Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM KELUARGA & WARIS

Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia Secara


Historis,Sosiologis, dan Yuridis serta Syarat-syarat Perkawinan
Menurut UU Perkawinan (UUP) dan Komplikasi Hukum Islam (KHI)

Dosen : NASBIN PANYAHATAN., Lc.,M.A

Disusun Oleh :

1. Ahwa Zulkarnain

2. Dedek Zulkarnain

3. Dona Syahrani Putri

4. Feni Harfani

5. Wiga Alpia

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM

LUBUK SIKAPING

2021
1

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
nikmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga makalah yang berjudul
“Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia Secara Historis,Sosiologis, dan
Yuridis serta Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU Perkawinan (UUP) dan
Komplikasi Hukum Islam (KHI)” telah terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Hukum Keluarga & Waris
yaitu NASBIN PANYAHATAN., Lc.,M.A atas penugasan dan bimbingan beliau
dalam penyelesaian makalah ini. Penulisan makalah ini dapat diharapkan
memberikan manfaat kepada para pembaca mengenai pentingnya mengetahui
peranan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dapat menambah
pengetahuan mengenai hal tersebut. Penulis menyadari, makalah ini kurang
sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran dari para pembaca akan bermanfaat
dalam perbaikan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan para pembaca

Lubuk Sikaping, 15 Oktober 2021

PEMAKALAH

Kelompok II
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................... 1

DAFTAR ISI........................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................... 3

B. Rumusan Masalah............................................................... 3

C. Tujuan Penulisan................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia Secara Historis,

Sosiologis, dan Yuridis...................................................... 5

B. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU Perkawinan (UUP) dan

Komplikasi Hukum Islam (KHI)........................................ 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................... 18

B. Saran............................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 21
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini
sering terjadi dibelahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu
sendiri merupakan proses bersatunya dua orang insan manusia yang saling
berkomitmen dan mengikat.

Menurut Undang-Undang No1. Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Proses pernikahan biasanya berlangsung pada seseorang mulai
melewati pada tahapan remaja akhir sampai dewasa. Sebuah pernikahan akan
menandakan mulai dewasanya seseorang di mata lingkungannya. Pernikahan itu
sendiri berawal dari sebuah hubungan dan cinta, dan mulai adanya keinginan
untuk mengikat atau berkomitmen.

Harapan uatama sebuah pernikahan adalah meraih kebahagiaan. Dengan perasaan


kasih sayang yang dimiliki oleh masing-masing pasanagan akan membuat sebuah
hubungan harmonis yang nantinya akan berakhir dengan sebiah kebahagiaan.
Selain harapan akan kebahagiaan, dalam pernikahan juga terdapat harapan lain
seperti : meneruskan keturunan, membentuk keluarga harmonis, menjadikan
pribadi yang lebih baik.

B. Rumusan Masalah

Rumusan tersebut diatas dapat di rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan hukum perkawinan secara historis, sosiologis, dan


yuridis di Indonesia?
4

2. Apa syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan (UUP) dan Komplikasi


Hukum Islam (KHI)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perkembangan hukum perkawinan secara historis,


sosiologis, dan yuridis di Indonesia

2. Untuk mengetahui syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan (UUP)


dan Komplikasi Hukum Islam (KHI)
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia Secara Historis,


Sosiologis, dan Yuridis

 Secara Historis,

Proses terbentuknya UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 berawal dari inisiatif


pemerintah sendiri untuk membahasnya dilingkup DPR setelah sekian lama
berbagai masukan silih berganti dari organisasi wanita untuk secepatnya dibuat
UU Perkawinan yang baru, proses tersebut memakan waktu hingga 7 bulan yaitu
dari pemerintah menyerahkan hasil RUU perkawinan yang dibuat oleh DPRGR
hingga sampai semua fraksi menyetujui pasal demi pasal yaitu dari 77 pasal
menjadi 66 pasal. Namun banyak pertentangan antar fraksi yang terjadi saat akan
disahkannya RUU perkawinan tersebut, dari fraksi Persatuan berpandangan
bahwa RUU tersebut banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam, danini juga
didukung oleh sebagian masyarakat dan organisasi Islam untuk merevisi pasal-
pasal tersebut. Fraksi lainnya justru berpandangan lain seperti dari fraksi Karya
yang menganggap RUU tersebut sudahpas untuk dijadikan UU Perkawinan
karena sudah banyak menyoroti kaum perempuan untuk urusan berumah tangga,
hal ini juga didukung oleh pemerintah dan fraksi ABRI, sedangkan fraksi PDI
bersikap netral dan hanya menyoroti masalah poligami dan monogaminya saja.
Setelah disahkan pada 2 Januari 1974 oleh pemerintah dampak yang terjadi adalah
wanita memiliki hak dalam urusan berumah tangga terutama dalam hal poligami,
perceraian dan poligami pun menjadi berkurang serta biaya untuk membayar
pensiunan PNS yang poligami menjadi dapat ditekan, namun dari hal itu dampak
lain juga bermunculan seperti banyaknya perkawinan siri serta semakin
banyaknya masalah sosial akibat dari susahnya poligami.1

 Secara Sosiologis

Tinjauan sosiologis ini digunakan terhadap pernikahan di bawah tangan yang di


lakukan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Pada umumnya nikah di bawah
tangan di Indonesia dipicu oleh empat faktor, yaitu:

1. Faktor Umur
2. Faktor psikologis.
1
Rifai, Ahmad. Sejarah Undang Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan
dari Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974.
https://journal.inces.ac.id/sju/index.php/jih/article/view/18401. Diakses pada tanggal 22 Oktober
2021 pukul 12.00
6

3. Faktor ekonomi.
4. Faktor tradisi. Tradisi yang dilakukan turun temurun yang menganggap
nikah dibawah tangan sebagai “kelaziman”, praktis dan ekonomis,
sehingga tidak butuh legal for-mal hukum. Ini terjadi pada masyarakat
yang masih memegang tradisi leluhur sangat kuat. Seperti pernikahan yang
terjadi pada suku Badui dalam di propinsi Banten dan suku-suku yang lain.
Di antara ulama atau kyai di berbagai daerah berfatwa sah akad nikah
tanpa pencatatan melalui Kantor Urusan Agama. Mereka beralasan bahwa
pernikahan di masa Rasulullah saw dan para shahabat tidak pernah dicatat.
Akad nikah cukup dilaksanakan dengan izin wali pihak mempelai
perempuan dan dihadiri dua orang saksi.2

 Secara Yuridis

Perspektif hukum positif

Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur perkawinan yang tertuang dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan telah
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang
pelaksanaan Undang-undang dan intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai
perkawinan.

Selama ini perkawinan di bawah tangan (kawan siri) banyak terjadi di Indonesia,
baik di kalangan masyarakat luas, para pejabat ataupun artis, istilah populernya
disebut istri simpanan. Perkawinan dibawah tangan sebenarnya tidak sesuai
dengan ”maqasid al-shari’ah”, karena ada beberapa tujuan syari’ah yang
dihilangkan, sebagaimana disebut oleh Abdul Gani di antaranya :

1. Perkawinan itu harus diumumkan (diketahui khalayak ramai), maksudnya


agar orang-orang mengetahui bahwa antara A dengan B telah terikat
sebagai suami istri yang sah, sehingga orang lain dilarang untuk melamar
A atau B. Akan tetapi dalam perkawinan dibawah tangan selalu

2
(Nielson: 2006). Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 13,
No. 1, Juni 2013: 65-83
7

disembunyikan agar tidak diketahui oarng lain, sehingga perkawinan


antara A dengan B masih diragukan.
2. Adanya perlindungan hak untuk wanita.
3. Untuk maslahah manusia, dalam perkawinan di bawah di bawah tangan
lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya. Seperti anak-anak yang
lahir dari perkawinan dibawah tangan lebih tidak terurus, sulit untuk
bersekolah atau untuk mencari pekerjaan karena orangtuanya tidak
mempunyai Surat nikah dan seandainya ayahnya meninggal dunia/cerai,
anak yang lahir dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk
memnutut harta warisan ayahnya.
4. Harus mendapat izin dari istri pertama, perkawinan kedua, ketiga dan
seterusnya, yang tidak mendapat izin dari istri pertama biasanyna
dilakukan dibawah tangan , sehingga istri pertama tidak mengetahui
bahwa suaminya telah menikah lagi dengan wanita lain.

Ketentuan hukum yang mengatur tata cara pernikahan yang dibenarkan oleh
hukum adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebelum adanya
Undang-undang tersebut, hukum yang ada di Indonesia baik pidana dan perdata
merupakan hukum warisan pada masa Hindia Belanda. Pada pasca kemerdekaan
hukum pernikahan di Indonesia bersifat majemuk yang berbeda dari golongan
yang satu dengan golongan lainnya. Kemajemukan hukum pernikahan akhirnya
dapat dihapuskan dengan ditetapkannya UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang berlaku secara nasional.

Pembangunan bidang hukum di Indonesia dengan ditandai lahirnya UU No.1


Tahun 1974 tentang perkawinan, terbitnya Kepres no. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lahirnya UU. No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri
dalam menegakkan hukum islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam
meliputi perkara-perkara seperti pernikahan, wakaf, hibah, shadoqah yang
menjadi hukum positif di Indonesia
8

Pelaksanaan UU. No1 tahun 1974 tentang perkawinan yang ada dimasyarakat
masih terdapat penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan disebabkan oleh
faktor norma yang berlaku di masyarakat yang telah lama mengakar semenjak
Islam berkembangg di Indonesia. Menurut Juhaya S. Praja hukum Islam yang
berlaku di Indonesia dapat dibagi dalalm dua bentuk : hukum islam berlaku
formil, dan hukum islam berlaku normatif.

Pernikahan dapat dikatakan perbuatan hukum dan mempunyai kekuatan hukum,


apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang mengatur tata cara pernikahan
yang dibenarkan oleh hukum, seperti yang diatur di dalam UU. No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. Perkawinan yang sesuai dengan Undang-undang ini
mempunyai akibat hukum, mendapat pengakuan, dan perlindungan hukum.

Pasal 2 ayat (2) undang-undang No. 1 tahun 1974, menyatakan bahwa tiap-tiap
pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
ayat tersebut tidak dijelaskan tujuan diadakan pencatatan itu. Tapi dalam
penjelasan umum undang-undang itu tersirat tujuan diadakannya pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya; kelahiran,
kematian yang dinyatakan dengan surat keterangan. Pencatatan perkawinan
merupakan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Dalam hal
ini HIR Pasal 1863 menyatakan bahwa catatan atau bukti tertulis termasuk alat
bukti yang diakui keabsahannya, tidak saja dalam akad nikah, tetapi juga dalam
segala bentuk perjanjian perikatan.

Pernikahan adalah suatu perbuatan hukum yang memerlukan kepastian hukum.


Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa: “Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut
peraturan perundang-undang yang berlaku. Isi Pasal itu dirumuskan secara
organik oleh Pasal 2 ayat (1) PP. No. 9 tahun 1975 bahwa pencatat pernikahan
dari mereka yang melangsungkan pernikahannya menurut agama Islam dilakukan
oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan UU. No. 32 tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk. Tata cara pencatatan pernikahan dilakukan
menurut Pasal 3 dan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 yang mengatur prosedur
pemberitahuan kehendak nikah dan kelengkapan administrasinya kepada Pegawai
9

Pencatat Nikah (PPN). Dalam Pasal 10 ayat (3) dinyatakan bahwa dengan
mengindahkan tata cara pernikahan menurut masing-masing agamanya itu,
pernikahan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh 2 orang
saksi. Dalam hal ini, bagi pernikahan yang dilakukan menurut hukum Islam, maka
pernikahan harus dilakukan di hadapan PPN” (Zuhdi, 1996: 15-16).

Pencatatan pernikahan bertujuan mewujudkan ketertiban pernikahan dalam


masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai satu upaya yang diatur melalui undang-
undang untuk melindungi martabat dan kesucian pernikahan (Rofiq, 1995:107).
Pencatatan nikah asalnya hanya sebuah kebutuhan administrasi negara. Dalam
tinjauan sosiologis fungsi dari pencatatan nikah sangat penting khususnya bagi
perempuan, berkaitan dengan status anak, dan hak waris yakni hak yang berkaitan
masalah harta, serta hak gono-gini. Bagi anak status anak, hak waris dan hak
perwalian.

Hukum asal pencatatan nikah adalah mubah, akan tetapi eksistensinya menjadi
sangat krusial, maka beralihlah hukum mubah itu menjadi wajib. Dalam kaidah
fiqhiyah disebutkan; “mala yatimmu al-wajib illa bibi fahuwa wajib”. Perintah
wajib tidak akan sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka ia menjadi
wajib. Dalam Pasal 11 ayat (l) dinyatakan bahwa sesaat sesudah
dilangsungkannya pernikahan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 10 PP ini
kedua mempelai menandatangani akta pernikahan yang telah disiapkan oleh
pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pasal 11 ayat (3)
menyatakan bahwa dengan penandatanganan akta pernikahan, maka pernikahan
tersebut tercatat secara resmi menurut hukum dan kepada masing- masing suami
isteri yang dilindungi oleh hukum.

Ditinjau dari segi hukum pernikahan yang ada di dalam KHI yang diundangkan
dengan Inpres No. 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun
1991, hal ini disebutkan dalam Pasal 4, bahwa : “Pernikahan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU. No. 1 tahun
1974. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban pernikahan
bagi masyarakat Islam setiap pernikahan harus dicatat. Sementara itu pernikahan
10

yang dilakukan di luar ketentuan perundang-undang yang berlaku (dilakukan di


luar pengawasan PPN) tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 6 ayat (2).
Dalam Pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa pernikahan hanya dapat dibuktikan
dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN” (Saefullah dkk., 2005: 45-46).

Pernikahan yang dilakukan di luar ketentuan perundang-undangan yang berlaku di


Negara Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum. Seperti
pernikahan di bawah tangan, kawin sirri, atau kawin kyai, pernikahan yang hanya
dilakukan menurut hukum agama (Islam). Nikah di bawah tangan menimbulkan
permasalah yang kontradiktif. Menurut agama nikah di bawah tangan sah dan
menimbulkan beberapa akibat hukum, di antaranya suami wajib memberi mahar,
nafkah lahir (makan, pakaian, dan tempat tinggal) dan nafkah batin, istri wajib
taat kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara suami dan isteri, adanya
hubungan nasab anak dengan bapaknya (Zuhaili, 1991: 112-116). Menurut
hukum positif pernikahan di bawah tangan tidak mempunyai akibat hukum
karena tidak memenuhi Pasal 2 ayat (2) UU. No. 1 tahun 1974.

Persoalan mendasar pernikahan di bawah tangan adalah tak terpenuhinya


ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU. No. 1 tahun 1974, yaitu unsur pencatatan
pernikahan. Menurut pendapat yang lebih kuat, baik dari segi hukum Islam
maupun hukum positif, sahnya pernikahan apabila dilangsungkan menurut
ketentuan Islam di hadapan PPN, dan dicatat oleh PPN (Marjono: 21, Gani, 1995:
33-51). Lebih lanjut Masyfuk Zuhdi dalam Mimbar Hukum No. 28 thn, VII; 1996
menyatakan berikut ini. “Pencatatan pernikahan merupakan syarat sah pernikahan
yang didasarkan pada 2 hal :

1. Dalil syar’i (agama), yaitu mentaati perintah agama dan mentaati perintah
Negara/ pemerintah adalah wajib firman Allah Q.S al-Nisa’: 59. Perintah al-
Qur’an ini sangat positif karena mendidik manusia untuk menciptakan masyarakat
yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara demi terwujudnya
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia adan akhirat. Akta nikah sebagai
bukti autentik sahnya pernikahan seseorang sangat bermanfaat bagi dirinya dan
keluarganya, yaitu isteri dan anaknya untuk menolak kemungkinan di kemudian
11

hari adanya pengingkaran atas pernikahannya itu, dan akibat hukum dari
pernikahannya itu, yaitu harta bersama dalam pernikahan, status anak dalam
pernikahan dan hak kewarisannya juga untuk melindungi dari fitnah dan tuduhan
zina. Dengan demikian pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah sangat
penting sebagai tindakan preventif dan kemasalahatan.

2. Didasarkan pada alasan yuridis dari segi hukum positif, yaitu maksud Pasal 2
ayat (2) UU. Np. 1 tahun 1974 itu telah dirumuskan secara organik oleh Pasal 2
ayat (1) PP. No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanan Undang- undang Pernikahan.
Tata cara pencatatan pernikahan lebih lanjut dijabarkan pada Pasal 3 sampai 9 PP.
No. 9 tahun 1975. Tata cara pernikahan sampai mendapatkan akta nikah disebut
dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 13 PP No. 9 tahun 1975. KHI yang
diundangkan dengan Inpres. No.1h. 1991, Pasal 5, 6 dan 7 ayat (1) menguatkan
bahwa unsur pencatatan nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya nikah saja, tanpa
mengindahkan perundang-undangan yang berlaku, seperti tanpa pencatatan
pernikahan oleh PPN sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta autentik (akta
nikah).Dengan demikian, pernikahan di bawah tangan hanya sah secara hukum
agama tetapi belum mempunyai kekuatan hukum karena belum dicatat

Untuk penulisan Analisis Yuridis Terhadap Pencatatan Perkawinan Berdasarkan


UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam, antara lain:3

1. Tujuan Penulisan, untuk menguraikan dan menganalisis tentang substansi


pencatatan perkawinan dalam prespektif hukum perkawinan di Indonesia.
2. Ruang Lingkup, bahwa pencatatan perkawinan hingga saat ini masih
terdapat perbedaan pendapat akan kedudukannya dalam peraturan hukum
di Indonesia maupu dalam perkembangan hukum Islam. Ada dua
mainstream yang berkembang:
(a) bahwa pencatatan perkawinan itu tidak ada hubungannya dengan
keabsahan sebuah pekawinan, yang penting syarat dan rukunnya telah
terpenuhi, pencatatan ini hanya sebatas kewajiban administrasi saja apalagi
berkaitan dengan dosa.

3
Kepegaiwaian. Analisis Yuridis Terhadap Pencatatan Perkawinan. https://www.pta-
jakarta.go.id . diakses pada tanggal 15 Oktober 2021, pukul 14.06
12

(b) menyatakan bahwa pencatatan perkawinan disebut sebagai penentu sah


atau tidaknya pernikahan. Ia bukan hanya kewajiban administrasi negara
namun bersifat kewajiban syariat sehingga dapat menentukan sah atau
tidaknya sebuah perkawinan. Lebih lanjut dapat dijadikan dasar untuk
melakukan pengajuan dan keberlangsungan kehidupan di masyarakat
semisal akta kelahiran, KTP dan lain-lain.
3. Metode Penelitian Digunakan adalah menggunakan cara penelitian
kualitatif dengan bahan sekunder dari bahan hukum normatif dan empiris.
4. Ringkasan Hasil, problematika dan pro kontra pencatatan perkawinan
menjadi penentu atau tidaknya sebuah pernikahan sebaiknya dapat
dihubungkan dengan banyaknya manfaat serta keuntungan jika pernikahan
dilakukan di KUA lalu bandingkan jika kita menika tidak di KUA maka
banyak menimbulkan kekacauan dan ketelantaran dalam perjalanan rumah
tanggak ke depan. Oleh karena itu maka sudah seharusnya dipikirkan
bahwa pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang wajib dan harus adanya
perceraian.
5. Simpulan, bahwa prespektif yuridis Hukum Perkawinan di Indonesia harus
dipahami bahwa pencatatan pernikahan adalah suatu perintah yang bukan
diartikan alternatif tetapi bersifat kumulatif dalam pemahaman Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mapun pasal
4 dan 5 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

B. Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU Perkawinan (UUP) dan


Komplikasi Hukum Islam (KHI)

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan). Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah
apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun


1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat
materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat
formil.

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11
UU No. I tahun 1974 yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai


13

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21


tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya,
apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang
tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada
penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.

Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah
sebagai berikut:

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130


hari, dihitung sejak kematian suami.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hokum yang tetap.
3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada
waktu tunggu.

Pasal 8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang


antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke


atas/incest.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya/kewangsaan.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri/periparan.
4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan.
14

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.

Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974
direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

• Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan


kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana
perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari
sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis
oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat:
nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)

• Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah


sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk
hal tersebut (Pasal 6-7).

• Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat


pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang
memuat antara lain:

1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.

2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)

• Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan


menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon
mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta
perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi
disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing
diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).

Pembaharuan hukum Islam di Indonesia, khususnya hukum keluarga adalah suatu


keharusan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan perubahan zaman, tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan, pengaruh globalisasi ekonomi, pengaruh
reformasi dalam berbagai bidang hukum, dan juga pengaruh pembaruan
pemikiran Islam yang mengharuskan pintu ijtihad selalu terbuka untuk
menemukan hukum baru terhadap persoalan baru.
15

Pasal 66 UU No. 1/74 tentang Perkawinan menyebutkan: “Untuk perkawinan dan


segala sesuatu yang berhubungan dengan pekawinan didasarkan atas Undang-
Undang ini, maka berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam sedikitnya ada tiga kali UU Perkawinan itu dimohonkan pengujian
ke Mahkamah Konstitusi oleh pihak yang merasa dirugikan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

 Pertama, pencatatan suatu pernikahan menurut undang-undang


yang berlaku di Negara Indonesia termasuk salah satu asas
disahkannya pernikahan.
 Kedua, pernikahan yang tercatat pada lembaga resmi pemerintah
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku lebih banyak
mas}lahat-nya bagi umat Islam, sedang pernikahan yang tidak
tercatat lebih banyak mafsadah- nya. Nikah di bawah tangan sah
secara syar’i akan tetapitidak mempunyai kepastian hukum, hal ini
menimbulkan implikasi negatif yang cukup besar,yakni:
(a) tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi pihak yang berrelasi, istri
tidak bisamenggugat suami apabila ditinggalkan oleh suami
(b) secara ekonomis, sosial, kultur,psikologis, dan hukum, posisi perempuan
lebih lemah, karena keberpihakan berbagai aturanyang patriarkhi
(c) adanya pihak yang dirugikan, karena tidak jelas status dan masa depannya.
Anak hasil perkawinan di bawah tangan tidak memiliki status, seperti akta
kelahiran, tidak menerima warisan. Istri tidak mendapat waris dan
tunjangan apapun jika suami meninggal dunia.
 Ketiga, pencatatan nikah bukan merupakan syarat dan rukun akad
nikah, akan tetapi iadapat menyempurnakan pelaksanaan hak dan
kewajiban yang ditimbulkan oleh akad nikah,dan dapat menepis
implikasi negatif yang ditimbulkan dalam kehidupan
sosialkemasyarakatan, khususnya bagi perempuan dan anak.

 Syarat Sah Perkawinan Menurut Agama Islam

Terdapat empat Persyaratan sahnya perkawinan menurut jumhur ulama


dalam Islam, antara lain :

1. Akad nikah (Ijab dan Qabul)

Ijab yaitu : ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak perempuan) atau
wakilnya sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah
ucapan pengantin laki-laki sebagai tanda penerimaan. Ijab dan qabul dapat
diucapkan dalam bahasa Indonesia.
16

Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan
tidak berselang waktu. Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai
laki-laki secara pribadi. Dalam hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan
pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wali atas akad nikah itu adalah mempelai pria.

2. Calon mempelai laki-laki dan perempuan

Persyaratan calon mempelai pria adalah sebagai berikut :

 Calon suami beragama Islam


 Bahwa calon suami itu betul laki-laki
 Orangnya diketahui dan tertentu
 Calon suami jelas halal dikawin dengan calon istri
 Calon laki-laki tahu calon istri
 Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu
 Tidak sedang melakukan ihram
 Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
 Tidak punya istri empat

Sementara persyaratan calon mempelai perempuan adalah sebagai berikut :

 Beragama Islam
 Bahwa ia wanitas
 Orangnya diketahui dan tertentu
 Halal bagi calon suami
 Wanita tersebut tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa
iddah
 Tidak dipaksa
 Tidak sedang berihram

3. Wali

Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan syarat
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahinya. Syarat wali adalah :

 Islam
 Sudah baligh
 Berakal sehat
 Merdeka
 Laki-laki
17

 Adil
 Sedang tidak melakukan ihram

Sementara urutan orang yang boleh menjadi wali adalah :

1. Bapak,
2. Kakek dari jalur bapak,
3. Saudara laki-laki kandung,
4. Saudara laki-laki tunggal bapak, kemenakan laki-laki (anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung)
5. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
6. Paman dari jalur bapak
7. Sepupu laki-laki anak paman
8. Hakim, bila sudah tidak ada wali-wali tersebut dari jalur nasab

4. Saksi.

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap


perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dapat ditunjuk menjadi
saksi dalam akad nikah iakah seorang laki-laki uslim, adil, akil baligh, tidak
terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada
waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia Secara Historis, Sosiologis, dan


Yuridis

 Secara Historis

Proses terbentuknya UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 berawal dari inisiatif


pemerintah sendiri untuk membahasnya dilingkup DPR setelah sekian lama
berbagai masukan silih berganti dari organisasi wanita untuk secepatnya
dibuat UU Perkawinan yang baru, proses tersebut memakan waktu hingga 7
bulan yaitu dari pemerintah menyerahkan hasil RUU perkawinan yang dibuat
oleh DPRGR hingga sampai semua fraksi menyetujui pasal demi pasal yaitu
dari 77 pasal menjadi 66 pasal.

 Secara Sosiologis

Tinjauan sosiologis dalam penelitian ini digunakan terhadap pernikahan di


bawah tangan yang di lakukan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Pada
umumnya nikah di bawah tangan di Indonesia dipicu oleh empat faktor, yaitu:

1. Berbenturan dengan aturan hukum positif. Pernikahan di bawah tangan


dilakukan untuk menghindari birokrasi yang berbelit-belit dan mungkin sulit
untuk dilakukan.

2. Faktor psikologis. Nikah di bawah tangan dilakukan karena faktor


psikologis dapat terjadi pada seseorang yang usianya telah memenuhi
persyaratan, secara ekonomi tidak masalah, tetapi kendalanya masih
menyelesaikan studi (kuliah/mondok). Untuk menghindari perbuatan dosa
maka dinikahkan di bawah tangan. Biasanya dengan membuat perjanjian yang
disepakati kedua belah pihak. Seperti; tidak kumpul sebagai suami istri, tidak
memiliki anak dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

3. Faktor ekonomi. Nikah di bawah tangan yang disebabkan faktor


ekonomi dapatterjadi seperti di daerah-daerah yang ada tenaga kerja asing
yang berpenghasilan lebih dari cukup dibanding dengan penduduk asli.
Perempuan setempat menikah tanpa catatan untuk mendapatkan sumber
ekonomi yang layak (Kahmad, 2010: 32).
19

4. Faktor tradisi. Tradisi yang dilakukan turun temurun yang menganggap


nikah dibawah tangan sebagai “kelaziman”, praktis dan ekonomis, sehingga
tidak butuh legal for-mal hukum. Ini terjadi pada masyarakat yang masih
memegang tradisi leluhur sangat kuat.

 Secara Yuridis

Ketentuan hukum yang mengatur tata cara pernikahan ynag dibenarkan oleh
hukum adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebelum adanya
Undang-undang tersebut, hukum yang ada di Indonesia baik pidana dan perdata
merupakan hukum warisan pada masa Hindia Belanda. Terbitnya Kepres no. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lahirnya UU. No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan
kehakiman yang mandiri dalam menegakkan hukum islam bagi pencari keadilan
yang beragama Islam meliputi perkara-perkara seperti pernikahan, wakaf, hibah,
shadoqah yang menjadi hukum positif di Indonesia.

Pernikahan yang dilakukan di luar ketentuan perundang-undangan yang berlaku di


Negara Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum. Seperti
pernikahan di bawah tangan, kawin sirri, atau kawin kyai, pernikahan yang hanya
dilakukan menurut hukum agama (Islam). Nikah di bawah tangan menimbulkan
permasalah yang kontradiktif. Menurut agama nikah di bawah tangan sah dan
menimbulkan beberapa akibat hukum, di antaranya suami wajib memberi mahar,
nafkah lahir (makan, pakaian, dan tempat tinggal) dan nafkah batin, istri wajib
taat kepada suami, adanya hak saling mewarisi antara suami dan isteri, adanya
hubungan nasab anak dengan bapaknya

Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU Perkawinan (UUP) dan Komplikasi


Hukum Islam (KHI) :

Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I


tahun 1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang
bersifat materiil, sedangkan Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang
bersifat formil.

B. Saran

Penulis melihat bahwa setiap orang berhak untuk melangsungkan perkawinan


dengan orang yang mereka cintai. Tetapi kita juga memiliki peraturan yang
mengatur tentang syarat-syarat dan tata cara sahnya suatu perkawinan,hal tersebut
20

diatur dalam Hukum Positif di Indonesia di dalam Pasal 2 ayat 1 (1) dan (2)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perturan perundang-undangan
yang berlaku
21

DAFTAR PUSTAKA

Kepegaiwaian. Analisis Yuridis Terhadap Pencatatan Perkawinan.


https://www.pta-jakarta.go.id . diakses pada tanggal 15 Oktober 2021, pukul
14.06.

(Nielson: 2006). Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume
13, No. 1, Juni 2013: 65-83

Rifai, Ahmad. Sejarah Undang Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga


Pertentangan dari Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974.
https://journal.inces.ac.id/sju/index.php/jih/article/view/18401. Diakses pada
tanggal 22 Oktober 2021 pukul 12.00

Anda mungkin juga menyukai