Anda di halaman 1dari 23

TUGAS MAKALAH HUKUM ISLAM

HUKUM PERKAWANINAN BEDA AGAMA MENURUT AJARAN


AGAMA ISLAM

Oleh :
Meli Oktarina
18110024

Dosen Pengampu:
Septiara Elvionita, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMANSISWA PALEMBANG
KOTA PALEMBANG
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Hukum Perkawinan Beda Agama
Menurut Ajaran Islam.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantudalamprosespenyusunanmakalahmulaidariawalhinggaakhir.Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih memiliki beberapa kekurangan dan
kelemahan. Namun demikian, penulis berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.

Palembang, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul........................................................................................... i
Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
Bab I Pendahuluan....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Tujuan....................................................................................................... 2
Bab II Tinjauan Umum................................................................................ 3
2.1 Definisi Nikah........................................................................................... 3
2.2 Hukum Pernikahan Islam.......................................................................... 3
Bab III Pembahasan..................................................................................... 9
3.1 Pernikahan Menurut Islam........................................................................ 9
3.2 Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Islam........................................ 10
3.3 Status Perwalian dalam Kasus Perkawinan Beda Agama.................... 11
3.4 Hukum Kewarisan dalam Perkawinan Beda Agama................................ 13
Bab IV Penutup............................................................................................. 18
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara sosio-antropologis Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, golongan,


ras, budaya dan agama, hal itu disebabkan karena beberapa faktor yang
diantaranya adalah keadaan geografis merupakan faktor tervital dalam terciptanya
akulturasi yang beragam. Selain itu teritorial Indonesia terletak diantara samudera
Hindia dan samudera Pasifik, sehingga dengan demikian sangat potensial dalam
berkembangnya pluralitas budaya, ras, dan agama dalam masyarakat Indonesia
(pluralis society).

Adapun agama-agama besar yang masuk dan mempengaruhi terhadap terciptanya


pluralitas agama di Indonesia antara lain agama Islam, Kristen Protestan san
Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Kondisi demikian memaksa negara untuk
membuat landasan hukum yang menjamin kebebasan beragama guna untuk
memeluk agama yang sesuai dengan keyakinannya masing-masing (Amir
Syarifuddin, 1990).

Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan


bahwa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (pasal
29 ayat 2).

Keharmonisan keluarga akan terwujud secara sempurna apabila suami-istri


berpegang teguh pada ajaran yang sama (QS al- Baqarah/2:187; QS al-Nisā’/4:21;
QS al-Rūm/30:21). Perbedaan keyakinan atau agama di antara kedua belah pihak
seringkali menimbulkan berbagai kesulitan di lingkungan keluarga dalam
pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan makanan, serta pengamalan
yang menyangkut tradisi keagamaan (Abdul Jalil, 2018).

Perkawinan adalah persoalan yang penting dalam kehidupan agama. Karena


sifatnya bukan hanya sekedar ikatan permuamalatan (bottom up) namun juga
persoalan ibadah (top down) sehingga Islam mendefinsikan perkawinan dengan

1
istilah mitsaqan ghalidzan (ikatan yang sangat kuat baik dengan sesama manusia
maupun ikrar janji setia kepada Allah) (Sahabuddin, 2007).

Secara sosio-antropologis manusia hidup saling membaur antara satu dengan yang
lainnya, tumpah ruah menjadi satu baik yang berbeda ras maupun yang berbeda
agama dan secara naluriah mereka saling berpasangan. Berkaitan dengan
pasangan yang kontroversial atau Perkawinan Beda Agama tak jarang hal ini
menimbulkan gejolak dan reaksi keras dikalangan masyarakat. Dalam dunia Islam
masalah ini menimbulkan perbedaan-perbedaan diantara kedua belah pihak pro
dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen logis yang berasal dari
penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang Perkawinan
Beda Agama (Karsayuda, 2006).

Salah satu bentuk perkawinan yang masih dalam kontroversi dan tentunya
kontroversi ini akan terus berlanjut adalah Perkawinan Beda Agama, perkawinan
yang tidak sederajat dalam hal agama. Apabila dibagi, dalam doktrin Islam
Perkawinan Beda Agama terbagi menjadi empat bentuk:
1. Perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab
2. Perkawinan antara pria Muslim dengan wanita musyrik
3. Perkawinan antara wanita Muslim dengan pria Ahl al-Kitab
4. Perkawinan antara wanita Muslim dengan pria Musyrik, yakni yang bukan
Ahl al- Kitab (Ismail Muhammad, 1992).

Berdasarkan uraian di atas mendorong penulis untuk mengangkat tema ini dengan
judul: Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Ajaran Islam.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan makalah yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana subtansi ajaran islam tentang Perkawinan


Beda Agama.
2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi hukum ajaran islam tentang
Perkawinan Beda Agama dalam kehidupan di Indonesia.

2
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi Nikah

Arti nikah menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah
Ahli Ushul,Nikah menurut aslinya adalah aqad, yang denganya menjadi halal
hubungan kelamin antara lelaki dan pperempuan, sedangkan menurut arti majasi
ialah setubuh. Demikian menurut AhliUshul golongan Syafi’iyah. Adapun
menurut Ulama Fikih, Nikah ialah Aqad yang di atur oleh islam untuk
memberikan kepada lelaki hak milik penggunaan terhadap faraj(kemaluan) dan
seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama (Zuhdi Muhdhor,
2003). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 pengertian pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanitasebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga)yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-


masing agama dan kepecayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang
menurut perundangan-undangan yang berlaku. Perkawinan adalah salah satu
bentuk ibadah yang kesucianyaperlu di jaga oleh kedua belah pihak baik suami
maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia
sejahtera dan kekal selamanya. Pekawinan memerlukan kematangan dan
persiapan fisik dan mental karena nikah/kawin adalah sesuatu yang sakraldan
dapat menentukan jalan hidup seseorang (Karsayuda, 2006).

2.2 Hukum Pernikahan Islam

Hukum dan Pelaksanaan Nikah

Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyahh) adalah mubah. Yakni tidak mendapat
pahala bagi orang yang mengerjakaan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi
orang yang meninggalkanya.

3
Nikah menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:

1. Kemungkinana bisa menjadi sunnah bila nikah menjadikan sebab


ketenangan dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang
mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang yang
meninggalkan.
2. Kemungkinan bila menjadi wajib bila nikah menghindarkan dari perbuatan
perzinaan dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala
bagi orang mengerjakan dan mendapat anacaman siksa bagi orang yang
mengerjakan dan mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan.
3. Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat
pahala bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi
orang yang mengerjakan (Muhammad Bagir, 2008).

Menurut hukum Islam pratik nikah ada tiga perkara:

1. Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata
cara yang di atur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya.
Nikah seperti ini mendapat pahala dari allah SWT.
2. Nikah yang sah tetapi Haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar
sesuai tata cara yang di atur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak
mengetahui ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.
3. Nikah yang tidak sah dan haram ialah: pelaksanaan akad nikah yang tidak
sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fikih pperniikahan, karena tidak
mengetahui ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik
nikah seperti ini mengakibatkan dosa (Muhammad Bagir, 2008).

Dasar Pernikahan Menurut Agama Islam

a. Dasar hukum Agama pernikahan/perkawinan (Q.S 24 An-Nur :32)


“Dan Kawinlah orang-orang yang sendiri diantara kamu dan mereka yang
berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”
b. Tujuan Pernikahan/Perkawinan (Q.S 30 An Ruum : 21)
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanya ialah dia menciptakan untukmu
pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

4
tentram kepadanya, dan dijadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar” terdapat tanda” bagi kaum
yang berfikir.”

Tujuan Pernikahan Dalam Agama Islam

a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.


Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan).
Bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang
sekarang seperti: berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo,
dan lain sebagainya yang telah menyimpang jauh dan diharamkan oleh
islam.
b. Untuk membentengi akhlak yang luhur.
Sasaran utama dari dasyari’atkannya pernikahan dalam islam di antaranya
ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji
yang telah menurunkan martabat manusia yang luhur. Islam memandang
pernikahan dan pembentukan keluarga seabagai sarana efektif untuk
memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi
masyarakat dari kekacauan. Rosullullah Shallallahu’alaihi wasalam
bersabda: “Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian
berkemampuan untuk menikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan) dan
baranga siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum),
karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”
c. Utuk menegakan rumah tangga yang islami.
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa islam membedakan adanya Thalaq
(percerian). Jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakan batas-
batas Allah, sebagai firman Allah: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali,
setelah itu boleh di rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum”, maka tidak ada dosa atas

5
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah SWT, maka janganlah kamu
melarangnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum allah mereka
itulah orang-orang yang zalim” (Al Baqoroh :229).

Yakni keduanya suadah sanggup melaksanakan syari’at Allah SWT. Dan


dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakan
batas-batas Allah SWT. Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat
di atas: “ Kemudian jika suami mentalaqnya (sudah talaq yang kedua)
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga diniikahkan dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk
nikah kembali, jka keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum”, diterangkanya kepada kauum yang mau mengetahui (Al-
Baqoroh: 230).
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami dan istri
melaksanakan syariaat Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakanya
rumah tangga berdasarkan syariaat islam adalah wajib. Oleh karena itu,
setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumahtangga yang
islami, ajaran islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon
pasangan yang ideal yaitu: 1. Sesuai kafa’ah; 2. shalih dah shalihah.
d. Memilih yang salih dan salihah
Lelaki yang hendak menikah harus memilih wanita yang salihah dan
wanita harus memilih laki-laki yang salih. Menurut Al-Qur’an: “Waita
yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”(An-
Nisaa: 34). Menurut Al-Qur’an dan hadist yang shahih diantara ciri-ciri
wanita yang salih ialah: “ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rosul, memakai
jilbab (pakaian) yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer
kecantikan (tabarrui) seperti wanita jahiliah (Al-Ahzab :32)

6
Tidak berdua-duaan dengan laki-laki bukan muhram, ta’at kepada orang
tuadalam kebaikan, ta’at kepada suami dan baik kepada dan lain
sebagainya”. Bila kriteria ini dipenuhi insya Allah rumah tangga yang
islami akan terwujud. Sebagai tambahan, rosullulah shallallahualai wa
salam mengajarkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang
agar dapat melahirkan generasi penerus umat.
e. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
Menurut konsep islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah
dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah
tanngga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di
samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Sampai-sampai
bersetubuh (berhubungan suami-istri) pun termasuk ibadah (sedekah).
Raosullallahu’’alaihi wa salam bersabda : “Jika kalian bersetubuh dengan
istri-istri kalian termasuk sedekah”. Mendengar sabda Rosullallah iitu para
sahabat keheranan dan bertanya: “wahai rosulullah, seorang suami yang
memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?”
Rosulullah menjawab:”Bagaimana menurut kalian jika mereka (para
suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukanlah mereka berdosa?”
jawab para sahabat:”Ya Benar”. Beliau bersabda lagi: “Begitu pula kalau
mereka bersetubuh dengan istrinya (ditempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala.”(Hadist Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i
dengan sanad yang Shahih).
f. Untuk mencari keturunan yang salih dan shalihah
Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan
mengembangkan bani adam. Allah berfirman: “Allah telah manjadikan
dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari
istri-istri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-
istri kamu itu. Anak-anak dan cucu-cucu,dan memberimu rezeki yang
baik-baik.maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan
mengingkarinikmat Allah?”(An—Nahl:72).

Sehinggga banyak telihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki akhlaq islami
sebagai akibat pendidikan yang salah. Oleh karena itu suammi istri bertanggung

7
jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anaka-anaknya ke jalan yang
benar.

Islam mengandung bahwa pembentukan keluarga merupakan salah satu jalan


untuk merealisasikan tujuan-jujan yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan
berdasarkan islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap
kaum muslimin dan ekstensi umat islam (Baidan, 2001).

Hikmah Sebuah Pernikahan

Allah tidak akan pernah memerintahkan kepada hambaNya akan suatu hal yang
tak memberi manfaat. Termasuk suatu hal yang tak ada hikmahnya. Maka karena
itu jika memberi manfaat. Termasuklah suatu hal yang tak ada hikmahnya . maka
karena itu, jika kita selalu berpedoman terhadap al-Qur’andan al Hadiz akan kita
dapatkan hikmah dibalik kepatuhan kita terhadap ajaran Allah SWT. Termasuk di
sini disebutkan akan hikmah dalam suatu pernikahan:

1. Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketentraman.


2. Memelihara kesucian diri
3. Melaksanakan Tuntutan Syariat
4. Menjaga Keturunan (Baidan, 2001).

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pernikahan Menurut Islam

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila


dilihat dari segi etnis, suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani
kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan
dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup (bandingkan
dengan weltanchaung atau world view) dan interaksi antar individunya. Yang
menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah
hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat
beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang
selanjutnya kita sebut sebagai “Pernikahan Beda Agama” (Dedi Junaidi, 2002).

Pernikahan merupakan bagian dari fitrah manusia. Di Indonesia seorang Muslim


yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk
menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama.
Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang
beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir
pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir
pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk (Ibrahim Hosen, 2003).

Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di


masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran
nilai agama menjadi lebih dinamis (Ikhtiyanto, 2003). Seorang Muslimin dan
Muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-
Muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas
beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada.
Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan
masyarakat yang mempunyai ideologi radikal terhadap agama. Masalah ini
menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing
pihak memiliki argumen rasional dan logis yang berasal dari penafsiran mereka

9
masing-masing terhadap dalil-dalil Syar‟i tentang Pernikahan Beda Agama
(Bakry, 2009).

3.2 Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Islam

Diskursus mengenai masalah Perkawinan Beda Agama dalam wacana keislaman


memang sangat menarik dan selalu hangat untuk didiskusikan, karena hal itu
selain menyinggung persoalan teologi juga akan menyinggung kondisi sosial.
Adapun mengenai masalah Pernikahan Beda Agama ini sebenarnya terbagi dalam
tiga kasus:

4 Perkawinan laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim.

Untuk pernikahan antara laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim, ulama
sepakat mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang
wanita Muslim haram hukumnya dan pernikahannya pun tidak sah bila menikah
dengan laki-laki non Muslim (Ibrahim Hosen, 2003).

5 Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non Muslimah (Musyrik).

Mengenai perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non Muslimah (Musyrik).


Dalam hal ini al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 221 dijelaskan: “Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman” (Ibrahim
Hosen, 2003).

Ayat ini turun bertalian dengan kejadian Abi Martsad Al-Ghanawi, yang juga di
sebut orang Martsad Ibnu Abi Martsad, sedang namanya sendiri Kun Nas bin
Hashin Al Ghanawi. Dia dikirim oleh Rosullullah secara rahasia di Mekkah untuk
mengeluarkan seorang sahabatnya dari sana. Sedang di Mekkah pada jaman
jahiliyah dulu dia punya teman perempuan yang dicintainya, namanya “Inaq”,
perempuan ini lalu datang kepadanya, maka kata Martsad kepadanya:
”Sesungguhnya Islam telah mengharamkan perbuatan-perbuatan jahiliyah dulu.”
Lalu kata Inaq: “Kalo begitu kawini saja saya.” Jawab Martsad: “Nanti saya
minta ijin dulu kepada Rosulullah.” Lalu dia datang pada Rosulullah minta izin.
Tetapi Beliau melarang mengawininya, sebab ia sudah Islam sedang perempuan
itu masih musyrik (Ibrahim Hosen, 2003).

10
6 Laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl Kitab

Yang terakhir yaitu seorang laki-laki Muslim dilarang menikah dengan wanita
non Muslim kecuali wanita Ahli Kitab seperti yang disebut dalam surat Al
Maidah ayat 5 (Ibrahim Hosen, 2003).

Ibnul Mundzir berkata: Tidaklah benar bahwa ada yang melarang seorang sahabat
yang mengharamkan kawin dengan perempuan Ahli Khitab (Sayyid Sabiq, 1980).
Kawin dengan perempuan Ahli Kitab sekalipun boleh tapi hukumnya makruh.
Karena adanya rasa tidak aman dari gangguan- gangguan keagamaan bagi
suaminya atau bisa saja ia menjadi alat golongan agamanya. Jika perempuannya
dari golongan Ahli Khitab yang bermusuhan dengan kita (harbi), maka dianggap
lebih makruh lagi sebab berarti akan memperbanyak jumlah orang yang menjadi
musuh kita (Sayyid Sabiq, 1980).

Golongan Hanafi berpendapat setiap orang yang memeluk agama dan mempunyai
Kitab Suci seperti kitab suci Daud yang bernama Zabur, maka halal kawin dengan
mereka dan memakan sembelihan mereka selama mereka tidak berbuat syirik.

Jadi mereka sama dengan golongan Yahudi dan Nasrani. Tetapi golongan syafeii
dan sebagian golongan Hambali berpendapat bagi kita kaum Muslimin tidak
halal kawin dengan perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka. Di
samping itu kitab-kitab dari umat sebelum kaum Yahudi dan Nasrani isinya
sekedar nasehat dan perumpamaan, dan sama sekali tidak berisi masalah hukum.
Oleh karena itu tidaklah kitab-kitab suci diatas dapat disebut sebagai kitab-kitab
suci yang berisi syari‟at.

6.2 Status Perwalian dalam Kasus Perkawinan Beda Agama

Perwalian yang dimaksud dalam kajian ini adalah hak diberikan oleh syariat yang
membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa di
luar kerelaan dan persetujuan dari orang yang diperwalikan, dalam hal perkawinan
(Muhammad Bagir, 2008).

Dalam Kamus Umun Bahasa Indonesia, perwalian berasal dari kata wali yang
berarti pengasuh pengantin. Perwalian diartikan dengan segala sesuatu mengenai

11
urusan wali (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Dalam hal ini yang
dimaksud adalah pengasuh bagi pengantin perempuan pada saat melangsungkan
perkawinan, demikian pula dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wali nikah
termasuk salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi, dengan syarat-syarat
sebagaimana terdapat dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
“Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki -laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, aqil dan baliq”. Kalau wali nikah sebagaimana
terdapat dalam KHI tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinannya tidak sah
berdasarkan hadis Nabi saw yang artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, telah mengabarkan kepada kami
Syarik bin Abdullah dari Abu Ishaq dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah
telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abu Ishaq dan diganti dengan
riwayat: telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Basyar, telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dan Isra`il dari Abu Ishaq:
diganti dari jalur, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abu Ziyad, telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab dari Yunus bin Abu Ishaq dari Abu
Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali." (Abu Isa At
Tirmizi) berkata: "Hadits semakna diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas, Abu
Hurairah, 'Imran bin Hushain dan Anas”.

Masalah wali nikah, jumhur ulama sepakat bahwa perempuan tidak boleh
menikahkan dirinya dan tidak pula menikahkan perempuan lainnya, sebab akad
77
perkawinan itu tidak dianggap terjadi. Keharusan adanya wali bagi perempuan,
para ulama berpedoman pada Q.S. an-Nur/ 24: 32 dan Q.S. al-Baqarah/ 2: 221.

Menurut mereka bahwa dalam Q.S. an-Nur/ 24: 32 dan Q.S. al-Baqarah/ 2: 221
Allah SWT menyeru kepada laki-laki sebagai wali untuk menikahkan, bukan
kepada perempuan, seolah-olah Allah menyeru, wahai para wali (kaum laki-laki)
nikahkanlah orang-orang yang dalam perwalianmu yang masih sendirian, dan
jangan nikahkan orang-orang yang dalam perwalianmu dengan orang-orang
musyrik (Sayyid Sabiq, 1983). Hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan

12
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.

Adapun yang menjadi persyaratan seseorang untuk dapat menjadi wali dalam
pernikahan adalah laki-laki merdeka (bukan budak), berakal (tidak gila), baliq
(telah dewasa), dan beragama Islam. Oleh karena itu, jika dalam sebuah
perkawinan yang menjadi wali adalah orang yang tidak beragama Islam, maka
perwalian tersebut tidak sah serta perkawinannya pun menjadi batal. Hal ini pula
disebutkan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (1), sebagai berikut: “yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam, yakni muslim, aqil dan baliq”.

Jika seorang perempuan yang beragama Islam melangsungkan perkawinan,


sedang wali yang menikahkannya beragama selain Islam, maka dalam hal ini
berlaku baginya wali hakim. Adapun syarat mernjadi wali hakim sama dengan
persyaratan wali nikah pada umumnya, yakni Islam, baliq, laki -laki dan merdeka.
Kedudukan wali hakim ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim terdapat dalam pasal 1 poin
(b).
“Wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang
ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita
yang tidak mempunyai wali”.

Berdasarkan hadis dan penjelasan undang-undang tersebut, maka status perwalian


dalam kasus perkawinan beda agama tidak diperbolehkan, sebab seorang yang
menjadi wali nikah baik wali nasab maupun wali hakim telah ditentukan syarat-
syaratnya yakni seorang laki-laki, baliq dan beragama Islam. Demikian pula
seorang perempuan yang di bawah perwalian harus beragama Islam (Djalalludin,
2009).

6.3 Hukum Kewarisan dalam Perkawinan Beda Agama

Persoalan kewarisan tidak terlepas dari istilah pusaka -mempusakai. Istilah ini
berfungsi sebagai pengganti kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang
yang meninggal dunia dan orang yang ditinggalkan. Pewaris dalam bahasa Arab

13
muwarrits yakni orang yang meninggal dunia secara hukum dan ahli warisnya
berhak mendapatkan harta peninggalannya, ahli waris adalah orang yang
mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris, sedang harta warisan atau
harta peninggalan dalam bahasa arabnya tarikah, yakni harta dapat dialihkan dari
pewaris kepada ahli waris. Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur
dalam pasal 171 poin (a).

“Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak


kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”

Dasar hukum kewarisan dalam Islam diterangkan dalam beberapa ayat Alquran,
seperti terdapat dalam Q.S. an-Nisa 4: 7 yang artinya:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan”.

Ayat ini turun berkenaan dengan adat kebiasaan kaum jahiliyah yang tidak
memberikan hak waris kepada perempuan dan anak laki-laki yang belum dewasa.
Dalam sebuah kisah diterangkan ketika Aus bin Tsabit meninggal, dia
meninggalkan dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki yang
belum dewasa. Anak pamannya yang bernama Khalid dan ‘Arfathah sebagai
asabah mengambil seluruh harta warisan. Istri Aus bin Tsabit menghadap
Rasulullah saw. untuk menerangkan kejadian itu, Rasul saw. menjawab: “saya
tidak tahu apa yang harus saya katakan”, maka turunlah ayat ini sebagai pedoman
hukum waris dalam Islam.

Menyangkut kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum kewarisan,


bagian-bagian yang diperoleh masing-masing serta tata cara pembagiannya,
dijelaskan dalam Q.S. an-Nisa 4: 11-12 yang artinya:
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang

14
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka ia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk dua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. J ika
dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) sesudah (dipenuhi) wasiat yang
dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana”.

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri- istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah
dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka sama-sama dalam yang
sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar
hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan
Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”.

Ayat-ayat tersebut merupakan pedoman bagi umat Islam dalam penetapan dan
pembagian harta warisan, sebab pelaksanaan warisan berdasarkan hukum waris
Islam bersifat wajib.

15
Dalam kajian ini, peneliti menguraikan hukum syar’i yang menjadi penghalang
bagi seseorang dalam menerima harta warisan. Salah satu sebab orang terhalang
menerima harta warisan adalah karena perbedaan agama. 92 Yang dimaksud
dengan perbedaan agama adalah berlainan kepercayaan antara orang yang
mewarisi dengan orang yang mewariskan. Misalnya agama orang yang bakal
mewarisi bukan Islam, sedang agama orang yang bakal diwarisi harta
peninggalannya adalah Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf (b)
dan (c) disebutkan:
(b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan
meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkann
ahli waris dan harta peninggalan.
(c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Penjelasan dalam Kompilasi Hukum Islam ini menerangkan bahwa berlainan


agama menjadi penghalang seseorang untuk dapat menjadi pewaris maupun
menjadi ahli waris. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim.

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu
Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini adalah lafadz Yahya, Yahya berkata; telah
mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua mengatakan; telah menceritakan
kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri dari Ali bin Husain dari Amru bin
Utsman dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak
dapat mewarisi dari orang Muslim."

Hadis ini menjelaskan bahwa orang Islam dan anggota keluarganya tidak boleh
mewarisi orang kafir, sebaliknya orang kafir dan anggota keluarganya tidak boleh
mewarisi orang Islam. Ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah dan Imam Abu Dawud
menetapkan bahwa aneka ragam agama dan kepercayaan selain Islam, maka itu
adalah kafir yang pada hakekatnya mempunyai kesatuan prinsip untuk
menyekutukan Allah SWT.

16
Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 5/ MUNAS VII/ MUI/ 9/
2005, tanggal 26-29 Juli 2005 M/ 19-22 Jumadil Akhir 1426 H tentang Kewarisan
Beda Agama disebutkan:
1) Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antara orang-orang
yang berbeda agama (antara muslim dengan non muslim),
2) pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam
bentuk hibah, wasiat, dan hadiah.

Secara logika, pusaka mempusakai merupakan alat penghubung untuk


mempertemukan ahli waris dengan orang yang mewariskan disebabkan adanya
kekuasaan perwalian dan adanya jalinan rasa tolong menolong antar keduanya.
Oleh karena keduanya terdapat perbedaan-perbedaan dalam hak kebendaan,
seperti hak untuk memiliki, menguasai, dan membelanjakannya sebagaimana
diatur menurut agama mereka masing-masing, maka kekuasaan perwalian antara
mereka menurut hukum tidak ada lagi.

Imam-imam mazhab berpendapat bahwa orang Islam tidak dapat mempusakai


orang kafir dengan sebab apa saja. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. an- Nisa 4:
141 yang artinya:

“… dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan
orang-orang yang beriman”.

Hukum waris dalam Islam menganut asas seagama. Karena itu, segala hubungan
akan gugur manakala antara pewaris dengan ahli waris berbeda agama. Dalam
konteks ini, pelarangan melangsungkan perkawinan beda agama berkaitan dengan
hukum kewarisan dalam Islam. Dari uraian-uraian tersebut dijelaskan bahwa,
orang Islam tidak boleh mewarisi orang di luar Islam, demikian pula sebaliknya.
Perbedaan agama menjadi penghalang seseorang untuk saling mewarisi (Facthur
Rahman, 1994).

17
BAB IV
PENUTUP

Berdasar uraian penjelasan di atas, maka kami mendapatkan kesimpulan sebagai


berikut:
1) Bahwa dalam Islam, pernikahan beda agam pada dasarnya dilarang. Akan
tetapi terdapat pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang
mukmin dan pasangan perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah
para ulama’ berbeda pendapat dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh “ idza
ijtama’a baina al halal wal haram ghuliba al haram” bisa dijadikan solusi
dalam pengambilan hukum sebagai bentuk ihtiyaat atau kehati-hatian dalam
pelaksanaan syariah Islam.
2) Didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan, yaitu tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat
pernikahan beda agama, maka dapat ditegaskan bahwa pernikahan yang
paling ideal sesuai petunjuk QS al-Rūm ayat 21, dan yang dapat membawa
kepada keselamatan di dunia maupun akhirat serta keluarga yang bahagia:
sakinah, mawaddah dan rahmah adalah pernikahan dengan orang yang
seagama.
3) Berdasarkan perspektif hukum Islam dan hukum positif, pernikahan beda
agama dipandang lebih besar madaratnya dari pada maslahatnya. Menurut
hukum Islam, pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahlulkitab (Yahudi
dan Kristen), sedangkan hukum positif tidak memberi ruang membolehkan
pernikahan beda agama. Larangan tersebut didasarkan atas pertimbangan
bahwa pernikahan beda agama dampak negatifnya lebih besar, yang akan
berpengaruh terhadap kelangsungan rumah tangga. Multi keyakinan dalam
sebuah keluarga dapat menyebabkan banyak gesekan, apalagi jika sudah
menyangkut praktik ibadah yang tidak dapat dicampur adukan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bagir, M. 2008. Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat


Para Ulama. Karisma. Bandung.

Bakry. 2009. Kontruksi Metodelogi Hukum Islam dan Komplikasi Kaidah


Prioritas Hukum Islam. Pustaka Mapan. Jakarta.

Baidan. 2001. Tafsir Maudi: Solusi Qur'ani atas Masalah Kontemporer. Pustaka
Pelajara. Yogyakarta.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2006. Kamus Umum


Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta

Djalalludin. 2009. Al-Maslahah Al-Mursalah dan Pembaharuan Hukum Islam


(Suatu Kajian Terhadap Beberapa Permasalahan Fiqh). Kota Kembang.
Yogyakarta.

Hosen, I. 2003. Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan. Pustaka Firdaus.


Jakarta.

Ikhtiyanto. 2003. Perkawinan Campuran dalam Negara RI. Badan Litbang


Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI. Jakarta.

Jalil, A. 2018. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia. Jurnal Diklat Teknis. 6 (2): 47.

Junaidi, D. 2002. Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut


Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akedimika Presindo. Jakarta.

Karsayuda. 2006. Perkawinan Beda Agama. Total Media. Yogyakarta.

Muhammad, I. 1992. Filsafat Hukum Islam. Bumi Aksara. Jakarta.

Muhdhor, Z. 2003. Kamus Kontemporer (al-Ashri) Arab- Indonesia. Multi Karya


Grafika. Yogyakarta.

Sabiq, S. 1980. Fiqh As-Sunnah Jilid II. Da’al Fikri. Beirut.

19
Sahabuddin. 2007. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Lentera Hati.
Jakarta.

Syarifuddin, A. 1990. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Angkasa


Raya. Padang.

Rahman, A. 1994. Ilmu Waris. PT. Ma’arif. Bandung.

20

Anda mungkin juga menyukai