Anda di halaman 1dari 20

KARYA TULIS ILMIAH

LEGALITAS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia


Dosen Pengampu : Prof. Dr. Nandra, M.S.

Disusun Oleh :
AMELIA ROZA

2310111011

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah swt., yang maha pengasih lagi maha
penyayang, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas karya tulis ilmiah tentang Legalitas Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia.

Tidak lupa saya menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pengampu
Bahasa Indonesia, yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang
bermanfaat dalam proses penyusunan karya tulis ilmiah perkuliahan ini. Rasa
terimakasih juga hendak saya ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga
makalah perkuliahan ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan

Karya tulis ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan karya tulis
ilmiah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak-banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.

Saya menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih banyak kekurangan..
Sebagai penulis, saya berharap pembaca bisa memberikan kritik dan saran agar
tulisan selanjutnya dapat jauh lebih baik lagi. Di sisi lain, saya berharap pembaca
menemukan pengetahuan baru dari karya tulis ilmiah ini. Walaupun tulisan ini tidak
sepenuhnya bagus,saya berharap ada manfaat yang bisa diperoleh oleh pembaca.

Padang, Januari 2024

Penulis

PAGE \* MERGEFORMAT i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

1.1.Latar Belakang................................................................................ 1
1.2.Rumusan Masalah.......................................................................... 2
1.3.Tujuan Penulisan............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 1

2.1. Hukum Perkawinan Beda Agama................................................... 3


2.2. Pencatatan Perkawinan Dan Akta Nikah Beda Agama................ 6
2.3. Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama...................................... 8
2.4. Keabsahan Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Cita
Hukum Pancasila.............................................................................. 10

BAB III PENUTUP......................................................................................... 11

3.1. Kesimpulan........................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12

PAGE \* MERGEFORMAT i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


(UUP) dijelaskan bahwa "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa." Artinya, perkawinan harus mengikuti prinsip-prinsip agama,
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Lebih lanjut, Pasal 8
huruf f UUP melarang melakukan perkawinan yang bertentangan dengan ajaran
agama atau peraturan lain yang berlaku. Dengan demikian, norma keagamaan
menjadi dasar utama dalam UUP ini, dan hal ini ditegaskan oleh pemaparan
Menteri Agama mengenai pentingnya norma-norma agama yang tercakup
dalam UUP. Menteri Agama pada waktu itu menjelaskan mengenai norma-
norma perkawinan dari berbagai agama, termasuk Al-Qur'an dan Hadis bagi
umat Islam, The Law of Menuel karya Max Muler dan Manaha Dharma Satwa
untuk agama Hindu, Tripika untuk agama Budha, serta dasar-dasar perkawinan
menurut Perjanjian Lama dan Baru untuk agama Katolik.
Prof. Hazairin dengan tegas menyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa tidak
ada toleransi terhadap pelanggaran "hukum agama sendiri." Ini berarti bagi
individu Muslim, tidak mungkin melanggar prinsip-prinsip agamanya ketika
menikah, dan hal ini juga berlaku bagi penganut agama Kristiani, Hindu, dan
Budha. Namun, di tengah kenyataan sosial, perkawinan lintas agama masih
sering terjadi karena adanya cinta yang bersifat universal tanpa memandang
agama, ras, atau golongan. Di Indonesia, yang memiliki keberagaman agama,
mempertemukan dua individu dengan keyakinan yang berbeda untuk saling

PAGE \* MERGEFORMAT 1
mencintai menjadi tidak terhindarkan, terutama dalam lingkungan pendidikan,
dunia kerja, dan sebagainya, di mana laki-laki dan perempuan saling
berinteraksi. Hal ini mencerminkan ungkapan lama yang menyatakan "dari mata
turun ke hati."
Namun, fenomena perkawinan lintas agama masih sering terjadi di
Indonesia. Sebagian dilangsungkan di dalam negeri, seperti pernikahan antara
Tamara Bleszynski dan Mike Lewis pada 2 Februari 2010 di Bali, sementara yang
lain memilih menikah di luar negeri, seperti pernikahan Cornelia Agatha dengan
Sony Lalwani pada 18 Maret 2006 di Hong Kong. Hal ini menimbulkan polemik
terkait perkawinan beda agama. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan (UUP)
tidak secara tegas mengatur perkawinan beda agama, menimbulkan kekosongan
hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kurangnya perlindungan
hukum bagi pasangan yang menikah lintas agama. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji legalitas hukum perkawinan beda agama di Indonesia
dan menyajikan solusi yang diambil oleh pasangan yang menghadapi situasi in

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana Pengaturan Hukum Perkawinan Beda Agama?
1.2.2. Bagaimana Pencatatan Perkawinan dan akta Nikah Beda Agama?
1.2.3. Bagaimana Akibat Hukum Pernikahan Beda Agama?
1.2.4. Apakah perkawinan beda agama dianggap sah dalam prespektif cita hukum
Pancasila?
1.3.Tujuan Penulisan
1.3.1. Mengetahui Bagaimana Pengaturan Hukum Perkawinan Beda Agama
1.3.2. Mengetahui Bagaimana Pencatatan Perkawinan dan akta Nikah Beda Agama
1.3.3. Mengetahui Bagaimana Akibat Hukum Pernikahan Beda Agama

PAGE \* MERGEFORMAT 1
1.3.4. Apakah perkawinan beda agama dianggap sah dalam prespektif cita hukum
Pancasila

PAGE \* MERGEFORMAT 1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hukum Perkawinan Beda Agama


Perkawinan beda agama merujuk pada pernikahan antara pasangan
dengan keyakinan agama yang berbeda, yakni seorang pria dan seorang
wanita. Terdapat tiga penafsiran berbeda dalam menginterpretasikan
perkawinan beda agama sesuai Undang-Undang Perkawinan. Pendapat
pertama menyatakan bahwa perkawinan beda agama melanggar UU No.
1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Sementara pendapat kedua menyatakan
bahwa perkawinan antar agama sah dan dapat dilaksanakan, merujuk pada
perkawinan campuran, seperti yang diatur dalam pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang mencakup dua orang dengan hukum yang
berbeda, termasuk kewarganegaraan dan agama. Pendapat ketiga
menyatakan bahwa perkawinan antar agama tidak diatur dalam UU No.
1/1974, sehingga persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada
peraturan perkawinan campuran berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974.
Perbedaan penafsiran ini muncul karena kurangnya ketentuan yang jelas
mengenai perkawinan beda agama dalam undang-undang, yang berdampak
pada perbedaan pandangan terkait masalah ini.

Meskipun ketentuan hukum positif di Indonesia tidak secara eksplisit


melarang perkawinan beda agama, namun dari norma-norma yang ada dan
karakteristik Indonesia sebagai negara non-sekuler, disimpulkan bahwa
perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan secara sah di Indonesia.
Menurut ajaran Islam yang berlaku, sebuah perkawinan dianggap sah jika
dilangsungkan di tempat tinggal mempelai, masjid, atau kantor agama,

PAGE \* MERGEFORMAT 1
dengan melibatkan ijab kabul dalam bentuk akad nikah. Sementara itu, bagi
yang beragama Kristen, perkawinan dianggap sah jika memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan, dilaksanakan di depan pendeta dengan kehadiran
dua saksi, dan kedua mempelai sudah dibaptis. Meskipun terdapat
perbedaan dalam regulasi agama masing-masing, esensi perkawinan tetap
mengandung unsur-unsur yang sama, seperti hubungan antara pria dan
wanita, terbentuknya ikatan, dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan
hukum setiap sistem agama, sehingga diakui sebagai ikatan yang sah.

Peraturan perihal perkawinan beda agama dalam Ketentuan Hukum


Islam (KHI) dijabarkan secara spesifik dalam Pasal 40 huruf (c), yang
mengindikasikan larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dan seorang wanita karena keadaan tertentu, termasuk kondisi seorang
wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 44 kemudian menetapkan larangan
bagi seorang wanita Islam untuk menikahi seorang pria yang tidak
mengamalkan agama Islam. Berdasarkan dua pasal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa KHI melarang seorang wanita non-Muslim, apa pun
agama yang dianutnya, untuk dinikahi oleh seorang pria Muslim, dan seorang
wanita Muslim tidak diperbolehkan menikahi seorang pria non-Muslim, baik
itu dari kalangan ahli kitab atau non-ahli kitab.

Dari segi aspek yuridis formal, institusi perkawinan di Indonesia diatur


melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua peraturan hukum ini merinci
berbagai aspek yang terkait dengan perkawinan, termasuk perkawinan antar
agama. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) secara tegas menyatakan: "Perkawinan

PAGE \* MERGEFORMAT 1
dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam
agama dan keyakinan masing-masing individu."

Dalam pernyataan ini, dijelaskan bahwa tidak ada bentuk perkawinan


yang diakui di luar norma hukum yang berlaku dalam setiap agama dan
kepercayaan. Pendekatan serupa tercermin dalam beberapa pasal Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, seperti yang disebutkan di bawah ini:

Pasal 4: "Suatu perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan sesuai


dengan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan."

Pasal 40: "Dilarang mengadakan perkawinan antara seorang pria dan


seorang wanita dalam keadaan tertentu, termasuk wanita yang masih terikat
dalam perkawinan dengan pria lain, wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain, dan wanita yang bukan beragama Islam."

Pasal 44: "Seorang wanita Islam dilarang menikah dengan seorang


pria yang tidak beragama Islam."

Pasal 61: "Tidak cocok atau tidak setara bukanlah alasan yang dapat
digunakan untuk mencegah perkawinan, kecuali jika ketidakcocokan tersebut
disebabkan oleh perbedaan agama atau konflik keyakinan."

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut,


dapat disimpulkan bahwa setiap perkawinan yang berlangsung di wilayah
hukum Indonesia harus sesuai dengan ajaran agama, tidak diperbolehkan
adanya perkawinan dengan ritual masing-masing agama secara terpisah. Jika
hal ini terjadi, maka akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap konstitusi.
Karena undang-undang perkawinan di Indonesia tidak secara khusus

PAGE \* MERGEFORMAT 1
mengatur perkawinan antar agama, terjadi kekosongan hukum. Saat ini,
sahnya perkawinan ditentukan oleh pelaksanaannya sesuai dengan ajaran
agama dan kepercayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan. Ini berarti bahwa undang-undang menyerahkan kepada ajaran
agama masing-masing untuk menentukan sah tidaknya suatu perkawinan.
Meskipun perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan di Indonesia
karena Kantor Catatan Sipil menolak untuk mencatatnya, mereka yang
mendapat penolakan dapat mengajukan izin perkawinan ke Pengadilan
Negeri dengan yurisdiksi di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Keabsahan perkawinan antar agama tetap bergantung pada norma hukum
agama masing-masing, namun dalam hal hubungan hukum perdata yang
timbul dari perkawinan, jika perkawinan tersebut diakui secara hukum, maka
dianggap sah dan dilindungi oleh hukum.

2.2. Pencatatan Perkawinan dan akta Nikah Beda Agama

Dalam Pasal 2 ayat (2) UUP disebutkan bahwa "setiap perkawinan


dicatat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan." Kemudian, dalam
Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa:

(1) Pencatatan perkawinan bagi mereka yang menjalankan


perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sesuai
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk.

(2) Pencatatan perkawinan bagi mereka yang menjalankan


perkawinan sesuai dengan agama dan kepercayaan selain Islam dilakukan

PAGE \* MERGEFORMAT 1
oleh Pegawai Pencatat perkawinan di kantor catatan sipil, mengacu pada
peraturan-peraturan terkait pencatatan perkawinan.

(3) Tanpa mengurangi ketentuan khusus pencatatan perkawinan


berdasarkan peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan diatur
sesuai dengan Pasal 3 hingga Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Pencatatan perkawinan bertujuan menciptakan ketertiban dalam


masyarakat, sebagaimana halnya dengan peristiwa signifikan lainnya dalam
kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian. Ini merupakan langkah
hukum untuk melindungi nilai, martabat, dan kesucian perkawinan serta
melindungi perempuan dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga. Pasal
11, 12, dan 13 PP No. 9 Tahun 1975 menetapkan prosedur pencatatan
perkawinan dan penerbitan akta nikah yang diberikan kepada suami dan istri
sebagai bukti autentik perkawinan mereka. Tujuan akta nikah ini adalah
memberikan dasar hukum bagi suami atau istri dalam menegakkan hak
mereka jika terjadi perselisihan atau konflik dalam rumah tangga. Oleh
karena itu, akta nikah menjadi bukti yang sah atas peristiwa perkawinan yang
telah mereka jalani.

Terhadap non-Muslim, registrasi perkawinan dilakukan oleh Pegawai


Pencatat Perkawinan di kantor catatan sipil, sesuai dengan keterangan dalam
Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975. Prosedur pencatatan perkawinan
non-Muslim diatur dalam Pasal 34 UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, yang mengamanatkan bahwa:

(1) Pasangan yang menjalankan perkawinan yang sah wajib


melaporkan perkawinan tersebut kepada instansi pelaksana dalam waktu
maksimal 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
(2) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat perkawinan pada Register Akta
Perkawinan dan mengeluarkan Kutipan Akta Perkawinan.

(3) Kutipan Akta Perkawinan diberikan kepada suami dan istri.

Jadi, terkait perkawinan beda agama di Indonesia yang telah


diputuskan oleh pengadilan, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil
(KCS). Untuk perkawinan yang dilangsungkan sesuai dengan keyakinan
masing-masing, apakah itu mengikuti agama Islam dan kemudian beralih ke
agama non-Muslim, calon mempelai memiliki opsi untuk mencatat
perkawinan mereka. Apabila perkawinan sementara diikuti dengan
kepercayaan tertentu, pencatatan perkawinan dibagi sesuai dengan agama
yang dianut, misalnya dengan melakukan pencatatan di KUA Kecamatan jika
mengikuti agama Islam.

Namun, bagaimana dengan perkawinan yang terjadi di luar negeri, di


mana memungkinkan perkawinan beda agama dan diakui oleh agama
setempat? Orang tersebut tidak diizinkan mencatat perkawinan mereka oleh
KUA Kecamatan atau Kantor Catatan Sipil karena bertentangan dengan
hukum Indonesia.

Perkawinan beda agama yang terjadi di luar negeri biasanya


dilaporkan ke KCS setempat ketika kembali ke Indonesia. Data pencatatan
perkawinan ini dimasukkan ke dalam daftar perkawinan luar negeri tanpa
memeriksa status legalitas perkawinan mereka secara mendalam, sesuai
dengan Hukum Perdata Internasional dan Pasal 56 UUP. Pencatat
perkawinan langsung mencatat peristiwa perkawinan pasangan tersebut
tanpa mengeluarkan akta perkawinan baru, karena akta tersebut sudah
diterbitkan di negara di mana perkawinan terjadi.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Pegawai pencatat nikah yang melanggar aturan perundang-undangan
dapat dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 45 ayat (1) huruf b PP No. 9 Tahun
1975, yakni hukuman kurungan hingga 3 (tiga) bulan atau denda maksimal
Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

2.3. Akibat Hukum Pernikahan Beda Agama

Dilihat dari segi psikologis, perkawinan beda agama dapat berdampak


pada melemahnya hubungan dalam rumah tangga. Awalnya didasari oleh
cinta, perbedaan tersebut, seiring bertambahnya usia, dapat dianggap sepele
dan menyebabkan keretakan dalam rumah tangga. Masalah perkawinan
beda agama juga mempengaruhi kedudukan serta kesejahteraan mental
anak, dan menjaga hubungan anak dengan orang tua dalam konteks
perkawinan beda agama menjadi penting. Secara psikologis, perkawinan
beda agama menyimpan potensi konflik yang dapat mengikis kebahagiaan
dan harmoni dalam rumah tangga, dan seringkali berujung pada perceraian.
Meskipun demikian, tidak semua orang menyadari dampak-dampak
tersebut. Beberapa faktor melatarbelakangi keinginan warga Negara
Indonesia untuk menjalani perkawinan beda agama.

Terlepas dari aspek psikologis, peraturan-peraturan di Indonesia


terkait perkawinan beda agama telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya,
kita akan membahas konsekuensi hukum yang timbul dari perkawinan beda
agama dengan merujuk pada peraturan tersebut.

Status Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengenai Administrasi


Kependudukan secara konstitusional mengakui perkawinan beda agama,
terutama Pasal 35 huruf (a). Namun, pelaksanaannya masih bergantung pada

PAGE \* MERGEFORMAT 1
peraturan undang-undang perkawinan yang ada, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU tersebut,
perkawinan dianggap sah jika sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-
masing, dan telah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Masalah muncul ketika agama yang bersangkutan tidak mengakui


keabsahan perkawinan beda agama. Meski diakui secara administratif
dengan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil berdasarkan penetapan
pengadilan, hal ini tidak membuat perkawinan tersebut sah secara hukum
agama. Akibatnya, terjadi kebingungan hukum, karena Pasal 2 ayat (1) dan
(2) UU Perkawinan menuntut pemenuhan dua kriteria secara bersamaan
untuk menganggap perkawinan sah.

Upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bagi


rakyat yang menjalani perkawinan beda agama sejatinya bertujuan
mewujudkan kepastian hukum. Namun, perlu diperhatikan bahwa upaya ini
sebaiknya tidak bertentangan dengan peraturan undang-undang yang masih
berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.

Status Anak

Dalam konteks hukum, anak yang lahir dari perkawinan beda agama
dianggap sah jika perkawinan tersebut sah menurut agama dan kepercayaan
masing-masing, serta dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Hal ini sesuai dengan
Pasal 42 UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa “anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”

Problema muncul ketika pengadilan hanya menetapkan perkawinan


beda agama tanpa persetujuan dari agama yang bersangkutan. Anak yang

PAGE \* MERGEFORMAT 1
dilahirkan dari perkawinan semacam itu dianggap tidak sah menurut
Undang-Undang Perkawinan dan hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut tidak dapat mengklaim hak waris,
hak nafkah, atau hak perwalian dari ayahnya dan keluarga ayahnya.

Dengan demikian, terdapat ketidakjelasan dan kerancuan dalam


hukum terkait perkawinan beda agama di Indonesia, yang dapat
menimbulkan konsekuensi hukum yang kompleks, terutama terkait dengan
status perkawinan dan status anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

2.4. Keabsahan Perkawinan Beda Agama Dalam Prespektif Cita Hukum Pancasila
Setiap negara berdiri atas dasar filosofi tertentu, yang merupakan
ekspresi dari keinginan rakyatnya. Oleh karena itu, setiap negara memiliki
filosofi yang berbeda. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki filosofi
negara yang tercantum dalam Declaration of Independence, berbeda dengan
Republik Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai filosofi, begitu juga
dengan negara-negara lainnya. Hal ini menandakan bahwa setiap tindakan
rakyat dan negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila, yang telah
ditetapkan sebagai dasar negara. Pancasila menjadi fondasi kokoh bagi
eksistensi NKRI dan menjadi prinsip utama dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan serta sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Pancasila, menurut Arief Sidahrta, mencerminkan pandangan hidup


bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan
sesamanya, serta manusia dan alam semesta, yang berakar pada keyakinan
mengenai tempat individu manusia dalam masyarakat dan alam semesta.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
Pandangan hidup bangsa Indonesia yang terwujud dalam Pancasila dianggap
sebagai nilai dan prinsip-prinsip yang memberikan warna serta pedoman bagi
penyelenggara negara dalam membentuk norma hukum saat merumuskan
peraturan perundang-undangan yang akan menjadi norma hukum positif
yang dihormati oleh warga negara.

Ichtianto menyatakan bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,


sebagai undang-undang yang berakar pada Pancasila, memberikan kekuatan
hukum bagi perkawinan berdasarkan agama-agama yang dianut oleh
penduduk Indonesia. Tidak ada ketentuan untuk perkawinan di luar hukum
agama karena Undang-Undang Perkawinan dibentuk berdasarkan asas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ichtianto menegaskan bahwa dalam konteks
Negara RI yang berlandaskan Pancasila, tidak diperbolehkan mencatat
perkawinan campuran antar pemeluk agama yang berbeda karena dianggap
berbahaya dan melanggar Pancasila.

Putusan Mahkamah Agung yang mengesahkan perkawinan beda


agama dan mengabulkan permohonan pemohon nikah beda agama oleh
Hakim Pengadilan Negeri dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila
dan norma-norma di luar norma hukum positif, khususnya norma agama.

Pandangan nilai masyarakat Indonesia, yang terbentuk dalam cita-cita


hukum Pancasila, mencerminkan pikiran dan jiwa masyarakat sebagai hasil
paduan pandangan hidup, keyakinan keagamaan, dan realitas
kemasyarakatan. Nilai-nilai tersebut menciptakan tiga unsur utama, yaitu
keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum. Semua nilai dalam sistem nilai
Pancasila disatukan oleh prinsip "kesatuan dalam perbedaan" dan
"perbedaan dalam kesatuan," yang melandasi struktur dasar keberadaan

PAGE \* MERGEFORMAT 1
manusia dalam kebersamaan tersebut. Prinsip ini tercermin dalam lambang
negara Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika."

Dengan adanya perbedaan prinsip dalam beragama dan kepercayaan,


perkawinan beda agama dianggap tidak sah menurut Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Jika negara memaksakan norma hukum positif yang
mengizinkan perkawinan beda agama, akan ada penolakan keras dari
masyarakat yang taat beragama, terutama agama Islam dan Kristen sebagai
mayoritas. Perlakuan masyarakat terhadap pasangan yang menikah beda
agama dan anak-anak mereka akan berbeda karena dianggap perbuatan
tercela. Penilaian ini muncul karena masyarakat menganggap perkawinan
beda agama bertentangan dengan norma agama, yang menentukan
perbuatan yang diizinkan dan dilarang.

Permasalahan hukum bukan hanya berkaitan dengan hubungan antar


manusia, tetapi juga melibatkan unsur lain, seperti hubungan manusia
dengan alam sekitarnya atau bahkan dengan Tuhan sebagai pencipta
manusia. Hukum harus dilihat sebagai kesatuan, tidak dapat berdiri sendiri,
tetapi erat kaitannya dengan Tuhan sebagai sumber hukum utama.
Pemahaman ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
dan Pasal 29 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dengan perspektif hukum ini, segala peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Republik Indonesia wajib mengakui dan
menghormati semua aturan hukum yang ada dalam agama yang sah di
Indonesia, termasuk hukum yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat
yang bersumber dari hukum agama dalam konteks perkawinan.

Nikah beda agama yang bertentangan dengan Pancasila, Undang-


Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Perkawinan ditegaskan oleh

PAGE \* MERGEFORMAT 1
putusan Mahkamah Konstitusi 68/PUU-XII/2014 Tahun 2014. Putusan ini
menambahkan frase "penafsiran mengenai hukum agamanya dan
kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai" pada
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan dengan pertimbangan bahwa putusan tersebut sesuai
dengan prinsip Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan norma-norma
yang ada di luar norma hukum positif, terutama norma agama.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perkawinan beda agama di Indonesia masih menjadi permasalahan


hukum yang kompleks. Meskipun Undang-Undang Perkawinan tidak secara
eksplisit mengatur perkawinan beda agama, norma agama masih menjadi
dasar utama. Pencatatan perkawinan dan akta nikah beda agama dilakukan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, tetapi keabsahan hukumnya
dapat menjadi kompleks terutama jika agama yang bersangkutan tidak
mengakui. Dalam prespektif hukum Pancasila, perkawinan beda agama
dianggap bertentangan dengan nilai-nilai negara. Mahkamah Konstitusi telah
menegaskan bahwa penafsiran hukum agama dan kepercayaan diserahkan
kepada calon mempelai, tetapi hal ini tetap menjadi isu yang kontroversial.

PAGE \* MERGEFORMAT 1
DAFTAR PUSTAKA

(Karim, 2016)

(Erleni, 2022)

(Hutama Hutabarat et al., 2022)

(Moh. Syamsul Muarif, 2015)

(Крыжановский et al., 2021)

Erleni. (2022). LEGALITAS HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI


INDONESIA Erleni Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda. Lex
Librum : Jurnal Ilmu Hukum, 9(1), 109–116.

Hutama Hutabarat, D. T., Simanjuntak, K., & Syarunsyah, S. (2022). Pengelabuan


Hukum Perkawinan Atas Perkawinan Beda Agama. Jurnal Ius
Constituendum, 7(2), 322. https://doi.org/10.26623/jic.v7i2.5383

Karim, H. M. (2016). Keabsahan Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Dalam


Prespektif Cita Hukum Pancasila. ADIL: Jurnal Hukum, 8(2), 1–23.

Moh. Syamsul Muarif. (2015). Legalitas Perkawinan Beda Agama dalam Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perk. In Tesis, UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang. http://etheses.uin-malang.ac.id/3203/1/13780030.pdf

Крыжановский, С. А., Мирошкина, И. А., & Ионова, Е. О. (2021). Роль Сигма-1


Рецепторов В Регуляции Деятельности Сердца. Часть 2. Роль Сигма-1
Рецепторов В Кардиопротекции. Физиология Человека, 47(4), 124–134.
https://doi.org/10.31857/s013116462104007x

PAGE \* MERGEFORMAT 1

Anda mungkin juga menyukai