Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan
Makalah yg bejudul“ Hukum Perikatan”. Adapun . makalah ini telah saya usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan
bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam pembuatan
Makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadar sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
dengan lapang dada dan tangan terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi pembaca
yang ingin memberi saran dan kritik kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki
Makalah Hukum Perikatan.

Saya mengharapkan semoga dari Makalah Hukum Perikatan ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Sengkang, 04 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2

C. Tujuan Masalah .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3

A. Definisi Hukum Perikatan Islam ............................................................................... 3

B. Bentuk-bentuk Perikatan Islam dalam Kegiatan Usaha ......................................... 3

C. Unsur-Unsur Perikatan .............................................................................................. 6

D. Penggolongan Akad .................................................................................................... 7

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 9

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 9

B. Saran ............................................................................................................................ 9

References................................................................................................................... 10

iii
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa
setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang
atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal
tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III
KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi
cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum
dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan


antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak
lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang


bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang
diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan
ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan
yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak
melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.1

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungandeng


an orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhanmanusia
sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampuuntuk
memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain.
Hubunganantara manusia satu dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhank
eduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukankontrak.
Hubungan ini merupakan fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah.Karena itu ia

1
Silpi Intan Suseno, Makalah Hukum Perikatan (Jakarta : 2017)

1
merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal artihak milik. Islam
sebagai agama yang komprehensif dan universival memberikan aturan yang
cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perikatan Islam?
2. Apa saja bentuk - bentuk dari atau Perikatan?
3. Apa saja yang menjadi bagian dari Unsur-Unsur Perikatan?
4. Berapakah Penggolongan Perikatan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui arti dari hukum perikatan islam
2. Untuk mengetahui bentuk - bentuk dari atau Perikatan
3. Untuk mengetahui bagian dari Unsur-Unsur Perikatan
4. Untuk mengetahui Penggolongan Perikatan

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Hukum Perikatan Islam


Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari Hukum Islam bidang muamalah
yang mengatur prilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya.
Menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH hukum perikatan islam merupakan
seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an. As-Sunnah (Hadits),
dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih
mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.
Lebih lanjut beliau menerangkan, bahwa kaidah-kaidah hukum yang
berhubungan langsung dengan konsep Hukum Perikatan Islam ini adalah bersumber
dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW (As-Sunnah). Adapun kaidah-
kaidah fiqh berfungsi sebagai pemahaman dari syariah yang dilakukan oleh manusia
(para ulama mazhab) yang merupakan suatu bentuk dari ijtihad. Pada masa ini
bentuk ijtihad di lapangan Hukum Perikatan ini dilaksanakan secara kolektif oleh
para ulama yang berkompeten dibidangnya. Dari ketiga sumber tersebut, umat Islam
di mana pun berada dapat memperaktikkan kegiatan usahanya dalam kehidupan
sehari-hari.
Dari pengertian di atas, tampak adanya kaitan yang erat antara Hukum
Perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam
menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber
Hukum Islam tersebut. Hal ini menunjukkan adanya sifat “religious transendental”
yang terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi Hukum Perikatan Islam itu
sendiri yang merupakan pencerminan otoritas Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Mengetahui segala tindak tanduk manusia dalam hubungan antarsesamanya.2

B. Bentuk-bentuk Perikatan Islam dalam Kegiatan Usaha


1. Pertukaran
Akad ini terbagi menjadi dua jenis3 yaitu:
a) Pertukaran barang yang sejenis, akad ini terdiri dari dua yaitu:
1) Pertukaran uang dengan uang (sharf=penambahan, penukaran,
penghindaran, pengalihan, atau transaksi jual beli)4, yaitu perjanjian jual
beli satu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi ini dapat dilakukan baik
dengan sesame mata uang sejenis maupun yang tidak sejenis. Dasar
hukum dibolehkannya as-Sharf adalah dari Hadits Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh HR. Muslim yang berbunyi: “Diriwayatkan oleh Abu

2
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, hlm 3
3
Ibid, hlm 105
4
Ibid, hlm 106

3
Ubadah bin ash Shamid berkata, bahwa telah bersabda Rasulullah SAW,
‘Emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, bur
dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, sama dan jenis haruslah dari tangan ke tangan (sah). Maka
apabila berbeda jenisnya jualah sekehendak kalian dengan syarat
kontan.’”
Menurut para ulama, rukun dan syarat yang harus dpenuhi dalam jual beli
mata uang adalah sebagai berikut:
• pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot).
• Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial
bukan spekulasi.
• Harus dihindari jual beli bersyarat.
• Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang
diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
• Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau jual beli
tanpa hak kepemilikan (bai al-alfudhuli).
• Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ketentuan
tentang as-Sharf ini belum diatur. Kebijakan pelaksanaan as-Sharf ini
diserahkan menurut kebiasaan yang berlaku di kalangan bisnis valuta
asing yang sudah berjalan selama tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah.
2) Pertukaran barang dengan barang (barter)5. Islam pada prinsipnya
membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang. Namun
dalam pelaksanaannya bila tidak memerhatikan ketentuan syariah dapat
menjadi barter yang mengandung unsur riba. Banyak sekali ayat Al-
Qur’an dan Hadits yang membahas mengenai riba seperti QS. Ar-Ruum:
39, an-Nisaa: 160-161, Ali Imran: 130, dan Al-Baqarah: 278-279. Selain
itu menurut para ulama barang ribawi meliputi:
• Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun lainnya.
• Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta
bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
b) Pertukaran barang yang tidak sejenis, terdiri dari dua yaitu6:
1) Pertukaran uang dengan barang atau jual beli (al-Bay’i)7 pada umumnya,
yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela memindahkan milik dengan
ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah). Terdapat
sejumlah ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang jual beli salah satunya

5
Ibid, hlm 108
6
Ibid, hlm109
7
Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hlm101

4
dalam QS.An-Nisaa: 29 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
2) Pertukaran barang dengan uang seperti sewa (Ijarah)8
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan. Menurut Ulama Syafi’I adalah transaksi terhadap suatu
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu. Sedangkan menurut Ulama Maliki dan Hambali
adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu
dengan suatu imbalan.berdasarkan definisi di atas, akad ijarah tidak boleh
dibatasi oleh syarat, akad itu hanya ditujukan kepada adanya manfaat
pada barang atau jasa. Dasar hukumnya diantaranya terdapat dalam QS.
Al-Qashash: 26 yang berbunyi “salah seorang dari kedua wanita itu
berkata:’ya bapakku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita)
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
2. Kerja sama dalam Kegiatan Usaha (Syirkah)
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath9, artinya campur atau
percampuran. Secara etimologi asy-syirkah yaitu campuran antara sesuatu
dengan yang lainnya, yang berarti seseorang mencampurkan hartanya dengan
harta orang lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi. Syirkah juga bisa diartikan
sebagai ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal
dan keuntungan.10

❖ Dasar Hukum syirkah


1. Al-Qur’an
Daud berkata : “sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
minta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang
yang beriman dan mereka yang mengerjakan amal yang shaleh dan amat
sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui, bahwa kami mengujinya,
maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan
bertobat.” (Q.S shaad (38) :24)

8
Ibid, hlm 123
9
Wawan Muhawan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, hlm 289
10
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,op,cit hlm 127

5
2. Hadist Rasul
Imam Ad-daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda : “aku jadi yang ketiga antara dua orang berserikat selama
yang satu tidak berkhianat kepada yang lainnya, apabila yang satu
berkhianat kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya.”11
❖ Rukun dan Syarat
Syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah
rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan kabul. Berikut adalah syarat yang
berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian
berikut yaitu12 :
1. Sesuatu yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat a) yang
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima
sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan yaitu
pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus dipenuhi yaitu a) bahwa modal yang dijadikan
objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti Riyal dan
Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah
dilakukan, baik jumlahnya sama atau berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa disyaratkan
a) modal (pokok harta) dalam syirkah muwafadhah harus sama, b) bagi
yang ber-syirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad
disyaratkan syirkah umm, yaitu pada semua macam jual beli atau
perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-
syarat syirkh mufawadhah.

C. Unsur-Unsur Perikatan
a. Subjek perikatan

Subjek perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud


meliputi perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-
Undang. Pelaku perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan
hukum atau persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan
harus:

11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, op.cit. hlm 127
12
Ibid, hlm 128

6
1. Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2. Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3. Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4. Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan

b. Wenang berbuat

Setiap pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut


hukum dalam mencapai persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan
kehendak adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara riil dalam
bentuk tindakan nyata, pihak yang satu menyatakan memberi sesuatau kepada
yang dan menerima seseuatu dari pihak lain. Dengan kata lain, persetujuan
kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan saling memberi dan menerima secara
riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak dalam perikatan harus memenuhi
syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang ditentukan oleh undang-
undang sebagai berikut:

1. Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun penuh


2. Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah menikah
3. Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
4. Tidak berada dibawah pengampuan
5. Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
Persetujuan pihak merupakan perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak
untuk saling memenuhi kewajiban dan saling memperoleh hak dalam setiap
perikatan. Persetujuan kehendak juga menetukan saat kedua pihak mengakhiri
perikatan karena tujuan pihak sudah tercapai. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan
bahwa perikatan menurut sistem hukum prdata, baru dalam taraf menimbulkan
kewajiban dan hak pihak-pihak, sedangkan persetujuan kehendak adalah
pelaksanaan atau realisasi kewajiban dan pihak-pihak sehingga kedua belah
pihak memperoleh hak masing-masing.

D. Penggolongan Akad
Akad secara garis besar berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berdasarkan
asas (dasar), tujuan, ketentuan, sifat, dan hukum-hukum yang ada dalam akad-akad
itu sendiri. Para ulama mengemukakan, bahwa akad dapat diklasifikasikan dalam
berbagai segi, antara lain dilihat dari penjelasan berikut ini:13
1. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi menjadi
dua, akad shahih dan akad tidak shahih.

13
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm158

7
a) Akad shahih, yaitu akad yang elah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad shahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang
ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Maliki
membaginya menjadi dua macam yaitu :
1) Akad nafiz yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
2) Akad mawquf akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak
hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan akad
itu.
b) Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafi
memabgi akad tidak shahih menjadi dua macam yaitu :
1) Akad batil yaitu akad yang tidak memnuhi salah satu rukunnya atau ada
larangn langsung dari syara’.
2) Akad fasid, yaitu akad yang pada dasarnya dsyariatkan tetapi sifat yang
diakadkan itu tidak jelas.
2. Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’
serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, dan
lain-lain.
b) Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang jaman dan tempat,
seperti istishna’, bai’ al-wafa’ dan lain-lain.
3. Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak, terbagi dua yaitu sebagai
berikut:
a) Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’, umpamanya
jual beli, rahn (gadai) dan lain-lain.
b) Akad mamnu’ah yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual anak
binatang yang masih dalam kandungan.
4. Dilihat dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu sebagai berikut:
a) Akad ‘ainiyah, yakni akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan
melaksanakannya apa yang diakadkan itu. Misalnya, benda yang dijual
diserahkan kepada yang membeli.
b) Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata berdasarkan
akad itu sendiri. Misalnya, benda yang sudah diwakafkan otomatis menjadi
benda wakaf.

8
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu
dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan, Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam
bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal
law). Dalam kita undang-undang hukum perdata pasal 1331 ayat 1 dinyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undag-undnag
bagi mereka yang membuatnya, artinya apabila objek hukum yang dilakukan tidak
berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut
dibatalkan demi hukum.
Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di
hadapan hakim. Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memeuni unsur
subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pebgawasab dan tekanan pihak
tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan didepan hakim. Sehingga, perjanjian
tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan
berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian.
Hukum perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH hukum
perikatan islam merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an. As-Sunnah (Hadits), dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan
menjadi objek suatu transaksi.

B. Saran
Dari teori diatas tentang bentuk-bentuk perikatan atau akad dan
penggolongannya tentunya masih kurang lengkap apabila hanya dipaparkan
melalui makalah ini, lebih lagi penjelasan penulis sampaikan sangatlah kurang.
Hal itu disebabkan karena terbatasnya pengetahuan serta referensi yang penulis
dapatkan dan referensi yang kami baca. Oleh karena itu kami meminta kritik dan
saran kepada para pembaca yang bersifat membangun.

9
References
A.Karim, A. ( 2004. ). Bank Islam (Analisis Fiqh dan Keuangan). . Jakarta::
PT.RAJAGRAFINDO PERSADA.

Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: GEMA INSANI.

Blogspot. (2008). makalah dan skripsi hukum perikatan. Jakarta: blogspot.co.id.

Dewi, G. (2005). Hukum Perikatan Islam diIndonesia. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.

Hariri, W. M. (2011.). Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam.


Bandung:: CV. Pustaka Setia.

Suhendi, H. ( 2002. ). Fiqh Muamalah. . Depok:: PT.RAJAGRAFINDO PERSADA.

suryani, R. (2014). makalah hukum perikatan. Jakarta: blogspot.

10

Anda mungkin juga menyukai