Disusun Oleh:
Abdul Rasyid
Imam as-syatibi
Nia Elmiati
PEKANBARU
2019
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur terhadap Allah Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-NYA,
makalah “ Perkembangan Hukum Keluarga Di Indonesia ” ini dapat diselesaikan
dengan baik meskipun banyak kekurangan. Pada kesempatan ini pula, kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak “ Dra. Jumni Nely, MA”Selaku
dosen mata kuliah perbandingan fiqh munakahat yang telah memberikan tugas ini
dan semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
(Penulis)
3
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada dua istilah yang digunakan untuk menamai aturan yang terkait dengan
masalah-masalah keluarga, yaitu; hukum kelu arga dan hukum kekeluargaan.
Kedua istilah ini pada dasarnya memiliki arti yang sama. Namun demikian,
memperhatikan asal-usul kata dan makna etimologis, hukum keluarga lebih te- pat
pemakaiannya dalam hal ini Apa yang dimaksud dengan hukum keluarga? Sebelum
mem berikan definisi terhadap hukum keluarga, pengertian hukum dan keluarga
lebih baik dikemukakan terlebih dahulu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Defenisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam?
2. Bagaimana Sejaraah Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Keluarga
Islam di Indonesia ?
3. Bagaimana Kedududkan Hukum Keluarga Islam Dalam perundang-
undangan?
C. Tujuan Masalah
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui penjelasan dari ketiga
rumusan masalah diatas!
5
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun pengertian keluraga secara operasional yaitu suatu struktur yang bersifat
khusus,satu sama lain dalam keluarga itu mempunyaiikatan apakah lewat hubungan
darah atau pernikahan. Perikatan itu membawa pengarauh adanya rasa ‘saling
berharap” (mutual expectation) yang sesuai dengan ajarann agama,dikukuhkan
dengan kekuatan hukum serta secara individu saling mempunyai ikatan batin.
Adapun anggota keluarga kecil terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga kecil
disebut juga keluarga inti. Sementara anggota keluarga besar adalah eluruh anggota
keluarga yang bertambah sbagai aibat dari hubungan perkawinan. Maka masuk
anggota keluarga besar adalah bapak,ibi, dan ibu mertua.
Maka dapat disimpulkan,bahwa hukum keluarga adalah ketentuan Allah SWT yang
bersumber dari Al-Quran dan sunnah tentang ikatan kekeluargaan (family) baik
6
yang terjadi karena hubungan darah maupun kerena hubungan pernikahan yang
harus di taati oleh setia mukallaf.1
Lalu apa yang dimaksud dengan hukum keluarga Muslim? Dalam fikih, kita
mengenal beberapa istilah untuk menyebut hukum keluarga Muslim, seperti, al-
alhwäl al-syakhsiyyah (hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi), uquq al-
usrah (hak- hak keluarga), huquq al-a ilah (hak-hak keluarga), ahkam al-usrah
(aturan-aturan keluarga), dan qanun al-usrah (Undang-undang keluarga).
Sementara dalam literatur-literatur bahasa Inggris, kita menemukan istilah-istilah
seperti, personal statute, Islamic family law, dan Muslim family law, untuk
menunjuk hukum keluarga Islam atau Muslim 3
Wahbah Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiyy latuhu, seperti juga dikutip M.
Amin Summa, mendefinisikan al-ahwal al-syakhsiyyah sebagai hukum-hukum
yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya
2004), h.13-14
3 ibid.
7
hingga di masa berakhirnya keluarga, berupa nikah, talak, na sab, nafkah, dan
kewarisan. Dengan kata lain, melihat definisi keluarga Muslim, yaitu keluarga yang
anggota-anggota keluarganya Muslim atau paling tidak pimpinan keluarga Muslim,
meski ada anggota keluarga lain yang bukan Muslim, hukum keluarga Islam adalah
seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota
keluarga dalam konteks- nya yang khusus/spesifik dalam hubungan hukum suatu
keluarga Muslim.4
Untuk tidak terkacaukan dengan hukum perdata biasa, kita harus mengetahui bahwa
hukum keluarga bukan hukum yang mengatur hubungan antara keluarga dengan
keluarga yang lain, dan bukan pula hukum yang mengatur hubungan hukum di luar
hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum keluarga meski- pun hubungan
hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan masih dalam satu keluarga.
Untuk memberikan penjelasan perbedaan kedua bidang hukum ini, M. Amin
Summa, misalnya, mengambil contoh jual beli yang dilakukan seorang ayah atau
ibu dengan anaknya. Jual beli semacam ini tidak terma suk dalam lingkup hukum
keluarga, meski melibatkan anggota keluarga tertentu, ibu dan anak, karena
transaksi jual beli termasuk dalam hukum perdata umum. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa hukum keluarga Islam adalah hukum yang mengatur hubungan
internal anggota keluarga dalam satu kelu- arga Muslim yang berkenaan dengan
masalah-masalah tertentu Dengan demikian ruang lingkup hukum keluarga
mencakup perkawinan (munakahat dan hal yang bertalian dengannya), per walian
dan wasiat, dan kewarisan.5
4 Ibid., Hl.30
5 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, Adn Identity, (The Netherlands: Amsterdam
Hukum keluarga (ahwal as-syakhshiyah; family law) adalah hukum yang mengatur
hubungan timbal balik perihal kewajiban dan atau hak internal anggota keluarga
dalam setiap keluarga. Yang dimaksud dengan hukum keluarga islam. Ialah hukum
yang membahas perihal hubungan internal anggota keluarga terutama berkenaan
dengan hak dan kewajiban. Dikatakan hubungan internal anggota keluarga, sebab
hubungan eksternal antar keluarga sama sekali di luar kajian hukum keluarga.
6 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam Dan Peraturan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, ( Jakarta:Raja Grafindo,2014.h.517-518
9
7 ibid
10
Terkait dengan jumlah pasal dalam RUU versi pemerintah yang dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam terdapat perbedaan di kalangan para peneliti.
Menurut Kamal Hasan sedikitnya terdapat Il pasal yang dianggap bertentangan
dengan ajaran islam, yaitu pasal 2 ayat 1. pasal 3 ayat 2, pasal 7 ayat 1, pasal 8 butir
c, pasal 10 ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 12, pasal 13 ayat 1 dan 2, pasal 37, pasal
46 huruf e dan d. pasal 62 ayat 2 dan 9." Berbeda dengan hasil penelitian Yusuf
Hasyim yang menyebutnya terdapat 13 pasal yaitu, pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 2,
pasal 7 ayat 1 dan 2, pasal 8, pasal 10 ayat 2. pasal 11 ayat 2, pasal 12 ayat 1, pasal
13 ayat I dan 2, pasal 37 ayat 1, pasal 39, pasal 46 butir e dan d, pasal 49 dan pasal
62." Adanya pasal-pasal yang dianggap bertentangan ini dan sekaligus menyulut
pertentangan dan protes keras dari umat Islam maka menghadapi situasi genting ini,
8 Fadil Dan Nor Salam, Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia, (Malang: Uin Maliki
Press,2013),h.33-34
11
bagi pemerintah kompromi adalah jalan terbaik mengingat dalam kondisi demikian
ini stabilitas negara sedang dipertaruhkan dan bahwa tanpa adanya amandemen
terhadap RUU perkawinan itu akan menyebabkan ketidakstabilan politik dan
sosial." Langkah yang ditempuh untuk mencapai titik temu, dalam hal ini menteri
agama, Mukti Ali, berinisiatif untuk melakukan lobbying antar fraksi. Karena bagi
Mukti, pemerintah 9 tidak bermaksud untuk membentuk undang-undang perkawin
yang melanggar nilai, cita, dan norma-norma agama dan pemerintah pun tidak
pemah berfikir untuk memaksakan kehendak peluang bagi perbaikan dan
penyempurnaan RUU yang telah diajukan." Melalui lobi-lobi antara tokoh agama
dengan pihak pemerintah akhirmya tercapai satu kesepakatan khususnya antara
fraksi Persat uan Pembangunan dan Fraksi ABRI yang isinya adalah sebagai berikut:
a. Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah
c. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan
dengan undang-undang ini maka akan dihilangkan
d. Pasal 2 ayat (1) dari RUUP disetujui untuk dirumuskan dengan: perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu
(ayat 1) dan tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban administrasi negara
(ayat 2)
e. Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan- ketent uan guna
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.
9 ibid,h.35
12
Selain itu, dari rangkaian historis di atas juga terlihat bahw RUU Perkawinan yang
selanjutnya disahkan menjadi Undan Undang berkisar antara tahun 1973 sebagai
pengajuan yane kemudian disetujui untuk dibahas lebih lanjut kemudian pada tahun
1974 rancangan itu disahkan menjadi undang-undang dan selanjutnya pada tahun
1975 Undang-Undang Perkawinan telah berlaku secara efektif. Dengan demikian,
jika dikaji secara historis, kisaran waktu antara 1973 hingga 1975 tergolong ke
dalam era Orde Baru karena Orde ini disinyalir berawal pada tahun 1966 tepatnya
dengan keluarnya surat perintah 11 Maret 1966 yang sekaligus mengakibatkan
lumpuhnya dua kekuatan politik utama era Orde Lama yaitu Soekamo dan PKI"
serta berakhir pada tahun 1998 dengan tumbangnya Soeharto sebagai penguasa
Orde Baru selama 32 tahun pada tanggal 21 mei 1998.
Dalam kajian politik, era Orde Baru (1966-1998) menurut analisa Mahfud
tergolong ke dalam konfigurasi politik yang otoriter yang ditunjukkan oleh peran
eksekutif yang sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislatif didirikan
sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan peran-peran
eksekutif melalui Golongan Karya dan ABRI," sehingga hukum vang dilahirkan
berkarakter konservatif atau ortodoks." Dalam hal mi, hukum bersifat positivis-
instrumentalis dan berfungsi sebagai lat ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan
11
program Negara. Selain itu. hukum yang tergolong ke dalam karakter ini
cenderung kaku dan kurang tanggap terhadap tuntutan kebut uhan masyarakat serta
bersifat opresif karena secara sepihak memant ulkan persepsi sosial para pengambil
kebijakan." Berbeda dengan konfigurasi politik yang otoriter, konfigurasi politik
yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif/populistik."
10 ibid,h.36
11 ibid,h.38
13
Dalam hal ini, hukum cenderung responsif terhadap tuntutan berbagai kelompok
sosial dan individu di dalam masyarakatnya" serta selalu terbuka terhadap
penafsiran dalam rangka menemukan nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam
peraturan dan kebijakan." Kajian ini menguatkan pemahaman bahwa Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan produk politik dari konfigurasi politik
yang otoriter, sehingga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 layak disebut
sebagai undang-undang yang berkarakter ortodoks. Hal ini terlihat dari peranan
masyarakat yang sangat minim dalam proses pembuatan undang-undang tersebut,
sebaliknya ia dikuasai oleh pihak eksekutif terutama lembaga kepresidenan yang
memiliki kewenangan terhadap hukum."
Minimnya akses masyarakat secara umum -umat Islam pada khususnya -terhadap
pembentukan kebijakan dalam era Orde Baru mendapatkan justifikasi dari catatan
Dewi Fortuna Anwar yang selanjutnya dikutip oleh Daniel Dhakidae dalam
bukunya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Dalam hal ini,
Fort una menyatakan: 12"Agar diterima sepenuhnya oleh pemerintah sebagai calon
politik, para pemimpin Islam harus menunjukkan bahwa mereka secara politik
bersifat moderat dan bahwa merel pada umumnya menunjang idcologi dan politik
pemerintah. Namun dengan berbuat demikian, orang-orang ini kehilangan
kredibilitas di mata para pemilih mereka Lebih-lebih lagi, PPP tidak diizinkan
menggunakan himbauan agama Islamnya yang khas yang menjadi dasar kehidupan
partai itu sendiri.
12 ibid,h.39
14
13 ibid,h.40-41
15
undang tersebut adalah perat uran tertulis nasional. 14 Hukum keluarga di Indonesia
bukan tanpa upaya awal dari beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam mau pun
adat, yang telah memperkenalkan beberapa ide mereka. Terdapat beberapa ahli
hukum yang dapat dianggap sebagai peletak dasar atau ide pembaharuan yang
sekarang kita lihat. Ahli hukum yang sering disebut dalam hal ini adalah Hasbi Ash-
Shiddieqy dan Hazairin. Beberapa ahli hukum atau praktisi selain kedua ahli hukum
tersebut yang dianggap meneruskan dan bahkan mewujudkan ide-ide dasar tersebut
adalah Munawir Syadzali dan Bustanul Arifin. Ide-ide mereka kemudian
mengantarkan pemerintah melakukan upaya pembaharuan lewat apa yang menjadi
trend sejak abad ke-19 di berbagai negara Muslim di dunia, yaitu kodifikasi hukum
C. Usaha Kodifikasi
Mengapa upaya kodifikasi hukum ini dilakukan? Ada beberapa tujuan yang
terdapat dalam upaya kodifikasi ini. Tujuan tujuan tersebut mencakup:
14 Ibid,h.43
15 Ibid., Hlm.19
16
3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita ter kait dengan
status hukum mereka.16
Berkenaan dengan upaya pembaharuan lewat kodifikasi ini, apa yang dikemukakan
Weber terkait dengan teori hukum (legal theory) sangat relevan. Weber
mengungkapkan bahwa tradisi hukum lama adalah qadi justice. Para qadi merujuk
kepada beberapa aturan hukum yang beragam sesuai dengan kesadaran subyektif
mereka. Namun kemudian terjadi perubahan besar. Sistem hukum bergeser dari
sistem qadi justice kepada sistem yang lebih sistematis. Weber mengungkapkan
bahwa, "a radi cal change occurred during the Enlightenment era, which stimulated
a transfer from the patrimonial traditin of law to a sistematic, rational, and abstract
legal code".
Jika dilihat dari tradisi hukum lama dan baru, kita dapat me- ngatakan bahwa hukum
lama bersifat terbuka (open), sementara tradisi hukum baru bersifat tertutup (close).
Dengan demikian, jika tradisi hukum lama lebih mengedepankan interpretasi hu
kum secara pribadi (personal interpretation), tradisi hukum baru membiasakan
diberlakukannya interpretasi hukum secara berjamaah (collective interpretation).
Dengan demikian, sifat-legislasi hukum modern/reformasi hukum adalah adanya
upaya penye ragaman hukum (unification), dan penulisan hukum melalui se- buah
aturan tertulis (undang-undang) (codification), dan penu lisan hukum secara
sistematis dan lugas dengan bahasa nasional negara masing-masing (sistematically
written). Sifat lain adalah menimbulkan suatu kepastian dalam transaksi hukum (the
cer tainty of law within legal transaction).
Dan jika kita telusuri dengan seksama unsur-unsur yang tercipta dari upaya
kodifikasi hukum yang dilakukan oleh beberapa negara Muslim di dunia ini, maka
kita akan menemukan beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang terkemukakan
adalah:
Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesdia Dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), Hlm.5
17
1) bahwa kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang krusial,
yaitu untuk memenuhi tantangan dan tuntutan legislasi modern;
17 Kongres Pertama Yang Diadakan Kaum Perempuan Pada Tahun1928 Menekankan Bahwa
Tindakan Perkawinan Seharusnya Tidak Diatur Ole Prinsip-Prinsip Islam. Pada Tahun 1937,
Pemerintah Hindia Belanda Mengeluarkan Draft Yang Menetapkan Bahwa Perkawinan Harus
Terdaftar Dan Harus Monogami. Draft Ini Dibatalkan Karena Keberatan-Kebaratan Yang
Dikemukakan Kelompok-Kelompok Politik Islam. Setelah Merdeka, Pada Tahun 1957, Draft Yang
Membahas Tentang Masalah Itu Diperkenalkan. Lagi-Lagi, Draft Itu Ditentang Dan Kemudian
Dibatalkan. Lihat Andre, NU Vis-A-Vis Negara (Yogyakarta: LKIS, 1999), Hlm.190-190.
18 ibid., Hlm.192
19
19 Nani Soewondo, “The Indonesian Marrige Law And Its Implementing Regulation”, Arciple 13
(1997), Hlm.284-285
20 Asep Saepudin Jahar Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis (Kajian Perundang-Undangan
23 Bagian Ini Adopsi Dan Diringkas Dari Sub-Bab Yang Terdapat Dalam Buku Euis Nurlaelawati,
24 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1992), Hlm. 39-41
25Ibid.
26 Ketiga Belas Kitab Fikih Ini, Kebanyakannya Mendasarkan Pada Mahzab Syafi’i.
22
Wawancara dengan para ulama mempunyai peran sangat penting karena anggapan
dasar bahwa KHl ditujukan untuk mensistematisasi dan menyusun aturan-aturan
Islam untuk mengatur masalah-masalah keluarga, yang selama ini diterap- kan oleh
umat Islam dan hakim Pengadilan Agama di Indonesia yang didasarkan pada kitab
fikih. Ulama yang memiliki kredi bilitas karena pengetahuan mereka tentang
hukum Islam dan di- pandang sebagai para penjaga hukum Islam tersebut
dipandang sangat akrab dengan aturan-aturan hukum yang telah diterapkan dalam
masyarakat Muslim. Dengan mewawancarai ulama diharapkan bahwa proyek
pembuatan KHI dapat diselesaikan dalam suasana dan kondisi yang penuh dengan
aspirasi, dan KHI diharapkan akhirnya bisa menghadirkan hukum-hukum yang
mapan dan sesuai bagi umat Islam.
Pelibatan ulama juga dimaksudkan agar KHI lebih diterima oleh umat Islam.
Bustanul Arifin mengatakan bahwa dengan melibatkan ulama dari berbagai daerah,
umat Islam Indonesia akan merasa bahwa pendapat-pendapat ulama mereka juga
didengar dan dipertimbangkan. Keterlibatan mereka, menu rut Bustanul Arifin,
juga terkait dengan kenyataan bahwa para ulama memiliki kecenderungan sendiri-
sendiri dalam merujuk kitab fikih. Menyadari kenyataan ini, Bustanul Arifin dan
ang- gota komite lainnya bahkan memutuskan mengundang mereka ke seminar
nasional untuk membahas draf itu. Dia menyatakan bahwa keberhasilan dalam
mengeluarkan KHI bisa dikaitkan juga dengan adanya dukungan ulama terhadap
proyek pembuatan KHI itu.27 Dalam hal ini, Bustanul Arifin merasa semakin yakin
akan kebenaran pemikiran dan pandangannya bahwa, jika kita (umat Muslim) ingin
bicara tentang dan mengembangkan hukum Islam, ulama harus dilibatkan dan
dipertimbangkan pendapat-pendapatnya.
Langkah ketiga adalah meneliti yurisprudensi Pengadilan Agama. Keputusan-
keputusan yudisial Pengadilan Agama sepanjang abad, yang terhimpun dalam 16
buku, dianalisis untuk menemukan argumen paling kuat untuk mendukung
ditetapkannya hukum-hukum masalah-masalah tertentu. Direk- torat Pembinaan
Peradilan Agama di Departemen Agama (kini Kementerian Agama), yang sejak
2004 berada di bawah payung Mahkamah Agung, diberi peran untuk mengkaji
kitab-kitab itu.28
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis perbanding an terhadap hukum
keluarga Islam yang diterapkan di berbagai negara Muslim lainnya. Langkah ini
dianggap penting, mengingat berbagai negara Muslim telah berhasil melakukan
kodi fikasi hukum keluarga Islam. Untuk itu studi banding perlu dilakukan untuk
melihat bagaimana hukum Islam diterapkan dan bagaimana prosedur yudisial
dipersiapkan dalam praktik keperadilan di negara-negara tersebut. Maroko dan
Mesir lalu dipilih sebagai wilayah tempat studi banding dilakukan. Di samping
kedua wilayah ini, Turki, dengan penduduk mayoritas Muslim, juga dijadikan
sebagai tempat studi banding.29 Dalam studi banding ini beberapa informasi penting
diperoleh, yaitu sistem peradilan, bagaimana syariah disatukan ke dalam hukum
nasional, dan sumber-sumber yang menjadi dasar hukum terapan dari masalah-
masalah keluarga di ketiga negeri tersebut.
Sesudah tahap pengumpulan data selesai dilakukan, tim mulai membuat draf, yang
setelah rampung lalu disampaikan pada seminar nasional untuk membahas isi draf
dalam suasana yang lebih kondusif. Hal itu juga menyiratkan bahwa tim KHI
memandang wawancara dengan para ulama tidak cukup un tuk dijadikan sebagai
dasar persetujuan mereka terhadap draf itu. Seminar itu diselenggarakan pada 2-6
Februari 1988 dan di hadiri 124 peserta dan disiarkan secara luas di media massa.30
Mereka yang hadir mewakili ulama dari organisasi-organisasi Islam semisal
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) para sarjana hukum dari berbagai
universitas atau institut Islam, intelektual Muslim, dan pejabat. Para peserta itu
termasuk 13 profesor hukum Islam, 46 kiai, 21 ahli hukum, sejumlah hakim
Negara, Mesr Dan Maroko, Mengadopsi Hukum Islam Untuk Menjadi Hukum Terapan Mereka,
Dan Yang Lainyya, Turki Sebaliknya Mengadopsi Undang-Undang Barat Untuk Hukum
Terapannya.
24
Mahkamah Agung, dan beberapa rektor IAIN. Mayoritas peserta adalah laki-laki.
Hanya ada empat peserta perempuan, yaitu Aisyah Amini, wakil dari DPR;
Huzaemah Tahido, guru besar hukum Islam dan dosen IAIN (sekarang UIN-
Universitas Islam Negeri) Jakarta; Tuty Alawiyah, dai senior dan popular dan
pemimpin Pesantren Modern Asy-Syafi'iyyah; dan Nawangsih, hakim Mahkamah
Agung.31 Tujuan umum seminar nasional ini adalah membahas masalah-masalah
hukum keluarga Islam termasuk perkawinan, waris, dan wakaf, untuk dijadikan
bahan KHI. Para peserta dalam seminar itu dibagi menjadi tiga komite masing-
masing membahas dan kemudian menyusun ketentuan ketentuan tentang tiga
bidang hukum keluarga Islam itu untuk dimasukkan ke dalam KHI.32
Menarik untuk dikemukakan, meskipun seminar itu memba has draf tersebut,
konon para pesertanya tidak diberi kesempat- an yang cukup untuk memberi
masukan yang berarti. Sebagian peserta menyatakan, drafitu tidak diedarkan secara
baik sebelum pertemuan, sehingga mereka tidak bisa mempelajarinya secara
memadai, dan para penyelenggara tidak mengizinkan mereka membantah dan
mengemukakan pendapat mereka.33 Beberapa peserta menduga, tujuan seminar itu
sekadar mencari legitimasi atau persetujuan dari pada para ulama ketimbang untuk
menyediakan forum diskusi terhadap masalah-masalah yang mungkin sekali tidak
disetujui.34
Konsensus ulama Indonesia sesungguhnya memainkan peran penting dalam
pembuatan KHI tersebut, karena bentuk akhirnya tidak bergantung pada keputusan
komite, tetapi pada persetu juan kolektif ulama. Dengan mengumpulkan 124
profesional yang berasal dari para profesor hukum Islam, ahli fikih, hakim dan
rektor IAIN, dan para pemimpin seluruh organisasi Mus lim terbesar ke seminar itu,
dan memusyawarahkan pendapat MUI, Muhammadiyah, dan organisasi Islam kecil
lainnya, pani tia berharap telah memperoleh perwakilan yang cukup dari para
sarjana Muslim di Indonesia untuk mewakili seluruh pendapat. Lebih penting lagi,
upaya pada pertemuan seluruh lapisan pe- mimpin umat Islam Indonesia
sebenarnya dimaksudkan untuk membuat konsep ijma' atau konsensus di kalangan
para sarjana Muslim Indonesia. Meskipun, sebagaimana akan jelas dalam bab
selanjutnya, sejumlah pasalnya diperselisihkan KHI setelah KHI diselesaikan, para
perumus menyatakan bahwa KHI men jadi produk dari konsensus di kalangan
ulama Indonesia.
Draf KHI itu pada dasarnya diselesaikan dan disetujui dalam seminar nasional pada
1988. Namun karena teori hukum bah wa KHI harus menjadi hukum substantif bagi
peradilan agama yang, ketika itu, belum memiliki hukum acara yang mengatur
prosedur-prosedur acara Pengadilan Agama, maka penetapan- nya ditunda hingga
Pengadilan Agama memiliki hukum acara untuk mengatur praktik keperadilannya.
Kemudian, setelah Pengadilan Agama memperoleh hukum acara secara formal
pada 1989 dengan lolosnya Undang-undang No. 7/1989, pada 1991 KHI
ditandatangani Presiden Soeharto, yang menandakan bahwa KHI harus diterapkan
sebagai hukum materiil peradilan agama dan disahkan oleh Instruksi Presiden atau
Inpres No. 1/1991. Kekuatan hukum di balik KHI ini kemudian diikuti de- ngan
Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 154/1991, instruksi tentang penerapan KHI
Setelah menyebutkan poin-poin pertimbangannya dan lan dasan hukumnya, Inpres
menginstruksikan Menteri Agam tuk menyebarluaskan KHI ke dalam lembaga-
lembaga pemerinntah dan masyarakat, dan untuk melaksanakan instruksi itu sebaik
mungkin. Meskipun bukan undang-undang, KHI memiliki dasar hukum yang
sangat kuat dalam Inpres. Di samping itu, sebagai tindak lanjut dari Instruksi
Presiden (Inpres) ini, Menteri Agama mengeluarkan keputusannya sebagai
Keputusan Men teri Agama (KMA) No. 154/1991 tentang pelaksanaan Inpres.
Setelah keputusan itu merujuk pada Inpres sebagai pertimbangannya, dan kepada
sejumlah peraturan hukum, KMA itu menyatakan poin-poin yang menegaskan
dengan kuat keharusan Departemen Agama dan lembaga-lembaga pemerintah
lainnya menyebarluaskan KHI itu, dan menggunakannya sebagai rujuk- an sedapat
mungkin dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang diaturnya. Instruksi
26
BAB III
PENUTUP
27
A. Kesimpulan
B. Saran
Alhamdulillah makalah Perkembangan Hukum Keluarga Di Indonesia telah
terselesaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh sebab
itu kami mohon kritikan dan saran dari teman-teman semuanya, khusunya ibu Dra.
Jumni Nely, MA. demi kelengkapan makalah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Indonesia, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2000.
28
Asep Saepudin Jahar Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis (Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih Dan Hukum International), Jakrta:
Kencana, 2013.
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, Adn Identity, The Netherlands:
Amsterdam Uiniversity Press, 2010.
Fadil Dan Nor Salam, Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia, Malang: Uin
Maliki Press,2013.
Nani Soewondo, “The Indonesian Marrige Law And Its Implementing Regulation”,
Arciple 13, 1997