Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Lembaga Keuangan Syariah


tentang
ESENSI AKAD

Oleh kelompok 2:

KHAIRUNISA ALYA RAMADHANA


NIM. 2213040145

Dosen Pengampu:
Ahmad Wira, M. Ag., M. Si., Ph. D

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1445H/2024 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akad atau perjanjian dalam kehidupan masyarkat menduduki posisi yang sangat penting.
Akad adalah segala bentuk perikatan atau perjanjian yang dilaksanakan oleh seseorang dengan
disertai komitmen untuk memenuhinya yang menimbulkan akibat hukum syar’i, baik yang terjadi
secara dua arah seperti akad jual-beli, sewa-menyewa, akad nikah dan lain-lain, maupun yang
terjadi secara satu arah seperti sumpah, nazar, talak, hibah, hadiah. Shadaqah dan Akad
merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang merepresentasikan
kehendak dari satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Tindakan hukum satu
pihak seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf, bukanlah akad, karena tindakan tindakan
tersebut tidak merupakan tindakan dua pihak dan karenanya tidak memerlukan qabul.
Konsepsi akad, menurut sebagian besar fuqaha memisahkan secara tegas kehendak sepihak
dari akad, namun sebagian lain menjadikan akad meliputi juga kehendak sepihak. Akad yang
mendasari setiap transaksi bisnis, dengan akad akan diketahui motivasi seseorang dalam
melaksanakan transaksi bisnis dan mengetahui sejauh mana transaksi bisnis dilakukan
berdasarkan syara’ serta bagaimana pelaksanaan akad dalam lembaga keuangan Syariah termasuk
perbankan Syariah. (Dewy Anita, 2019). Dalam perkembangan ekonomi syariah pada saat ini
sangat pesat. Secara teoritis maupun praktek yang kita lihat di indonesia, meskipun dari Negara-
negara lain banyak melirik dan menerepkan di negaranya begitu Perkembangan perbankan syariah
di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat
sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu
menerapkan sistem ini ditengah menjamurnya bank konvensional. Terbukti, krisis 1998 telah
menenggelamkan bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan sistem
bunganya. Berbanding terbalik dengan bank muamalat yang justru mampu bertahan dari badai
krisis tersebut dan menunjukan kinerja yang meningkat.
Hal inilah yang mendorong mulai dilirik sistem ekonomi syariah sebagai salah satu alternatif
bagi sistem ekonomi Indonesia. Bahkan apabila ekonomi syariah diterapkan secara maksimal
didukung oleh instrumen keuangan dan produkproduk hukum yang memayungi, akan mampu
membawa Indonesia menjadi negara kuat secara ekonomi yang berbasis kerakyatan. Untuk itu
sangat dibutuhkan peran serta seluruh elemen masyarakat mulai dari pemerintah maupun
masyarakat sebagai pelaku dan user. (Muhammad Ardi: 2016).

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah di dalam makalah ini yaitu bagaimana
esensi akad dalam lembaga keuangan syari’ah?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk menjelaskan tentang esensi akad dalam lembaga
keuangan syari’ah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Kata akad termasuk kedalam macam-macam tasharruf, yang dimaksud adalah segala
yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa
haknya. Lalu, tasharruf sendiri terbagi menjadi dua, yaitu tasharruf fi’li dan tasharruf
qauli. Tasharruf qauli merupakan tasharruf yang keluar dari mulut manusia, tasharruf
qauli terbagi menjadi dua pula, yaitu ‘aqdi (diucapkan langsung) dan bukan ‘aqdi.
Didalam istilah fiqih, akad berarti sesuatu yang menjadi tekad oleh satu orang atau lebih,
seperti wakaf, talak, jual beli, sewa, maupun gadai. Secara khusus akad berarti ketertarikan
antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan
penerimaan kepemilikan dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu
(Santoso, 2003).
Adapun menurut Kompilasi Hukum EkonomiSyariah, yang dimaksud dengan akad
adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tersebut (Mardani, 2016: 72). Jadi,
sederhananya akad adalah kesepakatan, perjanjian, ataupun transaksi yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih serta dilakukan dalam keadaan sadar, maksudnya tanpa paksaan dari
pihak manapun dalam kegiatannya sesuai dengan syariat Islam.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َبٰل ى َم ْن َاْو ٰف ى ِبَع ْهِدٖه َو ا َّتٰق ى َفِا َّن َهّٰللا ُيِح ُّب اْلُم َّتِقْيَن‬
"Sebenarnya barang siapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai
orang-orang yang bertakwa."
(QS. Ali 'Imran 3: 76)

.
B. Rukun dan syarat akad
1. Rukun akad
Dalam melaksanakan kegiatan yang menggunakan, haruslah diketahui terlebih
dahulu beberapa rukun, diantaranya:

3
a. ‘Aqid adalah orang yang berakad, terkadang bisa dari masing-masing pihak
berupa satu orang atau atau lebih, tergantung tentang apa akad tersebut
digunakan. Misalnya, pada akad jual beli dipasar tradisional disana biasanya
terdapat satu orang penjual dan satu orang pembeli.
b. Ma’uqud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan. Misalnya benda yang
digunakan dalam akad gadai, hibah, dsb.
c. Maudhu’ al’aqd ialah tujuan ataupun maksud pokok mengadakan akad.
d. Sighat al’aqd adalah ijab dan qabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang
keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak
berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam
pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan,
misalnya seseorang yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli
mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut
dari petugas pos1.

Dalam sighat al’Aqd ada hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:


1) Kata-kata dalam ijab dan qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak
pengertian, agar terhindar dari salah tafsir perkataan orang berijab kepada
orang yang mengucapkan qabul saat berakad begitupun sebaliknya.
2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak boleh antara orang yang
berijab dan yang menerima berbeda lafadz.
3) Pihak-pihak yang bersangkutan bersungguh-sungguh. Maksudnya tidak
dalam terpaksa atapun dibawah ancaman orang lain karena dalam tijarah
harus saling ridha.

Selain menggunakan lisan, berakad juga bisa dengan cara lain. Para ulama
menerangkan ada beberapa cara yang ditempuh dalam berakad, yaitu:
a) Dengan cara tulisan atau kitabah, misalnya kedua belah pihak
berjauhan tempatnya. Maka alternatif dengan tulisan dapat dilakukan,
dengan ketentuan tulisan tersebut dapat dipahami oleh kedua belah
pihak dengan baik dan jelas.

4
b) Isyarat, jika orang tersebut tidak dapat berbicara dan tidak pandai tulis
baca. Maka, ia boleh menggunakan isyarat karena isyarat bagi orang
bisu sama dengan ucapan lidah.
c) Ta’athi (saling memberi), alternatif ini mirip dengan sistem barter.
Namun, menurut sebagian ulama transaksi seperti itu tidak dibenarkan
karena akan sulit menentukan nilai masing-masing barang. Sehingga
akan menimbulkan ketidakadilan pada prosesnya, yang mana dalam
kegiatan perekonomian Islam ada keadilan didalamnya.
d) Lisan al hal, menurut sebagian ulama apabila ada orang yg
meninggalkan barang di hadapan orang lain, kemudian ia pergi dan
orang yang ditinggali barang tadi berdiam diri saja. Hal tersebut
dipandang telah terjadi akad ida’ (titipan).
2. Syarat-syarat akad
Terbagi atas dua syarat akad, yakni syarat umum dan syarat khusus. Pada
syarat khusus sendiri artinya syarat-syarat yang wujudnya wajib dalam sebagian
akad. Syarat khusus juga bisa disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada
disamping syarat-syarat umum, misalnya syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Lalu, syarat-syarat umum yang mesti dipenuhi yaitu:
a. Kedua belah pihak yang akan berakad harus cakap bertindak (ahli) atau
cakap hukum;
b. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya;
c. Akad, itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai
hak melakukannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang;
d. Tidak boleh akad yang dilarang oleh syara’;
e. Akad dapat memberikan faedah;
f. Ijab berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Kecuali orang
ygang berijab membatalkan ijabnya sebelum kabul, maka batal ijabnya.
g. Ijab dan kabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berhijab
sudah berpisah seblelum adanya kabul, maka ijab tersebut batal.
C. Macam-macam Akad

5
D. Akuntabilitas Organisasi

Akuntabilitas muncul sebagai konsekuensi logis adanya hubungan antara agent


dan principal. Akuntabilitas berawal untuk memenuhi permintaan atau kewajiban untuk
memberikan keterangan (justifikasi) atas aktivitas yang dilakukan seseorang terhadap orang lain
sebagai jawabannya (Gray, et al. 1987). Jadi esensi akuntabilitas adalah tentang
pemberian informasi antara dua pihak, yang satu pihak adalah bertanggung jawab
memberikan penjelasan atau justifikasi terhadap pihak yang lain sebagai
pertanggungjawaban itu adalah haknya (Gray, et al. 1997). Dua pihak yang ada dalam
kerangka pikir akuntabilitas biasanya dideskripsikan sebagai principal dan agent. Principal
diartikan sebagai pihak yang harus diberikan pertanggungjawaban dan agent dimaksudkan
sebagai pihak yang melakukan pertanggung jawaban (Gray et al.1987). Biasanya dalam
literatur akuntansi dikenal sebagai agency theoryyang melihat hubungan berdasarkan konsep
agent dan principal (Power, 1991; Harahap, 2005: 493). Power (1991) menggunakan konsep
principal-agent dalam membangun kerangka pikir untuk akuntabilitas lingkungan tempat
perusahaan mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat (principal)dalam
penghargaannya terhadap lingkungan. Gray dan Jenkins (1993: 55) menyatakan bahwa
hubungan akuntabilitas terdiri dari tiga unsur yang terkait satu dengan yang lain, yaitu
agent(accountor), principal(accountee), dan aturan akuntabilitas (code).
Agent merupakan pihak yang diberi tanggung jawab dan menyajikan
penjelasanatas pelaksanaan kepemimpinannya. Principal (accountee) merupakan pihak yang
mempercayakan tanggung jawab kepada agent dan memberi sanksi jika tindakan atau
jawaban agen tidak memuaskan. Aturan (code) merupakan dasar dari sebuah hubungan
akuntabilitas yang membatasi sifat akuntabilitas dan penyajian akun besertaberisi
harapan prinsipal terhadap agennya tentang sumberdaya, aktivitas, dan tanggung jawab
yang diberikan kepada agen. Akuntabilitas mengacu pada hubungan di mana
prinsipalmemiliki kemampuan untuk memperoleh jawaban dari agenatau pertanyaan tentang
perilaku mereka yang diusulkan sesuai, untuk melihat perilaku itu, dan untuk memberlakukan
sanksi terhadap agen dalam hal mereka menganggap perilaku tidak memuas-kan. Dalam
hubungan akuntabilitas,prinsipalbisa menginterogasi

(memeriksa) agendan bisa memberi sanksi jika tindakan atau jawaban agenttidak
memuaskan (Raba, 2006: 28).

Dalam organisasi bisnis, manajemen sebagai agen harus bertanggung jawab terhadap
prinsipal(pemegang saham atau shareholders). Demikian, Gray et al. (1996) mendefinisikan
akuntabilitas sebagai:The duty to provide an account (by no means necessarily ).

6
Akuntabilitas Organisasi yang berkembang pada lingkup yang lebih luas tidak hanya mencakup
pemerintahan, namun hingga ke organisasi-organisasi masyarakat yang ada pada saat ini,
seperti organisasi keagamaan. Indonesia yang merupakan negara yang beragama tentu
memiliki organisasi-organisasi keagamaan yang berkembang dengan baik Akuntabilitas akad
dalam konteks organisasi mengacu pada tanggung jawab dan kewajiban pihak-pihak yang
terlibat dalam pembentukan, pelaksanaan, dan pemenuhan akad atau perjanjian yang telah
disepakati. Akuntabilitas dapat didefinisikan sebagai menuntut dan memberikan account.
Dimana menuntut adalah dari pihak kepala sekolah (manajemen) dan pemberian
adalah tanggung jawab agen (masyarakat dan organisasi) .
Akuntabilitas ditunjukkan oleh individu dan organisasi tindakan tidak hanya melalui
pelaporan dan pengungkapan persyaratan, tetapi juga dalam tanggung jawab mereka kepada
publik. Dalam hal nilai-nilai organisasi dan kinerja. Menurut Standbury (2003) dalam
Mardiasmo (2006) menjelaskan pula, “Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam
mencapai tujuan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya melalui suatu media pertanggung
jawaban yang dilaksanakan secara periodik”. Akuntabilitas pada organisasi non-profit hingga
saat ini masih di dominasi oleh rasionalisasi hubungan principal-agent yang memperlihatkan
bahwa agent sebagai pihak ketiga diberi wewenang oleh principal untuk mengelola
organisasi dan berpihak kepada kepentingan principal. Hubungan principal-agent timbul
karena adanya pemisahan antara pemilik modal (principal) dan pengelolaan modal (agent).

dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara para
pihak yang melakukan muamalah, misalnya keadilan dalam pembagian bagi hasil
(nisbah) antara pemilik modal dan pengelola modal.
1. Prinsip Amanah (Trustworthy)
Prinsip amanah yaitu prinsip kepercayaan, kejujuran, tanggung jawab. Misalnya
dalam hal membuat laporan keuangan, dan lain-lain.
2. Prinsip Komitmen Terhadap Akhlaqul Karimah
Seorang pebisnis tulen harus memiliki komitmen kuat untuk mengamalkan
akhlak mulia, seperti tekun bekerja sambil menundukkan diri (berzikir kepada Allah),
jujur dan dapat dipercaya, cakap dan komunikatif, sederhana dalam berbagai keadaan,
memberi kelonggaran pada orang yang dalam kesulitan membayar utangnya,
menghindari penipuan, kolusi dan manipulasi, atau sejenisnya.
3. Prinsip Terhindar dari Jual Beli dan Investasi yang Dilarang

7
Dalam melakukan kegiatan ekonomi hendaklah terhindar dari berbagai praktik
jual beli yang terlarang seperti bai’ najasy, bai’ ba’adh ‘ala ba’adh, talaqqi rukban,
serta berbagai investasi yang terlarang dan menimbulkan kemudharatan.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat: 2010

Muhammad Jawad Mughniyah,Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq Juz 3&4, (Jakarta:Lentera,


2009), 34.
https://www.bing.com/search?FORM=U523DF&PC=U523&q=akad

Wawan Muhwa, hukum Perikatan, (Bandung : CV pustaka Setia, 2011), 243.

https://jurnal.fh.umi.ac.id/index.php/ishlah/article/view/10/8

Qamarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta, teras, 2011), 32.

https://www.ocbc.id/id/article/2023/08/30/akuntabilitas-adalah

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat,( Jakarta :Amzah, 2010), 20

Dewy Anita, SHI., MA, Urgensi Akad Dalam Transaksi Bisnis Islam,Jurnal Madani
Syari’ah Vol. 2, Agustus 2019.

http://repository.uniyap.ac.id/276/1/229023118.pdf

https://journal.umpo.ac.id/index.php/MUSYROKAH/article/view/6818/2581

https://jurnal.fh.umi.ac.id/index.php/ishlah/article/view/10/8

https://www.bing.com/search?FORM=U523DF&PC=U523&q=akad

9
10

Anda mungkin juga menyukai