Anda di halaman 1dari 17

AKAD

Makalah Ini Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu : Annikmah Farida, M.Sy

Disusun Oleh:

M. Bahrul Izzi 221230040

Dwi Panji Alfian 221130040

Progam Studi Perbankan Syari’ah

FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM

UNIVERSITAS MA’ARIF LAMPUNG

2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberi nikmat, rahmat serta
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Akad dengan tepat waktu. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah di
progam studi Perbankan Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam
Universitas Ma’arif Lampung pada semester Dua. Kami ucapkan terimakasih
kepada IbuAnnikmah Farida, M.Sy selaku dosen pembimbing Mata kuliah Fiqih
Muamalah dan kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Akhirnya kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih ada
banyak kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum. Wr.Wb.

Metro,25 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................2
C. Tujuan Penulisan......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3

A. Pengertian Akad.........................................................................................3
B. Rukun dan Syarat Akad.............................................................................4
C. Jenis-jenis Akad.........................................................................................6
D. Berakhirnya Akad.....................................................................................11
BAB III PENUTUP..............................................................................................13

A..Kesimpulan................................................................................................13
B..Saran..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................14

iii
BAB 1

PENDAHULUAH

A. LATAR BELAKANG
Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan
dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu
untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan
antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus
terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan
kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi
kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau
melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan
oleh Allah karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai
mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan
universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan
bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi
kebutuhan yang ada. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian atau
macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum
yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad
lainnya secara khusus. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba
untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam
pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Akad ?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Akad ?
3. Apa saja Jenis-jenis Akad?
4. Bagaiamana Berakhirnya Akad?

iv
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mnegetahui Apa Pengertian Jual beli
2. Untuk Mnegetahui Apa Pengertian Akad
3. Untuk Mnegetahui Apa saja Rukun dan Syarat Akad
4. Untuk Mnegetahui Apa saja Jenis-jenis Akad
5. Untuk Mnegetahui Bagaiamana Berakhirnya Akad

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah
masalah akad (perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh
harta dalam syariat islam yang banyak digunkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada Al-Qur’an surat Al-Maaidah ayat 1 menyebutkan “Hai orang-orang
beriman, penuhilah akad-akad itu”. Kata “akad” berasal dari bahasa Arab al-
aqdu dalam bentuk jamak disebut al-uquud yang berarti ikatan atau simpul
tali1. Menurut para ulama fiqh, kata akad didefinisikan sebagai hubungan
antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya
pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad di atas
mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah
pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam
suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan. Pertama, dalam ijab dan kabul.
Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada
objek perikatan.2
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau
transaksi dapat diartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai
syariah. Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi
tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak,
seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual
beli, sewa, wakalah, dan gadai.
Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan
penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan
kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.3

1
T.M. Hasbi Ash-Shidiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm.8
2
Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan
oleh Mariam Darus Badrul Zaman, (Bandung: PT Cipta Aditya Bhakti, 2001), hlm.247
3
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm.35

vi
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang dimaksud dengan
akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua belah pihak atau
lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan Hukum tertentu.
B. Rukun dan Syarat Akad
Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang
merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah :
a. Al-Aqid atau pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan,
atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan
perbuatan hukum. Karena itu, orang gila dan anak kecil yang belum
mumayyis tidak sah melakukan transaksi jual beli.4
b. Shighat atau perbuatan yang menunjukan terjadinya akad berupa ijab
dan kabul. Dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan
oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan setuju dan rela yang
berasal dari pembeli.
c. Al-Ma’qud alaih atau objek akad. Objek akad adalah amwal (harta)
atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak.5
d. Tujuan pokok akad. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’ dan
tujuan akad itu terkait erat dengan berbagai bentuk yang dilakukan.
Misalnya tujuan akad jual beli adalah untuk memindahkan hak
penjual kepada pembeli dengan imbalan. Dalam akad ijarah,
tujuannya adalah pemilikan manfaat orang yang menyewa dan pihak
yang menyewakan mendapatkan imbalan, dan dalam ariyah
tujuannya adalah pemilikan manfaat oleh pihak yang meminjam
tanpa imbalan. Oleh sebab itu, apabila tujuan suatu akad berbeda
dengan tujuan aslinya, maka akad itu menjadi tidak sah. Tujuan
setiap akad, menurut para ulama fiqh, hanya diketahui melalui syara’
dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, seluruh
akad yang mempunyai tujuan atau akibat hukum yang tidak sejalan
dengan kehendak syara’, hukumnya tidak sah, seperti berbagai akad
4
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, ( Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2013),
hlm.73
5
Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-islami wa Adilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 224.

vii
yang dilangsungkan dalam rangka menghalalkan riba. Misalnya, jual
beli al-‘ainah (salah satu bentuk akad semu yang diciptakan untuk
menghalalkan riba) atau misalnya seperti menjual anggur kepada
pengelola pabrik minuman keras. Apabila penjual mengetahui bahwa
pembeli adalah pengelola minuman keras, maka penjual dilarang
untuk menjual anggur itu kepada pengelola minuman keras itu.6
KesepakatanApabila suatu akad sudah memenuhi rukun-rukun
tersebut, maka ia sudah dapat dikatakan sebagai akad karena substansinya dari
akad sudah ada, namun akad tersebut baru akan dapat dikatakan sah apabila
telah memenuhi syarat-syarat dari akad tersebut.
Disamping rukun, syarat akad juga harus terpenuhi agar akad itu sah.
Adapun syarat-syarat itu adalah:
a. Syarat adanya sebuah akad (Syarth Al-Iqod). Syarat adanya akad adalah
sesuatu yang mesti ada agar keberadaan suatu akad diakui syara’, syarat
ini terbagi dua, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah
syarat yang harus ada pada setiap akad. Syarat umum ada tiga, yaitu:
1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada empat rukun akad, yaitu
shighat, objek akad (ma’qud alaih), para pihak yang berakad (aqidain),
tujuan pokok akad.
2) Akad itu bukan akad yang terlarang, seperti mengandung unsur khilaf
atau pertentangan, dilakukan dibawah ikrah atau paksaan, tagfir atau
penipuan, dan ghubn atau penyamaran.
3) Akad itu harus bermanfaat.
Adapun syarat khusus adanya sebuah akad adalah syarat tambahan
yang harus dipenuhi oleh suatu akad khusus sepertu adanya saksi dalam akad.
Jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dianjurkan berdasarkan firman Allah
dalam surat Al-Baqarah : 282. Demikian ini karena jual beli yang dilakukan di
hadapan saksi dapat menghidarkan terjadinya perselisihan dan menjauhkan
diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena itu lebih baik dilakukan,

6
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Rajawali Pers,
2004), hlm.65

viii
khususnya bila barang dagang tersebut mempunyai nilai yang sangat penting.
Ini adalah pendapat asy-Syafi’i, Hannafiyah, Ishak, dan Ayub. Sebagai fukaha
menyatakan bahwa mendatangkan saksi dalam jual beli adalah kewajiban
yang tidak boleh ditinggalkan.
b. Syarat sah akad. Secara umum para fukaha menyatakan bahwa syarat
sahnya akad adalah tidak terdapatnya lima hal perusak sahnya (mufsid)
dalam akad, yaitu:
1) Ketidakjelasan jenis yang menyebabkan pertengkaran (al-jilalah)
2) Adanya paksaan (ikrah)
3) Membatasi kepemilikan terhadap suatu barang (taufiq)
4) Terdapat unsur tipuan (gharar)
5) Terdapat bahaya dalam pelaksanaan akad (dharar)
c. Syarat berlakunya (nafidz) akad. Syarat ini bermaksud berlangsungnya
akad tidak tergantung pada izin orang lain. syarat berlakunya sebuah akad
yaitu :
1) Adanya kepemilikan terhadap barang atau adanya otoritas (Al-
Wilayah) untuk mengadakan akad, baik secara langsung ataupun
perwakilan.
2) Pada barang atau jasa tersebut tidak terdapat hak orang7
d. Syarat adanya kekuatan hukum (Luzum Abad) suatu akad baru bersifat
mengikat apabila ia terbebas dari segala macam hak khiyar (hak untuk
meneruskan atau membatalkan transaksi)
C. Jenis-jenis Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian
dapat dikelompokan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad 8. Secara garis
besar ada pengelompokan jenis-jenis akad, antara lain:
1. akad menurut tujuannya terbagi menjadi dua jenis:
a. Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan
murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah
7
Ibid, hlm. 66
8
Ahmad Nuryadi Asmawi, “Akad dan Fiqh Maghrib”, (Diktat Kuliah Informal Ekonomi
Islam FEUI Semester Genap 2002), hlm.3

ix
SWT. Sama sekali tidak mengharapkan “return” ataupun motif. Akad
yang termasuk dalam kategori ini adalah : Hibah, wakaf, wasiat,
rahn,.9
b. Akad Tijari yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan di mana rukun dan syarat telah dipenuhi
semua. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah,
salam, istishna’ dan ijarah muntahiya bittamlik serta mudharabah dan
musyarakah.10
2. Akad menurut keabsahannya terbagi kepada tiga jenis:
a. Akad sahih (valid Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun
dan syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang
misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang)
dari pembeli kepada penjual.
b. Akad fasid (voidable contract) yaitu akad yang semua rukun
terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Namun ada syarat
yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari pejual
kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada
penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat tersebut.
Dengan kata lain akibat hukumnya adalah Mawquf (berhenti dan
tertahan untuk sementara)
c. Akad Bathal (void contract) yaitu akad di mana salah satu rukunnya
tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya juga tidak terpenuhi. Akad
seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta
(harga/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.
3. Akad menurut namanya, akad dibedakan menjadi:
a. Akad bernama (al-‘uqud al-musamma) yang dimaksud akad bernama
ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan
ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku
terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Para fukaha tidak
9
Ibn Qudamah, al-kafi fi fiqh Ahmad Ibn Hambal, (Beirut: al-maktab al-Islami, t.h.), Jilid
II, hlm. 25.
10
Syamsul Anwar, Op. Cit., hlm. 82.

x
sepakat tentang jumlah akad bernama, bahkan mereka tidak membuat
penyusunan sistematis tentang urutan-urutan akad itu. Bila kita
mengambil al-Kasani (w587/1190) sebagai contoh dalam karya
fiqhnya, kita dapati akad bernama itu meliputi sebagai berikut:
1) Sewa-menyewa (al-ijrah)
2) Pemesanan (al-istishna’)
3) Jual beli (al-bai’)
4) Penanggungan (al-kafalah)
5) Pemindahan hutang (al-hiwalah)
6) Pemberian kuasa (al-wakalah)
7) Perdamaian (ash-shulh)
8) Persekutuan (asy-syirkah)
9) Bagi hasil (al-mudharabah)
10) Hibah (al-hibah)
11) Gadai (ar-rahn)
12) Penggarapan tanah (al-muzaraah)
13) Pemeliharaan tanaman (al-mu’amalah/al-musaqah)
14) Penitipan (al-wadi’ah)
15) Pinjam pakai (al-‘ariyah)
16) Pembagian (al-qismah)
17) Wasiat (al-washaya)
18) Perutangan (al-qardh)
b. Akad tidak bernama (al-‘uqud gair al-musamma)
Akad tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara
khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam
kata lain, akad tidak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh
pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan
tersendiri mengenainya. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh
para pihak sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Contohnya
adalah perjanjian penerbitan, periklanan, dan sebagainya.
4. Akad menurut kedudukannya, dibedakan menjadi:

xi
Akad yang pokok (al-‘aqd al-ashli) dan akad asesoir (al-‘aqd at-
tabi’i) sesuatu yang mengikuti
a. Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya
tidak tergantung pada suatu hal lain. Seperti akad jual beli, sewa-
menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya
b. Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri,
tetapi bergantung pada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya
atau sah dan tidaknya akad tersebut. Seperti akad penanggungan dan
akad gadai.
5. Akad dari segi unsure tempo di dalam akad, dibagi menjadi akad
bertempo (al-‘aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri)
a. Akad bertempo adalah akad yang didalamnya unsure waktu
merupakan unsure asasi, dalam arti unsure waktu merupakan bagian
dari isi perjanjian. Misalnya akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad
pinjam pakai, akad pemberian kuasa, dll.
b. Akad tidak bertempo adalah akad dimana unsure waktu tidak
merupaka bagian dari unsure perjanjian. Misalnya pada akad jual beli
6. Akad dari segi formalitasnya, dibedakan menjadi akad konsensual
(al-‘aqd ar-radha’i), akad formalistis (al-‘aqd asy-syakli), dan akad riil
(al-‘aqd al-‘aini).
a. Akad konsensual adalah jenis akad yang terciptanya cukup
berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa diperoleh formalitas-
formalitas tertentu.
b. Akad formalitas adalah akad yang tunduk pada syarat-syarat formalitas
yang ditentukan oleh pembuat akad, dan jika tidak terpenuhi maka
akad tidak sah. Contoh syarat formalitas dalam akad nikah harus ada
kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
c. Akad riil adalah akad yang terjadinya diharuskan penyerahan tunai
objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum
menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. Misalnya
hibah, pinjam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad gadai.

xii
7. Dilihat dari segi dilarangnya atau tidak oleh syara’, akad dibedakan
menjadi dua, yaitu akad masyru’ dan akad terlarang.
a. Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat
dan tidak ada larangan untuk menutupnya, seperti akad-akad yang
sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan
sebagainya
b. Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’. Akad yang
bertentangan dengan akhlak islam (kesusilaan) dan ketertiban umum
seperti sewa-menyewa untuk melakukan kejahatan.
8. Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya dibagi menjdi dua,
yaitu:
a. Akad mengikat (al-‘aqd al-lazim) adalah akad apabila seluruh rukun
dan syaratnya telah terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh
dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa
persetujuan pihak lain.
b. Akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak
dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi
pihak lain dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak pertama,
seperti akad kafalah (penanggungan) dan gadai (ar-rahn). Kedua akad
ini mengikat terhadap penanggung dan penggadai di mana keduanya
tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak untuk siapa
penanggungan dan gadai diberikan. Sebaliknya bagi pihak terakhir ini
penanggungan dan gadai tidak mengikat dalam arti ia dapat
membatalkannya secara sepihak. Adapun akad tidak mengikat adalah
akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa
persetujuan pihak lain. akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu pertama
akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-
syirkah), seperti akad wakalah (pemberian kekuasaan), syirkah
(persekutuan), hibah, wadi’ah (penitipan), dan akad ‘ariah (pinjam
pakai), kedua akad yang tidak mengikat karena di dalamnya terdapat
khiyar bagi para pihak

xiii
9. Akad menurut dapat dilaksanakannya dan tidak dapat dilaksanakannya,
yaitu akad nafiz dan akad mauquf
a. Akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan langsung
menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya.
b. Akad mauquf adalah kebalikan akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat
secara langsung dilaksanakan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat
secara sah, tetapi masih tergantung (mauquf) kepada adanya ratifikasi
(ijazah) dari pihak berkepentingan.
10. Akad menurut tanggungan, kepercayaan bersifat ganda menjadi dua,
yaitu:
a. ‘aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko
atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut, sehingga kerusakan
barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam
tanggungannya sekalipun sebagai keadaan memaksa.
b. ‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang melalui barang tersebut
merupakan amanah di tangan penerima barang, sehingga ia tidak
berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali jika
memang ada unsur kesengajaan dan melawan hukum.
c. Adapun akad bersifat ganda adalah akad yang di satu sisimerupakan
akad tanggungan, tetapi disisi lain merupakan akad amanah
(kepercayaan). Misalnya akad sewa-menyewa.
D. Berakhirnya Akad
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah mencapai tujuannya.
Selain telah mencapai tujuannya apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah
berakhir waktunya. Fasakh terjadi dengan sebab-sebab berikut:
1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
syara’. Seperti yang disebutkan dalam akad rusaka. Misalnya jual beli
barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
2. dengan sebab danya khiyar, baik khiyar rukyat¸cacat, syarat, atau majelis

xiv
3. salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena
menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Hal ini disebut iqalah.
4. karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh
pihak yang bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembeyaran (khiyar
naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya pada pembeli
dengan tempo. Jika dibayar maka terjadi akad tapi jika tidak maka terjadi
pembatalan
5. karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka
waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang
6. karena tidak dapat izin pihak yang berwenang
7. karena kematian

xv
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat ditarik
beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan
dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang
dibenarkan oleh syara' dan memiliki implikasi hukum tertentu.terkait dalam
implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun
maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempumanya
sebuah akad.
Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-
macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan
syari'ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua
mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar
kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak
lain yang melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan
muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga
tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari.
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami meminta
kritik yang membangun dari para pembaca

xvi
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A. Karim, 2004 Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:
Rajawali Pers

Ahmad Nuryadi Asmawi, 2002 “Akad dan Fiqh Maghrib”, (Diktat Kuliah
Informal Ekonomi Islam FEUI Semester Genap

Ascarya, 2007 Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Press

Fathurrahman Djamil, 2001 Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum


Perikatan oleh Mariam Darus Badrul Zaman, Bandung: PT Cipta Aditya
Bhakti

Ibn Qudamah, al-kafi fi fiqh Ahmad Ibn Hambal, Beirut: al-maktab al-Islami,

Mardani, 2013 Fiqh Ekonomi Syariah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

T.M. Hasbi Ash-Shidiqy, 1984 Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan


Bintang

Wahbah al-Zuhaili, 1998 al-fiqh al-islami wa Adilatuhu, Beirut: Dar al-Fikr

xvii

Anda mungkin juga menyukai