Anda di halaman 1dari 21

Makalah

Hukum Keluarga

Disusun oleh :
Nama : Shaffana Reska Oktavila
Kelas : A
NIM : 2019110070
Mata Kuliah : Hukum Adat

Universitas Madura
2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Dan juga penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu
mata kuliah Hukum Adat, Bapak Adi Gunawan S.H., M.H.. Semoga hasil makalah ini dapat
menambah ilmu serta pengetahuan bagi para pembaca untuk kedepannya dan dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis yakin masih banyak
kekurangan dalam hal pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Akhir
kata,penulis berharap semoga dapat memberikan pengetahuan maupun manfaat terhadap
pembaca.

Malang, 25 November 2020


Penulis,

Shaffana Reska Oktavila

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan.............................................................................................................................1

D. Manfaat...........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2

A. Pengertian........................................................................................................................2

B. Ruang Lingkup................................................................................................................2

BAB III PENUTUP................................................................................................................17

A. Kesimpulan...................................................................................................................17

B. Kritik dan Saran............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sistem terpenting dalam pelaksanaan batas rangkaian
kekuasaan kelembagaan. Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam
masyarakat. Selain hukum tertulis, dalam masyarakat juga terdapat hukum adat
(hukum kebiasaan), yaitu serangkaian aturan yang mengikat pada suatu masyarakat
yang tidak tertulis dan bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada
suatu masyarakat tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun-
temurun. Hukum adat sering pula disebut hukum yang hidup dalam masyarakat
(living law). Dalam masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri karena merupakan
makhluk sosial. Selain itu manusia memiliki naluri maupun keinginan dalam dirinya.
Termasuk keinginan menikah untuk memiliki keluarga agar tidak hidup seorang diri.
Dalam berkeluarga, juga terdapat hukum yang mengaturnya yaitu hukum keluarga.

Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan sedikit tentang hukum keluarga
dan apa saja yang terdapat didalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hukum keluarga?
2. Bagaimana ruang lingkup hukum keluarga?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas dari
mata kuliah hukum adat dan untuk mempelajari tentang apa itu hukum keluarga.

D. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini agarpenulis dan pembaca dapat
mengetahui dan memahami apa yang terdapat dalam hukum keluarga.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Keluarga berasal dari bahasa Sanskerta “Kula” dan “Warga” yang berarti,
anggota, kelompok kerabat. Keluarga adalah lingkungan dimana ada beberapa orang
yang masih memiliki hubungan darah dan merupakan unit terkecil dari masyarakat
yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumoul dan tinggal
disuatu tempat dibawah suatu atap dalam saling ketergantungan.

Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan pribadi


seseorang sebagai anggota keluarga, kedudukan anak dengan orang tua dan
sebaliknya, kedudukan anak terhadap keluarga dan sebaliknya, masalah perwalian
anak.

Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (Belanda)


atau law of familie (Inggris). Berikut beberapa pengertian hukum keluarga

1. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J van Apeldoorn; Hukum keluarga (familierecht) adalah
peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
2. Menurut Prof Soediman Kartohadiprodjo, SH., Hukum keluarga adalah
kesemuanya kaidah-kaidah hukum yang menentukan syarat-syarat dan caranya
mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibatnya.
3. Menurut Prof. Ali Afandi, SH., Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan
ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan ke-
keluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tidak hadir.
4. Dalam Ensiklopedi Indonesia, Algra, dkk, menuliskan bahwa Hukum keluarga
adalah mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga. Yang
termasuk dalam hukum keluraga ialah peraturan perkawinan, pengaturan
kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian.

B. Ruang Lingkup
Ruang lingkup hukum keluarga ada tiga bagian, yaitu :

2
1. Perkawinan
Menurut UU No. 1/1947 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa : Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut UU No. 1/1947, perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan
saja unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting. Menurut pasal 3 KHI (Kompilasi Hukum Islam), perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Berbeda dengan dasar perkawinan menurut UU No. 1/1947, dalam KUHPerdata


pasal 26 menyatakan bahwa KUHPerdata memandang perkawinan itu hanya dari
sudut hubungannya dengan hukum perdata saja. Hal ini berarti bahwa peraturan
menurut agama tidaklah penting selama tidak diatur dalam hubungannya dengan
hukum perdata. Misalnya perkawinan Gerejani sangat penting bagi umatnya, tetapi
tidak mempunyaiakibat hukum dalam perkawinan, dan dalam Undang-undang
ditentukan bahwa perkawinan Gerejani hanya boleh dilaksanakan sesudah
perkawinan dihadapkan pegawai Catatan Sipil (Pasal 81 KUHPerdata).

Menurut pasal 2 (1) UU No. 1/1947, perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan
demikian, meskipun UU No. 1/1947 merupakan unifikasi dalam hukum
perkawinan. Tetapi dalam hal sahnya perkawinan masih terdapat pluralisme.

Menurut hukum Islam, suatu perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai
laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian
mana terjadi dengan suatu ijab, dilakukan oleh wali bakal istri dan diikuti suatu
kabul dari bakal suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi. Sedang
sahnya perkawinan penduduk Indonesia yang beragama Kristen adalah apabila
dilakukan di muka Pegawai Catatan Sipil atauPendeta agama Kristen yang
ditentukan menurut Undang-Undang dua mempelai sendiri (in person), atau
apabila ada alasan penting menunjuk seorang kuasa menghadap di muka Pegawai
Catatan Sipil. Kemudian Pegawai Catatan Sipil atau Pendeta Agama tersebut
mengatakan atas nama Undang-undang dua belah pihak terikat satu sama lain

3
dalam suatu perkawinan. Perkawinan di muka pegawai Catatan Sipil atau Pendeta
Agama ini harus dilakukan di muka Pendeta dan dengan dihadiri oleh dua orang
saksi.

Untuk penduduk Indonesia yang beragama lain, misalnya Hindu, Budha dan aliran
kepercayaan, tidak dapat ditunjuk suatu kejadian atau suatu perbuatan tertentu yang
sama atau seragam antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, yang
menentukan bahwa dengan kejadian atau perbuatan itu terjadilah perkawinan yang
sah. Untuk menjamin kepastian hukum menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam UU No. 1/1947 ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas
perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

2. Putusnya Perkawinan
Menurut pasal 28 UU No. 11/1947, perkawinan dapat putus karena :
- Kematian;
- Perceraian; dan
- Atas Keputusan Pengadilan

Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengaadilan setelah pengadilan


yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
(pasal 39 ayat 1)

Menurut pasal 19 PP No. 9/1975, alasan-alasan perceraian adalah :


- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

4
- Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut pasal 41 UU No. 1/1947


adalah :
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Dalam KUHPerdata, alasan pemutusan atau pembubaran perkawinan diatur dalam


pasal 199. Dalam pasal tersebut disebutkan 4 macam alasan, dimana 2 alasan sama
dengan ketentuan pasal 38 UU No. 1/1947 yakni karena kematian dan perceraian.

Alasan-alasan perceraian, pasal 209 KUHPerdata hanya menyebutkan 4 alasan,


keempat alasan tersebut tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam pasal 19 PP
No. 9/1975 nomor a, b, c dan d.

Dalam hal akibat putusnya perkawinan karena perceraian, KUHPerdata mengatur


lebih terperinci sebagai berikut :
a. Akibat terhadap istri.
b. Akibat terhadap harta kekayaan.
c. Akibat terhadap anak-anak yang belum dewasa.

Akibat terhadap istri dan harta kekayaan


Terjadinya perceraian, maka semua akibat perkawinan menjadi hapus sejak saat
itu. Istri mendapatkan kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin.
Kewajiban memberi nafkah pun akan terhenti kecuali hal yang ditentukan oleh

5
pasal 225 KUHPerdata, yakni bahwa pihak yang menang dalam perkara perceraian
itu ada kemungkinan mendapatkan nafkah dari yang kalah bilamana ia tidak
mempunyai penghasilan yang cukup. Permintaan mendapatkan nafkah dapat
diajukan kepada hakim bersama-sama dengan gugatan cerainya.

Akibat terhadap anak-anak yang belum dewasa


Pasal 229 KUHPerdata menentukan bahwa sesudah putusan perceraian dinyatakan,
maka setelah mendengarkan pendapat dan pikiran orang tua dan keluarga anak-
anak yang belum dewasa, maka pengadilan memutuskan terhadap tiap-tiap anak itu
siapa diantara orang tuanya akan melakukan perwalian atas anak-anak itu dengan
mengingat apakah mereka masih mempunyai kekuasaan orang tua atau tidak.

Alasan-alasan perceraian seperti yang ditentukan dalam pasal 209 KUHPerdata


seperti telah disebutkan diatas juga merupakan alasan untuk permohonan
perpisahan meja dan tempat tidur masih ditambah dengan 3 alasan yang diatur
dalam pasal 233 (2) KUHPerdata yakni:
- Perbuatan-perbuatan yang melampaui batas
- Penganiayaan
- Penghinaan yang kasar yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap satu sama
lain.

3. Harta Benda dalam Perkawinan


Ada perbedaan besar mengenaiharta kekayaan dalam perkawinan menurut UU. No.
1/1947 dengan KUHPerdata. Menurut pasal 35 UU No. 1/1947, ada 2 macam harta
kekayaan dalam perkawinan, yaitu :
a. Harta benda bersama, adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
b. Harta bawaan, adalah harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

Pasal 119 KUHPerdata menyatakan bahwa sejak saat perkawinan dilangsungkan,


demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri. Jadi,
hukum perkawinan dalam KUHPerdata menganut azas persatuan atau
pencampuran harta kekayaan atau azas harta kekayaan bersama. Akan tetapi
berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta notaris

6
sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami istri dapat menempuh
penyimpangannya.

Harta kekayaan didalam perkawinan itu tidak boleh diadakan perubahan apapun
juga selama perkawinan. Hal demikian dimaksudkan untuk melindungi pihak
ketiga atau para kreditur. Bahkan selama perkawinan, jual beli atau hibah antara
suami istri pun dilarang (pasal 1467 dan 1678 KUHPerdata).

Pasal 124 KUHPerdata menyatakan bahwa pengurusan atas persatuan kekayaan itu
ada di tangan suami. Pengurusan ini meliputi hak untuk menjual, memindah
tangankan dan membebani tanpa campur tangan istrinya. Dengan kekuasaan suami
yang demikian ini maka kedudukan istri sangat lemah.

Oleh karena itu, Undang-undang memberikan beberapa upaya untuk memperkuat


kedudukan istri, yakni:
a. Wewenang untuk meminta pemisahan harta dengan memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan (pasal 186 KUHPerdata).
b. Wewenang untuk minta agar suaminya diletakkan dibawah pengampuan
(curatele) dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan (pasal 434 ayat 3
KUHPerdata)
c. Wewenang untuk minta pelepasan atas persatuan harta kekayaan (pasal 132
KUHPerdata)

Menurut pasal 124 KUHPerdata, suami dilarang melakukan penghibahan yang


berupa benda-benda tidak bergerak dan benda bergerak. Namun penghibahan
penghibahan benda bergerak dengan maksud memberikan kepada anak-anak yang
dilahirkan akibat perkawinan itu suatu bekal untuk dapat hidup sepantasnya
diperbolehkan.

Pasal 126 KUHPerdata mengatur tentang pembubaran persatuan harta kekayaan


dengan mengemukakan 5 buah alasan, yaitu :
a. Karena kematian.
b. Karena berlangsungnya perkawinan atas ijin hakim
c. Karena perceraian

7
d. Karena perpisahan meja dan tempat tidur.
e. Karena perpisahan harta benda, meskipun perkawinan masih utuh.

Dalam hal kematian suami atau istri, pihak yang masih hidup haru mengadakan
inventarisasi dari harta kekayaan bersama selama 3 bulan setelah kematian itu
(pasal 127 KUHPerdata). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kepentingan anak-
anaknya, terutama yang masih dibawah umur.

Menurut pasal 128 KUHPerdata, setelah bubarnya persatuan, maka harta benda
kesatuan dibagi dua antara suami dan istri atau antara para ahli waris mereka
masing-masing dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah
barang-barang itu diperolehnya. Setelah bubarnya persatuan, suami boleh ditagih
karena utang-utang persatuan seluruhnya, tetapi suami berhak menuntut kembali
setengah bagian dari utang-utang itu kepada istri, atau kepada para ahli warisnya
(pasal 130 KUHPerdata).

Secara luas hukum keluarga (familierrecht) meliputi tentang :


1) Keturunan
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah (Pasal 42 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan). Asal usul
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 55 UU No 1 tahun 1974
tentang perkawinan).

Menurut Hukum,anak dibedakan atas :


- Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
- Anak yang disahkan (wettiging kind),yaitu anak yang lahir diluar ikatan
perkawinan yang sah, kemudian setelah orang tuanya memenuhi syarat
perkawinan yang sah,anak yang telah lahir kemudian disahkan. Dengan
demikian,statusnya sama dengan anak sah.
- Anak angkat (adopsi), yaitu anak orang lain yang diangkat untuk
dipelihara dan di didik sama seperti anak kandung sendiri.Hak dan
kewajibannya sama dengan anak sah. Anak angkat adalah anak yang

8
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua,wali yang sah,atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,pendidikan,dan
membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan (UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan anak).
- Anak luar kawin diakui (erkening kind), yaitu anak yang lahir diluar
ikatan perkawinan yang sah,kemudian bapak dan ibu biologisnya
mengakui si anak (Pasal 280 KUH Perdata).
- Anak zinah,yaitu anak yang dilahirkan dari suatu perzinahan.
- Anak sumbang,yaitu anak yang lahir dari mereka yang ada larangan untuk
kawin.
- Anak alam (natuurlijke),yaitu anak yang lahir dari hubungan laki-laki dan
perempuan yang tidak diakui dan tidak disahkan.

Anak yang lahir dari perkawinan tidak sah adalah anak tidak sah,sehingga
anak tersebut hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya
(Pasal 43 UU No 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan),serta ia hanya dapat
mewaris harta atas peninggalan ibunya serta keluarga ibunya.

Seorang suami dapat menyangkal atas sahnya anak yang dilahirkan


istrinya,bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzinah dan
anak itu akibat dari perzinahan (Pasal 44 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974).

Pasal 252 KUH Perdata menentukan bahwa suami dapat memungkiri sahnya
seorang anak apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak mengadakan
hubungan dengan istrinya didalam waktu 300 s/d 180 hari,sebelum hari
lahirnya bayi.

Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya,yang dituangkan


dalam akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggungjawab
pemerintah dan harus diberikan paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal
diajukan permohonan.Pembuatan akta kelahiran tidak dikenai biaya (pasal 27
jo 28 UU Perlindungan anak no 23 Tahun 2002).

9
2) Kekuasaan orang tua
Kekuasaan Orang tua adalah kekuasaan orang tua terhadap anak yang belum
mencapai usia dewasa atau belum kawin,selama orang tua tersebut keduanya
terikat dalam perkawinan.

Menurut Pasal 47 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan ”Anak


yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya”. Pada Ayat 2 ”Orang tua mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan”.

Menurut Pasal 330 KUH Perdata “Belum Dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin”.

Menurut Hukum adat, dewasa adalah setelah mencapai usia 21 tahun (S.1931-
54).

Kekuasaan orang tua berisi :


Kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (pasal
45 ayat (1) UU No 1 tahun 1974, Pasal 298 – 306 KUH Perdata).Dalam
hukum islam disebut hadhanah.Kekuasaan orang tua terhadap harta benda
anaknya, meliputi tindakan-tindakan pengurusan dan menikmati hasil dengan
pembatasan Undang-undang bahwa Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak dan menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki
anaknya, kecuali apabila kepentingan anak menghendakinya (Pasal 48 UU No
1 tahun 1974),dalam hukum islam disebut wilajat al-mal.

Kekuasaan Orang tua dapat dicabut untuk waktu tertentu dengan putusan
pengadilan apabila :
- Apabila orang tua melalaikan kewajibannya terhadap anak (Pasal 30 UU
No 23 tahun 2002).
- Apabila orang tua berkelakuan sangat buruk.

10
Walaupun orang tua dicabut kekuasaanya,mereka masih tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut (Pasal 49 UU No 1
Tahun 1974).

Pencabutan (onzetting) kekuasaan orang tua hanya dapat dilakukan/dimintakan


oleh :
- Si Istri terhadap suami,atau sebaliknya.
- Keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah
dewasa,dan
- Pejabat yang berwenang (Dewan perwalian atau Kejaksaan).

Disamping pencabutan,kekuasaan orang tua dapat juga dibebaskan (oftheffing)


apabila :
- Karena orang tua tersebut tidak cakap (ongeschikt).
- Karena Orang tua tersebut tidak mampu (onmachtig) untuk melakukan
kewajibannya memelihara dan mendidik anaknya.

Pembebasan ini hanya dapat dimintakan oleh dewan perwalian (voogdijraad)


atau oleh kejaksaan dan tidak dapat dipaksakan jika si ayah atau si ibu
melakukan perlawanan.

Perbedaan yang prinsipil antara pembebasan dan pencabutan kekuasaan orang


tua adalah :
- Pembebasan hanya ditujukan kepada orang tua yang melakukan
kekuasaan orang tua (Umumnya si ayah).
- Pencabutan dapat ditujukan kepada masing-masing orang tua (si ayah atau
si ibu).
- Dalam pembebasan kekuasaan orang tua,tidak mengakibatkan hilangnya
hak untuk menikmati hasil atau bunga dari suatu benda atau kekayaan si
anak yang belum dewasa (vruchtgenot). Sedangkan pencabutan
mengakibatkan hilangnya hak tersebut.

Kekuasaan Orang tua berakhir sejak :


- Pencabutan.

11
- Pembebasan.
- Anak menjadi dewasa.
- Putusnya perkawinan orang tua (perceraian).
- Meninggalnya si anak.

3) Perwalian
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak dibawah umur dan belum pernah
kawin,yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya serta pengurusan
benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-undang.

Menurut pasal 50 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan “Anak


yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin yang tidak
berada dalam kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali”. Pada
ayat (2) ”Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun
harta bendanya”.

Pada dasarnya perwalian sama dengan isi kekuasaan orang tua yaitu terhadap
orangnya (dipelihara,di didik) serta terhadap harta dari anak yang dibawah
perwalian.

Perwalian ada 4 Macam yaitu :


- Perwalian menurut Undang-undang (wettelijke voogdij), apabila salah
seorang dari orang tuanya meninggal,maka menurut undang-undang orang
tua lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anak-anaknya.
- Perwalian yang ditunjuk oleh hakim (detieve voogdij), apabila seorang
anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya ternyata tidak
mempunyai wali,maka hakim akan mengangkat seorang wali atas
permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya, misalnya orang
tuanya gila,meninggal,lumpuh.
- Perwalian yang ditunjuk dalam surat wasiat (testmentaire voogdij),
Apabila orang tua dari anak belum dewasa sewaktu masih hidup membuat
surat wasiat dan menunjuk wali dalam surat wasiatnya.

12
- Perwalian yang bersifat meneruskan (moeder voogdij), Apabila terjadi
wali (ibu) kawin lagi,maka suami dari perkawinan kedua ini menjadi wali
dari anak-anak bawaan si ibu.

Kriteria-kriteria anak dibawah perwalian yaitu :


- Anak sah yang kekuasaan kedua orang tuanya telah dicabut sebagai orang
tua.
- Anak yang orang tuanya telah bercerai.
- Anak yang lahir diluar perkawinan.

Kriteria-kriteria berakhirnya Perwalian yaitu :


- Si anak menjadi dewasa.
- Si anak meninggal dunia.
- Timbulnya kembali kekuasaan orang tua.
- Pengesahan terhadap anak luar kawin diakui.
- Pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.

4) Pernyataan Dewasa (Handlichting)


Pernyataan dewasa (Handlichting) adalah pernyataan terhadap seorang yang
belum mencapai usia dewasa,untuk sepenuhnya atau hanya terhadap beberapa
hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.

Menurut Pasal 419 KUH Perdata,Handlicting dibedakan atas :


- Handlicting sempurna,yaitu penyataan seseorang yang belum
dewasa,sepenuhnya dipersamakan dengan seorang dewasa. Ini hanya
diberikan kepada orang yang telah penuh 20 tahun dan pernyataan ini
dikeluarkan oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah
Agung (Pasal 420 KUH Perdata).
- Handlicting terbatas,yaitu Pernyataan terhadap seseorang yang belum
dewasa. Ini hanya diberikan kepada orang yang telah berumur 18
tahun,dan pernyataan ini dikeluarkan oleh pengadilan negeri atas
permintaan yang bersangkutan dan dengan seizin orang tua atau walinya
(Pasal 426 KUH Perdata).

13
Dengan keluarnya Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan,Lembaga Handlicting ini tidak berfungsi lagi,karena dalam
Undang-undang ini ditentukan bahwa Dewasa adalah mereka yang telah
mencapai usia 18 tahun (Pasal 47 jo pasal 50 UU No 1 tahun 1974).

5) Pengampuan (curatele)
Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang (curandus) karena sifat-sifat
pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak didalam segala cakap untuk
bertindak sendiri didalam lalulintas hukum.Kriteria seseorang diletakkan
dibawah pengampuan adalah dewasa,tetapi ia menderita sakit ingatan, ia
mengobralkan kekayaannya, atau ia lemah pemikirannya.

Yang dapat memohon agar seseorang ditaruh dibawah pengampuan adalah :


- Untuk orang yang sakit ingatan atau lemah pemikirannya, oleh setiap
anggota keluarganya (Pasal 434 KUH Perdata), dan oleh jaksa jika orang
yang sakit ingatan itu membahayakan umum,sedang keluarganya tidak
memintanya.
- Untuk orang yang mengobralkan kekayaannya,hanya dapat dimintakan
oleh anggota keluarga yang sangat dekat saja.

Akibat Pengampuan adalah kedudukan seseorang yang telah dewasa (dibawah


pengampuan) itu sama seperti seorang yang masih belum dewasa (Pasal 452
KUH Perdata). Ia tidak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum
secara sah,kecuali seseorang yang mengobralkan kekayaannya masih dapat
melakukan perbuatan hukum yang tidak bersifat harta kekayaan, misalnya
dalam lapangan hukum keluarga.

Terhadap mereka yang dibawah pengampuan,selalu diwakili oleh


pengampunya (curator) dalam melakukan perbuatan hukum.Curatele diatur
dalam pasal 229 s/d 23 HIR dan pasal 263 s/s 268 RBg dan pasal 433 dan 434
KUH Perdata.

HIR dan RBg hanya mengenal satu sebab untuk Pengampuan (curatele) yaitu
apabila ada kekurangan daya pikir (gebrek van verstandelijke), sedangkan

14
menurut pasal 433 dan 343 KUH Perdata,yang menyebabkan Pengampuan
adalah kekurangan daya pikir,keborosan,dan lemah pemikirannya.

Pengangkatan curator dilakukan oleh Pengadilan Negeri. Menurut pasal 449


ayat (3) KUH Perdata,seorang curator harus diawasi lagi oleh Balai harta
peninggalan,selaku pengawas curator (toeziende curator).

Berakhirnya Pengampuan adalah apabila orang yang berada dibawah


pengampuan itu meninggal dunia atau dengan berhentinya hal-hal yang
menjadi penyebab pengampuan (Pasal 460 KUH Perdata).

6) Perkawinan
Menurut R.Subekti,Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki
dan seorang perempuan dalam waktu lama.

Menurut P.Scholten,Perkawinan adalah Suatu hubungan hukum antara seorang


pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dan kekal,yang diakui oleh
negara.

Menurut hukum islam,Perkawinan adalah perjanjian antara mempelai laki-laki


disatu pihak dan wali dari mempelai pihak perempuan dilain pihak,perjanjian
yang mana terjadi dengan suatu ijab,dilakukan oleh bakal istri dan diikuti
suatu kabul dari bakal suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang
saksi.

Menurut Pasal 1 UU No 1 tahun 1974,Perkawinan adalah ikatan lahir bathin


antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang maha esa.

Sahnya Perkawinan dan Pencatatan perkawinan


Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 ”Perkawinan adalah
sah,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

15
kepercayaannya itu” dan pada ayat 2 ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pencatatan Perkawinan dilakukan pada :


Pegawai pencatat Nikah Talak Rujuk (di KUA) bagi masyarakat yang
melangsungkan perkawinan menurut agama islam. (UU No 32 tahun 1954
Tentang pencatatan nikah talak rujuk)atau kantor catatan sipil bagi masyarakat
lainnya (Yang bukan beragama islam).

Sahnya perkawinan ditinjau dari sudut keperdataan adalah Apabila perkawinan


itu sudah dicatat atau didaftarkan. Selama perkawinan itu belum
terdaftar,maka perkawinan itu belum dianggap sah menurut ketentuan
hukum,walaupun telah dipenuhi prosedur dan tata cara menurut agama.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Selain mengatur perorangan atau kelompok umum, hukum juga mengatur
sekumpulan manusia yang menjadi keluarga karena suatu ikatan perkawinan yaitu
dalam hukum keluarga. Didalamnya juga terdapat cabang-cabang hukum yang
mengatur tentang perkawinan, keturunan, kekuasaan orang tua, perwalian, pernyataan
dewasa (handlichting), pengampuan (curatele), harta benda dalam perkawinan, dan
putusnya perkawinan.

B. Kritik dan Saran


Berdasarkan apa yang telah penulisjelaskan dalam makalah mengenai hukum
keluarga ini pasti ada kekurangan maupun kelebihannya. Mudah-mudahan makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah wawasan pembaca mengenai
hukum keluarga. Adapun kritik maupun saran dapat disampaikan ke penulis agar
dapat memperbaiki makalah ini baik dari segi penulisan, materi, maupun tata bahasa
yang disampaikan. Penulis mengharapkan pembaca dapat mengambil manfaat dari
makalah yang telah dibuat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia.2020.Hukum.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum Diakses pada 14 November


2020

Wikipedia.2020.Hukum Adat.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat Diakses pada 14


November 2020

MUI Sumatera Utara.2019.Hukum Keluarga.


https://www.muisumut.com/blog/2019/10/14/hukum-keluarga/ Diakses pada 16 November
2020

Agustina, Ismaya Dwi.2012.Hukum Keluarga.


https://ismayadwiagustina.wordpress.com/2012/11/15/hukum-keluarga/ Diakses pada 16
November 2020

Ai.2017.Makalah Hukum Adat Kekeluargaan.


http://aisannisanurulfitri.blogspot.com/2017/04/makalah-hukum-adat-kekeluargaan.html?
m=1#:~:text=Hukum%20adat%20kekeluargaan%20adalah%20hukum,dan%20sebaliknya
%20masalah%20perwalian%20anak. Diakses pada 17 November 2020

Komariah.2016.Hukum Perdata (Edisi Revisi).Malang : Penerbitan Universitas


Muhammadiyah Malang

Henri.2018.Pengertian Hukum Keluarga dan Perkawinan menurut Perdata.


https://butew.com/2018/03/28/pengertian-hukum-keluarga-dan-perkawinan-menurut-
perdata/. Diakses pada 20 November 2020

18

Anda mungkin juga menyukai