Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

AKTUALISASI PRINSIP DAN SYARAT PERKAWINAN PERSPEKTIF


UNDANG-UNDANG

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas suatu matakuliah Hukum Perdata Islam
yang dibina oleh dosen Dr. Sri Lumatus Sa’adah, M.HI)

Ditulis Oleh:

MOH. JUFRI
Nim: 213206050014

PRODI HUKUM KELUARGA PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM


NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER
OKTOBER 2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, Penulis mengucapkan puji dan syukur terhadap
kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya serta sholawat
dan salam kepada Rosulullah SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya
hingga ahir zaman sehingga makalah ini dapat diselesaikan oleh Penulis . Dalam
makalah ini yang berjudul “Aktualisasi Prinsip Dan Syarat Perkawinan Perspektif
Undang-Undang” ditulis bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum
Perdata Islam.

Sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
Penulis sangat menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca dan
yang lebih khusus kepada dosen pengampu mata kuliah ini.

Situbondo, 03 Oktober 2021


Penulis,

MOH. JUFRI
Nim: 213206050014

1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ......................................................................................... 1
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................... 3
B. Rumusan masalah..................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan Perspektif Undang-Undang dan Kompilasi Hukum
Islam ........................................................................................................ 6
B. Prinsip Perkawinan Perspektif Undang-Undang........................................ 6
C. Syarat Perkawinan Perspektif Undang-Undang ......................................... 8
D. Aktualisasi Prinsip dan Syarta Perkawinan Perspektif Undang-Undang .. 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 14
B. Saran ...................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana manusia diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini sebagai
makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Sehingga dalam memenuhi
kebutuhannya mereka akan saling membutuhkan satu sama lain. Salah satu
kebutuhan manusia yaitu keinginan untuk membentuk keluarga yang
bertujuan agar bisa meneruskan keberlangsungan hidup dan mempunyai
keturunan. Allah menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan melalui
pernikahan sebagai jaminan populasi manusia dimuka bumi sebagai motivasi
dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga keturungan mereka.
Dalam kehidupan manusia didunia ini yang berbeda jenis secara alamiyah
mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat
hidup bersama atau secara rasional bisa dikatakan supaya membentuk suatu
ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga yang rukun ,
harmunis dan sejahtera.1
Di Indonesia aturan tata tertib itu sudah ada sejak zaman kuno, sejak
zaman Sriwijaya, Majapahit sampai masa kolonal Belanda dan sampai
Indonesia merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja
menyangkut warga negara indonesia, tetapi juiga menyangkut negara asing
karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia. 2 Hak seseorang untuk
melakukan perkawinan dan melanjutkan keturunan juga telah diatur melalui
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B Ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah”.

1
Musdaf Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender,
Solidaritas Perempuan, 1999) 1.
2
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama) (Jakarta: Masdar Maju, 2007) 1.

3
Perkawinan sebagai tindakan hukum yang mana merupakan suatu
perbuatan yang mengandung didalamnya berupa hak dan kewajiban bagi
setiap individu yang melaksanakannya. Seorang laki-laki dan perempuan yang
sesudah melaksanakan perkawinan maka akan menimbulkan akibat-akibat
hukum yaitu berkenaan hukuman antara suami istri dan mengenai harta benda
perkawinan serta penghasilan mereka.3
Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah
perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman. Perbedaan
tersebut tidak hanya antara satu agaman dengan agama yang lain, bahkan
dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawinan yang
disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau
aliran yang berbeda.4
Untuk mencari dan mencapai keindahan dalam rumah tangga yang
sakinah mawaddah warhmah maka kita diajurkan untuk harus terlebih dahulu
berhati hati memerhatikan baik dari segi agama, akhlak dan asal asul
kehidupannya. Perkawinan adalah sebuah ikatan perjanjian yang menjadi
sarana terpercaya dalam memelihara keturunan dan hubungan yang menjadi
sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu,
prinsip dan syarat dalam hal ini menjadi pondasi awal dalam menghendaki
pelaksanaan pranikah berupa peminangan untuk menyikap kecintaan kedua
pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. 5

3
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan, Hak Dan
Kewajiban Suami Istri, Harta Benda Perkawinan) (Jakarta: Rizkita, 2009) 128.
4
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer (Yokyakarta: Teras, 2009) 39.
5
Ach Puniman, “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No.1 Tahun
1974”, Justitia, 1(Mei 2018), 86

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Perkawinan Perspektif Undang-Undang dan
Kompilasi Hukum Islam?
2. Apa Prinsip Perkawinan Perspektif Undang-Undang?
3. Apa Syarat Perkawinan Perspektif Undang-Undang ?
4. Bagaimana Aktualisasi Prinsip dan Syarat Perkawinan Perspektif
Undang-Undang ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Perkawinan Perspektif Undang-Undang
Dan Kompilasi Hukum Islam
2. Untuk Mengetahui Prinsip Perkawinan Perspektif Undang-Undang.
3. Untuk Mengetahui Syarat Perkawinan Perspektif Undang-Undang.
4. Untuk Mengetahui Aktualisasi Prinsip Dan Syarat Perkawinan
Perspektif Undang-Undang

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan Perspektif Undang-Undang dan Kompilasi
Hukum Islam
1. Pengertian Perkawinan Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. 6 Jadi menurut undang-undang ini, suatu perkawinan barulah ada
apabila dilakukan antara seorang pria dan wanita yang memiliki sebuah
ikatan yang erat dengan agama, kerohanian sehingga tidak hanya memiliki
satu unsur lahiriyah saja akan tetapi memiliki unsur bathiniyah juga
sebagaimana disebutkan dalam pancasila pada sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Pengertian Perkawinan Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Definisi perkawinan juga tercantum sebagaimana yang tertulis di
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yaitu perkwainan menurut hukum islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.7

B. Prinsip perkawinan Perspektif Undang-Undang


Berbicara monogami dan poligami tidak lepas dengan pembahasan
prinsip perkawinan. Sedangkan prinsip dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut:
6
Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam Dan Hukum
Adat”, Yudisia, 7 (Desember 2016), 420
7
Ach Puniman, “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No.1 Tahun
1974”, Justitia, 1(Mei 2018), 88

6
1) Agama menentukan syahnya perkawinan
2) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
3) Monogami terbuka
4) Calon suami dan isteri harus matang jiwa dan raga
5) Mempersukar perceraian
6) Hak dan kewajiban suami isteri seimbang 8
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menganut asas monogami dan asas poligami sebagaimana terdapat dalam
pasal 3 ayat (1) yang menyatakan “pada asanya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami ” dan ayat (2) yang menyatakan
“pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan”. Pada bagian ayat (2) yang dimaksud dalam hal ini tidak lain
dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.
Sebagimana pasal-pasal yang dijelaskan diatas membolehkan untuk
poligami dengan alasan-alasan tertentu, jelas bahwa asas yang dianut oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan monogami secara mutlak
melainkan poligami ditempatkan pada status hukum darurat atau luar biasa.
Disamping itu lembaga poligami tidak semata mata kewenangan penuh suami,
tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan).9

8
Amiur Nuruddi, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004) 161
9
Siti Ropiah, “Prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
(Study Analisis Tentang Monogami Dan Poligami)”, Maslahah, 2 (Maret 2011), 66.

7
C. Syarat Perkawinan Perspektif Undang-Undang
1. Syarat perkawinan Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
berbeda dengan perspektif fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengenal adanya rukun perkawinan. Sebagian ada yang menjelaskan bahwa
syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan undang-
undang sebelum perkawinan berlangsung. Syarat perkawinan itu banyak dan
telah terperinci dalam undang-undang perkawinan. 10 Sebagaimana dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bab II pasal 6
yang memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan yaitu
sebagi berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsung perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin maksut
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah

10
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 2000) 76

8
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),(3), dan (4) dalam pasal
ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Selanjutnya pada pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih
terperinci. Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, undang-
undang mensyaratkan batas minimum untuk umur calon suami sekurang-
kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang- kurangnya
berumur 16 tahun. Namun ada perbedaan dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 Tentang Perkawinan atas perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu termuat dalam pasal 7
ayat (1) bahwa perkawinan hanya dizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
2. Syarat perkawinan Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Perspektif Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini berbeda dengan
padangan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yaitu Kompilasi Hukum Islam ketika membahas
syarat-syarat perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fiqih yang
mana mengaitkan rukun dan syarat sebagaimana yang termuat dalam Bab
VI pasal 14 tentang rukun dan syarat perkawinan, yang mana untuk
melaksanakan perkawinan harus ada yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
1) Calon suami
2) Calon isteri
3) Wali nikah
4) Dua orang saksi dan

9
5) Ijab dan kabul
Meskipun Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lima rukun dan syarat
perkawinan sebagaimana sistematika fiqh, dalam hal ini uraian Kompilasi
Hukum Islam mengikuti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang melihat syarat hanya dengan berkenaan dengan
persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur yang mana ditegaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat (1) dan (2).11
Perkawinan yang sah menurut perspektif Kompilasi Hukum Islam
yaitu pernikahan yang dilakukan menurut tata cara yang sesuai dengan
ketentuan agama mereka yang melangsungkan pernikahan, yang dalam hal
ini agama islam, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam yang tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam
hadir untuk mempertegas atau menajadi dasar bagi hukum keperdataan
islam di Indonesia.

D. Aktualisasi Prinsip dan Syarat Perkawinan Perspektif Undang-Undang


Salah satu prinsip dasar yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar
1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat
(3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Bahkan secara historis implikasi ketentuan pasal 1 ayat (3) memposisikan
negara Indonesia sebagai negara hukum yang menganut supremasi konstitusi
yaitu konstitusi merupakan hukum dasar tertulis yang tertinggi. Oleh karena
itu, seluruh rakyat negara Indonesia diwajibkan melakukan pengakuan
normatif terhadap prinsip supermasi hukum yaitu bahwa segala masalah
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. 12

11
Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (Yogyakarta: Wonderful
Publishing Company, 2004) 10
12
Jimly Asshiddiqqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstutis press, 2005)
68

10
Sebagaimana prinsip dan syarat perkawinan yang Penulis paparkan
diatas, pada bagian prinsip-prinsip perkawinan nomor 2 yang meyatakan
bahwa “perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal”,
yang mana juga dikuatkan dengan syarat-syarat perkawinan pasal 6 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua
calon mempelai”. Dengan demikian perkawinan ini harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan yang
sah, mengantisipasi agar tidak terjadi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan
bersama. Maka Penulis dalam hal ini akan memberikan studi kasus yang
terjadi di Kabupaten Situbondo khususnya didalam masyarakat Desa
Kedunglo Kecamatan Asembagus tentang “Perkawinan Secara Paksa atas
kehendak Orang Tua” kaitannya dengan aktualisasi prinsip dan syarat
perkawinan.
Dalam desa tersebut, ada salah satu perlakuan orang tua yang
menikahkan anaknya tanpa melalui persetujuan dari anak tersebut
(Perkawinan Paksa) artinya orang tua tidak memberikan kebebasan kepada
anak tersebut untuk berterus terang mengungkapkan hasratnya dalam memilih
calon suami ataupun menikah. Apabila ini dilakukan oleh anak tersebut maka
dia digolongkan sebagai anak yang tidak patuh kepada orang tua bahkan
dinilai memalukan dalam keluarganya. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa kasus tersebut dilatar belakangi oleh beberapa faktor yang mana
Penulis menyimpulkan menjadi 3 faktor yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Budaya
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa budaya mengandung makna
akal budi, adat istiadat dan menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk dirubah.
Memperhatikan makna budaya yang dihubungkan dengan kejadian
perkawinan secara paksa di Desa Kedunglo Kecamatan Asembagus
Kabupaten Situbondo berdasarkan studi kasus, maka dari hasil wawancara
dengan salah satu masyarakat yang bertepatan sebagai objek dari perkawinan

11
paksa tersebut, Penulis berasumsi bahwa budaya yang melekat dalam pikiran
mereka sebagian masyarakat masih lebih dominan mempertahankan tradisi
yang mereka anggap warisan dari nenek moyang terdahulu dan menganggap
tindakan ini baik karena bertujuan untuk lebih menjaga agar tidak terjadi suatu
yang tidak diinginkan seperti pergaulan bebas yang mengakibatkan hamil
diluar nikah. 13
Dalam kaitannya dengan perkawinan paksa yang dinilai sebagai
perkawinan yang menyimpang dari ketentuan hukum perkawinan yang
mewajibkan adanya persetujuan dari kedua calon mempelai agar terciptanya
keluarga yang bahagia, harmonis dan kekal. Dalam hal ini sudah tidak lagi
diterapkan karena sebagian masyarakat sudah membudayakan bahwa orang
tua mempunyai hak untuk memilih calon dan mengkawinkan anaknya tanpa
melalui persetujuan anaknya tersebut.
2. Faktor Ekonomi
Sebagaimana yang sudah diketahui bersama saat ini bahwa ekonomi
merukapakan nafas utama dalam kehidupan. Dimana seseorang yang
memiliki ekonomi bagus tidak akan gampang terpengaruh oleh bujukan
yang dapat melanggar aturan hukum, begitupun sebaliknya bahwa
seseorang yang memiliki ekonomi kebawah akan lebih mudah
terpengaruh.
Pada dasarnya manusia memang diciptakan untuk berpasang-pasangan
antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi pasangan suami isteri akan
tetapi banyak orang tua atau wali yang merusaknya dengan memaksakan
kehendak melalui cara memberikan jodoh yang jelas tidak sesuai dengan
keinginan anaknya.
Dalam kaitannya dengan terjadinya perkawinan secara paksa bahwa
bagi seseorang yang kehidupannya serba kekurangan sementara anaknya

13
Rusnawati, Wawancara, Desa Kedunglo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, 27
September 2021.

12
sedang dilamar oleh orang yang mapan ekonominya atau setidaknya
dapat meringankan beban orang tua dan keluarga, dalam hal ini tentu
sangat berpeluang besar terjadinya pemaksaan terhadap anaknya untuk
melaksanakan perkawinan yang tidak berdasar atas rasa tidak suka (tidak
menyetujui) dan belum siap untuk kawin.14 .
3. Faktor Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum yang dimaksud oleh Penulis ini ialah tentang
pengetahuan masyarakat bahwa perilaku tertentu diatur oleh hukum
sehingga ada kecendrungan untuk tidak mematuhi aturan. Pengetahuan
hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai hukum, baik yang
diperintahkan, diperbolehkan maupun perilaku yang dilarang.
Kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat di Desa Kedunglo
Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo tentang perkawinan paksa,
dalam hal ini orang tua sama sekali tidak mengetahui bahwa tindakannya
termasuk dalam pelanggaran hukum yang mana pada asas kebebasan
dalam memilih jodoh yang mana ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1. Maka ini menjadi tugas bersama dan
lebih khususnya kepada aparatur pemerintah setempat untuk bisa
mensosialisasikan adanya undang-undang tentang perkawinan.

14
Samsidar, “Dampak Kawin Paksa Terhadap Kehidupan Rumah Tangga”, Supremasi, XIV (April,
2019), 28.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang dipaparkan diatas, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa perkawinan merupakan kebutuhan hidup bagi masyarakat sejak
zaman dahulu, sekarang, masa yang akan datang dan sampai ahir zaman
nanti. Dalam pelaksanaan perkawinan, prinsip dan syarat menjadi pondasi
awal yang bersifat wajib untuk di miliki oleh calon pasangan suami isteri
begitupun pula dengan orang tua agar terciptanya kerukunan dalam
berumah tangga.
2. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945
adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat
(3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Maka dari semua pengaturan hidup seseorang pasti tidak lepas dari yang
namanya aturan kaitannya dengan perkawinan yang mana dimuat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.
3. Dalam aktualisasi prinsip dan syarat perkawinan masih belum dikatakan
efektif karena masih ditemukan beberapa penyimpangan yang tidak
sesuai dengan Undang-Undang seperti halnya di Desa Kedunglo
Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo yang mana terjadinya
perkawinan secara paksa sehingga perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu
yang sakral karena tidak didasari oleh persetujuan antara kedua belah
pihak (pasanagn calon suami isteri).
B. Saran
“Makalah ini ditulis berdasarkan temuan temuan dari beberapa refrensi dan
literatur lainnya. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan dalam penulisan
makalah ini, Penulis menyadari masih banyak kekurangan bahkan kesalahan

14
diluar batas kemampuan Penulis. Maka dengan sangat hormat kepada Dosen
pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam Ibu Dr. Sri Lumatus Sa’adah,
M.HI dan teman-teman senasip seperjuangan Kelas Hukum Keluarga
Pascasarjana UIN KHAS Jember untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah yang Penulis tulis.”

15
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Nuruddi, Amiur. 2004. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media.
Kadir Muhammad, Abdul. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra
Aditiya Bakti.
Sumiarni, Endang . 2004. Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum
Perkawinan. Yogyakarta: Wonderful Publishing Company.
Hadi Kusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukumagama). Jakarta: Masdar Maju.
Asshiddiqqie, Jimly. 2005. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia.
Jakarta: Konstutis Press.
Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiqih Kontemporer . Yokyakarta: Teras.
Mulia, Musdaf . 1999. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan.
Darmabrata, Wahyono. 2009. Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya
Perkawinan, Hak Dan Kewajiban Suami Istri, Harta Benda
Perkawinan). Jakarta: Rizkita.

JURNAL
Puniman, Ach. 2018. “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974”, Justitia.
Santoso. 2016. “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan,
Hukum Islam Dan Hukum Adat”, Yudisia.
Ropiah, Siti. 2011. “Prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Study Analisis Tentang Monogami
Dan Poligami)”, Maslahah.
Samsidar. 2019. “Dampak Kawin Paksa Terhadap Kehidupan Rumah
Tangga”, Supremasi.

NARA SUMBER
Rusnawati, Wawancara, Desa Kedunglo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten
Situbondo, 27 September 2021

16

Anda mungkin juga menyukai