Anda di halaman 1dari 54

TINJAUAN YURIDIS PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

MENURUT SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 2


TAHUN 2023

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum

Dosen Pengampu : Dr. M. Ali Hanafiah Selian S.H

Disurun oleh :

Kelompok 9

Cintania Khoirunis Sullam 11210480000010

Farel Arkan Amijaya 11210480000012

Reyhana Nabila Ismail 11210480000072

Alfiko Yusranda 11210480000100

Muhammad Ferdy Prasetya 11210480000186

Majid Fatih Al-Jamali 11210480000188

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
rejeki serta kesehatan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perkawinan Beda Agama Menurut
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023” ini dengan tepat
waktu.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya
kepada Dr. M. Ali Hanafiah Selian S.H selaku dosen Hukum Antar Tata Hukum
yang telah memberikan tugas pembuatan makalah yang bermanfaat bagi pengetahuan
serta menambah wawasan kami sesuai dengan bidang studi yang sedang ditempuh.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membagi sebagian
ilmu dan pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Adapun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini dan kemajuan penulis di masa yang akan
datang. Selain itu, penulis mengharapkan semoga apa yang tertulis di dalam makalah
ini bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi semua yang memerlukan.

Tangerang Selatan, 10 Oktober 2023

Penulis

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................4
PERMASALAHAN.....................................................................................................4
A. Kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia................................................................4
B. Data Angka Perkawinan Beda Agama di Indonesia......................................................5
C. Dasar Hukum dan Kenyataan Tentang Perkawinan Beda Agama di Indonesia............7
BAB III.......................................................................................................................15
PEMBAHASAN.........................................................................................................15
A. Kerangka Teori dan Konsep........................................................................................15
B. Keterkaitan Pernikahan Beda Agama dengan Hak Asasi Manusia.............................22
C. Urgensi Penetapan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023..............30
D. Respon Positif dan Negatif dari Terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023...................34
E. Perbandingan Hukum Indonesia dengan Hukum Luar Negeri terkait Pernikahan Beda
Agama..................................................................................................................................37
F. Dampak Perkawinan Beda Agama......................................................................42
BAB IV........................................................................................................................45
PENUTUP..................................................................................................................45
A. Kesimpulan..................................................................................................................45
B. Saran.............................................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................47

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan


manusia, kerena perkawinan tidak hanya menyangkut kehidupan pribadi
kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan
masyarakat. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) disebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak sekali
keberagaman baik itu menyangkut suku, ras, adat istiadat bahkan kepercayaan
yang berbeda-beda. Banyaknya keberagaman ini memungkinkan seseorang
untuk melangsungkan pernikahan dengan perbedaan yang dimiliki. Walaupun
perkawinan ini telah ada peraturannya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, tetapi tidak semua aspek persoalan tentang perkawinan diatur dalam
Undang-undang ini. Contonya persoalan mengenai perkawinan beda agama
yaitu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.1
Peraturan mengenai perkawinan beda agama di berbagai Negara sangat
beragam. Sebagian Negara memperbolehkan perkawinan beda agama, dan ada
juga Negara yang melarang perkawinan beda agama. Sedangkan menurut
agama yang diakui di Indonesia dengan tegas melarang adanya perkawinan
yang dilakukan jika kedua calon beda agama. Misalnya menurut agama
Kristen perkawinan beda agama itu tidak sah, karena tidak dilakukan menurut
agama Kristen dan tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam

1
Anggreini Carolina Palandi. Analisa Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Vol 1 No 2. 2013. Hal
196.

1
perkawinan. Agama islam juga melarang setiap orang untuk melaksanakan
perkawinan beda agama karena tidak sesuai dengan aturan agama islam.
Dalam pandangan agama islam, perkawinan yang dilakukan antara dua orang
yang berbeda agama adalah tidak sah. Banyaknya perkawinan beda agama di
Indonesia dikarenakan belum adanya peraturan yang tegas mengenai hal ini.
Meskipun jika dilihat dari sisi hukum agama maka sudah ada larangan
mengenai perkawinan beda agama. Komplikasi Hukum Islam telah mengatur
masalah perkawinan beda agama dalam Pasal 40 dan Pasal 44 Bab VI tentang
Larangan Perkawinan.2
Maraknya perkawinan beda agama yang ada di Indonesia terjadi tidak
hanya disebabkan karena minimnya peraturan mengenai hal tersebut tetapi
juga karena dari masing-masing individu yang tetap ingin melangsungkan
perkawinan beda agama. Oleh karena itu makalah ini akan mengkaji
mengenai peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yaitu, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk
Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan
Antar-Umat Beragama Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.3

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Perkawinan Beda Agama dan teori apa saja
yang berkaitan dengan Perkawinan Beda Agama?
2. Apa keterkaitan Perkawinan Beda Agama dengan Hak Asasi Manusia?
3. Bagaimana respon dari terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023?
4. Bagaimana perbandingan hukum Indonesia dengan hukum luar negeri
terkait Perkawinan Beda Agama?
2
Mardalena Hanifah. Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Vol 2 No 2. 2019. Hal 298.
3
Bintang Ulya Kharisma. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, Akhir Dari
Polemik Perkawinan Beda Agama?. Journal of Scientech Research and Development. Vol 5 No 1.
2023. Hal 479.

2
5. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari Perkawinan Beda Agama?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui apa itu Perkawinan Beda Agama dan teori yang
berkaitan dengan Perkawinan Beda Agama.
2. Untuk mengetahui keterkaitan Perkawinan Beda Agama dengan Hak
Asasi Manusia.
3. Untuk mengetahui respon positif dan negative terhadap SEMA Nomor 2
Tahun 2023.
4. Untuk mengetahui perbandingan hukum Indonesia dengan hukum luar
negeri terkait Perkawinan Beda Agama.
5. Untuk mengetahui dampak-dampak yang terjadi akibat dari Perkawinan
Beda Agama.

3
BAB II

PERMASALAHAN

A. Kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Fenomena perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah sebuah hal


yang baru, perkawinan beda agama ini merupakan sebuah permasalahan yang
hingga kini masih menjadi perdebatan dalam kehidupan masyarakat. Banyak
dampak yang terjadi apabila perkawinan beda agama dilaksanakan misalnya,
status anak yang lahir dari perkawinan beda agama dan penentuan hak ahli
waris. Perdebatan perkawinan beda agama ini masih menjadi perbincangan
bagi para pihak, karena masih adanya perbedaan yang menyatakan boleh atau
tidaknya suatu perkawinan ini dilaksanakan.4
Pada dasarnya semua agama menganjurkan agar umatnya memiliki
pasangan yang seagama. Hukum perkawinan yang mendasarkan pada hukum
agama dibuktikan melalui Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yang mengatakan bahwa sebuah perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan harus sesuai dengan
hukum agamanya.5 Akan tetapi banyak orang yang tetap melangsungkan
perkawinan beda agama tersebut. Indonesia sendiri merupakan Negara yang
masyarakatnya masih banyak melaksanakan perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama di Indonesia sudah banyak dijumpai di
berbagai kalangan, mulai dari public figure, pejabat, sampai orang biasa.
Seperti Tamara Bleszynski dengan Mike Lewis yang menikah pada 2 Februari
2010 di Bali, Cornelia Agatha dengan Sony Lalwani yang menikah pada 18

4
Hubertus Shaki Bagaskara Oratmangun. Perkawinan Beda Agama Di Indonesia (Studi Kasus :
Penetapan Pn Jakarta Selatan Nomor 1139/PDT.P/2018/PN.JKT.SEL.). Vol 3 No No 2. 2021. Hal 95.
5
Patrick Humbertus. Vol 4 No 2. 2019. Hal 106.

4
Maret 2006 di Hongkong,6 dan Lidya Kandou dengan Jamal Mirdad yang
menikah pada tahun 1986. Lidya Kandou dan Jamal Mirdad mengajukan
permohonan ke Kantor Urusan Agama, namun hal itu ditolak oleh Kantor
Urusan Agama. Kemudian mereka ke Kantor Catatan Sipil, hal ini tidak
dilalui dengan lancar. Langkah selanjutnya Lidya Kandou dan Jamal Mirdad
menempuh jalur pengadilan, dari hal ini Hakim mengabulkan permintaan
mereka.7
Karena banyak perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia dan
disahkan oleh Pengadilan, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Edaran MA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam
Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat
Beragama Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Dengan dikeluarkannya
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang ditujukan kepada Ketua/Kepala Pengadilan
Tinggi Banding dan Ketua/Kepala Pengadilan Tingkat Pertama diharapkan
semua Hakim tunduk pada SEMA tersebut. SEMA sendiri ditunjukan kepada
hakim, ketua pengadilan, panitera, ataupun pejabat dalam lingkungan
peradilan sehingga sesuai dengan sifat aturan kebijakan yang mengatur
kedalam internal.

B. Data Angka Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Program konseling yang dilakukan oleh ICRP (Indonesian Conference


on Religion and Peace) pertama kali dilakukan pada bulan November 2004,
kemudian mulai berhasil mengawinkan pasangan beda agama pada bulan
April 2005. Hal tersebut menunjukkan bahwa program konseling ini telah
berjalan selama delapan belas tahun lamanya. Per-31 Desember 2022, sudah
tercatat sebanyak 1.566 pasangan yang berhasil melangsungkan perkawinan

6
Zulfadhli. Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Vol 2 No 6. 2021. Hal 1852.
7
Fakhrurrazi M. Yunus. Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan (Tinjauan Hukum Islam). Vol 20 No 2. 2018. Hal 148.

5
beda agama melalui program tersebut, sebagaimana terlampir pada table
berikut:

Dengan data di tabel tersebut bahwasannya kita ketahui sudah ada


1.566 kasus perkawinan beda agama di Indonesia melalui program ICRP.
Dengan data tersebut berarti perkawinan beda agama di Indonesia masih
sangat marak terjadi, padahal sudah ada Undang-Undang yang mengatur
tentang hal tersebut.
Jumlah pernikahan pasangan beda agama di Indonesia semakin
meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Penelitian
Agama dan Perdamaian (Indonesian Conference on Religion and
Peace/ICRP), pada tahun 2005 hingga Juli 2023, terdapat 1.645 pasangan
beda agama yang menikah. Data ini diambil setelah SEMA No. 2 Tahun 2023

6
dikeluarkan, namun dengan data perkawinan beda agama di Indonesia ini
masih terus mengalami peningkatan.

C. Dasar Hukum dan Kenyataan Tentang Perkawinan Beda Agama di


Indonesia

1. Pengaturan Perkawinan Beda Agama dalam Undang-Undang


Perkawinan
Keadaan hukum perkawinan di Indonesia begitu beragam
sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan karena
dilatarbelakangi adanya ketentuan Pasal 131 dan 163 Indische
Staatsregeling (IS) yang menggolongkan penduduk di Hindia Belanda
menjadi 3 (tiga) golongan yaitu golongan Eropa, Timur Asing dan Bumi
Putera. Setiap golongan penduduk berlaku sistem hukum masing-masing
yang membedakan golongan satu dengan golongan lainnya.
Adanya perbedaan sistem hukum tersebut menimbulkan
permasalahan hukum diantaranya terkait dengan perkawinan yang
dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita yang berbeda agama
atau kepercayaan yang selanjutnya disebut perkawinan beda agama. Pada
saat itu, perkawinan beda agama termasuk dalam perkawinan campuran
yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau
Peraturan tentang Perkawinan Campuran. Pasal 1 GHR menyebutkan
bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilaksanakan oleh
orang di Indonesia yang baginya berlaku hukum yang berlainan. Lebih
lanjut, Pasal 7 ayat (2) GHR menyebutkan bahwa perbedaan agama,
golongan atau turunan tidak mungkin merupakan penghalang dalam
melakukan perkawinan. Berdasarkan pengaturan GHR itu, perkawinan
beda agama di Indonesia dapat dilaksanakan dan tidak terdapat halangan

7
dalam melangsungkan perkawinan beda agama.8
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawian9. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai unifikasi hukum perkawinan di Indonesia secara
eksplisit tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Pengaturan
perkawinan beda agama di Indonesia dilihat berdasarkan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan agama yang diakui di
Indonesia.
a. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan


oleh seorang pria dan seorang wanita yang memiliki agama yang
berbeda.10 Terdapat dua pendapat mengenai perkawinan beda agama
dalam perspektif Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pendapat pertama menyatakan perkawinan beda
agama dilarang karena terdapat beberapa pasal yang dapat dijadikan
dasar larangan perkawinan beda agama yang tercantum dalam Pasal 2
8
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review
On Interfaith Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human Rights) , Jurnal
Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.6 (Juni 2021), h. 513-514.
9
Tim Pengkajian Hukum: Abdul Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda
Agama (Perbandingan Beberapa Negara), (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional(Bphn)
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2011), h. 84.
10
Setyaningsih dan Aline Gratika Nugrahani, Buku Ajar Hukum Perkawinan, (Depok: PT Rajawali
Buana Pusaka, 2021), h. 133.

8
ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.11
Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Kemudian dalam penjelasan pasal ini disebutkan
bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya. Artinya bahwa hukum masing- masing agama
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan ini, maka undang-undang menyerahkan
kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan
syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut selain cara-cara dan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara. Jadi, suatu
perkawinan apakah dilarang atau tidak, selain tergantung kepada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum masing-
masing agama.
Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, perkawinan
beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum
agama-agama di Indonesia. Sehingga perkawinan beda agama tidak
dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang
11
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review
On Interfaith Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human Rights), …, h.
514.

9
diakui di Indonesia. Hal ini kemudian diperkuat dengan Pasal 8
huruf f yang menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang untuk melakukan perkawinan.
Sebaliknya, pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan
beda agama di Indonesia diperbolehkan. Hal ini didasarkan kepada
tidak ditemukannya peraturan yang mengatur mengenai perkawinan
beda agama sehingga menimbulkan kekosongan hukum yang
berakibat pada ketidakpastian hukum. Dengan kekosongan hukum
tersebut, dimungkinkan pelaksanaan perkawinan beda agama dapat
dilakukan di Indonesia dengan dasar hukum berupa yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 yang
mengabulkan permohonan perkawinan seorang pria dengan seorang
wanita yang notabene berbeda agama. Dalam keadaan demikian,
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagai satu-
satunya instansi yang berwenang melangsungkan perkawinan bagi
kedua calon suami istri yang berbeda agama yang dianut wajib
menerima pemohon untuk perkawinannya dicatatkan tersebut.12

b. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama yang Diakui di


Indonesia

Menurut Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden Republik


Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama menyebutkan bahwa agama yang diakui
di Indonesia meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu (confusius). Setiap agama memiliki pengaturannya
12
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review
On Interfaith Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human Rights), …, h.
515-516.

10
masing-masing terhadap perkawinan beda agama. Sebagai contoh,
agama Islam pada dasarnya melarang adanya pernikahan beda
agama. Larangan ini diperkuat dengan ketentuan Kompilasi Hukum
Islam yang disebarluaskan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
Dalam Bab 4 KHI mengenai Larangan Kawin, Pasal 40 huruf c
secara tegas menyatakan bahwa perkawinan dilarang apabila
dilakukan antara seorang pria muslim dengan wanita yang tidak
beragama Islam. Sebaliknya, dalam Pasal 44 juga melarang seorang
wanita yang beragama Islam melakukan perkawinan dengan pria
yang tidak beragama Islam. Lebih lanjut menurut ulama dari empat
mazhab agama Islam di Indonesia yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa
hukum perkawinan beda agama yang dilakukan oleh seorang wanita
beragama Islam (muslimat) dengan seorang pria beragama non
muslim hukumnya adalah tidak sah bahkan mencapai taraf haram.
Begitu juga hukum perkawinan beda agama antara seorang pria
beragama Islam (muslim) dengan seorang wanita non muslim pada
prinsipnya boleh dinikahi sepanjang wanita tersebut merupakan
Kitabiyah. Akan tetapi hal itu hanya berlaku sebelum diturunkannya
Al-Qur’an, sehingga apabila dilaksanakan pada saat ini hukumnya
tetaplah haram.13
Sementara itu, agama-agama lain yang diakui di Indonesia
memiliki ketentuan berbeda-beda terkait perkawinan beda agama ini.
Berdasarkan kesepakatan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan
Gereja Kristen Indonesia (GKI), agama Kristen membolehkan
perkawinan antara pemeluk agama Kristen dengan pemeluk agama
13
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review
On Interfaith Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human Rights), …, h.
516.

11
lain, dengan syarat mereka harus menikah di gereja dan anak yang
lahir dari perkawinan itu harus dididik menurut ajaran agama Kristen.
Sementara itu, agama Katolik melarang praktik perkawinan beda
agama.
Ajaran agama Hindu juga tidak memberikan peluang bagi
pelaksanaan perkawinan beda agama, karena perkawinan hanya bisa
disahkan menurut hukum Hindu jika kedua mempelai telah beragama
Hindu. Dengan demikian apabila suatu perkawinan ingin disahkan
menurut hukum Hindu, maka mempelai yang tidak beragama Hindu
harus menjadi penganut agama Hindu melalui ritual Sudhiwadani.
Agama Buddha pada hakikatnya tidak melarang perkawinan
beda agama, karena yang ditekankan dalam perkawinan adalah ajaran
moral. Dalam agama Buddha, kawin beda agama dapat dilaksanakan
selama calon mempelai yang tidak beragama Buddha mau mengikuti
tata cara perkawinan menurut agama Buddha, meskipun tidak
diharuskan memeluk agama Buddha. Sementara itu dalam agama
Konghucu, diterangkan bahwa perbedaan golongan, bangsa, budaya,
etnis, maupun agama bukanlah penghalang dalam dilaksanakannya
permikahan.14

c. Pengaturan Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang


Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Di Indonesia terdapat dua lembaga yang mencatat
perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap
masyarakat yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS)
terhadap masyarakat yang beragama non Islam.

14
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia, …, h. 517.

12
Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.15
Namun bagaimana dengan perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam
pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran
menurut Pasal 57 UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang
terjadi antara WNI dengan WNA, bukan beda agama. Masyarakat
yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi
perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan.
Selanjutnya muncul pertanyaan bahwa apakah perkawinan beda
agama dapat dicatatkan?
Adapun menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.16 Pencatatan perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a.
perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Hal ini dinilai dapat
membuka peluang bagi perkawinan beda agama untuk memperoleh
legitimasi hukum jika pasangan suami istri yang menikah berbeda
keyakinan agama mengajukan permohonan pencatatan perkawinan
ke pengadilan dan pengadilan mengabulkannya, sehingga dengan

15
Tim Pengkajian Hukum: Abdul Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda
Agama (Perbandingan Beberapa Negara), …, h. 86-87.
16
Indonesia, Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, (Jakarta: LN.2013/No. 232, TLN No.
5475, LL SETNEG: 26 HLM, 2013) Pasal 35.

13
dasar putusan dari pengadilan tersebut pasangan suami istri tersebut
dapat mencatatkan perkawinanya.

14
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori
a. Teori Hukum Kodrati
Tokoh yang dianggap paling berjasa dalam mendefinisikan dasar
teori hukum kodrati adalah John Locke dan JJ Rousseau. John Locke
mengemukakan pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam
hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang
merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh Negara.
Melalui suatu kontrak sosial atau social contract, perlindungan atas hak
yang tidak dapat dicabut diserahkan kepada negara. Jika penguasa
negara mengabaikan kontrak sosial, maka rakyat di negara itu bebas
menurunkan sang penguasa dan menggantinya dengan suatu pemerintah
yang bersedia menghormati hak tersebut.17

Sedikit berbeda dengan John Locke, JJ Rousseau menegaskan


bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak kodrati individu melainkan
hak kedaulatan warga negara sebagai suatu kesatuan. Setiap hak yang
diturunkan dari suatu hukum kodrati akan melekat pada warga negara
sebagai satu kesatuan. Pada intinya, teori hukum kodrati melihat HAM
lahir dari Tuhan sebagai bagian dari kodrat manusia. Ketika manusia
lahir maka HAM sudah melekat dalam dirinya dan hak tidak dapat
diganti apalagi dihilangkan, apa pun latar belakang agama, etnis, kelas
sosial, dan orientasi seksual mereka.18

17
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 72.
18
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 72.

15
b. Teori Positivisme atau Utilitarian
Menurut Jeremy Bentham, eksistensi manusia ditentukan oleh
tujuan atau utilitas mencapai kebahagiaan bagi sebagian besar orang.
Penerapan hak atau hukum ditentukan oleh apakah hak atau hukum
tersebut memberikan kebahagiaan terbesar bagi sejumlah manusia yang
paling banyak. Setiap orang pada dasarnya memiliki hak, namun hak
tersebut bisa hilang jika bertentangan dengan kebahagiaan dari
mayoritas orang lain. Artinya, kepentingan individu harus berada di
bawah kepentingan masyarakat. Karena pandangan yang mengutamakan
banyak orang tersebut, teori positivisme dikenal juga sebagai teori
utilitarian.19

c. Teori Keadilan
Teori keadilan lahir dari kritik terhadap teori positivisme. Tokoh
yang mencetuskan teori keadilan adalah Ronald Drowkin dan John
Rawls. Teori Drowkin mendasari negara memiliki kewajiban untuk
memperlakukan warganya secara sama. Artinya, negara menggunakan
nilai moral, kekuasaan, dan pendasaran lainnya sebagai alasan untuk
mengesampingkan HAM, kecuali prinsip perlakuan sama tersebut.
Sedangkan, menurut Rawls, setiap individu memiliki hak dan kebebasan
yang sama. Namun, hak dan kebebasan tersebut kerap tidak dinikmati
secara bersama. Sebagai contoh, terdapat hak bagi setiap orang untuk
memperoleh pendidikan, tapi hak ini pada faktanya tidak dapat
dinikmati oleh semua orang karena kemiskinan. Untuk mengatasi isu
tersebut, Rawls memperkenalkan asas perbedaan atau difference

19
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 73.

16
principle yang menyatakan bahwa distribusi sumber daya yang merata
hendaknya diutamakan dalam masyarakat.20

d. Teori Hukum Progresif


Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem
hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan
diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Tujuannya agar para
penegak hukum tidak melihat suatu peraturan atas apa yang tertulis saja.
Seperti yang terjadi selama ini dimana penegak hukum telah terjebak
dalam cara berhukum positivisme yang sempit dan kurang diliputi
semangat untuk mengeksplorasi pemenuhan rasa keadilan yang lebih
konstektual.21

Tokoh yang melahirkan teori hukum progresif ini adalah Satjipto


Rahardjo, teori ini berawal dari keprihatinan beliau terhadap
keterpurukan hukum di Indonesia, beberapa kritiknya yang sering
dilontarkan baik berupa wacana lisan maupun tulisan antara lain
dikatakan bahwa: “Hukum itu sudah cacat sejak dilahirkan, hal ini
sejatinya adalah sebuah tragedi hukum. Masyarakat diatur hukum yang
penuh cacat, karena ketidakmampuannya untuk merumuskan secara
tepat hal-hal yang ada dalam masyarakat. Akibatnya masyarakat diatur
oleh hukum yang sudah cacat sejak lahir”.22 Progresif berasal dari kata
Progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti
perkembangan zaman, mampu menjawab problematika yang
berkembang dalam masyarakat, serta mampu melayani masyarakat

20
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 73-74.
21
Ridwan, 2008, Memunculkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Substantive, Jurnal Hukum Pro Justitia 26 (2).

22
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progesif, Jakarta: Kompas, hal. 9.

17
dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya aparat
penegak hukum sendiri.

e. Teori Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang berarti
banyak (jamak), sedangkan isme berarti paham. Jadi pluralisme adalah
suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari
banyak substansi.23 Dalam perspektif ilmu sosial, pluralisme yang
meniscayakan adanya diversitas dalam masyarakat memiliki dua
‚wajah‛, konsesus dan konflik. Consensus mengandaikan bahwa
masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan
survive (bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal
tertentu sebagai aturan bersama yang harus ditaati, sedangkan teori
konflik justru memandang sebaliknya bahwa masyarakat yang berbeda-
beda itu akan bertahan hidup karena adanya konflik. Teori ini tidak
menafikkan adanya keharmonisan dalam masyarakat. Keharmonisan
terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama, tetapi karena adanya
pemaksaan kelompok kuat terhadap yang lemah. 24 Pluralitas merupakan
realitas sosiologi yang mana dalam kenyataannya masyarakat memang
plural. Plural pada intinya menunjukkan lebih dari satu dan isme adalah
sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dengan demikian
Pluralisme merupakan suatu sistem nilai atau pandangan yang mengakui
keragaman di dalam suatu bangsa. Keragaman atau kemajemukan dalam
suatu bangsa itu haruslah senantiasa dipandang positif dan optimis
sebagai kenyataan riil oleh semua anggota lapisan masyarakat dalam
menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi makna pluralisme

23
Pius A. P, M. Dahlan, 1994, Kamus Ilmiah Popular, Arkola, Surabaya, Cet. Ke-1, hal. 604.

24
Umi Sumbulah, Islam, 2010, “Radikal dan Pluralism Agama”, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI, Malang.

18
tidak hanya diartikan sebagai sebuah pengakuan terhadap keberagaman
suatu bangsa, akan tetapi juga mempunyai implikasi-implikasi politis,
sosial, dan ekonomi.25

2. Kerangka Konsep
a. Tinjauan Yuridis
Tinjauan yuridis berasal dari kata “tinjauan” dan “yuridis”. Tinjauan
berasal dari kata “tinjau” yang artinya mempelajari dengan cermat. Kata
tinjau mendapat akhiran “-an” menjadi tinjauan yang artinya perbuatan
meninjau. Pengertian tinjauan adalah mempelajari dengan cermat,
memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat (sesudah
menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).26 Tinjauan adalah kegiatan
merangkum sejumlah data besar yang masih mentah kemudian
mengelompokan atau memisahkan komponen-komponen serta bagian-
bagian yang relevan untuk kemudian mengkaitkan data yang dihimpun
untuk menjawab permasalahan. Tinjauan merupakan usaha untuk
menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasil
analisis dapat dipelajari dan diterjemahkan dan memiliki arti.27

Menurut kamus hukum, kata “yuridis” berasal dari kata “yuridisch”


yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.28 Yuridis diartikan
sebagai menurut hukum atau yang ditetapkan oleh undang-undang.
Yuridis adalah semua hal yang mempunyai arti hukum yang diakui sah
oleh pemerintah. Aturan ini bersifat baku dan mengikat semua orang di
wilayah di mana hukum tersebut berlaku, sehingga jika ada orang yang

25
Kementerian Agama Republik Indonesia, “Islam, Pluralisme, dan Multikulturalisme”, diakses pada
10 Oktober 2023. https://www.kemenag.go.id/moderasi-beragama/islam-pluralisme-dan-
multikulturalismenbsp-oqfeej
26
Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
(Edisi Keempat), Gramedia Pustaka Utama, hlm. 1470.
27
Surayin, 2005, Analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: Yrama Widya, hal. 10.
28
Marwan, SM., & Jimmy, P., 2009, Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, hal. 651.

19
melanggar hukum tersebut bisa dikenai hukuman. Yuridis merupakan
suatu kaidah yang dianggap hukum atau di mata hukum dibenarkan
keberlakuannya, baik yang berupa peraturan-peraturan, kebiasaan, etika
bahkan moral yang menjadi dasar penilaiannya. Berdasarkan pengertian
tinjauan dan yuridis dapat penulis simpulkan bahwa tinjauan yuridis
berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami),
suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum.

b. Perkawinan
Pernikahan berasal dari kata nakaha artinya berkumpul dan
zawwaja artinya kawin. Kedua kata ini, merupakan istilah utama al-
Qur’an untuk menikah. Dengan dua istilah yang digunakan, dapat
dikatakan bahwa perkawinan adalah alasan mengapa orang bersatu
untuk membentuk pasangan suami istri. Secara umum, al-Qur’an hanya
menggunakan dua kata untuk menggambarkan hubungan hukum antara
laki-laki dengan perempuan. Secara istilah, pernikahan adalah ikatan
lahir dan batin antara dua insan sebagai pasangan suami istri untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Adapun pengertian
perkawinan menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S. H. Perkawinan
adalah kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Prof. R. Subekti, SH.
Perkawinan adalah hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan
untuk waktu yang lama.29

c. Perkawinan Beda Agama


Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan yang berlainan kepercayaan. Perkawinaan
disebut sah ketika pasangan telah memenuhi peraturan yang telah

29
Agustin Sukses Dakhi, 2019, Perkawinan Beda Agama Suatu Tinjauan Sosiologi, Cet-1,
Yogyakarta: CV Budi Utama, hal. 1-2.

20
ditentukan. Menurut Rusli, SH dan R Tama, SH perkawinan antar
agama adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita karena
perbedaan agama. Maka terdapat dua ketentuan yang berbeda mengenai
syarat dan tata cara perkawinan. Dengan tujuan untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.

Pengertian lain datang dari I Ketut Mandra, SH dan I ketut Artadi


SH yang mengatakan bahwa perkawinan lintas agama adalah ikatan
lahir batin antara pria dengan wanita, masing-masing memiliki
perbedaan agama dan mempertahankan perbedaan agamanya. Sebagai
suami istri untuk membentuk suatu hubungan yang bahagia. Sedangkan
menurut Abdurrahman, disebutkan bahwa perkawinan antar agama yaitu
pernikahan yang dilakukan oleh orang yang berbeda agama dan
kepercayaan. Dari rumusan pengertian perkawinan antar agama oleh
para tokoh, dapat disimpulkan bahwa perkawinan antara dua orang yang
berbeda agama dan masing-masing mempertahankan agamanya sendiri.
Keluarga lintas agama terdiri dari suami istri berbeda agama, misalnya
suami (Kristen) istri (Islam), dan anak-anaknya mengikuti agama sesuai
kesepakatan keluarga.30

d. Konversi Agama
Menurut bahasa konversi agama berasal dari bahasa Inggris
religious conversion artinya masuk agama atau berubah agama. Berarti
konversi agama merupakan suatu proses terjadinya perubahan keyakinan
dan berubah arah dengan keyakinan semula.31 Sedangkan menurut istilah
konversi agama adalah tindakan seseorang masuk atau pindah agama
dalam perilaku yang berlawanan dengan keyakinan sebelumnya. 32
30
Ana Lela F. Ch, dkk, Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi Agama: Studi
Perkawinan Beda Agama di Jember, Jurnal Ilmu Akidah dan Studi Keagamaan (4)1: 121.
31
Bambang Syamsul Arifin, 2008, Psikologi Agama, Bandung: Pustaka Setia, hal. 14.
32
Akhmal Hawi, 2014, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali, hal. 3.

21
Terjadinya konversi agama ada pengaruh bahwasanya faktor yang
melatarbelakangi seseorang melakukan konversi agama. Menurut para
ahli agama, faktor yang mendominasi yaitu faktor dari keyakinan. Tetapi
faktor keyakinan tidak secara langsung diterima. Maka dari itu perlu
adanya menelusuri faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya
seseorang melakukan konversi agama, Menurut Heirich dan
Hendropuspito ada empat faktor yang melatarbelakangi terjadinya
konversi agama yaitu dari faktor pendidikan, faktor keluarga, faktor
individu, dan faktor lingkungan.

B. Keterkaitan Pernikahan Beda Agama dengan Hak Asasi Manusia

Pada dasarnya, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang


dimiliki manusia berdasarkan martabatnya sebagai manusia, bukan diberikan
oleh hukum positif yang berlaku serta sifatnya tidak dapat dihilangkan oleh
sesama manusia. Salah satu instrumen internasional yang menjadi payung
hukum bagi perlindungan HAM adalah Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun
1948. Kendati pada awalnya tidak ditujukan untuk memiliki konsekuensi
hukum, akan tetapi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) telah
meletakkan pengakuan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia, serta dapat
dijadikan standar perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia oleh
negara. Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa: “Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan
tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan untuk membentuk keluarga.”.33
Selain itu, instrumen lain yang mengatur mengenai HAM adalah
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia

33
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 518.

22
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights. Dua hak dasar HAM
yang paling fundamental adalah hak atas kebebasan dan hak atas persamaan,
yang mana hak sipil dan politik meliputi juga hak atas kebebasan melakukan
pernikahan dan membentuk suatu keluarga, sebagaimana diakomodasi dalam
Pasal 23 ayat (2) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Dengan demikian,
dapat dilihat bahwa kedua instrumen HAM tersebut telah mengakui hak
untuk menikah dan berkeluarga tanpa pembatasan agama sebagai hak asasi,
serta menjadi pedoman bagi negara untuk melakukan penegakan dan
perlindungan terhadap hak tersebut.
Dalam hukum positif Indonesia, hak untuk menikah dan membentuk
keluarga juga dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:34 “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.”. Selain itu, jaminan perlindungan terhadap hak
kebebasan untuk menikah dapat ditemukan dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia35, yang menegaskan
bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.”.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sebagai landasan hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara
eksplisit ketentuan mengenai perkawinan antara laki-laki dan perempuan
yang memeluk agama yang berbeda. Akan tetapi sebagaimana yang telah
diketengahkan di muka, perdebatan mengenai boleh atau tidaknya praktik
perkawinan beda agama di Indonesia muncul pula akibat penafsiran dari
34
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: 2002), Pasal
28B.
35
Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: LN. 1999/
No. 165, TLN NO. 3886, LL SETNEG : 29 HLM, 1999), Pasal 10.

23
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan36.
Penafsiran pasal ini melahirkan perdebatan terutama karena klausul
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. Dalam Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa
suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama
dan kepercayaan dari para calon mempelai. Dari pasal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pemenuhan syarat sah perkawinan diserahkan pada
hukum agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dimaknai sahnya
perkawinan adalah apabila dinyatakan sah menurut agama maupun
kepercayaan masing-masing mempelai. Dengan demikian, pasal tersebut
secara relatif dapat meniadakan peluang untuk melaksanakan perkawinan
beda agama apabila agama calon mempelai tidak mengizinkan
dilaksanakannya perkawinan beda agama.
Adapun ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyatakan bahwa setiap perkawinan haruslah dicatat
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bukan merupakan
syarat sah perkawinan dan tidak menentukan keabsahan dari suatu
perkawinan yang telah dilakukan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan
tindakan administratif, yang memberikan kejelasan mengenai status
perkawinan di mata hukum dan menegaskan bahwa perkawinan tersebut
benar-benar terjadi. Dengan demikian meskipun suatu perkawinan tidak
dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku,
perkawinan tersebut akan tetap sah sepanjang dilaksanakan menurut
ketentuan agama dan kepercayaannya masing-masing.

36
Indonesia, Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: LN.2019/NO.186, TLN NO.6401,
JDIH.SETNEG.GO.ID : 4 HLM., 2019), pasal 2.

24
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan seringkali dimaknai bahwa perkawinan harus tunduk kepada
suatu hukum agama. Perkawinan beda agama tidak mendapatkan tempat
menurut hukum apabila penafsiran seperti ini tetap dipertahankan. Karena
perkawinan beda agama tidak mungkin dilaksanakan dengan tunduk pada
hukum suatu agama mengingat terdapat dua agama berbeda yang terlibat
dalam perkawinan ini. Dengan demikian, hal tersebut akan mempersulit
dilaksanakannya perkawinan beda agama sehingga berpotensi menimbulkan
pelanggaran terhadap hak atas kebebasan menikah tanpa dibatasi oleh agama
sebagaimana telah dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik37
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menyerahkan status keabsahan suatu perkawinan kepada hukum
agama kedua mempelai. Hal ini menimbulkan masalah manakala hukum
suatu agama melarang praktik perkawinan beda agama bagi para
pemeluknya. Mengingat ketentuan dalam pasal tersebut menyerahkan status
keabsahan perkawinan pada hukum agama masing-masing, maka ketentuan
mengenai sah tidaknya perkawinan beda agama menurut masing-masing
agama menjadi hal yang penting dalam berlangsungnya perkawinan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa agama Islam,
Katolik dan Hindu tidak dapat mengesahkan perkawinan yang dilaksanakan
antara dua mempelai yang berbeda agama. Sementara itu, agama Kristen,
Buddha dan Konghucu tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama,
di mana perkawinan tersebut dapat tetap dilakukan dengan mengikuti tata
cara dan persyaratan tertentu menurut agama tersebut.

37
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 519-520.

25
Kendati demikian, terdapat ketentuan dalam undang-undang ini yang
dapat ditafsirkan sebagai rintangan bagi pelaksanaan perkawinan beda
agama. Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal ini
mengakomodasi larangan kawin menurut hukum agama, sehingga larangan
kawin dapat saja meliputi larangan-larangan yang tidak tercantum dalam
Undang-Undang Perkawinan, namun dilarang oleh agama yang
bersangkutan. Dengan demikian, pasal ini dapat ditafsirkan bahwa apabila
suatu agama melarang perkawinan yang dilakukan antara pemeluknya
dengan pemeluk agama lain, maka perkawinan tersebut tidak dapat
dilangsungkan. Pasal ini memperkuat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang- Undang Perkawinan yang menyerahkan penentuan sah atau
tidaknya suatu perkawinan pada hukum agama para calon mempelai.
Sulitnya pelaksanaan perkawinan beda agama seringkali membuat
salah satu calon mempelai memilih untuk menundukkan diri atau berpindah
menjadi pemeluk agama yang sama dengan pasangannya, baik memeluk
agama semu maupun menjadi pemeluk agama yang sesungguhnya. Dalam
hal menjadi pemeluk agama yang sesungguhnya, maka mempelai yang
berpindah agama tersebut menjadi pemeluk agama baru secara sungguh-
sungguh dan menjalankan syariat agama baru tersebut sebagaimana seorang
pemeluk agama yang sesungguhnya. Sementara itu dalam beberapa kasus,
calon mempelai hanya melakukan perpindahan agama semu, yakni
berpindah agama hanya untuk memenuhi syarat sahnya perkawinan, lalu
kembali menjadi pemeluk agamanya semula setelah perkawinan itu
dilangsungkan. Perpindahan agama semu ini termasuk dalam penyelundupan
hukum karena hanya dilakukan untuk menyiasati ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

26
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.38
Kesulitan yang dialami oleh pasangan beda agama untuk
melangsungkan perkawinan ini dapat mengancam eksistensi dan penegakan
hak untuk menikah dan membentuk keluarga sebagaimana dilindungi dalam
Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sulitnya pelaksanaan perkawinan
beda agama terutama bagi mempelai yang agamanya tidak memperbolehkan
pelaksanaan perkawinan beda agama dapat mencederai penegakan hak
tersebut. Padahal, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai instrumen
HAM internasional secara tegas juga menyatakan bahwa hak untuk menikah
dan membentuk keluarga merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang
tanpa dibatasi oleh agama
Selain itu, adanya larangan perkawinan beda agama dalam hukum
beberapa agama yang diakui di Indonesia juga dapat mendorong salah satu
pihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut untuk berpindah
agama dan memeluk agama yang sama dengan pasangannya, baik untuk
menjadi penganut agama tersebut untuk seterusnya maupun hanya untuk
memenuhi persyaratan administratif guna pengesahan perkawinan yang
bersangkutan (formalitas). Selain merupakan bentuk penyelundupan hukum,
praktik ini juga berpotensi mencederai jaminan hak atas kebebasan beragama
yang termasuk dalam hak sipil dan politik yang dilindungi dalam Kovenan
Hak-Hak Sipil dan Hak-Hak Politik pula. Pelanggaran atas hak beragama ini
dikarenakan pasangan yang berbeda agama tersebut harus berpindah agama
bukan berdasarkan keinginan dan kehendaknya, melainkan hanya untuk
memenuhi persyaratan administratif untuk melancarkan perkawinan.39
Hak kebebasan untuk beragama di Indonesia dilindungi dalam Pasal
38
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 521.
39
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 522.

27
28E ayat (1) juncto Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang memberikan jaminan hak bagi setiap penduduk
Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing. Negara juga
berkewajiban untuk menjamin kebebasan tersebut. Selain itu, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga memberikan
perlindungan bagi kebebasan beragama dengan menyatakan: “Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.”.
Pada saat ini, terdapat perkembangan dalam hukum positif Indonesia
mengenai perkawinan beda agama dengan ditetapkannya putusan Mahkamah
Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 yang menjadi pedoman hukum bagi
pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah Agung menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak melarang secara tegas perkawinan beda agama sehingga
menimbulkan kekosongan hukum. Sementara kekosongan hukum itu tidak
semestinya dibiarkan berlarut-larut dan menimbulkan dampak negatif bagi
kehidupan masyarakat, contohnya melahirkan praktik penyelundupan
hukum. Selain itu dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung juga
menyatakan bahwa menurut Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, semua warga negara memiliki persamaan
kedudukannya di dalam hukum, di mana hal tersebut mencakup pula
kesamaan hak untuk melangsungkan perkawinan bagi sesama warga negara
meskipun berbeda agama sekalipun, selama tidak dilarang oleh undang-
undang.
Dengan demikian berdasarkan yurisprudensi tersebut, pada dasarnya
Mahkamah Agung menguatkan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia
dalam hukum positif Indonesia, termasuk hak untuk melakukan perkawinan
antara laki- laki dan perempuan yang berbeda agama. Hal ini sejalan dengan
perlindungan hak untuk menikah dan membentuk keluarga serta hak untuk

28
memeluk agama yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta instrumen
HAM internasional yakni Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa hak untuk
menikah dan membentuk keluarga merupakan hak asasi setiap manusia tanpa
dibatasi oleh agama.
Kendati demikian, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1400K/Pdt/1986 belum memberikan kondisi yang berkepastian
hukum terhadap hak untuk melangsungkan perkawinan beda agama di
Indonesia. Hal ini dikarenakan meskipun dalam putusannya Mahkamah
Agung telah memberikan ruang bagi pelaksanaan perkawinan beda agama,
namun Kantor Catatan Sipil masih bisa menyatakan bahwa sebuah
perkawinan tidak dapat dilangsungkan.40
Alasannya tak lain dan tak bukan karena tidak memenuhi ketentuan
Undang- Undang Perkawinan. Dengan demikian, dibutuhkan peraturan
untuk mengisi kekosongan hukum dalam bidang perkawinan beda agama,
karena lapangan hukum ini berkaitan dengan hak asasi manusia yang
perlindungannya menjadi tanggung jawab negara serta rawan terjadi
pelanggaran terhadapnya. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 73 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pembatasan
terhadap hak asasi hanya dapat dilakukan oleh dan berdasarkan pada
ketentuan undang-undang, dan hanya dapat dilakukan untuk penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan
kepentingan bangsa. Tidak adanya ketentuan mengenai perkawinan beda
agama dalam hukum positif Indonesia berpotensi menimbulkan pelanggaran
terhadap hak untuk menikah dan hak untuk memeluk agama yang pada
dasarnya telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan.

40
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 522-523.

29
C. Urgensi Penetapan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara
Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama
dan Kepercayaan.

Tepat pada tanggal 17 Juli 2023, Mahkamah Agung (“MA”) telah


secara resmi mengimbau hakim untuk tidak mengabulkan permohonan
pencatatan perkawinan beda agama. Imbauan tersebut dijelaskan dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk
bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan
Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Penerbitan SEMA
Nomor 2 Tahun 2023 ini merespons dorongan dari pihak-pihak yang
mengkritik putusan beberapa Pengadilan Negeri (“PN”), seperti PN Jakarta
Selatan dan PN Surabaya yang mengabulkan permohonan penetapan
perkawinan beda agama41 sekaligus mengakhiri polemik tentang pencatatan
perkawinan beda agama dan keyakinan yang selama ini terjadi di tengah-
tengah masyarakat.

Peraturan perundang-undangan yang ada selama ini juga masih


memberikan celah hukum kepada pasangan beda serta keyakinan untuk
dapat memperoleh pengakuan terhadap keabsahan pencatatan perkawinannya
melalui penetapan pengadilan. Celah hukum yang selama ini dijadikan
landasan oleh pasangan beda agama dan keyakinan untuk dapat memperoleh
pengakuan tentang keabsahan dan mencatatkan perkawinannya melalui
penetapan pengadilan itu terdapat dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-undang

41
Dwimaya Ruth Diknasya Hutasoit, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Larangan Pencatatan
Perkawinan Beda Agama: Solusi atau Kemunduran Hukum?, (Depok: LK2FH UI, 2023),
https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/surat-edaran-mahkamah-agung-tentang-larangan-pencatatan-
perkawinan-beda-agama-solusi-atau-kemunduran-hukum/ Diakses tanggal 9 Oktober 2023.

30
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:42 “para pihak yang
perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan
didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan perkawinan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas”
Namun, sejak lahirnya Undang-undang 23 Tahun 2006 tentang
Adminitrasi Kependudukan celah hukum bagi pasangan beda agama dan
keyakinan untuk memperoleh keabsahan tentang pencatatan perkawinan
beda agama dan keyakinan menjadi semakin terbuka lebar. Sebab, dalam
Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, telah dinyatakan: “pencatatan perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan
yang ditetapkan oleh pengadilan”.
Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan tersebut di atas sangat bertentangan
(contradiction in terminis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
seperti dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang menyatakan “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Sebab, di dalam perkawinan itu terdapat kepentingan serta tanggung jawab
yang saling berkaitan antara agama dan negara. Relasi antara agama serta
negara dalam hukum perkawinan adalah agama menetapkan keabsahan
perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan admistratif
perkawinan dalam koridor hukum.
Upaya untuk menutup celah hukum perkawinan beda agama dan
keyakinan itu sebelumnya pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi. Melalui
putusan nomor 68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU- XX/2022, Mahkamah

42
Indonesia, Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),.., pasal 21.

31
Konstitusi dengan sangat tegas telah menolak untuk memberikan landasan
konstitusionalitas terhadap perkawinan beda agama dan keyakinan.
Meskipun, kedua putusan itu hanya menguji norma hukum yang terdapat di
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan bukan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, namun karena pencatatan
perkawinan adalah akibat hukum dari adanya pengakuan mengenai sah atau
tidaknya perkawinan, yang sebelumnya telah dinyatakan oleh MK bahwa
konstitusionalitas perkawinan yang sah ialah yang dilaksanakan menurut
agama dan kepercayaannya, maka kedua putusan MK itu telah menutup
celah dan upaya hukum bagi pasangan beda agama dan keyakinan untuk
mendapatkan pengakuan tentang keabsahan pencatatan perkawinannya,
termasuk melalui penetapan pengadilan.
Meskipun perkawinan merupakan bagian dari hak asasi manusia
(HAM) yang diakui dan dituangkan dalam konstitusi negara Indonesia.
Namun, HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah
ideologi Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila sebagai identitas
bangsa. Walaupun Jaminan perlindungan HAM secara universal yang
tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights telah dideklarasikan
sebagai bentuk kesepakatan bersama negara- negara di dunia, tetapi
penerapan HAM tersebut di tiap-tiap negara disesuaikan dengan ideologi,
agama, sosial,dan budaya masyarakat di masing-masing negara.
Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur
dalam tatanan hukum di Indonesia. Untuk itu, maka segala tindakan dan
perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk menyangkut urusan
perkawinan harus tunduk dan taat serta tidak boleh bertentangan atau
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-

32
undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur serta melindungi
hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.
Keabsahan perkawinan adalah domain agama yang memiliki otoritas
memberi penafsiran keagamaan. Peran negara menindaklanjuti hasil
penafsiran yang diberikan oleh agama tersebut. Pelaksanaan pencatatan
perkawinan oleh institusi negara dalam rangka memberi kepastian dan
ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat yang
terkandung di dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD)
Tahun 1945 yang menyatakan: “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukann
yang sama dihadapan hukum”.
Dengan demikian, maka keberadaan putusan MK nomor 68/PUU-
XII/2014 dan 24/PUU- XX/2022 yang dilengkapi dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim
Dalam Mengadili Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Yang
Berbeda Agama dan Kepercayaan tersebut telah memberikan kepastian
hukum terkait pencatatan perkawinan hingga direvisinya Pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan yang selama ini memberikan celah hukum
bagi pasangan yang berbeda agama dan keyakinan untuk mendapat
pengakuan mengenai keabsahan pencatatan perkawinannya melalui
penetapan pengadilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Revisi
peraturan perundang-undangan ini sangat penting dan juga mendesak untuk
segera dilakukan, sebab selain untuk terciptanya ketertiban hukum, revisi ini
juga dapat mengakhiri polemik mengenai pencatatan perkawinan beda
agama yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.43

43
Ubed Bagus Razali, Mengakhiri Polemik Pencatatan Perkawinan Beda Agama Dan Keyakinan,
(Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2023),
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/mengakhiri-polemik-pencatatan-
perkawinan-beda-agama-dan-keyakinan-oleh-ubed-bagus-razali-s-h-i-s-h-7-8#:~:text=Pada
%2017%20Juli%202023%20lalu,Yang%20Berbeda%20Agama%20dan%20Kepercayaan., Diakses

33
Adapun isi yang tercantum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023
menjelaskan bahwa untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam
mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang
berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada
ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8
huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar
umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.

D. Respon Positif dan Negatif dari Terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023

Menyambut positif terbitnya SEMA No.2 Tahun 2023 yang


menegaskan spirit Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut
agama dan kepercayaannya serta adanya larangan hubungan perkawinan bila
agamanya melarang untuk itu.

Menurutnya, ruang perkawinan beda agama masih tetap terbuka dengan


keberadaan Pasal 35 huruf (a) UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (UU Adminduk) yang dilandasi spirit pemenuhan hak
administrasi warga tanpa praktik diskriminatif. “Realitas ini harus
diselesaikan melalui harmonisasi antar norma di sejumlah peraturan
perundang-undangan. Jadi, terbitnya SEMA saja tidak cukup,”

SEMA No.2 Tahun 2023 memuat, kesatu, perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU

tanggal 8 Oktober 2023.

34
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Kedua, pengadilan
tidak boleh mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat
yang berbeda agama dan kepercayaan.44

Para hakim wajib tunduk pada SEMA karena isi dari SEMA bersifat
menerangkan hal yang masih belum jelas atau masih terdapat perbedaan
antara teori dan praktek dalam dunia peradilan. Petunjuk tersebut merupakan
penjelasan atau penafsiran peraturan Undang-undang agar dalam praktek
pengadilan tidak terjadi disparitas dalam memberikan keadilan yang
menimbulkan tidak tercapainya kepastian hukum, sebagai salah satu ide
dasar hukum. Sehingga sekiranya dalam peradilan terdapat suatu
disharmoni dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat
peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan dan dapat
memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Para Hakim wajib tunduk pada SEMA karena merupakan


kebijakan internal dan menurut fungsinya diatas adalah untuk
menjelaskan perbedaan antara teori dan praktek yang ada di masyarakat.
Hakim atau anggota badan peradilan yang tidak tunduk pada SEMA
dapat dikenai sanksi berupa hukuman disiplin yang diberikan oleh Badan
Pengawas Mahkamah Agung. Hal ini tercantum dalam Pasal 12 ayat 3
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan
Jalan-Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia yang berbunyi.

Hukuman disipliner tidak hanya diberikan kepada hakim, akan


tetapi juga dapat diberikan kepada kepaniteraan dan bagian
kesekretariatan yang melanggar. Sedangkan bagi Hakim yang melanggar
dapat dikenakan sanksi sesuai Kode Etik Hakim. SEMA No.2 Tahun
2023 ini dianggap dapat menjadi sebuah pencerahan terhadap polemik
44
https://www.hukumonline.com/berita/a/sema-belum-cukup-untuk-mengakhiri-praktik-kawin-beda-
agama-lt64b83db033da5/?page=2

35
berkepanjangan mengenai perbedaan pendapat terkait perkawinan beda
agama. Akan tetapi tidak dapat berhenti di SEMA No.2 Tahun 2023
Perkawinan beda agama masih menjadi masalah selama UU Adminduk
mengenai pencatatan perkawinan dalam pasal 35 huruf a masih berlaku dan
pemahaman masyarakat atau penggiat Hak Asasi Manusia tidak dapat
dibenturkan dengan ajaran agama.45

Proses perkawinan merupakan peristiwa keagamaan yang sakral,


negara hanya berwenang mencatatkan status perkawinan warga negara.
Karena bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang notabene muslim,
Perkawinan beda agama adalah tidak sah dan sangat dilarang dalam Islam",
tegas mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.

Ketetapan hukum Islam dalam konteks perkawinan ini, kata Sultan,


wajib dihormati oleh semua elemen bangsa, termasuk hakim dalam proses
pengadilan. Karena Hukum positif Indonesia sangat menghormati dan
mengadopsi sebagian hukum agama.

"SEMA tersebut bukan hanya sebagai wujud penghormatan hakim


terhadap ajaran dan aturan agama, tapi sebagai bukti bahwa sebagai bangsa
kita menjujung tinggi nilai-nilai atau aturan hukum agama setiap agama dan
kepercayaan yang resmi di negara ini.

Penolakan terhadap SEMA nomor 2 tahun 2023 datang dari salah satu
organisasi pejuang HAM, SETARA Institute. SETARA meminta Ketua
Mahkamah Agung (MA) mencabut Surat Edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun
2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan
Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.

45
Journal of Scientech and Developmen. Vol 5 No.1 Hal 481.

36
Menurut SETARA, SEMA 2/2023 merupakan kemunduran dan
menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak
warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam. Sebelumnya, beberapa
Pengadilan Negeri (PN) telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-
hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan
beda agama, seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN
Yogyakarta.46

E. Perbandingan Hukum Indonesia dengan Hukum Luar Negeri terkait


Pernikahan Beda Agama.

1. Perkawinan di Negara Amerika Serikat mencakup beberapa hal:


a. Pentinganya Lembaga Perkawinan, Menganugrah- kan
Keuntungan- Keuntungan
b. Perkawinan sebagai Perhatian sebuah Negara Bagian
c. Perkawinan sebagai Hak-Hak Mendasar, Perlindungan
Konstitusi
d. Perkawinan sebagai sebuah Kontrak Publik
e. Penghormatan Dan Keyakinan Penuh dan Penghormatan.

Sahnya perkawinan menurut hukum negara yaitu hanya


menyangkut aspek pencatatan. Hampir 45% perkawinan di
USA adalah perkawinan beda keyakinan. Perkawinan beda
agama merupakan simbol dari toleransi dalam masyarakat.
Data statistik menunjukkan bahwa sebanyak 20 persen
pasangan KBA sebelum tahun 1960 dan sekarang sudah
mencapai 45 persen. Menurut hasil survey yang dilakukan
pada 2450 orang, Jewis melakukan KBA paling banyak

46
https://www.dpd.go.id/daftar-berita/dukung-sema-nomor-2-tahun-2023-sultan-hukum-indonesia-
menghormati-dan-mengadopsi-hukum-agama

37
kemudian diikuti oleh Muslim dan Mormon. Hal ini
menunjukkan pekembangan toleransi beragama di masyarakat
Amerika. Hampir 50% perkawinan Jewis beda agama,
menyusul Muslim 40% dan Mormon 34% serta Hindu sekitar
10%.
2. Perkawinan di Singapura memiliki dua (2) macam hukum
perkawinan :
a. Hukum perkawina n Islam (the Admintration of Muslim
Law/AMLA)
b. The Women Charter.
Ada 3 jenis perkawinan
1) perkawinan campuran
2) perkawinan sesama jenis
3) perkawinan antar angkatan (Marriages among Armed Forces)
Perkawinan campuran termasuk perkawinan beda agama,
Perkawinan sejenis tidak dijinkan di Singapore, namun dibawah
perkawinan sipil, kategori jenis kelamin seorang hanya yang
tertera dalam kartu identitas. Jika seseorang memiliki transgender
maka dia harus mengawini pasangan yang berasal dari jenis
keimanan yang berbeda. Dalam perkawinan Muslim tidak
diijinkan walau orang tersebut telah melalui proses ganti
kelamin.

3. Australia
Dari tahun 1901-1961 masing-masing negara bagian
bertanggung jawab mengatur perkawinan yang akhirnya masing-
masing negara bagian memiliki hukum perkawinannya masing-
masing. ada sembilan sistem perkawinan yang terpisah, walau
memiliki beberapa persamaan, memperlihatkan keberagaman

38
dalam prinsip dan detailnya.
Hukum perkawinan diatur dalam Marriage Act 1961 mengatur
perkawinan secara sama diseluruh negara. Didalam Marriage Act
1961 tidak mencantumkan pengertian perkawinan, dan pengertian
perkawinan didasarkan pada sistem common law.
The Family Law Act 1975 definisi hubungan hidup bersama
adalah dimana:
a. Kedua orang tidak dalam hubungan pernikahan secara formal
satu sama lain
b. Dua orang tidak dalam hubungan keluarga
c. dua orang memiliki hubungan sebagai sepasang suami istri hidup
bersama berdasarkan hubungan pribadi.

Secara keseluruhan antara tahun 1974-1998, persentase


perkawinan campuran telah menunjukkan peningkatan setiap
tahunnya. Pada tahun 1974 sebanyak 39 persen perkawinan yang
tercatat adalah perkawinan campur dan sampai tahun 1998 telah
meningkat menjadi 52 persen.

4. Belanda

Hukum di negara Belanda hanya mengenal perkawinan Sipil


yang dilakukan oleh pencatat perkawinan (ambtenear van de
burgerlijke stand). Sesudah perkawinan sipil dilakukan, perkawinan
mungkin bisa dilangsungkan dalam ritual agama.

Perkawinan sesama jenis (same-sex marriage) atau dalam bahasa


Belanda huwelijk tussen personen van gelijk geslacht telah dilegalkan
sejak 1 April 2001 Perkawinan beda agama dapat dilakukan,
hanya jumlahnya yang belum teridentifikasi

5. Indonesia

39
Untuk WNI perkawinan diatur didalam Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) mengatur
tentang keabsahan perkawinan yang harus dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaaan. Kemudian Pasal 2
ayat (1) menyatakan bahwa setelah itu perkawinan harus dicatatkan:
Bagi WNI yg beragama Islam di KUA dan bagi selain Islam ke DKCS.

Jumlah kasus perkawinan beda agama dari tahun ke tahun


meningkat. Data yang paling akhir menunjukkan bahwa pada
tahun 2011 jumlah perkawinan beda agama mencapai 229
pasangan dan dari tahun 2004 - 2012 tercatat sudah mencapai
1.109 pasangan.

6. Turki
Hukum keluarga diatur didalam The Turkish Family Law of
Cyprus tahun 1951 Pasal 11-23, Perkawinan boleh dirayakan sesuai
dengan agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran
dilakukan sebelum perayaan perkawinan.

Turki membolehkan perkawinan beda agama melalui


hukum sekuler (seculer law). Dan Jumlahnya belum
teridentifikasi.

Perbedaan peraturan perkawinan di negara negara Barat dengan


Indonesia adalah: di Indo- nesia, sahnya suatu perkawinan melibatkan
unsur agama dan kepercayaannya. Perkawinan tidak dapat dicatatkan
kalau belum disahkan secara agama dan kepercayaan. Sedangkan negara-
negara barat pada sampel diatas seremonial keagamaan tidak
menentukan sahnya suatu perkawinan. Persamaa- anya terletak pada
aspek pencatatannya. Negara Turki mengatur sahnya perkawinann harus
melalui proses pencatatan terlebih dahulu kemudian baru menurut

40
seremoni agama-masing. Aturan tentang Perayaan Pernikahan dapat
dilakukan menurut masing-masing agama hanya harus dilakukan proses
pencatatan terlebih dahulu, yang terbalik dengan Indonesia.

Negara Indonesia mengatur sahnya suatu perkawinan apabila


sudah dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan- nya, dan setelah itu harus dicatatkan. Jadi ada dua (2)
proses yang harus dilakukan oleh warga negara Indonesia agar
perkawinannya sah yaitu secara agama dan kemudian harus dicatatkan
(sah secara hukum negara). Aspek keagamaan tidak dapat ditawar lagi,
tidak demikian halnya dengan negara- negara diatas, cukup dicatatkan
sedangkan urus- an ritual merupakan urusan masing-masing pihak.
Singapura memberlakukan hukum bagi warga negaranya yang
beragama Islam dan non Islam. Singapore menerima perkawinan
beda agama. Begitu pula dengan Turki yang mayoritas pendu- duknya
beragama Islam mengizinkan perkawinan beda agama. Norma
perkawinan di negara - negara yang dipakai sebagai perbandingan
dengan Indonesia, terkait dengan perkawinan beda agama bahwa
sahnya suatu perkawinan didasarkan pada aspek pencatatan.47

F. Dampak Perkawinan Beda Agama

Perbedaan agama dalam perkawinan dapat menimbulkan tekanan


psikologis berupa konflik psikologis yang pada akhirnya berujung pada
disfungsi perkawinan itu sendiri. Jika terjadi konflik perbedaan agama yang
tidak dapat diselesaikan, maka suami atau istri tidak boleh mengamalkan
ajaran agamanya tetapi akan memilih gaya hidup sekuler. Gaya hidup sekuler

47
Kadek Wiwik Indrayanti dan Enny Ristanty, Analisis peraturan perkawinan beda agama di
berbagai negara sebagai perlindungan hukum untuk membentuk keluarga. Jurnal Cakrawala Hukum,
Volume 11 No. 1 April 2020. h. 77-79.

41
akan memunculkan konflik-konflik baru yang sulit diselesaikan dan dapat
berujung pada konflik keluarga.

Dampak psikologis lain dari pernikahan beda agama adalah tumbuh


kembang anak. Perbedaan agama antar orang tua dapat membuat anak
bingung dalam memilih agama, apakah ia memilih agama ayahnya atau
agama ibunya. Konsep “toleransi dan kerukunan beragama” tidak mempunyai
arti bagi perkembangan keagamaan anak; Bahkan, besar kemungkinannya
anak-anak akan memilih tidak beragama sama sekali (ateis). Di sinilah peran
komitmen agama ayah dan ibu dalam menentukan agama anak, sebagaimana
Rasulullah S.A.W. : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah),
orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.”48

Pernikahan beda agama akan berdampak negatif bagi pendidikan anak-


anak dan generasi selanjutnya. Sebab, orang tua adalah figur utama dari anak-
anaknya. Jika orang tuanya bukan seorang muslim, bagaimana mungkin bisa
menjadikan anak-anaknya menjadi anak-anak yang sholih sebagai penerus
generasi yang baik dan berprestasi di masa mendatang.

Melakukan pernikahan beda agama memiliki konsekuensi di masa


depan. Dampak tersebut antara lain adalah hak anak yang lahir dari
perkawinan berbeda agama, seperti hak waris 49 dan hak perwalian pada saat
perayaan perkawinan. Wali nikah dianggap sebagai penopang nilai hukum
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 KHI. Dengan demikian, bila
perkawinan itu tidak melengkapi perwalian itu, maka perkawinan itu tidak
dianggap sah.50
48
Muslim bin Al-Hajjaj. (1415 H/1994 M). Shahih Muslim, Juz IX. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah
Libanon. hlm. 31.
49
Ahmad Rapiq, "Fiqih Mawarist", (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). hlm. 3
50
Ahmad Sukardi and Bakri A Rahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU perkawinan dan
Hukum perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981). hlm. 28

42
Adapun jika ada terjadi sebuah pernikahan beda agama maka wali
nikah yang non muslim tidak diperkenankan menjadi wali nikah anaknya
yang muslim namun dalam kasus ini ia yang menjadi wali nikahnya adalah
hakim sebagaimana yang telah ditentukan dalam beberapa pasal yaitu pasal
21, 22, 23 kompilasi hukum Islam (KHI).

Pernikahan beda agama juga memiliki dampak atau implikasi pada


status anak dikemudian hari. Implikasi tersebut dapat diidentifikasikan dengan
status anak yang bukan menjadi anak kandung, karena dalam pembahasan di
atas hukum pernikahan beda agama dalam Islam adalah dilarang (haram).

Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga


dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah:

a. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang
sah.
b. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan
tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan
dengan melahirkan bayi.
c. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang
waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari
kelahirannya oleh suami.

Dengan demikian, anak yang lahir dari perkawinan yang berbeda


agama seperti Kristen dan Islam, semuanya merupakan anak tidak sah karena
perkawinan tersebut juga tidak sah. Menurut hukum Islam, anak yang tidak
seagama dengan bapaknya akan kehilangan hak warisnya sesuai dengan
hambatan-hambatan waris yang ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam.

43
G.

44
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan permasalahan di


atas adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan pemerintah segera merevisi Undang-Undang Perkawinan,


terutama dalam pengaturan perkawinan beda agama. Ketidakjelasan
aturan perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan
membuat ketidakpastian dan kemanfaatan bagi masyarakat yang ingin
melakukan perkawinan beda agama.
2.Saran bagi penegak hukum khususnya hakim pengadilan negeri,
walaupun dengan terbitnya SEMA No.2 Tahun 2023 tentang petunjuk
bagi hakim dalam mengadili perkara perkawinan beda agama
diharapkan hakim tetap mampu menggunakan sumber hukum baik
ilmu perundang-undangan maupun hukum agama secara rinci dalam
pertimbangan hukumnya. Agar dapat menghasilkan penetapan yang
komprehensif berasaskan kepastian hukum dan hak asasi manusia.
Pemakalah tentunya menyadari jika dalam penulisan makalah di
atas masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata kesempurnaan.
Kedepannya, pemakalah akan menjelaskan makalah dengan lebih rinci
dan mendetail serta dengan menyantumkan sumber-sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sehingga, diharapkan adanya kritik dan saran
yang bersifat membangun dari para pembaca.

45
Berdasarkan pengetahuan pemakalah, maka pemakalah
memberikan saran untuk mengakses referensi yang pemakalah telah
sertakan untuk pemahaman lebih lanjut untuk topik terkait dan untuk
kesalahan penulisan nama, penerbit, daerah dan judul itu adalah kesalahan
pemakalah, karena pada dasarnya pemakalah bukanlah makhluk yang
sempurna.

46
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

AP, Pius, M. Dahlan, 1994, Kamus Ilmiah Popular, Surabaya: Arloka, Cet. Ke-1

Aprita, Serlika dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana
Media.

Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Pusat Bahasa (Edisi Keempat), Gramedia Pustaka Utama.

Hawi, Akhmal, 2014, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progesif, Jakarta: Kompas.

Rapiq, Ahmad. (2009). Fiqih Mawarist. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Setyaningsih dan Aline Gratika Nugrahani. 2021. Buku Ajar Hukum Perkawinan.
Depok: PT Rajawali Buana Pusaka.

SM., Marwan & Jimmy, P., 2009, Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher.

Sukardi, Ahmad, and Bakri A Rahman. (1981). Hukum Perkawinan Menurut Islam.
Jakarta: Hidakarya Agung.

Sukses Dakhi, Agustin, 2019, Perkawinan Beda Agama Suatu Tinjauan Sosiologi,
Cet-1, Yogyakarta: CV Budi Utama.

Sumbulah,Umi, 2010, “Radikal dan Pluralism Agama”, Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, Malang.

Surayin, 2005, Analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: Yrama Widya.

Syamsul Arifin, Bambang, 2008, Psikologi Agama, Bandung: Pustaka Setia.

47
Tim Pengkajian Hukum: Abdul Rozak A. Sastra. 2011. Pengkajian Hukum Tentang
Perkawinan Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara). Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional (Bphn) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia.

Jurnal :

Admiral, Diaz Satya (2022) "KONSEP PEMBERIAN HAK-HAK ANAK HASIL


PERNIKAHAN BEDA AGAMA] (Studi Kasus di Kecamatan Tebet dan
Kecamatan Cilandak Tahun 2021)," Dharmasisya: Vol. 1, Article 7.

Bagus, Ubed Razali. 2023. Mengakhiri Polemik Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Dan Keyakinan. Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral
Badan Peradilan Agama.
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/mengakhiri-
polemik-pencatatan-perkawinan-beda-agama-dan-keyakinan-oleh-ubed-
bagus-razali-s-h-i-s-h-7-8#:~:text=Pada%2017%20Juli
%202023%20lalu,Yang%20Berbeda%20Agama%20dan%20Kepercayaan.,
Diakses tanggal 8 Oktober 2023.
Cantonia, Sindy dan Ilyas Abdul Majid. 2021. Tinjauan Yuridis Terhadap
Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang
Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review On Interfaith
Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human
Rights), Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.6

Hanifah, M. (2019). Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Humbertus, P. (2019). Fenomena Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari UU 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal Law and Justice.

48
Kharisma, B. U. (2023). Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun
2023. Akhir Dari Polemik Perkawinan Beda Agama? Journal of Scientech
Research and Development.

Lela F. Ch, Ana dkk, Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi
Agama: Studi Perkawinan Beda Agama di Jember, Jurnal Ilmu Akidah dan
Studi Keagamaan (4)1: 121.

Oratmangun, H. S. (2021). Perkawinan Beda Agama di Indonesia (Studi Kasus:


Penetapan PN Jakarta Selatan Nomor 1139/PDT.P/PN.JKT.SEL). Indonesia
Notary.

Palandi, A. C. (2013). Analisa Perkawinan Beda Agama di Indonesia.

Ridwan, 2008, Memunculkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum


Pemerintahan Yang Baik Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan
Substantive, Jurnal Hukum Pro Justitia 26 (2).

Ruth, Dwimaya Diknasya Hutasoit. 2023. Surat Edaran Mahkamah Agung tentang
Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama: Solusi atau Kemunduran
Hukum?. Depok: LK2FH UI. https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/surat-
edaran-mahkamah-agung-tentang-larangan-pencatatan-perkawinan-beda-
agama-solusi-atau-kemunduran-hukum/ Diakses tanggal 9 Oktober 2023.

Wiwik, Kadek Indrayanti dan Enny Ristanty. 2020. Analisis peraturan perkawinan
beda agama di berbagai negara sebagai perlindungan hukum untuk
membentuk keluarga. Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 11 No. 1.

Yunus, F. M. (2018). Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (Tinjauan Hukum Islam).
148.

49
Zulfadhli. (2021). Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Jurnal
Inovasi Penelitian.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia. Jakarta: LN. 1999/ No. 165, TLN NO. 3886, LL SETNEG : 29
HLM.
Indonesia. 2002 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta: 2002.
Indonesia. 2013. Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Jakarta: LN.2013/No. 232, TLN No. 5475, LL SETNEG: 26
HLM.
Indonesia. 2019. Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jakarta:
LN.2019/NO.186, TLN NO.6401, JDIH.SETNEG.GO.ID : 4 HLM.
Kementerian Agama Republik Indonesia, “Islam, Pluralisme, dan Multikulturalisme”,
diakses pada 10 Oktober 2023. https://www.kemenag.go.id/moderasi-
beragama/islam-pluralisme-dan-multikulturalismenbsp-oqfeej

50

Anda mungkin juga menyukai