Anda di halaman 1dari 4

TUGAS PENGANTAR SOSIOLOGI HUKUM

NAMA : MUHAMMAD YUSRIZAL

NIM : B011201360

KELAS: PENGANTAR SOSIOLOGI HUKUM KELAS C

“MENCARI MINIMAL 3 BENTUK STRATIFIKASI SOSIAL, KEMUDIAN


DIHUBUNGKAN DENGAN PROSES HUKUM”

Sebelum membahas bentuk-bentuk stratifikasi sosial, terlebih dahulu kita harus


mengetahui apa yang dimaksud dengan stratifikasi sosial. Kata stratifikasi berasal dari stratum
yang artinya lapisan, sedangkan sosial bermakna masyarakat. Penggolongan masyarakat ini
bisa menimbulkan kelas-kelas sosial atas (upper class), sosial menengah (middle class), dan
kelas bawah (lower class). Menurut Max Weber, stratifikasi sosial merupakan penggolongan
orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis
menurut definisi kekuasaan, privilese dan prestise. Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi
sosial ialah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
“hierarkis”. Perwujudannya ialah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, setiap lapisan
itu disebut dengan strata sosial. Ditambahkan bahwa stratifikasi sosial merupakan ciri yang
tetap pada setiap kelompok sosial yang teratur. Lapisan-lapisan di dalam masyarakat memang
tidak jelas batas-batasnya, tetapi tampak bahwa setiap lapisan akan terdiri atas individu-
individu yang mempunyai tingkatan atau strata sosial yang secara relatif adalah sama. Menurut
Soerjono Soekanto, stratifikasi sosial ialah pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam
kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Menurut penulis sendiri, stratifikasi sosial
merupakan pembagian atau penggolongan masyarakat yang dipengaruhi oleh kedudukan
(status) dan peranannya di dalam masyarakat.

Pada umumnya, bentuk-bentuk stratifikasi sosial yang ada di masyarakat yaitu sistem
kasta, sistem kelas, dan sistem meritokrasi. Berikut penjelasannya:
1. Sistem Kasta
Sistem kasta merupakan salah satu sistem stratifikasi yang bersifat tertutup, di
mana orang sama sekali tidak bisa atau tidak dapat merubaha status sosial yang ada
dalam diri mereka. Perlu juga kita ketahui bahwa sifat stratifikasi sosial menurut
Soerjono Soekanto itu ada tiga, yaitu:
a. Stratifikasi sosial tertutup, biasanya terjadi dalam lingkungan masyarakat yang
menetapkan sistem kasta maupun feodal. Akibat adanya hal tersebut maka
kemajuan dalam perilaku juga sangat lambat.
b. Stratifikasi sosial terbuka, biasanya terjadi dalam lingkungan masyarakat modern
serta mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi.
c. Stratifikasi sosial campuran, biasanya terjadi dalam lingkungan masyarakat yang
memiliki susunan yang heterogen.

Sistem kasta ini berkembang di Indonesia pada masa Hindu Budha, yang
didasarkan pada keberadaan masyarakatnya atau berdasarkan kedudukan. Sistem ini
akan membedakan seseorang dengan yang lain sesuai dengan kasta yang dimilikinya
yang didapatkan dari faktor keturunan. Sistem kasta ini, tiap seorang individu
mempunyai profesi atau pekerjaan tanpa perduli dengan adanya bakat, minat, atau
potensi mereka masing-masing. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kasta
tertinggi diharapkan mampu bekerja sesuai dengan pekerjaan-pekerjaan kasta tertinggi
dan juga diharapkan bisa menikah dengan seseorang yang memiliki kasta tetinggi juga.

Menerima status sosial terssebut dianggap sebagai suatu tugas moral yang
bertujuan guna memperkuat dari berlangsungnya sistem stratifikasi ini sendiri. Sistem
kasta ini lebih menjunjung kepercayaan akan suratan nasib, takdir, serta kehendak Ilahi,
daripada kebebasan dari seorang individu. Seseorang yang tinggal di lingkungan
masyarakat kasta dibiasakan untuk menerima status sosialnya. Walauoun sistem kasta
di negara India telah resmi dibongkar dan juga di Hindu sendiri perlahan mulai berubah,
sejarah dari sistem kasta ini masih sangat tertanam dalam diri mereka. Di daerah
pedesaan, aspek tradisi akan cenderung bertahan, sedangkan di daerah perkotaan akan
menunjukkan sedikit bukti masa lalunya. Di daerah perkotaan, orang sekarang
mempunyai lebih banyak kesempatan dalam memilih jalur karir dan juga pasangan
perkawinan untuk mereka sendiri. Sebagai kerangka kerja umum, perusahaan swasta
akan memberlakukan proses perekrutan secara profesional.
2. Sistem Kelas
Sistem kelas dilatar belakangi dengan prestasi individu dan juga faktor sosial.
Kelas ini terdiri atas sekumpulan orang yang mempunyai status yang sama dengan
faktor penentu seperti kekayaan, pendapatan, pendidikan, serta pekerjaan. Berbeda
dengan sistem kasta, sistem kelas merupakan sebuah sistem yang terbuka. Disini setiap
individu bebas dalam meraih tingkat pendidikan ataupun pekerjaan yang berbeda
dengan orang tua mereka. Mereka juga dapat menikahi anggota dari kelas lain, sehingga
akan memungkinkan seorang individu berpindah dari satu kelas ke kelas yang lain.
Dalam sistem kelas, sangat memungkinkan untuk melaksanakan pernikahan
eksogami atau dalam bahasa sederhananya suami dan istri yang berasal dari kelas sosial
yang berbeda. Perkawinan dalam kondisi seperti ini dilatar belakangi dengan beberapa
nilai seperti cinta dan kecocokan, bukan menitik beratkan pada kedudukan sosial
ataupun ekonomi. Walaupun kemapanan sosial memiliki peran dalam mempengaruhi
seorang individu dalam memilih pasangan dari kelas mereka sendiri. Namun disini
tidak ada tekanan (besar) dalam memilih pasangan perkawinan yang hanya berdasarkan
pada kedudukan sosial yang sama (pernikahan endogami).

3. Sistem Meritokrasi
Meritokrasi merupakan sebuah sistem yang dilatar belakangi dengan keyakinan
bahwa stratifikasi sosial ditentukan dengan adanya usaha atau jasa pribadi.Tingkatan
usaha yang tinggi akan mengarahkan seorang individu dalam posisi sosial yang tinggi,
begitu juga sebaliknya. Konsep dari meritokrasi itu dipandang ideal, sebab pertama
kalinya dalam sejarah masyarakat distratifikasi murni yang berdasarkan dengan
prestasi.
Meskipun sebab dari adanya struktur masyarakat yang kompleks, proses seperti
sosialisasi, dan juga realitas sistem ekonomi, kedudukan sosial yang sesungguhnya
dipengaruhi oleh banyak faktor, serta bukan hanya dengan keunggulan usaha semata.
Warisan sekaligus tekanan dalam upaya menyesuaikan diri pada norma mayoritas,
contohnya mengganggu gagasan mengenai meritokrasi murni. Meskipun meritokrasi
sendiri belum pernah terjadi, sosiolog melihat beberapa aspek dari meritokrasi dalam
masyarakat modern ketika mereka sedang mempelajari peran akademik, kinerja kerja,
dan juga sistem dalam mengevaluasi sekaligus memberi penghargaan kepada individu.
Kemudian jika kita melihat bagaimana proses hukum di dalam suatu stratifikasi sosial,
dimana para ahli sosiologi hukum berpendapat bahwa semakin kompleks stratifikasi sosial
dalam suatu masyarakat, maka akan semakin banyak hukum yang mengaturnya. Semakin
rendah status sosial seseorang maka akan semakin banyak perangkat hukum yang
mengaturnya, begitu pula sebaliknya. Keadaan seperti itu tidak sesuai dengan tujuan hukum
yang tidak membedakan status, golongan, dan sebagainya atau yang biasa kita sebut dengan
persamaan di hadapan hukum (Equality before the law). Startifikasi sosial juga bertentangan
dengan prinsip HAM yang memperlakukan manusia yang satu dengan yang lain sama di
hadapan hukum (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945).

Anda mungkin juga menyukai