Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM KELUARGA & PERIKATAN

Oleh:
Mutiara Annisa Balqis
201010494

Hukum Keluarga dan Perikatan


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM RIAU PEKANBARU
2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
hukum keluarga & perikatan ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen pada bidang mata kuliah hukum keluarga dan perikatan . Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang hukum keluarga & perikatan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Meilan Lestari, S.H., M.H selaku
dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru,September 2021

Mutiara Annisa Balqis

i
Daftar Isi
Kata Pengantar...............................................................................................................i
Daftar Isi ...................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan ......................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................3
C. Tujuan ...................................................................................................................3
BAB II Pembahasan .....................................................................................................4
A. Pengertian Hukum Keluarga ................................................................................4
B. Asas – asas Hukum Keluarga ...............................................................................5
C. Sumber – sumber hukum keluarga ......................................................................5
D. Pengertian Hukum Perikatan ................................................................................6
E. Sumber Hukum Perikatan...................................................................................10
BAB III Penutup .........................................................................................................13
Kesimpulan .................................................................................................................13
Daftar Pustaka.............................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada hukum Indonesia tidaklah luput dari yang Namanya hukum
kekeluargaan. Mengingat semakin maraknya kasus yang ada di Negara Indonesia
ini atentang problematika rumah tangga. Baik itu tentang kekerasaan suami
terhadap istri atau kekejaman orang tua terhadap anak kandungnya sendiri. Karena
pada dasarnya mereka kurang begitu memahami asas – asas dari hukum keluarga
itu sendiri.
Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga
yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dan isteri atau suaminya.
Masyarakat mempunyai kecenderungan untuk membagi lingkaran
kehidupannya dalam 2 (dua) tahap, yaitu anak-anak dan dewasa. Perpindahan dari
satu tahap ke tahap lainnya, secara antropologis, ditandai dengan adanya
perkembangan atau pertumbuhan secara fisik. Hal ini membawa sejumlah
konsekuensi sosial dan hukum, dengan sejumlah norma yang harus dipatuhi
seseorang.
Hukum keluarga mempunyai posisi penting dalam Islam karena dianggap
sebagai inti syariah. Hal tersebut berkaitan dengan asumsi umat Islam yang
memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke
dalam agama Islam, sehingga hukum keluarga ini diakui sebagai landasan bagi
pembentukan masyarakat muslim. Secara global dapat dikatakan hanya dalam
hukum keluarga syari’at Islam berlaku bagi ratusan juta atau lebih umat Islam
sedunia.
Al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama hukum Islam hanya memuat
petunjuk tentang hukum keluarga, baik perkawinan, perceraian, hak waris dan
sebagainya sebanyak 70 ayat. Ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum keluarga
telah diatur dalam syari’at Islam. Namun implementasinya dalam kehidupan masih
membutuhkan pengembangan selaras dengan perubahan zaman, tempat, dan
kondisi.
Dalam kehidupan sehari – hari banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka
disetiap harinya selalu melakukan perikatan. Hal – hal seperti membeli suatu
barang, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, hal tersebut termasuk suatu perikatan.
Perikatan di Indonesia, diatur dalam buku ke III KUH Perdata (BW). Dalam hukum
perdata, banyak sekali cakupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan
merupakan salah satu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain
yang menimbulkan perikatan.

1
Di dalam perikatan, setiap orang dapat melakukan perikatan yang bersumber
dari perjanjian, perjanjian apapun atau bagaimana baik itu yang diatur dalam
undang-undang ataupun tidak, inilah yang disebut kebebasan berkontrak. Suatu
persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya
melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat – syarat yang
diperjanjian menurut kebiasaan, harus dianggap termasuk dalam suatu persetujuan,
walaupun tidak dengan tegas diatur didalamnya.
Dalam literatur ilmu hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai
sebagai rujukan di samping istilah “hukum perikatan” untuk menggambarkan
ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang
menggunakan istilah “hukum perutangan”, “hukum perjanjian” ataupun “hukum
kontrak”. Masing-masing istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu
dengan lainnya.
Istilah hukum perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi
mengakibatkan adanya konsekuensi yang berupa suatu peristiwa tuntun –
menuntut. Hukum perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari adanya
transaksi. Perjanjian menurut Prof. Subekti, S.H., adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua oang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian
dalam bentuk tertulis, orang juga sering menyebutnya sebagai hukum kontrak.
Adapun digunakan hukum perikatakan untuk menggambarkan bentuk abstrak dari
terjadinya keterikatan para pihak yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak
hanya timbul dari adanya perjanjian antara para pihak, namun juga dari ketentuan
yang berlaku di luar perjanjian tersebut yang menyebabkan terikatnya para pihak
untuk melaksanakan Tindakan hukum tertentu. Di sini tampak, bahwa hukum
perikatan memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar hukum perjanjian.
Hukum perikatan dalam Buku ke-III KUH Perdata mencakup semua bentuk
perikatan dan juga termasuk ikatan hukum yang berasal dari perjanjian, maka istilah
hukum perjanjian hanya sebagai pengaturan tentang ikatan hukum yang terbit dari
perjanjian saja. Pada umumnya Buku III KUH Perdata mengatur tentang perikatan
– perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Istilah Hukum Perikatan,
terdiri dari dua golongan besar, yaitu, hukum perikatan yang berasal dari undang-
undang dan hukum perikatan yang berasal dari Perjanjian. Menurut Subekti
perikatan berisi hukum perjanjian, perikatan merupakan suatu pengertian yang
abstrak, sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.
Menurut ketentuan pasal 1233 KUH Perdata, perjanjian merupakan salah satu
sumber yang bisa menimbulkan perikatan.
Adapun pengertian dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara
dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu. Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya
perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam
kehidupan manusia sehari-hari, dan yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli
hukum, serta dikembangkan secara luas oleh legislator, para praktisi hukum, serta
juga pada cendekiawan hukum, menjadi aturan – aturan hukum positif yang tertulis,

2
yurisprudensi dan doktrin-doktrin hukum yang dapat kita temui dari waktu ke
waktu.
KUH Perdata menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk
pengertian yang sama. Hal ini dapat dilihat jelas dari judul Bab II Buku III
KUHPerdata. Judul dari Bab II Buku III KUHPerdata adalah "Tentang Perikatan-
Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian". Dari judul tersebut dapat
diberikan makna bahwa kontrak adalah perjanjian, dan perjanjian adalah kontrak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum keluarga?
2. Apa saja asas – asas hukum keluarga?
3. Apa saja sumber – sumber hukum keluarga?
4. Apa yang dimaksud dengan hukum perikatan?
5. Apa saja sumber – sumber hukum perikatan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum keluarga
2. Untuk Mengetahui asas-asas hokum keluarga
3. Untuk Mengetahui sumber – sumber hukum keluarga
4. Untuk mengetahui pengertian hukum perikatan
5. Untuk mengetahui sumber – sumber hukum perikatan

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Keluarga


Istilah hukum keluarga berasal dari kata Familierecht yang diterjemahkan
dari Bahasa belanda, atau dari Bahasa inggris Law of familie. Ali Afandi
mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “keseluruhan ketentuan yang
mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan {sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (Afandi,196:93).
Pengertian keluarga secara operasional yaitu struktur yang bersifat khusus,
satu sama lain dalam keluarga itu mempunyai ikatan apakah lewat hubungan darah
pernikahan. Perikatan itu membawa pengaruh adanya rasa “saling berharap”
(mutual expectation) yang sesuai dengan ajaran agama, dikukuhkan dengan
kekuatan hukum serta secara individu saling mempunyai ikatan batin.
Untuk sekedar perbandingan perlu dituliskan bahwa pengertian keluarga pada
umumnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:
 Keluarga kecil (nurclear family).
 Keluarga besar (extended family), ada juga yang menyebutnya royal
family.
Adapun anggota keluarga kecil terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga kecil
disebut juga keluarga inti. Sementara anggota keluarga besar adalah seluruh
anggota keluarga yang bertambah sebagai akibat dari hubungan perkawinan. Maka
masuk anggota keluarga besar adalah bapak dan ibu, bapak dan ibu mertua.
Dari pengertian di atas, maka secara ringkas dapat disimpulkan, bahwa
hukum keluarga adalah ketentuan Allah SWT yang bersumber dari Al – Qur’an dan
as – sunnah tentang ikatan kekeluargaan (family) baik yang terjadi karena hubungan
darah maupun karena hubungan pernikahan yang harus ditaati oleh setiap mukalaf.
Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari
hubungan keluarga jadi, peraturan – peraturan hukum yang timbul dari adanya
hubungan keluarga, seperti hukum tentang perkawinan, tentang perwalian dan lain-
lain. Sebagaiman yang dikemukakan Ali Afandi ada dua pokok kajian dalam
pengertian/definisi hukum keluarga, yaitu mengatur hubungan hukum yang
berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan perkawinan. Kekeluargaan sedarah
adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa orang yang mempunyai
leluhur yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian
keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah
istri (suaminya).
Tahir Mahmoud mengartikan : “hukum keluarga sebagai prinsip – prinsip
hukum yang diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal – hal
yang secara umum diyakini memiliki aspek religious menyangkut peraturan
keluarga, perkawinan, pemberian mas kawin, dan lain – lain.
Hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
 Hukum keluarga tertulis.
 Hukum keluarga tidak tertulis.

4
Hukum keluarga tertulis adalah kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari
UU, yurisprudensi, dan traktak. Sedangkan hukum keluarga tidak tertulis adalah
kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat sasak. Yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi
perkawinan, penceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua,
pengampu, dan perwalian.
B. Asas – asas Hukum Keluarga
1. Asas Monogami (pasal 27 BW; pasal 3 UU Nomor 1 tahun 1974)
Asas Monogami mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Asas Konsesual
Suatu asas bahwa perkawinan atau perwalian dikatakan sah apabila terdapat
persetujuan atas consensus antara calon suami – istri yang akan melangsungkan
perkawinan atau keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian (pasal 28
KUHPerdata; pasal 6 UU Nomor 1 tahun 1974)
3. Asas Persatuan Bulat.
Suatu asas dimana antara suami istri terjadi persatuan harta benda yang
dimilikinya (pasal 119 KUH Perdata).
4. Asas Proposional.
Suatu asas di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pengaulan
masyarakat (pasal 31 UU Nomor 1 1874).
5. Asas Tak Dapat Dibagi – bagi.
Suatu asas bahwa tiap – tiap perwalian banyak terdapat satu wali (pasal 331
KUH Perdata).
C. Sumber – sumber hukum keluarga
Sumber hukum keluarga tertulis adalah sumber hukum yang berasal dari
berbagai peraturan perundangan, yurisprudensi, dan traktak, sedangkan sumber
hukum keluarga tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan sebagai berikut.
1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUH Perdata).
2. Peraturan perkawinan campuran (regelijk op de gemengdehuwelijk), Stb.
1993 Nomor 158.
3. Ordonansi perkawinan Indonesia, kristen, jawa, minahasa, dan ambon,
Stb.1933 Nomor 74.
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk
(beragama islam).
5. UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan.
7. PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang izin
perkawinan dan penceraian.

5
D. Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan akan selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia sehari-
hari, perikatan bisa timbul dari peristiwa hukum yang bermacam-macam bentuknya
dapat berupa hibah, wasiat, jual-beli, sewa – menyewa , dan lainnya.
Hukum perikatan, jika diterjemahkan secara hukum adalah merupakan suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Sedangkan Hubungan Hukum dalam harta kekayaan ini merupakan akibat hukum,
akibat hukum tersebut lahir dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
dapat menimbulkan perikatan. Jika dilihat dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga
terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris
(law of succession), serta dalam bidang hukum pribadai (personal law).
Dalam hukum perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk
tidak berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telah disepakati dalam perjanjian
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian hukum perikatan
adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Pitlon memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan. Antara dua atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Hukum perikatan adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain
dalam bidang harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas suatu
prestasi, sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk prestasi.
Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara
mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan
adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak
dan pihak yang berkewajiban.
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam Bahasa Belanda
“verbintenis”. Asal kata perikatan dari obligatio (Latin), obligation (Perancis,
Inggris) Verbintenis (Belanda=ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis
mengandung banyak pengertian, di antaranya:
1. Perikatan : masing – masing pihak saling terikat oleh suatu
kewajiban/prestasi (dipakai oleh Subekti dan Sudikno).
2. Perutangan : suatu pengertian yang terkandung dalam verbintenis. Adanya
hubungan hutang piutang antara para pihak (dipakai oleh Sri Soedewi,
Vollmar, Kusumadi).
3. Perjanjian (overeenkomst) : dipakai oleh Wiryono Prodjodikoro)
Perikatan atau “Verbintenis” adalah hubungan hukum (rechtsbetrekking)
oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara penghubungannya. Oleh karena itu,
perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan (person) adalah
hal – hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Hubungan hukum

6
dalam perjanjian bukan merupakan suatu hubungan yang timbul dengan sendirinya,
akan tetapi hubungan yang tercipta karena adanya “Tindakan hukum”
(rechtshandeling).
Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak – pihaklah yang
menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak
oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun
menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.
Prestasi merupakan obyek (voorwerp) dari perjanjian. Tanpa prestasi,
hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum, tidak akan
memiliki arti apapun bagi hukum perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1234
KUH Perdata, maka prestasi yang diperjanjikan itu adalah untuk menyerahkan
sesuatu, melakukan sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa perikatan mengandung 4
unsur, yaitu:
1. Hubungan hukum, ialah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan
“hak” pada 1 (satu) pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
2. Kekayaan, yang dimaksud dengan kriteria perikatan adalah ukuran – ukuran
yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum, sehingga hubungan
hukum itu dapat disebut suatu perikatan. Untuk menentukan apakah suatu
hubungan itu merupakan perikatan, sekalipun hubungan itu tidak dapat dinilai
dengan uang, akan tetapi masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar
suatu hubungan hukum itu diberi akibat hukum pada hubungan tadi sebagai
suatu perikatan.
3. Pihak-pihak atau disebut sebagai subyek perikatan adalah bahwa hubungan
hukum harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas
prestasi atau pihak yang aktif adalah pihak kreditur atau yang berpiutang,
sedangkan pihak yang wajib memenuhi prestasi adalah pihak pasif yaitu
debitur atau yang berutang.
4. Prestasi atau dapat juga kontra prestasi (tergantung dari sudut pandang
pelaksanaan prestasi tersebut) adalah macam – macam pelaksanaan dari
perikatan dan menurut ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, dibedakan atas
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
Perikatan (verbintenis) adalah hubungan antara dua pihak di dalam lapangan
harta kekayaan, di mana pihak yang satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi, dan
pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu. Oleh karena itu,
dalam setiap perikatan terdapat “hak” di satu pihak dan “kewajiban” di pihak yang
lain (Riduan Syahreni,2009:194).
Menurut Subekti (1979:1), perikatan dikatakan sebagai hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa pihak yang berhak menuntut
sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang. Sedangkan pihak yang berkewajiban
memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.
Oleh karena hubungan antara debitur dengan kreditur itu merupakan
hubungan hukum, maka ini berarti bahwa hak si kreditur itu dijamin oleh hukum
(undang-undang). Hal ini dipertegaskan lagi berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat

7
(1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Istilah hukum perikatan mencakup semua ketentuan dalam buku ketiga KUH
Perdata. Buku ketiga KUH Perdata tidak memberikan penjelasan yang spesifik
tentang pengertian perikatan, namun demikian, para ahli memberikan pengertian
tentang perikatan ini diantaranya disampaikan oleh Mariam Darus Badrulzaman,
bahwa perikatan dimaknai sebagai “hubungan (hukum) yang terjadi di antara dua
orang atau lebih, yang terletak di bidang harta kekayaan, dengan pihak yang satu
berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut”(1994:3),
sedangkan hukum perikatan dimaknai sebagai seperangkat aturan yang
memberikan pengaturan terhadap dilaksanakannya perikatan.
Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan “Tiap – tiap perikatan dilahirkan baik
karena perjanjian, baik karena undang-undang”. Maknanya, perikatan bersumber
dari, 1) Perjanjian 2) Undang-Undang. Namun demikian, perikatan juga dapat
bersumber dari jurisprudensi, Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Terlulis serta Ilmu
Pengetahuan Hukum.
Dalam hukum perikatan, hak dan kewajiban dari subjek hukum harus
diletakkan secara seimbang dan tidak boleh timpang (memberatkan salah satu
pihak). Setiap debitur mempunyai kewajiban untuk melaksanakan prestasi kepada
krediturnya, yang disebut “Schuld” atau “Obligatio”. Selain itu debitur juga
mempunyai tanggung jawab untuk menjamin akan memenuhi prestasi atau
hutangnya dengan harta kekayaannya, yang disebut “Haftung”. Setiap kreditur
mempunyai piutang terhadap debitur dan berhak untuk menagihnya. Hak menagih
disebut “Vorderingsrecht”. Jika debitur tidak memenuhi kewajibannya maka
kreditur mempunyai hak menagih atas harta kekayaan debitur sebesar piutang
tersebut. Hak ini disebut “Verhaalsrecht”. Pada prinispnya Schuld dan Haftung
dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.
Prinsip Haftung tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata bahwa semua
harta kekayaan debitur terikat untuk pemenuhan hutang baik barang yang bergerak
(roerende goederen) maupun barang tidak bergerak (onroerende goederen), baik
harta kekayaan yang sudah ada maupun harta kekayaan yang akan ada, bertanggung
jawab atas pemenuhan prestasi yang telah dalam suatu kontrak.
Objek hukum adalah segala sesuatu yang menjadi objek dalam hubungan
hukum dan harus ditunaikan oleh subjek hukum yaitu berupa prestasi. Prestasi
dalam hukum perikatan adalah objek perikatan yang diatur dalam Pasal 1234 KUH
Perdata yaitu untuk memberikan sesuatu (te geven), untuk berbuat sesuatu (te doen)
dan untuk tidak berbuat sesuatu (niet te doen). Dalam arti sempit objek hukum
adalah benda yang meliputi barang dan hak.
Agar objek perikatan itu sah diperlukan beberapa persyaratan, yaitu:
1. Objek itu harus lahir dari perjanjian atau undang-undang.
2. Objeknya harus tertentu dan dapat ditentukan.
3. Objek itu mungkin untuk dilaksanakan,
4. Objek itu diperbolehkan oleh hukum.
Lapangan hukum harta kekayaan maksudnya segala sesuatu yang dapat dinilai
dengan uang. Hak – hak kekayaan meliputi hak yang berlaku terhadap orang
tertentu yang dinamakan hak perseorangan dan memiliki sifat relative. Dan hak

8
yang berlaku terhadap tiap – tiap orang yang dinamakan hak kebendaan dan
memiliki sifat absolut.
Hukum islam memiliki istilah sendiri tentang perikatan, yaitu ‘aqdun atau
akad. Adapun akad sendiri mempunyai beberapa pengertian. Menurut pendapat
para ulama ahli fiqh, bahwa akad adalah sesuatu yang dengannya akan sempurna
perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan
kemudian karenya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya. Perkataan aqdu
mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu apabila seorang
mengadakan janji, kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut, serta
menyatakan suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, sehingga
terjadilah perikatan dua buah janji dari orang yang mempunyai hubungan antara
yang satu dan yang lain, yang kemudian disebut (‘aqda).
Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah iltizam untuk menyebut
perikatan (verbintenis) dan istilah akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst).
Istilah terakhir, yaitu akad, sebenarnya adalah istilah yang cukup tua digunakan
sejak zaman klasik sehingga sudah sangat baku. Sedangkan istilah pertama, yaitu
iltizam, merupakan istilah baru untuk menyebutkan perikatan secara umum, dalam
pengertian bahwa perikatan secara keseluruhan pada zaman modern ini disebut
dengan istilah iltizam atau perikatan.
Perbuatan dua orang/pihak atau lebih yang saling berjanji untuk melakukan semisal
memberikan sesuatu, maka para pihak tersebut sudah mengikatkan diri kepada
Allah sebagai konsekuensi dari pelaksananya dimensi tersebut maka saat interaksi
terjadi norma ikut mengatur dan merekayasa agar masyarakat mengikuti norma
tersebut.
Secara normatif Hukum Perikatan Islam telah dilaksanakan contohnya dapat
kita lihat pada transaksi jual beli di desa – desa menggunakan cara ijab qabul yang
mennandakan adanya saling ridha antara kedua belah pihak, Hal ini merupakan
pelaksanaan hukum mengenai asas hukum suka sama suka. (Al- Qur’an An- Nisa
ayat 29).
Unsur – unsur yang tercantum dalam hukum perikatan meliputi hal – hal
sebagai berikut:
a. Adanya kaidah hukum.
Kaidah hukum dalam perikatan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perikatan tertulis adalah kaidah
hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang – undangan, traktat,
dan yurisprudensi. Kaidah hukum perikatan tidak tertulis adalah kaidah
hukum perikatan yang tmbul, tumbuh, dan hidup dalam praktek kehidupan
masyarakat (kebiasaan).
b. Adanya subjek hukum.
Pada dasarnya subjek hukum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu,
manusia dan badan hukum. Subjek hukum dalam hukum perikatan terdiri
dari kreditor dan debitor. Kreditor adalah orang atau badan hukum yang
berhak atas prestasi, sedangkan debitor adalah orang atau badan hukum
yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.

c. Adanya prestasi.

9
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditor dan kewajiban debitor.
d. Dalam bidang kekayaan.
Harta kekayaan adalah menyangkut hak dan kewajiban yang mempunyai
nilai uang.
Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri atas 18 bab
dan 631 pasal. Dimulai dari pasal 1233 sampai dengan 1864 dan masing-masing
bab dibagi menjadi beberapa bagian. Hal yang diatur dalam Buku III KUH Perdata,
meliputi hal – hal berikut ini.
a) Perikatan pada umumnya (pasal 1233-1312 KUH Perdata).
Hal yang diatur didalamnya meliputi sumber perikatan, prestasi,
penggantian biaya rugi, dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu
perikatan dan jenis-jenis perikatan.
b) Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (pasal 1313-1351 KUH
Perdata).
Hal yang diatur di dalamnya adalah ketentuan umum, syarat sahnya
perjanjian, akibat perjanjian, dan penafsiran perjanjian.
c) Perikatan yang dilahirkan dari UU (pasal 1352-1380 KUH Perdata).
d) Hapusnya perikatan (pasal 1381-1456 KUH Perdata).
e) Jual beli (pasal 1457-1540 KUH Perdata).
Meliputi ketentuan umum, kewajiban pembeli, hak membeli Kembali,
jual beli piutang, dan lain-lain.
f) Tukar menukar (pasal 1541-1546 KUH Perdata).
g) Sewa menyewa (pasal 1548-1600 KUH Perdata).
h) Persetujuan untuk melakukan pekerjaan (pasal 1601-1617 KUH
Perdata).
i) Persekutuan (pasal 1618-1652 KUH Perdata).
j) Perkumpulan (pasal 1653-1665 KUH Perdata).
k) Hibah (pasal 1666-1693 KUH Perdata).
l) Penitipan barang (pasal 1694-1739).
m) Pinjam pakai (pasal 1740 -1753).
n) Pinjam – meminjam (pasal 1754-1769 KUH Perdata).
o) Bunga tetap atau bunga abadi (pasal 1770-1773 KUH Perdata).
p) Perjanjian untung-untungan (1774-1791 KUH Perdata).
q) Pemberian kuasa (pasal 1792-1819 KUH Perdata).
r) Penanggungan kuasa (pasal 1820-1850).
s) Perdamaian (pasal 1851-1864 KUH Perdata).

E. Sumber Hukum Perikatan


Sumber perikatan ada 2 (dua) yaitu perikatan yang lahir karena kontrak dan
perikatan yang lahir karena undang – undang (wet). Hal ini diatur dalam pasal 1233
KUH Perdata. Berdasarkan pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang lahir dari
undang – undang saja, dan perikatan yang bersumber dari undang – udang sebagai
akibat perbuatan manusia perikatan yang lahir dari undang – undang sebagai akibat
perbuatan manusia dibagi 2 (dua) yaitu perikatan yang terbit dari perbuatan yang
halal (rechtmatig) diatur dalam Pasal 1357 KUH Perdata dan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

10
Pembentuk undang – undang menentukan figure dari perikatan yang lahir dari
undang – undang karena perbuatan manusia yang halal, antara lain perbuatan
mewakili orang lain (zaakwaarneming, pasal 1354 KUH Perdata), pembayaran
hutang yang tidak diwajibkan (onverschuldigde, betaling, Pasal 1359 ayat 1 KUH
Perdata), perikatan wajar (natuurlijkeverbintenis, Pasak 1359 ayat 2 KUH Perdata).
Perikatan yang lahir dari undang – undang sebagai perbuatan manusia yang
melawan hukum ditetapkan bukan saja karena salahnya orang melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan undang – undang juga karena perbuatan dari orang
tersebut bertentangan dengan hukum tidak tertulis (unwritten law).
Persyaratan perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUH Perdata
adalah:
1. Harus terdapat perbuatan subjek hukum baik yang bersifat positif atau
negative.
2. Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum.
3. Harus ada kerugian.
4. Harus ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan
ganti kerugian.
5. Harus ada kesalahan.
Dalam perkembangannya, perbuatan melawan hukum tersebut tidak saja
melanggar ketentuan hukum tertulis tetapi juga tidak tertulis. Pada awalnya dengan
arrest juffrouw Zutphen, perbuatan melawan hukum hanya suatu perbuatan yang
bertentangan dengan Pasal 1365 KUH Perdata saja, kemudian terjadi perubahan
dengan munculnya kasus Linden baum – Cohen tahun1919. Setelah perubahan
tahun 1919 pengertian perbuatan melawan hukum diperluas yaitu melanggar
kesusilaan dan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat serta kurang terhadap
dalam masyarakat serta kurang bersikap hati – hati yang menimbulkan kerugian
bagi orang lain.
Jadi, kerugian yang dialami seseorang atau kelompok oleh akibat perbuatan
orang lain bukan karena diperjanjikan terlebih dahulu. Kalua diperjanjikan berarti
kesalahan itu termasuk dalam kategori wanprestasi. Untuk perikatan yang lahir dari
perjanjian, diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Yaitu “suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang yang lain atau
lebih.
Tindakan/perbuatan (handeling) yang menciptakan perjanjian
(overeenkomst) berisi pernyataan kehendak (wilsverklaring) antara para pihak,
akan tetapi meskipun Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian
adalah Tindakan atau perbuatan (handeling), Tindakan yang dimaksud dalam hal
ini adalah Tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandeling), sebab tidak semua
Tindakan/perbuatan mempunyai akibat hukum (rechtgevolg).
Sumber lain dari suatu perikatan adalah undang – undang. Sumber ini dapat
dibedakan lagi menjadi undang – undang saja (semata – mata) serta undang –
undang yang berhubungan dengan akibat perbuatan manusia.
Perikatan yang lahir karena semata – mata undang undang (undang – undang
saja) misalnya, undang – undang meletakkan kewajiban kepada orang tua dan anak
untuk saling memberi nafkah. Begitu juga antara pemilik karangan yang
bertetangga, berlaku beberapa hak dan kewajiban yang berdasarkan atas ketentuan

11
undang – undang (Pasal 625 jo. Pasal 626 KUH Perdata). Hak yang diperoleh dari
undang – undang itu disebut Hak Alimentasi.
Perikatan yang lahir karena akibat perbuatan orang yang halal dijumpai dalam
Pasal 1354 KUH Perdata yang berbunyi “jika seorang dengan sukarela, dengan
tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang ini maka secara diam – diam mengikat dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakannya sendiri urusan itu”, perikatan yang disebut
dalam pasal itu disebut zaakwaarneming.
Perikatan yang lahir karena akibat perbuatan orang yang halal dijumpai dalam
Pasal 1354 KUH Perdata yang berbunyi: “jika seorang dengan sukarela, dengan
tidak mendapatkan perintah untuk itu, mewakili urusan orang orang lain dengan
atau tanpa pengetahuan orang ini maka secara diam – diam mengikat dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu …. “Perikatan yang
disebutkan dalam pasal itu disebut zakkwaarneming.
Perikatan yang lahir karena akibat perbuatan melawan hukum dikenal dengan
sebutan onrechtmatige daad, contohnya diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karenah salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hukum Keluarga berasal dari terjemahan familierecht (belanda) atau law of
familie (Inggris) . Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak
istri,sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat
dekat.
Perikatan adalah suatu hubungan hokum antara dua orang atau dua pihak
yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang
berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hokum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Nanda Amalia, S.H, M.Hum. Hukum. 2012. Hukum Perikatan. Unimal Press.
Nanggroe Aceh Darussalam.
Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, S.H., M.H., SpN. 2015. Hukum Perikatan. Sinar
Grafika. Jakarta Timur
Dr. Joko Sriwidodo, S.H., M.H., M.Kn., CLA. Dr. Kritiawanto, S.H. I.,M.H.
2021. Memahami Hukum Perikatan. Kepel Press. Yogyakarta
Dr. Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. K E N C A N A. Jakarta
Jurnal.http://www.slideshare.net/Sugiessssss/hukum-keluarga
Jurnal.http://www.academia.edu/36183319/MAKALAH_HUKUM_PERDATA_
HUKUM_PERIKATAN_DAN_PERJANJIAN

14

Anda mungkin juga menyukai