Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perkawinan Beda Agama
Dalam Perspektif 2 Hukum, Hukum Agama dan Negara” yang disusun untuk melaksanakan
tugas Pendidikan Agama Islam.
Kami membuat makalah ini, bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan
perkawinan beda agama dalam perspektif 2 hukum dan kedua, mengetahui dan menganalisis
ketentuan hukum agama dan negara tentang perkawinan beda agama.
Selaku manusia biasa, kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
kekurangan dan kekeliruan yang tidak disengaja. Oleh karena itu kami membutuhkan kritik dan
saran untuk menyempurnakan pembuatan makalah selanjutnya. Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga
sejahtera bahagia di mana suami istri memikul amanah dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di sebutkan bahwa :
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”.
Umumnya setiap orang menginginkan pasangan hidup yang seagama sehingga dapat
membangun keluarga berdasarkan satu prinsip dan akan lebih mudah dalam membangun
kesepahaman dalam hal tujuan hidup ataupun mendidik agama bagi keturunannya. Namun tidak
sedikit pula pasangan yang akan melakukan pernikahan dengan perbedaan keyakinan, hal itu
dapat di mungkinkan karena adanya pergaulan antar manusia yang tiada batas. Berbagai kondisi
tersebut tidak dapat menghindari adanya pernikahan antar agama, ini menjadi hal yang semakin
umum di lingkungan masyarakat. Apalagi Indonesia mengakui lebih dari 1 (satu) agama, sehingga
tidak menutup kemungkinan calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dengan
pasangan yang berbeda dalam hal agama.
Perkawinan beda agama telah menjadi perdebatan sejak lama yang terlihat dalam berbagai
literatur hukum Islam . Di kalangan para ulama perdebatan berawal dari perbedaan dalam
menafsirkan konteks Q.S al-Baqarah: 221 dan al-Maidah: 5 yang berbunyi:
“ Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelum mereka beriman ” Q.S al-baqarah: 221.
“ Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
1
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi ” Q.S al-Maidah: 5. Ayat ini tentang siapa yang dimaksud kafir dan ahli kitab
dalam kedua ayat tersebut dan apakah larangan dalam ayat tersebut masih bersifat relevan
dengan kondisi umat saat ini.
Dalam konteks hukum positif, negara menyerahkan parameter sah atau tidak sahnya
sebuah perkawinan kepada agama masing-masing. Hal ini tertuang dalam pasal 2 ayat (1) dan (2)
undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa : (1)
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu” (2) “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Kemudian diperjelas dengan pasal 8 huruf f UU tersebut bahwa “Perkawinan
dilarang diantara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
yang berlaku dilarang kawin.”
Jadi sah atau tidaknya perkawinan ditentukan oleh hukum agama calon mempelai. Jika
kedua calon mempelai berbeda agama, maka ke absahan perkawinannya di tentukan menurut
agamanya masing-masing. Oleh karenanya, tidak jarang mereka melakukan upacara perkawinan
dua kali menurut agamanya masing-masing. Sedangkan pencatatan perkawinan hanyalah
merupakan persyaratan administrtif saja. Kantor Catatan Sipil diberi kewenangan pencatatan dan
penerbitan kutipan akta-akta bagimereka yang bukan beragama Islam.
Selanjutnya peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan :
Tata cara perkawinan bagi yang beragama Islam oleh pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk,
sedangkan bagi mereka yang bukan beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan pada kantor Catatan Sipil.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.3 Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam
Dalam literatur klasik tidak dikenal kata Perkawinan Beda Agama secara literal dan tidak
ditemukan pembatasan pengertian secara jelas, namun pembahasan yang terkait dengan masalah
tersebut dimasukkan pada pembahasan mengenai wanita yang haram dinikahi atau pernikahan
yang diharamkan, yang antara lain disebut sebagai az-zawaj bi al-kitabiyat, az-zawaj bi al-
musyrikat atau az-zawaj bi ghair al-muslimah (perkawinan dengan wanita-wanita ahli Kitab yaitu
perkawinan dengan wanita-wanita Yahudi dan Nashrani), perkawinan dengan wanita-wanita
musyrik (orang-orang musyrik) dan perkawinan dengan non muslim
Dalam pembahasan hukum Islam, khususnya dalam literatur fiqh klasik, Perkawinan Beda
Agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori: pertama, Perkawinan antara seorang pria muslim
dengan seorang wania musyrik; kedua, Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli
kitab; dan ketiga, Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (sama
adanya musyrik atau ahli kitab) (Zuhdi, 1994: 4 & Syarifudin, 2006: 133-135).
Pertama, perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik dan
sebaliknya. Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim diharamkan menikah dengan seorang
wanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2), 221:
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh hamba
sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan
yang beriman) sebelum mereka berima. Sungguh, hamba sahaya lakilaki yang beriman lebih
baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surge dan ampunandengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Kedua, perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, di dalam
literatur klasik didapatkan bahwa kebanyakan ulama cenderung membolehkan perkawinan
tersebut dan sebagian dari mereka hanya menganggap makruh, mereka merujuk pada QS. Al-
Maidah (5): 5 :
“Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan (sembelihan) ahli
Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuanperempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormtaman di antara yang diberi kitab
sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan
berzina dan bkan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah setelah
4
beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang
rugi.”
Ketiga, perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim atau kafir, para
ahli hukum Islam menganggap perkawinan tersebut dilarang oleh Islam, sama adanya calon suami
dari ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk agama lain yang mempunyai kitab suci
seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk agama kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci.
2.2 Perkawinan Beda Agama dalam Fatwa MUI dan Majelis Tarjih Muhammadiyah
Musyawarah Nasional MUI ke-VII pada tanggal 26-29 Juli 2005 di Jakarta memutuskan dan
menetapkan bahwa: 1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; 2) Perkawinan pria
muslim dengan wanita ahli kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah. Keputusan
fatwa tersebut didasarkan pada pertimbangan: a) bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi
perkawinan beda agama; b) bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengandung perdebatan
di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga mengandung keresahan di tengah-tengah masyarakat;
c) bahwa di tengahtengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda
agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan, dan; d) bahwa untuk mewujudkan dan
memlihara ketenteraman kehidupan berumahtangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa
tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman (MUI, 2011: 477-481). Sementara
Muktamar Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ke XXII, tanggal 12-16 Februari 1989 di
Malang Jawa Timur, menetapkan beberapa keputusan, antara lain tentang Tuntunan Keluarga
Sakinah dan Nikah Antar Agama. Menurut keputusan Muktamar tersebut, nikah antar agama
hukumnya haram. Maka perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahlu kitab atau
wanita musyrik dan perkawinan wanita muslim dengan pria ahlu kitab atau pria musyrik dan kafir
adalah haram (Keputusan Muktamar Tarjih: 301-308). Kedua Institusi keagamaan di atas baik MUI
maupun Majlis tarjih dalam menetapkan status hukum perkawinan beda agama menggunakan
landasan hukum yang hampir sama, yaitu berdasarkan pada Al-Quran, AsSunnah dan Qawaid
Fiqhiyah.
5
Pengertian perkawinan di atas mengadung beberapa aspek. pertama: aspek yuridis, karena
di dalamnya terdapat ikatan lahir atau formal yang melahirkan hubungan hukum antara suami isteri;
kedua: aspek sosial, dimana perkawinan merupakan hubungan yang mengikat dirinya, orang lain
dan masyarakat; ketiga: aspek religius, yaitu dengan adanya tujuan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai dasar dalam pembentukan keluarga yang kekal dan bahagia.
Di Indonesia, Perkawinan Beda Agama, sebelum lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 dikenal
dengan sebutan “Perkawinan Campur”, sebagaimana diatur pertama kali dalam Regeling op de
gemengde Huwelijken, Staatblad 1898 No. 158, yang merupakan Peraturan Perkawinan
Campur/PPC). Dalam PPC tersebut terdapat beberapa ketentuan tentang perkawinan campur
(perkawinan beda agama):
Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang yang di Hindia Belanda tunduk
kepada hukum yang berbeda, disebut Perkawinan Campur.
Pasal 6 ayat (1): Perkawinan campur dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas
suaminya, kecuali izin para calon pasangan kawin yang selalu disyaratkan.
Pasal 7 ayat (2): perbedaan agama, golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat
merupakan halangan pelangsungan perkawinan. Pasal-pasal tersebut di atas menegaskan
tentang pengaturan perkawinan beda agama, bahkan disebutkan, perbedaan agama tidak
dapat dijadikan alasan utnuk mencegah terjadinya perkawinan.
PPC tersebut dikeluarkan secara khusus oleh Pemerintah Kolonial Belanda guna mengantisipasi
perbedaan golongan yang tertuang dalam Indische Staats Religing (ISR) yang merupakan Peraturan
Ketatanegaran Hindia. Pada Pasal 163 golongan penduduk dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
golongan Eropa (teramasuk di dalamnya Jepang); golongan pribumi (Indonesia) dan golongan
Timur Asing kecuali yang beragama Kristen. (Mudiarti Trisnaningsih, 2007: 57)
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:
pertama, dalam perjalanan historisnya, persoalan perkawinan beda agama selalu menjadi
kontroversi di kalangan umat Islam sampai saat sekarang ini dan kedepannya. Hal itu dikarenakan
adanya pihak yang menganggap perkawinan beda agama merupakan sesuatu yang sudah final dan
tidak bisa diganggu-gugat, sementara di sisi lain pihak-pihak yang ingin melakukan rasionalisasi
masalah tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.
Kedua, untuk menentukan status hukum perkawinan beda agama perlu dilakukan
pembacaan ulang terhadap teks-teks yang berpotensi memperkuat dan memperkaya keputusan
yang akan diambil dengan menggunakan pendekatan komprehensif, kontekstual dan multi analisis.
Disamping memperhatikan hail-hasil penelitian terhadap pasangan beda agama, sehingga
keputusan itu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang multikultural tanpa menafikan doktrin-
doktrin dan kebenaran agama serta kearifan lokal yang ada.
7
DAFTAR PUSTAKA