Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum
Disurun oleh :
Kelompok 9
2023
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
rejeki serta kesehatan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perkawinan Beda Agama Menurut
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023” ini dengan tepat
waktu.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya
kepada Dr. M. Ali Hanafiah Selian S.H selaku dosen Hukum Antar Tata Hukum
yang telah memberikan tugas pembuatan makalah yang bermanfaat bagi pengetahuan
serta menambah wawasan kami sesuai dengan bidang studi yang sedang ditempuh.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membagi sebagian
ilmu dan pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Adapun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini dan kemajuan penulis di masa yang akan
datang. Selain itu, penulis mengharapkan semoga apa yang tertulis di dalam makalah
ini bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi semua yang memerlukan.
Penulis
Kelompok 9
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................4
PERMASALAHAN.....................................................................................................4
A. Kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia................................................................4
B. Data Angka Perkawinan Beda Agama di Indonesia......................................................5
C. Dasar Hukum dan Kenyataan Tentang Perkawinan Beda Agama di Indonesia............7
BAB III.......................................................................................................................15
PEMBAHASAN.........................................................................................................15
A. Kerangka Teori dan Konsep........................................................................................15
B. Keterkaitan Pernikahan Beda Agama dengan Hak Asasi Manusia.............................22
C. Urgensi Penetapan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023..............30
D. Respon Positif dan Negatif dari Terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023...................34
E. Perbandingan Hukum Indonesia dengan Hukum Luar Negeri terkait Pernikahan Beda
Agama..................................................................................................................................37
F. Dampak Perkawinan Beda Agama......................................................................42
BAB IV........................................................................................................................45
PENUTUP..................................................................................................................45
A. Kesimpulan..................................................................................................................45
B. Saran.............................................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................47
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Anggreini Carolina Palandi. Analisa Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Vol 1 No 2. 2013. Hal
196.
1
perkawinan. Agama islam juga melarang setiap orang untuk melaksanakan
perkawinan beda agama karena tidak sesuai dengan aturan agama islam.
Dalam pandangan agama islam, perkawinan yang dilakukan antara dua orang
yang berbeda agama adalah tidak sah. Banyaknya perkawinan beda agama di
Indonesia dikarenakan belum adanya peraturan yang tegas mengenai hal ini.
Meskipun jika dilihat dari sisi hukum agama maka sudah ada larangan
mengenai perkawinan beda agama. Komplikasi Hukum Islam telah mengatur
masalah perkawinan beda agama dalam Pasal 40 dan Pasal 44 Bab VI tentang
Larangan Perkawinan.2
Maraknya perkawinan beda agama yang ada di Indonesia terjadi tidak
hanya disebabkan karena minimnya peraturan mengenai hal tersebut tetapi
juga karena dari masing-masing individu yang tetap ingin melangsungkan
perkawinan beda agama. Oleh karena itu makalah ini akan mengkaji
mengenai peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yaitu, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk
Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan
Antar-Umat Beragama Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.3
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Perkawinan Beda Agama dan teori apa saja
yang berkaitan dengan Perkawinan Beda Agama?
2. Apa keterkaitan Perkawinan Beda Agama dengan Hak Asasi Manusia?
3. Bagaimana respon dari terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023?
4. Bagaimana perbandingan hukum Indonesia dengan hukum luar negeri
terkait Perkawinan Beda Agama?
2
Mardalena Hanifah. Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Vol 2 No 2. 2019. Hal 298.
3
Bintang Ulya Kharisma. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, Akhir Dari
Polemik Perkawinan Beda Agama?. Journal of Scientech Research and Development. Vol 5 No 1.
2023. Hal 479.
2
5. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari Perkawinan Beda Agama?
C. Tujuan
3
BAB II
PERMASALAHAN
4
Hubertus Shaki Bagaskara Oratmangun. Perkawinan Beda Agama Di Indonesia (Studi Kasus :
Penetapan Pn Jakarta Selatan Nomor 1139/PDT.P/2018/PN.JKT.SEL.). Vol 3 No No 2. 2021. Hal 95.
5
Patrick Humbertus. Vol 4 No 2. 2019. Hal 106.
4
Maret 2006 di Hongkong,6 dan Lidya Kandou dengan Jamal Mirdad yang
menikah pada tahun 1986. Lidya Kandou dan Jamal Mirdad mengajukan
permohonan ke Kantor Urusan Agama, namun hal itu ditolak oleh Kantor
Urusan Agama. Kemudian mereka ke Kantor Catatan Sipil, hal ini tidak
dilalui dengan lancar. Langkah selanjutnya Lidya Kandou dan Jamal Mirdad
menempuh jalur pengadilan, dari hal ini Hakim mengabulkan permintaan
mereka.7
Karena banyak perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia dan
disahkan oleh Pengadilan, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Edaran MA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam
Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat
Beragama Yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Dengan dikeluarkannya
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang ditujukan kepada Ketua/Kepala Pengadilan
Tinggi Banding dan Ketua/Kepala Pengadilan Tingkat Pertama diharapkan
semua Hakim tunduk pada SEMA tersebut. SEMA sendiri ditunjukan kepada
hakim, ketua pengadilan, panitera, ataupun pejabat dalam lingkungan
peradilan sehingga sesuai dengan sifat aturan kebijakan yang mengatur
kedalam internal.
6
Zulfadhli. Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Vol 2 No 6. 2021. Hal 1852.
7
Fakhrurrazi M. Yunus. Perkawinan Beda Agama Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan (Tinjauan Hukum Islam). Vol 20 No 2. 2018. Hal 148.
5
beda agama melalui program tersebut, sebagaimana terlampir pada table
berikut:
6
dikeluarkan, namun dengan data perkawinan beda agama di Indonesia ini
masih terus mengalami peningkatan.
7
dalam melangsungkan perkawinan beda agama.8
Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawian9. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai unifikasi hukum perkawinan di Indonesia secara
eksplisit tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Pengaturan
perkawinan beda agama di Indonesia dilihat berdasarkan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan agama yang diakui di
Indonesia.
a. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
8
ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.11
Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Kemudian dalam penjelasan pasal ini disebutkan
bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya. Artinya bahwa hukum masing- masing agama
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan ini, maka undang-undang menyerahkan
kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan
syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut selain cara-cara dan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara. Jadi, suatu
perkawinan apakah dilarang atau tidak, selain tergantung kepada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum masing-
masing agama.
Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, perkawinan
beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum
agama-agama di Indonesia. Sehingga perkawinan beda agama tidak
dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang
11
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review
On Interfaith Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human Rights), …, h.
514.
9
diakui di Indonesia. Hal ini kemudian diperkuat dengan Pasal 8
huruf f yang menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang untuk melakukan perkawinan.
Sebaliknya, pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan
beda agama di Indonesia diperbolehkan. Hal ini didasarkan kepada
tidak ditemukannya peraturan yang mengatur mengenai perkawinan
beda agama sehingga menimbulkan kekosongan hukum yang
berakibat pada ketidakpastian hukum. Dengan kekosongan hukum
tersebut, dimungkinkan pelaksanaan perkawinan beda agama dapat
dilakukan di Indonesia dengan dasar hukum berupa yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 yang
mengabulkan permohonan perkawinan seorang pria dengan seorang
wanita yang notabene berbeda agama. Dalam keadaan demikian,
Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagai satu-
satunya instansi yang berwenang melangsungkan perkawinan bagi
kedua calon suami istri yang berbeda agama yang dianut wajib
menerima pemohon untuk perkawinannya dicatatkan tersebut.12
10
masing-masing terhadap perkawinan beda agama. Sebagai contoh,
agama Islam pada dasarnya melarang adanya pernikahan beda
agama. Larangan ini diperkuat dengan ketentuan Kompilasi Hukum
Islam yang disebarluaskan berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
Dalam Bab 4 KHI mengenai Larangan Kawin, Pasal 40 huruf c
secara tegas menyatakan bahwa perkawinan dilarang apabila
dilakukan antara seorang pria muslim dengan wanita yang tidak
beragama Islam. Sebaliknya, dalam Pasal 44 juga melarang seorang
wanita yang beragama Islam melakukan perkawinan dengan pria
yang tidak beragama Islam. Lebih lanjut menurut ulama dari empat
mazhab agama Islam di Indonesia yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa
hukum perkawinan beda agama yang dilakukan oleh seorang wanita
beragama Islam (muslimat) dengan seorang pria beragama non
muslim hukumnya adalah tidak sah bahkan mencapai taraf haram.
Begitu juga hukum perkawinan beda agama antara seorang pria
beragama Islam (muslim) dengan seorang wanita non muslim pada
prinsipnya boleh dinikahi sepanjang wanita tersebut merupakan
Kitabiyah. Akan tetapi hal itu hanya berlaku sebelum diturunkannya
Al-Qur’an, sehingga apabila dilaksanakan pada saat ini hukumnya
tetaplah haram.13
Sementara itu, agama-agama lain yang diakui di Indonesia
memiliki ketentuan berbeda-beda terkait perkawinan beda agama ini.
Berdasarkan kesepakatan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan
Gereja Kristen Indonesia (GKI), agama Kristen membolehkan
perkawinan antara pemeluk agama Kristen dengan pemeluk agama
13
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review
On Interfaith Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human Rights), …, h.
516.
11
lain, dengan syarat mereka harus menikah di gereja dan anak yang
lahir dari perkawinan itu harus dididik menurut ajaran agama Kristen.
Sementara itu, agama Katolik melarang praktik perkawinan beda
agama.
Ajaran agama Hindu juga tidak memberikan peluang bagi
pelaksanaan perkawinan beda agama, karena perkawinan hanya bisa
disahkan menurut hukum Hindu jika kedua mempelai telah beragama
Hindu. Dengan demikian apabila suatu perkawinan ingin disahkan
menurut hukum Hindu, maka mempelai yang tidak beragama Hindu
harus menjadi penganut agama Hindu melalui ritual Sudhiwadani.
Agama Buddha pada hakikatnya tidak melarang perkawinan
beda agama, karena yang ditekankan dalam perkawinan adalah ajaran
moral. Dalam agama Buddha, kawin beda agama dapat dilaksanakan
selama calon mempelai yang tidak beragama Buddha mau mengikuti
tata cara perkawinan menurut agama Buddha, meskipun tidak
diharuskan memeluk agama Buddha. Sementara itu dalam agama
Konghucu, diterangkan bahwa perbedaan golongan, bangsa, budaya,
etnis, maupun agama bukanlah penghalang dalam dilaksanakannya
permikahan.14
14
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia, …, h. 517.
12
Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.15
Namun bagaimana dengan perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam
pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran
menurut Pasal 57 UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang
terjadi antara WNI dengan WNA, bukan beda agama. Masyarakat
yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi
perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan.
Selanjutnya muncul pertanyaan bahwa apakah perkawinan beda
agama dapat dicatatkan?
Adapun menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.16 Pencatatan perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a.
perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Hal ini dinilai dapat
membuka peluang bagi perkawinan beda agama untuk memperoleh
legitimasi hukum jika pasangan suami istri yang menikah berbeda
keyakinan agama mengajukan permohonan pencatatan perkawinan
ke pengadilan dan pengadilan mengabulkannya, sehingga dengan
15
Tim Pengkajian Hukum: Abdul Rozak A. Sastra, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda
Agama (Perbandingan Beberapa Negara), …, h. 86-87.
16
Indonesia, Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, (Jakarta: LN.2013/No. 232, TLN No.
5475, LL SETNEG: 26 HLM, 2013) Pasal 35.
13
dasar putusan dari pengadilan tersebut pasangan suami istri tersebut
dapat mencatatkan perkawinanya.
14
BAB III
PEMBAHASAN
1. Kerangka Teori
a. Teori Hukum Kodrati
Tokoh yang dianggap paling berjasa dalam mendefinisikan dasar
teori hukum kodrati adalah John Locke dan JJ Rousseau. John Locke
mengemukakan pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam
hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang
merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh Negara.
Melalui suatu kontrak sosial atau social contract, perlindungan atas hak
yang tidak dapat dicabut diserahkan kepada negara. Jika penguasa
negara mengabaikan kontrak sosial, maka rakyat di negara itu bebas
menurunkan sang penguasa dan menggantinya dengan suatu pemerintah
yang bersedia menghormati hak tersebut.17
17
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 72.
18
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 72.
15
b. Teori Positivisme atau Utilitarian
Menurut Jeremy Bentham, eksistensi manusia ditentukan oleh
tujuan atau utilitas mencapai kebahagiaan bagi sebagian besar orang.
Penerapan hak atau hukum ditentukan oleh apakah hak atau hukum
tersebut memberikan kebahagiaan terbesar bagi sejumlah manusia yang
paling banyak. Setiap orang pada dasarnya memiliki hak, namun hak
tersebut bisa hilang jika bertentangan dengan kebahagiaan dari
mayoritas orang lain. Artinya, kepentingan individu harus berada di
bawah kepentingan masyarakat. Karena pandangan yang mengutamakan
banyak orang tersebut, teori positivisme dikenal juga sebagai teori
utilitarian.19
c. Teori Keadilan
Teori keadilan lahir dari kritik terhadap teori positivisme. Tokoh
yang mencetuskan teori keadilan adalah Ronald Drowkin dan John
Rawls. Teori Drowkin mendasari negara memiliki kewajiban untuk
memperlakukan warganya secara sama. Artinya, negara menggunakan
nilai moral, kekuasaan, dan pendasaran lainnya sebagai alasan untuk
mengesampingkan HAM, kecuali prinsip perlakuan sama tersebut.
Sedangkan, menurut Rawls, setiap individu memiliki hak dan kebebasan
yang sama. Namun, hak dan kebebasan tersebut kerap tidak dinikmati
secara bersama. Sebagai contoh, terdapat hak bagi setiap orang untuk
memperoleh pendidikan, tapi hak ini pada faktanya tidak dapat
dinikmati oleh semua orang karena kemiskinan. Untuk mengatasi isu
tersebut, Rawls memperkenalkan asas perbedaan atau difference
19
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 73.
16
principle yang menyatakan bahwa distribusi sumber daya yang merata
hendaknya diutamakan dalam masyarakat.20
20
Serlika Aprita dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media, hal. 73-74.
21
Ridwan, 2008, Memunculkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Substantive, Jurnal Hukum Pro Justitia 26 (2).
22
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progesif, Jakarta: Kompas, hal. 9.
17
dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya aparat
penegak hukum sendiri.
e. Teori Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang berarti
banyak (jamak), sedangkan isme berarti paham. Jadi pluralisme adalah
suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari
banyak substansi.23 Dalam perspektif ilmu sosial, pluralisme yang
meniscayakan adanya diversitas dalam masyarakat memiliki dua
‚wajah‛, konsesus dan konflik. Consensus mengandaikan bahwa
masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan
survive (bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal
tertentu sebagai aturan bersama yang harus ditaati, sedangkan teori
konflik justru memandang sebaliknya bahwa masyarakat yang berbeda-
beda itu akan bertahan hidup karena adanya konflik. Teori ini tidak
menafikkan adanya keharmonisan dalam masyarakat. Keharmonisan
terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama, tetapi karena adanya
pemaksaan kelompok kuat terhadap yang lemah. 24 Pluralitas merupakan
realitas sosiologi yang mana dalam kenyataannya masyarakat memang
plural. Plural pada intinya menunjukkan lebih dari satu dan isme adalah
sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dengan demikian
Pluralisme merupakan suatu sistem nilai atau pandangan yang mengakui
keragaman di dalam suatu bangsa. Keragaman atau kemajemukan dalam
suatu bangsa itu haruslah senantiasa dipandang positif dan optimis
sebagai kenyataan riil oleh semua anggota lapisan masyarakat dalam
menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi makna pluralisme
23
Pius A. P, M. Dahlan, 1994, Kamus Ilmiah Popular, Arkola, Surabaya, Cet. Ke-1, hal. 604.
24
Umi Sumbulah, Islam, 2010, “Radikal dan Pluralism Agama”, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI, Malang.
18
tidak hanya diartikan sebagai sebuah pengakuan terhadap keberagaman
suatu bangsa, akan tetapi juga mempunyai implikasi-implikasi politis,
sosial, dan ekonomi.25
2. Kerangka Konsep
a. Tinjauan Yuridis
Tinjauan yuridis berasal dari kata “tinjauan” dan “yuridis”. Tinjauan
berasal dari kata “tinjau” yang artinya mempelajari dengan cermat. Kata
tinjau mendapat akhiran “-an” menjadi tinjauan yang artinya perbuatan
meninjau. Pengertian tinjauan adalah mempelajari dengan cermat,
memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat (sesudah
menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya).26 Tinjauan adalah kegiatan
merangkum sejumlah data besar yang masih mentah kemudian
mengelompokan atau memisahkan komponen-komponen serta bagian-
bagian yang relevan untuk kemudian mengkaitkan data yang dihimpun
untuk menjawab permasalahan. Tinjauan merupakan usaha untuk
menggambarkan pola-pola secara konsisten dalam data sehingga hasil
analisis dapat dipelajari dan diterjemahkan dan memiliki arti.27
25
Kementerian Agama Republik Indonesia, “Islam, Pluralisme, dan Multikulturalisme”, diakses pada
10 Oktober 2023. https://www.kemenag.go.id/moderasi-beragama/islam-pluralisme-dan-
multikulturalismenbsp-oqfeej
26
Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
(Edisi Keempat), Gramedia Pustaka Utama, hlm. 1470.
27
Surayin, 2005, Analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: Yrama Widya, hal. 10.
28
Marwan, SM., & Jimmy, P., 2009, Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, hal. 651.
19
melanggar hukum tersebut bisa dikenai hukuman. Yuridis merupakan
suatu kaidah yang dianggap hukum atau di mata hukum dibenarkan
keberlakuannya, baik yang berupa peraturan-peraturan, kebiasaan, etika
bahkan moral yang menjadi dasar penilaiannya. Berdasarkan pengertian
tinjauan dan yuridis dapat penulis simpulkan bahwa tinjauan yuridis
berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami),
suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum.
b. Perkawinan
Pernikahan berasal dari kata nakaha artinya berkumpul dan
zawwaja artinya kawin. Kedua kata ini, merupakan istilah utama al-
Qur’an untuk menikah. Dengan dua istilah yang digunakan, dapat
dikatakan bahwa perkawinan adalah alasan mengapa orang bersatu
untuk membentuk pasangan suami istri. Secara umum, al-Qur’an hanya
menggunakan dua kata untuk menggambarkan hubungan hukum antara
laki-laki dengan perempuan. Secara istilah, pernikahan adalah ikatan
lahir dan batin antara dua insan sebagai pasangan suami istri untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Adapun pengertian
perkawinan menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S. H. Perkawinan
adalah kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Prof. R. Subekti, SH.
Perkawinan adalah hubungan hukum antara laki-laki dan perempuan
untuk waktu yang lama.29
29
Agustin Sukses Dakhi, 2019, Perkawinan Beda Agama Suatu Tinjauan Sosiologi, Cet-1,
Yogyakarta: CV Budi Utama, hal. 1-2.
20
ditentukan. Menurut Rusli, SH dan R Tama, SH perkawinan antar
agama adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita karena
perbedaan agama. Maka terdapat dua ketentuan yang berbeda mengenai
syarat dan tata cara perkawinan. Dengan tujuan untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
d. Konversi Agama
Menurut bahasa konversi agama berasal dari bahasa Inggris
religious conversion artinya masuk agama atau berubah agama. Berarti
konversi agama merupakan suatu proses terjadinya perubahan keyakinan
dan berubah arah dengan keyakinan semula.31 Sedangkan menurut istilah
konversi agama adalah tindakan seseorang masuk atau pindah agama
dalam perilaku yang berlawanan dengan keyakinan sebelumnya. 32
30
Ana Lela F. Ch, dkk, Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi Agama: Studi
Perkawinan Beda Agama di Jember, Jurnal Ilmu Akidah dan Studi Keagamaan (4)1: 121.
31
Bambang Syamsul Arifin, 2008, Psikologi Agama, Bandung: Pustaka Setia, hal. 14.
32
Akhmal Hawi, 2014, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali, hal. 3.
21
Terjadinya konversi agama ada pengaruh bahwasanya faktor yang
melatarbelakangi seseorang melakukan konversi agama. Menurut para
ahli agama, faktor yang mendominasi yaitu faktor dari keyakinan. Tetapi
faktor keyakinan tidak secara langsung diterima. Maka dari itu perlu
adanya menelusuri faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya
seseorang melakukan konversi agama, Menurut Heirich dan
Hendropuspito ada empat faktor yang melatarbelakangi terjadinya
konversi agama yaitu dari faktor pendidikan, faktor keluarga, faktor
individu, dan faktor lingkungan.
33
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 518.
22
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights. Dua hak dasar HAM
yang paling fundamental adalah hak atas kebebasan dan hak atas persamaan,
yang mana hak sipil dan politik meliputi juga hak atas kebebasan melakukan
pernikahan dan membentuk suatu keluarga, sebagaimana diakomodasi dalam
Pasal 23 ayat (2) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Dengan demikian,
dapat dilihat bahwa kedua instrumen HAM tersebut telah mengakui hak
untuk menikah dan berkeluarga tanpa pembatasan agama sebagai hak asasi,
serta menjadi pedoman bagi negara untuk melakukan penegakan dan
perlindungan terhadap hak tersebut.
Dalam hukum positif Indonesia, hak untuk menikah dan membentuk
keluarga juga dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:34 “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.”. Selain itu, jaminan perlindungan terhadap hak
kebebasan untuk menikah dapat ditemukan dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia35, yang menegaskan
bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.”.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sebagai landasan hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara
eksplisit ketentuan mengenai perkawinan antara laki-laki dan perempuan
yang memeluk agama yang berbeda. Akan tetapi sebagaimana yang telah
diketengahkan di muka, perdebatan mengenai boleh atau tidaknya praktik
perkawinan beda agama di Indonesia muncul pula akibat penafsiran dari
34
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: 2002), Pasal
28B.
35
Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: LN. 1999/
No. 165, TLN NO. 3886, LL SETNEG : 29 HLM, 1999), Pasal 10.
23
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan36.
Penafsiran pasal ini melahirkan perdebatan terutama karena klausul
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. Dalam Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa
suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama
dan kepercayaan dari para calon mempelai. Dari pasal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pemenuhan syarat sah perkawinan diserahkan pada
hukum agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dimaknai sahnya
perkawinan adalah apabila dinyatakan sah menurut agama maupun
kepercayaan masing-masing mempelai. Dengan demikian, pasal tersebut
secara relatif dapat meniadakan peluang untuk melaksanakan perkawinan
beda agama apabila agama calon mempelai tidak mengizinkan
dilaksanakannya perkawinan beda agama.
Adapun ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyatakan bahwa setiap perkawinan haruslah dicatat
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bukan merupakan
syarat sah perkawinan dan tidak menentukan keabsahan dari suatu
perkawinan yang telah dilakukan. Pencatatan perkawinan hanya merupakan
tindakan administratif, yang memberikan kejelasan mengenai status
perkawinan di mata hukum dan menegaskan bahwa perkawinan tersebut
benar-benar terjadi. Dengan demikian meskipun suatu perkawinan tidak
dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku,
perkawinan tersebut akan tetap sah sepanjang dilaksanakan menurut
ketentuan agama dan kepercayaannya masing-masing.
36
Indonesia, Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: LN.2019/NO.186, TLN NO.6401,
JDIH.SETNEG.GO.ID : 4 HLM., 2019), pasal 2.
24
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan seringkali dimaknai bahwa perkawinan harus tunduk kepada
suatu hukum agama. Perkawinan beda agama tidak mendapatkan tempat
menurut hukum apabila penafsiran seperti ini tetap dipertahankan. Karena
perkawinan beda agama tidak mungkin dilaksanakan dengan tunduk pada
hukum suatu agama mengingat terdapat dua agama berbeda yang terlibat
dalam perkawinan ini. Dengan demikian, hal tersebut akan mempersulit
dilaksanakannya perkawinan beda agama sehingga berpotensi menimbulkan
pelanggaran terhadap hak atas kebebasan menikah tanpa dibatasi oleh agama
sebagaimana telah dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik37
Selain itu, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menyerahkan status keabsahan suatu perkawinan kepada hukum
agama kedua mempelai. Hal ini menimbulkan masalah manakala hukum
suatu agama melarang praktik perkawinan beda agama bagi para
pemeluknya. Mengingat ketentuan dalam pasal tersebut menyerahkan status
keabsahan perkawinan pada hukum agama masing-masing, maka ketentuan
mengenai sah tidaknya perkawinan beda agama menurut masing-masing
agama menjadi hal yang penting dalam berlangsungnya perkawinan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa agama Islam,
Katolik dan Hindu tidak dapat mengesahkan perkawinan yang dilaksanakan
antara dua mempelai yang berbeda agama. Sementara itu, agama Kristen,
Buddha dan Konghucu tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama,
di mana perkawinan tersebut dapat tetap dilakukan dengan mengikuti tata
cara dan persyaratan tertentu menurut agama tersebut.
37
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 519-520.
25
Kendati demikian, terdapat ketentuan dalam undang-undang ini yang
dapat ditafsirkan sebagai rintangan bagi pelaksanaan perkawinan beda
agama. Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal ini
mengakomodasi larangan kawin menurut hukum agama, sehingga larangan
kawin dapat saja meliputi larangan-larangan yang tidak tercantum dalam
Undang-Undang Perkawinan, namun dilarang oleh agama yang
bersangkutan. Dengan demikian, pasal ini dapat ditafsirkan bahwa apabila
suatu agama melarang perkawinan yang dilakukan antara pemeluknya
dengan pemeluk agama lain, maka perkawinan tersebut tidak dapat
dilangsungkan. Pasal ini memperkuat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang- Undang Perkawinan yang menyerahkan penentuan sah atau
tidaknya suatu perkawinan pada hukum agama para calon mempelai.
Sulitnya pelaksanaan perkawinan beda agama seringkali membuat
salah satu calon mempelai memilih untuk menundukkan diri atau berpindah
menjadi pemeluk agama yang sama dengan pasangannya, baik memeluk
agama semu maupun menjadi pemeluk agama yang sesungguhnya. Dalam
hal menjadi pemeluk agama yang sesungguhnya, maka mempelai yang
berpindah agama tersebut menjadi pemeluk agama baru secara sungguh-
sungguh dan menjalankan syariat agama baru tersebut sebagaimana seorang
pemeluk agama yang sesungguhnya. Sementara itu dalam beberapa kasus,
calon mempelai hanya melakukan perpindahan agama semu, yakni
berpindah agama hanya untuk memenuhi syarat sahnya perkawinan, lalu
kembali menjadi pemeluk agamanya semula setelah perkawinan itu
dilangsungkan. Perpindahan agama semu ini termasuk dalam penyelundupan
hukum karena hanya dilakukan untuk menyiasati ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
26
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.38
Kesulitan yang dialami oleh pasangan beda agama untuk
melangsungkan perkawinan ini dapat mengancam eksistensi dan penegakan
hak untuk menikah dan membentuk keluarga sebagaimana dilindungi dalam
Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sulitnya pelaksanaan perkawinan
beda agama terutama bagi mempelai yang agamanya tidak memperbolehkan
pelaksanaan perkawinan beda agama dapat mencederai penegakan hak
tersebut. Padahal, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai instrumen
HAM internasional secara tegas juga menyatakan bahwa hak untuk menikah
dan membentuk keluarga merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang
tanpa dibatasi oleh agama
Selain itu, adanya larangan perkawinan beda agama dalam hukum
beberapa agama yang diakui di Indonesia juga dapat mendorong salah satu
pihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut untuk berpindah
agama dan memeluk agama yang sama dengan pasangannya, baik untuk
menjadi penganut agama tersebut untuk seterusnya maupun hanya untuk
memenuhi persyaratan administratif guna pengesahan perkawinan yang
bersangkutan (formalitas). Selain merupakan bentuk penyelundupan hukum,
praktik ini juga berpotensi mencederai jaminan hak atas kebebasan beragama
yang termasuk dalam hak sipil dan politik yang dilindungi dalam Kovenan
Hak-Hak Sipil dan Hak-Hak Politik pula. Pelanggaran atas hak beragama ini
dikarenakan pasangan yang berbeda agama tersebut harus berpindah agama
bukan berdasarkan keinginan dan kehendaknya, melainkan hanya untuk
memenuhi persyaratan administratif untuk melancarkan perkawinan.39
Hak kebebasan untuk beragama di Indonesia dilindungi dalam Pasal
38
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 521.
39
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 522.
27
28E ayat (1) juncto Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang memberikan jaminan hak bagi setiap penduduk
Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing. Negara juga
berkewajiban untuk menjamin kebebasan tersebut. Selain itu, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga memberikan
perlindungan bagi kebebasan beragama dengan menyatakan: “Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.”.
Pada saat ini, terdapat perkembangan dalam hukum positif Indonesia
mengenai perkawinan beda agama dengan ditetapkannya putusan Mahkamah
Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 yang menjadi pedoman hukum bagi
pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam putusan tersebut,
Mahkamah Agung menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak melarang secara tegas perkawinan beda agama sehingga
menimbulkan kekosongan hukum. Sementara kekosongan hukum itu tidak
semestinya dibiarkan berlarut-larut dan menimbulkan dampak negatif bagi
kehidupan masyarakat, contohnya melahirkan praktik penyelundupan
hukum. Selain itu dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung juga
menyatakan bahwa menurut Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, semua warga negara memiliki persamaan
kedudukannya di dalam hukum, di mana hal tersebut mencakup pula
kesamaan hak untuk melangsungkan perkawinan bagi sesama warga negara
meskipun berbeda agama sekalipun, selama tidak dilarang oleh undang-
undang.
Dengan demikian berdasarkan yurisprudensi tersebut, pada dasarnya
Mahkamah Agung menguatkan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia
dalam hukum positif Indonesia, termasuk hak untuk melakukan perkawinan
antara laki- laki dan perempuan yang berbeda agama. Hal ini sejalan dengan
perlindungan hak untuk menikah dan membentuk keluarga serta hak untuk
28
memeluk agama yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta instrumen
HAM internasional yakni Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa hak untuk
menikah dan membentuk keluarga merupakan hak asasi setiap manusia tanpa
dibatasi oleh agama.
Kendati demikian, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1400K/Pdt/1986 belum memberikan kondisi yang berkepastian
hukum terhadap hak untuk melangsungkan perkawinan beda agama di
Indonesia. Hal ini dikarenakan meskipun dalam putusannya Mahkamah
Agung telah memberikan ruang bagi pelaksanaan perkawinan beda agama,
namun Kantor Catatan Sipil masih bisa menyatakan bahwa sebuah
perkawinan tidak dapat dilangsungkan.40
Alasannya tak lain dan tak bukan karena tidak memenuhi ketentuan
Undang- Undang Perkawinan. Dengan demikian, dibutuhkan peraturan
untuk mengisi kekosongan hukum dalam bidang perkawinan beda agama,
karena lapangan hukum ini berkaitan dengan hak asasi manusia yang
perlindungannya menjadi tanggung jawab negara serta rawan terjadi
pelanggaran terhadapnya. Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 73 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pembatasan
terhadap hak asasi hanya dapat dilakukan oleh dan berdasarkan pada
ketentuan undang-undang, dan hanya dapat dilakukan untuk penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan
kepentingan bangsa. Tidak adanya ketentuan mengenai perkawinan beda
agama dalam hukum positif Indonesia berpotensi menimbulkan pelanggaran
terhadap hak untuk menikah dan hak untuk memeluk agama yang pada
dasarnya telah dijamin dalam peraturan perundang-undangan.
40
Sindy Cantonia dan Ilyas Abdul Majid, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia…, h. 522-523.
29
C. Urgensi Penetapan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara
Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama
dan Kepercayaan.
41
Dwimaya Ruth Diknasya Hutasoit, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Larangan Pencatatan
Perkawinan Beda Agama: Solusi atau Kemunduran Hukum?, (Depok: LK2FH UI, 2023),
https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/surat-edaran-mahkamah-agung-tentang-larangan-pencatatan-
perkawinan-beda-agama-solusi-atau-kemunduran-hukum/ Diakses tanggal 9 Oktober 2023.
30
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:42 “para pihak yang
perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan
didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan perkawinan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas”
Namun, sejak lahirnya Undang-undang 23 Tahun 2006 tentang
Adminitrasi Kependudukan celah hukum bagi pasangan beda agama dan
keyakinan untuk memperoleh keabsahan tentang pencatatan perkawinan
beda agama dan keyakinan menjadi semakin terbuka lebar. Sebab, dalam
Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, telah dinyatakan: “pencatatan perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan
yang ditetapkan oleh pengadilan”.
Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan tersebut di atas sangat bertentangan
(contradiction in terminis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain,
seperti dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang menyatakan “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Sebab, di dalam perkawinan itu terdapat kepentingan serta tanggung jawab
yang saling berkaitan antara agama dan negara. Relasi antara agama serta
negara dalam hukum perkawinan adalah agama menetapkan keabsahan
perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan admistratif
perkawinan dalam koridor hukum.
Upaya untuk menutup celah hukum perkawinan beda agama dan
keyakinan itu sebelumnya pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi. Melalui
putusan nomor 68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU- XX/2022, Mahkamah
42
Indonesia, Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),.., pasal 21.
31
Konstitusi dengan sangat tegas telah menolak untuk memberikan landasan
konstitusionalitas terhadap perkawinan beda agama dan keyakinan.
Meskipun, kedua putusan itu hanya menguji norma hukum yang terdapat di
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan bukan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun Pasal 35 huruf a Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, namun karena pencatatan
perkawinan adalah akibat hukum dari adanya pengakuan mengenai sah atau
tidaknya perkawinan, yang sebelumnya telah dinyatakan oleh MK bahwa
konstitusionalitas perkawinan yang sah ialah yang dilaksanakan menurut
agama dan kepercayaannya, maka kedua putusan MK itu telah menutup
celah dan upaya hukum bagi pasangan beda agama dan keyakinan untuk
mendapatkan pengakuan tentang keabsahan pencatatan perkawinannya,
termasuk melalui penetapan pengadilan.
Meskipun perkawinan merupakan bagian dari hak asasi manusia
(HAM) yang diakui dan dituangkan dalam konstitusi negara Indonesia.
Namun, HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah
ideologi Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila sebagai identitas
bangsa. Walaupun Jaminan perlindungan HAM secara universal yang
tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights telah dideklarasikan
sebagai bentuk kesepakatan bersama negara- negara di dunia, tetapi
penerapan HAM tersebut di tiap-tiap negara disesuaikan dengan ideologi,
agama, sosial,dan budaya masyarakat di masing-masing negara.
Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur
dalam tatanan hukum di Indonesia. Untuk itu, maka segala tindakan dan
perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk menyangkut urusan
perkawinan harus tunduk dan taat serta tidak boleh bertentangan atau
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-
32
undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur serta melindungi
hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.
Keabsahan perkawinan adalah domain agama yang memiliki otoritas
memberi penafsiran keagamaan. Peran negara menindaklanjuti hasil
penafsiran yang diberikan oleh agama tersebut. Pelaksanaan pencatatan
perkawinan oleh institusi negara dalam rangka memberi kepastian dan
ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat yang
terkandung di dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD)
Tahun 1945 yang menyatakan: “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukann
yang sama dihadapan hukum”.
Dengan demikian, maka keberadaan putusan MK nomor 68/PUU-
XII/2014 dan 24/PUU- XX/2022 yang dilengkapi dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim
Dalam Mengadili Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Yang
Berbeda Agama dan Kepercayaan tersebut telah memberikan kepastian
hukum terkait pencatatan perkawinan hingga direvisinya Pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan yang selama ini memberikan celah hukum
bagi pasangan yang berbeda agama dan keyakinan untuk mendapat
pengakuan mengenai keabsahan pencatatan perkawinannya melalui
penetapan pengadilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Revisi
peraturan perundang-undangan ini sangat penting dan juga mendesak untuk
segera dilakukan, sebab selain untuk terciptanya ketertiban hukum, revisi ini
juga dapat mengakhiri polemik mengenai pencatatan perkawinan beda
agama yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.43
43
Ubed Bagus Razali, Mengakhiri Polemik Pencatatan Perkawinan Beda Agama Dan Keyakinan,
(Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2023),
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/mengakhiri-polemik-pencatatan-
perkawinan-beda-agama-dan-keyakinan-oleh-ubed-bagus-razali-s-h-i-s-h-7-8#:~:text=Pada
%2017%20Juli%202023%20lalu,Yang%20Berbeda%20Agama%20dan%20Kepercayaan., Diakses
33
Adapun isi yang tercantum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023
menjelaskan bahwa untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam
mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang
berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada
ketentuan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8
huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar
umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
D. Respon Positif dan Negatif dari Terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023
SEMA No.2 Tahun 2023 memuat, kesatu, perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU
34
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Kedua, pengadilan
tidak boleh mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat
yang berbeda agama dan kepercayaan.44
Para hakim wajib tunduk pada SEMA karena isi dari SEMA bersifat
menerangkan hal yang masih belum jelas atau masih terdapat perbedaan
antara teori dan praktek dalam dunia peradilan. Petunjuk tersebut merupakan
penjelasan atau penafsiran peraturan Undang-undang agar dalam praktek
pengadilan tidak terjadi disparitas dalam memberikan keadilan yang
menimbulkan tidak tercapainya kepastian hukum, sebagai salah satu ide
dasar hukum. Sehingga sekiranya dalam peradilan terdapat suatu
disharmoni dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat
peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan dan dapat
memberikan keadilan dan kepastian hukum.
35
berkepanjangan mengenai perbedaan pendapat terkait perkawinan beda
agama. Akan tetapi tidak dapat berhenti di SEMA No.2 Tahun 2023
Perkawinan beda agama masih menjadi masalah selama UU Adminduk
mengenai pencatatan perkawinan dalam pasal 35 huruf a masih berlaku dan
pemahaman masyarakat atau penggiat Hak Asasi Manusia tidak dapat
dibenturkan dengan ajaran agama.45
Penolakan terhadap SEMA nomor 2 tahun 2023 datang dari salah satu
organisasi pejuang HAM, SETARA Institute. SETARA meminta Ketua
Mahkamah Agung (MA) mencabut Surat Edaran (SEMA) Nomor 2 Tahun
2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan
Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
45
Journal of Scientech and Developmen. Vol 5 No.1 Hal 481.
36
Menurut SETARA, SEMA 2/2023 merupakan kemunduran dan
menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak
warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam. Sebelumnya, beberapa
Pengadilan Negeri (PN) telah menunjukkan kemajuan dalam menjamin hak-
hak warga negara dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan
beda agama, seperti yang dilakukan oleh PN Jakarta Selatan dan PN
Yogyakarta.46
46
https://www.dpd.go.id/daftar-berita/dukung-sema-nomor-2-tahun-2023-sultan-hukum-indonesia-
menghormati-dan-mengadopsi-hukum-agama
37
kemudian diikuti oleh Muslim dan Mormon. Hal ini
menunjukkan pekembangan toleransi beragama di masyarakat
Amerika. Hampir 50% perkawinan Jewis beda agama,
menyusul Muslim 40% dan Mormon 34% serta Hindu sekitar
10%.
2. Perkawinan di Singapura memiliki dua (2) macam hukum
perkawinan :
a. Hukum perkawina n Islam (the Admintration of Muslim
Law/AMLA)
b. The Women Charter.
Ada 3 jenis perkawinan
1) perkawinan campuran
2) perkawinan sesama jenis
3) perkawinan antar angkatan (Marriages among Armed Forces)
Perkawinan campuran termasuk perkawinan beda agama,
Perkawinan sejenis tidak dijinkan di Singapore, namun dibawah
perkawinan sipil, kategori jenis kelamin seorang hanya yang
tertera dalam kartu identitas. Jika seseorang memiliki transgender
maka dia harus mengawini pasangan yang berasal dari jenis
keimanan yang berbeda. Dalam perkawinan Muslim tidak
diijinkan walau orang tersebut telah melalui proses ganti
kelamin.
3. Australia
Dari tahun 1901-1961 masing-masing negara bagian
bertanggung jawab mengatur perkawinan yang akhirnya masing-
masing negara bagian memiliki hukum perkawinannya masing-
masing. ada sembilan sistem perkawinan yang terpisah, walau
memiliki beberapa persamaan, memperlihatkan keberagaman
38
dalam prinsip dan detailnya.
Hukum perkawinan diatur dalam Marriage Act 1961 mengatur
perkawinan secara sama diseluruh negara. Didalam Marriage Act
1961 tidak mencantumkan pengertian perkawinan, dan pengertian
perkawinan didasarkan pada sistem common law.
The Family Law Act 1975 definisi hubungan hidup bersama
adalah dimana:
a. Kedua orang tidak dalam hubungan pernikahan secara formal
satu sama lain
b. Dua orang tidak dalam hubungan keluarga
c. dua orang memiliki hubungan sebagai sepasang suami istri hidup
bersama berdasarkan hubungan pribadi.
4. Belanda
5. Indonesia
39
Untuk WNI perkawinan diatur didalam Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) mengatur
tentang keabsahan perkawinan yang harus dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaaan. Kemudian Pasal 2
ayat (1) menyatakan bahwa setelah itu perkawinan harus dicatatkan:
Bagi WNI yg beragama Islam di KUA dan bagi selain Islam ke DKCS.
6. Turki
Hukum keluarga diatur didalam The Turkish Family Law of
Cyprus tahun 1951 Pasal 11-23, Perkawinan boleh dirayakan sesuai
dengan agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran
dilakukan sebelum perayaan perkawinan.
40
seremoni agama-masing. Aturan tentang Perayaan Pernikahan dapat
dilakukan menurut masing-masing agama hanya harus dilakukan proses
pencatatan terlebih dahulu, yang terbalik dengan Indonesia.
47
Kadek Wiwik Indrayanti dan Enny Ristanty, Analisis peraturan perkawinan beda agama di
berbagai negara sebagai perlindungan hukum untuk membentuk keluarga. Jurnal Cakrawala Hukum,
Volume 11 No. 1 April 2020. h. 77-79.
41
akan memunculkan konflik-konflik baru yang sulit diselesaikan dan dapat
berujung pada konflik keluarga.
42
Adapun jika ada terjadi sebuah pernikahan beda agama maka wali
nikah yang non muslim tidak diperkenankan menjadi wali nikah anaknya
yang muslim namun dalam kasus ini ia yang menjadi wali nikahnya adalah
hakim sebagaimana yang telah ditentukan dalam beberapa pasal yaitu pasal
21, 22, 23 kompilasi hukum Islam (KHI).
a. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang
sah.
b. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan
tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan
dengan melahirkan bayi.
c. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang
waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari
kelahirannya oleh suami.
43
G.
44
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
45
Berdasarkan pengetahuan pemakalah, maka pemakalah
memberikan saran untuk mengakses referensi yang pemakalah telah
sertakan untuk pemahaman lebih lanjut untuk topik terkait dan untuk
kesalahan penulisan nama, penerbit, daerah dan judul itu adalah kesalahan
pemakalah, karena pada dasarnya pemakalah bukanlah makhluk yang
sempurna.
46
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
AP, Pius, M. Dahlan, 1994, Kamus Ilmiah Popular, Surabaya: Arloka, Cet. Ke-1
Aprita, Serlika dkk, 2020, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana
Media.
Hawi, Akhmal, 2014, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali.
Setyaningsih dan Aline Gratika Nugrahani. 2021. Buku Ajar Hukum Perkawinan.
Depok: PT Rajawali Buana Pusaka.
SM., Marwan & Jimmy, P., 2009, Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher.
Sukardi, Ahmad, and Bakri A Rahman. (1981). Hukum Perkawinan Menurut Islam.
Jakarta: Hidakarya Agung.
Sukses Dakhi, Agustin, 2019, Perkawinan Beda Agama Suatu Tinjauan Sosiologi,
Cet-1, Yogyakarta: CV Budi Utama.
Sumbulah,Umi, 2010, “Radikal dan Pluralism Agama”, Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, Malang.
Surayin, 2005, Analisis Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: Yrama Widya.
47
Tim Pengkajian Hukum: Abdul Rozak A. Sastra. 2011. Pengkajian Hukum Tentang
Perkawinan Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara). Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional (Bphn) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia.
Jurnal :
Bagus, Ubed Razali. 2023. Mengakhiri Polemik Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Dan Keyakinan. Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral
Badan Peradilan Agama.
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/mengakhiri-
polemik-pencatatan-perkawinan-beda-agama-dan-keyakinan-oleh-ubed-
bagus-razali-s-h-i-s-h-7-8#:~:text=Pada%2017%20Juli
%202023%20lalu,Yang%20Berbeda%20Agama%20dan%20Kepercayaan.,
Diakses tanggal 8 Oktober 2023.
Cantonia, Sindy dan Ilyas Abdul Majid. 2021. Tinjauan Yuridis Terhadap
Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Dalam Perspektif Undang-Undang
Perkawinan Dan Hak Asasi Manusia (Juridical Review On Interfaith
Marriage In Indonesia In The Perspective Of Marriage Law And Human
Rights), Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.6
48
Kharisma, B. U. (2023). Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun
2023. Akhir Dari Polemik Perkawinan Beda Agama? Journal of Scientech
Research and Development.
Lela F. Ch, Ana dkk, Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi
Agama: Studi Perkawinan Beda Agama di Jember, Jurnal Ilmu Akidah dan
Studi Keagamaan (4)1: 121.
Ruth, Dwimaya Diknasya Hutasoit. 2023. Surat Edaran Mahkamah Agung tentang
Larangan Pencatatan Perkawinan Beda Agama: Solusi atau Kemunduran
Hukum?. Depok: LK2FH UI. https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/surat-
edaran-mahkamah-agung-tentang-larangan-pencatatan-perkawinan-beda-
agama-solusi-atau-kemunduran-hukum/ Diakses tanggal 9 Oktober 2023.
Wiwik, Kadek Indrayanti dan Enny Ristanty. 2020. Analisis peraturan perkawinan
beda agama di berbagai negara sebagai perlindungan hukum untuk
membentuk keluarga. Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 11 No. 1.
49
Zulfadhli. (2021). Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia. Jurnal
Inovasi Penelitian.
Peraturan Perundang-Undangan
50