Anda di halaman 1dari 6

Nama: Novia Laily Romadziyah Prodi: HES D

NIM: 33020210055 Matkul: Hukum Perikatan Islam

RUKUN DAN SYARAT PERIKATAN ISLAM

Suatu perikatan harus memenuhi beberapa rukun dan syarat yang harus ada
dalam setiap perikatan. Jika salah satu rukun tidak ada dalam perikatan yang
dibuatnya, maka perikatan tersebut dipandang tidak sah dalam pandangan hukum
Islam. Syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar'i dan
ia berada di luar hukum itu sendiri yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun
tidak ada.1 Sedangkan rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari suatu perbuatan yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu.2 Menurut ulama Ushul fiqih, perbedaan
antara rukun dan syarat ialah bahwa rukun termasuk ke dalam hukum itu sendiri
sedangkan syarat berada di luar hukum itu sendiri.

Mengenai rukun perikatan atau yang sering disebut juga dengan rukun akad
para ahli fiqih memiliki pendapat yang beraneka ragam. Di kalangan mazhab
Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya sighat al-'aqd (ijab kabul), dengan
syarat akadnya adalah al-'aqidain (subjek akad) dan mahallul 'aqd (objek akad).
Alasannya adalah al-'aqidain dan mahallul 'aqd bukan merupakan bagian dari
tasharruf aqad (perbuatan hukum akad) akan tetapi berada di luar perbuatan akad.
Pendapat mazhab Hanafi tersebut berbeda dengan pendapat dari kalangan Mazhab
Syafi'i termasuk imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Shihab al-
Karakhi, bahwa al-'aqidain dan mahallul 'aqd termasuk rukun akad karena kedua
hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam terjadinya akad.3

1
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van hoeve, 1996),
hlm. 1510.

2
Ibid., hlm. 1691-1692.

3
Ghufron A. Mas'adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grarindo Persada, 2002),
hlm. 79.

1
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-'aqidain, mahallul
'aqd, dan sighat al-'aqd. Selain tiga rukun tersebut ada juga para fuqaha yang
menambah rukun perikatan dengan maudhu'ul 'aqd (tujuan perikatannya).4 Berikut
beberapa komponen atau rukun yang harus terpenuhi dalam suatu perikatan atau
akad yaitu:

1. Al-'aqidain (Subjek perikatan atau pihak-pihak yang berakad)


Al-'aqidain adalah para pihak yang melakukan akad atau berperan sebagai
subjek perikatan yangmana tiap-tiap pihak tersebut mengemban hak dan
kewajibannya masing-masing. Subjek perikatan terdiri dari dua jenis yaitu
manusia dan badan hukum. Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah
pihak yang sudah dapat dibebani hukum atau yang disebut dengan mukalaf.
Mukalaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum atau orang
yang dapat dibebani hukum, yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT, baik
yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya.5 Syarat dari
mukalaf itu sendiri salah baligh dan berakal sehat, sedangkan menurut Hamzah
Ya'cub, syarat manusia sebagai subjek akad yakni aqil (berakal), tamyiz (dapat
membedakan), dan mukhtar (bebas dari paksaan).6
Sementara itu badan hukum sebagai subjek perikatan adalah badan yang
dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak,
kewajiban-kewajiban, dan hubungan hukum terhadap orang lain atau badan
lain.7 Syarat badan hukum sebagai subjek dalam perikatan yakni meliputi;
badan hukum tersebut berisi perkumpulan orang atau organisasi yang dapat

4
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. ke-1, edisi ke-
2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 23.

5
Ade Armando, dkk., Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2005), hlm. 77.

6
Hamzah Ya'cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi, (Bandung: CV Diponegoro, 1984), hlm. 79.

7
Raden Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, cet. ke-8, (Bandung: Sumur
Bandung, 1981), hlm. 23.

2
melakukan perbuatan hukum, mempunyai harta kekayaan tersendiri,
mempunyai pengurus, mempunyai hak dan kewajiban, dan dapat digugat atau
menggugat di depan pengadilan. Badan hukum dapat berupa perseroan atau
perkongsian yayasan, koperasi, dan bentuk-bentuk badan usaha lainnya. Badan
hukum tidak diatur secara khusus dalam sistem ekonomi Islam, akan tetapi ada
beberapa dalil hukum yang menunjukkan diperbolehkannya membentuk badan
hukum dengan istilah "al-syirkah" seperti yang tercantum dalam QS. an-Nisa
(4): 12, QS. Shaad (38): 24, dan hadis qudsi lainnya.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan al-'aqidain
terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu diantaranya:
a. Ahliyah atau kecakapan, adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak
dan dikenai kewajiban atasnya serta kecakapan melakukan tasharruf.
b. Wilayah atau kewenangan, adalah kekuasaan hukum yang memberikan
pemiliknya kewenangan untuk dapat ber-tasharruf dan melakukan akad,
serta menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan.
c. Wakalah atau perwakilan adalah pengalihan kewenangan perihal harta dan
perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil
tindakan tertentu dalam hidupnya.
Apabila hal-hal tersebut di atas telah terpenuhi, maka perikatan yang
dibuatnya mempunyai nilai hukum yang dibenarkan syara'.
2. Mahallul 'aqd (Objek perikatan)
Mahallul 'aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan
kepadanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa
benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda tidak berwujud
seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul 'aqd adalah
sebagai berikut:8
a. Objek perikatan telah ada ketika akan dilangsungkan
Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal seperti menjual
anak hewan yang masih di dalam perut induknya atau menjual tanaman
sebelum tumbuh. Alasannya karena sebab hukum dan akibat akad tidak

8
Ghufron A. Mas'adi, Op. cit., hlm. 86-89.

3
mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Akan tetapi
berdasarkan istihsan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kegiatan
muamalat terdapat pengecualian terhadap bentuk akad tertentu seperti
akad salam dan istishna yang objek akadnya diperkirakan akan ada di
masa yang akan datang.
b. Objek perikatan dibenarkan oleh Syariah
Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah
memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak
suci seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak
memiliki nilai dan tidak memiliki manfaat bagi manusia sehingga benda-
benda tersebut tidak diperbolehkan sebagai objek perikatan karena hal
tersebut tidak dibenarkan dalam syariah.
c. Objek akad harus jelas dan dikenali
Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan
dan diketahui oleh masing-masing pihak perikatan. Hal tersebut bertujuan
untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak yang
dapat menimbulkan sengketa.
d. Objek dapat diserah terimakan
Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahterimakan pada saat
terjadinya, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu,
disarankan bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama
agar mudah untuk menyerahkannya kepada pihak kedua.
3. Maudhu'ul 'aqd (Tujuan perikatan)
Maudhu'ul 'aqd atau tujuan perikatan adalah untuk apa suatu perikatan
dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dalam rangka melaksanakan suatu
muamalah antara manusia. Suatu perikatan yang memiliki tujuan bertentangan
dengan syara' adalah tidak sah. Ahmad Azhar Basyir mengemukakan syarat-
syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan memiliki
akibat hukum yaitu diantaranya:9

9
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Pers, 2000), hlm. 99-
100.

4
a. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa perikatan yang diadakan
b. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad
c. Tujuan akad harus dibenarkan syara'
4. Shigat al-'aqd (Ijab Kabul)
Sighat al-'aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad
berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari
pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah
suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan
oleh pihak pertama. Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan
ijab dan kabul akan memiliki akibat hukum yakni diantaranya:10
a. Jala'ul ma'na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki
b. Tawafuq, ya itu adanya kesesuaian antara ijab dan Kabul
c. Jazmul iradatani, ya itu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa

10
Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, cet. ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001), hlm. 253.

5
DAFTAR PUSTAKA

Armando, Ade dkk., Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005.

Ash-Shieddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh


Muamalah, cet. ke-1, edisi ke-2, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

Basyir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Pers, 2000.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996.

Djamil, Faturrahman, Hukum Perjanjian Syariah, cet. ke-1, Baandung: Citra


Aditya Bakti, 2001.

Mas'adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: yraja Gravindo


Persada, 2002.

Projodikoro, Raden Wirjono, Asas-Asas Hukum Perdata, cet. ke-8, Bandung:


Sumur Bandung, 1981.

Ya'qub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi, Bandung: CV Diponegoro, 1984.

Anda mungkin juga menyukai