk menguasai dan mendayagunakan
harta tersebut sesuai dengan petunjuk
Allah dan rasulnya. Walaupun demikian
tidak semua manusia dapat menguasai
atau memilikinya sehingga ia dapat
dengan bebas mendayagunakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki
antara lain :
Pertama Penguasaan terhadap harta bebas (ihraz al-
mubahat), yaitu harta yang belum dimilki orang
lain secara sah dan tak ada penghalang syara’
untuk memilikinya.” Untuk memiliki benda-benda
bebas yang diperlukan dua syarat, yaitu
a. Benda bebas tersebut belum dikuasai oleh orang
lain. Contoh Seseorang mengumpulkan air dalam
suatu wadah, maka orang lain tidak berhak
mengambil air tersebut, sebab telah dikuasai oleh
orang lain.
b. Adanya niat (maksud) untuk memiliki.
Maka seseorang memperoleh harta bebas
tanpa adanya niat, tidak dianggap telah
menguasai harta tersebut, umpamanya
seorang memancing di sungai karena hobbi,
kemudian ikan hasil pancingan ditinggal saja
dipinggir sungai tanpa dibawa pulang, maka
dalam keadaan seperti itu ikan belum benjadi
miliknya karena dia tidak bermaksud
memilikinya hanya ingin menyalurkan
hobinya (kegemaran)
Kedua: Khalafiyah, yaitu berpindahnya
sesuatu menjadi milik seseorang karena
kedudukannya sebagai penerus pemilik
lama atau kedudukannya sebagai pemilik
barang tertentu yang telah rusak/musnah
dan digantikan dengan sesuatu yang baru
oleh orang yang merusakannya.
Atas dasar pengertian di atas, Khalafiyah
dibagi menjadi dua macam, yaitu :
– Khalafiyah syakhsy’ an syakhsy, yaitu si waris
menempati tempat si muwaris dalam memilik
harta-harta yang ditinggalkan oleh muwaris,
harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut
tirkah.
– Khalafiyah Syai ’an Syai, yaitu apabila
seseorang merugikan milik orang lain atau
menyerobot barang orang lain, kemudian rusak
ditangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar
harganya dan diganti kerugian-kerugian pemilik
harta. Maka khalafiyah syai’an syai’ ini disebut
tadhmin atau ta’widh (menjamin kerugian).
‫اعتَ ُد ْوا َعلَْي ِه مِبِثْ ِل َم ا ْاعتَ َدى‬ ْ َ‫• … فَ َم ِن ْاعتَ َدى َعلَْي ُك ْم ف‬
. َ ‫َن اللَّهَ َم َع الْ ُمت َِّقنْي‬
َّ ‫ َو ْاعلَ ُم ْوا أ‬،َ‫ َو َّات ُقوا اللَّه‬،‫َعلَْي ُك ْم‬
• “…maka, barang siapa melakukan aniaya
(kerugian) kepadamu, balaslah ia,
seimbang dengan kerugian yang telah ia
timpakan kepadamu. Bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertakwa.” (al-
baqarah 194)
Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah,
Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan
Ibn Umar, Nasa’i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu
Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar,
Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu
Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah):
•‫…مطْ ُل الْغَنِ ِّي ظُْل ٌم‬
َ
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan
oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
Hadis Nabi riwayat Nasa’i dari Syuraid bin
Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid,
Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan
Ahmad dari Syuraid bin Suwaid:
•ُ‫ضهُ َوعُ ُق ْو َبتَه‬ ‫ر‬ ِ ‫يَلُّ الْو ِاج ِد حُيِ ُّل‬.
‫ع‬
َ ْ َ
“Menunda-nunda (pembayaran) yang
dilakukan oleh orang mampu menghalalkan
harga diri dan pemberian sanksi
kepadanya.”
‫‪Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-‬‬
‫‪Dhaman, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998:‬‬
‫ِّي أَ ِو اخْلَطَِأ (‪)87‬‬ ‫َ ْ‬ ‫د‬ ‫َّع‬
‫الت‬‫ِ‬
‫ب‬ ‫ع‬‫ِ‬ ‫الضر ِر الْواقِ‬
‫َ َ‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬‫ة‬‫ي‬
‫َ‬
‫ِ‬
‫ط‬ ‫غ‬
‫ْ‬ ‫ت‬
‫َ‬ ‫و‬‫َ‬ ‫ه‬
‫ُ‬ ‫‪:‬‬ ‫ض‬‫ُ‬ ‫ي‬
‫ْ‬ ‫ِ‬
‫و‬ ‫َّع‬
‫ْ‬ ‫لت‬ ‫ا‬
‫َ‬
‫ض ‪ُ :‬ه َو إَِزالَةُ َّ‬
‫الضَر ِر‬ ‫َّع ِويْ ِ‬
‫الت‬ ‫و‬‫ِ‬ ‫َ‬
‫أ‬ ‫الضم ِ‬
‫ان‬ ‫َّ‬ ‫يِف‬ ‫ام‬
‫ُّ‬ ‫ع‬ ‫ل‬
‫ْ‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫َص‬ ‫أل‬ ‫ا‬
‫َ‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬
‫ف َوإِ َع َادتُ ُه‬‫ص الَ ِح احْل ائِ ِط‪ ...‬أَو جْبر الْمْتلَ ِ‬ ‫ِ‬
‫َعْينً ا‪َ ،‬ك ْ‬
‫إ‬
‫ْ َُ ُ‬ ‫َ‬
‫ان َكِإ َع َاد ِة الْ َم ْك ُس ْو ِر‬ ‫ان ِعْن َد اْ ِإلم َك ِ‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ك‬
‫َ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ك‬‫َ‬
‫َ ًْ َ‬ ‫ا‬ ‫ح‬ ‫ي‬ ‫ص ِ‬
‫ح‬
‫ض الْ ِمثْلِ ُّي أَ ِو‬ ‫ي‬ ‫ِ‬
‫و‬ ‫َّع‬
‫الت‬
‫َ َ َ ََ َ ْ ْ ُ‬ ‫ب‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫ص ِحيحا‪ ،‬فَِإ ْن َتع َّذر ذَلِ‬
‫َ ًْ‬
‫ي (‪)94‬‬ ‫الن ْق ِد ُّ‬
‫َّ‬
“Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang
terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan” (h. 87).
“Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat
berupa:
(a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar,
bahaya), seperti memperbaiki dinding...
(b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh
kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti
mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh
kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka
wajib menggantinya dengan benda yang sama
(sejenis) atau dengan uang” (h. 94).
‫ص الِ ِح َواخْلَ َس َارةُ الْ ُمْنتَ ِظَرةُ َغْي ُر‬ ‫م‬
‫َ ُ َ َ‬‫ل‬
‫ْ‬ ‫ا‬ ‫اع‬ ‫ي‬‫ض‬‫وأ ََّم ا ِ‬
‫َ‬
‫َضَر ُار اْأل ََدبِيَّةُ أَ ِو‬ ‫أل‬ ‫ا‬ ‫ِ‬
‫و‬ ‫َ‬
‫أ‬
‫ُ ْ َ ََْ ُ ْ ْ‬‫)‬ ‫ة‬ ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫س‬ ‫م‬‫ْ‬‫ل‬ ‫ا‬ ‫ِ‬
‫َي‬ ‫أ‬ ‫(‬ ‫ِ‬
‫ة‬ ‫الْ ُم َؤ َّك َد‬
‫َص ِل احْلُ ْك ِم الْ ِف ْق ِه ِّي‪،‬‬ ‫أ‬ ‫يِف‬ ‫ا‬
‫َُ ُ َ َ ْ ْ‬‫ه‬ ‫ن‬‫ْ‬ ‫ع‬ ‫ض‬ ‫و‬‫َّ‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ال‬
‫َ‬ ‫ف‬
‫َ‬ ‫ة‬
‫ُ‬ ‫ي‬
‫َّ‬ ‫ِ‬
‫و‬ ‫الْ َم ْعنَ‬
‫ال الْ َم ْو ُج ْو ُد الْ ُم َح َّق ُق‬‫ض ُه َو الْ َم ُ‬ ‫َّع ِويْ ِ‬ ‫الت‬
‫َ ْ‬ ‫ل‬ ‫َ‬ ‫حَم‬ ‫َّ‬
‫َن‬ ‫ِأل‬
‫فِ ْعالً َوالْ ُمَت َق َّو ُم َش ْر ًع ا (‪( )96‬وهب ة الزحيل ي‪،‬‬
‫نظرية الضمان‪ ،‬دار الفكر‪ ،‬دمشق‪)1998 ،‬‬
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan
terjadinya kerugian yang belum pasti di
masa akan datang atau kerugian
immateriil, maka menurut ketentuan
hukum fiqh hal tersebut tidak dapat
diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu
karena obyek ganti rugi adalah harta yang
ada dan konkret serta berharga (diijinkan
syariat untuk memanfaat-kannya” (h. 96).
Fatwa DSN-MUI No. 43
Ketentuan Umum
1.Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan
atas pihak yang dengan sengaja atau karena
kelalaian melakukan sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan akad dan
menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2.Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah
kerugian riil yang dapat diperhitungkan
dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2
adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam
rangka penagihan hak yg seharusnya
dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai
dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti
dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut
dan bukan kerugian yang diperkirakan akan
terjadi (potential loss) karena adanya peluang
yang hilang (oppor-tunity loss atau al-furshah
al-dha-i’ah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh
dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti
salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan
Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu
pihak dalam musyarakah apabila bagian
keuntungannya sudah jelas tetapi tidak
dibayarkan.
Ketentuan Khusus
1.Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat
diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang
menerimanya.
2.Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai
dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya
tergantung kesepakatan para pihak.
3.Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan
dalam akad.
4.Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya
perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses
penyelesaian perkara.
POKOK-POKOK ATURAN MURABAHAH
FATWA DSN-MUI

PELUNASAN DINI Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan


pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati,
LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut,
dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.
Besar potongan sebagaimana dimaksud diatas diserahkan pada kebijakan
dan pertimbangan LKS (Ps.1:1-2, Fatwa No.23/2002)
DENDA / SANKSI Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak
mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh
dikenakan sanksi.
Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu bertujuan agar nasabah lebih
disiplin dalam melaksanakan kewajibannya
Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas
dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani
Dana yang berasal dari denda diperuntukan sebagai dana sosial
(Ps.1:3-6, Fatwa No.17/2000)
TA’WIDH (Fatwa No.43/2004)
• Sengaja atau lalai menyimpang dari akad dan menimbulkan kerugian
• Kerugian riil adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
penagihan hak yang seharusnya diterima
• Real Lost not Opportunity Lost
• Besarnya gantirugi tidak boleh dicantumkan dalam akad
75
POKOK-POKOK ATURAN MURABAHAH
FATWA DSN-MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 (Lanjutan...)

EKSEKUSI Finance boleh melakukan penyelesaian (settlement) murabahah


JAMINAN bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi
(Penyelesaian pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati,
Murabahah Macet/
dengan ketentuan:
gagal bayar)
a.Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS
FATWA DEWAN dengan harga pasar yang disepakati;
SYARI’AH b.Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil
NASIONAL penjualan;
Nomor: 48/DSN- c.Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS
MUI/II/2005 mengembalikan sisanya kepada nasabah;
d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa
hutang tetap menjadi hutang nasabah;
e.Apabila nasabah masih memiliki sisa hutang kepada LKS dan
memiliki jaminan , maka LKS boleh menjual jaminan lainnya
tersebut untuk melunasi hutang nasabah;

76
Ketiga: Tawallud Mamluk, yaitu
segala sesuatu yang lahir atau
tumbuh dari obyek hak yang telah
dimiliki, menjadi hak bagi yang
memiliki obyek hak tersebut.
Misalnya bulu domba menjadi milik
pemilik domba.
Keempat: Akad, yaitupertalian atau
keterikatan antara ijab dan qabul
sesuai dengan kehendak syari’ah
(Allah dan Rasulnya) yang
menimbulkan akibat hukum pada
obyek akad. Seperti akad jual beli,
hibah, dan wasiat. Akad merupakan
sumber utama kepemilikan.
3. Sifat Kepemilikan

Dari keempat sebab yang


dikemukakan ulama fiqih di atas,
maka seseorang menjadi pemilik
dari harta yang telah diusahakan dan
dikuasai tersebut. Namun timbul
pertanyaan tentang apakah
pemilikan harta itu bersifat mutlak.
Persoalan ini dibahas ulama fiqih dalam kaitan milik
pribadi dengan kepentingan umum. Mereka sepakat
bahwa islam sangat menghormati kemerdekaan
seseorang untuk memiliki sesuatu, selama itu sejalan
dengan cara yang digariskan syara’. Ia bebas
mengembangkan hartanya tersebut dan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang
jujur. Namun demikian, pemilik harta secara hakiki
adalah Alla SWT. Seseorang dikatakan memiliki harta
hanya secara majasi dan harta itu merupakan
amanah di tangannya yang harus dipergunakan
untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain (QS.5:120
dan QS.57:7)
‫ض َو َما فِي ِه َّن َو ُه َو َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ٌير‬ ِ ‫السماو‬
ِ ‫ات َواأل َْر‬ َ َ َّ ُ ُ ‫ل‬
‫ك‬ ‫ل‬
ْ ‫م‬ ِ
‫ه‬ ‫ل‬
ِّ
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada
di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (al-
Maidah (5): 120)
‫ين َآمنُوا ِمن ُك ْم‬ ِ َّ‫َنف ُقوا مِم َّ ا جعلَ ُك م ُّمس تخلَ ِفني فِ ِيه فَال‬
‫ذ‬ ِ ‫ِآمنوا بِاللَّ ِه ورس ولِِه وأ‬
َ َ ْ َ ْ ََ َ ُ ََ ُ
‫َجٌر َكبِ ٌري‬
ْ ‫َوأَن َف ُقوا هَلُ ْم أ‬
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya . Maka orang-orang yang beriman di antara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar (al-Hadid (57): 7)
.
Islam menganggap setiap individu adalah bagian
yang tak terpisahkan dari masyarakat. Oleh
sebab itu, pada setiap harta seseorang, banyak
atau sedikit, ada hak-hak lain yang harus
ditunaikan,seperti zakat, sedekah, dan nafkah.
Hal inilah yang dimaksudkan Rasulullah SAW
dalam sabdanya: “sesungguhnya dalam setiap
harta itu ada hak-hak orang lain selain dari zakat.
(HR. At-Tirmidzi). Dalam hadis lain Rasululloh
SAW bersabda: “bumi ini adalah bumi Allah, dan
siapa yang menggarapnya ia lebih berhak atas
garapannya itu” (HR. Al-Bukhari)
‫يل هّللا ِ َوالَ ُت ْلقُو ْا ِبأ َ ْيدِي ُك ْم إِ َلى ال َّت ْهل ُ َك ِة‬
ِ ‫َوأَنفِقُو ْا فِي َس ِب‬
Dan belanjakanlah di jalan ZAKAT Allah dan janganlah
PERBEDAAN kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
ZAKAT - INFAQ - SEDEKAH kebinasaan. (QS.nadzar Al-Baqarah : 195)
wajib

ِ ‫ون أَم َْوا َل ُه ْم فِي َس ِب‬


‫يل هّللا ِ َك َم َث ِل َح َّب ٍة‬ َ ‫َّم َث ُل الَّذ‬
َ ُ‫ِين يُنفِق‬
Perumpamaan (nafkah kaffarah
yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir (QS. Al-
di jalan Allah Baqarah yatim : 261)

SEDEKAH َ ‫ ِ ي َُوفَّ إِ َل ْي ُك ْم َوأَن ُت ْم الَ ُت ْظلَم‬masjid


  ‫ُون‬ ‫يل هّللا‬
ِ ‫َو َما ُتنفِ ُقو ْا مِن َشيْ ٍء فِي َس ِب‬
Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah
niscaya akan dibalasi dengan wakaf cukup kepadamu
INFAQ keluarkan harta - belanja dan kamu tidak
sunnah
akan dianiaya.beasiswa (QS. Al-Anfal : 60)

‫ض‬ِ ْ‫ت َواألَر‬ َ ‫هَّلِل ِ م‬dakwah


ُ ‫ِير‬
ِ ‫اث ال َّس َم َاوا‬ ِ ‫َو َما َل ُك ْم أَالَّ ُتنفِقُوا فِي َس ِب‬
‫يل هَّللا ِ َو‬
Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian
di jalan syetan hartamu) pada jalan Allah, qurban padahal Allah-lah yang
mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? (QS.
Al-Hadid aqiqah : 10)
Perbedaan Zakat Sedekah

Hukum wajib sunnah

Waktu tertentu bebas

Kriteria terbatas umum

Mustahik 8 ashnaf manfaat

Prosentase 2,5% 5% 10% 20% bebas

Perantara lewat amil bisa langsung


Ada beberapa batasan yang dikemukakan ulama
fiqih terhapap milik pribadi, diantaranya
sebagai berikut :
– tidak memberi mudharat kepada orang lain dan
sebaiknya orang lain pun ikut menikmati
manfaatnya.
– Dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat
dan pemerintah, seperti zakat, pajak, dan biaya
lainnya yang dibutuhkan negara dalam situasi
tertentu (misalnya perang), dan untuk kebutuhan
fakir miskin.
4. Macam-macam Hak Milik
a. Dari segi unsur harta (benda dan
manfaat)
b. Dari segi obyek (mahal)
kepemilikan
c. Dari sisi bentuknya
a. Dari segi unsur harta (benda dan
manfaat)

Pertama: Milk al-tam (pemilikan sempurna),


yaitu, apabila materi dan manfaat harta itu
dimiliki sepenuhnya oleh seseorang sehingga
seluruh hak yang terkait dalam harta itu
berada dibawah penguasaannya. Milik
seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi
masa, dan tidak bisa digugurkan orang lain.
Misalnya orang yang memiliki sebuah rumah
akan berkuasa penuh terhadap rumah itu
dan bisa memanfaatkannya secara bebas.
Menurut ulama fiqih, ciri khusus al-milk at-tamm
adalah:
• Sejak awal, pemilikan terhadap materi dan terhadap
manfaat harta itu bersifat sempurna
• Pemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang
dimiliki sebelumnya, artinya materi dan manfaat
sudah ada sejak pemilikan benda itu.
• Pemilikannya tidak dibatasi waktu
• Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka
masing-masing orang dianggap bebas
mempergunakan miliknya tersebut sebagaimana
milik mereka masing-masing.
Kedua:Milk al-naqish (pemilikan tidak sempurna),
yakni pemilikan atas salah satu unsur harta saja.
Dengan demikian Milk al-naqish ada dua
bentuk.
1. pemilikan atas manfaat tanpa memiliki
bendanya. Pemilikan manfaat seperti ini
diperoleh berdasarkan salah satu dari empat
sebab berikut ini : Ijarah, i’arah, wakaf, dan
wasiyat atas manfaat.
2. merupakan kebalikan dari yang pertama, yakni
pemilikan atas benda tanpa disertai pemilikan
atas manfaatnya. Misalnya orang yang
menyewakan rumahnya, maka rumah tersebut
statusnya dalah miliknya tetapi manfaat rumah
menjadi milik yang menyewa.
b. Dari Segi obyek
Pertama: Milk’ Ain (memiliki benda).
Pemilikan ini diperoleh melalui
empat sebab pemilikan yang telah
disampaikan di muka. Pada
prinsipnya pemilikan benda disertai
dengan pemilikan atas manfaat
benda, sampai ada kehendak untuk
melepaskan manfaat benda melalui
cara yang dibenarkan oleh syara’.
Kedua: Milk Manfaat, yaitu pemilikan
seseorang untuk memanfaatkan
suatu harta benda milik orang lain
dengan keharusan menjaga materi
bendanya. Seperti pemilikan atas
manfaat membaca buku, mendiami
rumah atau menggunakan segala
perabotan berdasarkan ijarah
(persewaan) atau ‘ariyah (pinjaman).
Ketiga: Milik Dain, yaitu pemilikan
harta benda yang berada dalam
tanggung jawab orang lain karena
sebab tertentu. Seperti harta yang
dihutangkan, harga jual yang belum
terbayar, harga kerugian barang
yang dirusak atau dimusnahkan oleh
pihak lain.
Dalam pandangan Fuqaha’ Hanafiyah
haqq al-intifa’ merupakan istilah lain dari
milk al-manfaat. Antara keduanya tidak
mempunyai implikasi hukum yang
berbeda. Sedang pandangan yang
berkembang dikalangan fuqaha’ jumhur
haqq al-intifa’ dan milk al-manfaat,
keduanya merupakan dua hal yang
berbeda dan masing-masing mempunyai
implikasi hukum yang berbeda.
Menurut pandangan fuqaha’ jumhur, milk al-
manfaat merupakan keistimewaan (ihtishash) yang
memberikan kewenangan kepada seseorang untuk
mengambil manfaat atas suatu harta benda untuk
diri sendiri dan kewenangan untuk menyerahkan
manfaat tersebut kepada pihak lain. Sedang haqq
al-intifa’ merupakan kewenangan (al-syulthah)
untuk memanfaatkan suatu harta benda untuk
kepentingan diri sendiri. Jadi pada prinsipnya haqq
al-intifa’ merupakan amanat berdasarkan perizinan
pemilik, oleh karena itu haqq al-intifa tidak dapat
diserahkan kepada pihak lain.
c. Dari sisi Bentuknya
Pertama: milk al-mutamayyaz (milik jelas)
adalah pemilikan sesuatu benda yang
mempunyai batas-batas yang jelas dan
tertentu yang dapat dipisahkan dari yang
lainnya. Seperti pemilikan terhadap
seekor binatang, sebuah kitab, sebuah
rumah dan lain-lain, atau pemilikan atas
sebagian tertentu dari rumah yang
terdiri dari beberapa bagian.
Kedua: milk al-masya’ (milik bercampur)
adalah pemilikan atas sebagian, baik
sedikit atau banyak, yang tidak tertentu
dari sebuah harta-benda, seperti
pemilikan atas separuh rumah, atau
seperempat kebundan lain sebagainya.
Ketika diadakan pembagian atas harta
campuran ini untuk masing-masing
pemiliknya, maka berakhirlah pemiliknya
masya’ menjadi pemilikan mutamayyaz.
E. Berakhirnya Kepemilikan

Ada beberapa sebab yang


menyebabkan berkhirnya al-milk at-
tamm menurut pakar fiqh, yaitu :
pertama, pemilik meninggal dunia,
sehingga seluruh miliknya
berpindahtangan kepada ahli
warisnya.
kedua, harta yang dimiliki itu rusak atau
hilang.
Adapun al-milk an-naqis atau pemilikan terhadap
manfaat suatu harta akan berakhir dalam hal-hal
sebagai berikut:
pertama, habisnya masa berlaku pemanfaatan itu,
misalnya pemanfaatan sawah berakhir setelah
padi dipanen, kedua, barang yang dimanfaatkan
itu rusak atau hilang.
Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqih
ketiga, orang yang
memanfaatkannyameninggal dunia.
Dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat. Menurut ulama mazhab
Hanafi, manfaat tidak dapat
diwariskan. Sebaliknya jumhur
ulama berpendapat bahwa manfaat
dapat diwariskan karena manfaat
termasuk harta.
Keempat, wafatnya pemilik harta apabila
pemilikan manfaat dilakukan melalui pinjam-
meminjam, sewa-menyewa. Dalam hal ini
pun terdapat perbedaan pendapat. Menurut
ulama mazhab Hanafi, akad ijarah tidak bisa
diwariskan. Sedangkan menurut jumhur
ulama, baik pinjam-meminjam maupun sewa
menyewa tidak berhenti masa berlakunya
apabila pemiliknya meninggal, karena kedua
akad ini boleh diwariskan.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai