Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

PROPOSAL SKRIPSI

(Tugas Akhir Mata Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Kelas A)

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD YUSRIZAL

B011201360

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk hidup termulia yang di karuniai akal pikiran dalam
memandang proses perkawinan itu adalah sesuatu yang sakral dalam ajaran agama dan
kepercayaan. Sedangkan hewan membutuhkan proses perkawinan itu sebagai alat
berkembang biak saja dalam memperbanyak keturunan. Manusia juga adalah makhluk
sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, saling berinteraksi hingga timbul rasa
saling peduli, saling menyayangi, saling mencintai dan berkeinginan untuk hidup
bahagia serta memperbanyak keturunan dengan melangsungkan perkawinan.
Perkawinan merupakan suatu hal yang religius di mana suatu hubungan antara dua
insan manusia yaitu laki – laki dan perempuan yang telah dewasa memiliki hasrat untuk
bersatu dan berjanji dalam ikatan yang suci sebagai suami isteri untuk membentuk
keluarga yang bahagia serta memperbanyak keturunan. Indonesia di kenal dengan
beraneka ragam budaya adat istiadat yang sudah tertanam dari nenek moyang mereka
sebelumnya serta agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Tentunya masing-
masing memiliki aturan yang berbeda-beda pula. Sama halnya dengan perkawinan.
Budaya perkawinan yang beraneka ragam serta aturan di dalamnya tidak lepas dari
pengaruh agama, kepercayaan dan pengetahuan dari para masyarakat serta para pemuka
agama yang ada dalam lingkungan di mana masyarakat itu berada. Untuk
menyelaraskan aturan hukum yang beraneka ragam tersebut, maka di buatlah hukum
perkawinan nasional yang merupakan landasan hukum serta aturan pokok dalam
perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang dalam Pasal 1 di tetapkan tentang pengertian
perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami/isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Maksud dari ikatan
lahir bathin disini berupa hubungan tingkah laku dari kedua belah pihak dalam
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Lebih jelasnya lagi Ikatan lahir yaitu

1
Pengertian Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
kedua belah pihak secara jasmani saling membantu satu sama lain dan sungguh
sungguh dalam membina rumah tangga, mencerminkan keluarga yang harmonis serta
saling berinteraksi dengan sesama dalam menjaga hubungan baik di lingkungan
bermasyarakat. Sedangkan ikatan batin yaitu suatu perasaan yang saling menyayangi,
dan perasaan cinta yang begitu kuat, tumbuh dan saling mengikat dalam hati kedua
belah pihak dalam membangun rumah tangga yang kokoh dan hidup bahagia. Tentunya
harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka dalam rumah tangga kedua belah
pihak selalu bahagia dan kekal. Selalu bersyukur kepada sang Pencipta, dan rajin dalam
kerohanian karena di dalam perkawinan unsur kerohanian juga sangatlah penting.
Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan hubungan pribadi dari pasangan yang
melangsungkan perkawinan saja, tapi juga perkawinan tentunya sangat erat kaitannya
dengan permasalahan Agama, sosial, serta permasalahan hukum. Permasalahan Agama
yang menyangkut perkawinan, dapat kita lihat bahwa setiap agama itu memiliki
ketentuan-ketentuan dari agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan
perkawinan.2 Tentunya ketentuan-ketentuan agama Islam misalnya dengan Kristen
tentang perkawinan itu sangat berbeda, antara agama Islam dengan Hindu juga
demikian dan begitupun antara agama-agama lainnya. Permasalahan sosial yang
berkaitan dengan perkawinan, adalah merupakan cara pandang masyarakat pada
umumnya mengenai pelaksanaan perkawinan, yang akan membawa dampak tertentu
pada pasangan yang akan melangsungkan perkawinan dalam lingkungan
masyarakatnya.
Pada umumnya setiap orang menginginkan pasangan hidup yang tentunya
seagama. Bukan sengaja membeda-bedakan atau mendirikan dinding pemisah antara
agama yang satu dengan agama yang lain, namun diharapkan akan lebih mudah
dipermasalahkan perbedaan agama tidak perlu muncul dalam rumah tangga.3 Namun
tidak sedikit pula pasangan yang akan melakukan pernikahan dengan perbedaan
keyakinannya, hal itu dapat dimungkinkan karena adanya pergaulan antar manusia
yang tiada batas. Dengan alasan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan
antara agama, menjadi hal yang semakin umum di lingkungan masyarakat. Dengan
melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, di mana pasangan yang berbeda agama
melangsungkan pernikahan dan masih memegang teguh pada agamanya masing-

2
Hamdan Nasution. 2019. Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama. Jurnal Hukum Kaidah, Vol. 19,
No. 1. Hal. 85.
3
Ibid, hal.86
masing. Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu
terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Pada prakteknya, banyak pasangan yang
yang ingin hidup bersama namun tidak ada perkawinan karena di dasari dengan Agama
atau kepercayaan yang berbeda. Hal ini akan menimbulkan masalah berupa masalah
pencatatannya di kantor sipil, hal ini dikarenakan belum adanya peraturan yang
mengatur masalah perkawinan beda agama. Belum adanya peraturan yang mengatur
masalah perkawinan beda agama akan memicu keraguan dalam prosedur dan
kewenangan pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama. Sebagaimana yang
diatur dalam dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Jika dianalisis dari sudut pandang atau perspektif hukum positif di Indonesia,
perkawinan terjadi disebabkan oleh adanya hubungan antar manusia, dari hubungan
antar manusia untuk membentuk suatu ikatan pekawinan inilah menyebabkan
timbulnya suatu perbuatan hukum. Perkawinan yang didasari ikatan lahir batin dapat
dikatakan sah, apabila telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Hal ini berarti bahwa setiap warga Negara Indonesia yang akan
melakukan perkawinan sudah seharusnya melewati lembaga agamanya masing-masing
dan tunduk kepada aturan pernikahan agamanya. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Undang-Undang No. 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dari
hal tersebut dapat disimpulkan, bahwa Perkawinan mutlak harus dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak, maka
Perkawinan itu tidak sah.4
Jika dianalisis dari sudut pandang atau perspektif hukum Islam, pernikahan
beda agama dalam juga dilarang. Dalam hukum Islam, pernikahan beda agama

4
Wantijk K Shaleh. 2018. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 16.
merupakan sesuatu yang haram untuk dilakukan. Sebagaimana firman Allah dalam
surah Al-Baqarah ayat 221 yang artinya berbunyi: “Dan janganlah kalian menikahi
wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak
perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik
hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah)
sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik
dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah
menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”. Atas
ayat ini yang kemudian disepekati oleh sebagian besar ulama bahwa hukum pernikahan
beda agama dalam Islam adalah haram. Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam juga
secara tegas menyatakan bahwa seorang laki-laki muslim dilarang melangsungkan
pernikahan dengan perempuan non muslim.5 Brgitupun sebaliknya, seorang perempuan
muslim dilarang melangsungkan pernikahan dengan laki-laki non muslim.6
Oleh karen itu, saya tertarik untuk menulis suatu penelitian yang berjudul
“Analisis Yuridis Terhadap Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum
Positif dan Hukum Islam di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap perkawinan beda agama di Indonesia?
2. Bagaimana perspektif hukum positif dalam hal ini Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terhadap
perkawinan beda agama di Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang ada di atas, dapat dirumuskan tujuan
penelitian ini adalah:

5
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 40 huruf c.
6
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 44.
1. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam terhadap perkawinan beda
agama di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum positif dalam hal ini Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Undang-Undang No. 16 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, terhadap perkawinan beda agama di Indonesia.

Selain itu, penulis juga berharap agar peneletian yang dilakukan ini memiliki
kegunaan. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam


mengembangkan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan khususnya bagi
mahasiswa terutama berkaitan dengan perspektif hukum Islam dan hukum positif
terhadap pernikahan beda agama di Indonesia, menambah perbendaharaan literatur
di bidang hukum, serta sebagai bahan perbandingan bagi para penulis yang ingin
mendalami masalah ini lebih lanjut.
2. Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman
kepada masyarakat tentang pesrpektif hukum Islam dan hukum positif terhadap
pernikahan beda agama di Indonesia, serta dapat dijadikan bahan pertimbangan
bagi masyarakat yang ingin melakukan pernikahan beda agama.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, penulis mengambil dua peraturan
yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Undang-Undang
No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang pendefinisian
perkawinan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal
2, perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Dari pendapat para ahli, penulis mengutip pendapat Prof. Subekti, Prof. Wirjono
Prodjodikoro, K. Wantijk Saleh, dan Paul Scholten. Menurut Prof. Subekti,
perkawinan adalah ikatan pertalian yang sah antara seoarang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk waktu yang lama. Adapun menurut Prof. Wirjono
Prodjodikoro, perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dan
seorang wanita yang diakui negara untuk bersama yang kekal. Adapun menurut K.
Wantijk Saleh, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami istri. Adapun menurut Paul Scholten, perkawinan adalah
hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dengan kekal
dan diakui oleh negara.

2. Syarat Sah Perkawinan


Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat sah suatu perkawinan yaitu apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yag berlaku.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana diatur dalam Pasal 14, menyebutkan
bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi, serta ijab dan qabul.
a. Calon Mempelai
Adapun syarat-syarat untuk calon mempelai baik laki-laki maupun
perempuan untuk dapat melangsungkan atau melaksanakan perkawinan yang
diatur dalam Pasal 15 sampai 18 KHI yaitu calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun dan calon suami berumur sekurang-kurangnya 19 tahun, bagi
calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin dari orang
tua arau wali, perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai, dan
tidak terdapat halangan perkawinan sesuai Bab VI KHI.
b. Wali Nikah
Dalam Pasal 19 sampai Pasal 23 KHI mengatur mengenai wali nikah.
Wali nikah dalam perkawinan harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkan. Yang dapat bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan
baligh. Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.
c. Saksi Nikah
Pasal 24 sampai Pasal 26 KHI mengatur mengenai saksi nikah. Saksi
dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap
perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Adapun yang dapat menjadi
saksi adalah laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan, tidak
tuna rungu atau tuli Saksi juga harus hadir dan menyaksikan secara langsung
akad nikah.
Serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan. Akta Nikah ini yang selanjutnya menjadi bukti bahwa
perkawinan tersebut adalah sah dan telah tercatat oleh negara.
d. Akad Nikah
Menurut Pasal 27 KHI ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai
pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Selain itu, akad nikah
dilaksanakan sendiri oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
mewakilkan kepada orang lain. yang berhak mengucapkan Kabul adalah
mempelai laki-laki.
e. Mahar
Dalam Pasal 30 KHI menegaskan bahwa mahar merupakan kewajiban
yang harus diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Namun sesuai dengan Pasal 34
ayat (1) KHI bahwa kewajiban menyerahkan mahar bukanlah merupakan rukun
dalam perkawinan.

B. Konsep Perkawinan Beda Agama


Pernikahan beda agama atau bisa disebut juga pernikahan antar agama adalah
pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang masing- masing
berbeda agama. Pernikahan antara laki-laki atau perempuan muslim dengan laki-laki
atau perempuam non muslim. Permikahan antar agama ini kadangkala disebut
“pernikahan campuran” (mix marriage).7 Sedangkan menurut para ahli menurut Rusli,
SH dan R. Tama, SH menyatakan bahwa perkawinan antar agama merupakan ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama,
menyebabkan tersangkutya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan
tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing- masing,
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa. Pengertian lain datang dari I Ketut Mandra, SH dan I ketut Artadi SH
yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan
mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha
Esa. Sedangkan menurut Abdurrahman, menyatakan bahwa perkawian antara agama
yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan
kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Dari rumusan pengertian perkawinan antar agama oleh para sarjana tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud adalah perkawinan antara dua orang yang
berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.

7
Dewi Sukarti. 2003. Perkawinan Antar Agma menurut Al-Qur’an dan Hadist. Vol. 15 (Jakarta: PBB UIN). Hal.
16.
C. Teori-Teori Hukum yang Digunakan yang Berkaitan dengan Permasalahan
Penelitian Ini
Teori hukum adalah teori bidang hukum yakni berfungsi memberikan
argumentasi yang meyakinkan bahwa halhal yang dijelaskan itu adalah ilmiah, atau hal-
hal yang dijelaskan itu memenuhi standar teoritis.8 Menurut Hans kalsen, Teori Hukum
adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang
seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah teori hukum murni, yang disebut teori
hukum positif.9 Sedangkan menurut W. Friedman, Teori hukum adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari esensi hukum yang berkaitan antara filsafat hukum di
satu sisi dan teori politik di sisi lain. Disiplin teori ilmu hukum tidak mendapat tempat
sebagai ilmu yang mandiri, untuk itu teori hukum harus disandingan dengan ilmu
hukum yang lainnya.10 Teori hukum berbeda dengan hukum posistif. Hal ini perlu
dipahami supaya terhindar dari kesalah pahaman, Karena seolah-olah tidak dapat
dibedakan antara teori hukum dan hukum positif, padahal keduanya dapat dikaji
menurut pandangan filosofis. Teori hukum tidak dapat dilepaskan dari lingkungan
zaman yang senantiasa berkembang, karena teori hukum biasanya hadir sebagai suatu
jawaban atas permasalahan hukum. Oleh karena itu, meskipun hukum memiliki
pandangan yang umum (universal), tetapi dalam perkembangannya teori hukum sangat
bijaksana. Terdapat dua karakteristik teori hukum yang saling bertentangan antara satu
dengan yang lain, atau bertolak belakang yakni Pandangan yang menyatakan bahwa
hukum merupakan suatu sistem yang dapat diprediksi dengan pengetahuan yang
akurattentang bagaimana kondisi hukum saat ini serta Hukum bukanlah suatu sistem
yang teratur untuk itu tidak dapat diprediksi, melainkan suatu yang berkaitan dalam
sebuah ketidak teraturan, dan tidak dapat pula diprediksi bahwa hukum sangatlah
dipengaruhi oleh pandangan pengamat. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:

1. Teori Hukum Pembangunan

8
RR. Lyia Aina Prihardianti. 2021. Teori Hukum Pembangunan Antara Das Sein dengan Das Sollen. Jurnal
Hermeneutika, Vol. 5, No. Hal. 83.
9
Hans Kelsen. 2010. Pengantar Teori Hukum Murni. Bandung: Nussa Media. Hal.38.
10
W. Friedman. 1990. Teori dan Filsafat Hukum, Susunan 1, Telaah Kritis Atas Teori Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo. Hal. 1
Teori ini dikemukakan oleh salah satu pakar hukum di Indonesia, yaitu Prof.
Mochtar Kusumatmadja. Teori Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori
hukum yang eksis di Indonesia karenadiciptakan oleh orang Indonesia dengan
melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok
ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam
aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang
pluralistik. Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa
Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan
tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture
(kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan olehLawrence W.
Friedman.11 Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar
fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social
engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.12
Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum
sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa
ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang
diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan
dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan
dan pembaharuan itu.
Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang
berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai
sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena: (1) Di Indonesia peranan
perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya
jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi; (2)
Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda

11
Lawrence W. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects
our daily our daily lives, (New York: W.W. Norton & Company, 1984), hlm. 1-8
12
RR. Lyia Aina Prihardianti, Op.Cit., hal. 86.
dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia
Belanda; (3) Di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk
menolak penerapan konsep seperti itu, dan apabila “hukum” di sini termasuk juga
hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan
kebijakan hukum nasional.
Berdasarkan teori ini, jika kemudian dihubungkan dengan penelitian ini
berdasarkan analisis penulis, maka sudah seharusnya perkawinan beda agama di
Indonesia itu tidak dilakukan dan tidak dibenarkan. Karena perkawinan beda agama
sendiri sebagaimana diatur dalam aturan peundang-undangangan sudah sangat jelas
dan nyata, sebagaimana dalam teori hukum pembangunan bahwa di Indonesia
peranan perundang-undangan lebih menonjol mengingat Indonesia juga adalah
negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dimana
masyarakatnya harus tunduk dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu, pemerintah harus bertindak secara tegas seperti tidak
mengabulkan permohonan perkawinan beda agam di Indonesia karena bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia


Teori berlakunya hukum Islam ada lima. Namun dalam penelitian ini, sesuai
dengan permasalahan penelitian ini, penulis memilih dua teori yaitu teori Kredo
atau Syahadat dan teori Receptio in Complexu.
• Teori Kredo atau Syahadat
Teori Kredo atau teori syahadat di sini ialah teori yang mengharuskan
pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat
syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya. Teori ini
dirumuskan dari AI-Qur'an. Ayatayat Al-Qur’an dimaksud antara lain : Al-
Qur’an surat ke-1 ayat 5; surat ke-2 ayat 179; surat ke-3 ayat 7; surat ke-4 ayat
13, 14, 49, 59, 63,69, dan 105; surat ke-5 ayat 44, 45, 47, 48, 49, 50; surah ke-
24 ayat 51 dan 52.
Teori kredo atau Syahadat ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip
Tauhid dalam filsafat hukum Islam.13 Prinsip Tauhid menghendaki sctiap orang
yang menyatakan dirinya beriman kepada ke-Maha Esaan Allah, maka ia harus
tunduk kepada apa yang diperintahkan oleh Allah. Dalam hal ini taat kepada
perintah Allah dalam Al-Qur'an sebagaimana ayat-ayatnya telah disebutkan di
atas, dan sekaligus pula taat kepada Rasul dan Sunnahnya. Teori Kredo ini sama
dengan teori otoritas hukum yang dijelaskan oleh H. A. R. Gibb (The Modern
Trends in Islam, The University of Chicago Press, Chicago Illionis, 1950). Gibb
menyatakan bahwa orang Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya
berarti ia telah menerima otoritas hukum islam atas dirinya. Teori Gibb ini sama
dengan apa yang telah diungkapkan oleh imam madzhab, seperti al-Syafi’i dan
Abu Hanifah.
Jadi berdasarkan teori, bahwa orang yang beragama Islam yang sudah
mengucapkan syahadat artinya orang itu sudah tunduk pada Al-Qur’an dan
Hadist sebagai dasar pembuatan Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu,
orang yang beragama Islam sudah sangat jelas dan nyata dilarang melakukan
pernikahan beda agama sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, Hadist,
dan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
• Teori Receptio in Complexu
Teori receptio in complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku
penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.14 Teori ini berlaku di
Indonesia ketika teori ini diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem
Christian van den Berg . Ia dikenal sebagai "orang yang menemukan dan
memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia.
Berdasarkan teori ini, pada dasarnya sama dengan teori sebelumnya.
Bahwa hukum Islam berlaku penuh bagi orang Islam sebab dia telah memeluk
agama Islam. Jadi, sudah tidak ada alasan lagi bagi orang Islam yang ingin

13
H. Anshoruddin. Beberapa Teori tentang Berlakunya Hukum Islam. http://pta-
pontianak.go.id/e_dokumen/BEBERAPA%20TEORI%20TENTANG%20BERLAKUNYA%20HUKUM%20ISLAM%20D
I%20INDONESIA%20oleh%20Drs%20H%20Ansoruddin%20SH%20MA.pdf. Diakses pada Kamis, 09 Juni 2022.
Pada Pukul 8.52 WITA. Hal. 2
14
Ibid, hal. 3.
melegalkan atau melakukan pernikahan beda agama. Karena secara teoripun,
pernikahan beda agama tidak dibenarkan adanya.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian
Sebagaimana yang dituturkan oleh Soerjono Soekanto, bahwa jika dilihat dari
sudut tujuan penelitian hukum, itu ada dua. Yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris.15 Berdasarkan hal tersebut di atas, jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini, sesuai dengan pokok permasalahan yang akan diteliti
yaitu jenis atau tipe penelitian hukum normatif.
Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis
normatif, yaitu penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti bahan pustaka atau
yang disebut data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana implementasinya
dalam praktek.16

B. Jenis dan Sumber Data


Sumber data terdiri dari dua macam, yaitu sumber data perimer dan sumber data
sekunder. Data primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari sumber
asli (tidak melalui media perantara). Data sekunder merupakan sumber data penelitian
yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan
dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan
historis yang telah tersusun rapi dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan
dan yang tidak dipublikasikan.
Dalam penelitian ini, penulis tidak menggunakan sumber data primer melainkan
hanya menggunakan sumber data sekunder, karena pada umumnya dalam penelitian
normatif data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder ini dibedakan
menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai
otoritas, terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, jurnal-

15
Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers. Hal. 67.
16
Ibid, hal. 74.
jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Sedangkan bahan
hukum tersier berupa kamus dan ensiklopedia. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan tiga bahan hukum tersebut. Bahan hukum primer dalam penelitian ini
adalah Peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Bahan hukum sekundernya
adalah buku-buku teks, hasil penelitian (skripsi, tesis dan disertasi), jurnal-jurnal
hukum, serta tafsiran-tafsiran ayat dari kitab suci keagamaan. Sedangkan bahan hukum
tersiernya adalah kamus hukum.

C. Populasi dan Sampel


Penelitian hukum normatif tidak mengenal adanya populasi dan sampel sebagai
bagian penting dari akurasi dan validasi pengumpulan data penelitian lapangan.17

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah
dengan cara mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder yang ada kaitannya dengan pokok masalah penelitian, yaitu
tindak pidana zina. Adapun model pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah
model library research atau studi kepustakaan.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara meneliti dokumen-dokumen yang
ada, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-
undangan, kitab-kitab tafsir ayat kitab suci keagaamaan yang berkaitan dengan hukum
pernikahan beda agama, jurnal-jurnal hukum, dan berbagai informasi yang berkaitan
dengan tema penelitian penulis yang bisa didapatkan melalui media internet.

E. Analisa Data
Setelah data terhimpun melalui penelitian yang telah dilakukan, maka
selanjutnya penulis menggunakan analisa data secara kualitatif. Analisa data secara
kualitatif yakni analisa data dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari sumber
data penelitian kemudian diseleksi dengan melalui penafsiran atau interpretasi.

17
Irwansyah. 2021. Penelitian Hukum: Pilihan Metode & Praktikum Penulisan Artikel Edisi Revisi. Jakarta: Mirra
Buana Media. Hal. 165.

Anda mungkin juga menyukai