Anda di halaman 1dari 13

KONFLIK PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT PERSPEKTIF

SYARIAT ISLAM DAN DAMPAK TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA


ANAK

DISUSUN OLEH :

1. AFFAN PUTRA AVIANSYAH (XI-4/02)


2. ALYA BINTANG ADIMAWATI (XI-4/03)
3. ANDHIN NAFILLA PUTRI ASHARI (XI-4/05)
4. ANGGUN SONYA MEYLANI (XI-4/06)
5. KEISHA AUREA JANITRA (XI-4/18)
6. SUFFIE ILHAN RAMADHAN (XI-4/33)

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 MADIUN

TAHUN AJARAN

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang maha kuasa yang telah memberikan kita taufik dan
hidayahNya sehingga dengan izin-Nya penulis bisa menyelesaikan tugas untuk memenuhi
tugas mata pelajaran PAI yang membahas tentang Permasalahan Dalam Menikah. Salawat
serta salam kita haturkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya
dari alam kebodohan hingga kealam yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan
pada saat sekarang ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada guru pengampu yang telah
memberikan pengetahuan untuk kelancaran artikel ini.Penulis memohon kritik dan saran dari
pembaca demi untuk membangun artikel ini agar lebih baik. Penulis mengucapkan maaf
kepada pembaca jika didalam artikel ini terdapat kekurangan dan sistematika yang belum
mencapai standar ejaan yang sebenarnya.Karena penulis masih dalam tahap belajar. Semoga
artikel ini bermanfaat bagi pembaca, Aamiin.

Madiun, 22 Februari 2024

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
A. LATAR BELAKANG.......................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................................1
C. KAJIAN TEORI...............................................................................................................1
1. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-Undang dan Negara.............2
2. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Perspektif Agama Islam......................3
3. Dampak Dan Pengaruh Pernikahan Beda Agama Terhadap Pendidikan Agama
Anak.......................................................................................................................................6
4. Faktor yang mempengaruhi pernikahan beda agama..............................................8
D. KESIMPULAN.................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10

iii
A. LATAR BELAKANG

Perkawinan beda agama melahirkan suami istri beda agama dalam keluarga di era modern
telah masuk menjadi kebudayaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
menjadi fenomena yang banyak diperbincangkan karena tidak terlepas dari keadaan
masyarakat yang multikultural. Beberapa masyarakat ada yang menghendaki terjadinya
perkawinan beda agama ada juga yang tidak mengehendakinya. Berbagai alasan muncul guna
mendukung dan menolak perkawinan beda agama ini. Berbagai perspektif pun berkembang
dalam mengkaji atau menganalisis perkawinan beda agama tersebut. Saat ini marak sekali
terjadi pernikahan beda agama, hingga masyarakat awam pun sudah tidak aneh lagi dengan
pernikahan beda agama. Bila diamati lebih tajam ditemukan fenomena yang unik dan
menarik, karena pernikahan beda agama di Indonesia dilarang, ini di buktikan dengan adanya
UU no 1 tahun 1974 tentang pernikahan. Bahwasannya Negara melarang warga negaranya
melakukan pernikahan beda agama, perkawinan yang dilakukan harus seagama, kecuali
pasangan itu menikah dengan agama masing-masing, hal itu di buktikan dalam UU no 1 pasal
1 ayat 2 bahwasannya perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamannya dan kepercayaannya itu. Berkaitan dengan hal tersebut penulis tertarik
untuk meneliti tentang alasan dan faktor yang mempengaruhi pernikahan beda agama, serta
cara mereka menerapkan pendidikan agama anak pada keluarga yang nikah beda agama
tersebut serta untuk mengangkat sisi perkawinan beda agama yang sebenarnya tidak
diidealkan menurut agama dari masing-masing kepercayaan masyarakat

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut, diperoleh beberapa pertanyaan antara lain sebagai berikut:

1) Bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut Undang-Undang dan negara?


2) Bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut perspektif agama Islam?
3) Bagaimana dampak dan pengaruh pernikahan beda agama terhadap pendidikan agama
anak-anaknya?
4) Apa alasan serta faktor yang mempengaruhi pernikahan beda agama ?

C. KAJIAN TEORI

Pada dasarnya, pernikahan beda agama merupakan perkawinan yang dilakukan


antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing berbeda agama sebagai contoh adalah
perkawinan antara laki-laki atau perempuan muslim dengan laki-laki atau perempuan non-
muslim. Sedangkan menurut para ahli menurut Rusli dan R. Tama, menyatakan bahwa
perkawinan antar agama merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang
wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan

1
hukum agamanya masing- masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia, kadang menghadirkan sesuatu
yang positif namun tidak jarang menimbulkan hal negative. Pada masa-masa orde lama,
sekitar tahun 1960 sampai 2000 pernikahan masih dianggap sesuatu yang sangat sakral
sehingga jarang terjadi perceraian. Orang tua dalam memilih menantu sangat selektif,
penilaian dalam hal agama adalah sesuatu yang pertama ditanyakan dan dilihat. Karena
dengan agama, seseorang mampu membimbing dan mendidik istri terlebih anak-anaknya
sehingga menjadi anak yang shalih lagi baik.
Dewasa ini, hal tersebut di atas sudah tidak perhatikan lagi. Mapan dalam hal
duniawi adalah penilaian utama oleh para calon mertua dalam menentukan pasangan anak-
anaknya. Agama adalah sesuatu yang dianggap privasi dan tidak boleh ada campur tangan
orang tua, sehingga anak bebas memilih dengan siapa yang diinginkannya. Maka tidak
heran, anakanakpun berkembang sesuai dengan keinginan masing-masing tampa pendidikan
agama dari orang tua.
Namun disisi lain, karena negara Indonesia adalah negara dengan penduduk
mayoritas Islam maka hukum yang yang ada di Indonesia selain menggunakan hukum-
hukum perintah (negara) juga masih memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selalu
hadir memberikan fatwa terkait hukumhukum agama Islam yang salah satunya nikah beda
agama. Dan ternyata larangan terhadap nikah beda agama ini tidak hanya terjadi pada
agama Islam saja, dalam agama lain-pun ditemukan larangan untuk meikah dengan
seseorang yang berbeda kayakinan.

1. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Undang-Undang dan Negara

Ihwal pernikahan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Menurut Pasal 1 UU tersebut, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu, mengacu
Pasal 2, perkawinan dinyatakan sah jika dilakukan menurut hukum agama.
1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) ini dapat disimpulkan bahwa secara a contrario
perkawinan yang diselenggarakan tidak sesuai dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan pasangan pengantin, maka dapat dikatakan perkawinan tersebut tidak sah.
Indonesia mengakui enam agama, memiliki pengaturannya masing-masing dan
cenderung tegas melarang praktik perkawinan beda agama. Pertama, Hukum Islam jelas
menentang perkawinan beda agama, bahkan apabila dipaksakan maka lazim dikenal dalam
masyarakat sebagai “zina seumur hidup.” Kedua, Agama Kristen/Protestan pada dasarnya
melarang pengikutnya untuk melangsungkan perkawinan beda agama, karena dalam doktrin
Kristen, tujuan adanya perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan antara suami, istri,
dan anak-anak dalam lingkup rumah tangga yang kekal dan abadi. Ketiga, Hukum Katolik

2
melarang pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat
tertentu. Keempat, Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan
mengembalikan kepada adat masing-masing daerah. Kelima, sementara agama Hindu
melarang keras pernikahan beda agama. Keenam, Chandra Setiawan menyatakan bahwa
ritual peneguhan perkawinan hanya bisa dilakukan untuk orang yang meyakini Konghucu.
Pada dasarnya (pernikahan berbeda agama) tidak diperbolehkan, karena tidak dapat
diteguhkan menurut ajaran Konghucu.
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan juga
kembali ditegaskan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan
di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pemberlakuan Pasal 2
Undang-Undang Perkawinan harus dimaknai secara kumulatif, artinya komponen-komponen
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun suatu perkawinan
sudah dilangsungkan secara sah berdasarkan hukum agama, tetapi apabila belum dicatatkan
pada instansi yang berwenang baik Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam
ataupun Kantor Catatan Sipil untuk non Islam, maka perkawinan tersebut belum diakui sah
oleh negara.
2. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Perspektif Agama Islam

Agama Islam secara terang-terangan melarang adanya menikah beda agama. Bahkan
hal tersebut juga telah Allah Swt. sendiri sampaikan di beberapa suratnya di dalam Al-
Qur’an. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 221 :

‫َو اَل َتْنِكُحوا اْلُم ْش ِرٰك ِت َح ّٰت ى ُيْؤ ِم َّن ۗ َو َاَلَم ٌة ُّم ْؤ ِم َنٌة َخْيٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّو َلْو َاْع َجَبْتُك ْم ۚ َو اَل ُتْنِكُحوا اْلُم ْش ِرِكْيَن َح ّٰت ى‬
‫ٰۤل‬
‫ُيْؤ ِم ُنْو اۗ َو َلَع ْبٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخْيٌر ِّم ْن ُّم ْش ِرٍك َّو َلْو َاْع َجَبُك ْم ۗ ُاو ِٕىَك َيْدُع ْو َن ِاَلى الَّناِرۖ َو ُهّٰللا َيْدُع ْٓو ا ِاَلى اْلَج َّنِة َو اْلَم ْغ ِفَر ِة‬
‫ࣖ ِبِاْذ ِنٖۚه َو ُيَبِّيُن ٰا ٰي ِتٖه ِللَّناِس َلَع َّلُهْم َيَتَذَّك ُرْو َن‬

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan
perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang
beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
(Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Agama Islam secara terang-terangan melarang adanya pernikahan beda agama. Berikut yang
termasuk kategori wanita yang haram dinikahi menurut Islam :
a. az-zawaj bi al-kitabiyat; perkawinan dengan wanita-wanita ahli Kitab yaitu
perkawinan dengan wanita-wanita Yahudi dan Nasrani.
b. az-zawaj bi al-musyrikat; pernikahan dengan wanita-wanita musyrik.
c. az-zawaj bi ghair al-muslimah; perkawinan dengan non-muslim.
Namun demikian risalah Islam mengajarkan bahwa jika seorang musyrik telah
beriman maka orang muslim diperkenankan menikah dengannya. Karena hakikatnya

3
perkawinan adalah salah satu media ibadah seumur hidup dan dakwah menyerukan orang
menuju ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Melalui jalan perkawinan dan dengan proses pendekatan emosional diharapkan orang yang
telah beriman tersebut mendapat tuntunan dan ajaran dari pasangannya yang lebih dahulu
memeluk Islam, sehingga kedepannya diharapkan dapat memahami Islam secara utuh.
Dalam literatur fiqih klasik, Perkawinan Beda Agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori,
yaitu:
1. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik;
Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim diharamkan menikah dengan seorang
wanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 221:

ۗ‫َو اَل َتْن ِكُحوا اْل ُمْش ِرٰك ِت َح ّٰت ى ُيْؤ ِم َّن ۗ َو َاَلَمٌة ُّم ْؤ ِم َنٌة َخ ْيٌر ِّمْن ُّم ْش ِرَك ٍة َّو َلْو َاْع َج َبْتُك ْم ۚ َو اَل ُتْن ِكُحوا اْل ُمْش ِرِكْيَن َح ّٰت ى ُيْؤ ِم ُنْو ا‬
‫َو َلَع ْبٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخْيٌر ِّمْن ُّم ْش ِرٍك َّو َلْو َاْع َجَبُك ْم ۗ ُا وٰۤل ِٕىَك َيْدُع ْو َن ِاَلى الَّناِرۖ َو ُهّٰللا َيْدُع ْٓو ا ِاَلى اْل َج َّنِة َو اْل َمْغ ِفَرِة ِبِاْذ ِنٖۚه َو ُيَبِّيُن ٰا ٰي ِتٖه‬
‫ࣖ ِللَّناِس َلَع َّل ُهْم َيَتَذَّك ُرْو َن‬

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh
hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik
meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun
dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
agar mereka mengambil pelajaran.”
Ayat lain tentang pelarangan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non
muslim juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah (60) ayat 10:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang
berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu menguji, maka Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir
(suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-
orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka
mahar yang telah mereka diberikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka
apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah
minta kembali mahar yang telah kamu berikan dan (jika suaminya tetap kafir)
biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayarkan kepada mantan
isterinya yang telah beriman. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu, dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana).”
Berdasarkan tafsir dari Ath-Thabari, ayat ini mengandung larangan bagi orang muslim
untuk menikahi wanita musyrik (Wanita kafir penyembah berhala). Dan apabila telah
terjadi pernikahan, Allah memerintahkan untuk menceraikan mereka.[5] Begitu pula

4
seorang pria muslim, dilarang mempertahankan pernikahannya dengan wanita
musyrik yang tidak ikut hijrah dengan suaminya. Sesungguhnya ikatan pernikahannya
telah putus disebabkan kekufuran, karena Islam tidak membolehkan menikahi wanita
musyrik.

2. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab

Berdasarkan literatur klasik ditemui bahwa para ulama memiliki pendapat yang
berbeda mengenai masalah ini, sebagian ulama cenderung membolehkan perkawinan
tersebut dan kebanyakan dari mereka menghukum makruh bahkan haram, Bagi yang
memperbolehkan mereka merujuk pada QS. Al-Maidah (5) ayat 5 :
“Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan
(sembelihan) ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan
(dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di
antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar
maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bkan untuk
menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah setelah beriman maka
sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Kebanyakan ulama yang menghukum haram pernikahan tersebut mendasarkan
keputusannya dari pertimbangan, yaitu :
a. Berdasarkan Mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab terbesar yang dianut
oleh bangsa Indonesia, berpendapat bahwa kategori ahli kitab yang boleh dinikahi
haruslah “min qablikum”, yaitu nenek moyang ahli kitab sebelum masa kerasulan
Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kriteria ini, maka Nasrani dan Yahudi yang saat
ini masih ada tidak dapat dikatakan ahli kitab secara murni karena telah melewati
masa kerasulan dan telah menjumpai ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW. Selain itu kini sudah tidak ada Ahli Kitab murni (yang kitab asli mereka sama
sekali tidak mengalami perubahan) dan benar-benar berpegang teguh dengan agama
samawi serta wanita Ahli Kitab yang Muhsonat.
b. Berdasarkan kajian Majelis Ulama Indonesia dan fakta di lapangan yang
menunjukkan bahwa perkawinan beda agama menimbulkan mafsadat yang jauh lebih
besar dari pada manfaatnya. Diantaranya, tidak terlaksananya tugas dan tujuan untuk
memelihara agama dan keturunannya; misi dakwah dan pembelajaran melalui
perkawinan tidak berjalan dengan efektif; dan ironisnya malah semakin banyak
pasangan yang pindah agama utamanya anak-anak hasil perkawinan tersebut.
c. Berdasarkan pendapat bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) di masa kini
dapat dikategorikan sebagai golongan musyrik. Karena dalam doktrin dan praktik
ibadah Yahudi maupun Nasrani jelas mengandung unsur syirik (trinitas), dimana
Yahudi menganggap Uzair putera Allah dan mengkultuskan Haikal Nabi Sulaiman,

5
sedangkan Nasrani menganggap Isa Al-Masih sebagai anak Allah dan mengkultuskan
ibunya Maryam.
3. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (baik
musyrik maupun ahli kitab)

Para ulama sepakat menghukum perkawinan tersebut haram oleh Islam, baik calon
suami dari golongan ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk agama lain
yang mempunyai kitab seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk lain. Hal ini juga
didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2) ayat 221.

Di sisi lain, di Indonesia terdapat beberapa fatwa dalam hukum Islam mengenai
perkawinan beda agama yaitu:
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI).
MUI mengeluarkan fatwa tentang perkawinan beda agama, tepatnya pada tanggal 1
Juni 1980 yang kemudian sebagai penguat dai fatwa tersebut pada tanggal 28 juli
2005 fatwa tersebut oleh MUI dikeluarkan kembali dengan kata lain MUI telah
mengeluarkan dua fatwa dalam satu permasalahan yang sama yang isinya adalah
sama. Adapun isi dari fatwa MUI tersebut berisi:
a. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
b. Perkawinan laki-laki muslim dengan waita ahlul kitab, menurut qoul mu’tamad,
adalah haram dan tidak sah.
2. Nahdatul Ulama (NU)
Nahdatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa yang terkait dengan nikah beda
agama. Fatwa tersebut ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir
November 1989. Ulama NU dan fatwanya menegaskan bahwa pernikahan antara dua
orang yang berbeda agama di indonesia hukumnya adalah tidak sah.
3. Ulama Muhammadiyah
Muhammadiyah telah menerangkan tentang hukum nikah beda agama dan menjadi
keputusan muktamar tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur. Para Ulama
Muhammadiyah sepakat bahwa seorang wanita muslimah haram menikah dengan
selainlaki-laki muslim. Ulama Muhammadiyah juga sepakat bahwa lakilaki muslim
haram menikah dengan wanita musyrikah.
3. Dampak Dan Pengaruh Pernikahan Beda Agama Terhadap Pendidikan Agama
Anak

Pendidikan memang harus diberikan oleh orang tua kepada anak dari sejak dini,
karena pendidikan merupakan tujuan hidup manusia. Di samping itu pendidikan juga

6
merupakan suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya
(survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat.
Dampak nikah beda agama terhadap anak keturunan adalah jelasnya anak dari orang
tua yang beda agama akan memiliki dua kepribadian atau berkepribadian ganda. Di satu sisi
harus pandai menghadapai sang ayah yang beragama Islam misalnya dan disisi lain harus
bisa menyesuaikan dengan agama kepercayaan ibunya, kristen misalnya. Secara umum,
pasangan beda agama dibagi menjadi 3 kategori; yaitu pasangan yang sama-sama lemah
dalam agamanya, pasangan yang salah satunya kuat dalam beragama sedangkan yang lain
lemah dalam agama dan pasangan yang sama-sama kuat dalam beragama.
Dengan berdasar pada pembagian tersebut, maka dampak yang terjadi-pun terhadap
pendidikan agama anak setidaknya ada tiga:
a) Pada pasangan yang tidak terlalu kuat dalam beragama atau beragama sekedar
formalitas (agama KTP) maka akan berdampak terhadap persepsi anak tentang
agama sebagaimana orang tua memahami agama. Secara generatif anak mengikuti
keberagamaan orang tua. Agama sekedar pakaian atau formalitas. Faktor lingkungan
lebih dominan dalam mempengaruhi agama anak, sedangkan orang tua kurang begitu
signifikan pengaruhnya.
b) Pada pasangan di mana salah satu pasangan lebih kuat dalam beragama atau lebih
aktif dalam mempengaruhi anak untuk masuk dalam agamanya, maka anak akan
cenderung mengikuti agama orang tua yang dominan. Dalam keluarga semacam ini,
biasanya salah satu pihak aktif berusaha untuk mengenalkan agamanya kepada
anaknya, sementara pihak yang lain cenderung membiarkan atau mengalah. Hal ini
dilakukan untuk mencegah konflik rumah tangga. Tidak jarang pihak yang mengalah
justru mendorong anaknya supaya konsisten dalam beragama. Artinya, anak diminta
menjadi penganut agama dengan baik. Tidak jarang sikap mengalah dan sportif pihak
orang tua yang mengalah justru mengundang simpati salah satu anak dan karenanya
anak berkeinginan untuk mengikuti agama selain yang diajarkan pihak orang tua
yang dominan.
c) Pada pasangan yang sama–sama kuat dalam beragama atau sama-sama aktif dalam
mengajak anak agar memeluk agama yang dipeluknya memiliki 2 (dua)
kemungkinan, yaitu orang tua membuat kesepakatan, atau orang tua tidak membuat
kesepakatan. Bagi pasangan yang membuat kesepakatan tertentu, maka komunikasi
keluarga dalam hal agama akan lebih terarah sesuai dengan kesepakatan tersebut,
baik kesepakatan tentang agama anak untuk mengikuti agama salah satu orang tua
atau dibagi secara fair, sebagian ikut agama ayah, sebagian ikut agama ibu. Atau
bahkan anak diberi kebebasan dalam menganut agama. Potensi konflik akan terjadi
pada pasangan yang tidak membuat kesepakatan tertentu karena terjadi kompetesi
terselubung dalam mempengaruhi agama anak.
Dalam prakteknya orang tua yang melakukan pernikah beda agama, mengalami kesulitan
dalam memberikan pendidikan agama kepada anak, karena ada dua agama yang harus dipilih
oleh anak tersebut. Anak-anak hasil dari pernikahan beda agama akan mengalami dilema
dalam menentukan keyakinan dalam beragama, dan anak akan merasa kebingungan
mengikuti agama ayah atau ibunya. Hal ini juga berpengaruh pada perkembangan psikologi
anak dalam menjalankan hidupnya sehari- hari. Tetapi apabila pasangan yang menikah beda

7
agama tersebut menyikapi pendidikan agama anak dengan memberikan pendidikan agama
pada anak secara terbuka dan dilandasi dengan dasar-dasar pengetahuan yang mereka miliki
serta kreatifitas dalam memberikan solusi bagi hidup mereka serta tetap memberikan arahan
secara psikologis, sehingga anak dapat menentukan tanpa keraguan. Dari uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa pernikahan beda agama bukan merupakan solusi yang terbaik,
karena dapat menimbulkan yang akan berdampak secara psikologis pada anak. Sehingga akan
berpengaruh pada pola pendidikan agama yang diterapkan orang tua, pada anak tersebut.
4. Faktor yang mempengaruhi pernikahan beda agama

1) Pergaulan hidup sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia memang


merupakan masyarakat yang heterogen atau terdiri atas beraneka ragam suku, dan
agama. Dalam pergaulan hidup sehari- hari, tidak pernah dibatasi dalam masalah
pergaulan. Hal ini sangat berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat yang ada di
Indonesia yang sudah terlalu erat dalam bergaul tanpa melihat perbedaan agama
yang satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan perasaan cinta yang tidak
dapat dihindari.
2) Pendidikan tentang agama yang minim. Banyak orang tua yang jarang maupun
tidak pernah mengajarkan anakanaknya sedini mungkin tentang agama. Sehingga
dalam pertumbuhannya menjadi dewasa, Ia tidak mempersoalkan agama yang
diyakininya. Sehingga dalam kehidupannya sehari-hari, tidak mempermasalahkan
apabila memiliki
pasangan yang berbeda agama hingga sampai kejenjang perkawinan atau
menikah.
3) Latar Belakang Orang tua. Faktor ini juga sangat penting. Karena pasangan yang
menikah beda agama tentu tidak lepas dari adanya latar belakang orang tua.
Banyak pasangan yang menikah dengan pasangan yang berbeda agama karena
melihat orang tuanya juga adalah pasangan yang berbeda agama. Mungkin bagi
mereka tidak menjadi masalah apabila menikah dengan pasangan yang berbeda
keyakinan karena berdasarkan riwayat orang tua. Tentu jika kehidupan orang tua
tersebut berjalan harmonis, maka akan menjadi contoh bagi anak-anaknya kelak
dalam perkawinan berbeda agama.
4) Dengan meningkatnya hubungan sosial anak-anak muda Indonesia dengan anak-
anak muda dari Manca Negara. Akibat globalisasi dengan berbagai macam
bangsa, kebudayaan, agama serta latar belakang yang berbeda hal tersebut sedikit
atau banyak ikut menjadi pendorong atau melatar belakangi terjadinya perkawinan
beda agama.

8
D. KESIMPULAN

Perkawinan beda agama adalah hal yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Islam secara terang
terangan melarang pernikahan beda agama. Umumnya setiap orang menginginkan
pasangan hidup yang seagama sehingga dapat membangun keluarga berdasarkan satu
prinsip dan akan lebih mudah dalam membangun kesepahaman dalam hal tujuan
hidup ataupun mendidik agama bagi keturunannya. Namun tidak sedikit pula
pasangan yang akan melakukan pernikahan dengan perbedaan keyakinan, hal itu
dapat dimungkinkan karena adanya pergaulan antar manusia yang tiada batas.
Berbagai kondisi tersebut tidak dapat menghindari adanya pernikahan antar agama,
ini menjadi hal yang semakin umum di lingkungan masyarakat.

9
DAFTAR PUSTAKA

(2022, July 15). Retrieved from badilag.mahkamahagung.go.id:


https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/nadzirotus-sintya-falady-s-h-
cpns-analis-perkara-peradilan-calon-hakim-2021-pengadilan-agama-probolinggo
Cara Pandang Islam Menilai Hukum Menikah Beda Agama. (2021, November 02). Retrieved
from lldikti5.kemdikbud.go.id: https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/cara-
pandang-islam-menilai-hukum-menikah-beda-agama#:~:text=Agama%20Islam
%20secara%20terang%2Dterangan,musyrik%2C%20walaupun%20dia%20menarik
%E2%80%9D.
Farisa, F. C. (2023, 09 16). Aturan Menikah Beda Agama di Indonesia, Bolehkah? Retrieved
from Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2022/09/16/15164031/aturan-
menikah-beda-agama-di-indonesia-bolehkah?page=all#
Pernikahan Beda Agama. (2023). Retrieved from mh.uma.ac.id:
https://mh.uma.ac.id/perkawinan-beda-agama/
Rohman, H. (2021). Hukum Perkawinan Islam Menurut 4 Madzhab Disertai Aturan yang
Berlaku di Indonesia.
Tanjung, I. U. (2022). Undang-Undang Perkawinan dan Nikah Beda Agama Hukum Islam
dan Hukum Positif.

10

Anda mungkin juga menyukai