Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Stratifikasi Sosial 


Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan
atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Seorang
sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin mengemukakan, stratifikasi sosial
adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
(hierarkis). 
Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification”
mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap
dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Stratifikasi sosial menurut Drs.
Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu
sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan,
privilese dan prestise. Stratifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi
sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial
tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan
prestise. Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial Ukuran atau kriteria yang
menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai
berikut:. 
1. Ukuran kekayaan 
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan
anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa
memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam
sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut
dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang
dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

Agama dan Stratifikasi social | 1


2. Ukuran kekuasaan dan wewenang 
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan
menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab
orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain
yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan
kekayaan. 
3. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau
kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan
atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat
terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-
orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-
orang yang berprilaku dan berbudi luhur. 
4. Ukuran ilmu pengetahuan 
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat
yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu
pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial
masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya
terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang
oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar
profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari
kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada
ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara
yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli
skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya. Selama dalam suatu masyarakat
ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang

Agama dan Stratifikasi social | 2


dihargainya, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya
system berlapis-lapis dalam masyarakat itu. Pelapisan sosial merupakan proses
menempatkan diri dalam suatu lapisan (subyektif) untuk penempatan orang
kedalam lapisan tertentu 
Contoh Subyektif: 
a. Sekelompok orang karena faktor tertentu (biasanya status) tidak mau
disamakan dengan sekelompok yang lain. 
b. Sekelompok orang yang lebih kaya kadang merasa risih bergaul dengan yang
miskin 
Contoh Obyektif: 
a. Sekolompok orang merasa minder ( faktor tertentu) apabila bergaul dengan
orang kelasnya lebih diatasnya. 
Seorang ahli filsafat dari Yunani yang kenamaan yaitu Aristoteles pernah
mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap Negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang
kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya.
Ucapan demikian itu sedikit banyaknya membuktikan pada zaman itu dan diduga
pada zaman-zaman sebelumnya orang telah mengakui adanya lapisan-lapisan di
dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan bertingkat-tingkat dari bawah ke
atas. 
Seorang Sosiolog terkemuka, yaitu Pitirim A. Sorokin pernah mengatakan
bahwa sisem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap
masyarakat yang hidup teratur. Dalam kebudayaan masyarakat kita menjumpai
berbagai pernyataan yang menyatakan persamaan manusia. Di bidang hukum,
misalnya, kita mengenal anggapan bahwa dihadapan hukum semua orang adalah
sama; pernyataan serupa kita jumpai pula di bidang agama. Dalam adat
Minangkabau kita mengenal ungkapan “tagok sama tinggi, duduk samo rendah”,
yang berarti bahwa semua orang dianggap sama. Namun dalam kenyataan sehari-
hari, kita mengalami adanya ketidaksamaan. Kita melihat bahwa dalam semua
masyarakat dijumpai ketidaksamaan di bidang kekuasaan, sedangkan sisanya

Agama dan Stratifikasi social | 3


dikuasai. Kita pun mengetahui bahwa anggota masyarakat dibeda-bedakan
berdasarkan kriteria lain, misalnya berdasarkan kekayaan dan penghasilan, atau
berdasarkan prestise dalam masyarakat. Pembedaan anggota masyarakat berdasarkan
status yang dimilikinya dalam sosiologi dinamakan stratifikasi sosial (sosial
stratification). 
Kata stratification berasal dari kata “stratum”, jamaknya: strata yang berarti
lapisan. Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang
rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan-lapisan dalam
masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara
anggota masyarakat. Bentuk-bentuk lapisan dalam masyarakat berbeda-beda dan
banyak sekali, akan tetapi lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam
masyarakat yang kapitalis, demokratis, komunis dan lain sebagainya. 
Lapisan-lapisan masyarakat tadi mulai ada sejak manusia mengenal adanya
kehidupan bersama dalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-
masyarakat yang taraf kebudayaan masih sederhana, lapisan-lapisan masyarakat
mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang
dipimpin, golongan budak dan bukan budak, pembagian kerja dan bahkan juga suatu
pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks semakin majunya
perkembangan teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula system lapisan-
lapisan dalam masyarakat. Sejak lahir orang memperoleh sejumlah status tanpa
memandang perbedaan individu atau kemampuan. 
Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya ini anggota masyarakat
dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan
keanggotaan dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas. Berdasarkan status
yang diperoleh ini kita menjumpai berbagai macam stratifikasi. Bentuk konkret
lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam-macam. 

Agama dan Stratifikasi social | 4


Namun pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga macam kelas, yaitu: 
1. Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomis, 
2. Kelas yang didasarkan pada faktor politis, 
3. Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. 
Ketiga bentuk tersebut biasanya saling berkaitan satu dengan lainnya.
Misalnya, mereka yang termasuk lapisan tertentu atas dasar politis, biasanya
menduduki lapisan tertentu pula dalam lapisan atas dasar ekonomis, dan biasanya
mereka juga menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. 

B. Karakteristik Stratifikasi Sosial 


Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu: 
1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang
menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang
lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya 
2. Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seorang direktur perusahaan, selain
dituntut selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut
penampilannya dengan aksesoris-aksesoris lain untuk menunjang kemantapan
penampilan, seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolahraga tenis atau golf,
memakai pakaian merk terkenal, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang
sesuai dengan statusnya. 
3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seorang
yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas
yang diperolehnya. Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan
strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin
kecil. 

Agama dan Stratifikasi social | 5


C. Unsur-unsur Stratifikasi Sosial 
Hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teori sosiologi tentang system
berlapis-lapisan dalam masyarakat, adalah kedudukan (status) dan peranan (role).
Status sosial adalah tempat dimana seseorang dihubungkan dengan orang-orang
lainnya dalam suatu sistim sosial atau hasil penilaian orang lain thd diri seseorang
dengan siapa ia berhubungan. 
Cara Memperoleh Status: 
1. Ascribed Status – Kedudukan yang diperoleh berdasarkan keturunan, kelahiran –
Masyarakat tidak dapat memilih – Bukan berdasar pada kemampuan 
2. Achieved Status Kedudukan yang diperoleh berdasarkan usaha yang sengaja –
Berdasarkan pada kemampuan Sosial Role (Peranan Sosial) adalah perilaku
normatif seseorang karena kedudukannya atau pola perilaku yang diharapkan
sesuai dengan status yang disandangnya dan juga merupakan sisi lain dari
kedudukan yang bila seseorang melaksanakan hak & kewajiabannya sesuai
dengan kedudukannya berarti telah menjalankan peranannya. Kedudukan dan
peranan merupakan unsur-unsur baku dalam system berapis-lapis, juga
mempunyai arti yang penting bagi system sosial masyarakat. Yang diartikan
sebagai system sosial adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik
antar individu dalam masyarakat dan antar individu dengan masyarakatnya, dan
tingkah laku individu tersebut. Dalam hubungan timbal balik tersebut,
kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting, karena
langgengnya suatu masyarakat tergantung dari keseimbangan kepentingan-
kepentingan individu termaksud. Jadi system sosial merupakan wadah terjadinya
proses interaksi sosial. 

Agama dan Stratifikasi social | 6


D. Terjadinya Stratifikasi Sosial 
Terjadinya stratifikasi sosial atau system pelapisan dalam masyarakat dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem pelapisan yang terjadi dengan
sendirinya artinya tanpa disengaja, dan system pelapisan yang terjadi karena dengan
disengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adanya system yang
berlapis-lapis di dalam masyarakat, dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses
pertumbuhan masyarakat itu, tetapi adapula yang dengan sengaja disusun untuk
mengejar suatu tujuan bersama. Yang biasanya menjadi alasan terjadinya lapisan-
lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat
umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat seseorang kepada masyarakat,
dan mungkin juga harta, dalam batas-batas tertentu. Ada juga system stratifikasi
sosial yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Hal itu
biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam
organisasi-organisasi formal, seperti misalnya pemerintahan, perusahaan, partai
politik, angkatan bersenjata atau perkumpulan. 

D. Sifat Stratifikasi Sosial 


Sifat system berlapis-lapisan di dalam masyarakat, dapat bersifat tertutup
(closed social stratification) dan ada pula yang bersifat terbuka (open social
stratification). Yang bersifat membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dari satu
lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah.
Dalam system yang demikian, satu-satunya jalan untuk masuk menjadi anggota dari
suatu lapisan dalam masyarakat adalah karena kelahiran. Sebaliknya dalam system
yang terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha
dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung
untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan yang dibawahnya. Pada umumnya
system terbuka ini memberi perangsang yang lebih besar kepada setiap anggota
masyarakat untuk dijadikan landasan pembangunan masyarakat dari system yang
tertutup. 

Agama dan Stratifikasi social | 7


E. Agama Dan Stratifikasi Sosial 
Kehadiran agama dalam tatanan kehidupan sosial-kemasyarakatan di semua
tingkat lapisan di seluruh pelosok dunia –mau tidak mau—adalah sebuah fakta sosial
yang tak terelakkan. Berbagai bentuk tindakan baik secara individual maupun
kolektif seringkali melibatkan unsur keberagamaan yang mengikat. Sedikit banyak
kehadiran agama ini telah memberikan sumbangsih bagi terciptanya prinsip-prinsip
berinteraksi yang sejak dahulu hingga kini terbentuk dalam masyarakat. Terlebih
keberadaan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan dan keyakinan tersebar
hampir di semua sudut geografis dunia. Sejak akhir abad ke 18, sosiologi merupakan
bagian dari satu disiplin ilmu yang memiliki jangkauan sangat luas. Berbeda dengan
disiplin ilmu lainnya, sosiologi berusaha melihat gejala kehidupan sosial dari analisa-
analisa ilmiah dan sekaligus hasil proses reset pada suatu objek tertentu. Sehingga
dalam hal ini, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni sosiologi murni
dan sosiologi terapan. Sosiologi murni (pure science) merupakan pencarian
pengetahuan; penggunaan praktisnya bukan merupakan perhatian utama. Sementara
sosiologi terapan (applied science) adalah pencarian cara-cara untuk mempergunakan
pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah praktis (Ishomuddin, 1996). 
Dari pengertian tersebut, nampaknya pengertian kedua lebih relevan sebagai
sebuah alat analisa dalam mengkaji sebuah objek permasalahan. Atau dalam bahasa
lain, pengertian kedua dapat dijadikan sebagai kerangka analisa terhadap fenomena
agama yang berada di tengah masyarakat. Dan pada kenyataan, banyak orang
memandang sosiologi sebagai ilmu terapan guna memecahkan persoalan sosial.
Agama sebagai refleksi sosiologis setidaknya dapat ditempatkan sebagai gejala sosial
yang tidak lagi dipandang semata-mata sebagai suatu yang sakral dan eskatologis. 
Dalam pandangan Amin Abdullah (1996: 9), agama pada sekarang ini tidak
dapat didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologi-normatif semata-mata,
sebab ada pergeseran paradigma dari pemahaman yang berkisar pada "doktrin" ke
arah entitas "sosiologis", dari diskursus "esensi" ke arah "eksistensi". Jika ditinjau

Agama dan Stratifikasi social | 8


dari sudut sosiologis, Agama berarti perintah moral yang secara logis menjadi
konsekuensi dari ajaran Tuhan (Aep Kusnawan, 1997). Agama baru dipandang nyata
apabila setelah ia dihadapkan atau dibenturkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan
sosial. Hal ini erat kaitannya dengan pesan agama yang mengajarkan bahwa
kehidupan duniawi merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai yang ikut
memformat kehidupan (ukhrawi) kelak. 
Menurut Max Weber, stratifikasi sosial merupakan faktor yang menentukan
kecenderungan keagamaan dan orientasinya. Bagi Weber kelas-kelas yang secara
ekonomis—setidaknya mampu—tidak akan pernah bertindak sebagai pembawa panji
agama-agama tertentu. Sedangkan menurut Ernest Troeltsch, stratifikasi sosial juga
mempengaruhi konversi atau beralih agama. Penelitian yang ia lakukan
membuktikan bahwa sebagian yang beralih ke agama Kristen berasal dari kelas
menengah ke bawah yang hidup di kota-kota besar yang menikmati peralihan
peningkatan ekonomi yang terjadi secara lamban dari waktu ke waktu. 
Dalam stratifikasi sosial, terdapat sebuah model stratifikasi yang sangat
popular, yakni model trikotomik cetusan Clifford Geertz. Model trikotomik Geertz
menggolongkan masyarakat Mojokunto, Kediri, yaitu: santri, abangan dan priyayi.
Santri berpusat di daerah perdagangan atau pasar. Golongan ini berusaha
mengamalkan ajaran Islam tanpa memasukkan unsur-unsur kepercayaan lainnya.
Abangan, berpusat di daerah pedesaan. Pengalaman keagamaan mereka merupakan
campuran Islam dengan Animisme. Priyayi, berpusat di kantor pemerintah.
Pengalaman keagamaan mereka banyak dipengaruhi aspek-aspek Hindu. Trikotomik
Geertz memang sejak awal membingungkan karena mencampuradukkan aspek
keberagamaan dengan stratifikasi sosial dan dalam kenyataan tidak sesederhana itu
karena masing-masing terjadi konversi dan perbaruan. Pada akhirnya muncul
dugaan, Geertz ingin menciptakan konsepsi untuk memberikan substansi kepada
teori kelas menengah. Golongan priyayi menempati posisi teratas, kaum santri di
bagian tengah dan golongan abangan berada di bagian bawah. 

Agama dan Stratifikasi social | 9


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Menurut
Drs. Robert M. Z. Lawang stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang yang
termasuk dalam suatu system sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis menurut
dimensi kekuasaan, privilese, dan prestise. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial
dalam kehidupan tidak terlepas dari adanya lapisan-lapisan sosial (stratifikasi sosial)
tersebut. Dan itu semua terjadi karena adanya satu faktor yang sangat berpengaruh, yaitu
agama. Keberadaan agama di suatu tempat mempengaruhi keadaan sosial dan budaya
yang ada di lingkungan itu, juga termasuk mempengaruhi adanya system pelapisan sosial
atau yang kita kenal dengan stratifikasi sosial. 

B. Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan oleh karena itu kritik yang
membangun sangat kami harapkan.

Agama dan Stratifikasi social | 10


DAFTAR PUSTAKA

Narwoko, Dwi J dan Suyanto, Bagong (Editor), Sosiologi; Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta: Kencana, 2007, Cet III. 
Tumanggor, Rusmin, Sosiologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2004. 

Agama dan Stratifikasi social | 11

Anda mungkin juga menyukai