Disusun Oleh :
1. Ahwa Zulkarnain
2. Dedek Zulkarnain
4. Feni Harfani
5. Wiga Alpia
LUBUK SIKAPING
2021
1
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
nikmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga makalah yang berjudul
“Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia Secara Historis,Sosiologis, dan
Yuridis serta Syarat-syarat Perkawinan Menurut UU Perkawinan (UUP) dan
Komplikasi Hukum Islam (KHI)” telah terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Hukum Keluarga & Waris
yaitu NASBIN PANYAHATAN., Lc.,M.A atas penugasan dan bimbingan beliau
dalam penyelesaian makalah ini. Penulisan makalah ini dapat diharapkan
memberikan manfaat kepada para pembaca mengenai pentingnya mengetahui
peranan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dapat menambah
pengetahuan mengenai hal tersebut. Penulis menyadari, makalah ini kurang
sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran dari para pembaca akan bermanfaat
dalam perbaikan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan para pembaca
PEMAKALAH
Kelompok II
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................... 3
B. Rumusan Masalah............................................................... 3
C. Tujuan Penulisan................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..................................................................... 18
B. Saran............................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini
sering terjadi dibelahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu
sendiri merupakan proses bersatunya dua orang insan manusia yang saling
berkomitmen dan mengikat.
Menurut Undang-Undang No1. Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Proses pernikahan biasanya berlangsung pada seseorang mulai
melewati pada tahapan remaja akhir sampai dewasa. Sebuah pernikahan akan
menandakan mulai dewasanya seseorang di mata lingkungannya. Pernikahan itu
sendiri berawal dari sebuah hubungan dan cinta, dan mulai adanya keinginan
untuk mengikat atau berkomitmen.
B. Rumusan Masalah
Rumusan tersebut diatas dapat di rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Secara Historis,
Secara Sosiologis
1. Faktor Umur
2. Faktor psikologis.
1
Rifai, Ahmad. Sejarah Undang Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan
dari Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974.
https://journal.inces.ac.id/sju/index.php/jih/article/view/18401. Diakses pada tanggal 22 Oktober
2021 pukul 12.00
6
3. Faktor ekonomi.
4. Faktor tradisi. Tradisi yang dilakukan turun temurun yang menganggap
nikah dibawah tangan sebagai “kelaziman”, praktis dan ekonomis,
sehingga tidak butuh legal for-mal hukum. Ini terjadi pada masyarakat
yang masih memegang tradisi leluhur sangat kuat. Seperti pernikahan yang
terjadi pada suku Badui dalam di propinsi Banten dan suku-suku yang lain.
Di antara ulama atau kyai di berbagai daerah berfatwa sah akad nikah
tanpa pencatatan melalui Kantor Urusan Agama. Mereka beralasan bahwa
pernikahan di masa Rasulullah saw dan para shahabat tidak pernah dicatat.
Akad nikah cukup dilaksanakan dengan izin wali pihak mempelai
perempuan dan dihadiri dua orang saksi.2
Secara Yuridis
Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur perkawinan yang tertuang dalam
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan telah
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang
pelaksanaan Undang-undang dan intruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan-peraturan lainnya mengenai
perkawinan.
Selama ini perkawinan di bawah tangan (kawan siri) banyak terjadi di Indonesia,
baik di kalangan masyarakat luas, para pejabat ataupun artis, istilah populernya
disebut istri simpanan. Perkawinan dibawah tangan sebenarnya tidak sesuai
dengan ”maqasid al-shari’ah”, karena ada beberapa tujuan syari’ah yang
dihilangkan, sebagaimana disebut oleh Abdul Gani di antaranya :
2
(Nielson: 2006). Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 13,
No. 1, Juni 2013: 65-83
7
Ketentuan hukum yang mengatur tata cara pernikahan yang dibenarkan oleh
hukum adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebelum adanya
Undang-undang tersebut, hukum yang ada di Indonesia baik pidana dan perdata
merupakan hukum warisan pada masa Hindia Belanda. Pada pasca kemerdekaan
hukum pernikahan di Indonesia bersifat majemuk yang berbeda dari golongan
yang satu dengan golongan lainnya. Kemajemukan hukum pernikahan akhirnya
dapat dihapuskan dengan ditetapkannya UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang berlaku secara nasional.
Pelaksanaan UU. No1 tahun 1974 tentang perkawinan yang ada dimasyarakat
masih terdapat penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan disebabkan oleh
faktor norma yang berlaku di masyarakat yang telah lama mengakar semenjak
Islam berkembangg di Indonesia. Menurut Juhaya S. Praja hukum Islam yang
berlaku di Indonesia dapat dibagi dalalm dua bentuk : hukum islam berlaku
formil, dan hukum islam berlaku normatif.
Pasal 2 ayat (2) undang-undang No. 1 tahun 1974, menyatakan bahwa tiap-tiap
pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
ayat tersebut tidak dijelaskan tujuan diadakan pencatatan itu. Tapi dalam
penjelasan umum undang-undang itu tersirat tujuan diadakannya pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya; kelahiran,
kematian yang dinyatakan dengan surat keterangan. Pencatatan perkawinan
merupakan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Dalam hal
ini HIR Pasal 1863 menyatakan bahwa catatan atau bukti tertulis termasuk alat
bukti yang diakui keabsahannya, tidak saja dalam akad nikah, tetapi juga dalam
segala bentuk perjanjian perikatan.
Pencatat Nikah (PPN). Dalam Pasal 10 ayat (3) dinyatakan bahwa dengan
mengindahkan tata cara pernikahan menurut masing-masing agamanya itu,
pernikahan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh 2 orang
saksi. Dalam hal ini, bagi pernikahan yang dilakukan menurut hukum Islam, maka
pernikahan harus dilakukan di hadapan PPN” (Zuhdi, 1996: 15-16).
Hukum asal pencatatan nikah adalah mubah, akan tetapi eksistensinya menjadi
sangat krusial, maka beralihlah hukum mubah itu menjadi wajib. Dalam kaidah
fiqhiyah disebutkan; “mala yatimmu al-wajib illa bibi fahuwa wajib”. Perintah
wajib tidak akan sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka ia menjadi
wajib. Dalam Pasal 11 ayat (l) dinyatakan bahwa sesaat sesudah
dilangsungkannya pernikahan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 10 PP ini
kedua mempelai menandatangani akta pernikahan yang telah disiapkan oleh
pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pasal 11 ayat (3)
menyatakan bahwa dengan penandatanganan akta pernikahan, maka pernikahan
tersebut tercatat secara resmi menurut hukum dan kepada masing- masing suami
isteri yang dilindungi oleh hukum.
Ditinjau dari segi hukum pernikahan yang ada di dalam KHI yang diundangkan
dengan Inpres No. 1 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun
1991, hal ini disebutkan dalam Pasal 4, bahwa : “Pernikahan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU. No. 1 tahun
1974. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban pernikahan
bagi masyarakat Islam setiap pernikahan harus dicatat. Sementara itu pernikahan
10
1. Dalil syar’i (agama), yaitu mentaati perintah agama dan mentaati perintah
Negara/ pemerintah adalah wajib firman Allah Q.S al-Nisa’: 59. Perintah al-
Qur’an ini sangat positif karena mendidik manusia untuk menciptakan masyarakat
yang sadar dan taat hukum agama dan hukum negara demi terwujudnya
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia adan akhirat. Akta nikah sebagai
bukti autentik sahnya pernikahan seseorang sangat bermanfaat bagi dirinya dan
keluarganya, yaitu isteri dan anaknya untuk menolak kemungkinan di kemudian
11
hari adanya pengingkaran atas pernikahannya itu, dan akibat hukum dari
pernikahannya itu, yaitu harta bersama dalam pernikahan, status anak dalam
pernikahan dan hak kewarisannya juga untuk melindungi dari fitnah dan tuduhan
zina. Dengan demikian pencatatan nikah untuk mendapatkan akta nikah sangat
penting sebagai tindakan preventif dan kemasalahatan.
2. Didasarkan pada alasan yuridis dari segi hukum positif, yaitu maksud Pasal 2
ayat (2) UU. Np. 1 tahun 1974 itu telah dirumuskan secara organik oleh Pasal 2
ayat (1) PP. No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanan Undang- undang Pernikahan.
Tata cara pencatatan pernikahan lebih lanjut dijabarkan pada Pasal 3 sampai 9 PP.
No. 9 tahun 1975. Tata cara pernikahan sampai mendapatkan akta nikah disebut
dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 13 PP No. 9 tahun 1975. KHI yang
diundangkan dengan Inpres. No.1h. 1991, Pasal 5, 6 dan 7 ayat (1) menguatkan
bahwa unsur pencatatan nikah oleh PPN menjadi syarat sahnya nikah saja, tanpa
mengindahkan perundang-undangan yang berlaku, seperti tanpa pencatatan
pernikahan oleh PPN sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta autentik (akta
nikah).Dengan demikian, pernikahan di bawah tangan hanya sah secara hukum
agama tetapi belum mempunyai kekuatan hukum karena belum dicatat
3
Kepegaiwaian. Analisis Yuridis Terhadap Pencatatan Perkawinan. https://www.pta-
jakarta.go.id . diakses pada tanggal 15 Oktober 2021, pukul 14.06
12
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan). Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah
apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11
UU No. I tahun 1974 yaitu:
Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah
sebagai berikut:
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri dalam hal seorang suami beristri lebih Dari seorang
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974
direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
Ijab yaitu : ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak perempuan) atau
wakilnya sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah
ucapan pengantin laki-laki sebagai tanda penerimaan. Ijab dan qabul dapat
diucapkan dalam bahasa Indonesia.
16
Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan
tidak berselang waktu. Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai
laki-laki secara pribadi. Dalam hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan
pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wali atas akad nikah itu adalah mempelai pria.
Beragama Islam
Bahwa ia wanitas
Orangnya diketahui dan tertentu
Halal bagi calon suami
Wanita tersebut tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa
iddah
Tidak dipaksa
Tidak sedang berihram
3. Wali
Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan syarat
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahinya. Syarat wali adalah :
Islam
Sudah baligh
Berakal sehat
Merdeka
Laki-laki
17
Adil
Sedang tidak melakukan ihram
1. Bapak,
2. Kakek dari jalur bapak,
3. Saudara laki-laki kandung,
4. Saudara laki-laki tunggal bapak, kemenakan laki-laki (anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung)
5. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
6. Paman dari jalur bapak
7. Sepupu laki-laki anak paman
8. Hakim, bila sudah tidak ada wali-wali tersebut dari jalur nasab
4. Saksi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara Historis
Secara Sosiologis
Secara Yuridis
Ketentuan hukum yang mengatur tata cara pernikahan ynag dibenarkan oleh
hukum adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebelum adanya
Undang-undang tersebut, hukum yang ada di Indonesia baik pidana dan perdata
merupakan hukum warisan pada masa Hindia Belanda. Terbitnya Kepres no. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Lahirnya UU. No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan
kehakiman yang mandiri dalam menegakkan hukum islam bagi pencari keadilan
yang beragama Islam meliputi perkara-perkara seperti pernikahan, wakaf, hibah,
shadoqah yang menjadi hukum positif di Indonesia.
B. Saran
diatur dalam Hukum Positif di Indonesia di dalam Pasal 2 ayat 1 (1) dan (2)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :
DAFTAR PUSTAKA
(Nielson: 2006). Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume
13, No. 1, Juni 2013: 65-83