Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

“Hukum Perkawinan Wanita Hamil Dan Nikah Siri”

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Elimartati, M.Ag

Disusun Oleh :

Kelompok 8

Alisa Rif’atul Hilmi 2130201011

Divya Putri 2130201025

PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAHMUD YUNUS

BATUSANGKAR

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan pemakalah sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya,
tentunya pemakalah tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Baginda tercinta
kita yakni Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat.
Tidak lupa, puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga pemakalah mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Hukum Perkawinan Wanita
Hamil Dan Nikah Siri “ di mata kuliah Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Pemakalah tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk
makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, pemakalah
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Batusangkar, 02 November 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II ................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4
A. Perkawinan Wanita Hamil ...................................................................................... 4
B. Nikah Siri ................................................................................................................ 8
C. Analisis Problematika Pengurusan Isbat Nikah .................................................... 13
D. Akta Kelahiran Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Keluarga Islam .............. 16
E. Studi di kabupaten Dhamasraya dan kabupaten Lima Puluh Kota ....................... 21
BAB III............................................................................................................................. 23
PENUTUP........................................................................................................................ 23
A. KESIMPULAN ..................................................................................................... 23
B. SARAN ................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Pernikahan, Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum
Islam, “pernikahan adalah akad yang sangat kuat (mistaqan ghalidan)
untuk mentaati perintahAllah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.2
Pernikahan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus
memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan
berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan, pernikahan sering
dilakukandalam berbagai macam sebutan seperti kawin bawa lari, kawin
bawah tangan dan juga kawin kontrak sehingga munculah kawin yang
sekarang paling popular dimasyarakat yakni kawin sirri atau nikah sirri.
Pernikahan yang tidak dicatatkan ini adalah pernikahan yang dilakukan
berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor
pegawai pencatatan nikah (KUA). Pengertian dari nikah sirri, yaitu
pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang
laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau
tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah
dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada
masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada saat ini.
Dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan sesuai dengan
rukun-rukun pernikahan dan syaratnya menurut syari‟at, hanya saja saksi
diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), hlm. 2.
2
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nusa Aulia, 2012), hlm. 76

1
khalayak ramai,kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada
walimatul-‟ursy. Adapunnikah sirri yang dikenal oleh masyarakat
Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau
wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di
hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau
tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau
di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.
Hamil diluar nikah, sebagai efek pergaulan bebas. Akibat dari
pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan, yang tidak lagi
mengindahkan norma dan kaidah-kaidah agama adalah terjadinya hamil
diluar nikah. Kehamilan yang terjadi diluar nikah tersebut, merupakan aib
bagi keluarga yang akan mengundang cemoohan dari masyarakat. Dari
sanalah orang tua menikahkan secara sirri anaknya dengan laki-laki yang
menghamilinya dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga dan
tanpa melibatkan petugas PPN, tetapi hanya dilakukan oleh mualim (ada
istilah nikah secara kiyai) tanpa melakukan pencatatan.3

B. Rumusan Masalah
Untuk mengetahui pokok-pokok bahasan yang menjadi penekanan
didalam pembahasan ini, maka pemakalah menganggap perlu untuk
mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Dari Perkawinan Wanita Hamil ?
2. Apa Yang Dimaksud Dengan Nikah Siri ?
3. Bagaimana Problematika Pengurusan Isbat Nikah ?
4. Bagaiamana Akta Kelahiran Perspektif Hukum Positif Dan Hukum
Keluarga Islam ?
5. Bagaimana Studi Di Kabupaten Dharmasraya Dan Kabupaten Lima
Puluh Kota ?

C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penulisan makalah ini, diantaranya sebagai berikut :
3
Heru Susetyo, “Revisi Undang-Undang Pernikahan”, Jurnal Lex Jurnalica 4 (2) April
2007Universitas Indonusa Esa Unggul, hlm.73

2
1. Untuk Mengetahui Pengertian Dari Perkawinan Wanita Hamil.
2. Untuk Mengetahui Maksud Dari Nikah Siri.
3. Untuk Mengetahui Tentang Problamatika Isbat Nikah.
4. Untuk Mengetahui Akta Kelahiran Perspektif Hukum Positif Dan
Hukum Keluarga Islam.
5. Untuk Mengetahui Studi Di Kabupaten Dharmasraya Dan Kabupaten
Lima Puluh Kota.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkawinan Wanita Hamil


Masalah menikahi perempuan hamil memerlukan ketelitian dan
perhatian yang bijaksana terutama pegawai pencatat nikah. Hal ini
disebabkan semakin longgarnya norma-norma moral dan etika sebahagian
masyarakat, terutama bagi masayarakat yang pemahaman agamanya
belum baik. Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang perkawinan
dengan perempuan hamil diluar nikah pasal 53, ayat (1) seorang
perempuan hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya. Ayat (2) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ayat
(1), dapat dilansungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya. Ayat (3)
dengan dilansungkannya perkawinan pada saat perempuan hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.4
Kebolehan pernikahan perempuan yang hamil diluar nikah dengan
laki-laki yang menghamilinya sesuai dengan pendapat ulama Hanafiyah,
Syafi’iyah, dan Zhahiriyah yang mengatakan perempuan hamil karena zina
boleh dikawini tanpa menunggu kelahiran bayi yang dikandung.5
Sedangkan ulama malikiyah dan hanabilah mengatakan bahwa perempuan
tersebut tidak boleh dinikahi kecuali setelah melahirkan bayi yang
dikandungnya, sebagaimana tidak boleh mengawini perempuan hamil
dalam masa iddah.
Dalam hal ini ada beberapa mufassir yang sudah menuliskan
keterangan tentang kasus tersebut dalam penafsiran ayat Al-Qur’an. Salah
satunya adalah mufassir Quraish Shihab, pertanyaan tersebut dapat
terjawab, ketika menafsiri surah An-nur ayat 3:

4
Kompilasi Hukum Islam,Fokus Media, 2005
5
Khoirul Abror, Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina, Studi Komparatif Hukum Islam Dan KHI,
UIN Raden Intan Lampung 2017

4
‫اىسا ِو َيةُ ََل َي ْى ِن ُح َه ۤا ا ََِّل زَ ا‬
َّ ‫ىسا ِو ْي ََل َي ْى ِن ُح ا ََِّل زَ ا ِو َيةً ا َ ْو ُم ْش ِر َمةً ۖ َّو‬
َّ َ ‫ا‬
َ ‫ٍن ا َ ْو ُم ْش ِرك ۖ َو ُح ِ ّر ًَ ٰذ ِى َل‬
َ‫عيًَ ْاى ُمؤْ ِم ِىيْه‬

Artinya : "Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan


pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina
perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau
dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-
orang mukmin."
Ayat diatas dapat dipahami bahwa orang pezina pasangannya
adalah orang yang pezina juga, sedangkan perempuan hamil diluar nikah
adalah pezina tentunya sama dengan laki-laki yang menghamilinya. Selain
itu untuk menentukan status anak dan nasabnya, secara hukum anak zina
hanya mempunyai ubungan kekerabatan dengan pohak ibunya, seperti juga
kedudukan anak li’an yaitu anak yang diingkari oleh bapaknya dengan
tuduhan ibunya berzina. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf,
ia berpendapat bahwa tidak boleh menikah dengan perempuan yang hamil
karena zina. Sebab karena hamil itu seseorang dilarang untuk melakukan
hubungan seksual.karena itu dilarang pula melakukan pernikahan.
Larangan ini berlaku bagi sesame pezina dan orang lain yang akan
menikah dengannya.6
Quraish Shihab dalam kitab Tafsirnya mengatakan, bahwa surah
an-nur ayat 3 memiliki implikasi hukum bahwa pernikahan yang didahului
dengan kehamilan, banyak ulama yang mengatakan sah. Seperti halnya
juga sahabat Nabi, Ibnu Abbas berpendapat bahwa hubungan dua jenis
kelamin yang dilaksanakan sebelum pernikahan yang sah, kemudian
melangsungkan pernikahan dalam keadaan hamil itu sah. Atau dengan kata
lain, seseorang yang telah berzina dengan perempuan, kemudian menikahi
perempuan tersebut, itu seperti seseorang yang mencuri buah dari kebun
seseorang (haram), kemudian ia membeli dengan sah (halal). Maka itu
artinya, sebelum pembelian itu haram, sesudah pembelian itu halal.

6
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. PT, Ichtiar Baru Hoeve, Jakarta 1997

5
Quraish Shihab juga menambahkan keterangan bahwa sebenarnya
dalam ayat tersebut tidak ada keterangan penjelasan tentang hukum
perkawinannya. Namun, Allah memperjelas perihal tentang buruknya zina.

ً‫ وجاز ىه وطؤها قبو وضعه عي‬،‫ صح وناحه قطعا‬،‫وىى ونح حامال مه زوا‬
‫األصح‬

Artinya : “Jika seseorang menikahi wanita yang tengah hamil


karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat
yang lebih sahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa
kehamilan.”7
Selanjutnya, pada kitab Tafsir Al-Qur’an adzim, bahwa Imam
Ahmad ibnu Hambal pernah berpendapat bahwa akad nikah yang
dilakukan seorang lelaki yang menikahi perempuan yang berbuat zina atau
perempuan tuna susila itu tidak sah. Selama perempuan tersebut masih
bersangkutan sebagai pelacur, terkecuali bila perempuan tersebut telah
bertobat. Jika perempuan yang bersangkutan telah bertobat, maka akad
nikah terhadapnya dari laki-laki yang memelihara diri hukumnya sah, dan
jika masih belum bertobat, akad nikahnya tetap tidak sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan wanita hamil
telah mendapat tempat pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3 dan
membolehkannya wanita hamil melangsungkan perkawinannya dengan
laki-laki yang menghamilinya. Pembolehan kawin hamil dalam KHI pasal
53 yaitu yang berbunyi:
1. Seseorang wanita hamil diluar nikah, dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1
dapat dilansungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran
anaknya

7
Imam An-Nawawi, kitabnya Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib

6
3. Dengan dilansungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.8
Hukum menikah dengan wanita yang sedang hamil zina, oleh para
ulama amat diperselisihkan. Imam Al-Qurthubi seorang pakar hukum
Islam menguraikan perkawinan seorang dengan penzina, beliau
mengemukakan bahwa: “sahabat Nabi Ibn’ Abbas berpendapat bahwa
seseorang yang menikahi wanita yang telah dizinahinya, perkawinannya
dinilai sah. Memang awalnya dalah penzinaan sebelum dia kawin, tetapi
akhirnaya adalah nikah yang sah setelah akad nikah dilaksanakan”.
Pendapat ini dianut oleh Imam Syafi’i dan Abu Hanifah.9
Status anak dari pernikahan wanita hamil karena zina, pada
hakikatnya seseorang anak zina pasti hanya dinasabkan kepada ibunya
saja, sedangkan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bisa
menjadi bapaknya jika dilihat dari nasabnya, pernyataan ini sudah
dituliskan oleh Ibnu Rusyd didalam kitabnya yang berjudul Bidayatul
Mujtahid , adapun bunyi teksnya adalah : “Semua ulama berpandangan
sama terkait status nasab anak yang dari perbuatan zina hanya jatuh
kepada ibunya saja, kecuali pada apa yang pernah terjadi dizaman
jahiliyah”10
Bahkan untuk menguatkan pendapat mereka, landasan hukum yang
digunakan adalah hadis diriwayatkan oleh Imam Al- Bukhari Sebagi
berikut : “Pada dasarnya seorang anak adalah hak seorang laki-laki yang
menyebabkan kelahirannya, akan tetapi jika dilakukan melalui perbuatan
zina, maka tidak ada hak sama sekali”.
Walaupun demikian, status anak hasil zina tersebut juga masih
mempunya peluang untuk dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya. Hal ini sesuai dengan pendapat dalam mazhab Syafi’I yang
menyatakan anak hasil zina bisa dinasabkan kepada bapaknya asalkan

8
Undang – Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara
9
M. Quraish Shihab, (2001). Fatwa – Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Al-Qur’an, Bandung:
Mizan Media Utama.
10
Rusyd,I. Bidayatul Mujtahid. Dar Al-Hadis. 2004

7
anak tersebut lahir setelah 6 bulan masa pernikahan, namun jika masih
kurang dari waktu tersebut tetap saja si anak hanya dinasabkan kepada
ibunya, walaupun peluang masih terbuka jika si bapak mengakui anak
yang lahir kurang dari 6 bulan pasca pernikahan, tetapi dia tidak
menyatakan bahwa proses anak tersebut lahir dari perbuatan zina.11

B. Nikah Siri
Dalam hukum perkawinan tidak disebutkan secara khusus tentang
pernikahan siri. Namun sebagai kenyataan, pernikahan siri dapat dikaitkan
dengan pelanggaran seseorang terhadap kewajiban untuk mencatatkan
pernikahannya secara resmi di lembaga pencatat nikah.
Istilah nikah siri adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang
secara umum telah diserap dalam bahasa Indonesia. Pernikahan siri yang
dalam kitab (‫ )اىشىاج اىسسي‬disebut fiqh sebagai rangkaian dari dua kata
yaitu ‫ اىشىج‬dan ‫اىسسي‬. Istilah nikah merupakan bentuk masdar yang
menurut bahasa berarti pernikahan.
Sedangkan istilah siri ‫ ( اىسسي‬merupakan bentuk masdar dari kata)
‫ ز ش‬yang secara bahasa berarti rahasia. Berdasarkan pengertian tersebut,
maka padanan kata az-zawaj dan as-siri diartikan dapat ‫اىشىاج اىسسي‬
pernikahan yang dilakukan secara sembunyi/rahasia.12
Pengertian nikah siri secara terminologi adalah pernikahan yang
diperintahkan agar dirahasiakan. Dalam versi lain pernikahan yang
dilangsungkan tanpa tasyhir (pengumuman kepada publik).
Nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini
ialah pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat yang
ditetapkan agama, tetapi tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat
nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak
dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di
kantor catatan sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga tidak
mempunyai akta nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan

11
Dhiauddin Tanjung. Menkahi Wanita Hamil Di Luar Nikah (Perspektif Fikih Dan Kompilasi
Hukum Islam). Jurnal Ilmu Syariah. Vol. 13 No. 2. Desember 2021
12
Burhanuddin, Nikah Siri, Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri, h. 13

8
yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah
siri atau dikenal juga dengan sebutan nikah di bawah tangan.
Nikah siri tidak hanya dikenal pada zaman sekarang saja, tetapi
juga telah ada pada zaman sahabat. Istilah itu berasal dari ucapan Umar
bin Khattab pada saat memberitahu bahwa telah terjadi pernikahan yang
tidak dihadiri saksi, kecuali hanya seorang laki-laki dan seorang
perempuan. Dalam suatu riwayat masyhur, sahabat Umar bin Khattab ra
menyatakan :

‫هرا وناح اىسس واه اجيشه ىى مىت تقدمت ىسجمت‬


Artinya : ”ini nikah siri, saya tidak membolehkannya dan
sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam”
Bila diperhatikan secara mendalam, pernikahan bukan merupakan
masalah sederhana yang mengikat antara seorang lakilaki dan seorang
perempuan. Pernikahan merupakan kontrak atau akad yang menimbulkan
berbagai akibat hukum lainnya, seperti kebolehan bagi laki-laki dan
perempuan melakukan hubungan suami istri (seksual), keharusan
membina rumah tangga yang harmonis, memperoleh keturunan yang sah,
serta memunculkan hak dan kewajiban antara suami dan istri.
Kebanyakan orang meyakini bahwa pernikahan siri dipandang sah
menurut Islam apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, meskipun
pernikahan tersebut tidak dicatatkan secara resmi di lembaga pencatatan
negara. Begitu pula sebaliknya, suatu perceraian dipandang sah apabila
telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya meskipun penceraian itu
dilakukan di luar sidang pengadilan. Akibat kenyataan tersebut, maka
timbul semacam dualisme hukum yang berlaku di negara Indonesia, yaitu
dari satu sisi pernikahan harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama
(KUA), namun di sisi lain tanpa dicatatkan pun ternyata tetap sah apabila
telah memenuhi ketentuan syariat agama.
Adapun dampak yang ditimbulkan akibat pernikahan siri ada 2
yaitu :
1. Dampak negatifnya
a. Berselingkuh menjadi hal yang wajar

9
b. Banyaknya timbul poligami yang terselubung
c. Tidak ada kejelasan status istri dan akibat pernikahannya
d. Pelecehan seksual terhadap kaum hawa dikarenakan
sebagai pelampiasan nafsu sesaat yang apabila telah terjadi
pihak perempuan sangat dirugikan, sehingga timbulah
penyesalan, hawa nafsu selama ini mengebugebu menjadi
hilang, dan pikiran jernih justru mendatangi mereka.
Karena akibatnya kebanyakan suami lari dari tanggung
jawab
e. Pernikahan siri berpotensi menimbulkan pintu lahirnya
keragu-raguan dan prasangka buruk menjadi terbuka
f. Nikah siri merupakan jembatan guna merampas hak istri
supaya melakukan tawar menawar untuk melepaskan diri
dari pernikahan ini dengan gugatan perceraian.
2. Dampak Positifnya adalah :
a. Meminimalisasi adanya seks bebas, serta berkembangan
penyakit AIDS.
b. Pada pernikahan siri tercapai tujuan penting dalam
pernikahan, yaitu perlindungan kehormatan suami.
c. Jumlah biaya yang digunakan dalam pernikahan siri
biasanya lebih ringan dibandingkan pada pernikahan resmi.
d. Pernikahan siri dapat menghindari aturan-aturan resmi yang
berlaku pada pernikahan dan normanorma.
e. Karakter nikah siri bersesuaian dengan watak pekerjaan
seseorang lelaki dalam kondisi dimana pekerjaannya
menuntut dirinya untuk bepergian jauh kesuatu negara
dalam jangka waktu tertentu.13
Disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 6 bahwa setiap
pernikahan yang dilaksanakan atas sepengetahuan pegawai pencatatan
pernikahan yang berhak mencatat peristiwa pernikahan tersebut. Maka

13
Dwi Jaya Putra. Nikah Siri Dan Problematikanya Dalam Hukum Islam. Jurnal Hukum Sahasen.
Vol 2. No 2 Tahun 2017

10
suatu pernikahan yang tidak dicatat oleh pegawai pencatatan pernikahan
tidak sah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal
45 menyebutkan pernikahan siri sebagai suatu pelanggaran.14
Berbagai permasalahan akan timbul dalam perkawinan yang
dilakukan secara siri, hal tersebut tentunya tidak dapat dipungkiri karena
suatu pernikahan siri tidak memiliki kekuatan di mata hukum negara.
Maka dalam kehidupan suami istri tersebut akan dihadapkan pada masalah
ekonomi karena pernikahan siri cenderung dilaksanakan atas ketidaksiapan
calon pasangan. Selain itu juga berdampak terhadap masalah sosial yang
mana akan timbul konflik atas pengucilan dan perspektif negatif dalam
masyarakat kepada mereka yang melakukan pernikahan secara siri. Secara
hukum dalampernikahan siri Istri tidak dianggap sebagai Istri sah, oleh
sebab itu istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan warisan dari suami
jika meninggal dunia. Istri juga tidak berhak dalam menuntut harta gono-
gini jika terjadi perceraian atas pernikahan yang dilakukan secara siri.15
Kedudukan anak di dalam KUH Perdata terdapat 2 (dua) macam
yaitu, anak yang dapat diakui dan anak yang tidak dapat diakui. Anak yang
dapat diakui adalah anak yang lahir atas pernikahan yang dilakukan secara
sah sesuai agamnya dan dicatat oleh pegawai pencatatan sipil sehingga
kedudukan sang anak akan mendapatkan kekuatan di mata hukum dan
berhak untuk mewarisi harta peninggalan kedua orang tuanya. Sementara
anak yang tidak dapat diakui adalah anak yang lahir atas perkawinan yang
tidak sah karena tidak dicatatkan oleh pegawai pencatatan sipil. Akibatnya
anak yang tidak dapat diakui tidak berhak mendapatkan warisan atas kedua
orang tuanya.
Akibat anak yang lahir atas pernikan siri maka tidak berhak untuk
dapat memiliki akta kelahiran. Hal tersebut dikarenakan orang tua tidak
dapat menunjukkan akta perkawinan. Padahal dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan

14
Mahkamah Agung RI, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERKAITAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM SERTA PENGERTIAN DALAM
PEMBAHASANNYA.
15
Abdullah Jayadi, Fenomena Nikah Siri : Perspektif Makna Pelaku Nikah Siri, ed. oleh M.
Musfiqon, 1 ed. (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2012).

11
setiap anak berhak akan identitasnya dan status kewarganegaraannya.
Sebagai anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, dapat membuat akta
kelahiran melalui pencatatan kelahiran, tetapi nama orang tua yang
tercantum hanya ibunya saja. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya
juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai
bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya.
Dalam menyikapi keberadaan perkawinan siri ini, diperlukannya
metode penyuluhan, edukasi dan evalusi untuk menindaklanjuti kasus
tersebut. Guna pengedukasi ini untuk memberikan pemahaman akan
pengetahuan serta menumbuhkan kesadaran terkait nikah siri dengan cara
face to face bahkan langsung dengan orang yang ahli pada bidangnya.
Banyak alasan yang meryertakan keberlangsungan perkawinanan siri yaitu
dalam islam yang memperbolehkan menikah lebih dari 1 isteri hingga 4
dengan syarat adil. Selain tu keberadaannya sangat dipengaruhi oleh adat
dan budaya setempat sehingga melahkan pemikiran pemikiran tersebut.
Nikah siri juga dlkukan untuk menikahkan anak anak mereka dengan
alasan untuk menjauh dari perzinaan.
Untuk menindak lanjuti keberadaan nikah siri tersebut, peran KUA
yaitu dengan penyuluhan pencatatan pernikahan dan keluarga bahagia di
KUA kepada calon pengantin, sosialisasi tentang pentingnya pencatatan
pernikahan dan dampaknya terhadap keluarga anaknya melalui seminar
dan pengajaran, bekerjasama dalam menyelenggarakan penyuluhan serta
pendekatan KUA sebagai kewenangnnya dalam mengurusi pernikahan.
Melakukan penjadwalan penyuluhan Pencatatan Pernikahan dan Keluarga
Bahagia yang dilakukan oleh Badan Penasehat, Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan (BP4) di Kantor Urusan Agama kepada calon pengantin dan
wali. Kantor Urusan Agama saling bekerjasama dengan rekan kerjanya
yang berada di setiap desa yaitu P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah/
Amil Desa) bersama staff aparatur desa melakukan penyuluhan setiap 2
Bulan sekali kepada masyarakat yang diselenggarakan di Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan dan juga sering diselenggarakan sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati untuk memberikan pemahaman dan

12
penjelasan terkait pernikahan siri serta dampak-dampak yang timbul dan
hak-hak yang tidak bisa didapatkan akibat melakukan pernikahan siri.16

C. Analisis Problematika Pengurusan Isbat Nikah


Itsbat nikah adalah gabungan dari dua kata yaitu itsbat dan nikah.
Itsbat adalah kata masdar yang diambil dari kata “atsbata yutsbitu itsbat”
yang artinya penetapan.17 Sedangkan kata nikah adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dan
bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha Esa. Menurut ulama fiqih nikah adalah akad yang
membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan, dan berkumpul selama wanita tersebut
bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab nasab dan
sepersusuan.18
Dari pengabungan dua kalimat di atas dapat diartikan bahwa itsbat
nikah yaitu penetapan oleh pengadilan atas ikatan atau akad yang
membolehkan terjadinya hubungan suami istri sebagaimana yang
dirumuskan dalam kamus bahasa Indonesia bahwa itsbat nikah adalah
penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah.19
Jadi itsbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan agama Islam yaitu terpenuhinya syarat dan rukun nikah.
Akan tetapi pernikahan ini belum atau tidak dicatat oleh Kantor Urusan
Agama (KUA) atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Itsbat nikah merupakan solusi atas berlakunya UU perkawinan No.
1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 yang mengharuskan pencatatan perkawinan,
karna sebelum berlakunya UU No 1 Tahun 1974 banyak perkawinan yang

16
Farid Pardamean Putra Irawan, Nur Rofiq. Pernikahan Siri Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan
UndanG-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal Iqtisad. Vol 8. No 1 Tahun
2021
17
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir (Arab-Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997), Cet. 14, h. 145
18
Wahbah Al Zuhaily, Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu, Juz VIII, (Damsiq: Dar Al Fikr, 1989), h.
29.
19
Hamzah Apriansyah. Analisis Terhadap Pemberian Syarat Dalam Menetapkan Itsbat nIkah
Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif. Skripsi UIN Bengkulu.2020

13
tidak dicatat tetapi bisa dimintakan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 berbunyi “untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang dijalankan menurut peraturan lama adalah sah.” Dari penjelasan
pasal ini menyatakan bahwa pernikahan yang ada sebelum Undang-
undang ini berlaku adalah sah.
Adapun yang menjadi dasar hukum itsbat nikah adalah terdapat
dalam bab XIII pasal 64 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yaitu untuk perkawinan dan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini
berlaku dijalankan menurut peraturan lama adalah sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku 1 pasal 7 yang
terkandung pasal 64 Undang-Undang perkawinan No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang
disebut dengan itsbat nikah. Dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebutkan :
a. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah
b. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan agama
c. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
2. Hilangnya Akta Nikah
3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan
4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
UndangUndang No 1 Tahun 1974
5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang Undang No 1 Tahun 1974.

14
d. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah pihak
suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dalam perkawinan.
Sebagaimana diketahui bahwa menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam adanya
perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah, artinya dalam hal
perkawinan tidak mendapatkan akta nikah maka solusi yang dapat
ditempuh adalah mengajukan permohonan itsbat nikah, artinya seseorang
yang mengajukan itsbat nikah bertujuan agar supaya perkawinan yang
dilaksanakannya mendapat bukti secara autentik berupa Kutipan Akta
nikah dan mendapat legalisasi baik secara yuridis formal maupun di
kalangan masyarakat luas.
Banyak problem hukum yang dijumpai bagi pasangan suami istri
dan anak-anaknya akibat dari perkawinan di bawah tangan dan mereka
mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Perkara-
perkara isbat nikah ini, dapat penulis klasifikasikan masalahnya sebagai
berikut:
1. Suami istri telah menikah secara di bawah tangan sehingga
tidak mempunyai akte nikah sebagai bukti mereka telah
menikah secara sah menurut agama dan negara. Akibatnya
anak-anak tidak dapat memperoleh Akte Kelahiran dari instansi
yang berwenang, karena untuk mendapatkan akte kelahiran itu
diperlukan akte nikah dari orang tuanya. Pernikahan mereka ini
ada yang dilangsungkan sebelum dan sesudah berlakunya
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, kemudian
suami istri tersebut mengajukan permohonan isbat nikah.
2. Suami istri yang melangsungkan pernikahan sesudah tahun
1974 tidak mengetahui kalau pernikahannya tidak tercatat,
karena mereka merasa dinikahkan oleh penghulu resmi dan
membayar sejumlah biaya pernikahan, namun pada saat
memerlukan buku nikah sebagai syarat untuk berangkat haji
atau mengurus pensiun atau pembuatan akte kelahiran anak,

15
baru diketahui telah ternyata perkawinan mereka tidak tercatat
di KUA setempat, kemudian kedua suami istri mengajukan
isbat nikah.
3. Suami istri menikah secara sirri kemudian terjadi sengketa
perkawinan, suami mengajukan permohonan isbat nikah untuk
bercerai dan adapula istri (Penggugat) yang mengajukan isbat
nikah nikah untuk bercerai karena telah ditinggal pergi oleh
suaminya, guna memperoleh kepastian hukum tentang status
dirinya sebagai janda
4. Seorang wanita yang tanpa sadar senang kepada seorang laki-
laki beristri dan menikah dengan laki-laki tersebut tanpa adanya
pendaftaran ke Kantor Urusan Agama. Beberapa bulan
berselang, istri (pertama) laki-laki tersebut mendatangi istri
baru suaminya dan selanjutnya suami beristri dua tersebut
menghilang dan tidak kembali lagi ke rumah istri barunya.
Perkawinan tersebut terjadi sesudah Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 diberlakukan.20

D. Akta Kelahiran Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Keluarga


Islam
Pencatatan Sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami
oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
Peristiwa penting yang harus dicatatkan adalah peristiwa yang di alami
oleh penduduk yang membawa akibat terjadinya perubahan hak-hak
keperdataan, maupun lahirnya hak keperdaataan atau hapusnya hak
keperdataan. Sebagai mana yang disebutkan dalam undang-undang,
Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi
kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan
status kewarganegaraan.
Pencatatan kelahiran merupakan salah satu bentuk upaya untuk
memberikan perlindungan hukum bagi seorang anak yang dilahirkan agar
20
Tarsi. SH,. M.HI. Problematika Nikah Dibawah Tangan Kaitannya Dengan Pengesahan Nikah

16
segala hak-hak anak tersebut dapat dipenuhi. Setiap kelahiran yang terjadi
wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Pelaporan harus
dilakukan sesegera mungkin agar anak tersebut mendapat pelayanan
langsung berupa pemberian akta yaitu surat sebagai alat bukti yang diberi
tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Dengan adanya akta kelahiran ini, anak secara yuridis berhak
mendapatkan perlindungan hak-hak kewarganegaraannya, seperti hak atas
pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pemukiman dan hak atas sistem
perlindungan sosial. Dalam hal ini, masyarakat berarti sudah membantu
mewujudkan kepastian hukum dan menghendaki adanya ketentraman,
ketertiban, keteraturan, dan keamanan terhadap peristiwa hukum yang
terjadi.
Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan khususnya Pasal 28 juga dijelaskan bahwa :
“Pencatatan kelahiran dalam Register Akta kelahiran dan
penerbitan Kutipan Akte Kelahiran terhadap peristiwa kelahiran
seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang
tuanya, didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi
Berita Acara Pemeriksaan dari Kepolisian.” (Ayat 1)
“Kutipan Akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diterbitkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil dan disimpan oleh Instansi
Pelaksana” (Ayat 2)
Sesuai dengan Pasal 58 pada Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Pencatatan kelahiran untuk
anak yang tidak diketahui asal-usulnya dan keberadaan orang tuanya
termasuk ke dalam Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya yakni dengan
ketentuan sebagai berikut:
“Pencatatan Peristiwa Penting lainnya bagi Penduduk harus
memenuhi persyaratan:

17
 salinan penetapan pengadilan negeri tentang Peristiwa
Penting lainnya
 kutipan akta Pencatatan Sipil
 KK;
 KTP-el.” (Ayat 1)

“Pencatatan atas Peristiwa Penting lainnya sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat catatan pinggir pada
register akta kelahiran maupun pada kutipan akta kelahiran.” (Ayat 2)

Maka untuk anak yang tidak diketahui asal-usulnya, orang tua yang
akan mengurusnya hanya berstatus sebagai wali, dimana untuk
menentukan perwalian ini harus berdasarkan ketetapan pengadilan,
sehingga untuk di akta kelahiran juga nantinya tidak sebagai anak dari
suami-isteri tetapi anak dari perwalian orang tua yang mengangkatnya.
merupakan pengakuan anak yang terbatas, sebagai hukum yang khusus.

Prosedur Pencatatan Kelahiran yang telah sebutkan dalam


Peraturan Presiden masih sulit untuk masyarakat lakukan. Ketiadaan
syaratsyarat untuk mengurus akta lahir terkadang menjadi penyebab
ketidakadaannya akta kelahiran pada seorang anak. Akhirnya keabsahan
nasab anak tersebut belum tertulis secara jelas secara hukum positif.

Salah satu bentuk upaya mendapatkan akta kelahiran disebutkan


pada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan di atur bahwa “bila akta kelahiran tidak ada, maka pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat dan atas dasar ketentuan tersebut, maka Instansi Pencatatan
kelahiran dapat mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang
bersangkutan” dan Pasal 103 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, dalam Buku
I tentang perkawinan, menyatakan “bila akta kelahiran atau alat bukti
lainnya tidak ada maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal-usul seorang anak”

18
Perihal pengadilan yang berwenang mengaluarkan penetapan atas
pengesahan anak luar kawin, bagi yang beragama Islam, permohonan
penetapan pengadilan diajukan ke pengadilan agama. Pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan. Termasuk salah satunya dalam bidang perkawinan adalah
penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan Hukum Islam. Sedangkan bagi yang beragama Non Islam,
permohonan penetapan pengadilan soal pengesahan anak luar kawin
diajukan ke pengadilan negeri.

Penetapan Pengadilan inilah yang kemudian menjadi masalah


karena harus mengeluarkan biaya, prosesnya sulit, dan butuh waktu lama,
sehingga akhirnya banyak orang yang tidak mempu dan tidak punya waktu
untuk mengurus akta kelahiran.

Dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013


Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan menyebutkan, setiap kelahiran wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana setempat paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Apabila pelaporan kelahiran
melewati batas waktu yang telah ditentukan maka penduduk tersebut akan
dikenai sanksi administratif berupa denda. Sebagaimana Pasal 73 Ayat 1
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk Pencatatan Sipil yang berbunyi “Pelaporan
peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang melampaui batas
waktu dikenai denda administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Keketentuan tentang pengenaan denda administratif diatur


berdasarkan Pasal 89 dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006, Bahwa setiap penduduk yang terlambat pelaporan peristiwa
kependudukan dan Peristiwa Penting dikenai sanksi administratif berupa
denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) bagi WNI,

19
sedangkan bagi Orang Asing paling banyak Rp. 2.000.000,- (Dua Juta
Rupiah).

Di antara disyariatkan ajaran hukum Islam adalah untuk


memelihara dan menjaga keturunan atau nasab. Nasab merupakan salah
satu fondasi dasar yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah
tangga yang bersifat mengikat antarpribadi berdasarkan kesatuan darah.
Berkaitan dengan status nasab yang merupakan hak pertama bagi seorang
anak, nasab merupakan nikmat dan karunia yang paling besar. Nasab juga
merupakan hak paling pertama yang harus diterima oleh seorang bayi agar
terhindar dari kehinaan dan keterlantaran.

Mengingat betapa pentingnya permasalahan nasab ini, maka ajaran


Islam sangat menekankan untuk selalu menjaga dan memelihara
kemurnian nasab. Di samping itu Islam Juga tidak membenarkan adopsi
dengan segala kemutlakannya, sampai memutuskan hubungan nasab anak
yang diadopsi dengan orang tua kandungnya. Bahkan dalam kaitan ini pula
seorang ayah tidak dibenarkan mengingkari keturunannya, kecuali bisa
dibuktikan secara yuridis.

Berkenaan dengan masalah pengingkaran terhadap keturunannya


sendiri, dalam hukum Islam, seorang wanita diharamkan menisbahkan
(menghubungkan) seorang anak kepada orang lain yang bukan ayah
kandungnya sebagai mana sabda Nabi SAW:

“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah SAW


bersabda ketika ayat li’an turun, wanita mana saja yang melahirkan anak
melalui perzinaan, Allah mengabaikannya dan sekali-kali Allah tidak akan
memasukannya ke dalam surga. Dan lelaki mana saja yang mengingkari
nasab anaknya, sedangkan ia mengetahuinya, maka Allah akan
menghalanginya masuk ke surga dan aib yang menimpanya akan
dibukakan kepada pembesar orang-orang yang terdahulu dan orang-
orang yang belakangan di hari kiamat.” (HR. An-Nasa’i)

20
Selain dilarang, Penetapan nasab hanya bisa dilakukan oleh orang
tua kepada anak kandungnya sendiri. Karena jika bukan kepada anak
kandung maka tidak ada hubungan darah diantaranya. Dalam sistem
kenasaban Islam, seorang anak yang bukan anak kandung hanya bisa
dilakukan pengangkatan sebagai seorang anak yaitu perubahan status
menjadi anak angkat atau anak adopsi.

Adopsi menurut istilah dalam Ensiklopedia Hukum Islam. Tabbani


atau disebut dengan “adopsi” adalah pengangkatan anak orang lain sebagai
anak sendiri. Anak yang diadopsi itu disebut “anak angkat”. Istilah adopsi
dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan
hukum keluarga. 94 Sedangkan menurut KHI dalam Pasal 171 huruf h,
bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan. (Iswanto, 2020)

E. Studi di kabupaten Dhamasraya dan kabupaten Lima Puluh Kota


(IMPLIKASI NIKAH DI BAWAH TANGAN TERHADAP PROSES
PERMOHONAN PENERBITAN AKTA KELAHIRAN ANAK
MENURUT UNDANG – UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN)
Berdasarkan hasil wawancara kepada Sub Bagian Umum yang
mengata Bahwa proses permohonan penerbitan akta kelahiran anak
tidaklah sulit dan tidaklah berbelit-belit, asalkan pihak yang
berkepentingan memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan. Hal ini disebabkan karena akta kelahiran tersebut penting
sekali artinya dewasa ini, seperti misalnya dalam hal proses pendidikan.
Akta kelahiran sangatlah penting, karena akta kelahiran dijadikan
sebagai satu bukti tertulis yang autentik yang mencantumkan dengan jelas
tentang tempat, tanggal, bulan dan tahun kelahirannya serta ditegaskan
pula nama orang tuanya yang melahirkan dan juga hubungan orang tuanya,

21
apakah sebagai suami isteri yang sah atau tidak, hal tersebut mempunyai
dasar kekuatan hukum yang pasti dan kuat.
Di Negara Indonesia, yang berhak mengeluarkan akta kelahiran
seseorang adalah lembaga Catatan Sipil, hal ini dapat kita lihat bahwa
salah satu fungsi kantor Catatan Sipil adalah menyelenggarakan
pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran.
Faktor penghambat dalam pelayanan akta kelahiran yaitu
masyarakat kurang menyadari akan pentingnya akta kelahiran sehingga
tidak peduli terhadap dokumen dimana butuh baru sibuk mencari
dokumen-dokumen yang terkait.
Menurut ketentuan Perpres No 25 Tahun 2008 salah satu syarat
untuk mendapatkan akta lahir dengan adanya buku nikah yang artinya bagi
mereka yang tidak memiliki buku nikah atau perkawinan di bawah tangan
pencatatan tetap dilaksanakan dengan catatan si anak sebagai anak ibu
karna hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu.
Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada sehingga tidak dapat
membuktikan bahwa anak itu adalah anak yang dilahirkan dari kedua
pasangan suami istri yang sah.
Kontradiktif dengan Permendagri No 9 Tahun 2016 yang
menegaskan bahwa bagi mereka yang tidak memiliki buku nikah atau
perkawinannya di bawah tangan bisa memperoleh akta kelahiran yang di
dalam akta kelahiran si anak tersebut sudah dicantumkan nama ayah dan
ibunya hanya dengan melapirkan SPTJM sebagai tambahan dengan
catatan perkawinan kedua orang tuanya belum tercatat sesuai peraturan
perundang-undangan.
Dan bagi anak yang baru lahir atau baru ditemukan tidak diketahui
asal usulnya harus memenuhi persyaratan berita acara dari kepolisian dan
surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) kebenaran data
kelahiran dengan 2 (dua) orang saksi. Saksi dalam Surat Pernyataan
Tanggung Jawab Mutlak adalah orang yang melihat atau mengetahui
penandatanganan SPTJM tersebut dan inilah yang berlaku pada saat ini.
(LUBIS, 2019)

22
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Masalah menikahi perempuan hamil memerlukan ketelitian dan
perhatian yang bijaksana terutama pegawai pencatat nikah. Hal ini
disebabkan semakin longgarnya norma-norma moral dan etika sebahagian
masyarakat, terutama bagi masayarakat yang pemahaman agamanya
belum baik. Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang perkawinan
dengan perempuan hamil diluar nikah pasal 53, ayat (1) seorang
perempuan hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya. Ayat (2) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ayat
(1), dapat dilansungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya. Ayat (3)
dengan dilansungkannya perkawinan pada saat perempuan hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dalam hukum perkawinan tidak disebutkan secara khusus tentang
pernikahan siri. Namun sebagai kenyataan, pernikahan siri dapat dikaitkan
dengan pelanggaran seseorang terhadap kewajiban untuk mencatatkan
pernikahannya secara resmi di lembaga pencatat nikah.
Istilah nikah siri adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang
secara umum telah diserap dalam bahasa Indonesia. Pernikahan siri yang
dalam kitab (‫ )اىشىاج اىسسي‬disebut fiqh sebagai rangkaian dari dua kata
yaitu ‫ اىشىج‬dan ‫اىسسي‬. Istilah nikah merupakan bentuk masdar yang
menurut bahasa berarti pernikahan.
Itsbat nikah adalah gabungan dari dua kata yaitu itsbat dan nikah.
Itsbat adalah kata masdar yang diambil dari kata “atsbata yutsbitu itsbat”
yang artinya penetapan.21 Sedangkan kata nikah adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dan
bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha Esa. Menurut ulama fiqih nikah adalah akad yang
membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) antara seorang laki-

21
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir (Arab-Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997), Cet. 14, h. 145

23
laki dengan seorang perempuan, dan berkumpul selama wanita tersebut
bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab nasab dan sepersusuan.

B. SARAN
Sekian makalah tentang Hukum Perkawinan Wanita Hamil Dan
Nikah Siri dapat pemakalah sampaikan. pemakalah menyadari bahwa
makalah yang disusun ini jauh dari kata sempurna., oleh karena itu
pemakalah memohon saran dari semua pihak dan pembaca demi
kesempurnaan makalah yang telah susun ini. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi pembaca sekalian.

24
DAFTAR PUSTAKA

Kompilasi Hukum Islam. (2005). Fokus Media.

Abror, K. (2017). Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina. Studi Komparatif


Menurut Hukum Islam dan KHI. UIN Raden Intan Lampung.

Andri Nurwandi, N. F. (2021). Analisis Pernikahan Wanita Hamil Diluar Nikah


Menurut Mazhab Syafi'i Dan Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Penelitian
Medan Agama. Vol 12. no 01,2021.

An-Nawawi, I. (n.d.). kitabnya Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib .

Apriansyah, H. (2020). Analisis Terhadap Pemberian Syarat Dalam Menetapkan


Isbat Nikah Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Penetapan
Hakim). Skripsi UIN Bengkulu.

Aulia, T. R. (2012). Kompilasi Hukum Islam. (Bandung: Nusa Aulia), hlm. 76.

Dahlan, A. A. (1977). Ensiklopedi Hukum Islam. PT, Ichtiar Baru Hooeve


Jakarta.

Farid Pardamean Putra Irawan, N. R. (2021). Pernikahan Siri Dalam Tinjauan


Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Jurnal Iqtisad, Vol 8 No. 1.

Islam, U.-U. R. (2007). Bandung:Citra Umbara, Hlm.2.

Iswanto, F. (2020). KEABSAHAN NASAB BERDASARKAN AKTA KELAHIRAN


MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF. SYARIF
HIDAYATULLAH, 46.

Jaya, D. P. (2017). Nikah Siri Dan Problematika Dalam Hukum Islam. Jurnal
Hukum Sahasen. Vol 2. No 2.

Jayadi, A. (2012). Fenomena Nikah Siri : Perspektif Makna Pelaku Nikah Siri.
(Surabaya: Putra Media Nusantara).

LUBIS, S. (2019). IMPLIKASI NIKAH DI BAWAH TANGAN TERHADAP


PROSES PERMOHONAN PENERBITAN AKTA KELAHIRAN ANAK
MENURUT UNDANG – UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN. medan: medan press.

Munawwir, A. W. (1997). Kamus Al Munawwir (Arab-Indonesia) . (Yogyakarta:


Pustaka Progresif), Cet. 14, h. 145.

25
RI, M. A. (n.d.). HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERKAITAN DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM SERTA
PENGERTIAN DALAM PEMBAHASANNYA.

Rusy, I. (2004). Bidayatul Mujtahid. Dar Al-Hadis.

Shihab, M. Q. (2001). Fatwa – Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Al-Qur’an .


Bandung : Mizan Media Utama.

Susetyo, H. (2 April 2007). “Revisi Undang-Undang Pernikahan”. Jurnal Lex


Jurnalica Universitas Indonesia Unggul, hlm.73.

Tanjung, D. (Desember 2021). Menkahi Wanita Hamil Di Luar Nikah (Perspektif


Fikih Dan Kompilasi Hukum Islam). Jurnal Ilmu Syariah. Vol. 13 No. 2.
Desember 2021.

Tarsi, S. M. (n.d.). Problematika Nikah Dibawah Tangan Kaitannya Dengan


Pengesahan Nikah.

Undang – Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. (n.d.). Bandung : Citra Umbara.

Zuhaily, W. A. (1989). Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu, Juz VIII, . (Damsiq:


Dar Al Fikr), h. 29.

26

Anda mungkin juga menyukai