Anda di halaman 1dari 28

1

Tugas struktur Dosen Pengampu


Bimbingan perkawinan Dra. Jumni Nely, MA
Makalah Perbaikan

PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Abdul Rasyid

Imam as-syatibi

Nia Elmiati

Dayu Annisa marhatillah

JURUSAN HUKUM KELUARGA (AKHWAL AS-SYAKHSIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

PEKANBARU

2019
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap Allah Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-NYA,
makalah “ Perkembangan Hukum Keluarga Di Indonesia ” ini dapat diselesaikan
dengan baik meskipun banyak kekurangan. Pada kesempatan ini pula, kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak “ Dra. Jumni Nely, MA”Selaku
dosen mata kuliah perbandingan fiqh munakahat yang telah memberikan tugas ini
dan semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis mengharapkan makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah


wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Perkembangan Hukum Keluarga Di
Indonesia”. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat
kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini ,mengikat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Pekanbaru 22 Desember 2019

(Penulis)
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………….……………i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang………………………….. 4
Rumusan Masalah 4
Tujuan Masalah 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum Keluarga Islam: Definisi dan Cakupan ...............5

B. Sejarah Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Keluarga Islam di


Indonesia ......................................................................8

C. Usaha Kodifikasi ..............................................................16

D. Kedudukan Hukum Keluarga Islam dalam Perundang-


undangan.........................................................................18.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ....................................................................29
B. Saran...............................................................................29
Daftar Kepustakan
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum pembahasan terhadap aturan-aturan terkait bidang keluarga, pembahsan


ini terlebih dahulu menjelaskan beberapa hal penting tentang sistem hukum dan
pemberlakuan hukum keluarga, terutama dalam hubungannya dengan Indonesia.
Hal-hal terkait dengan sistem hukum dan pemberlakuan hukum keluarga di negara-
negara Muslim lain dijelaskan juga pada setiap bahasan isu-isu yang menjadi fokus
bahasan buku ini.

Ada dua istilah yang digunakan untuk menamai aturan yang terkait dengan
masalah-masalah keluarga, yaitu; hukum kelu arga dan hukum kekeluargaan.
Kedua istilah ini pada dasarnya memiliki arti yang sama. Namun demikian,
memperhatikan asal-usul kata dan makna etimologis, hukum keluarga lebih te- pat
pemakaiannya dalam hal ini Apa yang dimaksud dengan hukum keluarga? Sebelum
mem berikan definisi terhadap hukum keluarga, pengertian hukum dan keluarga
lebih baik dikemukakan terlebih dahulu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Defenisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam?
2. Bagaimana Sejaraah Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Keluarga
Islam di Indonesia ?
3. Bagaimana Kedududkan Hukum Keluarga Islam Dalam perundang-
undangan?
C. Tujuan Masalah
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui penjelasan dari ketiga
rumusan masalah diatas!
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Keluarga Islam: Definisi dan Cakupan

Hukum secara defenitif,yaitu ketentuan Allah yang berhubungan ddengan


perbuatan seorang mukallaf,apakah berbentuk tuntutan (iqtidha), dan kebebasan
memilih untuk bertndak (takhyir) maupun dalam bentuk qadha (ketetapan/takrir).

Adapun pengertian keluraga secara operasional yaitu suatu struktur yang bersifat
khusus,satu sama lain dalam keluarga itu mempunyaiikatan apakah lewat hubungan
darah atau pernikahan. Perikatan itu membawa pengarauh adanya rasa ‘saling
berharap” (mutual expectation) yang sesuai dengan ajarann agama,dikukuhkan
dengan kekuatan hukum serta secara individu saling mempunyai ikatan batin.

Pengertian keluarga pada uumnya dapat dikelompokan menjadi dua,yakni:

1. Keluarg akecil (nurclear family)

2. Keluarga besar (extended family),ada juga yang menyebutnya royal family

Adapun anggota keluarga kecil terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga kecil
disebut juga keluarga inti. Sementara anggota keluarga besar adalah eluruh anggota
keluarga yang bertambah sbagai aibat dari hubungan perkawinan. Maka masuk
anggota keluarga besar adalah bapak,ibi, dan ibu mertua.

Maka dapat disimpulkan,bahwa hukum keluarga adalah ketentuan Allah SWT yang
bersumber dari Al-Quran dan sunnah tentang ikatan kekeluargaan (family) baik
6

yang terjadi karena hubungan darah maupun kerena hubungan pernikahan yang
harus di taati oleh setia mukallaf.1

Hukum adalah peraturan yang dibuat penguasa (manusia/pemerintah) atau adat


yang berlaku bagi semua orang dalam masyarakat, bisa berupa undang-undang,
peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat sebagai
patokan. Kelu- arga adalah sanak saudara, kaum kerabat, kaum saudara atau satuan
kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Sementara kekeluargaan
adalah perihal yang bersifat atau berci- ri keluarga/hal yang berkaitan dengan
keluarga atau hubungan sebagai anggota dalam satu keluarga. Merujuk pada
Subekti, M. Amin Summa dalam bukunya menyimpulkan bahwa hukum keluarga
adalah "hukum atau undang-undang yang mengatur perihal hubungan internal
anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan ihwal kekeluargaan"
atau "hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang tim bul dari
hubungan kekeluargaan".2

Lalu apa yang dimaksud dengan hukum keluarga Muslim? Dalam fikih, kita
mengenal beberapa istilah untuk menyebut hukum keluarga Muslim, seperti, al-
alhwäl al-syakhsiyyah (hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi), uquq al-
usrah (hak- hak keluarga), huquq al-a ilah (hak-hak keluarga), ahkam al-usrah
(aturan-aturan keluarga), dan qanun al-usrah (Undang-undang keluarga).
Sementara dalam literatur-literatur bahasa Inggris, kita menemukan istilah-istilah
seperti, personal statute, Islamic family law, dan Muslim family law, untuk
menunjuk hukum keluarga Islam atau Muslim 3

Wahbah Zuhayli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamiyy latuhu, seperti juga dikutip M.
Amin Summa, mendefinisikan al-ahwal al-syakhsiyyah sebagai hukum-hukum
yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya

1 Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h.3


2 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,

2004), h.13-14
3 ibid.
7

hingga di masa berakhirnya keluarga, berupa nikah, talak, na sab, nafkah, dan
kewarisan. Dengan kata lain, melihat definisi keluarga Muslim, yaitu keluarga yang
anggota-anggota keluarganya Muslim atau paling tidak pimpinan keluarga Muslim,
meski ada anggota keluarga lain yang bukan Muslim, hukum keluarga Islam adalah
seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota
keluarga dalam konteks- nya yang khusus/spesifik dalam hubungan hukum suatu
keluarga Muslim.4

Untuk tidak terkacaukan dengan hukum perdata biasa, kita harus mengetahui bahwa
hukum keluarga bukan hukum yang mengatur hubungan antara keluarga dengan
keluarga yang lain, dan bukan pula hukum yang mengatur hubungan hukum di luar
hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum keluarga meski- pun hubungan
hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan masih dalam satu keluarga.
Untuk memberikan penjelasan perbedaan kedua bidang hukum ini, M. Amin
Summa, misalnya, mengambil contoh jual beli yang dilakukan seorang ayah atau
ibu dengan anaknya. Jual beli semacam ini tidak terma suk dalam lingkup hukum
keluarga, meski melibatkan anggota keluarga tertentu, ibu dan anak, karena
transaksi jual beli termasuk dalam hukum perdata umum. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa hukum keluarga Islam adalah hukum yang mengatur hubungan
internal anggota keluarga dalam satu kelu- arga Muslim yang berkenaan dengan
masalah-masalah tertentu Dengan demikian ruang lingkup hukum keluarga
mencakup perkawinan (munakahat dan hal yang bertalian dengannya), per walian
dan wasiat, dan kewarisan.5

B. Sejarah Pemberlakuan dan Perkembangan Hukum Keluarga Islam di


Indonesia

4 Ibid., Hl.30
5 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, Adn Identity, (The Netherlands: Amsterdam

Uiniversity Press, 2010), h.76-79


8

Hukum keluarga (ahwal as-syakhshiyah; family law) adalah hukum yang mengatur
hubungan timbal balik perihal kewajiban dan atau hak internal anggota keluarga
dalam setiap keluarga. Yang dimaksud dengan hukum keluarga islam. Ialah hukum
yang membahas perihal hubungan internal anggota keluarga terutama berkenaan
dengan hak dan kewajiban. Dikatakan hubungan internal anggota keluarga, sebab
hubungan eksternal antar keluarga sama sekali di luar kajian hukum keluarga.

Dalam sejarah hukum, hukum keluarga merupakan bidang hukum


yang paling awal dan paling tua dibandingkan dengan hukum perdata pada
umumnya, apalagi dibandingkan dengan hukum pidana dan lain-lain. 6 Sejarah
mencatat bahwa umat islam indonesia sesungguhnya telah sangat lama
berkeinginan dan berkemauan untuk memiliki undang-undang perkawinan. Bila
hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan lain tertentu, boleh jadi
tidak menjadi persoalan maka bagi golongan bumi putra, khususnya mereka yang
beragama islam, sejak masa penjajahan telah menjadi persoalan. Hal ini tercermin
dalam tuntutan organisasi-organisasi, terutama organisasi wanita hingga sampai
pembicaraannya di volksraad (dewan rakyat). Kongres perempuan indonesia tahun
1928, membahas keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan dikalangan
umat islam khususnya dalam hal perkawinan muda, kawin paksa, poligami tidak
proporsional, penjatuhan talak sewenang-wenang dan lain-lain.
Setelah Indonesia merdeka, umat islam khususnya dan bangsa
indonesia umumnya, terus mendambakan kehadiran hukum tertulis yang mengatur
hal ihwal perkawinan ini. Berbagai usaha pun kemudian dilakukan oleh pejabat
pemerintah maupun masyarakat. Namun, upaya untuk memiliki peraturan
perundang-undangan dalam bidang perkawinan, inipun tidak semudah yang
diharapakan. Jadi bila dihitung sejak tahun 1928 sampai 1974, upaya untuk

6 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam Dan Peraturan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia, ( Jakarta:Raja Grafindo,2014.h.517-518
9

memiliki satu undang-undang perkawinan saja harus memakan waktu sekitar 46


tahun lamanya. 7
Lahirnya undang-undang nomor 1 tahun 1974 mengalami proses
sejarah yang sangat panjang. Berawal pada tahun 1950 ketika pemerintahan
membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Teuku Mohammad Hasan untuk
membuat rancangan uu yang khusus mengatur tentang hukum perkawinan, talak,
dan rujuk yang kemudian rancangan tersebut diselesaikan pada tahun 1952
sekalipun pada akhirnya uu tersebut gagal untuk diajukan ke DPR karena
banyaknya kritik dari berbagai pihak. Berangkat dari kegagalan ini, panitia
perancangan rumusan undang-undang yang saat itu diketuai oleh mr. Purwosutjipto
dari dapertemen agama kembali menyusun undang-undang perkawinan yang
bersifat khsus bagi golongan islam , katolik, protestan dan lain sebagainya.
Kemudian pada akhir tahun 1954, rancangan undang-undang perkawinan khusus
orang islam dapat terselesaikan.
Namun pada saat yang sama, tatkala pada tahun 1958 RUU
perkawinan umat islam diajukan ke DPR secara persamaan muncul RUU
perkawinan yang berlaku secara nasioan ata ususlan Ny. Sumari dan kawan-kawan
yang pada akhirnya kedua rancangan itu baik rancangan uu perkawinan umat islam
ataupun rancangan undang-undang perkawinan nasional tidak berhasil dijadikan
sebagai undnag-undang dan dikembalikan kepada pemerintah. Kegagalan ini tidak
menyurutkan langkah pemerintah untuk kembali mengajukan rancangan undang-
undnag tentang perkawinan untuk islam pada tahun 1967 walaupun kemudaian
pada tahun 1968 baik RUU perkawinan umat islam ataupu RUU yang diajukan
pemerintah mengalami nasib yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal
tersebut diakibatkan olehh penolakana fraksi katolik yang ada di dpr-gr untuk
membahas ruu yang berkaitan dengan agama.
Pada tahun berikutnya, tepatnya pada tanggal 31 juli 1973,
rancangan undang-undang perkawinan yang pada akhirnya menjadi undang-
undang nomor 1 tahun 1974 diajukan oleh presiden kepada pempinan dewan

7 ibid
10

perwakilan rakyat republik indonesia dengan surat yang bernomor


R02/P.U/VII/1973 yang sekaligus mencabut dua rancangan yang telah diajukan
sebelumnya, yaitu rancangan undang-undang tentang peraturan perkawinan umat
islam sebagiaman disampiakn dengan amanat presiden nomor R02/PRESS/1967
tanggal 22 mei 1967 dan rancangann undang-undang tentang ketentuan-ketentuan
pokok perkawinan sebagaimana disampaikan dengan amanat presiden nomor
R010/P.U/HK/9/1968 tanggal 7 september 1968.
Sekalipun umat Islam telah lama menginginkan adanya undang-undang yang
mengatur tentang perkawinan, pengajuan RUU yang disampaikan oleh pemerintah
justeru menuai protes yang kuat dari umat islam. " Hal itu disebabkan oleh RUU
tentang perkawinan yang diajukan pemerintah adalah RUU perkawinan Nasional
yang berlaku untuk semua warga negara dan disinyalir rancangan itu. 8 bereirikan
sekuler" dan bahkan secara ekstrim terdapat tuduhan bahwa RUU tersebut sengaja
dibuat untuk mengkristenkan indonesia schingga secara provokatif, Buya Hamka
memfatwakan keharaman unt uk mengikuti RUU perkawinan yang diajukan oleh
pemerintah dan barang siapa yang masih tetap melaksanakan RUU tersebut maka
ia adalah kafir.

Terkait dengan jumlah pasal dalam RUU versi pemerintah yang dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam terdapat perbedaan di kalangan para peneliti.
Menurut Kamal Hasan sedikitnya terdapat Il pasal yang dianggap bertentangan
dengan ajaran islam, yaitu pasal 2 ayat 1. pasal 3 ayat 2, pasal 7 ayat 1, pasal 8 butir
c, pasal 10 ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 12, pasal 13 ayat 1 dan 2, pasal 37, pasal
46 huruf e dan d. pasal 62 ayat 2 dan 9." Berbeda dengan hasil penelitian Yusuf
Hasyim yang menyebutnya terdapat 13 pasal yaitu, pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 2,
pasal 7 ayat 1 dan 2, pasal 8, pasal 10 ayat 2. pasal 11 ayat 2, pasal 12 ayat 1, pasal
13 ayat I dan 2, pasal 37 ayat 1, pasal 39, pasal 46 butir e dan d, pasal 49 dan pasal
62." Adanya pasal-pasal yang dianggap bertentangan ini dan sekaligus menyulut
pertentangan dan protes keras dari umat Islam maka menghadapi situasi genting ini,

8 Fadil Dan Nor Salam, Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia, (Malang: Uin Maliki
Press,2013),h.33-34
11

bagi pemerintah kompromi adalah jalan terbaik mengingat dalam kondisi demikian
ini stabilitas negara sedang dipertaruhkan dan bahwa tanpa adanya amandemen
terhadap RUU perkawinan itu akan menyebabkan ketidakstabilan politik dan
sosial." Langkah yang ditempuh untuk mencapai titik temu, dalam hal ini menteri
agama, Mukti Ali, berinisiatif untuk melakukan lobbying antar fraksi. Karena bagi
Mukti, pemerintah 9 tidak bermaksud untuk membentuk undang-undang perkawin
yang melanggar nilai, cita, dan norma-norma agama dan pemerintah pun tidak
pemah berfikir untuk memaksakan kehendak peluang bagi perbaikan dan
penyempurnaan RUU yang telah diajukan." Melalui lobi-lobi antara tokoh agama
dengan pihak pemerintah akhirmya tercapai satu kesepakatan khususnya antara
fraksi Persat uan Pembangunan dan Fraksi ABRI yang isinya adalah sebagai berikut:

a. Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah

b. Sebagai konsekuensi dari poin1 maka alat-alat pelaksannannya tidak akan


dikurangi ataupun diubah, tegasnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk serta Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketent uan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dijamin kelangsungannya.

c. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan
dengan undang-undang ini maka akan dihilangkan

d. Pasal 2 ayat (1) dari RUUP disetujui untuk dirumuskan dengan: perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu
(ayat 1) dan tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban administrasi negara
(ayat 2)

e. Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan- ketent uan guna
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.

9 ibid,h.35
12

Setelah tercapai kesepakatan, akhirnya RUUP disahkan sebagai undang-undang


10
yang diundangkan pada tanggal 02 Januari 197 relasi agama dan negara baik
secara integralistik maupun relasi secara simbiotik.

Selain itu, dari rangkaian historis di atas juga terlihat bahw RUU Perkawinan yang
selanjutnya disahkan menjadi Undan Undang berkisar antara tahun 1973 sebagai
pengajuan yane kemudian disetujui untuk dibahas lebih lanjut kemudian pada tahun
1974 rancangan itu disahkan menjadi undang-undang dan selanjutnya pada tahun
1975 Undang-Undang Perkawinan telah berlaku secara efektif. Dengan demikian,
jika dikaji secara historis, kisaran waktu antara 1973 hingga 1975 tergolong ke
dalam era Orde Baru karena Orde ini disinyalir berawal pada tahun 1966 tepatnya
dengan keluarnya surat perintah 11 Maret 1966 yang sekaligus mengakibatkan
lumpuhnya dua kekuatan politik utama era Orde Lama yaitu Soekamo dan PKI"
serta berakhir pada tahun 1998 dengan tumbangnya Soeharto sebagai penguasa
Orde Baru selama 32 tahun pada tanggal 21 mei 1998.

Dalam kajian politik, era Orde Baru (1966-1998) menurut analisa Mahfud
tergolong ke dalam konfigurasi politik yang otoriter yang ditunjukkan oleh peran
eksekutif yang sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislatif didirikan
sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan peran-peran
eksekutif melalui Golongan Karya dan ABRI," sehingga hukum vang dilahirkan
berkarakter konservatif atau ortodoks." Dalam hal mi, hukum bersifat positivis-
instrumentalis dan berfungsi sebagai lat ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan
11
program Negara. Selain itu. hukum yang tergolong ke dalam karakter ini
cenderung kaku dan kurang tanggap terhadap tuntutan kebut uhan masyarakat serta
bersifat opresif karena secara sepihak memant ulkan persepsi sosial para pengambil
kebijakan." Berbeda dengan konfigurasi politik yang otoriter, konfigurasi politik
yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif/populistik."

10 ibid,h.36

11 ibid,h.38
13

Dalam hal ini, hukum cenderung responsif terhadap tuntutan berbagai kelompok
sosial dan individu di dalam masyarakatnya" serta selalu terbuka terhadap
penafsiran dalam rangka menemukan nilai-nilai tersirat yang terkandung dalam
peraturan dan kebijakan." Kajian ini menguatkan pemahaman bahwa Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan produk politik dari konfigurasi politik
yang otoriter, sehingga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 layak disebut
sebagai undang-undang yang berkarakter ortodoks. Hal ini terlihat dari peranan
masyarakat yang sangat minim dalam proses pembuatan undang-undang tersebut,
sebaliknya ia dikuasai oleh pihak eksekutif terutama lembaga kepresidenan yang
memiliki kewenangan terhadap hukum."

Minimnya akses masyarakat secara umum -umat Islam pada khususnya -terhadap
pembentukan kebijakan dalam era Orde Baru mendapatkan justifikasi dari catatan
Dewi Fortuna Anwar yang selanjutnya dikutip oleh Daniel Dhakidae dalam
bukunya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Dalam hal ini,
Fort una menyatakan: 12"Agar diterima sepenuhnya oleh pemerintah sebagai calon
politik, para pemimpin Islam harus menunjukkan bahwa mereka secara politik
bersifat moderat dan bahwa merel pada umumnya menunjang idcologi dan politik
pemerintah. Namun dengan berbuat demikian, orang-orang ini kehilangan
kredibilitas di mata para pemilih mereka Lebih-lebih lagi, PPP tidak diizinkan
menggunakan himbauan agama Islamnya yang khas yang menjadi dasar kehidupan
partai itu sendiri.

Pernyataan Fortuna di atas memberikan pemahaman bahwa memang paradigma


pembangunan hukum rezim Socharto cenderung memperkecil partisipasi kelompok
dalam masyarakat. Jika pun ternyata ada kelompok dalam masyarakat yang terlibat
dalam penentuan kebijakan Orde Baru lebih banyak dilatarbelakangi oleh politik-
politik tertentu termasuk untuk mengurangi resistensi dari kelompok tertentu dalam
masyarakat."

12 ibid,h.39
14

Penilaian berbeda dikemukakan oleh Menurutnya, sekalipun Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974 lahir dalam konfigurasi politik yang otoriter tidaklah
tergolong sebagai produk hukum yang berkarakter ortodoks melainkan produk
hukum yang responsif." Alasan yang dikemukakan oleh Abdul Halim adalah aspek
historis yang melatari lahirnya undang-undang tersebut yang sebelumnya telah
mengundang reaksi keras dari kelompok umat islam. Langkah bijaksana yang
ditempuh oleh Soeharto untuk menekan terjadinya penolakan umat Islam adalah
merespon saran KH. Bisri dan KH. Masjkur dengan memberikan instruksi kepada
Sumitro agar fraksi ABRI bekerjasama dengan fraksi PPP untuk menyusun kembali
RUUP yang sejalan dengan aspirasi umat Islam dam hal itu terbukti dengan
terwujudnya RUUP baru yang selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.

Untuk mentipologikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ke dalam produk


hukum yang responsif memang cukup beralasan, selain undang-undang tersebut
mampu bertahan dalam kisaran dan hal itu terbukti dengan terwujudnya RUUP baru
yang waktu yung cukup lama yakni sejak diundangkannya pada tahun 1974 hingga
kini baru dilakukan perubahan terhadap pasal 43 ayat (1)." juga didukung oleh
landasan teoretik yang menjadi sampel kajian dalam temuan Mahfuds yang
memilah secara kategoris antara konfigurasi politik yang otoriter dan demokratis
yaitu perundang-undangan yang berkutat pada wilayah publik (hukum Pemilu,
hukum Pemda dan hukum Agraria) sehingga untuk menggeneralisasikan ke dalam
wilayah hukum privat (Undang- Undang Nomor1 Tahun 1974) memeriukan kajian
lebih lanjut. Namun satu hal yang harus diingat, bahwa fakta historis pulalah yang
menggiring pemahaman sehingga diperoleh satu kesimpulan bahwa Undang-
Undang Nomor Tahun 1974 tergolong sebagai produk hukum yang ortodoks.13

Terlepas dari pengkategorian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai


produk hukum yang ortodoks ataukah produk hukum yang responsif, undang-

13 ibid,h.40-41
15

undang tersebut adalah perat uran tertulis nasional. 14 Hukum keluarga di Indonesia
bukan tanpa upaya awal dari beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam mau pun
adat, yang telah memperkenalkan beberapa ide mereka. Terdapat beberapa ahli
hukum yang dapat dianggap sebagai peletak dasar atau ide pembaharuan yang
sekarang kita lihat. Ahli hukum yang sering disebut dalam hal ini adalah Hasbi Ash-
Shiddieqy dan Hazairin. Beberapa ahli hukum atau praktisi selain kedua ahli hukum
tersebut yang dianggap meneruskan dan bahkan mewujudkan ide-ide dasar tersebut
adalah Munawir Syadzali dan Bustanul Arifin. Ide-ide mereka kemudian
mengantarkan pemerintah melakukan upaya pembaharuan lewat apa yang menjadi
trend sejak abad ke-19 di berbagai negara Muslim di dunia, yaitu kodifikasi hukum

C. Usaha Kodifikasi

Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi dengan upaya pemerintah


dalam negara-negara tertentu untuk mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait
dengan ma salah keluarga. Trend pembaharuan ini diawali Turki dengan dibuatnya
sebuah qanun yang sesuai dengan spirit pembaharu- an hukum di Turki. Upaya ini
kemudian diikuti beberapa nega ra Muslim lainnya seperti Tunisia, Maroko, dan
Mesir. Di Asia Tenggara, upaya ini diawali pemerintah Malaysia dan kemudian
Indonesia.15

Mengapa upaya kodifikasi hukum ini dilakukan? Ada beberapa tujuan yang
terdapat dalam upaya kodifikasi ini. Tujuan tujuan tersebut mencakup:

1. Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum bisa tercapai;

2. Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang dise- babkan oleh


perubahan kondisi zaman/memenuhi tuntutan zaman, dan;

14 Ibid,h.43

15 Ibid., Hlm.19
16

3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita ter kait dengan
status hukum mereka.16

Berkenaan dengan upaya pembaharuan lewat kodifikasi ini, apa yang dikemukakan
Weber terkait dengan teori hukum (legal theory) sangat relevan. Weber
mengungkapkan bahwa tradisi hukum lama adalah qadi justice. Para qadi merujuk
kepada beberapa aturan hukum yang beragam sesuai dengan kesadaran subyektif
mereka. Namun kemudian terjadi perubahan besar. Sistem hukum bergeser dari
sistem qadi justice kepada sistem yang lebih sistematis. Weber mengungkapkan
bahwa, "a radi cal change occurred during the Enlightenment era, which stimulated
a transfer from the patrimonial traditin of law to a sistematic, rational, and abstract
legal code".

Jika dilihat dari tradisi hukum lama dan baru, kita dapat me- ngatakan bahwa hukum
lama bersifat terbuka (open), sementara tradisi hukum baru bersifat tertutup (close).
Dengan demikian, jika tradisi hukum lama lebih mengedepankan interpretasi hu
kum secara pribadi (personal interpretation), tradisi hukum baru membiasakan
diberlakukannya interpretasi hukum secara berjamaah (collective interpretation).
Dengan demikian, sifat-legislasi hukum modern/reformasi hukum adalah adanya
upaya penye ragaman hukum (unification), dan penulisan hukum melalui se- buah
aturan tertulis (undang-undang) (codification), dan penu lisan hukum secara
sistematis dan lugas dengan bahasa nasional negara masing-masing (sistematically
written). Sifat lain adalah menimbulkan suatu kepastian dalam transaksi hukum (the
cer tainty of law within legal transaction).

Dan jika kita telusuri dengan seksama unsur-unsur yang tercipta dari upaya
kodifikasi hukum yang dilakukan oleh beberapa negara Muslim di dunia ini, maka
kita akan menemukan beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang terkemukakan
adalah:

16 Khairuddin Nasution, Status Wanita Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan

Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesdia Dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), Hlm.5
17

1) bahwa kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang krusial,
yaitu untuk memenuhi tantangan dan tuntutan legislasi modern;

2) bahwa dalam upaya ini, negara-negara tersebut mengguna- kan metode-


metode yang beragam, yang semuanya bermuara pada tercapainya sebuah
kemaslahatan umat dan ter ealisasinya politik hukum;

3) bahwa kodifikasi menyebabkan tergantikannya aturan-aturan hukum terkait


beberapa masalah keluarga yang tertera dalam fikih klasik dengan aturan-aturan
baru yang sesuai dengan kondisi lokal masing-masing negara.

D. Kedudukan Hukum Keluarga Islam dalam Perundang-undangan


a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
UU Perkawinan merupakan undang-undang yang menga- tur tentang masalah-
masalah perkawinan. Masalah-masalah perkawinan yang dimaksud mencakup
segala masalah yang ada dan timbul dari adanya sebuah ikatan pernikahan. Perlu
dijelas kan bahwa istilah perkawinan berbeda dengan pernikahan. Perkawinan
mempunyai pengertian yang lebih luas dari pernikahan, meskipun dalam beberapa
konteks kedua istilah ini sering dipakai untuk tujuan atau maksud yang sama. Jika
pernikahan mengandung arti proses atau praktik dari diucapkannya akad untuk
tersahkannya sebuah ikatan (hubungan) seorang laki-laki dan perempuan, dan
jarang dibubuhkan dengan kata 'masalah masalah', perkawinan memiliki arti lebih
luas dan sering disisipi kata 'masalah-masalah' dan kemudian mengandung arti
seperti telah disebutkan sebelumnya. Untuk itulah, mungkin perkawin an dipilih
untuk menyebut undang-undang ini.
UU Perkawinan ini dikeluarkan pada 1974, dan diberlakukan bagi seluruh warga
Indonesia, tidak peduli agama yang dianut. Undang-undang ini mencerminkan
upaya untuk menyatukan undang-undang yang berkaitan dengan undang-undang
perkawinan itu sendiri dan bidang-bidang lainnya yang sesuai dengan hukum adat
dan hukum agama. Undang-Undang Perkawinan juga merupakan upaya pemerintah
dalam menanggapi tuntutan kaum perempuan di Indonesia tentang kedudukan
18

hukum mereka dalam beberapa peristiwa hukum terutama poligami dan


perceraian.17
Langkah pemerintah ini dianggap progresif oleh kalangan umat Islam. Namun,
umat Islam juga melihat adanya kepentingan politik di balik pengundangan UU ini.
Kepentingan tersebut tampak jelas, misalnya, dari upaya pemerintah Orde Baru
mengurangi peran lembaga-lembaga Islam yang berada di luar kendali negara. Ha
itu ditekankan oleh umat Islam, karena pada saat yang sama, Orde Baru
memperkuat pemerintahan sipil. Dengan membuat aturan keharusan adanya
pencatatan sipil perkawinan dan adanya persetujuan pengadilan terhadap
perkawinan poligami di kalangan umat Islam di dalam draf UU, yang
kewenangannya diserahkan pada Pengadilan Umum, pemerintah dianggap telah
membatasi, untuk tidak mengatakan merenggut, kewenangan Pengadilan Agama.
Umat Islam men duga bahwa negara bermaksud menomorsatukan Pengadilan
Umum di atas Pengadilan Agama, dan dengan demikian dipan- dang tidak bisa
diterima oleh mereka.18
Dengan beberapa pasal yang bertentangan dengan aturan- aturan Islam, Rancangan
Undang-undang ini telah melukai ke- imanan masyarakat Muslim. Pasal yang
mengatur secara ketat praktik poligami ditentang oleh sejumlah ulama, yang
berusaha mempertahankan praktik poligami. Karena Rancangan Undang-undang
itu juga memperbolehkan praktik adopsi anak dan meng- akui konsekuensi-
konsekuensi adopsi yang bertentangan dengan ajaran Islam dan membolehkan
pernikahan antara seorang wanita Muslim dan laki-laki non-Muslim, pernikahan
beda agama, kritik, khususnya dari unsur-unsur masyarakat yang memandangnya

17 Kongres Pertama Yang Diadakan Kaum Perempuan Pada Tahun1928 Menekankan Bahwa

Tindakan Perkawinan Seharusnya Tidak Diatur Ole Prinsip-Prinsip Islam. Pada Tahun 1937,
Pemerintah Hindia Belanda Mengeluarkan Draft Yang Menetapkan Bahwa Perkawinan Harus
Terdaftar Dan Harus Monogami. Draft Ini Dibatalkan Karena Keberatan-Kebaratan Yang
Dikemukakan Kelompok-Kelompok Politik Islam. Setelah Merdeka, Pada Tahun 1957, Draft Yang
Membahas Tentang Masalah Itu Diperkenalkan. Lagi-Lagi, Draft Itu Ditentang Dan Kemudian
Dibatalkan. Lihat Andre, NU Vis-A-Vis Negara (Yogyakarta: LKIS, 1999), Hlm.190-190.
18 ibid., Hlm.192
19

bertentangan dengan aturan-aturan Islam, tak bisa lagi dibendung. 19 Beberapa


kalangan Muslim khawatir bahwa jika, misalnya, dua pasal terakhir tersebut tetap
dipertahankan, rancangan tersebut yang kemudian menjadi undang-undang itu akan
lebih memudahkan umat Islam untuk melakukan praktik adopsi anak, dengan
konsekuensi-konsekuensi hukum yang terkait, dan juga memudahkan atau
memuluskan niat wanita Muslimah untuk menikahi laki-laki non-Muslim.
Tak pelak lagi, pengajuan Rancangan Undang-undang de ngan pasal-pasal
kontroversial seperti itu telah memicu protes dari umat Islam, dan umat Islam
memandang bahwa hal itu merupakan bukti nyata dari kebencian pemerintah
terhadap Islam.20 Umat Islam pun tak bisa lagi membendung reaksi mereka dan
mereka melakukan demosntrasi secara besar-besaran. Ti dak kurang dari 700
21
perempuan dari berbagai kelompok, juga beratus-ratus pemuda Muslim,
menduduki lantai gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),22 ketika draf sedang
dibahas dan demonstrasi besar-besaran juga terjadi di luar gedung. Untuk mengatasi
kekacauan ini, dilakukanlah lobi antara kelompok kelompok Muslim yang diwakili
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pemerintah yang diwakili kelompok
militer. Dalam lobi ini dicapai sebuah kesepakatan penghapusan beberapa pa- sal
tentang aturan-aturan yang telah menjadi pemicu protes dan dipandang
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan dihapusnya beberapa pasal
kontroversial tersebut, Rancangan Undang-Undang itu kemudian disahkan sebagai
Undang-Undang Perkawinan di DPR pada 22 Desember 1973 dan ditetapkan
sebagai Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974
b. Kompilasi Hukum Islam

19 Nani Soewondo, “The Indonesian Marrige Law And Its Implementing Regulation”, Arciple 13

(1997), Hlm.284-285
20 Asep Saepudin Jahar Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis (Kajian Perundang-Undangan

Indonesia, Fikih Dan Hukum International), (Jakrta: Kencana, 2013), Hlm.


21 Ibid.
22 Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo

Persada, 2000), Hlm. 118


20

Kompilasi Hukum Islam, seterusnya disebut KHI, merupakan hukum materiil


pengadilan di lingkungan peradilan agama di Indonesia, yang dikeluarkan melalui
Instruksi Presiden pada 1991. KHI terdiri dari tiga bab: perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan, yang dituangkan dalam 229 pasal. Bab tentang aturan perkawinan
mencakup 19 masalah, termasuk dasar perkawinan, pertunangan, syarat dan
ketentuan perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, perkawinan
selama hamil, poligami, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan
kewajiban perkawinan, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak,
perwalian, terputusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk, dan idah.
Bab tentang kewarisan membahas lima masalah, termasuk ahli waris, bagian waris,
ma- salah yang dimunculkan 'awl dan radd, wasiat, dan hibah. Bab tentang
perwakafan memuat fungsi, unsur, syarat, prosedur dan pencatatan wakaf, tempat
tinggal dan pengawasan hak milik
Penyusunan KHI melibatkan banyak pihak dan beberapa langkah atau kegiatan.
Dilibatkannya pihak-pihak tertentu ini dan kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan
untuk dapat menjembatani atau mengakomodir kepentingan negara dan ma-
syarakat. Langkah pertama yang dilakukan adalah pengkajian kitab-kitab fikih dari
berbagai mazhab, yang difokuskan pada upaya membahas 160 masalah hukum
keluarga Islam yang akan diatur dalam KHI. Untuk lancarnya kegiatan pengkajian
kitab-kitab fikih tersebut, beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diberi tugas,
dan itu diatur dengan jelas dalam sebuah Surat Kerjasama, yang ditandatangani oleh
menteri agama dan para rektor IAIN terpilih. Tujuh IAIN dipilih untuk melak
sanakan tugas tersebut. Masing-masing IAIN diberi tanggung jawab untuk
23
melakukan kajian dan analisis terhadap kitab-kitab fikih tertentu. Secara
keseluruhan, ada 38 kitab fikih yang diteli ti. Kitab-kitab tersebut mencakup 13
kitab yang terdaftar dalam Surat Edaran Departemen Agama 1958, yang dianjurkan
untuk digunakan sebagai rujukan Pengadilan Agama (lihat I.V.1). Sisanya, 25 kitab

23 Bagian Ini Adopsi Dan Diringkas Dari Sub-Bab Yang Terdapat Dalam Buku Euis Nurlaelawati,

Op.Cit., Hlm. 81-92


21

fikih, merupakan kitab-kitab yang sering dibaca dan dipelajari di pesantren-


pesantren.24
Pemilihan kitab-kitab ini mencerminkan pentingnya upaya menghimpun berbagai
pendapat tentang masalah-masalah yang dibahas dalam KHI. Nyatanya kitab-kitab
yang dipilih tidak hanya kitab-kitab mazhab Syafi'i,25 tetapi juga kitab-kitab lain
dari luar mazhab Syafi'i. Kita dapat melihat adanya Majmu Fatawa Ibn Taymiyyah
yang berasal dari mazhab Hanbali, al-Muwatta' dari mazhab Maliki, dan Fath al-
Qadir yang didasarkan pada doktrin Maliki, dan Tabyin al-Haqa'iq dan Fatawa al-
Hindiyyah yang mengadopsi doktrin Hanafiyah. Hal ini setidaknya menandai upaya
untuk memahami perbandingan pemikiran, dan ini tentunya sangat penting bagi
perkembangan hukum Islam di Indonesia, yang tentunya juga selaras dengan
munculnya para- digma baru hukum Islam di mana pluralisme memainkan peran
penting. Langkah berikutnya adalah mewawancarai 181 ulama terpandang dan
berpengaruh dari 10 wilayah terpilih, termasuk Aceh, Medan, Palembang, Padang.
Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Ujung Pandang (Makassar), Mataram, dan
Banjarmasin, baik yang merupakan ulama independen maupun mereka yang
tergabung dengan organisasi-organisasi Islam tertentu. Para ula ma ini
diwawancarai secara berbarengan di tempat dan waktu yang sama. Mereka diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pendapat-pendapat mereka tentang masalah-
masalah hukum keluarga Islam dan menjelaskan argumen-argumen yang men jadi
dasar pendapat-pendapat mereka.26
Cara ini dipandang baik dan penting mengingat ulama dapat saling menghormati
pendapat satu sama lain serta dapat menghadirkan atau mem perkenalkan pendapat-
pendapat yang berbeda yang diambil dari mazhab-mazhab hukum Islam yang
berbeda. Untuk meng- ulama tentang masalah-ma himpun komentar dan penda
salah terkait dengan hukum keluarga Islam secermat mungkin, kuesioner juga
dibagikan kepada mereka.

24 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1992), Hlm. 39-41
25Ibid.

26 Ketiga Belas Kitab Fikih Ini, Kebanyakannya Mendasarkan Pada Mahzab Syafi’i.
22

Wawancara dengan para ulama mempunyai peran sangat penting karena anggapan
dasar bahwa KHl ditujukan untuk mensistematisasi dan menyusun aturan-aturan
Islam untuk mengatur masalah-masalah keluarga, yang selama ini diterap- kan oleh
umat Islam dan hakim Pengadilan Agama di Indonesia yang didasarkan pada kitab
fikih. Ulama yang memiliki kredi bilitas karena pengetahuan mereka tentang
hukum Islam dan di- pandang sebagai para penjaga hukum Islam tersebut
dipandang sangat akrab dengan aturan-aturan hukum yang telah diterapkan dalam
masyarakat Muslim. Dengan mewawancarai ulama diharapkan bahwa proyek
pembuatan KHI dapat diselesaikan dalam suasana dan kondisi yang penuh dengan
aspirasi, dan KHI diharapkan akhirnya bisa menghadirkan hukum-hukum yang
mapan dan sesuai bagi umat Islam.
Pelibatan ulama juga dimaksudkan agar KHI lebih diterima oleh umat Islam.
Bustanul Arifin mengatakan bahwa dengan melibatkan ulama dari berbagai daerah,
umat Islam Indonesia akan merasa bahwa pendapat-pendapat ulama mereka juga
didengar dan dipertimbangkan. Keterlibatan mereka, menu rut Bustanul Arifin,
juga terkait dengan kenyataan bahwa para ulama memiliki kecenderungan sendiri-
sendiri dalam merujuk kitab fikih. Menyadari kenyataan ini, Bustanul Arifin dan
ang- gota komite lainnya bahkan memutuskan mengundang mereka ke seminar
nasional untuk membahas draf itu. Dia menyatakan bahwa keberhasilan dalam
mengeluarkan KHI bisa dikaitkan juga dengan adanya dukungan ulama terhadap
proyek pembuatan KHI itu.27 Dalam hal ini, Bustanul Arifin merasa semakin yakin
akan kebenaran pemikiran dan pandangannya bahwa, jika kita (umat Muslim) ingin
bicara tentang dan mengembangkan hukum Islam, ulama harus dilibatkan dan
dipertimbangkan pendapat-pendapatnya.
Langkah ketiga adalah meneliti yurisprudensi Pengadilan Agama. Keputusan-
keputusan yudisial Pengadilan Agama sepanjang abad, yang terhimpun dalam 16
buku, dianalisis untuk menemukan argumen paling kuat untuk mendukung
ditetapkannya hukum-hukum masalah-masalah tertentu. Direk- torat Pembinaan
Peradilan Agama di Departemen Agama (kini Kementerian Agama), yang sejak

27 H. Abdurrahman, KHI, Hlm.42


23

2004 berada di bawah payung Mahkamah Agung, diberi peran untuk mengkaji
kitab-kitab itu.28
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis perbanding an terhadap hukum
keluarga Islam yang diterapkan di berbagai negara Muslim lainnya. Langkah ini
dianggap penting, mengingat berbagai negara Muslim telah berhasil melakukan
kodi fikasi hukum keluarga Islam. Untuk itu studi banding perlu dilakukan untuk
melihat bagaimana hukum Islam diterapkan dan bagaimana prosedur yudisial
dipersiapkan dalam praktik keperadilan di negara-negara tersebut. Maroko dan
Mesir lalu dipilih sebagai wilayah tempat studi banding dilakukan. Di samping
kedua wilayah ini, Turki, dengan penduduk mayoritas Muslim, juga dijadikan
sebagai tempat studi banding.29 Dalam studi banding ini beberapa informasi penting
diperoleh, yaitu sistem peradilan, bagaimana syariah disatukan ke dalam hukum
nasional, dan sumber-sumber yang menjadi dasar hukum terapan dari masalah-
masalah keluarga di ketiga negeri tersebut.
Sesudah tahap pengumpulan data selesai dilakukan, tim mulai membuat draf, yang
setelah rampung lalu disampaikan pada seminar nasional untuk membahas isi draf
dalam suasana yang lebih kondusif. Hal itu juga menyiratkan bahwa tim KHI
memandang wawancara dengan para ulama tidak cukup un tuk dijadikan sebagai
dasar persetujuan mereka terhadap draf itu. Seminar itu diselenggarakan pada 2-6
Februari 1988 dan di hadiri 124 peserta dan disiarkan secara luas di media massa.30
Mereka yang hadir mewakili ulama dari organisasi-organisasi Islam semisal
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) para sarjana hukum dari berbagai
universitas atau institut Islam, intelektual Muslim, dan pejabat. Para peserta itu
termasuk 13 profesor hukum Islam, 46 kiai, 21 ahli hukum, sejumlah hakim

28 Euis Nurlaelawati, Op.Cit., Hlm.86


29 H. Abdurrahman, KHI, Hlm.143
30 Terkait Dengan Alasan Dipilihnya Ketiga Negara Ini, Alih-Alih Lainnya, Adalah Bahwa Kedua

Negara, Mesr Dan Maroko, Mengadopsi Hukum Islam Untuk Menjadi Hukum Terapan Mereka,
Dan Yang Lainyya, Turki Sebaliknya Mengadopsi Undang-Undang Barat Untuk Hukum
Terapannya.
24

Mahkamah Agung, dan beberapa rektor IAIN. Mayoritas peserta adalah laki-laki.
Hanya ada empat peserta perempuan, yaitu Aisyah Amini, wakil dari DPR;
Huzaemah Tahido, guru besar hukum Islam dan dosen IAIN (sekarang UIN-
Universitas Islam Negeri) Jakarta; Tuty Alawiyah, dai senior dan popular dan
pemimpin Pesantren Modern Asy-Syafi'iyyah; dan Nawangsih, hakim Mahkamah
Agung.31 Tujuan umum seminar nasional ini adalah membahas masalah-masalah
hukum keluarga Islam termasuk perkawinan, waris, dan wakaf, untuk dijadikan
bahan KHI. Para peserta dalam seminar itu dibagi menjadi tiga komite masing-
masing membahas dan kemudian menyusun ketentuan ketentuan tentang tiga
bidang hukum keluarga Islam itu untuk dimasukkan ke dalam KHI.32
Menarik untuk dikemukakan, meskipun seminar itu memba has draf tersebut,
konon para pesertanya tidak diberi kesempat- an yang cukup untuk memberi
masukan yang berarti. Sebagian peserta menyatakan, drafitu tidak diedarkan secara
baik sebelum pertemuan, sehingga mereka tidak bisa mempelajarinya secara
memadai, dan para penyelenggara tidak mengizinkan mereka membantah dan
mengemukakan pendapat mereka.33 Beberapa peserta menduga, tujuan seminar itu
sekadar mencari legitimasi atau persetujuan dari pada para ulama ketimbang untuk
menyediakan forum diskusi terhadap masalah-masalah yang mungkin sekali tidak
disetujui.34
Konsensus ulama Indonesia sesungguhnya memainkan peran penting dalam
pembuatan KHI tersebut, karena bentuk akhirnya tidak bergantung pada keputusan
komite, tetapi pada persetu juan kolektif ulama. Dengan mengumpulkan 124
profesional yang berasal dari para profesor hukum Islam, ahli fikih, hakim dan
rektor IAIN, dan para pemimpin seluruh organisasi Mus lim terbesar ke seminar itu,
dan memusyawarahkan pendapat MUI, Muhammadiyah, dan organisasi Islam kecil
lainnya, pani tia berharap telah memperoleh perwakilan yang cukup dari para

31 Asep Saepudin Jahar Dkk, Op.Cit.


32 H. Abdurrahman, KHI, Hlm.171-178
33 Ibid., Hlm.47-48
34 Euis Nurlaelawati, Op.Cit., Hlm.87-88
25

sarjana Muslim di Indonesia untuk mewakili seluruh pendapat. Lebih penting lagi,
upaya pada pertemuan seluruh lapisan pe- mimpin umat Islam Indonesia
sebenarnya dimaksudkan untuk membuat konsep ijma' atau konsensus di kalangan
para sarjana Muslim Indonesia. Meskipun, sebagaimana akan jelas dalam bab
selanjutnya, sejumlah pasalnya diperselisihkan KHI setelah KHI diselesaikan, para
perumus menyatakan bahwa KHI men jadi produk dari konsensus di kalangan
ulama Indonesia.
Draf KHI itu pada dasarnya diselesaikan dan disetujui dalam seminar nasional pada
1988. Namun karena teori hukum bah wa KHI harus menjadi hukum substantif bagi
peradilan agama yang, ketika itu, belum memiliki hukum acara yang mengatur
prosedur-prosedur acara Pengadilan Agama, maka penetapan- nya ditunda hingga
Pengadilan Agama memiliki hukum acara untuk mengatur praktik keperadilannya.
Kemudian, setelah Pengadilan Agama memperoleh hukum acara secara formal
pada 1989 dengan lolosnya Undang-undang No. 7/1989, pada 1991 KHI
ditandatangani Presiden Soeharto, yang menandakan bahwa KHI harus diterapkan
sebagai hukum materiil peradilan agama dan disahkan oleh Instruksi Presiden atau
Inpres No. 1/1991. Kekuatan hukum di balik KHI ini kemudian diikuti de- ngan
Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 154/1991, instruksi tentang penerapan KHI
Setelah menyebutkan poin-poin pertimbangannya dan lan dasan hukumnya, Inpres
menginstruksikan Menteri Agam tuk menyebarluaskan KHI ke dalam lembaga-
lembaga pemerinntah dan masyarakat, dan untuk melaksanakan instruksi itu sebaik
mungkin. Meskipun bukan undang-undang, KHI memiliki dasar hukum yang
sangat kuat dalam Inpres. Di samping itu, sebagai tindak lanjut dari Instruksi
Presiden (Inpres) ini, Menteri Agama mengeluarkan keputusannya sebagai
Keputusan Men teri Agama (KMA) No. 154/1991 tentang pelaksanaan Inpres.
Setelah keputusan itu merujuk pada Inpres sebagai pertimbangannya, dan kepada
sejumlah peraturan hukum, KMA itu menyatakan poin-poin yang menegaskan
dengan kuat keharusan Departemen Agama dan lembaga-lembaga pemerintah
lainnya menyebarluaskan KHI itu, dan menggunakannya sebagai rujuk- an sedapat
mungkin dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang diaturnya. Instruksi
26

presiden untuk menggunakan KHI itu sesungguhnya bukanlah sebuah intstruksi


yang kuat, tetapi Keputusan Menteri Agama memperkuat instruksi tersebut.
Terkait dengan isinya, meski pada banyak masalah KHI umum nya merujuk
doktrin-doktrin hukum Islam klasik, khususnya doktrin kitab-kitab fikih Syafi'i,
KHI juga memperkenalkan sejumlah aspek pembaruan. Aspek-aspek ini mencakup
masuknya adatistiadat setempat, kepentingan negara dan kecenderungan baru
dalam wacana Islam Indonesia. Dengan demikian, dalam KHI telah dilakukan
upaya untuk mengakomodasi doktrin hu kum Islam klasik, kepentingan negara dan
tradisi setempat atau adat. Tak bisa disangsikan, para pembuat draf KHIl menyadari
bahwa keragaman norma hukum tidak bisa diabaikan. Dengan mengakomodasi
adat setempat, memasukkan kepentingan negara, dan memperhatikan masalah-
masalah baru seperti gender, para penyususn KHI jelas berusaha menunjukkan
bahwa unsur unsur tersebut bisa diintegrasikan kedalam praktik hukum Islam.

BAB III
PENUTUP
27

A. Kesimpulan

Hukum adalah peraturan yang dibuat penguasa (manusia/pemerintah) atau adat


yang berlaku bagi semua orang dalam masyarakat, bisa berupa undang-undang,
peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat sebagai
patokan. Kelu- arga adalah sanak saudara, kaum kerabat, kaum saudara atau satuan
kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Hukum keluarga (ahwal as-
syakhshiyah; family law) adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik
perihal kewajiban dan atau hak internal anggota keluarga dalam setiap keluarga.
Yang dimaksud dengan hukum keluarga islam. Ialah hukum yang membahas
perihal hubungan internal anggota keluarga terutama berkenaan dengan hak dan
kewajiban. Dikatakan hubungan internal anggota keluarga, sebab hubungan
eksternal antar keluarga sama sekali di luar kajian hukum keluarga. Lahirnya
undang-undang nomor 1 tahun 1974 mengalami proses sejarah yang sangat panjang.
kemudian disahkan sebagai Undang-Undang Perkawinan di DPR pada 22
Desember 1973 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974
Kompilasi Hukum Islam, seterusnya disebut KHI, merupakan hukum materiil
pengadilan di lingkungan peradilan agama di Indonesia, yang dikeluarkan melalui
Instruksi Presiden pada 1991. KHI terdiri dari tiga bab: perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan, yang dituangkan dalam 229 pasal.

B. Saran
Alhamdulillah makalah Perkembangan Hukum Keluarga Di Indonesia telah
terselesaikan. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh sebab
itu kami mohon kritikan dan saran dari teman-teman semuanya, khusunya ibu Dra.
Jumni Nely, MA. demi kelengkapan makalah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Indonesia, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2000.
28

Asep Saepudin Jahar Dkk, Hukum Keluarga, Pidana Dan Bisnis (Kajian
Perundang-Undangan Indonesia, Fikih Dan Hukum International), Jakrta:
Kencana, 2013.
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, Adn Identity, The Netherlands:
Amsterdam Uiniversity Press, 2010.
Fadil Dan Nor Salam, Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia, Malang: Uin
Maliki Press,2013.

H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, 1992.


Khairuddin Nasution, Status Wanita Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesdia Dan Malaysia,
Jakarta: INIS, 2002)
Lihat Andre, NU Vis-A-Vis Negara ,Yogyakarta: LKIS, 1999
M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2004.
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016)
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam Dan
Peraturan Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia,
Jakarta:Raja Grafindo,2014.

Nani Soewondo, “The Indonesian Marrige Law And Its Implementing Regulation”,
Arciple 13, 1997

Anda mungkin juga menyukai