Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Konsep Dasar Hukum Perikatan Islam

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Syariah Islam

Dosen : Sukmayadi, S.E., M.M

Disusun Oleh :

Kelompok 9 Manajemen B

Rezky Maolana Yusup (D1.2104746)


Rukan Ilham Sabila (D1.2104600)
Sendi Fajar Maulana (D1.2104601)

PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS APRIL SUMEDANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Dasar
Hukum Perikatan Islam” dapat selesai tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Sukmayadi, S.E., M.M pada mata kuliah Ekonomi Syariah Islam. Selain itu makalah ini
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sukmayadi, S.E., M.M selaku dosen
mata kuliah Ekonomi Syariah Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna tetapi kami berharap kita
semua bisa memperolah manfaat dari makalah ini.. Bila ada kesalahan dalam penulisan
makalah ini kami meminta maaf sebesar- besarnya, oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya
kami.

Sumedang , 08 Maret 2022

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................... 4

Latar Belakang..................................................................................................................... 4

Rumusan.............................................................................................................................. 4

Tujuan.................................................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................... 6

2.1 Pengertian Perikatan Syariah Islam………………………………………………………………………….. 6

2.2 Hakekat Hukum Perikatan Syariah Islam………………………………………………………………….. 6

2.3 Karakteristik Hukum Perikatan Syariah Islam…………………………………………………………… 7

2.4 Sumber-sumber Hukum Perikatan Syariah Islam……………………………………………………… 10

2.5 Subjek dan Objek Perikatan Syariah Islam……………………………………………………………….. 11

2.6 Perikatan Dalam Hukum Syariah Islam…………………………………………………………………….. 12

2.7 Kedudukan Hukum Perikatan Syariah Islam Dalam Tata Hukum Indonesia………………. 13

2.8 Hukum Perikatan Dalam Tinjauan Konvensional………………………………………………………. 16

BAB III PENUTUP.................................................................................................................. 18

3.1 Kesimpulan.................................................................................................................... 18

Daftar Pustaka..................................................................................................................... 19

iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya
mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa
angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan.
Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata
banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang
atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber
pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-
undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat
kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan
untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu
adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang
dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk
tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Perikatan Syariah Islam


2. Bagaimana Hakekat Hukum Perikatan Syariah Islam
3. Bagaimana Karakteristik Hukum Perikatan Syariah Islam
4. Bagaimana Sumber-sumber Hukum Perikatan Syariah Islam
5. Bagaimana Subjek dan Objek Perikatan Syariah Islam
6. Bagaimana Perikatan Dalam Hukum Syariah Islam
7. Bagaimana Kedudukan Hukum Perikatan Syariah Islam Dalam Tata Hukum Indonesia
8. Bagaimana Hukum Perikatan Dalam Tinjauan Konvensional

1.3 Tujuan

4
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari Perikatan Syariah Islam
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari Sumber-sumber Hukum Perikatan
Syariah Islam
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari Hakekat Hukum Perikatan Syariah Islam

5
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perikatan Syariah Islam

Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari hukum Islam bidang muamalah yang mengatur
perilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya. Tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Quran, As-Sunnah (Al-Hadis) dan Ar-Ra'yu (ljtihad) yang mengatur tentang hubungan antara
dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi
(Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH).

Berdasarkan KUH Perdata Pasal 1233 dinyatakan bahwa perikatan lahir Karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Dalam pasal ini terdapat Istilah perikatan dan juga
istilah persetujuan perjanjian. Menurut Syamsul Anwar, Istilah perikatan dalam bahasa
Belanda disebut sebagai verbintenis, sedangkan Persetujuan (yang juga diidentikan dengan
perjanjian dan bahkan juga dengan Istilah kontrak) memiliki padanan kata dengan
overeenkomst.

Dalam hukum Islam Kontemporer, perikatan (verbintenis) memiliki padanan kata dengan
“iltizâm”, Sedangkan istilah perjanjian/ kontrak/ overeekomst memiliki padanan kata
dengan Kata “`aqd” (akad). Penggunaan istilah akad sebagai padanan kata “kontrak”
(contract) juga disetujui beberapa sarjana seperti oleh Linquat Ali Khan, Hasan S. Karmi, dan
Edward William.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa padananKata yang
digunakan untuk menjelaskan makna perikatan adalah iltizâm dan Verbintenis, sedangkan
padanan kata untuk istilah persetujuan adalah perjanjian, Kontrak, contract, overeekomst,
dan juga `aqd (akad).

2.2 Hakekat Hukum Perikatan Syariah Islam

Terdapat suatu perbedaan konsep hukum dalam ajaran Islam dengan konsep hukum
modern. Dalam Islam, hukum dinilai sebagai bagian dari ajaran agama, selanjutnya norma-
norma hukum juga akan bersumber dari agama. Pandangan tersebut turut membangun
keyakinan umat Islam tentang hukum Islam yang berdasarkan wahyu ilahi. Karenanya,
hukum tersebut lazim dikenal dengan syariah, yang mengandung arti jalan yang disediakan
Tuhan untuk manusia. Syariah memiliki arti jalan atau jalan menuju air. Pemakaiannya
sering digunakan untuk menunjukkan jalan yang digariskan Tuhan menuju kepada
keselamatan atau juga menuju Tuhan.

Syariah bisa dimaknai secara luas sebagai ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri. Tetapi
pemakaiannya dalam arti sempit, syariah dimaknai sebagai aspek praktis hukum Islam.
Syariah tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat oleh manusia, tentu saja
6
penerapan tersebut diawali dengan proses interpretasi dalam merespon perilaku sekaligus
problem yang dihadapi manusia di kehidupan, karenanya hukum Islam juga disebut fikih,
dalam arti menggambarkan sisi penafsiran manusia tentang hukum Islam. Kata fikih berasal
dari kata al-fikih yang memiliki arti mengerti atau paham. Secara istilah fikih dipakai dalam
dua arti yaitu ilmu hukum dengan hukum itu sendiri.

Sejak lahirnya bank muamalat sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah yaitu sejak
tahun 1991 mata kuliah hukum perikatan syariah” mulai diajarkan kepada mahasiswa
fakultas hukum di indonesia mata kuliah ini penting diajarkan untuk mengetahui jenis akad
(kontrak) yang diterapka dilembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank bentuk
isi perjanjian serta penyelesaian sengketa bisnis syariah baik ligitasi dan non ligitasi.

2.3 Karakteristik Hukum Perikatan Syariah Islam

Karakteristik hukum dalam islam adalah bersifat komprehensif dan realistis,


komprehensivitas hukum islam terlihat dari keberlakuan hukum islam di masyarakat, yakni
bahwa tidak ditetapkan hanya untuk seorang individu tanpa keluarga, dan bukan di
tetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat
secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat islam, dan ia tidak pula
ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa dunia yang lainnya.
Sedang sifat realitas hukum islam adalah bahwa hukum tidak mengabaikan kenyataan
(realita) dalam setiap apa yang dihalalkan dan yang diharamkannya dan juga tidak
mengabaikan realita ini dalam setiap apa yang ditetapkannya dari peraturan dan hukum
bagi individu, keluarga, masyarakat, negara dan seluruh umat manusia.

1. Dasar filosofis berlakunya hukum perikatan Islam di Indonesia

Menurut Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH., ada dua hal besar mendasari
berlakunya hukum perikatan Islam. Dasar pertama adalah akidah, yaitu keyakinan yang
memaksa pelaksanaannya dalam bertransaksi, dan dasar kedua adalah syariah,
sepanjang mengenai norma atau aturan-aturan hukum yang mempunyai dua dimensi,
yaitu dimensi "transendental" atau vertikal. Dimensi transendental ini dikenal dengan
sebutan "hablum-minallah" yang merupakan pertanggung jawaban individu maupun
kolektif kepada Allah. Sedangkan dimensi lainnya adalah dimensi horizontal yang dikenal
dengan sebutan "hablum-minan-naas" yang mengatur interaksi sosial di antara manusia.
Kedua dimensi inilah yang mempengaruhi prilaku umat islam dalam aktivitas transaksinya
sehari-hari.

2. Aspek-aspek Hukum Islam

a. Hukum Ibadat, hukum-hukum yang berhubungan dengan peribadatan kepada Allah


SWT, seperti: sholat, puasa, haji, suci dari hadas, dan sebagainya.

7
b. Hukum keluarga (Al-Ahwal Syakshiyah). Hukum-hukum yang berhubungan dengan
tata kehidupan keluarga, seperti: perkawinan, perceraian, hubungan keturunan,
nafkah keluarga, kewajiban anak kepada orang tua, dan sebagainya.

c. Hukum muamalat (dalam arti sempit,). Hukum-hukum yang berhubungan dengan


pergaulan hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak persengketaan-
persengketaan, seperti: perjanjian jual beli, sewa menyewa, utang piutang, gadai,
hibah, dan sebagainya.

d. Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan (Al-Ahkam As- Sulthaniyah atau As-
Siyasah Asy-Syari'ah). Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata kehidupan
bernegara, seperti: Negara, Hak dan Kewjiban Penguasa dan Rakyat timbal balik, dan
sebagainya.

e. Hukum Pidana (Al-Jinayat). Hukum-hukum yang berhubungan dengan kepidanaan,


seperti: macam-macam perbuatan pidana dan ancaman pidana.

f. Hukum Antar negara (As-Siyar). Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara


Negara Islam dengan Negara- negara lain, yang terdiri dari aturan-aturan hubungan
pada waktu damai dan pada waktu perang.

g. Hukum sopan santun (Al-Adab). Hukum-hukum yang berhubungan dengan budi


pekerti, kepatutan, nilai baik, dan minum dengan tangan kanan, mendamaikan orang-
orang yang berselisih dan sebagainya.

3. Asas-asas Hukum Perikatan Islam

a. Asas Ilahiah

Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah
SWT. Kegiatan muamalat, termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah lepas dari
nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab. Tanggung
jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab
kepada diri sendiri dan tanggungjawab kepada Allah SWT. Akibatnya manusia tidak
akan berbuat sekehendak hatinya, karena segala perbuatannya akan mendapatkan
balasan dari Allah SWT.

b. Asas Kebebasan

Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan.
Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati
bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para pihak yang menyepakatinya dan
harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidaklah
absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut
boleh dilaksanakan.

8
c. Asas kesamaan atau kesetaraan

Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi


kebutuhan manusia sering kali terjadi, bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang
lainnya. Seperti yang tercantum dalam QS. An-Nahl (16):71, bahwa "Dan Allah
melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki." Hal ini
menunjukkan bahwa diantara sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan yang lain hendaknya saling
melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu,
setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan.
Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-
masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini tidak boleh ada suatu
kezaliman yang dilakukan dalam perikatan tersebut.

d. Asas Keadilan

Istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan. Menurut Yusuf
Qardhawi, keadilan adalah seimbang antara berbagai potensi individu, baik moral
ataupun materiil, antara individu dan masyarakat dan antara masyarakat satu dengan
lainnya yang berlandaskan pada syariah Islam. Dalam asas ini, para pihak yang
melakukan perikatan dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak
dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua
kewajibannya.

e. Asas Kerelaan

Dalam QS. An-Nisa (4): 29, dinyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus
atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada
tekanan, paksaan, penipuan.

f. Asas Kejujuran dan Kebenaran

Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala bidang
kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran ini tidak diterapkan
dalam perikatan, maka akan merusak legalitas perikatan itu sendiri. Selain itu, jika
terdapat ketidakjujuran dalam perikatan, akan menimbulkan perselisihan di antara
para pihak. Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi
para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya.
Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan madharat adalah dilarang.

g. Asas Tertulis

Dalam QS Al-Baqarah (2): 282-283, disebutkan bahwa Allah SWT menganjurkan


kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh

9
saksi-saksi, dan diberikan tanggungjawab individu yang melakukan perikatan dan yang
menjadi saksi.

2.4 Sumber-sumber Hukum Perikatan Islam

Sumber hukum Islam terdiri dari tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan Hadits serta ar-
ra’yu (akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad).

1. Al-Quran

Sebagai salah satu sumber hukum islam utama yang pertama dalam hukum perikatan
islam ini, sebagian besar Al-Quran hanya mengatur mengenai kaidah-kaidah umum. Hal
tersebut antara lain dapat dilihat dari isi ayat-ayat al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275
dan surat An-Nisa ayat 29.

2. Al-Sunnah

Sunnah Rasulullah SAW merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Sunnah
Nabi dijadikan sebagai sumber hukum syariah karena apa yang dilakukan Rasulullah
mengikuti tuntunan wahyu bukan hawa nafsu (QS. Al-Ahqaf 46:29) begitu pula dengan
apa yang diucapkan beliau (QS. Al-Najm 53:3-4). Karena itu menurut Jumhur Ulama,
kedudukan sunnah sama dengan hadits. Pengertian sunnah adalah segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi'il) maupun
pembiaran (taqrir) yang berkaitan dengan penetapan hukum.

3. Ijma’

ljma' merupakan kesepakatan Ulama mujtahid kaum Muslimin pada suatu masa
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW atas hukum syara' mengenai suatu perkara
amaliyah. Ketentuan ijma' memiliki dasar hukum di dalam Al-Qur'an, misalnya terdapat
pada (QS. An-Nisa' 4:59) (QS. Yunus 10:71) (QS. Ali-Imran 3:103). Begitu pula dalam
hadits Nabi diantaranya ada yang menegaskan bahwa: "Umatku tidak akan sepakat
untuk melakukan kesesatan, apabila kamu sekalian menemukan perbedaan pendapat,
maka hendaklah kamu berada dalam kelompok mayoritas (Ulama)." (HR. Ibnu Majjah).
Menurut Jumhur Ulama, kedudukan ijma' sahabat menempati dalil hukum setelah Al-
Qur'an dan Sunnah. Melalui ijma', kalangan Ulama dapat menetapkan hukum yang
bersifat mengikat dan harus dipatuhi. Ijma' dijadikan sebagai rujukan dalil selama dapat
menunjukkan ke arah sumber hukum syara'.

4. Qiyas Syar’i

Pengertian qiyas menurut bahasa berarti ukuran yang dijadikan sandaran. Sedangkan
secara terminology, istilah qiyas dapat diartikan sebagai metode pengambilan hukum
yang di tempuh dengan cara menghubungkan ketetapan hukum syara' dengan peristiwa
tertentu yang bersifat baru karena keduanya ada kesamaan illat hukum. Batas
kebolehan qiyas menurut para Ulama adalah selama tidak bertentangan dengan nash
syariat. Keberadaan nash berfungsi sebagai dalil-dalil syara'. Karena qiyas menyandarkan
suatu hukum asal pada dalil-dalil syara', maka disebut dengan qiyas syar'i. Dengan
demikian, alasan para fuqaha menjadikan qiyas dan ijma' sebagai dalil-dalil syara' ialah
karena keberadaannya selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

10
2.5 Subjek dan Objek Perikatan Syariah Islam

1. Subjek Perikatan (al-aqidain)

Subjek (Al ‘Aqidain) adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu
tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut
hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum dapat diartikan sebagai pengemban
hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum
dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam.

a. Manusia

Manusia sebagai subjek hukum perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum
yang disebut dengan mukallaf.

b. Badan Hukum

Badan hukum adalah beban yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang
mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain
atau badan hukum.

2. Objek Perikatan

Objek (Mahallul ‘Aqd) adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan
padanya akibat hukum yang dtimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud
maupun tidak berwujud (manfaat). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Mahallul
‘Aqd adalah sebagai berikut :

a. perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.

Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, alasanya bahwa sebab
hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada.

b. perikatan dibenarkan oleh syariah.

Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki nilai
dan mafaat bagi manusia. Selain itu jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang
bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan, adalah tidak
dapat dibenarkan pula, batal.

c. akad harus jelas dan dikenali.

Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui
oleh aqid. Jika objek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk,
fungsi, dan keadaannya. Dan jika objek perikatan tersebut berupa jasa, harus jelas
11
bahwa yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampilan, dan
kepandaiannya dalam bidang tersebut.

d. Objek dapat diserahterimakan.

Benda yang menjadi objek objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad
terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu seharusnya objek
perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah menyerahkan nya kepada
pihak kedua.

2.6. Perikatan Dalam Hukum Syariah Islam

Indonesia adalah Negara hukum, banyak hukum di Indonesia yang mengatur perilaku
manusia yang berhubungan dengan kegiatan ekonominya. Hukum di Indonesia terdiri dari
hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Hukum Islam adalah aturan yang bersumber
dan untuk agama Islam, salah satunya hukum perikatan Islam.

Perikatan Islam bersumber dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Hukum perikatan
Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia tetapi manusia dengan
sang pencipta. Ada dua hal yang mendasari terbentuknya hukum perikatan Islam, yang
pertama ialah akidah dan yang kedua syariah.

Di Indonesia umumnya perikatan digunakan sebagai padanan kata dari Belanda


verbintenis dan perjanjian sebagai pedanan dari oveereenkonst. Ada pula yang
menggunakan kata perjanjian sebagai pedanan dari verbintenis, sedang oveereenkonst
digunakan untuk kata persetujuan. Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah
untuk menyebut perikatan (verbintenis) dan istilah akad untuk menyebut perjanjian
(oveereenkonst). Istilah terakhir, yaitu akad, sebenarnya adalah istilah yang cukup tua
digunakan sejak zaman klasik sehingga sudah sangat baku.

Sedangkan istilah pertama , yaitu ijtizam, merupakan istilah baru untuk menyebutkan
perikatan secara umum, dalam pengertian bahwa perikatan secara keseluruhan pada zaman
modern ini disebut dengan istilah iltizam atau perikatan. Perbuatan dua orang/pihak atau
lebih yang saling berjanji untuk melakukan semisal memberikan sesuatu, maka para pihak
tersebut sudah mengikatkan diri kepada Allah sebagai konsekuensi dari pelaksanaannya
dimensi tersebut maka saat interaksi terjadi norma ikut mengatur dan merekayasa agar
masyarakat mengikuti norma tersebut.

Secara normatif Hukum Perikatan Islam telah dilaksanakan contohnya dapat kita lihat
pada transaksi jual beli di desa-desa menggunakan cara ijab qabul yang menandakan adanya

12
saling ridho antara kedua belah piha, hal ini merupakan pelaksanaan hukum mengenai asas
hukum suka sama suka. (Al-Qur’an An-Nisa ayat 29). Hukum bukanlah suatu lembaga yang
sama sekali otonom, namun berada pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-
sektor kehidupan lain dalam masyarakat.

Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum harus senantiasa
melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya.
Mengenai perikatan Islam kita harus menelaah kerangka hukum dasar dinul Islam yang
terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak. Pada bagian syariah terbagi dua bidang yaitu ibadah
dan Muamalat, salah satu sistem dalam bidang Muamalat adalah hukum di lingkungan
masyarakat Islam berlaku tiga kategori hukum yaitu syariat, fikih, dan siyah
syar’iyah(kerajaan).

2.7 Kedudukan Hukum Perikatan Syariah Islam Dalam Tata Hukum Indonesia

Kedudukan adalah tempat dan keadaan, tata hukum adalah susunan atau sistem yang
berlaku di suatu daerah atau negara tertentu. Dengan demikian yang akan dilukiskan dalam
bagian ini adalah tempat dan keadaan hukum islam dalam susunan atau sistem hukum yang
berlaku di Indonesia. Sistem hukum indonesia sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya
bersifat majemuk. Sistem yang dimaksud adalah sistem hukum adat, sistem hukum islam,
dan sistem hukum barat. Ketiga sistem hukum itu berlaku di Indonesia pada waktu yang
berlainan. Hukum islam telah ada di kepulauan sejak orang islam datang dan bermukim di
Nusantara ini. Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh
dalam masyarakat, dikembangkan oleh ilmu penghetahuan dan praktuik peradilan.

Hukum Perikatan Islam di Indonesia berdasarkan priode sejarah sebagai berikut:

1. Sebelum kedatangan Belanda


menurut informasi, proses islami kepulauan Indonesia dilakukan oleh para saudagar
dan perkawinan. Setelah agama Islam berakar dalam masyarakat, peranan saudagar
digantikan oleh para ulama sebagai guru dan pengawal hukum islam Walau pun,
sebenamya tidak dapat dipastikan bahwa saudagar tersebut, sungguh hanya
saudagar ataukah ulama yang berdakwah sambil berdagang. Terlepas dari itu,
Hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat
tumbuh dan berkembang bersama kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami
kepulauan nusantara ini. Hubungan homogenitas antara masyarakat pribumi
nusantara dengan Islam semakin erat karena para ulama tersebut tidak saja
berdakwah atau melakukan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga melakukan
pernikahan silang antar laki-laki keturunan Islam kepada perempuan keturunan

13
nusantara. Ditambah lagi. anak-anak hasil pernikahan silang tersebut juga tetap
diajarkan bahasa-bahasa ibu mereka.
2. Setelah kedatangan VOC
a. Masa VOC (1602-1800) berfungsi sebagai pedagang dan badan pemerintahan,
karena dalam praktiknya susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum
Belanda tidak dapat berjalan. VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada
dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. D. W. Freijer
menyusun kompendium yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan Islam
yang digunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa di kalangan umat
Islam. Selain itu ada kitab Hukum Mogharaer yang digunakan pada Pengadilan
Negeri Semarang dan Pepakem Cirebon.
b. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda sikap terhadap hukum islam mulai
berubah secara perlahan dan sistematis, yaitu sebagai berikut:
1. Pada masa Pemerintahan Belanda/Deandels (1808-1811) terdapat
pemahaman umum bahwa "Hukum Islam adalah hukum asli orang
pribumi".
2. Pada masa Pemerintahan Inggris/Thomas S. Raffles (1811- 1816) juga
terdapat anggapan bahwa "Hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah
Hukum Islam". Setelah Indonesia kembali pada Belanda, ada usaha
Belanda untuk menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang
Indonesia. Untuk mengekalkan kekuasaannya, Belanda melaksanakan
politik hukum yang dengan sadar hendak menata dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. M. R. Scholten Van
Oud Haarlem menyesuaikan Undang-Undang Belanda dengan keadaan
istimewa di Hindia Belanda.
3. Pada masa abad ke-19 berkembang pendapat, bahwa Indonesia berlaku
Hukum Islam, yaitu antara lain dikemukakan oleh Salomon Keyzer.
Kemudian diperkuat oleh Lodewijk Willem Christian Var Den Berg
berpendapat, bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika
orang itu memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku bagi-nya.
Pendapatnya dikenal dengan teori Receptio in Complexu yaitu orang Islam
Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya
dan sebagai satu kesatuan. Cristian Snouck Hourgronje menentang teori
Receptio in Complexu, dan berpendapat, bahwa yang berlaku bagi orang
Islam bukanlah Hukum Islam tetapi Hukum Adat.
Dalam hukum adat telah masuk hukum islam tetapi pengaruh itu baru
mempunyai kekuatan hukum bila telah bener-bener diterima oleh hukum
adat sebab, dasar hukum teori resepsi adalah pasal 134 (2) Indische Slants
Regeling (IS), sedangkan dengan berlakunya UUD 1945, IS tidak berlaku

14
lagi. Teori ini mendapat kritikan dari para ahli Hukum Islam di Indonesia,
antara lain oleh Hazairin dan Sajuti Thalib yang berpendapat bahwa hukum
adat baru berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pada UUD 1945 Aturan Peralihan Pasal II memang menyatakan, “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Namun
demikian, dasar hukum yang di-tetapkan oleh suatu Undang-Undang Dasar
yang sudah tidak berlaku, tidak dapat dijadikan dasar Undang-Undang
berlakunya UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang
beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena
ia telah diterima oleh Hukum hukum suatu Dasar baru.Setelah Adat. Hal ini
juga diperkuat dengan Pasal 29 UUD 1945. Sejak ditandatanganinya
kesepakatan antara para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis islami
pada tanggal 22 Juni 1945 sampai dengan saat diundangkanya Dekrit
Presiden RI pada tanggal 5 Juli 1959, ketentuan “kewajiban menjalankan
syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya" adalah sumber persuasif.
c. Periode Penerimaan Hukum Islam. Sebagai Sumber Otoritatif Barulah dengan
ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, maka
Piagam Jakarta yang mengandung penerimaan terhadap Hukum Islam menjadi
sumber otoritas/dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekadar sumber
persuasif. Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pendahuluan
dalam suatu konstitusi dan konsideransi (pertimbangan) dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Sebagaimana kita ketahui, semula Piagam Jakarta adalah
pembuka- an rancangan UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha- usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dalam konsiderans Dekrit Presiden ditetapkan,
"Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang. Oleh sebab Pancasila adalah sumber hukum dari Hukum Nasional
Indonesia, maka dalam Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
berlakulah hukum agama dan toleransi antar-umat beragama dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bahkan bermuatan pula menyangkut
keyakinan agama, perlindungan ibadah agama dan hukum agama. Sila pertama
pancasila, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945
dan pasal 29 ayat (1), menunjukkan bahwa undang-undang dasar Negara Republik
Indonesia meletakkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai hukum dasar yang
dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam bernegara. Pancasila sebagai
falsafah negara, dasar negara, dan hukum dasar telah menerima agama serta
hukum agama pada kedudukan fundamental. Karenanya, unifikasi hukum dalam

15
hukum nasional hanya dapat diwujudkan dalam bidang-bidang tertentu, dan agama
tidak memberikan ajaran, atau kekuatan sendiri.
Dengan fakta bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekular,
hukum-hukumnya pun harus bersifat nasional- inklusif. Artinya, hukum yang
berlaku adalah hukum nasional berdasarkan atas sistem hukum Pancasila dengan
segala kaidah penuntun hukumnya. Negara tidak memberlakukan hukum agama,
tetapi negara harus membuat hukum.

2.8 Hukum Perikatan Dalam Tinjauan Konvensional

Dalam hukum perdata Indonesia hukum perikatan diartikan dengan sesuatu hal yang
mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Prof. Subekti menyatakan bahwa
perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Hal yang mengikat itu maksudnya adalah peristiwa hukum yang dapat menciptakan
hubungan hukum bagi kedua belah pihak. Pada dasarnya KUH Perdata tidak secara tegas
memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan
dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata didefinisikan
sebagai suatu perbuatan hukum salah satu yang orang atau lebih dengan mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Setiap perjanjian agar secara sah mengikat bagi para pihak- pihak yang mengadakan
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yang mana ini tertuang dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata, yaitu perlunya ada kesepakatan para pihak (asas konsensual), kecakapan
bertindak dari para pihak, adanya obyek tertentu, dan mempunyai kausa yang halal.
Dianggap tidak ada kesepakatan kalau di dalamnya terdapat paksaan (dwang), kekhilafan
(dwaling), maupun penipuan (bedrog). Dalam ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan
mengenai siapa-siapa yang oleh hukum dianggap tidak cakap, yaitu: anak yang masih di
bawah umur, orang yang hilang ingatan (ditaruh di bawah pengampuan), orang yang boros,
dan Istri dari suami yang tunduk pada KUHPerdata.

Bahwa setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas
menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas menentukan dengan siapa akan
membuat perjanjian, bebas menentukan apa saja yang menjadi obyek perjanjian, serta
bebas menentukan penyelesaian sengketa yang terjadi di kemudian hari. Tentu saja bebas
itu juga ada batasnya, dalam artian bahwa para pihak dilarang membuat perjanjian yang
bertentangan dengan hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum yang berlaku di
masyarakat.

16
Asas kebebasan berkontrak ini tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya". Prof. Subekti menyimpulkan bahwa Pasal 1338 ini
mengandung suatu asas dalam membuat perjanjian (kebebasan berkontrak) atau menganut
sistem terbuka (open system). Dengan menekankan pada perkataan "semua" maka pasal
tersebut seolah- olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat tentang
diperbolehkannya membuat perjanjian apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian
itu akan pihak ketiga, sebenarnya adalah memberikan atau menyerahkan haknya kepada
pihak ketiga.

17
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perikatan syariah islam adalah seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an, As-Sunnah (Al-Hadist), dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur perilaku manusia di
dalam menjalankan hubungan ekonominya antara dua orang atau lebih mengenai suatu
benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.

Sumber hukum islam berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan hadist (sebagai
dua sumber utama), serta ar-ra’yu atau akal pikiran manusia yang terhimpun dalam ijtihad.
Hal ini berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan hadist mu’az.
Terdapat pula pedapat lain mengenai sumber hukum islam ini yang didasarkan pada QS. An-
Nisaa (4):29 dan Al-Baqarah (2):275 , bahwa sumber hukum islam adalah Al-Qur’an, as-
sunnah, ijtihad, dan qiyas.

18
DAFTAR PUSTAKA

Sukmayadi, SE, MM, 2021. Ekonomi Syariah Islam Kajian Akademisi Untuk Implementasi.
Sumedang: Penerbit ALFABETA CV.

Hadi Tuasikal. 2020. Karakteristik Perikatan dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah.
Makalah.
https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/

https://dspace.uii.ac.id/

19

Anda mungkin juga menyukai