Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FIQH EKONOMI

Tentang

PRINSIP AKAD DALAM ISLAM

Dipresentasikan dalam Mata Kuliah Fiqh Ekonomi

Oleh:

GUSTI DIRGA ALFAKHRI PUTRA


NIM. 2120030003

Dosen Pengampu:
Dr. Rozalinda, M.Ag

PRODI EKONOMI SYARIAH

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1443 H/ 2021 M
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam
memenuhi kebutuhan hidup, mempunyai aturan yang menjelaskan hak dan
kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat
kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan
proses untuk berakad. Islam memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad
untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembahasan fiqh, akad yang dapat digunakan bertransaksi sangat
beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Oleh
karena itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai hal yang
terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-
hari.

B. Pengertian Akad, Rukun Akad, dan Syarat Keabsahannya


1. Pengertian Akad
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akad berarti perjanjian atau
kontrak.1 Sedangkan dalam bahasa arab, akad berasal dari kata: ‘aqada-
ya’qidu-aqdan, yang sinonimnya:
a. Ja’ala ‘uqdatan, yang artinya: menjadikan ikatan.

b. Akkada, yang artinya: memperkuat.

c. Lazima, yang artinya menetapkan.2

Menurut Wahbah Zuhaili, akad antara lain berarti:3

“Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan
secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”

1
https://kbbi.web.id/
2
Syaikhu, Ariyadi & Norwil, Fikih Muamalah, (Yogyakarta: Penerbit K-Media, 2020), hlm.
22.
3
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz 4, (Libanon: Dar al-Fikri, 1984),
hlm. 80.
Menurut istilah, akad adalah perikatan ijab dengan qabul yang dibenarkan
syariat dan menepatkan keridhaan kedua belah pihak. Atau dengan kata lain,
akad adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang
dibenarkan syariat yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada
objeknya.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, akad didefinisikan sebagai
kesepakatan dalam suatu perjanjian antara duapihak atau lebih untuk
melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.4
Dasar hukum di lakukannya akad dalam Al-Qur‟an adalah surah Al-
Maidah ayat 1 sebagai berikut:5

‫ۚ َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا َأْو ُفو۟ا ِبٱْلُع ُقوِد‬


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu....‌
Akad merupakan salah satu cara untuk memperoleh harta dalam
kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus
diterapkan dalam bermuamalah.
2. Rukun Akad
Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam menentukan rukun
akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad tersebut terdiri atas:6
a. pernyataan untuk mengikatkan diri (sigah al-aqd);
b. pihak-pihak yang berakad; dan
c. objek akad.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan
qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang
menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun, sebab keberadaannya
sudah pasti.7
3. Syarat Akad
4
Rahman Ambo Masse, Fiqih Ekonomi dan Keuangan Syariah, (Yogyakarta: TrustMedia
Publishing, 2016), hlm. 93.
5
https://tafsirweb.com/1885-quran-surat-al-maidah-ayat-1.html

6
https://www.republika.co.id/berita/m071sx/ensiklopedi-hukum-islam-akad
7
Syaikhu, Ariyadi & Norwili, op.cit., hlm. 24
Para ulama fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus
dipenuhi oleh suatu akad. Di samping itu, setiap akad juga memiliki syarat-
syarat khusus. Adapun syarat-syarat umum suatu akad sebagai berikut:
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Maka tidak sah
akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang
berada di bawah pengampuan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.
b. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya, walaupun dia bukan ‘aqid yang memiliki barang.
d. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli
mulasamah.
e. Akad dapat memberikan faedah.
f. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul, maka bila orang
yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul, maka batallah
ijabnya.
g. Ijab dan qabul mesti bersambung, maka bila seseorang yang berijab sudah
berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya
wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini bisa juga disebut
syarat tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti
syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Menurut pendapat Mahzab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad
dapat dikategorikan menjadi syarat sah (shahih), rusak (fasid) dan syarat yang
batal (batil).
a. Syarat sah (shahih)
Syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat
substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (‘urf). Contoh dalam jual beli itu harga yang yang diajukan
oleh penjual, adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai dengan ‘urf dan
adanya garansi.
b. Syarat rusak (fasid) Suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi
sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya menjual rumah atau
kendaran yang tidak ditunjukkan type, jenis, dan bentuk rumah yang dijual
atau tidak disebutkan brand kendaraan yang dijual, sehingga menimbulkan
perselisihan antara penjual dan pembeli.
c. Syarat batal (batil) Apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukunnya
atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak
jelas atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan atau
salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.8

C. Pengaruh Akad
Dalam kehidupan manusia, diperlukan aturan, etika, norma, ataupun
batasan-batasan. Nilai-nilai inilah yang akan mengatur hubungan manusia dengan
dirinya sendiri atau ketika berhubungan dengan orang lain. Akad adalah batasan-
batasan kehidupan, yang berfungsi untuk membatasi hubungan manusia,
mengatur kehidupan muamalah manusia.
Islam memuliakan dan mensucikan akad-akad yang ada dan
memerintahkan kaum muslimin untuk menghormatinya walaupun akan dijalankan
dengan orang nonmuslim. Akad atau transaksi memegang peran penting dalam
setiap aktivitas perekonomian secara umum. Akad yang kita lakukan akan
memberikan pengaruh besar pada akibat hukum dari sebuah transaksi yang
bersifat mengikat. Dalam fiqh muamalah, akad menjadi tema penting yang harus
dipahami dengan tepat, karena akad akan menjadi penentu sah tidaknya transaksi
yang berlangsung. Bahkan walaupun hasil dan tujuan dari sebuah transaksi
tersebut memiliki persamaan, namun dikarenakan akadnya berbeda, bisa saja satu
transaksi dikategorikan tidak sah dan transaksi lainnya sah dalam perspektif fiqh.9

D. Aqad Ghairu Lisan


8
http://digilib.uinsby.ac.id/10008/7/BAB%20II.pdf
9
https://alkhoiriyah.com/2015/12/02/konsep-umum-tentang-akad-transaksi/
1. Aqad al-Mu’athah atau Ta’athiy
Definisi aqad al-Mu’âṭhah adalah mengambil dan memberikan dengan
tanpa perkataan (ijab kabul), sebagai mana seseorang membeli sesuatu yang
telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan
memberikan uangnya sebagai pembayaran.10 Misalnya, transaksi jual beli di
toko atau minimarket dimana pembeli mengambil barang lalu membayar
uangnya ke kasir tanpa mengucapkan ijab dan kabul.
Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa jual-beli harus disertai ijab-
qabul, yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat, sebab
keridaan sifat itu tersembunyi dan tidak dapat diketahui, kecuali dengan
ucapan. Mereka hanya membolehkan jual-beli dengan isyarat, bagi orang
yang uzur. Namun, menurut pendapat Maliki dan Ahmad, akad sah dilakukan
dengan perbuatan atau at-ta’athi apabila jelas menunjukan adanya ridha, baik
pada hal-hal yang dikenal luas oleh masyarakat maupun tidak.11
2. Aqad bi al-Kitabah (Akad Dengan Tulisan)
Aqad bi al-Kitabah merupakan jenis akad dengan tulisan (seperti;
nota, surat pesanan dan atau bahkan lewat SMS, email, dan sejenisnya) yang
dapat dipastikan akurasi dan kepastiannya. Akad semacam ini sah untuk
dilakukan, oleh dua orang yang berakad baik keduanya mampu berbicara
maupun tidak (bisu), keduanya hadir pada waktu akad ataupun tidak hadir
(dititipkan lewat orang kepercayaannya), dengan bahasa yang dapat dipahami
oleh kedua orang yang berakad. Hal ini selaras dengan kaidah fiqhiyah yang
berbunyi:12

‫َاْلِكَتبا َبُة َك ا ْلِخ َطا ِب‬


“Tulisan sama kekuatan hukumnya dengan ucapan”.

10
http://digilib.uinsuka.ac.id/id/eprint/34825/1/
11
Siti Yanti Rukmana, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Jual Beli Sistem Mu’athah
(Studi Komparatif Mazhab Maliki Dan Mazhab Syafi’i). Diploma Atau S1 Thesis, Universitas Islam
Negeri "Sultan Maulana Hasanuddin" Banten, 2018.
12
https://muhammadiyah.or.id/akad-transaksi-dalam-islam/
Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan
tulisan adalah sah jika dua orang yang akad tidak hadir. Akan tetapi, jika yang
melakukan akad tersebut hadir maka tidak dibolehkan memakai tulisan sebab
tulisan itu tidak dibutuhkan.13

3. Aqad bi al-Isyarat
Bagi yang mampu bicara, tidak dibenarkan akad dengan isyarat,
melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka yang
tidak dapat bicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus
dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah cacat
sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha untuk tidak menggunakan
isyarat.14
Tidak terdapat perbedaan ulama tentang sahnya akad menggunakan
isyarat, para ulama sepakat bahwa akad dengan isyarat sah selagi isyarat yang
diberikan bisa dimengerti dan bisa diketahui antara kedua belah pihak. Dan
jika yang melakukan akad itu betul-betul bisu secara alami dan tidak bisa
menulis, sehingga isyaratnya ini bisa dianggap sebagai ucapan bagi yang bisa
berbicara, karena isyaratnya merupakan wasilah dalam mengungkapkan
keinginannya dan kesepakatannya dalam melakukan akad. Akan tetapi
mayoritas para ulama melarang praktek akad dengan isyarat jika kedua belah
pihak mampu untuk berbicara dan bisa menulis.15
E. Penerapan Aqad Ghairu Lisan Pada Era Digital
Pada era digital sekarang ini, efektivitas waktu menjadi sesuatu yang amat
penting bagi semua orang. Hal ini juga menuntut pada penerapan berbagai macam
akad yang digunakan dalam setiap transaksi pada kegiatan bermuamalah. Contoh
sederhana, saat kita membeli barang-barang kebutuhan di minimarket ataupun
swalayan, kita mengambil barang-barang tersebut, menyerahkannya ke kasir, lalu

13
Syaikhu, Ariyadi & Norwili, op.cit., hlm. 34.
14
Ibid, hlm. 33.
15
http://digilib.iainkendari.ac.id/1554/3/BAB%20II.pdf
membayar sesuai dengan harga yang tertera tanpa ada proses tawar menawar atau
ijab dan kabul.
Contoh lainnya, saat kita membeli barang di situs belanja online, kita
bebas memilih barang yang diinginkan dan bisa menggunakan berbagai metode
pembayaran baik dalam bentuk transfer ataupun COD (Cash On Delivery). Proses
tersebut juga berjalan tanpa adanya ijab dan kabul antara penjual dan pembeli.
Dalam fiqh muamalah, transaksi tersebut juga termasuk kedalam penerapan Aqad
al-Mu’athah atau Ta’athiy.
Kemudian, dalam Aqad bi al-Kitabah (akad dengan tulisan) dapat
dicontohkan dengan nota kredit, nota debit, dan surat perjanjian utang piutang.
Nota kredit adalah sebuah dokumen atau berkas yang membuktikan bahwa
adanya pengurangan piutang usaha. Pengurangan ini bisa disebabkan oleh
berbagai sebab yang telah disebutkan sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan
juga bahwa akan terjadi proses pengembalian barang dari pembeli ke penjual.16
Nota debit adalah suatu dokumen atau bukti dokumen yang menjelaskan
adanya pengurangan utang usaha akibat pengembalian barang dagangan atau
penurunan harga yang dibuat pembeli. Sederhananya, nota debit ini akan
digunakan untuk mengurangi atau mendebit. Jika dikaitkan dengan dunia usaha,
nota debit ini akan berguna untuk mengurangi utang usaha pembeli yang harus
dilunasi.17
Terakhir yaitu surat perjanjian utang piutang. Surat perjanjian utang
piutang merupakan surat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak antara
debitur (yang berutang) dengan kreditur (pemberi utang) sebagai bukti adanya
aktivitas utang piutang.18
F. Macam-macam Akad
Macam-macam akad jika di lihat dari keabsahannya maka dapat di bagi
menjadi dua yaitu sebagai berikut:19
16
https://accurate.id/akuntansi/apa-itu-nota-kredit/#Apa_Itu_Pengertian_Nota_Kredit
17
https://www.daya.id/usaha/artikel-daya/keuangan/kenali-apa-itu-nota-debit-dan-fungsi-
nota-debit-untuk-usaha
18
https://www.rusdionoconsulting.com/surat-perjanjian-hutang-piutang/
19
Syaikhu, Ariyadi & Norwili, op.cit., hlm. 38.
a. Akad Shahih
Akad shahih adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat
hukum yang di timbulkan akad itu dan mengikat pada pihak-pihak yang
berakad. Ulama Hanafiyah membagi akad shahih menjadi dua macam, yaitu:
1. Akad nafiz (sempurna untuk di laksanakan), adalah akad yang di
langsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya.
2. Akad mawquf, adalah akad yang di lakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang di
langsungkan oleh anak kecil yang mumayyiz.
b. Akad Ghairu Shahih
Akad yang tidak shahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Akad yang tidak
shahih di bagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam,
yaitu sebagai berikut :
1. Akad Bathil
Akad bathil adalah akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau
ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas.
Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah
satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
2. Akad Fasid
Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya di syariatkan, akan tetapi sifat
yang di akadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan
yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang akan di jual,
atau tidak di sebut brand kendaraan yang di jual, sehingga menimbulkan
perselisihan antara penjual dan pembeli. Ulama fiqh menyatakan bahwa
akad bathil dan akad fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah
dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun.
Dilihat dari bernama atau tidaknya suatu akad terbagi menjadi:
a. Aqad Musammah, yaitu akad yang nama-namanya ditetapkan oleh syarak dan
dijelaskan pula hukum-hukumnya, seperti bai’, ijarah, syirkah, hibah,
kafalah, wakalah, dan sebagainya.
b. Aqad Ghairu Musammah, yaitu akad yang tidak ditetapkan naman-namanya
oleh syarak dan tidak pula dijelaskan hukum-hukumnya. Akad ini muncul
karena kebutuhan manusia dan perkembangan kehidupan masyarakat, seperti
aqad istishna’ bai’ al-wafa’.
Ditinjau dari terlaksananya transaksi:
a. Akad Nafidz (terlaksana). Akad dianggap nafidz ketika akad tersebut sah dan
tidak ada lagi keterkaitan dengan hak orang lain. Contoh akad jual beli yang
sempurna. Barang yang dijual tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain,
sementara uang yang diserahkan adalah murni milik pembeli.
b. Akad Mauquf (menggantung). Akad mauquf adalah akad yang masih
memiliki keterkaitan dengan hak orang lain. Seperti menjual barang orang lain
tanpa izin.
Dipandang dari tujuan akad
a. Al-Tamlikat yaitu akad yang bertujuan untuk pemilikan sesuatu baik benda
atau manfaatnya seperti jual beli dan ijarah.
b. Al-Isqahat yaitu akad yang bertujuan menggugurkan hak-hak dan
pemanfaatan qishas.
Dilihat dari berhubunganya pengaruh akad
1. Akad munajaz yaitu akad yang bersumber dari sghat yang tidak dihubungkan
dengan syarat dan masa yang akan datang .
2. Akad yang disandarkan pada masa yang akan datang yaitu akad yang
bersumber pada sighat yang ijabnya disandarkan pada masa yang akan
datang.
3. Akad yang dihubungkan dengan syarat, yaitu akad yang dihubungkan dengan
urusan lain dengan satu syarat misalnya jika kamu bepergian nanti kamu
menjadi wakilku.20
G. Berakhirnya Akad
1. Berakhirnya akad dengan sebab fasakh. Akad fasakh karena beberapa kondisi:
a. Fasakh dengan sebab akad fasid (rusak)
Apabila terjadi akad fasid seperti bai’ majhul (jual beli yang objeknya
tidak jelas), atau jual beli untuk waktu tertentu, maka jual beli itu wajib
difasakhkan oleh kedua belah pihak atau oleh hakim, kecuali bila terjadi
penghalang atau menfasakhkan, seperti barang yang dibeli telah dijual
atau dihibahkan.
b. Fasakh dengan sebab khiyar
Terhadap orang yang punya hak khiyar boleh menfasakhkan akad. Akan
tetapi, pada khiyar aibi kalau sudah serah terima menurut Hanafiyah tidak
boleh menfasakhkan akad, melainkan atas kerelaan atau berdasarkan
keputusan hakim.
c. Fasakh dengan iqalah (menarik kembali)
Apabila salah satu pihak yang berakad merasa menyesal dikemudian hari,
ia boleh menarik kembali akad yang dilakukan berdasarkan keridhaan
pihak lain.
d. Fasakh karena tidak ada tanfiiz (penyerahan barang/harga)
Misalnya, pada akad jual beli barang rusak sebelum serah terima maka
akad ini menjadi fasakh.
e. Fasakh karena jatuh tempo (habis waktu akad) atau terwujudnya tujuan
akad
Akad fasakh dan berakhir dengan sendirinya karena habisnya waktu akad
atau telah terwujudnya tujuan akad, seperti akad ijarah berakhir dengan
habisnya waktu sewa.
2. Berakhirnya akad karena kematian

20
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada,2017), hlm. 45-46.
Akad berakhir karena kematian salah satu pihak yang berakad seperti
ijarah. Menurut Hanafiyah, ijarah berakhir dengan sebab meninggalnya salah
seorang yang berakad karena akad ini akad lazim (mengikat kedua belah
pihak). Menurut para ulama selain Hanafiyah, akad ijarah tidak berakhir
dengan meninggalnya salah satu dari dua orang yang berakad. Begitu juga
dengan akad rahn, kafalah, syirkah, wakalah, muzara’ah, dan musaqah. Akad
ini berakhir dengan meninggalnya salah satu dari dua orang yang berakad.
3. Berakhirnya akad karena tidak ada izin untuk akad mauquf.21
H. Urgensi dan Kedudukan Akad dalam Bisnis
Al Qur’an sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan
bisnis secara eksplisit, dan memandang bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang
menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Al Quran sangat mendorong dan
memotivasi umat Islam untuk melakukan transaksi bisnis dalam kehidupan
mereka.
Al Quran mengakui legitimasi bisnis, dan juga memaparkan prinsip-
prinsip dan petunjuk-petunjuk dalam masalah bisnis antar individu
maupun kelompok. Al Qur’an mengakui hak individu dan kelompok untuk
memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa paksaan. Al
Quran mengakui otoritas deligatif terhadap harta yang dimiliki secara legal oleh
seorang individu atau kelompok. Al Quran memberikan kemerdekaan penuh
untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai dengan yang dikehendaki dengan
batas-batas yang ditentukan oleh Syariah. Kekayaan dianggap sebagai sesuatu
yang tidak bisa diganggu gugat dan tindakan penggunaan harta orang lain dengan
cara tidak halal atau tanpa izin dari pemilik yang sah merupakan hal yang
dilarang. Oleh karena itu, penghormatan hak hidup, harta dan kehormatan
merupakan kewajiban agama.
Seorang Muslim diwajibkan melaksanakan secara penuh dan ketat semua
etika bisnis yang ditata oleh Al Quran pada saat melakukan semua transaksi,
yakni:

21
Ibid, hlm. 61-62.
1. Adanya ijab qabul (tawaran dan penerimaan) antara dua pihak yang
melakukan transaksi;
2. Kepemilikan barang yang ditransaksikan itu benar dan sah
3. Komoditas yang ditransaksikan berbentuk harta yang bernilai
4. Harga yang ditetapkan merupakan harga yang potensial dan wajar
5. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak saat jika mendapatkan
kerusakan pada komoditas yang akan diperjualbelikan (Khiyar Ar-Ru’yah)
6. Adanya opsi bagi pembeli untuk membatalkan kontrak yang terjadi dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak (Khiyar Asy-
Syarth)
Meskipun dalam melakukan transaksi bisnis, seorang Muslim harus juga
memperhatikan keadilan sosial bagi masyarakat luas. Ajaran Al Qur’an yang
menyangkut keadilan dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi dua, yakni
bersifat imperatif (perintah) dan berbentuk perlindungan.
Salah satu ajaran Al Qur’an yang paling penting dalam masalah
pemenuhan janji dan kontrak adalah kewajiban menghormati semua kontrak dan
janji, serta memenuhi semua kewajiban. Al Qur’an juga mengingatkan bahwa
setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dalam hal yang berkaitan
dengan ikatan janji dan kontrak yang dilakukannya sebagaimana terdapat dalam
Surah Al Israa’ ayat 34. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Al Quran
menginginkan keadilan terus ditegakkan dalam melakukan semua kesepakatan
yang telah disetujui.

Kepercayaan konsumen memainkan peranan yang vital dalam


perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku
bisnis besar melakukan segala daya upaya untuk membangun kepercayaan
konsumen. Al Qur’an berulangkali menekankan perlunya hal tersebut, melalui
ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk menimbang dan mengukur
dengan cara yang benar dan akurat, dan memperingatkan dengan keras siapa saja
yang melakukan kecurangan akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari
Allah SWT.22
I. Fenomena Akad Murakkab (Hybrid Contract) pada Lembaga Keuangan
Syariah (Bank dan Non Bank)
Akad yaitu kesepakatan atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang
diungkapkan dalam suatu ijab dan qabul untuk melakukan maupun tidak
melakukan sesuatu, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya. 23
Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al- jam’u
(mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan. Kata murakkab sendiri
berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkiban” yang mengandung arti
meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas
dan yang di bawah. Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fiqh
adalah himpunan beberapa hal sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang
menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai
melakukan penggabungan (tarkib), sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa
bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu yang sederhana (tunggal/basith) yang tidak
memiliki bagian-bagian dan meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau
menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya.24
Dengan demikian pengertian hybrid contract atau al-’uqud al-
murakkabah dalam istilah ada beberapa pengertian dari kalangan cendikiawan
muslim di antaranya menurut Nazih Hammad, akad murakkab adalah kesepakatan
dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih,
seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharf
(penukaran mata uang), syirkah, mudharabah, dan seterusnya sehingga semua
akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban
yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.
22
https://auliajelsi2.blogspot.com/2019/06/prinsip-akad-dalam-islam.html
23
Nurlailiyah Aidatus Sholihah dan Fikry Ramadhan Suhendar, Konsep Akad Dalam Lingkup
Ekonomi Syariah, Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia, Vol. 4, No. 12 Desember 2019.
24
Najamuddin, Al-’Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah, Syari’ah, Vol 1
no. 2 (2013): 5–17.
Sedangkan Al-Imrani dalam jurnal Muhammad Iman Sastra Mihajat,
mendefinisikan hybrid contract yaitu kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan
suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih. Semua akibat hukum akad-
akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
sebagaimana akibat hukum dari satu akad. Saat ini hybrid contract atau multi
akad sangat banyak dipraktekkan dalam transaksi pada lembaga keuangan syariah
seperti perbankan dan asuransi. Maraknya penggunaan akad berganda dalam
transaksi lembaga keuangan syariah saat ini tidak terlepas dari legalitas multi
akad yang terdapat dalam fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia (Fatwa DSN MUI), sebagai salah satu landasan operasional lembaga
keuangan syariah di Indonesia.25
Pada masa kini di mana transaksi keuangan modern semakin kompleks,
dibutuhkan model kontrak dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut
dengan akad murakkab atau multi akad. Kombinasi akad sekarang ini adalah
sebuah keniscayaan, akad murakkab dikembangkan dalam merespon keuangan
kontemporer.26
Dalam hal ini produk lembaga keuangan syariah khususnya yang
menggunakan multi akad atau akad murakkab akan sangat besar potensinya jika
SDM dan produk tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi tentunya harus
disesuaikan dengan syariat. Lembaga keuangan syariah dituntut melakukan
penciptaan berbagai produk, regulator membuat regulasi yang mengatur dan
mengawasi produk yang ditawarkan dan laksanakan oleh praktisi dan akademisi
pun dituntut memberikan tuntunan agar produk maupun regulasi tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip syariah. Sehingga, dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat, para lembaga keuangan syariah melakukan berbagai
upaya untuk meciptakan produk-produk baru atau bahkan banyak melakukan
25
Muhammad Iman Sastra Mihajat, Hybrid Contract In Islamic Banking and Finance : A
Proposed Shariah Principles and Parameters for Product Development, EBJM - Special Issue: Islamic
Management and Business 2, no. 2 (2014): 89–100
26
Siti Kholijah, Akad Murakkab dalam Produk Keuangan Syariah, Jurnal Baabu Al-ilmi,
Volume 5 Nomor 1 April 2020.
adaptasi dan menjadikannya syariah terhadap produk-produk lama
(konvensional).27
Multi akad, atau hybrid contract, atau Al-Aqd Al-Murakkabah, merupakan
persyaratan mendasar dalam praktik perbankan syariah saat ini. Hybrid contract
merupakan solusi dan alternatif untuk menggantikan sistem suku bunga riba.
Dengan kata lain, hybrid contract merupakan nafas bagi bisnis perbankan syariah
atau lembaga pembiayaan syariah lainnya untuk memantau perkembangan pasar
tanpa mengorbankan identitas dalam menerapkan prinsip syariah. Di sisi lain, kita
tidak begitu akrab dengan hybrid contract karena selama ini mempelajari hukum
Islam khususnya di bidang muamalah lebih banyak diperkenalkan dengan akad
tunggal daripada hybrid contract.28
J. Batasan dan Ketentuan Dibolehkannya Akad Murakkab
Penggabungan beberapa akad dalam satu transaksi sepanjang mengandung
unsur kemaslahahan dan tidak ada dalil pasti yang melarangnya, maka proses itu
dianggap sah. Karena pada dasarnya dalam mu’amalah maliyah aspek
pertimbangan kemaslahahan dan kemanfaatan lebih diutamakan. Namun terdapat
beberapa ketentuan yang harus diperhatikan berkaitan penggabungan beberapa
akad dalam satu transaksi, yaitu, Pertama, penggabungan dua atau tiga akad
(akad murakkabah) dalam satu transaksi tidak bertujuan untuk menjadi solusi
terhadap akad yang dilarang oleh syariat, sehingga dapat mengakibatkan
pendapatan mengandung unsur riba. Kedua, pembentukan akad murakkabah tidak
bertujuan untuk menyiasati transaksi yang mengandung unsur riba. Ketiga, unsur-
unsur pembangun multi akad tidak saling bertentangan dalam status hukumnya.29
Secara umum, batasan yang disepakati oleh para ulama adalah sebagai
berikut:30
1. Multi akad dilarang karena nash agama

27
Ibid.
28
Hirsanuddin, Rodliyah, dan Minollah, Hybrid Contract Design In Sharia Banking Product
Development, Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, Volume 24, Special Issue 1, 2021.
29
Rahman Ambo Masse, op.cit,. hlm. 99
30
Najamuddin, Al-’Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah, Jurnal Syari’ah
Vol. II, No. II, Oktober 2013
Dalam hadits, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad
yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad
jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi
Dalam sebuah hadist disebutkan : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang
jual beli dan pinjaman.” (HR. Ahmad). Suatu akad dinyatakan boleh selama
objek, harga, dan waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu
di antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang. Imam al-Syafi‟i
memberi contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga seratus,
dengan syarat dia meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya
akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih.
Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus yang diterima
adalah pinjaman (‘ariyah). Sehingga penggunaan manfaat dari seratus tidak
jelas; apakah dari jual beli atau pinjaman. Ibnu Qayyim berpendapat bahwa
Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan
jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya
boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk
menghindari terjurumus kepada ribâ yang diharamkan. Hal itu terjadi karena
seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu menjual barang yang bernilai
delapan ratus dengan harga seribu. Dia seolah memberi seribu dan barang
seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia
memperoleh kelebihan dua ratus. Selain multi akad antara salaf dan jual beli
yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai
jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur
jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti
antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.
Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut
al-‘Imrani tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini
diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk
melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan
pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu
kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang
demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua akad jual
beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi :
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu
jual beli.” (HR. Malik).
2. Multi akad sebagai hîlah ribâwi
Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui
kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah ribâ fadhl.
a. Al-‘înah
Contoh ‘inah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga
seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali
kepada penjual dengan harga delapan puluh secara tunai. Pada transaksi
ini seolah ada dua akad jual beli, padahal nyatanya merupakan hîlah ribâ
dalam pinjaman (qardh), karena objek akad semu dan tidak faktual dalam
akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat dari jual beli yang ditentukan
syariat tidak ditemukan dalam transaksi ini. Ibnu Qayyim menjelaskan
bahwa agama menetapkan seseorang yang memberikan qardh (pinjaman)
agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah qardh yang
diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas qardh baik dengan
hîlah atau lainnya. Demikian pula dengan jual beli disyariatkan bagi orang
yang mengharapkan memberikan kepemilikan barang dan mendapatkan
harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan ribâ fadhl atau ribâ nasa’,
bukan bertujuan pada harga dan barang.
Demikian pula dengan transaksi kebalikan ‘inah juga diharamkan.
Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga delapan puluh tunai
dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga seratus. Transaksi
seperti ini telah menyebabkan adanya ribâ.
b. Hîlah ribâ fadhl
Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah (misalnya 2 kg
beras) harta ribawi dengan sejumlah harga (misalnya Rp 10.000) dengan
syarat bahwa ia – dengan harga yang sama (Rp 10.000) - harus membeli
dari pembeli tadi sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih
banyak (misalnya 3 kilogram) atau lebih sedikit (misalnya 1 kilogram).
Transaksi seperti ini adalah model hîlah ribâ fadhl yang diharamkan.
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi
di mana para penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas
sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo
dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan
beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar
dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas
sempurna juga dengan harga sendiri. Maksud hadis di atas, menurut Ibnu
Qayyim, adalah akad jual beli pertama dengan kedua harus dipisah. Jual
beli kedua bukanlah menjadi syarat sempurnanya jual beli pertama,
melainkan berdiri sendiri. Hadits di atas ditujukan agar dua akad itu
dipisah, tidak saling berhubungan, apalagi saling bergantung satu dengan
lainnya.
3. Multi akad menyebabkan jatuh ke ribâ
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti ribâ,
hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh.
Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun
membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi
dilarang. Hal ini terjadi seperti pada contoh:
a. Multi akad antara akad salaf dan jual beli
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi melarang multi akad
antara akad jual dan salaf. Larangan ini disebabkan karena upaya
mencegah (dzarî’ah) jatuh kepada yang diharamkan berupa transaksi
ribawi. Jumhur ulama melarang praktik multi akad ini, yakni terjadinya
penghimpunan akad jual beli (mu’âwadhah) dengan pinjaman (qardh)
apabila dipersyaratkan. Jika transaksi multi akad ini terjadi secara tidak
disengaja diperbolehkan karena tidak adanya rencana untuk melakukan
qardh yang mengandung ribâ.
b. Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh)
Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan
persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Seperti contoh,
seseorang meminjamkan (memberikan utang) suatu harta kepada orang
lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima pinjaman (muqtaridh),
atau muqtaridh memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau memberi
tambahan kuantitas atau kualitas obyek qardh saat mengembalikan.
Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur ribâ.
Apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah
atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang
diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya
halal, karena tidak mengandung unsur ribâ di dalamnya.
4. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak
belakang atau berlawanan
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-
akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling
berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi
menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum
yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa
dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial
yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan
mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang
berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah,
syirkah, qirâdh, atau nikah.
Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-
Malikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan
hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad. Dari dua
pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini adalah
pendapat yang unggul. Larangan multi akad ini karena penghimpunan dua
akad yang berbeda dalam syarat dan hukum menyebabkan tidak sinkronnya
kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu
waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara
akad menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan
(mutadhâdah) inilah yang dilarang dihimpun dalam satu transaksi.
K. Bentuk Bentuk Akad Murakkab
Al-‘Imrani membagi multi akad menjadi lima bentuk, yaitu al’uqûd al-
mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-
mutadhâdah wa al-mutanâfiyah, al-’uqûd al-mukhtalifah, al-’uqûd al-
mutajânisah. Dari lima bentuk itu, menurutnya, dua macam yang pertama;
al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, adalah multi akad yang umum
dipakai.31
1. Akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-’uqûd al-mutaqâbilah)
Taqâbul menurut bahasa berarti berhadapan. Sesuatu dikatakan
berhadapan jika keduanya saling menghadapkan kepada yang lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan al-’uqûd al-mutaqâbilah adalah multi akad dalam
bentuk akad kedua merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad
pertama bergantung pada sempurnanya akad kedua melalui proses timbal
balik. Dengan kata lain, akad satu bergantung dengan akad lainnya. Dalam
tradisi fikih, model akad seperti ini sudah dikenal lama dan praktiknya sudah
banyak. Banyak ulama telah membahas tema ini, baik yang berkaitan dengan
hukumnya, atau model pertukarannya. Misalnya antara akad pertukaran
(mu'âwadhah) dengan akad tabarru’, antara akad tabarru' dengan akad
tabarru' atau akad pertukaran dengan akad pertukaran. Ulama biasa
mendefinisikan model akad ini dengan akad bersyarat (isytirâth ‘aqd bi ‘aqd).
2. Akad Terkumpul (al-’uqûd al-mujtami’ah)

31
Hasanudin Maulana, Multiakad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syariah Di Indonesia, Al-Iqtishad: Journal of Islamic Economics 3, no. 1 (2016).
Al-’uqûd al-mujtami‘ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu
akad. Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh, “Saya
jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu
selama satu bulan dengan harga lima ratus ribu".
Multiakad yang mujtami‘ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua
akad yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua
objek dengan satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad
terhadap dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang
berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang
sama atau waktu yang berbeda.
3. Akad Berlawanan (al-’uqûd al-mutanâqidhah wa al-mutadhâdah wa al-
mutanâfiyah)
Ketiga istilah ini, al-mutanâqidhah, al-mutadhâdah, al-mutanâfiyah
memiliki kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan.
Tetapi ketiga istilah ini mengandung implikasi yang berbeda.
Mutanaqidhah artinya berlawanan, seperti pada contoh seseorang
berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi yang berlawanan dengan yang
pertama. Mutadhadah adalah dua hal yang tidak mungkin terhimpun dalam
satu waktu, seperti antara malam dan siang. Sedangkan arti mutanafiyah
adalah menafikan, lawan dari menetapkan.
4. Akad Berbeda (al-’uqûd al-mukhtalifah)
Yang dimaksud dengan multi akad yang mukhtalifah adalah
terhimpunnya dua akad atau lebih yang memiliki perbedaan semua akibat
hukum di antara kedua akad itu atau sebagiannya. Seperti perbedaan akibat
hukum dalam akad jual beli dan sewa, dalam akad sewa diharuskan ada
ketentuan waktu, sedangkan dalam jual beli sebaliknya. Contoh lain, akad
ijârah dan salam. Dalam salam, harga salam harus diserahkan pada saat akad
(fi al majlis), sedangkan dalam ijârah, harga sewa tidak harus diserahkan pada
saat akad.
Perbedaan antara multi akad yang mukhtalifah dengan yang
mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah terletak pada keberadaan akad
masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat meliputi
ketiga jenis yang lainnya, namun dalam mukhtalifah meskipun berbeda tetap
dapat ditemukan menurut syariat. Sedangkan untuk kategori berbeda yang
ketiga mengandung adanya saling meniadakan di antara akad-akad yang
membangunnya. Dari pendapat ulama di atas disimpulkan bahwa multi akad
yang mutanâqidhah, mutadhâdah, dan mutanâfiyah adalah akad-akad yang
tidak boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama
terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.
5. Akad Sejenis (al-’uqûd al-mutajânisah)
Al-’uqûd al-murakkabah al-mutajânisah adalah akad-akad yang
mungkin dihimpun dalam satu akad, dengan tidak memengaruhi di dalam
hukum dan akibat hukumnya. Multi akad jenis ini dapat terdiri dari satu jenis
akad seperti akad jual beli dan akad jual beli, atau dari beberapa jenis seperti
akad jual beli dan sewa menyewa. Multi akad jenis ini dapat pula terbentuk
dari dua akad yang memiliki hukum yang sama atau berbeda.
6. Akad Ganda yang banyak di aplikasikan dalam Ekonomi Islam32
- Ijarah muntahiyah bi al-tamlik (akad sewa menyewa yang berakhir
dengan kepemilikan/jual beli)
- Musyarakah mutanaqishah (akad kerja sama yang berkurang berakhir
dengan jual beli kredit)
- Murabahah marakkabah (akad bagi hasil berganda berakhir dengan jual
beli biasa)
- Ta’min tauni murakkabah (asuransi berganda)
- Akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada
Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale).

32
Najamuddin, op.cit., hlm. 11.
- Ta’jir tamwili (penggabungan akad jual beli dengan sewa menyewa)
walaupun ada sebagaian ulama mengatakan bahwa akad ini sebenarnya
adalah al-ijarah muntahiyah bi al-tamlik..
L. Penutup
Menurut istilah (terminology), yang dimaksud akad adalah Perikatan ijab
dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang
berpengaruh pada kedua pihak. Terkumpulnya persyaratan serah terima atau
sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan
hukum.
Akad merupakan unsur terpenting yang harus diperhatikan dalam
bertransaksi karenanya akad yang menentukan suatu transaksi dinyatakan sah
menurut syara’ atau batal sehingga akad harus diperhatikan dari berbagai
aspeknya baik dari rukun dan syaratnya, obyek akad, maupun yang mengakhiri
akad.
Oleh karena itu, para pihak yang sedang berakad hendaknya
memperhatikan hal-hal penting yang telah dijelaskan di atas. Sehingga transaksi
yang dilakukan benar-benar bermanfaat terhadap para pihak yang berakad.
DAFTAR PUSTAKA

Masse, Rahman Ambo, 2016, Fiqih Ekonomi dan Keuangan Syariah, Yogyakarta:
TrustMedia Publishing

Rozalinda, 2005, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Perbankan, Padang:Hayfa


Press

Syaikhu, Ariyadi & Norwil, 2020, Fikih Muamalah, Yogyakarta: Penerbit K-Media.

Wahbah Al-Zuhaily, 1985, al-fiqh al-Islami wa adillatuh, Damaskus:Darul Fikri

Hirsanuddin, Rodliyah, dan Minollah, Hybrid Contract Design In Sharia Banking


Product Development, Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues,
Volume 24, Special Issue 1, 2021.

Maulana, Hasanudin, Multiakad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada


Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia. Al-Iqtishad: Journal of Islamic
Economics 3, no. 1 (2016).

Mihajat, Muhammad Iman Sastra, Hybrid Contract In Islamic Banking and Finance :
A Proposed Shariah Principles and Parameters for Product Development.
EBJM - Special Issue: Islamic Management and Business 2, no. 2 (2014): 89–
100

Najamuddin, Al-’Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syariah, Jurnal


Syari’ah Vol. II, No. II, Oktober 2013.

Nurlailiyah Aidatus Sholihah dan Fikry Ramadhan Suhendar, Konsep Akad Dalam
Lingkup Ekonomi Syariah, Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia, Vol. 4,
No. 12 Desember 2019.
Siti Kholijah, Akad Murakkab dalam Produk Keuangan Syariah, Jurnal Baabu Al-
ilmi, Volume 5 Nomor 1 April 2020.
Siti Yanti Rukmana, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Jual Beli Sistem
Mu’athah (Studi Komparatif Mazhab Maliki Dan Mazhab Syafi’i). Diploma
Atau S1 Thesis, Universitas Islam Negeri "Sultan Maulana Hasanuddin"
Banten, 2018.
https://auliajelsi2.blogspot.com/2019/06/prinsip-akad-dalam-islam.html
https://accurate.id/akuntansi/apa-itu-nota-kredit/#Apa_Itu_Pengertian_Nota_Kredit
https://www.daya.id/usaha/artikel-daya/keuangan/kenali-apa-itu-nota-debit-dan-
fungsi-nota-debit-untuk-usaha
https://www.rusdionoconsulting.com/surat-perjanjian-hutang-piutang/
http://digilib.iainkendari.ac.id/1554/3/BAB%20II.pdf
http://digilib.uinsuka.ac.id/id/eprint/34825/1/
https://muhammadiyah.or.id/akad-transaksi-dalam-islam/
http://digilib.uinsby.ac.id/10008/7/BAB%20II.pdf
https://alkhoiriyah.com/2015/12/02/konsep-umum-tentang-akad-transaksi/
https://kbbi.web.id/
https://tafsirweb.com/1885-quran-surat-al-maidah-ayat-1.html
https://www.republika.co.id/berita/m071sx/ensiklopedi-hukum-islam-akad

Anda mungkin juga menyukai