Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan
Makalah yg bejudul“ Hukum Perikatan”. Adapun . makalah ini telah saya usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan
bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam pembuatan
Makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadar sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu
dengan lapang dada dan tangan terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi pembaca
yang ingin memberi saran dan kritik kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki
Makalah Hukum Perikatan.
Saya mengharapkan semoga dari Makalah Hukum Perikatan ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 9
B. Saran ............................................................................................................................ 9
References................................................................................................................... 10
iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa
setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang
atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal
tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III
KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi
cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum
dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
1
Silpi Intan Suseno, Makalah Hukum Perikatan (Jakarta : 2017)
1
merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal artihak milik. Islam
sebagai agama yang komprehensif dan universival memberikan aturan yang
cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perikatan Islam?
2. Apa saja bentuk - bentuk dari atau Perikatan?
3. Apa saja yang menjadi bagian dari Unsur-Unsur Perikatan?
4. Berapakah Penggolongan Perikatan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui arti dari hukum perikatan islam
2. Untuk mengetahui bentuk - bentuk dari atau Perikatan
3. Untuk mengetahui bagian dari Unsur-Unsur Perikatan
4. Untuk mengetahui Penggolongan Perikatan
2
BAB II PEMBAHASAN
2
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, hlm 3
3
Ibid, hlm 105
4
Ibid, hlm 106
3
Ubadah bin ash Shamid berkata, bahwa telah bersabda Rasulullah SAW,
‘Emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, bur
dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, sama dan jenis haruslah dari tangan ke tangan (sah). Maka
apabila berbeda jenisnya jualah sekehendak kalian dengan syarat
kontan.’”
Menurut para ulama, rukun dan syarat yang harus dpenuhi dalam jual beli
mata uang adalah sebagai berikut:
• pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot).
• Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial
bukan spekulasi.
• Harus dihindari jual beli bersyarat.
• Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang
diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
• Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau jual beli
tanpa hak kepemilikan (bai al-alfudhuli).
• Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ketentuan
tentang as-Sharf ini belum diatur. Kebijakan pelaksanaan as-Sharf ini
diserahkan menurut kebiasaan yang berlaku di kalangan bisnis valuta
asing yang sudah berjalan selama tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah.
2) Pertukaran barang dengan barang (barter)5. Islam pada prinsipnya
membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang. Namun
dalam pelaksanaannya bila tidak memerhatikan ketentuan syariah dapat
menjadi barter yang mengandung unsur riba. Banyak sekali ayat Al-
Qur’an dan Hadits yang membahas mengenai riba seperti QS. Ar-Ruum:
39, an-Nisaa: 160-161, Ali Imran: 130, dan Al-Baqarah: 278-279. Selain
itu menurut para ulama barang ribawi meliputi:
• Emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun lainnya.
• Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung serta
bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
b) Pertukaran barang yang tidak sejenis, terdiri dari dua yaitu6:
1) Pertukaran uang dengan barang atau jual beli (al-Bay’i)7 pada umumnya,
yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela memindahkan milik dengan
ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah). Terdapat
sejumlah ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang jual beli salah satunya
5
Ibid, hlm 108
6
Ibid, hlm109
7
Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hlm101
4
dalam QS.An-Nisaa: 29 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
2) Pertukaran barang dengan uang seperti sewa (Ijarah)8
Ijarah menurut Ulama Hanafi adalah transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan. Menurut Ulama Syafi’I adalah transaksi terhadap suatu
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu. Sedangkan menurut Ulama Maliki dan Hambali
adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu
dengan suatu imbalan.berdasarkan definisi di atas, akad ijarah tidak boleh
dibatasi oleh syarat, akad itu hanya ditujukan kepada adanya manfaat
pada barang atau jasa. Dasar hukumnya diantaranya terdapat dalam QS.
Al-Qashash: 26 yang berbunyi “salah seorang dari kedua wanita itu
berkata:’ya bapakku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita)
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”
2. Kerja sama dalam Kegiatan Usaha (Syirkah)
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath9, artinya campur atau
percampuran. Secara etimologi asy-syirkah yaitu campuran antara sesuatu
dengan yang lainnya, yang berarti seseorang mencampurkan hartanya dengan
harta orang lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi. Syirkah juga bisa diartikan
sebagai ikatan kerja sama antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal
dan keuntungan.10
8
Ibid, hlm 123
9
Wawan Muhawan Hariri, Hukum Perikatan dilengkapi Hukum Perikatan dalam Islam, hlm 289
10
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,op,cit hlm 127
5
2. Hadist Rasul
Imam Ad-daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda : “aku jadi yang ketiga antara dua orang berserikat selama
yang satu tidak berkhianat kepada yang lainnya, apabila yang satu
berkhianat kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya.”11
❖ Rukun dan Syarat
Syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah
rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan kabul. Berikut adalah syarat yang
berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian
berikut yaitu12 :
1. Sesuatu yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta
maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat a) yang
berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima
sebagai perwakilan, b) yang berkenaan dengan keuntungan yaitu
pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus dipenuhi yaitu a) bahwa modal yang dijadikan
objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti Riyal dan
Rupiah, b) yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah
dilakukan, baik jumlahnya sama atau berbeda.
3. Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, bahwa disyaratkan
a) modal (pokok harta) dalam syirkah muwafadhah harus sama, b) bagi
yang ber-syirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad
disyaratkan syirkah umm, yaitu pada semua macam jual beli atau
perdagangan.
4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-
syarat syirkh mufawadhah.
C. Unsur-Unsur Perikatan
a. Subjek perikatan
11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, op.cit. hlm 127
12
Ibid, hlm 128
6
1. Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2. Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3. Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4. Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan
b. Wenang berbuat
D. Penggolongan Akad
Akad secara garis besar berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berdasarkan
asas (dasar), tujuan, ketentuan, sifat, dan hukum-hukum yang ada dalam akad-akad
itu sendiri. Para ulama mengemukakan, bahwa akad dapat diklasifikasikan dalam
berbagai segi, antara lain dilihat dari penjelasan berikut ini:13
1. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad terbagi menjadi
dua, akad shahih dan akad tidak shahih.
13
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, op, cit., hlm158
7
a) Akad shahih, yaitu akad yang elah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Hukum dari akad shahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang
ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Maliki
membaginya menjadi dua macam yaitu :
1) Akad nafiz yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan
syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
2) Akad mawquf akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak
hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan akad
itu.
b) Akad yang tidak shahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun
atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak
berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafi
memabgi akad tidak shahih menjadi dua macam yaitu :
1) Akad batil yaitu akad yang tidak memnuhi salah satu rukunnya atau ada
larangn langsung dari syara’.
2) Akad fasid, yaitu akad yang pada dasarnya dsyariatkan tetapi sifat yang
diakadkan itu tidak jelas.
2. Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara’
serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, dan
lain-lain.
b) Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang jaman dan tempat,
seperti istishna’, bai’ al-wafa’ dan lain-lain.
3. Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak, terbagi dua yaitu sebagai
berikut:
a) Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’, umpamanya
jual beli, rahn (gadai) dan lain-lain.
b) Akad mamnu’ah yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual anak
binatang yang masih dalam kandungan.
4. Dilihat dari sifat bendanya, akad dibagi dua, yaitu sebagai berikut:
a) Akad ‘ainiyah, yakni akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan
melaksanakannya apa yang diakadkan itu. Misalnya, benda yang dijual
diserahkan kepada yang membeli.
b) Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata berdasarkan
akad itu sendiri. Misalnya, benda yang sudah diwakafkan otomatis menjadi
benda wakaf.
8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu
dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan, Dari rumusan
ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta
kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam
bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal
law). Dalam kita undang-undang hukum perdata pasal 1331 ayat 1 dinyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undag-undnag
bagi mereka yang membuatnya, artinya apabila objek hukum yang dilakukan tidak
berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut
dibatalkan demi hukum.
Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di
hadapan hakim. Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memeuni unsur
subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pebgawasab dan tekanan pihak
tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan didepan hakim. Sehingga, perjanjian
tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan
berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi perjanjian.
Hukum perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH hukum
perikatan islam merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Qur’an. As-Sunnah (Hadits), dan Ar-Ra’yu (Ijtihad) yang mengatur tentang
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan
menjadi objek suatu transaksi.
B. Saran
Dari teori diatas tentang bentuk-bentuk perikatan atau akad dan
penggolongannya tentunya masih kurang lengkap apabila hanya dipaparkan
melalui makalah ini, lebih lagi penjelasan penulis sampaikan sangatlah kurang.
Hal itu disebabkan karena terbatasnya pengetahuan serta referensi yang penulis
dapatkan dan referensi yang kami baca. Oleh karena itu kami meminta kritik dan
saran kepada para pembaca yang bersifat membangun.
9
References
A.Karim, A. ( 2004. ). Bank Islam (Analisis Fiqh dan Keuangan). . Jakarta::
PT.RAJAGRAFINDO PERSADA.
Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: GEMA INSANI.
10