Anda di halaman 1dari 21

Hukum Perjanjian di Perbankan Syariah

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbankan Syariah
Dosen Pengampu: Mulvi Aulia, MA

Disusun Oleh:

Sania Utami 18110950


Syahrozzad 18110955

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
TAHUN 2019-2020 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kepada Allah SWT. Atas rahmatnya,
sehingga niat kami untuk membuat makalah ini terkabul. Shalawat dan salam semoga selalu
terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammmad SAW. beserta keluarga dan
sahabatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini berjudul “Hukum Perjanjian di Perbankan Syari’ah”. Dalam menyusun
makalah ini, kami telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik sesuai
kemampuan penulis. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca khususnya mahasiswa terutama dalam menyusun makalah selanjutnya yang dapat
digunakan sebagai referensi.
Akhir kata pengantar ini kami mengucapkan terima kasih kepada Mulvi Aulia, MA
yang telah membimbing kami dalam proses belajar mengajar, dan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, jika ada kritik dan saran yang bersifat
membangun, kami akan menerimanya sebagai bahan acuan mengoreksi diri dan kedepannya
dapat menyajikan yang lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

25 September 2019

Penyusun

i
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI......................................................................................................................................... iii
BAB I ..................................................................................................................................................... iv
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ iv
A. Latar Belakang ........................................................................................................................... iv
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... iv
C. Tuj
uan Makalah ....................................................................................................................................... iv
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 1
1. Hukum Perjanjian Islam .......................................................................................................... 1
2. Keabsahan Hukum Perjanjian Islam ...................................................................................... 2
3. Asas-asas Hukum Perjanjian Islam ........................................................................................ 7
4. Klasifikasi Hukum Perjanjian Islam..................................................................................... 10
5. Berakhirnya Perjanjian.......................................................................................................... 12
6. Implementasi prinsip-prinsip Perjanjian Islam dalam Pembuatan Perjanjian................ 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 14
Kesimpulan .......................................................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah. Pada dasarnya, aktivitas bank syariah tidak jauh berbeda dengan aktivitas bank-bank
konvensional yang telah ada, yang menjadi kritik system perbankan syariah terhadap
perbankan konvensional bukan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan
(Financial Intermediary Institution), akan tetapi karena didalam operasionalnya terdapat
unsur-unsur yang dilarang berupa unsur perjudian (maisir), unsur ketidakpastian/keraguan
(Gharar), unsur bunga (Interest/riba) dan unsur kebathilan.
Di Indonesia eksistensi Perbankan Syariah secara yuridis sebenarnya telah dimulai
dengan dikeluarkanya Paket Kebijakan Desember 1983 (Pakdes 83) tentang penghapusan pagu
kredit dan menyebutkan bahwa bank bebas menentukan suku bunga kredit, tabungan dan
deposito. Kemudian dikeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) tentang izin
pendirian usaha bank baru. Kemudian secara kelembagaan dimulai dengan berdirinya Bank
Islam pertama adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang baru bisa didirikan pada tahun
1991 dengan akte pendirian tanggal 1 November 1991 dan beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum perjanjian?
2. Bagaimana keabsahan hukum perjanjian islam?
3. Apa asas-asas hukum perjanjian islam?
4. Apa klasifikasi hukum perjanjian islam?
5. Kapan berakhirnya hukum perjanjian?
6. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip perjanjian islam dalam pembuatan
perjanjian?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian hukum perjanjian.
2. Untuk mengetahui keabsahan hukum perjanjian islam.
3. Untuk mengetahui asas-asas hukum perjanjian islam.
4. Untuk mengetahui klasifikasi hukum perjanjian islam.
5. Untuk mengetahui berakhirnya hukum perjanjian.

iv
6. Untuk mengetahui implementasi prinsip-prinsip perjanjian islam dalam pembuatan
perjanjian.

v
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hukum Perjanjian Islam
Secara Etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan
Mu’ahadah Ittofa’, atau akad. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak,
perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan di mana seseorang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.1
Dalam Al-Qur’an sendiri setidaknya ada 2 istilah yang berkaitan dengan
perjanjian.2 Yaitu kata akad (al-‘Aqadu) dan kata ‘ahd (al-‘Ahdu), Al-Qur’an
memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang
kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau
perjanjian.
Pengertian akad juga dapat dijumpai dalam peraturan Bank Indonesia No
9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syariah. Dalam ketentuan pasal 1
ayat (4) dikemukakan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank dengan
nasabah atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak
sesuai dengan prinsip syariah.3
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akada adalah perjanjian yang
menimbulkan kewajiban berprestasi pada salah satu pihak dan hak bagi pihak lain
atas prestasi tersebut secara timbal balik. Perbankan Syariah sebagai lembaga
intermediasi keuangan dengan kegiatan utamanya menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk
pembiayaan senantiaa mendasarkan pada perjanjian (kontrak). Hukum perjanjian
Islam yang rukun dan syaratnya telah diatur dalam Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan
Qiyas menjadi relevan dan penting dalam operasional perbankan syariah.

1
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, Jakarta: 2004) h. 1
2
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2001) h. 247
3
Khotibuk Umam, Perbankan Syariah; Dasar-dasar dan Dinamika Perkembanganya di
Indonesia (Depok: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2016) h. 46

1
2. Keabsahan Hukum Perjanjian Islam
Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan
syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam suatu
hak, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk
sesuatu hak, peristiwa, dan tindakan tersebut.4 Rukun bersifat mutlak harus
dipenuhi, sementara syarat dimungkinkan adanya pengecualian-pengecualian.
Penjelasan mengenai rukun dan syarat akad, antara lain sebagai berikut:
a. Rukun akad yang utama adalah ijab dan qobul. Syarat yang harus ada
dalam rukun bisa menyangkut subjek dan objek dari suatu perjanjian.
b. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kesepakatan para pihak
(ijab qobul) mempunyai akibat hukum:5
1) Ijab dan Kabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-
kurangnya telah mencapai umur tamyiz yang menyadari dan
mengetahui isi perkataan yang diucapkan hingga ucapannya itu
benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain di
lakukan oleh orang yang cakap melakukan tindakan hukum.
2) Ijab dan Kabul harus tertuju pada suatu objek yang merupakan objek
perjanjian.
3) Ijab dan Kabul harus berhungan langsung dalam suatu majelis
apabila dua belah pihak sam-sama hadir.
4) Jumhur ulama mengatakan bahwa ijab dan Kabul merupakan salah
satu unsur penting dalam suatu perjanjian atau akad, disamping
unsur-unsur lain yang juga termasuk rukun akad. Unsur-unsur
tersebut terdiri dari:
a) Sighat al-Aqad ( pernyataan untuk mengikatkan diri)
Adalah cara bagaimana pernyataan pengikatan diri itu di
lakukan, maksudnya dalam hal pembuatan akad maka para
pihak harus menyampaikannya secara lisan atau tertulis term

4
Fathurahman Djamil (et al), Hukum Perjanjian Syariah Dalam Komplikasi Hukum
Perikatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001) h. 252
5
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam, (yogyakarta:
UII Press, 2000) h. 66

2
and condition dari akad tersebut. Sehingga dapat menimbulkan
akibat hukum, sebab maksud yang belum disampikan kepada
pihak lain tidak mempunyai akibat hukum sama sekali.
b) al-ma’qud ‘alaih/mahal al-‘akad (objek akad)
Objek akad sangat tergantung dengan akad yang dibuat. Dalam
akad jual beli objeknya bisa berupa barang atau jasa dan harga,
dalam sewa menyewa objeknya adalah manfaat dari barang
yang disewakan dan uang sewa, begitu seterusnya. Terkait
dengan objek perjanjian ini harus memenuhi persyaratan-
persyaratan berupa telah ada pada waktu akad diadakan,
dibenarkan oleh syara’ atau nash, dapat ditentukandan diketahui
dan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
c) al-muta’aqidain atau al-‘aqidain (pihak-pihak yang berakad)
Pihak-pihak yang berakad harus sama-sama mempunyai
kecakapan melakukan tindakan hukum dalam artian sudah
dewasa dan sehat akalnya. Sedangkan jika perjanjian dibuat
oleh orang yang tidak mempunyai kecakapan, misalnya
melibatkan anak-anak maka ia harus diwakili oleh walinya. Dan
untuk menjadi wali harus memenuhi persyaratan dalam hal
kecakapan untuk menjalankan tugas secara sempurna,
persamaan pandanga (agama) antara wali dan yang diwakilinya,
adil, amanah, dan mampu menjaga epentingan orang yang
berada dalam perwaliannya.
d) maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad)
Menurut Ulama Fiqh, tujuan dari suatu akad harus sejalan
dengan kehendak syara’, sehingga apabila tujuannya adalah
bertentangan dengan syara’ maka berakibat pada ketidak
absahan dari perjanjian yang di buat. Tujuan harus ada pada saat
akad diadakan dapat berlangsung hingga berakhirnya akad, dan
harus dibenarkan oleh syara’.

3
Dengan demikian sighat merupakan salah satu rukun akad yang pentinga,
karena tanpanya akad tidak mungkin terjadi. Ahmad Azhar Basyir mengemukakan
dalam bukunya asas-asas hukum muamalat, bahwa sighat akad dapat dilakukan
secara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang
adanya ijab dan Kabul. Adapun penjelasan beliau adalah sebagai berikut:6
a. Sighat Akad secara Lisan
Akad dipandang telah terjadi apabila ijab dan Kabul dinyatakjan secara lisan
oleh pihak-pihak. Dengan catatan bahwa ucapan yang diucapkan mudah
dipahami oleh para pihsk atau orang yang dituju.
b. Shighat Akad dengan Tulisan
Ijab dipandang telah terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca
surat dimaksud. Jika dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian
tentang waktu, Kabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat
yang di kirim via pos. bila disertai dengan pemberian tenggang waktu,
Kabul supaya dilakukan sesuai dengan lama tenggang waktu tersebut.
c. Shighat Akad dengan Isyarat
Dengan syarat orang tersebut tidak bisa berbicara dan tidak bisa menulis,
akan tetapi jika ia bisa menulis dnn ia melakukan akad dengan isyarat maka
akadnya tidak sah.
d. Shighat Akad dengan Perbuatan.
Dalam akad jangan sampai terjadi semacam tipuan, kecohan dan segala
sesuatunya harus dapat diketahui dengan jelas.
Akad dipandang telah terjadi jika memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun
adalah ijab dan Kabul. Adapun syaratnya ada yang menyangkut objeknya dan
ada pula yang mengangkut subjeknya.
a. Syarat objek akad
1) Telah ada pada waktu akad diadakan

6
Ahmad Zid Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam, h. 68-70

4
barang yang belum terwujud jika boleh dijadikan objek akad, dengan
pengecualian pada akad salam (yaitu akar yang di dahului dengan
pemesanan).
2) Dapat menerima hukum akad
paraf fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima
hukum akad tidak dapat menjadi objek akad. jadi jual beli tidak dapat
dilakukan dengan objek barang yang haram, benda mubah yang
belum menjadi milik seorang pun sebab benda mubah masih menjadi
hak semua orang untuk menikmatinya, demikian juga benda-benda
yang menjadi milik negara.
3) Dapat ditentukan dan diketahui
Dalam konteks ini para fuqaha sudah sepakat, dan peranan huruf
(adat kebiasaan) sangat penting untuk menentukan apakah syarat
kejelasan suatu objek akan itu sudah terpenuhi atau belum.
4) Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi
Objek akad harus dapat diserahkan pada waktu akan terjadi, tetapi
hal ini tidak berarti harus dapat diserahkan seketika, objek akan
harus memang benar-benar di bawah kekuasaan yang sah pihak yang
bersangkutan. Intinya objek akan itu telah wujud, jelas, dan dapat
diserahkan.
b. Syarat subjek akad
Hal ini berkaitan dengan kecap kecakapan seseorang dalam melakukan
perbuatan hukum titik yaitu bahwa pihak-pihak yang berakad harus
sama mempunyai kecakapan melakukan tindakan hukum dalam artian
sudah dewasa dan sehat akalnya.
Sedangkan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian secara umum dapat
dikemukakan sebagai berikut:7
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya

7
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h. 2

5
Bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas membuat perjanjian akan
tetapi kebebasan itu ada batasnya, yaitu tidak boleh bertentangan
dengan syariah Islam baik yang ada di dalam Alquran maupun di
dalam hadis. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang
dibuat batal demi hukum.
Dasar hukum mengenai suatu perjanjian yang melawan hukum ini
terdapat dalam hadis rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang
artinya: "Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam kitab Allah
adalah batil sama sekalipun seribu syarat".8
b. Harus sama ridho dan ada pilihan
Hal ini dapat diartikan bahwa dalam sebuah perjanjian harus didasari
pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela dan di
dalamnya tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan,
maupun penipuan. konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak
terpenuhi, perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan dengan demikian,
perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah apabila tindakan
pembatalan belum dilakukan. Pembatalan perjanjian ini menjadi
kewenangan dari hakim pengadilan.
c. Harus jelas dan gamblang
Dalam sebuah perjanjian harus jelas apa saja yang menjadi objeknya,
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat di dalam perjanjian.
Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi, maka perjanjian
yang dibuat oleh para pihak bersifat batal demi hukum.
Mengenai tujuan akad ini Ahmad Azhar Basyir, mengemukakan bahwa
tujuan suatu akad harus jelas dan dibenarkan oleh syarak, Serta harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:9
a. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada pada pihak-
pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan tujuannya
hendaknya baru ada pada saat akad diadakan.

8
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h. 3
9
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam, h. 99

6
b. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya akad
c. Tujuan akad harus dibenarkan syarak.
Dalam konteks perbankan syariah yang setiap produknya didasarkan
pada hukum perjanjian Islam disamping harus senantiasa
memperhatikan prinsip-prinsip perjanjian jual beli, sewa-menyewa,
bagi hasil, titipan, dan jasa, juga harus berpedoman pada hukum positif
berupa PBI NO.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah
dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa bank syariah, sebagaimana yang telah diubah dengan PP
no. 10/16/PBI/2008.

3. Asas-asas Hukum Perjanjian Islam


Sebagaimana dalam hukum perjanjian menurut KUHPerdata yang mengenal
asas kebebasan berkontraksi, asus personalitas dan asas itikad baik, sedangkan
dalam hukum adat mengenal asas terang, tunai dan riil. Hukum islam juga mengenal
asas-asas hukum perjanjian. Adapun aku masak itu adalah sebagai berikut:10
a. al-Hurriyah (kebebasan)
Asas ini merupakan prinsip dasar dalam hukum perjanjian islam, dalam
artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of
making contract). bebas dalam menentukan objek perjanjian dan bebas
menentukan dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas
menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian sengketa jika
terjadi di kemudian hari.
Asas kebebasan berkontraksi dalam hukum islam dibatasi oleh ketentuan
syariah islam. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur
paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam alquran surat albaqarah
[2]: 256, yang artinya sebagai berikut:11

10
Fathurahman Djamil (et al), Hukum Perjanjian Syariah Dalam Komplikasi Hukum
Perikatan, h. 249
11
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Semarang: CV Toha Putra, 1989) h. 63

7
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..."
Adanya kata-kata tidak ada paksaan ini, berarti islam menghendaki
dalam hal perbuatan apapun harus didasari oleh kebebasan untuk
bertindak sepanjang itu benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
syariah.
b. al-Musawah (persamaan atau kesetaraan)
Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak mempunyai
kedudukan (bargaining position) yang sama, sehingga dalam
menentukan term and condition dari suatu akad/perjanjian setiap pihak
mempunyai kesetaraan atau kedudukan yang seimbang.
Dasar hukum mengenai asas persamaan ini tertuang didalam ketentuan
Al-Qur’an Surat al-Hujurat [49]: 13 yang artinya sebagai berikut:12
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu ber bangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sini Allah
iyalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya
allah maha mengetahui lagi maha mengenal".
Dari ketentuan tersebut, Islam menunjukkan bahwa semua orang
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the
low), sedangkan yang membedakan kedudukan antara orang satu dengan
yang lainnya di sisi allah adalah derajat ketakwaannya.
c. al-Adalah (keadilan)
Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian atau akad menuntut para
pihak untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan
keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa
mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh
mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.

12
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 847

8
d. al-Ridha (kerelaan)
Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas
dasar kerelaan antara masing-masing pihak, harus didasarkan pada
kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan,
tekanan, penipuan dan mis-statement. Dasar hukum adanya asas keretaan
dalam pembuatan perjanjian dapat dibaca dalam Al-Qur’an Surat an-nisa
[4]: 29, ya artinya sebagai berikut:13
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesama mu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya allah adalah
maha penyayang kepadamu".
Kata "suka sama suka" menunjukkan bahwa dalam hal membuat
perjanjian, khususnya di Lapangan perniagaan harus senantiasa
didasarkan pada asas kerelaan atau kesepakatan para pihak secara bebas.
e. ash-Shidq (kebenaran dan kejujuran)
Bahwa di dalam Islam setiap orang dilarang melakukan kebohongan dan
penipuan, harta dengan adanya penipuan/kebohongan sangat
berpengaruh dalam keabsahan perjanjian/akad. Perjanjian yang di
dalamnya mengandung unsur kebohongan/penipuan, memberikan hak
kepada pihak lain untuk menghentikan proses pelaksanaan perjanjian
tersebut.
Dasar hukum mengenai asas as siddiq, dapat kita baca dalam Al-Qur’an
Surat al-Ahzab [33]: 70, yang artinya sebagai berikut:14
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwa lah kamu kepada allah
dan katakanlah perkataan yang benar"
Bahwa setiap Muslim wajib untuk berkata-kata yang benar, lebih-lebih
dalam hal melakukan perjanjian dengan pihak lain, single faktor

13
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 122
14
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 680

9
kepercayaan (trust) menjadi sesuatu yang esensial demi terlaksananya
suatu perjanjian atau akad.
f. al-Kitabah (tertulis)
Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih berkaitan
demi kepentingan pembuktian jika di kemudian hari terjadi sengketa.
Dalam alquran surat albaqarah [2]: 282-283 mengisyaratkan agar akad
yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak.
Bahkan juga di dalam pembuatan perjanjian hendaknya juga disertai
dengan adanya taksi-taksi (syahadah), rahn (gadai, untuk kasus tertentu)
dan prinsip tanggung jawab individu.15

4. Klasifikasi Hukum Perjanjian Islam


Layaknya hukum perjanjian menurut kuhp perdata yang terdiri dari berbagai
macam klasifikasi, maka dalam hukum islam pun terkait dengan akad/perjanjian
dapat digolongkan menjadi beberapa klasifikasi. Adapun klasifikasi hukum
perjanjian islam adalah sebagai berikut:16
a. Akad dilihat dari segi keabsahannya, terdiri dari:
1) Akad shahih, yaitu ak dia memenuhi rukun dan syaratnya. sehingga
seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akan itu berlaku mengikat
bagi pihak-pihak yang berakad.
2) Akad tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku
dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.
b. Akad dilihat sifat mengikatnya, terdiri dari:
1) Akad yang mengikat secara pasti, artinya tidak boleh di fasakh
(dibatalkan secara sepihak).
2) Akad yang tidak mengikat secara pasti, yaitu akad yang dapat
difasakh oleh dua pihak atau oleh satu pihak.

15
Fathurahman Djamil (et al), Hukum Perjanjian Syariah Dalam Komplikasi Hukum
Perikatan, h. 251
16
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Citra Media, 2006), h. 33

10
c. Akad dilihat dari bentuknya, terdiri dari:
a) Akad tidak tertulis, yaitu akad yang dibuat secara lisan saja dan
biasanya terjadi pada akad yang sederhana, misalnya: jual beli
kebutuhan konsumsi sehari-hari.
b) Akad tertulis, yaitu akad yang dituangkan dalam bentuk tulisan/baik
akta autentik maupun akta bawah tangan. Akad yang dibuat secara
tertulis biasanya untuk akad-akad yang komplek atau nyangkut
kepentingan publik, misalnya akad wakaf, akad jual beli ekspor-
impor dan sebagainya.
d. Akad dalam sektor ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Akad Tabarru
Adalah jenis akad yang berkaitan dengan transaksi
nonprofit/transaksi yang tidak bertujuan semata-mata untuk
mendapatkan laba atau keuntungan. Yang termasuk dalam akad
Tabarru ini adalah al-qardh, ar-rahn, hiwalah, wakalah, Kafalah,
Wadiah, hibah, hadiah, wakaf dan shodaqoh.
2) Akad Muawadah/akad Tijarah
Adalah akad yang bertujuan untuk mendapatkan imbalan berupa
keuntungan tertentu. Atau dengan kata lain akad ini menyangkut
transaksi bisnis dengan motif untuk memperoleh laba (profit
oriented). Yang termasuk akad mu'awadah ini adalah akad yang
berdasarkan prinsip jual beli (al-Bay al-murabahah dengan Mark up,
akad salam, dan akad isthisna), akad yang berdasarkan prinsip bagi
hasil (al-mudhorabah dan al-musyarakah), akad yang berdasarkan
prinsip sewa-menyewa (ijarah dan ijarah wa istishna).
Dalam praktik perbankan syariah akad yang dipakai adalah akad
mu'awadah (tijarah) dan akad tabarru, yang berbentuk tertulis bahkan pada
jenis-jenis akad tertentu harus berbentuk notariil. Misalnya pada akad-akad
yang berkaitan dengan pembiayaan suatu proyek.

11
5. Berakhirnya Perjanjian.
Dalam konteks hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
berakhir jika dipenuhi tiga hal sebagai berikut:
a. Berakhirnya masa berlaku perjanjian/akad.
Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu
perjanjian akan berakhir, singa dengan lampau nya waktu maka secara
otomatis perjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan lain oleh
para pihak.
b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad.
Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan
perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan
perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan bisa
menyangkut objek perjanjian (error in objekto), maupun mengenal
orangnya (error on persona).
c. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan
adanya kompetensi khas. Sedangkan jika perjanjian dibuat dalam hal
memberikan sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang/barang maka
perjanjian tetap berlaku bagi ahli warisnya. Sebagai contohnya ketika orang
yang membuat perjanjian pinjam uang, kemudian meninggal maka
kewajiban untuk mengembalikan utang menjadi kewajiban ahli waris.

6. Implementasi prinsip-prinsip Perjanjian Islam dalam Pembuatan


Perjanjian
Berdasarkan pada pengertian akad/perjanjian, rukun dan syarat sahnya
perjanjian, asas-asas hukum yang mendasarinya, klasifikasi perjanjian I slam dan
berakhirnya suatu perjanjian. Maka dalam perjanjian menurut hukum Islam harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:17
a. Dari segi subjek atau pihak-pihak yang akan mengadakan akad/perjanjian.

17
Fathurahman Djamil (et al), Hukum Perjanjian Syariah Dalam Komplikasi Hukum
Perikatan, h. 260-261

12
Subjek hukum yang mengadakan perjanjian harus sudah cakap melakukan
perbuatan hukum, terdapat identitas para pihak dan kedudukan masing-
masing dalam perjanjian secara jelas, dan perlu adanya kejelasan terhadap
tempat dan saat perjanjian itu dibuat.
b. Dari segi tujuan dan objek akad/perjanjian.
Dan sebuah perjanjian perlu disebutkan secara jelas tujuan dari dibuatnya
suatu perjanjian dan jangan sampai membuat sebuah perjanjian dengan
objek yang bertentangan dengan ketentuan hukum Islam atau 'urf
(kebiasaan/adat) yang sejalan dengan ajaran Islam, meskipun dalam
perjanjian islam dianut asas kebebasan berkontrak sebagai asas yang
fundamental dalam hukum perjanjian.
c. Perlu adanya kesepakatan dalam hal yang berkaitan dengan waktu
perjanjian, jumlah biaya, mekanisme kerja, jaminan, penyelesaian
sengketa, dan objek yang di perjanjikan dan cara-cara pelaksanaannya.
d. Perlu adanya persamaan, kesetaraan, kesedarajatan, dan keadilan di antara
para pihak dalam menentukan hak dan kewajiban diantaranya, serta dalam
hal penyelesaian permasalahan terkait dengan adanya wanprestasi dari
salah satu pihak.
e. Pemilihan hukum dan forum dalam penyelesaian sengketa (choice of law
and choise of forum), harus dicantumkan dalam perjanjian, misalnya
dengan mencantumkan klausal "bahwa dalam hal terjadi sengketa di
kemudian hari, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya dengan
berdasarkan hukum islam di badan arbitrase syariah nasional yang wilayah
hukumnya meliputi tempat dibuatnya perjanjian ini".
Hal-hal diatas perlu dimasukan dalam sebuah naskah perjanjian dengan
tidak menutup kemungkinan bagi para pihak memuat hal-hal yang dianggap
penting, karena dalam pembuatan suatu perjanjian haruslah rigid dan harus
dihindarkan adanya kata-kata yang berwayuh arti (multi intreptable). Sehingga
dapat meminimalisir peluang terjadinya sengketa di kemudian hari.

13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara Etimologis perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan
Mu’ahadah Ittofa’, atau akad. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kontrak,
perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu perbuatan di mana seseorang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Dalam Al-Qur’an sendiri setidaknya ada 2 istilah yang berkaitan dengan
perjanjian. Yaitu kata akad (al-‘Aqadu) dan kata ‘ahd (al-‘Ahdu), Al-Qur’an
memakai kata pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kata yang
kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau
perjanjian.
Pengertian akad juga dapat dijumpai dalam peraturan Bank Indonesia No
9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syariah. Dalam ketentuan pasal 1
ayat (4) dikemukakan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank dengan
nasabah atau pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak
sesuai dengan prinsip syariah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Pasaribu Chairuman dan Suhrawadi K. Lubis, 2004. Hukum Perjanjian Dalam


Islam, Jakarta: Sinar Grafika.

Darus Mariam Badrulzaman, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT.


Citra Aditya Bakti.

Umam Khotibuk, 2016. Perbankan Syariah; Dasar-dasar dan Dinamika


Perkembanganya di Indonesia Depok: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.

15

Anda mungkin juga menyukai