Anda di halaman 1dari 113

BAB VIII

DINAMIKA STRATIFIKASI DAN MOBILITAS


SOSIAL DI INDONESIA PADA ERA DIGITAL
Nurmala K. Pandjaitan, Nuraini W. Prosodjo, Murdianto,
Zessy Ardinal Barlan, dan Rajib Gandi

Perbedaan antar individu atau antar kelompok adalah suatu gejala yang
umum dalam semua masyarakat (Pitirim A. Sorokin 1959). Perbedaan ini
ada yang bersifat horizontal dan ada yang vertikal. Perbedaan yang
bersifat horizontal disebut juga diferensiasi sosial membedakan individu-
individu atau kelompok-kelompok berdasarkan jenis pekerjaan, jenis
kelamin, jenis ras/etnis dan perbedaan lainnya yang tidak menunjukkan
adanya suatu jenjang atau peringkat diantara individu atau kelompok,
artinya perbedaan ini tidak menunjukkan ada individu yang lebih tinggi
atau rendah posisinya dibandingkan individu lainnya. Sementara itu
perbedaan yang bersifat vertikal, membedakan individu-individu atau
kelompok dalam peringkat yang hierarkis atau bertingkat, dimana ada
individu atau kelompok yang lebih tinggi atau lebih rendah posisi sosialnya
dari individu lainnya di dalam suatu masyarakat. Inilah yang disebut
sebagai stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Stratifkasi sosial merupakah
bagian dari struktur sosial dan merupakan gejala sosial yang ada di setiap
masyarakat.

Pengertian Stratifikasi Sosial


Jika kita diminta menempatkan individu-individu yang berada di
lingkungan kampus IPB ke dalam semacam tangga posisi/kedudukan dari
yang rendah sampai yang tinggi, dimanakah kita akan menempatkan
seorang rektor, dosen, mahasiswa, pegawai administrasi, petugas
kebersihan, petugas keamanan, pedagang yang berjualan dan lain-lain
pada tangga posisi itu? Apakah dasar atau alasan kita menempatkan
mereka masing-masing pada posisi itu? Apakah perbedaan tingkatan
pada masing-masing posisi tersebut dihargai dengan imbalan berupa
gengsi, kehormatan dan hak yang berbeda pula? Apakah masing-masing
posisi itu ditandai dengan gaya hidup (sikap/kepribadian, norma, gaya
bahasa, jaringan sosial, tingkat kesehatan, dll) yang berbeda pula? Faktor
apa yang mendorong terbentuknya pelapisan sosial, bagaimana
prosesnya dan bagaimana dinamikanya dalam era digital pada masa

1
kini? Dampak apakah yang timbul dari adanya stratifikasi sosial ini ?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan dibahas
dalam bab ini.
Ditinjau dari asal katanya Social-stratification (stratifikasi sosial) berasal dari
kata stratum (bentuk jamak dari strata yang berarti lapisan). Stratifikasi
sosial dapat diartikan sebagai pembedaan posisi sosial individu-individu
secara hierarkis dalam masyarakat yang diwujudkan dalam dua atau lebih
lapisan-lapisan atau kelas-kelas misalnya: tinggi, sedang dan rendah
(Soekanto 1990). Sistim pelapisan ini yang membuat sejumlah orang
dianggap lebih penting atau lebih dihormati daripada yang lain. Semakin
tinggi posisi sosial seseorang maka semakin besar penghormatan yang
diterimanya dari orang-orang yang posisinya lebih rendah. Perbedaan
posisi sosial ini dapat terlihat pada gaya hidup masyarakat seperti tempat
pemukiman, pemilihan alat transportasi, kegiatan waktu luang, pola
berlibur, lingkungan pergaulan dan tentunya penampilan individu seperti
tutur kata, cara berpakaian dan sebagainya dimana kelas menengah ke
atas menunjukkan gaya yang lebih atraktif dan ekslusif yang sekaligus
menjadi simbol statusnya.

Dasar-Dasar Stratifikasi Sosial


Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial muncul sejak manusia mengenal
adanya kehidupan bersama di dalam suatu sistem sosial. Misalnya, pada
masyarakat yang bertaraf kebudayaan sederhana stratifikasi sosial sudah
ada meskipun hanya didasarkan pada perbedaan jenis kelamin dan
perbedaan antara kepala suku dan warganya. Pada masyarakat bertaraf
kebudayaan sederhana ini biasanya perbedaan posisi dan peranan masih
minim, karena jumlah warganya masih sedikit sehingga keragaman posisi-
posisi yang dianggap rendah sampai tinggi juga tidak banyak. Semakin
besar ukuran masyarakat dan semakin maju teknologinya, maka biasanya
sistem stratifikasi sosialnya makin rumit akibat semakin beragamnya dasar
pelapisan yang diterapkan.
Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi
dalam kenyataannya tidaklah demikian. Seseorang yang memiliki sesuatu
yang dinilai berharga oleh masyarakat dalam jumlah yang lebih banyak
dan atau fasilitas-fasilitas hidup yang lebih baik dan atau pengaruh sosial
yang lebih besar, akan ditempatkan oleh masyarakatnya pada lapisan
lebih tinggi. Sementara mereka yang hanya sedikit sekali atau bahkan
tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut akan ditempatkan pada
posisi yang lebih rendah. Sesuatu yang dianggap berharga oleh
masyarakat bisa saja berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat

2
lainnya. Namun demikian, terdapat dasar atau ukuran yang biasa dipakai
untuk menempatkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu:
(a) Ukuran kekayaan: mereka yang memiliki kekayaan paling banyak,
ditempatkan pada lapisan teratas. Kekayaan seseorang dapat
dilihat dari kepemilikan dan luas lahan yang diusahakan, jumlah
barang-barang berharga yang dimilikinya (rumah mewah, mobil
bermerek, perhiasan emas permata) dan mungkin juga banyaknya
hewan ternak yang dimilikinya seperti sapi, kerbau dan sebagainya
yang bernilai tinggi.

(b) Ukuran kekuasaan: mereka yang memiliki kekuasaan atau


mempunyai wewenang yang besar, akan ditempatkan pada lapisan
lebih tinggi. Contohnya Sekalipun seorang politikus anggota suatu
partai politik mungkin tidak mempunya kekayaan yang tergolong
besar, namun mereka sering diakui sebagai lapisan atas, karena
kekuasaan dapat diperoleh bukan semata dari kekayaan tetapi juga
dari akses dan kontrolnya terhadap birokrasi;
(c) Ukuran kehormatan: ukuran ini dapat saja terlepas dari ukuran
kekayaan dan atau kekuasaan. Mereka yang paling disegani dan
dihormati menempati tempat teratas dalam masyarakatnya. Ukuran
semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat
tradisional yang masih memegang teguh adat istiadat. Biasanya
mereka yang dihormati ini adalah tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh
agama dan orang yang dinilai berjasa oleh masyarakat.
(d) Ukuran iImu-pengetahuan: ukuran ini umumnya diterapkan oleh
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Orang yang
mempunyai tingkat pendidikan yang dinilai tinggi pada suatu
masyarakat akan menempati tempat teratas dalam masyarakatnya.
Akan tetapi ukuran tersebut kadangkala menimbulkan efek negatif
ketika bukan mutu substansi ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran
utama, melainkan sekedar gelar kesarjanaan yang dimiliki. Hal
semacam ini yang memicu segala macam usaha yang dilakukan
sebagian orang untuk sekedar mendapatkan gelar kesarjanaan,
walaupun harus melanggar norma hukum.

Posisi yang tinggi sifatnya akumulatif dimana mereka yang berada pada
lapisan atas bisa saja memiliki satu macam hal yang dihargai oleh
masyarakat. Mereka yang memiliki banyak uang, akan mudah sekali
mendapatkan tanah, kekuasaan dan juga kehormatan. Demikian juga
mereka yang mempunyai kekuasaan besar akan mudah menjadi kaya
dan mengusahakan ilmu pengetahuan. Menurut Max Weber stratifikasi
sosial adalah suatu penggolongan orang-orang ke dalam lapisan-lapisan

3
hirarkis menurut dasar kekuasaan, privilege (hak istimewa) dan prestise
(Hurst 2007). Sedangkan Karl Marx menyebutkan bahwa kelas sosial
ditentukan oleh kepemilikan alat produksi. Dengan demikian stratifikasi
sosial menyangkut adanya perbedaan dan ketidaksamaan dalam aspek
sosial dan ekonomi pada golongan-golongan orang dalam suatu
masyararakat.

Sementara itu Sajogyo (1994) mengemukakan ada 3 faktor yang


mendasari stratifikasi sosial yaitu:1) faktor biologis (jenis kelamin, ras, usia,
bentuk fisik, bakat, dan lain-lain), 2) faktor ajar (pendidikan, jenis pekerjaan
dan sebagainya), 3) kepentingan dan kelangkaannya. Sebagai contoh
faktor biologis adalah pada masyarakat biasanya orang yang berusia tua
lebih dihormati, sementara orang disabilitas dianggap rendah statusnya
sehingga sering diperlakukan tidak adil. Demikian pula berdasarkan faktor
ajar, orang yang berpendidikan sarjana, pegawai negeri ataupun orang-
orang yang mempunyai profesi tertentu seperti polisi, dokter dan artis lebih
dihargai oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Sedangkan menurut
faktor kepentingan dan kelangkaannya, seseorang yang mempunyai
keterampilan tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat dan jarang
ada orang yang memilikinya akan ditempatkan pada posisi sosial yang
tinggi. Contohnya di daerah pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih
dikenal adanya paraji atau mak berang yang cukup dihormati warga
desa karena tidak banyak perempuan yang terampil membantu
persalinan para ibu sementara kemampuan ini sangat dibutuhkan
mengingat minimnya tenaga kesehatan di pedesaan terutama yang
berjarak jauh dari kota.
Ukuran-ukuran yang dipakai sebagai dasar stratifikasi sosial tidaklah
terbatas pada apa yang telah disebutkan di atas. Banyak ukuran-ukuran
lain yang dapat digunakan. Pada beberapa masyarakat tradisional di
Indonesia, kelompok sosial pembuka tanah dan keturunannya biasanya
menduduki lapisan tertinggi. Pada masa kini, mereka yang menguasai
teknologi digital (contohnya: data scientist, web developer, digital
marketers) cenderung ditempatkan pada posisi sosial yang lebih tinggi,
karena belum banyak orang yang memiliki keterampilan tersebut yang
sangat dibutuhkan di era teknologi industri 4.0 saat ini.
Ilustrasi pada tulisan Pattinasarany (Kotak 8.1) menunjukkan tiga hal
yaitu: pertama, dasar-dasar atau ukuran yang diterapkan masyarakat
Indonesia untuk menempatkan kelompok sosial tertentu ke dalam lapisan
– lapisan sosial. Dasar stratifikasi sosial yang tampak adalah pendidikan,
penghasilan atau juga remitansi. Kedua, kombinasi dan keterkaitan satu
sama lain dasar stratifikasi sosial yang diterapkan di Indonesia yaitu

4
pendidikan formal dan ketrampilan yang diperoleh secara informal serta
penghasilan termasuk remitansi. Ketiga, perubahan atau dinamika dalam
penentuan dasar stratifikasi. Pendidikan dan pendapatan masih menjadi
dasar atau ukuran yang mempengaruhi dalam menentukan posisi sosial
masyarakat di Indonesia. Pattinasarany juga menyebutkan bahwa pada
karakterisik masyarakat tertentu, terjadi perubahan dasar dan ukuran
stratifikasi, dimana dalam mendapatkan ketrampilan untuk meningkatkan
status sosialnya tidak harus melalui pendidikan formal tetapi juga dari
pembelajaran individu secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa dasar
stratifikasi suatu masyarakat juga dinamis.

Boks 8.1.
Dasar Stratifikasi dan Mobilitas Sosial
Disadur dari tulisan Indera Ratna Irawati Pattinasarany, Universitas Indonesia,
Depok, Indonesia, Anggota ISA Research Committees on Sociology of Education
(RC04) and Social Stratification (RC28) dengan judul Memacu Mobilitas Sosial
Naik di Indonesia
Selama bertahun-tahun, ketidaksetaraan di Indonesia paling jelas terlihat dalam
ketidaksetaraan peluang untuk mobilitas sosial ke atas. Penelitian yang dilakukan
di Indonesia, seperti di sebagian besar dunia, semakin rendah kelas sosial,
semakin kecil peluang untuk mobilitas ke atas. Hal ini tentunya tidak terlepas dari
dasar stratifikasi yang digunakan. Berkenaan dengan gender, laki-laki lebih
mungkin untuk bergerak ke atas daripada perempuan dengan posisi yang
sama, terutama bagi mereka yang memulai di kelas sosial yang lebih rendah.
Pendidikan jelas mempengaruhi mobilitas sosial ke atas di Indonesia. Semakin
tinggi tingkat pendidikan semakin besar peluang mobilitas sosial ke atas. Namun,
ada beberapa pengecualian menarik di mana orang-orang dari kelas bawah
naik ke kelas menengah, bahkan tanpa sekolah. Terdapat tiga contoh yaitu:
pertama, masyarakat Indonesia yang memilih untuk bekerja di luar negeri
sebagai pekerja migran, lalu mendapatkan penghasilan lebih dan banyak yang
mengirim remitansi ke kerabat yang tinggal di desa. Dengan remitansi ini
keluarga dapat pindah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Kedua, adanya
ketrampilan khusus turun temurun antar generasi. Sebuah komunitas di Garut
(Jawa Barat) terkenal menghasilkan tukang cukur pria terbaik di Jawa.
Kebanyakan tukang cukur profesional yang sukses sementara bekerja di luar
desa mereka di kota-kota besar seperti Jakarta. Melalui keahlian khusus mereka
sebagai tukang cukur, banyak yang berhasil mengangkat status ekonomi dan
sosial keluarga mereka. Ketiga, adalah kewirausahaan dimana pengusaha desa
yang memulai menjadi wiraswasta, tetapi kemudian beralih ke usaha skala
mikro, dan mengembangkan usahanya ke desa desa tetangga.

Biasanya dalam suatu masyarakat, tidak ada stratifikasi sosial yang


benar-benar hanya didasarkan oleh satu ukuran saja. Max Weber
menyatakan bahwa dasar kekayaan bersama-sama dengan dasar
kekuasaan belum dapat seluruhnya menjelaskan sistem stratifikasi yang
ada pada masyarakat modern, tetapi masih ada faktor lain yang harus
dipertimbangkan yaitu faktor yang melibatkan kebudayaan (culture).

5
Fungsi Stratifikasi Sosial
Pembedaan posisi atau status sosial dalam masyarakat dinilai dengan
ganjaran (pahala), gengsi, kehormatan, dan hak yang berbeda-beda
atas tiap posisi. Tinggi-rendahnya posisi seseorang akan menentukan
seberapa besar ia akan mendapatkan ganjaran (pahala), gengsi,
kehormatan, dan hak sesuai dengan norma yang ada pada
masyarakatnya. Seperti halnya seorang pemimpin apalagi dalam
organisasi formal dan besar tentunya sangat bergengsi dan dihormati oleh
para bawahannya. Sesuai dengan posisinya itu ia mempunyai hak-hak
yang lebih besar untuk mengambil keputusan penting dalam
organisasinya. Sekaligus ia juga mendapatkan ganjaran berupa jumlah
penghasilan dan fasilitas yang paling besar. Namun ia mempunyai
kewajiban agar semua target yang telah ditetapkan oleh organisasinya
dapat tercapai seluruhnya dan tepat waktu, untuk itu ia dituntut untuk
dapat berperan sebagai pemimpin yang efektif, yang mampu
membangun kinerja yang tinggi pada para bawahannya.
Dengan demikan stratifikasi atau pelapisan sosial menunjuk adanya
ketidaksamaan dalam pembagian hak, kewajiban, tanggung-jawab, nilai-
nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Ketidaksamaan ini berfungsi sebagai: 1) pendorong agar individu mau
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan posisi dan
peranannya pada posisi-posisi yang tersedia dalam struktur masyarakat
tersebut; 2) dasar penuntun bertingkah laku dalam masyarakat yang
mempengaruhi cara berpikir, sikap, pola bertindak, selera dan
sebagainya; 3) menunjukkan ciri-ciri penyimpangan, yaitu ketika
seseorang tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya. Pembedaan ini dapat juga berfungi mempertahankan
status seseorang dalam sistim sosial masyarakat, ketika ada aturan-aturan
tidak tertulis untuk membatasi kelompok-kelompok lain menduduki posisi
yang lebih tinggi karena adanya kepentingan politik dan ekonomi dari
golongan lapisan atas. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidak adilan,
kekerasan dan juga diskriminasi.
Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan bagian dari struktur sosial dalam suatu
masyarakat yang diwujudkan dengan adanya kelas yang tinggi dan kelas
yang rendah. Posisi setiap individu pada hierarki sosial akan disertai dengan
peranan yang harus dijalankannya sesuai dengan kedudukannya
tersebut.

6
Kedudukan/Status
Kedudukan diartikan sebagai tempat seseorang secara umum
dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, yang
diwujudkan dalam kedudukan atau status sosial yang tinggi atau rendah.
Masyarakat pada umumnya mengenal dua macam kedudukan/status,
yaitu:
(a) Kedudukan/status yang diperoleh karena kelahiran (ascribed-status),
misalnya kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan
juga; dan

(b) Kedudukan/status yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha


yang disengaja (achieved-status). Keduduan ini tidak diperoleh atas
dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja
tergantung dari usahanya untuk mencapai kedudukan tersebut.
Misalnya, seseorang bisa menjadi influencer terkenal karena kerja
kerasnya dalam menampilkan hal-hal yang positif dan menarik di
media sosial.
Ada lagi satu macam kedudukan/status yang tidak begitu umum, yaitu
assigned status. Status ini mempunyai hubungan erat dengan achieved
status yang biasanya diberikan oleh suatu kerajaan atau negara kepada
seseorang yang dianggap telah berjasa memberikan atau
memperjuangkan sesuatu hal yang berharga untuk kepentingan
masyarakat. Sebagai contoh Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris telah
menganugerahkan gelar “Sir” kepada aktor Sean Connery atas perannya
sebagai agen rahasia dalam film James Bond yang sangat terkenal, dan
memberikan gelar ”Dame” pada artis Angelina Jolie atas dedikasinya
mengkampanyekan stop kekerasan seksual di zona konflik.
Kedudukan seseorang melekat padanya dalam kehidupan sehari-hari
yang dapat terlihat melalui ciri-ciri tertentu yang dalam Sosilogi dinamakan
prestige simbol (status-symbol). Ciri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi
bagian hidup seseorang yang telah terlembaga dan mendarah daging.
Beberapa contoh ciri-ciri yang sering dianggap sebagai status simbol gaya
berpakaian serta bahan pakaiannya, lingkungan pergaulannya, cara
mengisi waktu luang (bentuk rekreasi), memilih tempat tinggal (lokasi,
bentuk, tipe dan ukuran rumahnya), cara dan corak penghias rumah,
jumlah dan merek mobil pribadinya, caranya merawat tubuh dan
kesehatannya dan seterusnya.

7
Peranan (Role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status) yang
menyangkut hak dan kewajiban seseorang sesuai dengan posisinya.
Antara peranan dan kedudukan, dalam kenyataanya tidak dapat
dipisahkan, karena saling tergantung satu deng. Kedudukan/status
merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam
organisasi masyarakat, sedangkan peranan lebih bersifat dinamis yang
menunjuk pada harapan-harapan masyarakat menyangkut
kedudukan/status tertentu.
Dalam kaitan ini, Soekanto (1990) menegaskan bahwa konsep peranan
dapat dipelajari dalam arti sebagai berikut :
(a) Norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat atau apa yang seharusnya dilakukan
seseorang dalam masyarakat sesuai dengan kedudukannya;
(b) Apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat; dan
(c) Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat atau apa
yang dilakukan oleh seseorang.
Setiap orang dapat memiliki bermacam-macam peranan yang berasal
dari pola-pola pergaulan hidupnya, sehingga memungkinkan pula
terjadinya konflik peran (conflict of roles). Seorang ibu yang bekerja dapat
mengalami konflik peran antara peran sebagai pegawai perusahan dan
peran sebagai ibu yaitu pada saat ia harus mengerjakan tugas penting di
kantornya sementara anaknya sedang sakit dan membutuhkan
perhatiannya.

Dinamika Stratifikasi Sosial


Proses Stratikasi Sosial
Proses terjadinya stratifikasi sosial bisa secara tidak sengaja atau terjadi
begitu saja di dalam masyarakat sejalan dengan proses pertumbuhan
masyarakat. Penyebabnya antara lain seperti yang dikemukakan oleh Karl
Marx, yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik
sosial, dan hak kepemilikan pribadi. Dengan perkembangan teknologi
internet memunculkan berbagai jenis pekerjaan yang belum pernah ada
sebelumnya. Akan tetapi stratifikasi sosial dapat juga terbentuk dengan
sengaja untuk mengejar suatu tujuan bersama seperti adanya pembagian
kekuasaan dan wewenang dalam organisasi formal (perusahaan,

8
pemerintahan, partai politik). Bila dikaitkan dengan kekuasaan, maka
dengan adanya pembagian kerja akan bermunculan berbagai posisi-
posisi dimana yang satu akan memiliki kekuasaan dan wewenang lebih
besar daripada yang lain. Ketidaksamaan dalam kekuasaan ini pada
gilirannya akan mendorong terjadinya stratifikasi sosial. Dengan demikian
terdapat tiga hal yang menjadi dasar terjadinya stratifikasi sosial, yaitu:
1. Proses kelembagaan atau penetapan suatu tipe barang dan jasa
tertentu sebagai sesuatu yang bernilai dan diinginkan sehingga
barang/jasa tersebut menjadi simbol atau penciri pemiliknya termasuk
dalam lapisan atas, seperti pada saat ini dimana revolusi industri 4.0
telah menghasilkan IOT (Internet Of Things) maka mereka yang
menguasai teknologi digital sangat dihargai oleh kalangan industri
sehingga lebih mudah mendapat pekerjaan dengan penghasilan
yang besar.
2. Aturan-aturan alokasi yang mendistribusikan barang dan jasa tersebut
kepada beragam kedudukan atau pekerjaan, untuk memperolehnya
seseorang perlu perjuangan karena barang/jasa tersebut jumlahnya
terbatas. Makin tinggi kedudukan seseorang makin besar pula
kekuasaan/wewenangnya sekaligus juga tanggung jawabnya dan
juga ganjaran (pahala) dan gengsinya. Namun karena kedudukan
yang tinggi itu jumlahnya tidak banyak maka untuk mendapatkannya
seseorang membutuhkan perjuangan yang besar.
3. Mekanisme mobilitas (gerak berubah: dari status sosial rendah ke status
sosial yg lebih tinggi) yang mengkaitkan antara individu-individu
dengan pekerjaannya dan kedudukannya itu. Dalam hal ini ada
upaya yang sengaja dilakukan untuk menjaring pemimpin dengan
cara memberi persyaratan tertentu yang sulit untuk dipenuhi semua
orang, contohnya untuk menjadi seorang Ketua Badan Eksekutif
Mahasiswa ada persyaratan tertentu menyangkut tingkat pendidikan,
pengalaman berorganisasi, prestasi akademik, pengalaman
mahasiswa tersebut sebagai pemimpin dalam berbagai kegiatan
kemahasiswaan dan berbagai hal lain yang menunjukkan kapasitas
individu tersebut sebagai seorang pemimpin. Keberhasilan seorang
mahasiswa menjadi ketua BEM akan membawanya pada posisi sosial
yang lebih tinggi dari mahasiswa lainnya.
Golongan masyarakat yang mampu melihat peluang dan potensi alam
yang ada disekitarnya pun dapat mendorong adanya gerak mobilitas
naik. Hal ini seperti yang terlihat dalam ilustrasi pada kotak 8.2. yang
menjelaskan bagaimana seorang petani yang memulai usahanya dari nol

9
mampu menjadi salah satu produsen terbesar di wilayah Jawa Timur
karena mampu membaca peluang dan menggorganisir petani lainnya.

Boks 8.2.
Dinamika Stratifikasi Sosial
Disadur dari kumparan.com dengan judul kisah petani sukses dari nol kini jadi
perngusaha kaya
Kisah petani yang berhasil sukses dari nol bernama Abdul Qohar. Petani ini
tinggal di Desa Candisari, Kecamatan Sambeng, Lamongan. Abdul meraup
banyak keuntungan dengan berkebun pepaya calina. Lahan pertanian yang
ada di ujung selatan Lamongan terkenal kering dan sudah turun temurun hanya
ditanami tembakau, padi, serta jagung. Namun, hal ini tidak menurunkan niat
Abdul. Dengan ketekunan dan kegigihan, Abdul berhasil membentuk Kelompok
Tani Godong Ijo Sejahtera dengan 112 anggota yang tersebar di 8 desa di
wilayah Kecamatan Sambeng. Dengan total kebun buah pepaya calina seluas
15 hektar, Lamongan menjadi produsen terbesar ketiga di wilayah Jawa Timur.
Tak hanya ke Lamongan saja, buah pepaya calina dari Sambeng ini juga
dipasarkan hingga ke Tuban, Gresik, serta Jakarta. Dalam lahan seluas 1 hektar,
dapat ditanam hingga 1.520 batang pepaya calina. Pada setiap hektar, petani
dapat mendapat omzet sebesar Rp 18 juta/bulan. Hal ini pun sudah dihitung
dengan adanya kemungkinan faktor kegagalan. Masa panen buah pepaya
calina itu sendiri yakni ketika telah berusia 6 bulan 20 hari. Pepaya calina akan
terus berbuah sampai berumur 3 tahun kemudian. Pepaya calina dari Sambeng
ini sudah memiliki merk dagang. Pemilik kebun pun sudah mendapatkan binaan
khusus untuk menjaga kualitas buah pepaya agar sama, meski ditanam di lahan
yang berbeda.

Pada saat ini di Indonesia terlihat adanya fenomena munculnya golongan


masyarakat yang dalam waktu singkat naik ke lapisan sosial atas karena
kemampuannya memanfaatkan internet dengan menjadi blogger,
influencer, selegram atau membuat platform-platform yang dapat
menarik perhatian para pengguna internet dan media sosial. Mereka
dapat menghasilkan uang yang sangat banyak melalui postingannya di
media sosial baik untuk pemasukan pribadi, ataupun mengumpulkan
dana masyarakat untuk mendanai program-proogram kemanusiaan
seperti kitabisa.com, BenihBaik.com, Indonesiadermawan.id dan lain-lain
yang memberi bantuan dana bagi masyarakat tidak mampu yang
mengalami musibah. Ada juga yang bergerak dalam bidang pelayanan
masyarakat seperti ruangguru.com, dalam bidang transportasi seperti
GRAB dan GOJEK dan bisnis retail seperti Tokopedia, Shopee dan
sebagainya. Mereka yang berada di balik media sosial dan platform ini
dapat menghasilkan kekayaan yang fantastis dalam waktu singkat, sangat
populer dan ditempatkan dalam lapisan sosial atas dalam struktur sosial
masyarakat Indonesia.

10
Namun ada juga suatu mekanisme dalam masyarakat yang dapat
mempertahankan stratifikasi sosial yang sudah ada agar tidak berubah
yaitu melalui:
(a) Usaha dari pihak yang berkuasa, yaitu usaha yang dilakukan dengan
menggunakan beragam saluran seperti ekonomi, politik, pendidikan
dan sistem hukum ini dimaksudkan untuk melindungi dirinya agar tetap
terus bertahan dalam posisi yang diuntungkan;
(b) Pranata sosial, yaitu kelembagaan sosial yang dimanfaatkan untuk
mempertahankan sistem stratifikasi sosial, dapat berupa kelembagaan
politik, kelembagaan ekonomi seperti hak kepemilikan terhadap
barang dan usaha, kelembagaan agama, pendidikan, militer,
kekerabatan dan lain-lain;
(c) Kebudayaan, yang selalu menjadi alasan pembenaran adanya
pembedaan atau pelapisan masyarakat, seperti misalnya adanya
ideologi bahwa kemiskinan akibat dari kemalasan;

(d) Sosialisasi, yaitu suatu proses dimana individu-individu belajar tentang


posisi, peranan serta hak dan kewajibannya yang sesuai dengan
konteks budaya masyarakatnya; dan

(e) Alat pemaksa, yang berfungsi untuk mengontrol penyimpangan yang


dilakukan individu-individu dalam menjalankan hak dan kewajibannya
sesuai dengan posisinya ataupun mengontrol upaya pelanggaran
hukum yang dilakukan mereka dalam usaha menaikkan posisinya,
misalnya hukuman bagi pejabat yang korupsi atau mahasiswa yang
menyontek.

Mobilitas Sosial
Arah Mobilitas Sosial
Di dalam masyarakat, posisi individu tidak selalu sama dari waktu ke waktu.
Peningkatan karir selain membuat seseorang naik ke lapisan yang lebih
tinggi dalam struktur pekerjaannya, juga dapat membuatnya menempati
lapisan sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat, misalnya setelah berhasil
menjadi pemenang pada suatu ajang pencarian bakat yang bergengsi
seorang penyanyi yang belum terkenal menjadi sangat dikenal di seantero
negeri, dihormati dan menjadi kaya raya. Sebaliknya PHK (pemutusan
hubungan kerja) bukan saja membuat seseorang kehilangan pekerjaan
tetapi juga dapat membuatnya turun ke lapisan sosial yang lebih rendah.
Gejala inilah yang disebut gerak sosial atau mobilitas sosial.

11
Menurut Sorokin (1998) dalam Soenarto (2000) pengertian mobilitas sosial
adalah perpindahan individu-individu dari kategori sosial yang lebih
rendah ke yang lebih tinggi (mobilitas ke atas), atau lebih tinggi ke yang
lebih rendah (mobilitas ke bawah) dalam suatu sistem stratifikasi sosial
“Social mobility is the movement of individu-als from lower to higher
(upward mobility), or higher to lower (downward mobility) social categories
in a social stratification system”.
Terdapat dua gerak sosial (mobilitas sosial) berdasarkan arahnya, yaitu,
pertama, mobilitas sosial horizontal dan kedua, mobilitas sosial vertikal yang
meliputi mobilitas sosial vertikal naik (upward mobility) dan mobilitas sosial
vertikal turun (downward mobility) (Sorokin dalam Pattinasarany 2016:35).
Terkait dengan gerak sosial vertikal Sorokin (1998) menyatakan bahwa
terdapat dua gerak sosial ertikal (mobilitas sosial vertikal) ; Vertical mobility
ia devided into two types: (1) Vertical climbing mobility is transition from a
lower stratum into higher one. When someone improves his or her position
in society, this is known as climbing mobility. and (2). Vertical sinking mobility
is to droping of individuals from a higher social position into lower one,
without degradation or disintegration of higher group to which they
belonged. When someone falls to a lower position in the social hierarchy
and this termed sinking mobility.
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Yadaf (2015), gerak sosial
vertikal mencakup Upward Mobility dan Downward Mobility., When a
person or a group of persons move from lower position to upper position it
is called Upward Mobility, and Downward mobility indicates that one loses
his higher position and occupies a lower position.
Tampak bahwa terdapat dua macam penggunaan istilah yang berbeda
namun brmakna sama untuk menggambarkan gerak sosial naik dan gerak
sosial turun; yaitu penggunaan istilah Upward Mobility dan Vertical
climbing mobility digunakan untuk gerak sosial naik serta penggunaan
istilah Downward Mobility dan Vertical sinking mobility untuk gerak sosial
turun. Selanjutnya Didalam naslah ini istilah yang digunakan adalah
Upward Mobility dan Downward Mobility.
Mobilitas sosial horizontal yaitu peralihan posisi sosial (status sosial) individu
atau kelompok dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang
sederajat. Sebagai ilustrasi, seorang tukang ojek pangkalan yang beralih
menjadi tukang ojek on-line, atau seorang kasir di bank yang beralih
pekerjaan menjadi bagian keuangan di sebuah kantor pengacara, dapat
dikatakan posisi (status) sosialnya tetap sama; tidak naik dan tidak turun.
Berbeda halnya dengan seorang pejabat negara yang menjadi
narapidana karena korupsi atau seorang pegawai kantor menjadi

12
pengangguran setelah diberhentikan dari perusahaan akibat pandemi
Covid-19 yang membuat perusahaan mengalami penurunan produksi
secara drastis, hal ini dapat dikatakan status sosialnya berubah secara
vertikal.
Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dibedakan menjadi dua
yaitu mobilitas sosial vertikal naik (Upward Mobility) dan mobilitas sosial
vertikal turun (Downward Mobility). Mobilitas sosial vertikal naik
dimungkinkan karena: (1) masuknya individu-individu yang mempunyai
posisi sosial rendah ke dalam posisi sosial yang lebih tinggi yang telah ada
sebelumnya; atau (2) pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian
ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari posisi individu-individu
pembentuk kelompok itu. Sedangkan mobilitas sosial vertikal turun
dimungkinkan karena: (1) turunnya posisi individu ke posisi yang lebih
rendah derajatnya; atau (2) turunnya derajat sekelompok individu yang
berupa suatu disintegrasi dalam kelompok sebagai kesatuan (Sorokin
dalam Prasodjo dan Pandjaitan, 2015).
Pada era digital, gejala mobilitas sosial terjadi dengan munculnya
influencer dan selebgram yang memanfaatkan saluran internet untuk
menjadi terkenal bahkan melakukan “pansos (panjat sosial)”. Istilah ini
merupakan kosa kata baru yang beredar di kalangan netizen (warganet
yaitu orang yang menggunakan media sosial melalui medium internet
untuk berinteraksi atau berkomunikasi) yang oleh sebagian orang diartikan
sebagai suatu upaya yang dilakukan seseorang untuk mencitrakan dirinya
sebagai orang yang mempunyai status sosial tinggi. Sebagian lainnya
menterjemahkan “pansos” sebagai suatu upaya untuk meningkatkan
popularitas yang pada gilirannya tingkat popularitas itu akan
menempatkannya pada posisi sosial tertentu yang baru. Pelaku pansos
selalu berusaha melakukan berbagai cara untuk dapat dikenal oleh
banyak orang atau publik yang dihitung dari jumlah follower-nya.
Publikasinya seringkali direncanakan secara matang agar masif dan
terkadang juga bombastis. Upaya-upaya ini dilakukan untuk membangun
brand personalitas positif, yang nantinya dapat memberi keuntungan
ekonomi, otoritas, dll. Namun demikian, tidak jarang bukan upward
mobility yang dialami pelaku melainkan downward mobility, karena apa
yang mereka hadirkan dianggap oleh masyarakat telah melanggar
norma.

Contoh di atas selain menjelaskan kriteria yang digunakan masyarakat


untuk menempatkan warganya ke dalam lapisan sosial tertentu, juga
menjelaskan saluran-saluran yang ada dalam masyarakat untuk
mencapai mobilitas sosial vertikal. Saluran-saluran itu diantaranya seperti

13
sekolah (sebagai saluran mobilitas vertikal bagi orang-orang lapisan
rendah yang berhasil masuk pada sekolah untuk orang-orang dari lapisan
atas), ekonomi (kekayaan sebagai saluran mobilitas sosial vertikal bagi
orang yang semula berada pada lapisan rendah), dan popularitas
(sebagai saluran untuk menciptakan brand personalitas positif, yang pada
akhirnya dapat berefek pada peluang memperoleh sumberdaya
ekonomi, kekuasaan ataupun kehormatan). Sudah tentu, selain saluran-
saluran yang disebutkan ini masih banyak lagi saluran-saluran lain yang
dapat diamati pada gejala mobilitas sosial. Proses mobilitas sosial vertikal
melalui saluran-saluran inilah yang disebut sebagai social circulation.

Sistem Stratifikasi Sosial


Berdasarkan sistemnya secara umum dikenal dua ciri sistem stratifikasi
sosial yaitu sistem yang relatif terbuka dan relatif tertutup. Kedua sistem ini
membawa konsekuensi kepada peluang mobilitas sosial vertikal. Pada
masyarakat yang menganut atau menerapkan sistem stratifikasi sosial
tertutup (closed social stratification), struktur sosial masyarakatnya
menjaga ketat dan cenderung tidak membuka akses untuk anggota
masyarakat dari lapisan sosial lebih rendah untuk memasuki lapisan sosial
yang lebih tinggi. Dengan demikian tidak setiap anggota masyarakat
memiliki akses untuk melakukan mobilitas sosial vertikal naik. Sebagai
contoh adalah masyarakat yang menerapkan sistem kasta (di India dan di
Bali). Pada masyarakat yang menerapkan sistem stratifikasi sosial tertutup
ini, mobilitas sosial vertikal relatif sulit terjadi meski terdapat kasus khusus
mobilitas sosial vertikal (baik vertikal naik maupun turun) yang diakibatkan
oleh peristiwa pernikahan antar lapisan sosial.
Pada masyarakat oligarkhi atau masyarakat yang berlatar belakang
kerajaan dan mengenal pemerintahan parlementer (terdapat pemisahan
sistem pemerintahan yang mengatur kerajaan dan sistem pemerintahan
yang mengatur pemerintahan umum dalam suatu negara), akses
masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial vertikal relatif lebih
dimungkinkan dibanding pada masyarakat berkasta. Pada struktur
kerajaan, akses mobilitas sosial vertikal hanya terbuka bagi keluarga
kerajaan dan relatif tertutup bagi masyarakat umum. Namun demikian
masih dimungkinkan masyarakat umum mendapatkan gelar bangsawan
yang dianugerahkan oleh raja/ratu atas kontribusinya pada kerajaan
(negara), seperti artis/aktor yang mendapat gelar kebangsawanan seperti
“sir” atau “dame” dari Ratu Inggris karena prestasi mereka maupun
dedikasinya pada usaha-usaha kemanusiaan. Mereka yang dianugrahi
gelar kebangsawanan ini berasal dari berbagai kewarganegaraan,

14
antara lain David Beckham dan JK Rowling dari Inggris, Bill Gates dan
Angelina Jolie dari Amerika Serikat bahkan Prof. Azyumardi Azra dari
Indonesia dan masih banyak lagi tokoh berbagai bidang yang dianggap
telah berprestasi luar biasa.
Sementara pada sistem stratifikasi terbuka (opened social stratification),
mobilitas sosial vertikal relatif lebih mudah terjadi. Posisi atau status sosial
yang hendak diraih oleh seseorang lebih tergantung pada usaha dan
kemampuan individu tersebut. Memang benar bahwa seorang anak dari
keluarga lapisan sosial atas akan memiliki peluang yang lebih besar untuk
mencapai status sosial yang lebih tinggi dan terpandang dalam
masyarakat dibanding anak seorang buruh pabrik dari lapisan sosial
bawah, namun demikian, sifat terbuka dalam sistem stratifikasi
memungkinkan dan memberikan peluang lebih besar bagi anak buruh itu
untuk dapat mencapai posisi sosial yang sama tinggi dan terpandang
dalam masyarakat. Mobilitas sosial vertikal naik (upward mobility) itu
dimungkinkan terjadi melalui ragam saluran misalnya saluran sekolah,
organisasi politik, ekonomi dan sebagainya.

Gambar 8.1: Perbandingan peluang mobilitas sosial vertikal pada


beragam tipe masyarakat.

Dengan demikian prinsip-prinsip umum yang patut diperhatikan dalam


memahami mobilitas sosial vertikal adalah bahwa (Sorokin dalam Prasodjo
& Pandjaitan, 2015: 199 dan Sorokin dalam Yadav, KS tt.):

15
(1) Hampir tidak ada masyarakat yang sifat sistem stratifikasi sosialnya
mutlak tertutup atau sama sekali tidak memberi peluang mobilitas
sosial vertikal;
(2) Betapapun terbukanya suatu sistem sosial, mobilitas sosial vertikal tidak
mungkin dilakukan sebebas-bebasnya, sedikit banyaknya akan ada
hambatan-hambatan;
(3) Tidak ada mobilitas sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua
masyarakat, setiap masyarakat memiliki kekhasan dalam mobilitas
sosial vertikal;
(4) Terdapat perbedaan antara laju mobilitas sosial vertikal yang
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan;
(5) Secara historis, khususnya dalam mobilitas sosial vertikal yang
disebabkan faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan, tidak ada
kecenderungan yang kontinu dalam hal bertambah atau
berkurangnya laju mobilitas sosial.

Dampak Stratifikasi Sosial


Pendapatan seseorang sering menjadi ukuran dalam penstratifikasian di
masyarakat. Melalui pendapatan yang tinggi secara akumulatif seseorang
mampu kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan memiliki sarana-prasarana
(tempat tinggal, kendaraan, peralatan komunikasi, perlengkapan kerja,
perabot rumah tanggl dan lain sebagainya) yang lebih baik secara
kualitas maupun kuantitas. Kepemilikan materi ini kemudian menjadi
penanda yang tidak hanya membedakan tapi juga menempatkan
seseorang pada posisi sosial yang lebih tinggi terutama dibandingkan
masyarakat lain yang memiliki pendapatan lebih rendah.
Persoalannya, krisis pendapatan semakin menguat dikala masa pandemi
Covid-19 ini. Dilansir dari laman Kemnaker.go.id hingga 31 Juli 2020, total
baik pekerja formal maupun informal yang terdampak COVID-19
mencapai lebih dari 3,5 juta orang secara nasional. Hasil penelitian dari LIPI
(2020) menunjukkan hasil serupa dimana sebanyak 15,6% pekerja
mengalami PHK dan 40% pekerja mengalami penurunan pendapatan,
diantaranya sebanyak 7% pendapatan buruh turun sampai 50%. Kondisi
kelas pekerja dunia pun nampak sama, ditinjau dari laporan ILO (2020)
yang dikeluarkan pada April 2020, disampaikan jika gangguan ekonomi
besar-besaran akibat krisis COVID-19 memengaruhi tenaga kerja dunia
yang berjumlah 3,3 miliar. Penurunan tajam dan tak terduga dalam
aktivitas ekonomi menyebabkan penurunan drastis dalam lapangan kerja,
baik dalam hal jumlah pekerjaan dan jam kerja agregat. Menggunakan

16
perhitungan jam kerja, pandemi ini diprediksi menghilangkan 6,7% jam
kerja secara global, itu sama dengan dengan PHK terhadap 195 juta
tenaga kerja. Pada situasi krisis yang menimpa aktivitas usaha seperti ini,
tentu saja kelompok yang paling rentan adalah kelompok pekerja (buruh)
karena berada pada strata terbawah. Banyak pemilik usaha untuk
menghindari dari kebangkrutan dengan terpaksa melakukan efisiensi
melalui pengurangan tenaga kerja baik itu ‘hanya’ dirumahkan atau
sampai pemutusan hubungan kerja (PHK). Pandemi Covid-19 juga
mempersulit para buruh untuk mencari pekerjaan alternatif karena krisis
usaha yang massif dan pembatasan mobilitas. Tentunya pendapatan
yang semakin sedikit ini membuat para buruh tani semakin sulit untuk
mengakses pelayanan kesehatan
Gaya hidup dan politik juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
mobilitas sosial golongan masyarakat. Seperti beberapa kasus yang
dialami oleh artis artis tanah air. Beberapa dari mereka merubah gaya
hidup untuk dapat memperluas jaringan yang mereka miliki sebagai upaya
untuk meningkatkan popularitas mereka. Namun bagi mereka yang
terlibat skandal maupun penggunaan narkoba justru tidak akan mampu
untuk mempertahankan popularitasnya. Sama halnya dengan kasus yang
terjadi pada pejabat negara yang terlibat kasus korupsi atau tindakan
pidana lainnya, mereka mengalami mobilitas vertikal turun dari pejabat
negara (‘yang terhormat”), menjadi terpidana dan tahanan (‘tidak
terhormat’).
Perbedaan kemampuan respon terhadap perubahan juga dapat
memberikan dampak yang berbeda pada golongan masyarakat salah
satunya pada petani kakao. Kakao merupakan komoditas ekspor dengan
mengacu harga dunia. Situasi krisis moneter 1998, yang membuat kurs
dolar tinggi, menyebabkan harga kakao turut menjulang tinggi. Dalam
waktu singkat pendapatan petani kakao mengalami peningkatan yang
signifikan, perekonomian masyarakat terangkat seketika. Di masa itu,
daerah-daerah pusat Kakao sampai dikenal dengan sebutan ‘Daerah
Penghasil Dollar’. Pendapatan masyarakat yang tinggi membuat tingkat
konsumsi masyarakat meningkat. Banyak masyarakat yang berangkat naik
haji, membeli kendaraan motor dan mobil, serta membangun rumah. Ada
anekdot saat itu, jika masyarakat Sulawesi lebih takut kehilangan 1 kilogram
kakao dibandingkan dengan 1 gram emas, karena harga emas lebih
rendah dari pada Kakao. Di masa-masa itu menjadi petani kakao adalah
profesi yang sangat menjanjikan.
Dampak masa kejayanaan Kakao juga mendorong arus mobiliasasi
migrasi masyarakat. Wilayah Luwu Raya yang menjadi pusat Kakao di

17
Sulawesi Selatan banyak didatangi pendatang yang berasal dari daerah
Makassar, Bone, Enrekang, Sidrap dan Wajo. Mereka berharap berkah
rejeki kakao yang juga bisa mereka rasakan dan meningkatkan kualitas
hidup mereka. Sampai saat ini masa keemasan Kakao di tahun 1998 terus
diingat dengan baik oleh masyarakat. Romantisme ini di beberapa petani
menjadi motivasi mereka bahwa kakao adalah komoditas yang tetap
menjanjikan. Padahal pada masa itu, keadaannya 180 derajat berbeda
untuk di Jawa, krisis sangat dirasakan oleh masyarakat, dengan harga-
harga bahan pokok naik, usaha-usaha gulung tikar dan juga
mengakibatkan konflik sosial.
Sementara itu stratifikasi sosial juga berdampak pada inequalities yang
menguntungkan lapisan sosial atas dan merugikan lapisan sosial bawah
seperti akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Golongan atas mampu
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang terkenal sampai
ke jenjang pendidikan tinggi sementara hanya sedikit anak-anak golongan
bawah yang dapat menikmati pendidikan tinggi yaitu mereka yang
cerdas sehingga mampu meraih beasiswa. Dengan sendirinya mereka
dari golongan atas lebih besar kemungkinannya mendapat pekerjaan-
pekerjaan yang berpenghasilan besar yang membuat mereka tetap
menduduki lapisan atas dalam masyarakat. Sementara anak-anak dari
golongan bawah hanya dapat menjadi buruh atau pegawai rendahan
dengan gaji yang kecil. Demikian pula golongan atas lebih mempunyai
akses pada perawatan kesehatan, mereka mampu berobat ke rumahsakit
yang bagus, mendapat perawatan dan obat-obatan yang terbaik sesuai
dengan kondisi penyakitnya. Sementara golongan bawah dengan
penghasilan pas-pasan hanya bisa mengobati dirinya dengan obat-
obatan di warung, dan hanya mampu ke rumah sakit setelah mendapat
keterangan tidak mampu atau menggunakan kartu BPJS yang terbatas
dalam memberikan dana untuk pengobatan pasien. Hasilnya harapan
hidup golongan atas jauh lebih tinggi dari golongan bawah.

Sistim upah yang tidak adil juga turut andil dalam hal ini dimana antara lain
para buruh dieksploitasi oleh para pemilik usaha dengan upah yang
rendah tidak sebanding dengan beban kerja mereka yang tinggi,
sehingga seberapa kerasnya para buruh ini bekerja tetap tidak dapat
membawa uang yang cukup ke rumah untuk memenuhi kebutuhan pokok
keluarganya. Kondisi inilah yang kemudian bisa menimbulkan konflik kelas
seperti demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh buruh untuk
menuntut kewajiban perusahaan dalam memberikan upah yang layak.
Demonstrasi ini bisa disertai pula dengan tindakan-tindakan anarkis yang
menimbulkan keresahan dalam yang meluas diantara masyarakat.

18
Demikian juga pada masyarakat yang majemuk, yang memiliki latar
belakang agama, ras/etnis, suku dan ideologi yang beragam dapat
berpotensi timbul konflik sosial antar kelompok-kelompok tersebut karena
adanya kelompok tertentu yang ingin menguasai kelompok sosial lainnya
dengan cara pemaksaan dan melakukan diskriminasi pada kelompok lain
yang dianggap sebagai kelompok minoritas. Selain itu konflik juga bisa
terjadi antar generasi ketika generasi tua berusaha mempertahankan adat
istiadat serta nilai-nilai yang sudah berlaku sejak lama dan memaksa
generasi muda untuk tetap mematuhiya. Sementara generasi muda
merasa bahwa nilai-nilai dan norma-norma yang ada perlu dirubah sesuai
dengan perkembangan jaman yang sudah modern.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial:
(1) Ada dalam semua masyarakat namun bervariasi antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain.
(2) Ada dari waktu ke waktu walaupun dasar, rentang, jenis, tipe dan
sebagainya mengalami perubahan-perubahan.
(3) Diwariskan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi (pengajaran).
(4) Melibatkan inequality (ketidaksamaan) dimana tiap lapisan sosial
mempunyai akses yang berbeda pada sumberdaya ekonomi, sosial
dan politik yang dapat menimbulkan potensi konflik di dalam
masyarakat.

Daftar Pustaka
Bierstedt, R. 1970. The Social Order An Introduction to Sociology. New York:
McGraw Hill Book Co.
Calhoun, C. et al. 1994. Sociology An Introduction. McGraw Hill, Inc.
CNBC Indonesia. 2020. Ngeri! Covid-19 Percepat Tren Tenaga Orang akan
Diganti Robot. [diakses melalui www.cnbcindonesia.com]
Davis K and Moore WE. 1994. The Functions of Stratification dalam David B
Grusky, editor. Social Stratification in Sociological Perspective.
Colorado (US):Westview Press Inc.
Hurst C E. 2007. Social Inequality: Forms, Causes, and Consequences.
Boston MA, Allyn and Bacon, 6th ed ISBN 0-205-48436-0.

ILO. 2020. ILO Monitor: COVID-19 and the world of work. Second edition.
Kementerian Tenaga Kerja RI - Kemnaker. 2020. Menaker Ida Berdayakan
Pekerja Perempuan Terdampak Covid-19 melalui Program TKM.
[diakses melalui www.kemnaker.go.id]

19
Kumparan. 2021. Kisah Petani Sukses dari Nol Kini Jadi Pengusaha Kaya.
[diakses melalui www.kumparan.com]
LIPI. 2020. Survey Dampak Darurat Virus Corona terhadap Tenaga Kerja
Indonesia. [diakses melalui www.lipi.go.id]
Marx, Karl. 2004. Kapital I: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Indonesia: Hasta
Mitra.

Pattinasarany IRI. 2016. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jakarta (ID): Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Prasodjo NW dan Pandjaitan NK. 2015. Stratifikasi Sosial. Di Dalam Fredian T
Nasdian, editor. Sosiologi Umum. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Riyanto A. 2019. Panjat Sosial (Social Climber) di Media Sosial, Bagaimana
Seharusnya?. Business Law [Internet]. [diunduh 2020 November 13].
Tersedia pada https://business-law.binus.ac.id/2019/12/19/panjat-
sosial-social-climber-di-media-sosial-bagaimana-seharusnya/
Satria A. 2015. Struktur Sosial Masyarakat Pesisir. Di dalam Pengantar
Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): Rajawali Press.
Pitirim A Sorkin (1927). Social Mobility: A Pioneer Studi of The Historical and
Contemporary Dynamics of Inequality. https://cliffstreet.org/
index.php/writings-pitirim-sorokin/278-reviews/155-sorokin-social-
mobility
Sorokin, PA. 1994. Social and Cultural Mobility. Di dalam David B Grusky,
editor. Social Stratification in Sociological Perspective. Colorado
(US):Westview Press Inc
Sorokin, PA. 1998. Social Mobility. http://etheses.uin-malang.ac.id/16644/1/
13320030.pdf
Sunarto, 2000. Pengantar Sosiologi (Edisi kedua). Jakarta : Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Wertheim W.F. 1959. Indonesian Society in Transition A Study of Social


Change. Bandung: Van Hoeve.
Yadav, KS. 2015. Social Mobility: The Meaning, Types and Factors
Responsible for Social Mobility.https://www.patnauniversity.ac.in/
econtent/ science/stat/MScStatistics6.pdf

20
BAB IX
KEKUASAAN DAN WEWENANG
Saharuddin, Martua Sihaloho, Murdianto, Endriatmo Soetarto, Sri
Wulan F Faletehan, Mahmudi Siwi, Sofyan Sjaf dan Hanifah F Gunadi

Pengertian dan Cakupan Kekuasaan dan Wewenang


Pengertian Kekuasaan
Apa yang dimaksud dengan kekuasaan? Kekuasaan adalah segala kemampuan yang
ada pada diri kita yang membuat orang lain tunduk dan mengikuti perintah kita.
Hubungan kekuasaan itu hubungan kekuatan pengaruh dimana sifatnya selalu
asimetris, selalu yang satu lebih berkuasa dan yang lain menjadi pengikut. Artinya yang
lebih menentukan arah itu hanya satu pihak, sementara pihak lain ditempatkan pada
posisi harus tunduk pada kita. Jadi jika seseorang menjadi penguasa dan pemegang
kekuasaan, orang akan tunduk dan menyerah ketika melihat seorang penguasa. Itulah
kekuasaan, tidak selalu setara hubungannya dimana yang satu dapat berbuat apa saja
terhadap yang lain dan yang lain itu pasti ikut tanpa mempertimbangkan apakah dia
ini dalam keadaan terpaksa atau tidak. Jadi dalam kekuasaan dikatakan “power
affects more than relationships”, jadi tidak sekedar hubungan personal.
Kemudian kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-
kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif
(Parson, 1957:139). Hal tersebut menjelaskan bahwa hubungan kekuasaan itu tidak
pada hubungan orang per orang tetapi hubungan yang saling terkait satu sama lain,
misalnya: jika kita menjadi tim sukses dalam suatu pemilihan bupati, lalu mungkin kita
sendiri tidak kenal baik dengan bupatinya. Tapi kita merasa harus memperjuangkan
yang bersangkutan, nah pada lingkaran tim bupati itu mungkin banyak tapi kita
menggantungkan diri pada satu si A misalnya yang menjadi patokan kita, dan kita tidak
tahu juga siapa yang diatasnya si A yang menjadi panutan kita ini dan banyak orang
yang mungkin juga berada menjadi jaringan kita dibawah dan itu ada beberapa level.
Kita tidak tahu berapa jumlah anak buah yang kita punya, dan anak buah tersebut
memegang siapa saja mungkin kita tidak tahu. Tapi kita sadari dan yakini bahwa hal
tersebut berjalan dimana kita tahu siapa orang yang berpengaruh yang paling
menentukan di dalamnya. Sehingga disebutkan more than personal relationships.
Jadi orang mengikuti dan menyertakan diri dalam struktur kekuasaan itu tanpa sadar
bahwa dirinya sedang dimanfaatkan atau sedang dimanipulasi tapi orang tersebut
tetap ikut, tidak ada jalan lain kecuali ikut serta dalam struktur itu. Itulah kekuasaan.
Secara umum kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok
orang dengan menggunakan sumber-sumber daya kekuasaan tertentu untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok orang lainnya sehingga orang
atau kelompok itu bertingkah laku sesuai dengan keinginan atau tujuan pihak yang
memiliki kemampuan Budiardjo, Soeseno dan Evaquarta (2014).

Beberapa penulis mendefinisikan Kekuasaan (Power), diantaranya adalah:


 The ability of an individual or group to achieve their own goals or aims when others
are trying to prevent them from realising them” (Kemampuan individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan atau sasaran mereka sendiri ketika orang lain
berusaha mencegah mereka mewujudkannya”, Weber 1922)
 Power affects more than personal relationships; it shapes larger dynamics like social
groups, professional organizations, and governments. Similarly, a government’s
power is not necessarily limited to control of its own citizens (ekuasaan
mempengaruhi lebih dari hubungan pribadi; itu membentuk dinamika yang lebih
besar seperti kelompok sosial, organisasi profesional, dan pemerintah. Demikian
pula, kekuasaan pemerintah tidak selalu terbatas pada kontrol warganya sendiri)
Weber 1922)

 Kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku
yang mempunyai kekuasaan.”; (Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan dalam
Harjanto 2017)
 Kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seorang atau sekelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak
pertama (Laswell dalam m Budiardjo, 2008).
 “Kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku
orang atau kelompok lain sedemikian rupa, sehingga tingkah lakunya sesuai dengan
keinginan/tujuan orang yang mempunyai kekuasaan itu.” (Budiardjo, 2008)
Perhatikan uraian singkat tentang perbedaan Kelas, Golongan, Kelompok yang
Berkuasa.
Box 9.1
Kelas, Golongan, Kelompok yang Berkuasa
Seorang pemerhati sosiologi (politik), Gaetano Mosca (1939), mengatakan bahwa dilihat
dari segi kekuasaan setiap masyarakat senantiasa menggambarkan ada dua kelas atau
golongan, yaini kelas atau golongan yang berkuasa dan yang dikuasai; hal ini merupakan
suatu fakta konstan yang dapat ditemukan pada semua organisme politik. Kelas pertama
yang biasanya terdiri dari orang-orang yang sedikit jumlahnya, menerapkan semua fungsi-
fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati segala keuntungan dari kedudukkan
sbagai pemegang kekuasaan. Kelas kedua yang terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan
serta dikendalikan oleh kelas pertama, dengan cara-cara yang kurang lebih legal,
sewenang-wenang atau dengan kekerasan. Kelas kedua tersebut menyediakan sarna untuk
dapat hidup dan bertahan, serta halhal lainnya yang sangat penting bagi organisme politik.
Di dalam kehidupan sehari-hari, adanya kelas atau golongan yang berkuasa tadi dengan
mudah tampak. Warga masyarakat di manapun juga akan tahu, bahwa suatu minoritas yang
terdiri dari orang-orang yang berpengaruh, mengelola masalah-masalah publik. Dalam
setiap organisme politik ada pribadi yang menjadi kepala dari para pemimpin dari kelas yang
berkuasa sebagai satu kesatuan, yang berada di puncak negara yang bersangkutaan.
Pribadi tadi belum tentu atau tidak selalu adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi
menurut hukum; kadang-kadang disamping seorang raja atau maharaja ada seorang
perdana menteri yang memang kekuasaannya lebih besar.
Kenyataan yang kedua adalah, bagaimanapun tipe organisasi politik, tekanan yang ada
yang berasal dari massa yang tidak puas, mempunyai pengaruh terhadap kelas atau
golongan yang berkuasa. Akan tetapi, seseorang yang menjadi kepala negara, tidak akan
mungkin memerintah tanpa adanya dukungan dari pelbagai golongan, yang menegakkan
kehormatannya serta menegakkan perintah-perintahnya. Walaupun dia berhasil menguasai
satu atau beberapa orang anggota golongan tersebut, tidak mungkin dia berselisih dengan
golongan tersebut atau meniadakannya sama sekali. Kalaupun hal itu terjadi, maka dia harus
membentuk kelas atau golongan lain, oleh karena tanpa adanya dukungan, dia akan
lumpuh. Di lain fihak, kalau suatu massa berhasil menggulingkan golongan yang berkuasa,
maka akan timbul minoritas terorganisasikan dalam massa itu sendiri; apabila hal itu tidak
terjadi, maka seluruh struktur sosial akan hancur.
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-
SYARIF_MOEIS/BAHAN_KULIAH__3.pdf

Unsur Kekuasaan
Menurut Soekanto (2013) unsur kekuasaan mencakup empat (4) hal yaitu rasa takut, rasa
cinta, kepercayaan dan pemujaan. Perasaan takut pada seseorang/kelompok
menimbulkan kepatuhan terhadap kemauan dan tindakan kelompok tersebut. Rasa
Cinta, menghasilkan perbuatan yang cenderung positif, sehingga orang atau kelompok
orang mau bertindak untuk dirinya dan kelompok itu. Kepercayaan selain didasarkan
kepada sifat-sifat universal (jujur, bersih, peduli sesama, toleran, dll) yang dimiliki oleh
seseorang meghasilkan hubungan-hubungan asosiatif secara kolektif, juga terkait
dengan penilaian akan kemampuan (kapasitas) baik dari sisi kemampuan pendidikan
formal, kemampuan kepemimpinan, kekuatan dan keluasan jejaring yang dimiliki,
maupun kemampuan finansial. Sedangkan Pemujaan, penilaian terhadap kualitas
kepribadian yang dipandang langka, meskipun penilaian tersebut tidak terukur secara
kuantitatif, bahkan seringkali seseorang tersebut dipandang memiliki kelebihan indra ke-
enam dan sejenisnya. Hal inilah yang menumbuhkan pemujaan. Semua tindakan
penguasa dianggap benar atau dibenarkan atau menjadi rujukan tindakan
pengikutnya.
Ilustrasi berikut disampaikan untuk memberikan pemahaman. Misalnya, Pada Selasa
(10/11) pagi, Habib Rizieq shihab pulang dari Saudi, dan jutaan manusia menjemput
beliau di bandara. Apakah yang menjemput beliau ini kenal dengan dia secara
langsung?. Itulah kekuasaan bekerja, bagaimana seseorang itu akan ikut seolah-olah
ada magnet di dalamnya. Hal lain keikutsertaan seseorang dalam satu tim atau
kelompok tertentu demonstrasi, adanya arahan satu tokoh sementara diirinya sendiri
tidak cukup dekat (hubungan personal maupun keorganisasian) dengan tokoh tersebut.
Apakah karena rasa takut? Rasa cinta? atau sangat percaya? atau mungkin karena
ada kelebihan dan kemampuan khusus?.
Jadi unsur kekuasaan itu muncul karena rasa takut seseorang yang misalnya kita tidak
bisa berbuat apa-apa dan membiarkan sesuatu terjadi. Hal tersebut terjadilah proses
kekuasaan yang mana terdapat satu penguasa. Rasa cinta, misalnya dalam pemilihan
kepala desa. jika misalnya seorang pemilih memilih calon keala desa karena merasa dia
keturunan orang yang dihormati, dekat dengan masyarakat secara personal, ramah
dan suka berderma juga tidak membantu anggota masyarakat yang sedang kesulitan
ekonomi. Secara akumulatif performa calon kepala desa itu menumbuhkan rasa cinta.
Dapat menjadi pertimbangan calon tersebut memiliki kemampuan dan pengalaman
mengelola suatu administrasi dalam suatu institusi daerah, dan berlatar belakang
oendidikan formal yang cukup tinggi maka menumbuhkan penilaian warga untuk
dipercaya memimpin desa, itulah wujud unsur kepercayaan.
Hal yang mungkin terjadi pada komunitas yang khas (misalnya desa adat) seseorang
memperoleh kekuasaan untuk memimpin komunitas karena memiliki kelebihan yang
bersifat kaulitatif dan memiliki kemampuan khusus (dipandang memiliki indra ke-enam).
Pemimpin tersebut memperoleh kekuasaan karena warga menilai kelebihan-kelebihan
yang mendorong kepada pemujaan (bahkan kemungkinan dipandang sebagai wakil
tuhan).

Sumber Kekuasaan
Setelah mempelajari empat unsur yang memberikan peluang seseorang untuk
mendapatkan kekuasaan, timbul pertanyaan dari mana unsur unsur kekuasaan tersebut
dapat terakumulasi dibenak calon pengikut kepemimpinan (kekuasaan) seseorang ?,
Orang-orang calon pemimpin atau penguasa dapat menunjukkan kapasitas memimpin
atau berkuasa melalui penguasaan sumber sumber kekuasaan diantaranya adalah:
kedudukan, kepercayaan (agama) dan kekayaan (kemampuan material).
Kedudukan: seseorang yang menduduki posisi yang dipandang terhormat, bergengsi,
dan berkuasa, memiliki potensi menghimpun dan memuncukan penilaian pada unsur-
unsur kekuasaan yang telah dijelaskan. Seseorang yang menduduki jabatan seperti
komandan pasukan militer, atau jabatan struktural seperti Rektor Perguruan Tinggi,
Kepala Penjara, atau dalam lingkup terbatas sebagai kepala keluarga atau menjadi
Ketua Kelompok suatu aktivitas, berkesempatan memimpin dan melancarkan
kekuasaan pada bawahan-nya atau orang-orang yang dibawah kedudukannya
tersebut.
Jadi kedudukan seseorang bisa membuat orang lain tunduk dan patuh (unsur
kekuasaan ‘peraan takut’) terhadap seorang penguasa tersebut. Melalui kedudukan,
seorang pemimpin yang melancarkan kepemimpinannya (kekuasaannya) dengan
bijaksana, dengan pendekatan yang menekankan pada pendekatan humanisme,
secara akumulatif menumbuhkan cinta pengikutnya atau bawahannya pada orang
yang mendududuki jabatan tersebut.
Hal serupa jika orang yang menduduki jabatan secara bertanggungjawab, dengan
bijak dan mampu mencapai keberhasilan sesuai target yang ditetapkan, secara
akumulatif menimbulkan kepercayaan pengikutnya akan kapasitas individual atau
kolektif (team work).
Kekayaan: Kepemilikan materi (finansial) meenempatkan seseorang pada kedudukan
sebagai pemimpin karena kekuasaan, karena penguasaan sumberdaya menentukan
kehidupan orang lain. Misal pengusaha kaya-raya mempunyai kemampuan untuk
melancarkan kekuasaan untuk kepentingan social-politik- ekonomi. Melalui kekayaan
dan kemampuan memimpin (menguasai), ia dapat mendudukan seorang politikus
untuk mendukung atau memberikan akses akan keberhasilan bisnisnya. Melalui
kekayaan tersebut pun ia dapat membiaya kepentingan politik, sehingga mampu
menghimpun dukungan politik untuk menduduki kekuasaan tertentu. Melalui kekayaan
tersebut bisa saja mengaktifkan unsur-unsur kekuasaan, seseorang yang menjadi
dermawan sehingga dapat dicintai oleh rakyat atau karena kekayaan seseorang
tersebut mereka bisa membayar orang untuk memeras orang lain. Artinya kekayaan
digunakan untuk membangun rasa takut.
Kepercayaan (Agama-Religi): Kemampuan seseorang akan penguasaan ilmu agama
dapat menjadi panutan (contoh bersikap dan berperilaku) dengan dasar kemampuan
mencerahkan anggota masyarakat (institusi-organisasi). Kemampuan keagamaan
menjadi acuan berperilaku jujur-bertanggung jawab baik di dunia maupun diakhirat,
sehingga ucapan, wejangan (nasehat) dan perintah ulama menjadi pedoman
berperilaku (bertindak) pengikutnya.
seseorang ulama mempunyai kekuasaan terhadap umatnya karena itu alim ulama
disertakan dalam pengambilan keputusan atau memimpin pengambilan keputusan.
Dalam kekuasaan, kepercayaan bisa dilihat dari dua (2) sisi dimana satu sisi
kepercayaan bisa menjadi unsur kekuasaan dan satu sisi lain kekuasaan bisa menjadi
sumber kekuasaan. Tapi poin pentingnya adalah kepercayaan itu begitu penting
kedudukannya dalam kekuasaan.

Saluran Kekuasaan
Soekanto (2013) menyatakan bahwa kekuasaan itu dilaksanakan dengan melalui
saluran-saluran atau media tertentu, yaitu yang meliputi saluran : Militer, Ekonomi, Politik,
Tradisi, Ideologi dan saluran lainnya. Saluran menunjuk pada ‘kendaraan’ untuk
melancarkan kekuasaan, sehingga penguasan dapat menerapkan kekuasaannya.
1. Militer. Institusi militer (dalam perkembangannya termasuk kepolisian) merupakan
wahana-‘kendaraan’ untuk menerapkan kekusaan, terutama untuk mengendalikan
situasi agar menjadi kondusif dalam menjalankan kekuasaan. Di dalam
melaksanakan kekuasaan,pfihak penguasa akan lebih banyak mempergunakan
pola paksaan (coercion) serta kekuatan militer (military force), tujuan utamanya
adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat, sehingga mereka
tunduk-patuh kepada keinginan penguasa atau sekelompok orang yang dianggap
sebagai penguasa. untuk kepentingan pelaksanaan kekuasaan, maka dibentuk
oraganisasi dan pasukan khusus (missal Dinas intelijen), yang mengontrol
sejauhmana kekuasaan diterima oleh masyarakat dan menekan pihak-pihak yang
menentang kekuasaan. Berkembangnya demokrasi dan munculnya kelompok-
kelompok masyarakat sipil (masyarakat madani), saluran militer mulai menurun
pengaruhnya, khususnya pada masa damai dan pendekatan pembangunan yang
lebih partisipatif (misalnya diberlakukan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah).
2. Ekonomi. Saluran ekonomi dimanfaatkan oleh penguasa, bilamana penguasa
berusaha menguasai sumberdaya ekonomi yang menguasai hajat hidup orang
banyak, melalui pola penguasaan ini penguasa dapat menetapkan dan
melaksanakan peraturan-peraturan (undang-undang dan peraturan pemerintah
dan turunannya; seperti undang undang monopoli) serta sanksi-sanksi tertentu
(perdata maupun pidana: missal penerapan UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara). Bentuknya bisa berupa monopoli, penguasaan sektor-sektor
penting dalam masyarakat atau penguasaan kaum buruh.
3. Politik. Kekuasaan dapat direngkuh melalui saluran politik, sebagaimana diketahui
kendaraan politik ini direpresentasikan melalui partai politik. Sehingga baik secara
langsung maupun tidak langsung pimpinan partai politik merengkuh kekuasaan
maupun melalui keanggotaan dalam lembaga politik (DPR/DPRD). Melalui saluran
politik, penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat peraturan-peraturan
yang harus ditaati oleh masyrakat, dengan cara meyakinkan (melalui pidato politik-
kampanye) atau memaksa masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan yang
dibuat oleh lembaga atau badan-badan yang berwenang dan legal.

4. Tradisi. Kekuasaan yang direngkuh dan dijalankan melalui saluruan tradisi, baik pada
kekuasaan kelompok khusus dimana kekuasaan secara tradisi diturunkan dari
generasi penguasa ke generasi keturunannya atau pada masyarakat kesultanan-
kerajaan dalam bentuk dinasti kekuasaan. Pada era modern diwujudkan dalam
birokrasi pemerintahan yang lebih bersifat personal birokrasi merupakan bias atau
penyimpangan ciri birokrasi legal rasional (Weber, 1954). Saluran tradisi ini biasanya
merupakan saluran yang paling disukai, karena ada keselarasan antara nilai-nilai
yang diberlakukan dengan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi dalam suatu
masyarakat, sehingga pelaksanaan kekuasaan dapat berjalan dengan lancar.
5. Ideologi Melalui doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran yang digunakan untuk
pembenaran bagi penguasa. Misalnya doktrin revolusi akhlak, jika itu menjadi
saluran dan gagasan revolusi akhlak sudah dilontarkan. Maka segera orang-orang
akan mendukung hal tersebut karena dapat memperbaiki kehidupannya.
Penguasa-penguasa biasanya mengemukakan serangkaian ajaran-ajaran (doktrin-
doktrin), yang ditujukan untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar
pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya. Penguasa mengeluarkan doktrin-
doktrin agar kekuasaannya dapat menjelma menjadi wewenang (kekuasaan yang
mendapat pengakuan warga). Setiap penguasa berusaha untuk dapat
menerangkan ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga melembaga
(institutionalized) bahkan mendarah daging (internalized) dalam diri warga-warga
masyarakat.
6. Komunikasi. Komunikasi merupakan saluran lain (selain ideologi, ekonomi, militer,
politik dan tradisi). Hadirnya teknologi informasi, memberikan ruang dan peluang
penguasa untuk melancarkan kekuasaan bahkan mempertahankan kekuasaan
yang dijalankan Media komunikasi sangat ampuh untuk membentuk opini
masyarakat, sehingga penguasa dapat menggiring masyarakat untuk menerima
informasi-informasi pelaksanaan kekuasaan bahkan dapat membungkam pihak-
pihak yang dipandang mengancam kekuasaan yang dijalankan. Monopoli
penyiaran pada media massa atau membuat dan menerapkan undang-undang
penyiaran dengan sanksi kepda pihak-pihak yang berbeda pendapat, merupakan
upaya penerapan kekuasaan melalui saluran komunikasi.
Pada era digital information, saluran komunikasi dalam batas tertentu menjadi saluran
kekuasaan dalam makna penguasaan jejaring sosial sehingga mampu membentuk
‘pengikut’ yang loyal mengikuti apa yang disampaikan atau yang digagas oleh
penguasa. Penguasaan terhadap media komunikasi dan jejaring. Bagaimana media
sosial menjadi unsur penting dalam mendapatkan kekuasaan? Misalnya, aktor Atta
Halilintar mempunyai pengikut terbanyak untuk youtuber di kawasan asia yang berarti
banyak pengikut. Itulah yang disebut sebagai kekuasaan, ia menggunakan saluran
komunikasi untuk mendapatkan kekuasaan karena dari setiap postingannya itu selalu
membuat orang tertarik untuk membaca postingannya.

Gambar 9.1. Saluran-saluran Kekuasaan

Cakupan dan Domain Kekuasaan


Hakikat kekuasaan dalam pelbagai bentuk itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang
atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Kekuasaan
mempunyai suatu sifat khas, yakni ia cenderung untuk merangsang yang memilikinya
untuk lebih berkuasa lagi. Dengan demikian mengingat sifat dan hakikat kekuasaan,
jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan begitu saja dapat diserahi kekuasaan.
Ia harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang kekuasaan, harus memiliki semangat
mengabdi kepentingan umum (sense of public service). Selain itu Kekuasaan sering kali
dipandang sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih kesatuan, sehingga
kekuasaan dianggap mempunyai sifat yang relational (Sudarmika U, 2012).
Oleh karena itu untuk mencegah lahirnya kekuasaan mutlak tanpa batas, institusi
birokrasi atau masyarakat memberikan batasan atau ruang lingkup kekuasaan (scope
of power) dan rentang wilayah kekuasaan (domain of power). Ruang lingkup kekuasaan
(scope of power) adalah bahwa kekuasaan mencakup suatu kegiatan, tingkah laku
(perilaku) serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi objek kekuasaan.
Jangkauan kekuasaan (domain of power). Kata domain dalam KBBI nermakna wilayah
atau ranah. Domain kekuasaan adalah ranah kekuasaan pelaku, kelompok, organisasi
atau kolektivitas lain yang terkena kekuasaan. Domain kekuasaan dapat dikaitkan
sejauh mana penerapan kekuasaan berpengaruh terhadap kepatuhan pada
pengikutnya (orang orang dibawah kekuasaan). Sehingga perlu dijelaskan kaitan
antara kekuasaan dan pengaruhnya.
Budiardjo, Soeseno dan Evaquarta (2014) dalam tulisan berjudul Ilmu Politik: Ruang
Lingkup Dan Konsep, menyatakan bahwa pengaruh dan kekuasaan memang
mempunyai hubungan sangat erat. Pada umumnya seseorang yang mempunyai
kekuasaan juga mempunyai pengaruh. Kendatipun orang mempunyai kekuasaan yang
sama tidak selalu mempunyai pengaruh yang sama besar.

Didalam tulisan tersebut diberikan contoh: Dua orang kepala desa yang samasama
berkuasa atas desanya masing-masing, bisa saja mempunyai pengaruh yang berbeda.
Barangkali kepala desa yang satu hanya berpengaruh di lingkungan desanya,
sedangkan kepala desa yang lain berpengaruh melebihi batas-batas desanya. Hal ini
disebabkan oleh karena pengaruh senantiasa berkaitan dengan pribadi seseorang.
Faktor ini pula yang menyebabkan bahwa pengaruh tidak selalu harus dikaitkan dengan
kekuasaan. Tidak mustahil bahwa seorang pemuka agama, yang tidak memiliki
kekuasaan formal, lebih disegani masyarakat sekitarnya daripada seorang kepala desa.
Tetapi pemuka agama itu tidak dapat menggunakan kekerasan fisik untuk menghukum
salah seorang warga masyarakat yang tidak bersedia mengikuti upacara keagamaan
yang dipimpinnya. Hal ini berbeda dengan kedudukan kepala desa apabila
menghadapi seorang warganya yang enggan membayar pajak. Laporan kepala desa
kepada pejabat urusan pajak dapat mengakibatkan si wajib pajak dikenakan hukuman
kurungan (penjara) Budiardjo, Soeseno dan Evaquarta (2014).

Box 9.2.
Ilustrasi Ruang lingkup kekuasaan (scope of power) dan Jangkauan kekuasaan (domain of
power)
Jika kita lihat pada fenomena rizieq shihab, pengikut dia itu apakah dari kelompok islam saja
atau mungkin saat ini juga masuk pada organisasi mahasiswa atau organisasi-organisasi
petani. Jadi semakin banyak bentuk organisasi yang mendukung setiap orang, maka dapat
dikatakan semakin luas wilayah kekuasaanya. Sementara yang menjadi cakupan kekuasaan
itu sebetulnya adalah keahliannya. Misalnya orang sangat menghormati Hotman Paris karena
dia merupakan pengacara yang kondang, sehingga hanya dari unsur kepengacaraannya
saja. Jadi dia memegang kekuasaan tertinggi dalam pengertian mempunyai pengaruh
dalam bidang hukum, tetapi kemudian beliau banyak menangani misalnya ada kelompok
artis yang menggunakan jasanya, atau mungkin pengusaha-pengusaha luar negeri, atau
juga kalang pengusaha dalam negeri. Itulah wilayah kekuasaannya, tetapi cakupan
kekuasaannya yaitu bidang khusus yang menjadi domain seseorang.

Cara Mempertahankan Kekuasaan


Jika merujuk pada sifat kekuasaan dimana cenderung untuk merangsang yang
memilikinya untuk lebih berkuasa lagi, maka pemegang kekuasaan cenderung untuk
mempertahankan kekuasaannya. Namun demikian didalam birokrasi modern (era
demokrasi) kekuasaan dibatasi baik dari sisi periode waktu, Ruang lingkup kekuasaan
(scope of power) maupun Jangkauan kekuasaan (domain of power).
Terdapat empat (4) cara untuk mempertahankan kekuasaan antara lain:
1. Menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang politik,
yang dianggap merugikan kedudukan penguasa.; peraturan-peraturan tersebut
akan digantikannya dengan peraturan-peraturan baru yang akan menguntungkan
penguasa; keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu akan ada pergantian
kekuasaan dari seorang penguasa kepada penguasa yang lain

2. Mengadakan sistem-sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh


kedudukan penguasa atau golongannya, sistem-sistem itu meliputi ideologi, agama
dan lainnya,

3. Menyelenggarakan administrasi dan birokrasi yang baik, yang dianggap lebih


memudahkan kehidupan orang banyak.
4. Senantiasa mengadakan konsolidasi secara horisontal dan vertikal.
Menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang politik,
yang dianggap merugikan kedudukan penguasa dicontohkan dalam Box 9.3.
Penyelenggaraan administrasi dan birokrasi yang baik dapat dicontohkan pemerintah

Box 9.3.
Upaya Mempertahankan Kekuasaan
Menghilangkan/ mengganti peraturan-peraturan yang lama Menghilangkan/ mengganti
peraturan-peraturan yang lama (terutama dalam bidang politik) yang merugikan kedudukan
penguasa dan diganti dengan peraturan-peraturan yang menguntungkan penguasa.
Jadi ini konteksnya adalah birokrasi karena dengan pengaturan lama, misalnya dahulu masa
Soekarno sudah dibuat UU bahwa pemilihan presiden itu setiap 5 tahun sekali. Tetapi pada
suatu saat ada Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tahun 1964 untuk menjadikan Soekarno
sebagai presiden seumur hidup, hal tersebut artinya mengganti peraturan yang ada di dalam
UUD 1945. Hal tersebut dilakukan agar kekuasaan tetap berlaku. Jadi menghilangkan atau
mengganti peraturan lama yang merugikan kedudukan penguasa dan diganti oleh
peraturan baru yang lebih menguntungkan.
*TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tahun 1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Ditetapkan 18 Mei
1963•Berlaku 18 Mei 1963.

menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) melalui aplikasi
Sistem e-Budgeting, Smart city dan system administrasi satu atap. Mengadakan sistem-
sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau
golongannya, misalnya seorang kepala desa saat berkuasa (periode pertama) akan
membuat program yang mampu mengatasi masalah utama dan mendesak (misalnya
membangun infrastruktur jalan-jembatan), membuat terobosan peningkatan ekonomi
dan membuka lapangan kerja (membuat desa wisata- bersama BUMDesa), sehingga
kepala desa tersebut menjadi populer (terkenal sebagai tokoh yang berhasil).
Kepopulerannya tersebut menjadi “kartu as” saat pencalonan kepala desa beruikutnya,
karena terpilih lagi di periode berikutnya, bahkan memiliki peluang dipromosikan
menduduki jabatan tingkat yang lebih tinggi.

Mengadakan konsolidasi horizontal dan vertikal. Konsolidasi dilakukan dalam upaya


menrangkai kinerja untuk mencapai target yang ditetapkan dan memupuk
kepercayaan sehingga memperoleh dukungan baik dalam internal ruang lingkup
kekuasaan (scope of power) maupun lingkungan eksternal (masyarakat dan para
stakeholder kemitraan desa). Tindakan lain misalnya bijaksana baik dalam urusan
vertikal pemerintahan kepada bawahan maupun pada atasan, kemudian juga sering
silaturahmi menghadiri acara sosial-budaya dan keagamaan misalnya menghadiri
pesta adat-pesta rakyat, peringatan hari-hari besar keagamaan, yang merupakan
urusan horizontal.

Wewenang dan Tipe Wewenang


Wewenang (dan Legitimasi)
Wewenang (authority) adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan)”
(Bierstedt R dalam Budiardjo, 2010), wewenang dalam makna lain sebagai kewibawaan.
Jika kekuasaan itu dialami atau diterima oleh masyarakat, maka kekuasaan itu berubah
menjadi kewibawaaan. Jadi kewibawaan adalah kekuasaan yang diakui.
Wewenang ini dasarnya dari kekuasaan, wewenang itu adalah satu bentuk dari
kekuasaan yang mendapat pengesahan atau sudah disahkan dan diakui. Misalnya
orang terpilih sebagai kepala desa berarti dia mempunyai kekuasaan tetapi belum
punya wewenang untuk memerintah kecuali jika dia sudah mendapatkan SK (Surat
keputusan) dan sudah dilantik.
“Authority refers to accepted power- it is, power that people agree to follow”. setiap
orang memberikan pengakuan resmi terhadapnya, jika di lembaga formal maka akan
mendapatkan cap dan SK tetapi jika di lembaga tradisional maka cukup dengan
melakukan upacara.
Kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan
dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soekanto 2013:228). seseorang
menjadi preman bisa mendapatkan kekuasaan tetapi belum tentu dia memperoleh
legalitas boleh melaksanakan tugas keamanan jika tidak diangkap sebagai satpam.
Jadi secara kekuasaan bahwa dia memang penguasa di bidang premanisme tidak ada
yang mengalahkannya, tetapi apakah dia akan menjadi pemegang kekuasaan di
bidang keamanan secara formal itu jika dia diangkat oleh RW nya atau oleh
lingkungannya. Jadi istilah lainnya adalah kekuasaan yang dilembagakan atau
kekuasaan formal.
Terkait dengan uraian wewenang, maka perlu dijelaskan tentang wewenang (authority)
dan keabsahan (legitimacy). Wewenang berurusan dengan pertanyaan “siapakah
yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku masyarakat dengan
paksaan”. Dikatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal, sedangkan
keabsahan lebih menjelaskan mengapa kedudukan seseorang dapat diterima oleh
masyarakatnya. Pemuka agama dalam contoh di atas, betapapun mempunyai
pengaruh besar di lingkungan masyarakatnya, tetapi ia tidak mempunyai wewenang
atau kekuasaan formal terhadap warga masyarakat lainnya. Di lain pihak, kepala desa
mempunyai kewenangan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat di dalam wilayah
kekuasaannya. Kepala desa oleh karena kedudukannya mempunyai wewenang atau
kekuasaan formal, Contoh sederhana yang telah dikemukakan di atas menunjukkan
bahwa wewenang lebih mempersoalkan sanksi, sedangkan keabsahan lebih
mempersoalkan kepatuhan, dengan atau pun tanpa sanksi (Budiardjo, Soeseno dan
Evaquarta (2014)).

Cara Mempertahankan Legitimasi


Legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral
pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik. Legitimasi
hanya dari anggota masyarakat, dalam arti massa dan kelompok sosial yang
mempunyai kekuasaan potensial, seperti militer, kelompok agama, birokrasi, dan
sebagainya (Hidayat,C .Terdapat tiga (3) cara untuk mempertahankan legitimasi yaitu:
1. Simbolis: manipulasi kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan dan
nilai budaya. Cenderung bersifat ritualistik, sakral, retorik dan mercusuar. Contohnya
melalui pembangunan monumen, penggunaan istilah-istilah, dan membuat slogal.
slogan “revolusi belum selesai” dan lainnya yang dikampanyekan Bung Karno pada
masa Orde Lama, atau “Bapak Pembangunan”bagi Presiden Soeharto yang
dikampanyekan oleh menteri Penerangan Harmoko pada masa Oede Baru.
2. Materiil: janji dan memberikan fasilitas, seperti kesehatan, transportasi, pendidikan,
dan lain sebagainya. Sebagai contoh pembangunan jalan tol, pembangunan
prasaranan ibadah keagamaan, pembangunan Bandara, pembangunan
pelabuhan laut dan lain sebagainya.
3. Prosedural, khususnya melalui pemilihan umum. Di negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer, seperti Inggris, PM berhak untuk mengadakan
pemilihan umum yang dipercepat, jika dukungan di parlemen berkurang. Pemilu ini
dapat dilihat sebagai mekanisme untuk mengukur dan, mungkin kalau bisa,
sekaligus mengukuhkan kembali legitimasi pemerintahan yang dipimpinnya
Tipe Wewenang
Tipe wewenang (Weber 1974: terdapat tiga (3) jenis wewenang antara lain wewenang
Kharismatik (Charismatic Authority), wewenang tradisional (Traditional Authority) dan
wewenang Legal Rasional (Legal-Rational Authority).
1. Charismatic Authority, wewenang yang didasarkan pada kharisma yang
merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang,
kemampuan mana yang diyakini sebagai pembawaan seseorang sejak lahir (Moeis
S, 2008).. wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas atau mutu yang luar
biasa dari dirinya. Kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa,
tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh-sungguh atau hanya
berdasarkan dugaan orang belaka tanpa memerlukan pembuktian. Contoh
Charismatic authority: para dukun, pemimpin suku, pemimpin pergerakan, juga
Soekarno, serta Nelson Mandela.
Mereka (pengikut) menganggap bahwa sumber kemampuan tersebut berada
diatas kekuasaan dan kemampuan manusia umumnya. Sumber dari kepercayaan
dan pemujaan itu adalah karena seseorang memiliki kemampuan khusus, dan
keberadaannya akan tetap ada selama masyarakat banyak merasakan manfaat
dan gunanya. (Moeis S, 2008).
Dasar dari wewenang ini bukan terletak pada suatu peraturan atau hukum,
melainkan bersumber pada diri pribadi individu yang bersangkutan. Wewenang
kharismatis ini tidak diatur oleh kaidah-kaidah yang tradisional maupun rasional;
sifatnya adalah irrasional.
Tidak jarang terjadi bahwa kharisma yang dimiliki seorang itu dapat hilang, seiring
dengan dinamika dan perkembangan masyarakat yang memungkinkan terjadi
perubahan-perubahan dalam masyarakat sehingga ada perbedaan-perbedaan
faham dari berbagai nilai yang tadinya disepakati bersama; perubahan mana yang
tidak sesuai lagi dengan kharisma individu yang bersangkutan, sehingga ia
tertinggal oleh kemajuan dan perkembangan masyarakat (Moeis S, 2008).
2. Traditional Authority, keabsahan berlandaskan kepercayaan yang mapan terhadap
kedudukan tradisi-tradisi turun temurun serta legitimasi status mereka yang
menggunakan otoritas yang dimilikinya. Aturan yang mendasari legitimasinya
dianggap telah ada sejak lama dan dihormati sepanjang waktu secara turun-
temurun.

Sumber wewenang tradisional bukan dari kemampuan-kemampuan khusus seperti


yang ada pada wewenang khrismatis, akan tetapi oleh karena seorang atau
beberapa orang itu memiliki kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga
dan bahkan menjiwai masyarakat; dimana orang atau beberapa orang itu sudah
lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam masyarakat, sehingga orang banyak
menjadi percaya dan mengakui kekuasaan itu. (Moeis S, 2008).

Pada masyarakat dimana penguasa mempunyai wewenang tradisional, tidak ada


pembatasan yang tegas antara wewenang dengan kemampuan-kemampuan
pribadi seseorang, yang terlepas dari wewenang tersebut; dalam hal ini sering kali
hubungan kekeluargaan memegang peranan penting dalam pelaksanaan
wewenang. (Moeis S, 2008).
Misalnya masyarakat adat itu aturannya sudah turun temurun dan sudah ada
jabatan yang ditetapkan dan diberikan kepada siapa berikutnya akan di turunkan,
jadi tidak bisa diberikan secara sembarang kepada orang lain. Karena tradisional itu
mengikuti tatanan-tatanan lama yang tidak tertulis. Contoh tradisional authority:
ketua adat tradisional, ratu Elizabeth di Inggris, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X di
Kasultanan Yogyakarta.

Box. 9.4.
Masyarakat Adat : Figur Kepala Adat, Antara Kekuasaan dan Wewenang
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang masih menyelenggarakan keberlakuan
hukum adat, biasanya pada bentuk masyarakat yang masih sederhana dan jauh dari
peradaban modern, dimana semua kekuasaan, pemerintahan, ekonomi dan sosial
dipercayakan kepada kepala-kepala masyarakat-masyarakat hukum adat tadi untuk
seumur hidup (biasanya juga berlaku pola pewarisan kepemimpinan). Kerana luasnya
kekuasaan dan karena besarnya kepercayaan yang menyeluruh dari masyarakat
hukum adat kepada kepala-nya tadi, maka pengertian kekuasaan dan pengertian
orang yang memegangnya lebur menjadi satu. Dalam bentuk masyarakat seperti ini
agaknya sukar untuk membedakan batas-batas antara kekuasaan (yang tidak resmi)
dengan wewenang (yang resmi)
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-
SYARIF_MOEIS/BAHAN_KULIAH__3.pdf

3. Legal-Rational Authority, bentuk wewenang yang berkembangn dalam kehidupan


masyarakat modern yang dibangun atas legitimasi sebagai hak bagi yang
berkuasa. Berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi
kedudukan seorang pemimpin. Contoh : legal-rational authority: polisi, rektor, ketua
koperasi, ketua “Lembaga Adat Formal/ Modern”.
Wewenang legal yaitu wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang
berlaku dalam masyarakat, sistem hukum mana difahamkan sebagai kaidah-kaidah
yang telah diakui serta ditaati oleh masyarakat, dan bahkan yang telah diperkuat
oleh negara (Moeis S, 2008).
Didalam masyarakat yang relatif demokratis, maka sesuai dengan sistem hukumnya,
orang-orang yang memegang kekuasaan diberi kedudukan menurut jangka waktu
tertentu dan terbatas. Gunanya adalah agar supaya orang-orang yang memegang
kekuasaan tadi akan dapat menyelenggarakannya sesuai dengan kepentingan
masyarakat (Moeis S, 2008)
Dengan semakin populernya sistem demokrasi pada jaman sekarang ini, maka
wewenang tradisionil yang diwujudkan dengan pola kekuasaan yang turun temurun dari
orang tua kepada anak, kelihatannya semakin berkurang.; di dalam suatu masyarakat
yang mengalami perubahan-perubahan secara cepat, mendalam dan meluas,
wewenang kharismatis mendapat kesempatan tampil ke muka; dalam keadaan yang
demikian tradisi kurang mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat. (Moeis S,
2008)

Berdasarkan tipe wewenang diatas, yang ada untuk saat ini yaitu tipe wewenang legal-
rational authority karena untuk traditional authority dan charismatic authority itu sudah
lewat masa berlakunya, tetapi dalam praktik birokrasi syarat-syarat tradisional tetap
dipakai dan unsur karismatik tetap menjadi pertimbangan dan praktiknya tetap dalam
legal-rational authority.
Tipe Pelapisan Kekuasaan
1. Tipe kasta

Berdasarkan gambar disamping, seorang raja


pasti berasal dari bangsawan dan tidak bisa
dari yang lain. Jadi raja adalah berasal dari
bangsawan yang kemudian naik ke atas dan
naik posisi yang terlihat dari garis putus-putus.
Sementara yang dibawah, bisa dilihat ada
garis tebal pada gambar. Itu artinya mereka
tidak mungkin orang naik kelas, misalnya
orang kaya bekerja di pemerintahan maka
dia tidak bisa naik kelas dan tidak bisa menjadi
raja karena bukan dari bangsawan. Hal Gambar 9.2. Tipe Kasta pelapisan
tersebut dikarenakan adanya garis tegas, kekusaan dan wewenang
tetapi jika misalnya adanya garis tegas, tetapi
jika misalnya tukang itu bisa saja tapi itu pun
dibatasi dan tetap tidak bisa menjadi raja.

2. Tipe oligarkis
Berdasarkan gambar 9.3., tipe oligarkis ini
ada penguasa tetapi kemungkinan orang
tersebut naik status itu sangat terbuka.
Namun tetap saja pengambil keputusan
akhirnya adalah penguasa tunggal, itu
oligarkis karena seolah-olah terbuka.
Istilahnya membangun dinasti, yaitu orang
dari bawah bisa naik untuk merebut posisi.
Jadi bedanya oligarkis dengan sistem kasta
yaitu hanya satu: kemudahan untuk naik Gambar 9.3. Tipe oligarkis pelapisan
kelas, karena akan lebih terbuka pada kekusaan dan wewenang
oligarkis, tapi kesamaannya adalah ada
satu yaitu adanya penguasa tunggal.

3. Tipe Demokratis
Berdasarkan gambar 9.4. meskipun tipe
demokratis ini terdapat presiden dan
perdana menteri tetapi mereka bukan
penentu utama. Jadi ada unsur
kesamaannya dengan oligarkis yaitu
adanya peluang untuk naik kelasnya
terbuka. Tetapi pada demokrasi yang
mengendalikannya bukan orang
perorangan melainkan kolektif. Misalnya
pembuatan UU harus didiskusikan, lalu
dan ditandatangani oleh pemerintah Gambar 9.4. Tipe demokratis pelapisan
dan DPR, disini presiden tinggal tanda kekusaan dan wewenang
tangan saja. Walaupun ada posisi lebih
tinggi yang diberikan, tetapi itu tidak
mutlak.

Tipologi Praktek Kekuasaan dan Wewenang


Kekuasaan sering kali dipandang sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih
kesatuan, yaitu penguasa danpengikut kekuasaan, sehingga kekuasaan dianggap
mempunyai sifat yang relational. Penguasa melancarkan kekuasaan sehingga pengikut
akan menerima dengan terpaksa maupun sukarela.
Oleh karena itu hubungan antara penguasa dan pengikut, dapat dinilai dari
bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh dan bagaimana dukungannya, memperoleh
legitimasi (sah) -tidak mendapat legitimasi (tidak sah). Selain itu kekuasaan juga dapat
diterapkan dengan cara bijaksana (tanpa kekerasan, persuasive) atau harus
diterapkan dengan tindakan kekerasan dan tekanan (coercion).

Gambar 9.5. Tipologi praktek kekusaan dan wewenang


Berdasarkan Gambar 9.5 di atas ada empat tipologi kekuasaan dan wewenang, garis
vertikal menunjukkan dah dan tidak sedangkan garis horizontal menunjukkan dengan
kekerasan atau tidak dengan kekerasan.
1. Kuadran I: kekuasaan dan wewenang sah dengan kekerasan, yaitu kekuasaan
negara yang dijalankan oleh lembaga-lembaga khusus. Biasanya berlaku pada
jaksa, polisi, Leasing (deb collector), dll. Mereka diberi kewenangan untuk
memaksa dan itu ada aturan dan undang-undangnya. Contoh tindakan Deb
collector yang dilakukan dengan paksaan meskipun memperoleh ‘kekuasaan
sah’ dari pihak leasing, Box 9.5.
2. Kuadran II: kekuasaan dan wewenang sah tanpa kekerasan, contohnya
kekuasaan negara, masyarakat adat, lembaga patron-client, dan LSM. Dalan
tipologi ini, contohnya dalam satu perahu ada kapten, ada tekong, dan ada
juragan tetapi satu sama lain harus saling menghormati tanpa kekerasan.
3. Kuadran III: -kekuasaan dan wewenang tanpa kekerasan tapi tidak sah,
contohnya lembaga pelacuran, lembaga percaloan, dan rentenir. Biasanya
dalam tipologi ini ada kesepakatan yang sukarela dan berbuat diam-diam tanpa
kekerasan tapi tidak sah.
4. Kuadran IV: kekuasaan dan wewenang dengan kekerasan tapi tidak sah,
contohnya gembong narkoba, makar, dan terorisme.
Box 9.5.
Debt Collector Suruhan Leasing Tarik Paksa Kendaraan Bermotor, Bagaimana Aturannya?
Kasus pengambilan paksa kendaraan bermotor oleh debt collector karena tunggakan cicilan
terus berulang. Tidak sedikit kasus yang berujung kericuhan hingga bentrokan antarkelompok.
Terakhir, kelompok debt collector mencoba merampas mobil yang melintas di daerah Koja,
Jakarta Utara. Saat itu, mobil dikemudikan anggota TNI Serda Nurhadi. Anggota Babinsa
Semper Timur, Cilinding itu sedang membawa mobil berisi seseorang yang sedang sakit menuju
rumah sakit. Apakah pengambilan paksa kendaraan bermotor karena tunggakan cicilan
diperkenankan secara hukum?
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, yang
bersifat final dan mengikat, mekanisme eksekusi jaminan Fidusia, dalam hal ini penarikan
kendaraan bermotor debitur, berubah secara hukum. Sebelumnya, UU Jaminan Fidusia
menyamakan kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Dengan kata lain, perusahaan leasing dapat menarik kendaraan bermotor yang berada
dalam penguasaan debitur, jika terjadi cidera janji alias menunggak cicilan. Namun, putusan
MK pada intinya tidak lagi memungkinkan kreditor/lessor untuk mengeksekusi langsung barang
jaminan fidusia jika debitur/lesse keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi
jaminan fidusia. Jika ada debitur yang menunggak cicilan kendaraan bermotor, maka pihak
leasing harus mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan negeri.
MK memutuskan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji
(wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi
jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi
Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap." Sebaliknya, menurut MK,
perusahaan leasing boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan jika debitur mengakui
adanya wanpretasi dan bersedia menyerahkan kendaraan.
“Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia
(kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian
waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur
secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada
kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri,” demikian pertimbangan MK.
"Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah
“cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek
perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh
penerima fidusia (kreditur),” lanjut putusan MK. Perampasan oleh debt collector atau mata
elang Pascaputusan MK, aksi perampasan kendaraan bermotor oleh debt collector atau yang
biasa disebut “mata elang” masih saja terjadi.
Lanjutan……………………….
Box 9.5. Debt Collector Suruhan Leasing Tarik Paksa Kendaraan Bermo
Perusahaan leasing kerap menggunakan pihak ketiga, yaitu jasa penagihan profesional atau
debt collector untuk melakukan penagihan. Praktiknya, para debt collector tidak jarang
mengabaikan norma dengan melakukan tindakan paksa, tidak menunjukkan bukti dan
dokumen resmi, menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, hingga
mengancam membunuh. Ketika Anda berhadapan dengan debt collector yang hendak
mengambil kendaraan bermotor karena tunggakan cicilan, berdasarkan putusan MK, ada
dua opsi yang bisa diambil.
Jika Anda mengakui melakukan wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan kendaraan,
maka debt collector bisa mengambil unit kendaraan. Namun, jika Anda tidak berkenan
menyerahkan kendaraan dengan alasan tertentu, maka sebaiknya mencari bantuan polisi
terdekat. Tindakan mengambil paksa kendaraan merupakan tindak pidana karena debt
collector tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penarikan – penyitaan sepihak.
Pelaku berpotensi dijerat pasal 378 dan/atau pasal 365 KUHP. Pasal 378 KUHP mengatur "Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan
barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Sementara Pasal 365 KUHP mengatur pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan terancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah, perusahaan leasing dapat melakukan
tindakan persuasif dengan datang secara baik-baik ke debitur serta melakukan upaya
negosiasi.
Harapannya, pihak debitur sukarela menyerahkan objek sehingga tidak menimbulkan masalah
baru. Langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah mengajukan permohonan eksekusi
kepada pengadilan.
Sumber: Kompas.com - 16/07/2021, 06:00 WIB
Yohanes S. Hasiando Sinaga | Editor Sandro Gatra
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2021/07/16/060000880/debt-collector-
suruhan-leasing-tarik-paksa-kendaraan-bermotor?page=all

Daftar Pustaka
Budiardjo,M dkk. (2014). pengantar ilmu politik (ed. ke-1; cet. ke-
22). tangerang: Universitas Terbuka
Budiardjo, M (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama
Budiardjo, Soeseno dan Evaquarta. 2014. Ilmu Politik: Ruang Lingkup dan Konsep,
http://repository.ut.ac.id/4304/1/ISIP4212-M1.pdf

Harjanto 2017. Elit, Massa dan Kekuasaan, Suatu Bahasan Pengantar.


file:///C:/Users/HP/Downloads/elit-massa-dan-kekuasaan-haryanto.pdf
Hidayat,C.2013.Konsep-Konsep Dasar dalam Ilmu Politik.
https://ocw.ui.ac.id/pluginfile.php/117/mod_resource/content/0/OCW%202013
%20-%20PIP%2002%20Konsep-Konsep%20Dasar% 20dalam%20Ilmu%20Politik.pdf
Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tahun 1963 tentang Pengangkatan Pemimpin
Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia
Seumur Hidup. https://www.hukumonline.com/
pusatdata/detail/lt50597ef399756/node/657/ketetapan-mprs-nomor-iii-mprs-
1963-tahun-1963)
Moeis S, 2008. Bahan Ajar Struktur Sosial : Kekuasaan, Wewenang dan Kepemimpinan.
Mata kuliah Struktur dan Proses Sosial Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI
Bandung. (http://file.upi.edu/
Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/195903051989011-
SYARIF_MOEIS/BAHAN_KULIAH__3.pdf)

Soekanto.S (2013) Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers: Jakarta.


Sudarmika U, 2012. Hakikat Kekuasaan. (http://sudarmika-undwi.blogspot .com
/2012/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html)

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah).


UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2oo9
Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara).
Weber, Max . 1974. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free
Press.
BAB X
KOMUNIKASI: MERAJUT HUBUNGAN
SOSIAL
Djuara P. Lubis, Sarwititi, Asri Sulistiawati, Ratri Virianita,
Widya Hasian Situmeang

Pengantar
Coba buat daftar kegiatan yang Anda lakukan sejak bangun pagi sampai
sekarang! Pasti, banyak kegiatan Anda berhubungan dengan
berkomunikasi. Mungkin, setelah bangun Anda mulai berfikir
merencanakan kegiatan hari ini, sembahyang, membuka gadget
memeriksa chat, menelepon berbicara dengan teman atau orangtua,
membaca, mendengar kuliah, dan sebagainya. Itu semuanya kegiatan
berkomunikasi. Penelitian di Amerika menunjukkan, sekitar 70 persen
aktivitas mahasiswa selama dia bangun adalah berkomunikasi. Begitu
banyaknya kita berkomunikasi, sehingga dikatakan manusia tidak dapat
tidak berkomunikasi. Ketika Anda diam tidak berbicara, saat itu Anda
sudah berkomunikasi kepada orang lain.
Pada hakekatnya, komunikasi merupakan proses yang merajut semua
interaksi sosial. Semua proses dan struktur sosial diwujudkan dalam proses
komunikasi. Kekuasaan dijalankan dan diekspresikan melalui proses
komunikasi, dan bahasa yang kita pakai pun turut menggambarkan status
sosial kita. Karena itu, Edward T. Hall mengatakan communication is culture,
culture is communication.
Apakah komunikasi itu? Komunikasi merupakan proses berbagi pesan di
antara pelakunya. Ketika berkomunikasi, para pelaku komunikasi ini
mempertukarkan pesan dalam bentuk simbol yang sama-sama mereka
pahami. Ada beragam simbol yang dipakai dalam berkomunikasi,
misalnya bahasa tertulis, bahasa lisan, gerak tubuh, gerakan bendera,
suara kentongan, rambu lalu lintas dan sebagainya.
Kembali ke daftar kegiatan Anda tadi. Kepada siapa saja Anda
berkomunikasi? Ada beberapa aras (level) komunikasi. Aras pertama
adalah komunikasi intrapersonal, berkomunikasi dengan diri sendiri, berfikir
sebelum mengambil keputusan. Ketika Anda merencanakan sesuatu di
dalam pikiran, atau berfikir ketika menjawab pertanyaan ujian, pada saat
itu Anda sedang melakukan komunikasi intrapersonal. Aras kedua adalah
komunikasi interpersonal, yaitu berkomunikasi tatap muka dengan orang

1
lain pada suasana akrab. Berbicara dengan teman, ngobrol dengan
orangtua adalah contoh kegiatan komunikasi anterpersonal atau antar
pribadi. Aras ketiga adalah komunikasi kelompok, yaitu ketika Anda
berkomunikasi dalam kelompok; kelompok mempengaruhi Anda dan
Anda mempengaruhi kelompok. Berdiskusi dengan teman sekelompok
praktikum, keluarga yang berbincang sambil makan malam adalah
contoh keminikasi kelompok. Aras keempat adalah komunikasi massa,
yaitu komunikasi dari sumber yang terorganisasi kepada khalayak yang
anonim dengan menggunakan teknologi komunikasi. Membaca buku,
menonton televisi merupakan contoh komunikasi massa.
Pasti Anda sudah melihat bagaimana peranan komunikasi dalam
kehidupan kita. Kita berkomunikasi dalam berbagai aras dan beragam
tujuan. Komunikasi telah tumbuh menjadi salah satu cabang ilmu sosial.
Dalam mata pelajaran Sosiologi ini, kita akan mendiskusikan tiga isu
penting, yaitu (a) komunikasi dalam sistem sosial, (b) komunikasi untuk
menyebarkan inovasi, dan (c) perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Ketiga issu ini penting kita bahas dari sudut pandang sosiologi,
karena erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Ketiga issu ini berguna bagi kita semua. Issu pertama penting, karena kita
hidup di Indonesia yang sangat beragam budayanya, seperti telah pelajari
pada bab sebelumnya. Dengan menerapkan mindfulness dalam
berkomunikasi, kita bisa menghindari berbagai konflik karena perbedaan
budaya. Sebagai (calon) sarjana pertanian, issu kedua sangat relevan.
Pada bagian tersebut kita mempelajari bagaimana fungsi komunikasi
dalam mendorong adopsi inovasi; kita tahu inovasi merupakan kunci
pembangunan, termasuk pembangunan pertanian. Issu ketiga
menyangkut penggunaan teknologi komunikasi, yang sudah merasuk ke
semua aspek kehidupan kita. Kita perlu cerdas mempergunakan teknologi
ini, agar kita tidak dipermainkan oleh arus informasi yang begitu hebat
dibawa oleh teknologi ini.

Komunikasi dan Sistem Sosial


Seperti yang telah kita bicarakan di depan, komunikasi merupakan
kegiatan berbagi pesan dalam bentuk simbol. Simbol tersebut diberi
makna oleh komunitas yang mempergunakan simbol tersebut. Bisa saja,
satu simbol yang dipakai dengan makna tertentu oleh komunitas diberi
makna berbeda oleh komunitas lain (Mulyana 2001).
Karena Indonesia merupakan Negara yang masyarakatnya sangat
heterogen ini (lebih dari 300 kelompok suku dan 250 bahasa), ada

2
beragam simbol dalam masyarakat Indonesia. Seperti yang telah
dikemukakan di atas, keragaman kebiasaan, agama, status sosial,
pendidikan, dan sebagainya dapat mengakibatkan perbedaan dalam
memaknai suatu simbol. Untuk itulah kita perlu memahami kemungkinan
perbedaan pemaknaan ini sehingga kita dapat mengendalikan konflik
yang mungkin terjadi. Issu ini menjadi sorotan dalam studi komunikasi lintas
budaya.
Berbagai studi konflik menunjukkan bahwa jalinan komunikasi yang akrab
merupakan salah satu cara yang sangat baik untuk menghindari dan
mengendalikan konflik, serta membuat integrasi sosial semakin kuat. Di
daerah transmigrasi (di mana penduduk dari berbagai latar belakang
budaya berkumpul) konflik sangat potensial terjadi akibat keragaman ini.
Di desa (atau calon desa) yang banyak aktivitas sosial (misalnya
kelompok pengajian, arisan, dan olah raga bersama) biasanya lebih sedikit
konflik dibanding desa yang kurang memiliki wadah tersebut.
Proses komunikasi lintas budaya (inter-cultural communication)
memungkinkan orang-orang yang terlibat menjadi saling memahami
kebudayaan pihak lain. Dengan memahami kebudayaan pihak lain,
semua pihak belajar untuk menghargai perbedaan tersebut. Melalui
komunikasi, proses akomodasi juga dapat dilakukan apabila ada
perbedaan pendapat dan sikap di antara kategori sosial tersebut.
Bukankah lebih baik saling melempar kata dibanding saling melempar
batu?
Ahli komunikasi, Gudykunst (2003), merumuskan ada lima dimensi
komunikasi lintas budaya yang perlu kita perhatikan, yaitu:
a. Dimensi Kolektivistik vs. Individualistik, yaitu perbedaan nilai pencapaian
tujuan individu atau tujuan kolektif bagi anggota-anggotanya. Ada
komunitas yang sangat menghargai nilai kolektivistik, di mana tujuan
kelompok lebih penting daripada tujuan individu, namun sebaliknya
ada komunitas yang lebih menghargai nilai individualistik, di mana
tujuan individu lebih penting dari tujuan kelompok
b. Dimensi Toleransi terhadap Ketidakpastian. Ada komunitas yang
sangat toleran terhadap ketidak-pastian dan ambiguitas. Mereka ini
tidak mudah stres, lebih mudah menerima perbedaan, dan lebih berani
mengambil risiko. Sebaliknya ada komunitas yang tidak toleran
terhadap ketidak-pastian.

c. Dimensi Maskulinitas vs. Feminitas. Ini bukanlah issu tentang cara


berkomunikasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi
perbedaan budaya. Pada budaya maskulin pembagian peran gender

3
sangat jelas, misalnya laki-laki harus tegas, kuat, dan berfokus pada
keberhasilan material, sedang wanita harus lebih sederhana, lembut,
dan memperhatikan kualitas hidup. Budaya feminin menganggap
pembagian peran antara pria dan wanita tumpang tindih. Laki-laki
dan perempuan harus lembut, sederhana, dan memperhatikan
kualitas hidup.

d. Dimensi Jarak Kekuasaan. Ada komunitas yang “jarak kekuasaan”


sangat dekat. Orang yang berbeda dalam hierarkhi kekuasaan dapat
berbincang akrab. Sebaliknya, ada komunitas dengan jarak
kekuasaan jauh. Antara orang yang berbeda hierarkhi kekuasaan
berinteraksi dengan unggah-ungguh dan kepatuhan yang tinggi.
e. Dimensi High Context vs. Low Context. Komunitas low context adalah
komunitas yang berbicara terus terang langsung mengungkapkan
maksudnya, sedang komunitas high context lebih banyak
menggunakan perumpamaan yang dimengerti oleh sesame anggota
komunitas.
Sering terjadi, perjumpaan orang yang berbeda dalam berbagai konteks
di atas, dapat menyebabkan salah pengertian. Karena itulah, untuk
menghindari konflik diperlukan mindfulness di antara orang-orang yang
berbeda. Dalam hal ini mindfulness diartikan sebagai kesiapan merubah
cara pandang dan motivasi untuk menggunakan cara pandang baru
dalam memahami perbedaan budaya. Di Indonesia yang beragam
budaya ini kita harus terbuka terhadap perbedaan budaya ini. Kita harus
menyadari adanya perbedaan budaya, dan tidak bersikap stereotype
terhadap budaya lain. Anda beruntung berada di Kampus Institut
Pertanian Bogor, kampus dengan latar belakang mahasiswa yang sangat
beragam. Latihlah kemampuanmu untuk berkomunikasi lintas budaya di
kampus ini dengan bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar
belakang budaya, dan merayakan perbedaan itu, bukan menjadikannya
sekat pergaulan.

Komunikasi untuk Perubahan Sosial


Tak dapat disangkal bahwa terdapat ketimpangan besar di sekitar kita.
Ada masyarakat tertinggal ditandai dengan perekonomiannya belum
maju. Masyarakat ini belum memiliki perilaku yang modern, tidak produktif,
bekerja secara subsisten belum komersial. Sering sekali, produktivitas
mereka rendah karena tidak memiliki pengetahuan, etos kerja, dan
ketrampilan untuk bekerja lebih efektif dan efisien untuk meningkatkan
taraf hidup mereka. Contohnya, ada petani yang belum punya orientasi

4
bisnis, belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan bertani yang baik,
menggunakan peralatan manual, belum dapat mengatur pola tanam,
atau belum menerapkan teknik perlindungan tanaman yang ramah
lingkungan. Sementara di tempat lain, pertanian sudah sangat maju;
dikontrol oleh komputer atau artificial intelegence.
Bagaimana proses memajukan masyarakat? Bagaimana menyebarkan
gagasan, semangat dan ketrampilan bertani agar lebih maju? Bagaimana
proses penyebaran gagasan baru (inovasi) tersebar dimasyarakat? Siapa
pembawa pembaruan? Orang-orang dalam status sosial seperti apa
mereka? Saluran dan media komunikasi apa yang dapat mendorog
penyebaran dan meyakinkan masyarakat tentang inovasi? Komunikasi
berperan penting dalam hal ini.
Ada dua pendekatan komunikasi untuk perubahan sosial. Yang pertama
dinamai komunikasi inovasi dan yang kedua dinamakan model komunikasi
terpadu untuk perubahan sosial.

Mari kita diskusikan yang pertama. Agar maju dan beradaptasi dengan
perubahan, masyarakat memerlukan informasi tentang pembaharuan
atau inovasi. Ini yang disebut komunikasi inovasi (Rogers 1964; Singhal &
Dearing 2006). Komunikasi inovasi membahas proses mengalirnya
informasi dari pusat informasi sampai akhirnya diadopsi atau ditolak oleh
sistem sosial masyarakat adopter.
Inovasi merupakan ide, praktik, atau sesuatu yang dianggap baru oleh
suatu masyarakat. Tentu penilaian “baru” sangat relatif, baru pada suatu
komunitas bisa saja usang pada komunitas lain.
Berbagai penelitian menunjukkan kecepatan seseorang mengadopsi
iovasi sangat berbeda-beda. Menurut kecepatannya mengadopsi suatu
inovasi, Rogers mengategorikan anggota sistem sosial menjadi:

a. Innovator (innovators), yaitu orang yang pertama sekali menerapkam


inovasi. Mereka adalah orang yang memiliki jiwa petualangan dan
tertarik kepada hal-hal baru, berani mengambil risiko dan biasanya
termasuk orang yang mengembangkan gagasan baru.
b. Adopter awal (early adopters), biasanya menjadi pemimpin pendapat;
orang yang pendapatnya diikuti oleh pengikutnya. Sebagai pemimpin
mereka menyadari perlunya perubahan dalam lingkungan mereka
dan mudah menerima hal baru.
c. Mayoritas awal (Early Majority) – umumnya bukan pemimpin, tetapi
mereka relatif lebih dahulu menerima inovasi dibandingkan

5
kebanyakan orang. Mereka memerlukan bukti dari pengadopsi
sebelumnya tentang kehebatan suatu inovasi.
d. Mayoritas Belakangan (Late Majority) – golongan ini skeptis terhadap
perubahan dan baru mau menerima inovasi setelah sebagain besar
orang menerimanya.
e. Kolot (Laggards) – Orang-orang ini sangat terikat pada tradisi dan
sangat konservatif. Mereka skepstis terhadap perubahan dan sulit
mengikuti perubahan.
Ada inovasi yang cepat diadopsi, ada pula yang lambat. Kecepatan ini
dipengaruhi oleh persepsi adopter terhadap inovasi tersebut. Dasar
penilaian subyektif terhadap inovasi tersebut adalah:
a. Observabilitas, yaitu sejauh mana hasil suatu inovasi dapat ditangkap
oleh indera (misalnya dilihat) oleh calon pengadopsi.
b. Keuntungan relatif yaitu sejauh mana inovasi dianggap lebih unggul
dari ide, praktek, dan produk yang digunakan saat ini atau sebelum
inovasi diperkenalkan.
c. Kesesuaian: Sejauh mana inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai
sosial-budaya, ide sebelumnya, dan atau kebutuhan yang dirasakan.
Masyarakat yang memandang sampah adalah kotoran akan sulit
menerima bahwa pupuk organik memeberikan hasil produk pertanian
yang menyehatkan.
d. Trialabilitas: Sejauh mana inovasi dapat dicoba dalam jumlah kecil.
Inovasi penggunaan botol-botol minuman mineral untuk teknik
penanaman sayur di perkotaan lebih mudah diterima dibandingkan
membuat instalasi hidroponik yang membutuhkan ukuran besar
e. Kompleksitas: Sejauh mana inovasi sulit digunakan atau dipahami dan
rumit dalam penerapannya. Gagasan tentang cara bertani yang baru
untuk beradaptasi dengan “pemanasan global” lebih sulit dipahami
dibandingkan dengan penjelasan penggunaan pupuk baru.
Sebagai civitas akademika kampus paling inovatif di Indonesia, Anda
memiliki peran penting untuk menyebarkan inovasi agar pertanian kita
semakin maju di masa depan. Sebagai contoh, Anda ingin mendorong
praktek urban farming. Untuk itu Anda perlu memikirkan: siapa orang-
orang yang bisa Anda ajak kerjasama dengan memperhatikan ciri-ciri
adopter. Bagaimana Anda mengemas pesan inovasi agar diterima
masyarakat lingkungan Anda mengingat kakarteristik inovasi
mempengaruhi penerimaan inovasi? Jenis tanaman apa yang lebih
menarik untuk ditanam di lingkungan pekarangan/taman sekitar rumah?

6
Saluran komunikasi apa yang lebih tepat untuk mengajak lingkungan
tetangga Anda untuk melakukan urban farming?
Selanjutnya, kita diskusikan model yang kedua, yaitu Model Terpadu
Komunikasi untuk Perubahan Sosial. Anda bisa memperhatikan, pada
komunikasi inovasi, proses komunikasi diawali oleh agen perubahan sosial
yang membawa informasi kepada penerima inovasi. Dengan demikian
komunikasi bersifat satu arah dan dari atas ke bawah. Dikatakan dari atas
ke bawah, seperti mengintruksikan atau membujuk untuk menerapkan
suatu inovasi. Model kedua ini berbeda, karena berangkat dari asumsi
perubahan sosial tidak selalu berasal dari luar sistem sosial dan tidak selalu
bersifat searah. Perubahan seringkali bersifat siklikal seperti dalam Model
Komunikasi untuk Perubahan Sosial (Gambar 10.1).

Gambar 10.1. Model Komunikasi untuk Perubahan Sosial


Berlangsungnya perubahan (dalam arti diterapkannya sebuah inovasi
menurut Model Komunikasi Terpadu ini adalah: ada Katalis yaitu orang
yang membawa stimulus perubahan ke suatu komunitas. Katalis ini dapat
berasal dari komunitas dapat pula dari luar. Dia mendorong komunitas
bermusyawarah mengidentifikasi masalah yang ada dalam komunitas.
Proses musyawarah ini dinamakan dialog komunitas. Dalam dialog ini
mereka mengidentifikasi masalah yang yang dihadapi komunitas dan

7
menyepakati dan menilai apakah masalah tersebut merupakan masalah
bersama. Kalau mereka sepakat bahwa itu adalah masalah bersama,
mereka harus memasuki tahap tindakan kolektif. Inilah fase di mana
komunitas merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan
bersama mereka. Anda bisa melihat, bahwa komunikasi sangat penting
dalam semua tahapan ini.

Apa perubahan yang terjadi? Perubahan dapat dilihat di aras individu


ataupun aras komunitas. Contoh perubahan pada aras individu adalah:
a. ketrampilan baru yang diperlukan untuk melakukan perilaku baru

b. faktor ideasional seperti pengetahuan, kepercayaan, keyakinan,


nilai, risiko yang dihayati dan norma subyektif, citra diri, dan respon
emosional seperti perasaan solidaritas, empati, kepercayaan diri,
dukungan sosial dan advokasi untuk pihak lainnya.
c. kemauan untuk terlibat dalam perilaku baru di masa mendatang
d. perilaku khusus terkait dengan masalah yang dibicarakan dalam
dialog dan tindakan kolektif.
Selain itu, ada pula perubahan pada aras komunitas. Contohnya adalah:
a. kepercayaan diri kolektif bahwa mereka dapat berhasil dalam
proyek berikutnya
b. rasa memiliki proyek
c. kohesi sosial
d. norma sosial terkait siapa yang seharusnya berbicara dan
memutuskan dan menjamin keadilan
e. kapasitas kolektif untuk melakukan dialog komunitas dan
melakukan tindakan kolektif.
Maukan Anda menjadi katalis? Tantangan lebih hebat di masyarakat
perkotaan yang lebih individualistik. Masih mungkinkah melakukan
pengambilan keputusan melalui dialog dan menangani masalah
lingkungan secara bersama-sama? Bila di suatu pemukiman elit terjadi
banyak pencurian, mungkinkah dilakukan dialog komunitas dan tindakan
kolektif? Bagaimana bentuk komunikasi yang mungkin dilakukan warga.
Apakah hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi oleh masyarakat
perkotaan dalam berkomunikasi di antara lingkungan ke tetanggaan?
Apa faktor-faktor pendorongnya apabila ada?

8
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Dunia sudah memasuki Revolusi Indutri Keempat (Schwab 2016). Salah satu
yang sangat berubah dengan kehadiran internet adalah Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Teknologi ini telah merasuk ke sejumlah
besar aktivitas kita, dan mengubah tatanan sosial. Bayangkan betapa
“sulitnya” hidup kita bila saat ini kita tidak terkoneksi dengan TIK. Kita dapat
melihat kehadiran dan penggunaan TIK di setiap aspek kehidupan dan
implikasinya; baik positif maupun negatif.

Dengan mempertimbangkan kehadiran internet, Tapscott (2013)


menyatakan orang yang lahir di antara Januari 1977 sebagai sampai
Desember 1997 sebagai Generasi Net, Generasi Milenial, atau Generasi Y,
sedang Anda, yang lahir setelah Januari 1998 sebagai Generasi Z, atau
Next Generation. Menurut Tapscott, Generasi Net dan Next Generation
telah mengubah dunia.

Pada sektor ekonomi misalnya, kehadiran TIK menjanjikan efektivitas dan


efisiensi yang dapat meningkatkan produktivitas bagi perusahaan serta
mampu menciptakan model bisnis baru melalui pemanfaatan Artificial
Intelligence (AI) dan atau Internet of Things (IoT). Melalui pemanfaatan
teknologi ini, perusahaan dan pelanggan dapat melakukan transaksi
secara langsung. Manusia dapat melakukan transaksi jual beli, mencari
produk tanpa harus berlelah-lelah dan membuang waktu banyak untuk
pergi ke pasar. Perkembangan selanjutnya, muncullah “cashless society”
dimana masyarakat mengunduh aplikasi uang elektronik yang digunakan
sebagai moda pembayaran produk dan atau jasa. Penggunaan alat
pembayaran digital ini semakin hari semakin populer sebagai ciri dari
semakin berkembangnya ekonomi digital.

Tidak hanya di sektor ekonomi, perubahan juga terjadi pada sektor


layanan publik yang sekarang masih terus dikembangkan layanan “e-
government”. Melalui pemanfaatan TIK, Anda tidak lagi perlu melewati
rumitnya birokrasi, bolak-balik pergi ke kantor kelurahan dan kecamatan
untuk mengurusi data kependudukan, karena masyarakat dapat
melakukannya di rumah melalui jaringan online dengan platform yang
telah disediakan. Berkat TIK, otomatisasi layanan publik semakin hari
semakin berkembang. Satu contoh di antaranya adalah dicetuskannya
portal desa melalui domain desa.id pada Tahun 2013 silam. Website ini
digagas oleh perwakilan desa-desa yang tergabung dalam Gerakan Desa
Membangun (GDM) yang bertujuan untuk memberikan sejumlah informasi
desa dan menunjukkan kearifan serta potensi yang dimiliki masing-masing
desa.

9
Digitalisasi juga terjadi pada sektor pendidikan. Dengan Revolusi Industri
4.0, proses pembelajaran jarak jauh menjadi semakin mudah dan
mempunyai beragam bentuk. Bahkan di masa pandemi covid-19 seluruh
kegiatan pendidikan formal di seluruh jenjang, dilakukan secara daring.
Kita melihat dan mengalami kehadiran internet dan web telah
menghasilkan cara belajar yang sepenuhnya baru. Peserta belajar disebut
sebagai “Cyber Student” yang mengubah praktik menulis menjadi praktik
mengetik dan internet menjadi salah satu sumber informasi yang utama
bagi siswa (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004)

Di ranah sosial, kehadiran TIK telah mengubah pola interaksi dan


komunikasi masyarakat. Perubahan tidak hanya terjadi pada perubahan
pola pikir manusia dalam menyikapi suatu hal, namun juga berdampak
pada perubahan perilaku secara sosial. Saat ini, orang lebih banyak
berkomunikasi melalui aplikasi chat seperti Whatsap, LINE dan
semacamnya ketimbang komunikasi secara tatap muka. Bahkan,
fenomena menujukkan adanya kecenderungan seseorang dapat lebih
akrab dengan kerabatnya di dunia maya melalui media sosial namun tidak
di kehidupan nyata. Terbentuknya komunitas maya di dunia virtual disebut
Castells (2001) sebagai “network society” yakni masyarakat yang struktur
sosialnya terbuat dari jaringan yang didukung oleh teknologi informasi dan
komunikasi berbasis mikroelektronika. Adapun (Lupton, 2014)
menyebutnya dengan “digital society” atau masyarakat digital. Menurut
Castells, teknologi digital seperti media sosial telah memainkan peran
utama dalam menciptakan struktur sosial baru, ekonomi global, dan
budaya virtual baru.
Tidak ada definisi baku apa itu TIK. Namun secara sederhana, kita dapat
memahami TIK sebagai teknologi digital yang mampu membantu manusia
dalam memproses informasi, yaitu menerima, membuat, menyimpan,
mengirim dan bahkan memanipulasinya. Perangkat keras TIK diwujudkan
dalam bentuk yang beragam seperti, komputer, televisi digital dan
teknologi telepon pintar (smart phone) yang kini semakin murah dan
mudah diperoleh.
Tahun 2020, sudah hampir 70 persen penduduk Indonesia terhubung
dengan internet, dan sebagian besar dipergunakan untuk media sosial.
Salah satu dampak negatif perkembangan TIK ini adalah penyebar-luasan
berita yang tidak benar dan ujaran kebencian. Pada bacaan terlampir,
Anda dapat melihat dampak buruk yang diakibatkan oleh kabar bohong
ini.Beberapa istilah yang muncul karena informasi melalui TIK ini:

10
a. Hoax: berita palsu atau bohong yang sengaja dibuat karena iseng
belaka, atau bertujuan untuk menguji kecerdasan penerima berita,
dan membentuk opini publik.

b. Fake News: artikel atau berita yang salah yang dibuat secara
sensasional dan disebarkan di dunia maya melalui internet.
c. Filter bubbles: dunia yang dibangun atas “kesamaan” yang
menciptakan efek konsensus yang salah. Informasi yang seragam yang
diperoleh mengakibatkan kecenderungan seseorang mengklaim
orang lain sepaham dengan dirinya, atau menyimpulkan
pendapatnya adalah kesimpulan dari mayoritas.
d. Echo chambers: hanya “mendengar” yang sependapat tanpa mau
mengetahui kondisi nyata sehingga mengaibatkan kecenderungan
seseorang memilih informasi yang disukainya.
e. Social bots: teknologi informasi dan komunikasi digunakan untuk
melipatgandakan penyebaran informasi.

f. Post truth, yaitu: kondisi dimana pembentukan kebenaran (opini publik)


tidak terlalu dipengaruhi fakta obyektif, tetapi oleh emosi dan
keyakinan personal. Artinya, fakta obyektif kurang berpengaruh
dibandingkan kondisi emosional dan sentimen seseorang terhadap
latar belakang informasi yang disajikan di sebuah media. Post truth
ditunjukkan dengan semakin merebaknya berita hoax dan
kebimbangan media massa dan jurnalis menghadapi berita-berita
bohong yang disebarkan di media sosial. Kondisi ini biasanya
memuncak dalam momen politik yang digerakkan oleh sentimen
emosi. Pada situasi ini, banyak kampanye hitam yang menyerang
seorang tokoh dan berita tersebut ditelan mentah-mentah oleh
masyarakat tanpa mencari tahu perihal fakta yang sebenarnya terjadi.
Contoh lainnya, yaitu kondisi pandemi Covid-19, ada orang yang
mempercayai opini terkait teori konspirasi dalam mewabahnya
penyakit Covid-19 tanpa mencari tahu perihal sebenarnya dari
penyakit Covid-19.
Apa yang harus kita lakukan menghadapi disrupsi informasi ini? Setiap
warga yang mempunyai gawai harus memiliki Literasi digital. Literasi digital
adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital,
alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi,
menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat,
bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina
komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari (LiDi, 2020). Literasi
digital, menurut Bawden (2001) sebagai keterampilan teknis dalam

11
mengakses, memahami, merangkai dan menyebarluaskan
informasi. Belshaw (2012) menyatakan bahwa literasi digital sebagai
pengetahuan dan kecakapan seseorang dalam memanfaatkan dan
menggunakan media digital, mulai dari menggunakan jaringan, alat
komunikasi hingga bagaimana mengevaluasi informasi yang tersedia di
media digital tersebut.

Issu lain yang menarik dalam era digital ini adalah digital divided dan
digital inequality. Digital divided berkaitan dengan ketimpangan dalam
mengakses internet. Pada masa belajar dari rumah ini banyak mahasiswa
mengalami kesulitan besar dalam mengakses sumber belajar. Studi
Ariyanti (2015) menunjukkan propinsi yang akses internetnya baik adalah
DKI Jakarta dan DI. Yogyakarta, sedang propinsi dengan akses internet sulit
adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tengah.
Bagaimana akses di tempat tinggalmu?
Digital inequality berkaitan dengan pemanfaatan informasi yang
diperoleh dari internet. Banyak orang yang memperoleh banyak manfaat
sosial, ekonomi, dan politik dari penggunaan internet, namun ada pula
yang tidak memperoleh apa-apa. Dalam memanfaatkan bidang
pertanian misalnya, banyak informasi pertanian yang tersedia di dunia
maya, misalnya tentang teknologi pertanian, informasi harga, dan jual beli
hasil pertanian. Banyak petani yang memperoleh pengetahuan dari dunia
maya ini, dan kemudian beruntung secara ekonomi karena
memanfaatkan berbagai informasi tersebut.
Namun, ada pula yang tidak memperoleh manfaat ekonomi ini.
Berdasarkan studi literatur dan penelitian lapangan, Lubis dan Sulistiawati
(2020) menemukan bahwa petani yang memiliki lahan luas dan
berpendidikan tinggi lebih banyak memperoleh keuntungan dari informasi
pertanian yang tersedia di dunia maya. Artinya, petani kaya tersebut
semakin kaya dengan hadirnya TIK, sementara petani guren hanya
memperoleh sedikit keuntungan. Selain karena faktor keinovatifan yang
sudah dibahas di atas, banyak petani kecil tidak mampu memahami
informasi yang ada di dunia maya karena bahasanya terlalu “tinggi” bagi
mereka. Masalah lain adalah informasi yang tersedia tidak begitu relevan
bagi petani kecil, karena tekologinya mahal dan hanya mengatasi
masalah petani besar.
Untuk memperbaiki digital divided tentu pemerintah dan swasta perlu bahu
membahu untuk memeratakan akses internet ke seluruh penjuru tanah air.
Bagaimana memperbaiki digital inequality? Maukah Anda mendampingi
petani kecil agar mereka juga bisa belajar memanfaatkan informasi yang
ada di dunia maya? Maukah Anda?

12
Daftar Pustaka
Ariyanti S. 2015. Studi Pengukuran Digital Divide di Indonesia. Bulletin Pos
dan Telekomunikias. DOI: 10.17933/bpostel.2013.110402
Bawden, David. (2001). Information and Digital Literacies: A Review of
Concepts. Journal of Documentation, v57 n2 p218-59 Mar 2001

Belshaw, Douglas, AJ (2012) What is 'digital literacy'? A Pragmatic


investigation., Durham theses, Durham University. Available at
Durham E-Theses Online: http://etheses.dur.ac.uk/3446/

Canada’s Center for Digital and Media Literacy (2019)


http://mediasmarts.ca/digital-media-literacy/general-
information/digital-media-literacy-fundamentals/digital-literacy-
fundamentals
Gudykunst W. 2003. Cross-Cultural and Intercultural Communication,
SAGE Publication. London.

Lupton, D. (2014). Digital Sociology. In Digital Sociology.


https://doi.org/10.4324/9781315776880
Mulyana, D. 2001.Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rivortella .2001. Digital Literacy: Tools and Methodologies for Information
Society. New York. IGI Publishing
Rogers, E. M. (1962). Diffusion of innovations. New York: Free Press of
Glencoe
Schwab 2019. Revolusi Industri Keempat. Gramedia. Jakarta

Singhal, A. & Dearing, J. W. (Eds.) (2006). Communication of innovations: A


journey with Ev Rogers New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd
doi: 10.4135/9788132113775

Tapscott, D. 2013. Grown up Digital. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Thurlow, C., Lengel, L., & Tomic, A. (2004). Computer Mediated
Communication. Retrieved from file:///Users/asrisulistiawati/
Downloads/Dr Crispin Thurlow, Laura Lengel, Professsor Alice Tomic
- Computer Mediated Communication (2004, Sage Publications
Ltd) - libgen.lc.pdf

13
BAB XI
KRISIS EKOLOGI DAN MODERNISASI
EKOLOGI

Rina Mardiana, Soeryo Adiwibowo, Arif Satria, dan Dina


Nurdinawati

Pendahuluan
Peradaban dunia saat ini telah menempatkan masyarakat pada
kehidupan yang tidak terpisahkan dari perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan dalam sendi kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dilihat dari
penggunaan smartphone sebagai alat komunikasi, penggunaan air
conditioner untuk pendingin ruangan, kulkas untuk mengawetkan
makanan, berbagai jenis moda transportasi (mobil, motor, kereta api, dan
pesawat), komputer untuk bekerja/belajar, marketplace berbasis internet
dalam berbelanja aneka kebutuhan hidup secara daring, dan berbagai
peralatan rumahtangga berbasis energi listrik untuk mempermudah proses
produksi dan konsumsi.
Masyarakat modern hadir seiring semakin berkembangnya sektor industri
dan teknologi yang melahirkan beragam inovasi guna mempermudah
kehidupan manusia. Namun demikian, menurut sosiolog asal jerman, Ulrich
Beck, era modernitas ini memiliki kerentanan sehingga ia menyebutnya
sebagai masyarakat risiko atau risk society. Sementara Giddens menyebut
modernitas sebagai kultur yang berisiko (cultural risk) dimana modernisasi
pada satu sisi memiliki kemampuan mengurasi risiko namun disisi lainnya
memungkinkan hadirnya risiko baru yang belum pernah dikenal
sebelumnya (Giddens 2014). Beck et al (1994) memandang manusia
adalah makhluk sosial budaya yang berperan sebagai ilmuwan dari
penemuan berbagai kemajuan tersebut, sekaligus menjadi penyebab
yang mendatangkan risiko atas inovasi dari industrialisasi terhadap
kehidupan manusia.
Peradaban modern telah menghadapkan dunia global pada masalah
krisis ekologi. Berbagai bencana seperti banjir, longsor, kepunahan
keanekaragaman hayati, degradasi lingkungan hidup, sampah, dan
perubahan iklim merupakan bentuk-bentuk krisis ekologi. Eskalasi krisis
ekologi terus meningkat sejak modernisasi pembangunan menjadi
paradigma utama di dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Krisis ekologi

1
ini pada akhirnya akan berdampak pada seluruh kehidupan Bumi. Krisis
ekologi dalam bentuk pemanasan global yang mendorong terjadinya
perubahan iklim merupakan krisis ekologi terbesar dalam sejarah
peradaban Bumi saat ini yang disebabkan oleh perilaku manusia yang
mengancam eksistensi umat manusia itu sendiri pada akhirnya.
September 2021 merupakan bulan dengan suhu terpanas Bumi (National
Oceanic and Atmospheric Administration, NOAA). Bahkan NOAA
memprediksi tahun 2021 sebagai salah satu dari 10 tahun terpanas yang
pernah berlangsung di Bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) mengatakan bahwa perilaku manusia yang konsumtif dan tidak
ramah lingkungan telah secara nyata memicu terjadinya perubahan iklim.
Sementara kenaikan suhu bumi akibat faktor alam jumlahnya kecil sekali.
Lebih jauh, IPCC mengatakan bahwa suhu permukaan global telah
meningkat 1.5 derajat Celcius lebih tinggi dalam dekade antara 2011-2020
jika dibandingkan antara 1850-1900 saat masa pra-industri. Para peneliti
IPCC berkeyakinan pada 2030 mendatang, suhu permukaan Bumi akan
lebih meningkat panas. Padahal, perjanjian iklim Paris tahun 2015 yang
ditandatangani oleh hampir seluruh negara, menetapkan standar
kenaikan suhu global pada abad ini haruslah berada di bawah 2 derajat
Celcius.
Perubahan iklim global terjadi akibat peradaban modern yang ditopang
oleh teknologi industri, transportasi dan ekonomi ekstraktif yang menggerus
sumberdaya alam. Oleh karenanya, peradaban modern yang diawali
revolusi industri (1760-1850) telah berdampak besar terhadap kondisi sosial,
budaya, dan ekonomi. Apakah budaya industri akan selalu bertentangan
dengan lingkungan hidup? Ataukah ada cara baru yang bisa menjadi
ruang kompromi dan negosisaasi antara aktivitas industrialisasi dengan
kepentingan ekosistem bumi (biosfer)? Pada titik inilah pembahasan krisis
ekologi dan modernisasi ekologi menjadi penting. Menurut Mol (2000),
teori modernisasi ekologi telah menjadi salah satu teori dalam disiplin
sosiologi lingkungan yang amat dominan digunakan untuk memahami
dan menginterpretasi masyarakat industri modern menghadapi krisis
lingkungan hidup.

Artikel ini akan membahas empat topik utama terkait krisis ekologi dan
modernisasi ekologi, yakni (1) krisis ekologi; (2) ekologi manusia; (3)
modernisasi ekologi, dan (4) re-adaptasi: inisiatif dan praktek-praktek
adaptasi melalui modernisasi ekologi dalam hubungan timbal balik antara
manusia dan lingkungan hidupnya.

2
Krisis Ekologi
Revolusi industri di Inggris pada abad ke-18 atau tahun 1760-1840 telah
mengawali proses perubahan dari ekonomi agraris ke industri berbasis
teknologi manufaktur mesin. Cara produksi industri yang semula
menggunakan tenaga hewan dan manusia kemudian beralih
menggunakan mesin. Revolusi industri ini dengan cepat beresonansi
meluas ke berbagai negara di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang.
Revolusi industri ini mendorong perkembangan di sektor transportasi (darat,
laut dan udara) dan komunikasi (telegram, radio hingga internet).
Perkembangan ini mendorong peningkatan kebutuhan sumber daya alam
untuk produksi barang-barang manufaktur tersebut. Perkembangan
revolusi industri terus berlanjut hingga kini, bahkan setiap tonggak
perubahan yang dipicu oleh inovasi teknologi telah mengklasifikan
babakan kedalam jilid revolusi industri 1.0, 2.0. 3.0, hingga 4.0.

Perkembangan teknologi komunikasi telah menghilangkan sekat-sekat


antara negara yang menjadikan seluruh penduduk beridentitas warga
dunia dalam jagad maya. Tidak cukup berinteraksi secara virtual, interaksi
tatap muka komunitas menjadi lebih mudah di era modern ini dengan
perkembangan teknologi transportasi yang mempermudah mobilitas
penduduk dunia. Di lain sisi, dampak teknologi transportasi telah
meningkatkan krisis ekologi berupa pencemaran, polusi udara, emisi Gas
Rumah Kaca (GRK), hingga gangguan kesehatan pada sistem
pernapasan manusia.
Inventarisasi emisi GRK yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2020 menunjukkan bahwa total emisi
GRK sektor energi pada tahun 2019 sebesar 638.452 Gg CO2e. Dari jumlah
tersebut, penyumbang emisi terbesar secara berturut-turut adalah industri
produsen energi (43,83%), transportasi (24,64%), industri manufaktur dan
konstruksi (21,46%), dan sektor lainnya sebesar 4,13 persen. Di dalam
kategori industri produsen energi, subkategori pembangkit listrik
merupakan penghasil emisi terbesar.
Data emisi GRK Indonesia yang dikemukakan ESDM tersebut sejalan
dengan realitas sumber emisi karbon di tingkat global sebagaimana
laporan Badan Energi Internasional (International Energy Agency, IEA)
tahun 2020 dimana kontribusi sektor listrik dan pemanas menempati urutan
teratas (13,5 Gigaton), diikuti sektor industri (8,5 Gigaton), transportasi (7,2
Gigaton), gedung (2,9 Gigaton), dan lainnya (1,9 Gigaton). Lebih jauh
laporan IEA menyebutkan ketergantungan listrik berbahan bakar fosil di
tahun 2020 jumlahnya masih sangat dominan (61%), dimana kontributor

3
utamanya berasal dari negara Arab Saudi (100%), Afrika Selatan (89%),
Indonesia (83%), serta Meksiko dan Australia (75%).
Sumber emisi GRK bisa berasal dari alam (naturally) maupun dari aktivitas
manusia. Efek GRK mengakibatkan terjadinya krisis ekologi dalam bentuk
pemanasan global (global warming) yang dalam jangka panjang
mengakibatkan terjadinya perubahan iklim (climate change).

Pembentukan C02 di atmosfer berawal dari laut sehingga proses


berlangsungnya pemanasan global, utamanya disebabkan oleh energi
panas yang masuk ke lautan. Krisis ekologi semacam ini memiliki risiko tinggi
bagi Indonesia yang berkarakter negara kepulauan dengan gugusan
pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam.
Nurbaya et al. (2019) menjelaskan perubahan iklim akibat antropogenik
yang tidak terkendali telah memicu krisis sosial ekologi yang luas dan intens
di seantero dunia. Meskipun begitu, dampak yang dirasakan oleh setiap
negara berbeda-beda, khususnya negara miskin dan kepulauan menjadi
paling rentan terhadap risiko perubahan iklim dibandingkan dengan
negara-negara maju (Petzold 2017).
Perkembangan teknologi digital pada era revolusi industri 4.0 jika dikaitkan
dengan dampak perubahan iklim, menunjukkan bahwa masyarakat kelas
atas akan lebih adaptif dan resilien ketimbang kelas bawah, sebagaimana
negara berkembang pulau-pulau kecil dan negara-negara kurang
berkembang juga lebih rentan dari pengaruh perubahan iklim. Terdapat
lima langkah untuk adaptasi dan resiliensi terhadap perubahan iklim di Era
Revolusi Industri 4.0 meliputi:
1. Dalam upaya mitigasi resiko perubahan iklim, diperlukan data-data
terkait perubahan iklim yang dikumpulkan menjadi big data;
2. Untuk mempercepat proses adaptasi terhadap perubahan iklim perlu
membangun kesadaran (raising awareness and ambition) kolektif;
3. Diperlukan aksi partisipasi seluruh elemen bangsa (individu, organisasi,
swasta, masyarakat dan pemerintah) untuk pengurangan resiko
perubahan iklim;
4. Memanfaatkan teknologi untuk sharing information, knowledge and
guidance agar kesadaran kolektif dan aksi partisipatif semakin meluas;
5. Melalui modernisasi ekologi, revolusi industri 4.0 harus semakin di
dorong dalam rangka “menghijaukan” industrialisasi
Krisis merupakan sebuah kejadian atau momen tidak stabil yang tidak
diharapkan dan berpotensi menimbulkan terjadinya kekacauan serta
perubahan yang mengancam. Sehingga krisis ekologi adalah suatu kondisi
ekologi yang mengalami degradasi fungi ekologi akibat suatu perlakuan

4
manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang mengancam
keberlanjutan kehidupan makhluk hidup termasuk manusia.
Krisis ekologi merupakan suatu keadaan dimana sistem ekologi mengalami
ketidakstabilan atau guncangan ataupun gangguan kesetimbangan
pertukaran energi materi dan informasi yang selanjutnya mengakibatkan
ketidakseimbangan pada fungsi-fungsi distribusi serta akumulasi energi-
materi antara satu (kelompok) organisme dengan (kelompok) organisme
lainnya. Sementara itu, organisme (manusia) dengan ekologi, perilaku dan
organisasi sosialnya belum mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian
yang berarti untuk merespon guncangan atas ketidakseimbangan
tersebut.

Ekologi Manusia
Krisis ekologi tidak hanya menyangkut masalah teknologi dan industri
semata, melainkan ia menjadi sebab utama terjadinya masalah sosial
yang mengancam struktur dan pola-pola organisasi sosial di masyarakat.
Krisis ekologi mengakibatkan berubahnya proses-proses sosial dikalangan
masyarakat. Sebagai misalnya konflik sosial antar pihak terjadi akibat
pencemaran atau perubahan sosial akibat perubahan iklim. Contoh
pemberitaan di media massa berikut ini mencerminkan bagaimana krisis
ekologi telah memicu terjadinya masalah (krisis) sosial.
Kasus krisis air yang memicu terjadinya konflik sosial diatas menceritakan
bahwa telah terjadi perubahan bentang alam dari suatu kondisi
lingkungan hidup yang dipenuhi tetumbuhan sehingga ekosistem mampu
menyimpan cadangan air tanah berubah terkonversi menjadi bentuk
bangunan (misal hotel) yang menghilangkan kemampuan tanah untuk
mengikat air tanah. Selain itu, tekanan industrialisasi yang membutuhkan
banyak sumber air telah mengakibat konflik sosial dimana air yang semula
berdimensi publik yang bisa diakses secara bebas oleh masyarakat, kini
berdimensi privat dimana sumber mata air dikuasai oleh industri sehingga
masyarakat tidak lagi bisa mengakses sumber air secara bebas dan gratis.
Konflik air di Kota Batu yang ditunjukkan oleh artikel diatas terjadi pada
tahun 2014. Tujuh tahun kemudian atau tepatnya pada 4 November 2021
terjadi banjir bandang di Kota Batu tersebut. Berbagai berita terkait banjir
Kota Batu tersebut telah menjadi perhatian publik dan menjadi berita
diberbagai kanal (televisi, internet dan berbagai media sosial). Banjir
bandang tersebut terjadi setelah hujan berlangsung secara terus menerus
selama tiga jam. Dampak banjir ini tidak saja merusak lingkungan dan
kerugian materil warga namun juga hingga menelan korban jiwa. Tabel

5
dibawah ini menunjukkan dampak banjir bandang yang terjadi di
Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Batu.

Krisis Air, Picu Konflik Ekologi dan Sosial Masyarakat


Konflik sumber mata air Umbul Gemulo di Kota Batu, Jawa Timur menjadi salah satu
konflik ekologi yang dapat mengancam keberlangsungan kehidupan pada sebuah
ekosistem. Dengan lepasnya sumber mata air di suatu tempat akan dapat menjadi
preseden buruk hilangnya sumber mata air di tempat lain.
Rencana pembangunan hotel di atas sumber mata air itu menjadi penyebab aksi
penolakan warga, yang berujung pada gugatan hukum di pengadilan antara warga
dengan pemilik hotel. Dikatakan oleh Zainal, salah satu warga Bumiaji, Kota Batu,
penolakan pembangunan hotel di atas sumber mata air itu dikhawatirkan dapat
menimbulkan kerusakan serta pencemaran lingkungan secara luas.
“Kalau terjadi keretakan mungkin akan mencemari, karena hotel itu posisinya diatasnya
sumber mata air, jelas kalau ada keretakan pasti mencemari. Padahal sumber ini
digunakan untuk air minum puluhan ribu warga,” ujar Zainal, warga sekitar mata air
Umbul Gemulo, Kota Batu kepada Mongabay-Indonesia. Zainal mengeluhkan semakin
berkurangnya debit air di sumber mata air Umbul Gemulo, yang selain dimanfaatkan
untuk air minum, juga digunakan untuk pengairan lahan pertanian serta peternakan
warga.
“Untuk akhir-akhir ini sering sekali berkurang, didalam konteks pertanian misalnya di
irigasi, bahkan ada yang sampai bertengkar karena masalah air. Debit (air) tentu saja
berkurang, karena kebutuhan memang bertambah, karena digunakan oleh warga,”
lanjut Zainal yang bersama warga di 5 desa yakni Sidomulyo, Bulukerto, Bumiaji,
Binangun, dan Pandanrejo bertekad terus mempertahankan mata air Umbul Gemulo.
Pemanfaatan air kata Ahmad Rossul telah dilakukan oleh banyak industri, yang
bertujuan untuk mengelola serta membuang limbah secara mudah. Dari 100 persen air
di bumi hanya 1 persen air bersih yang dapat dipergunaan, yang itu banyak
dimanfaatkan oleh industri besar dibandingkan oleh masyarakat umum. “Pihak yang
mengeksploitasi sumber air adalah industri, itu mereka butuh sebuah lahan yang lebih
luas dengan begitu membutuhkan debit air yang semakin banyak. Seperti di Petrokimia
mengambil dari DAS (daerah aliran sungai) Bengawan Solo, itu sekitar 600 liter per detik
setiap hari. Jadi ada kebutuhan yang mendesak pada satu sisi di skala Industri, pada sisi
lain adalah kepentingan masyarakat yang semakin lama semakin tinggi disparitasnya
atau adanya ketidakadilan akses sumber air antara industri dengan warga
masyarakat,” Ahmad Rossul menjabarkan.
Diungkapkan oleh Ahmad Rossul, berkurangnya sumber mata air di Jawa Timur secara
drastis dalam sepuluh tahun terakhir, harus menjadi perhatian serius pemerintah dan
seluruh masyarakat, agar tidak sampai terjadi kerusakan lingkungan beserta makhluk
hidup didalamnya. “Dari 461 mata air, sekarang tinggal 46 mata air yang ada di seluruh
Jawa Timur, itu bagi kami adalah persoalan yang krusial. Kedepan kalau tidak dijaga
maka akan dapat menjadi sebuah ancaman yang serius bagi keberlangsungan sebuah
ekosistem,” tutur Ahmad Rossul.
Pemerintah bersama masyarakat imbuh Ahmad Rossul, harus segera menyikapi
persoalan krisis mata air ini, agar tidak terjadi kerusakan ekologi secara luas akibat
hilangnya sumber mata air. Harus ada upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat untuk melestarikan lingkungan dengan segenap kemampuan yang ada,
Peraturan yang dibuat harus mampu melindungi serta menjaga lingkungan dari upaya
eksploitasi yang merusak,” pungkas Ahmad Rossul.
Ditulis oleh Petrus Riski pada 7 Mei 2014
Disarikan dari https://www.mongabay.co.id/2014/05/07/krisis-air-picu-konflik-ekologi-
dan-sosial-masyarakat/

6
Tabel 11.1 Kerusakan/kerugian akibat banjir bandang Kota Batu 2021

No. Nama Desa/Kelurahan Kategori Kerusakan/Kerugian Total

1 Jati Mulyo Rumah 61

2 Kampung Putih Rumah 51

3 Samaan Rumah 30

4 Kota Lama Rumah 2

5 keseluruhan Motor 73

6 keseluruhan Mobil 7

7 keseluruhan Hewan Ternak 107 ekor

Sumber: BPBD Kota Malang

Tabel 11.2 Jumlah warga yang mengungsi akibat banjir bandang Kota
Batu 2021

No. Nama Desa/Kelurahan Total

1 Jatimulyo 200 jiwa

2 Kampung Putih 175 jiwa

3 Samaan 100-150 jiwa

Sumber: BPBD Kota Malang


WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) menunjukkan data telah terjadi
perubahan (konversi) kawasan hutan mulai dari tahun 1990 hingga 2020.
Kota Batu yang popular dengan wisata alam telah mendorong terjadinya
alih fungsi lahan dalam rangka memfasilitasi infrakstruktur pariwisata seperti
pembangunan vila, perhotelan, restoran, dan berbagai jenis infrastruktur
pariwisata lainnya. Bahkan data WALHI melalui citra satelit menunjukkan,
Ruang Terbuka Hijau kota batu tidak sampai pada 30 persen. Lebih jauh,
dari citra satelit menunjukkan sebesar 348 hektar hutan di kota batu telah
terkikis selama 20 tahun terakhir. Perubahan lingkungan tersebut pada
akhirnya tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan serta sumber
mata air, melainkan dampak lebih besarnya adalah gangguan dan

7
ancaman terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Pada titik inilah
perspektif ekologi manusia menjadi penting.
Ekologi manusia merupakan kajian multi atau inter disiplin yang mengkaji
hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidupnya, dengan
cara menelaah dari sudut ekologi, biologi, antropologi, sosiologi, geografi,
teknik, dan konservasi. Ekologi manusia menelaah interaksi timbal balik
antara individu, populasi, dan komunitas manusia (Homo sapiens sapiens),
beserta sistem sosial dan kebudayaannya, dengan lingkungan hidupnya
(fisik dan lingkungan sosial) sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 11.1.

Gambar 11.1 Lingkup Ekologi Manusia


Manusia dan kebudayaannya merupakan faktor inheren yang
berhubungan secara timbal balik dengan lingkungan hidup maupun
lingkungan tidak hidup (Gambar 1). Yang dimaksud lingkungan hidup ini
mencakup unsur-unsur biotik (seperti hewan, tumbuhan, bakteri, virus dan
lainnya) yang berinteraksi secara timbal balik dengan unsur-unsur yang
tidak hidup/abiotik seperti sinar matahari, tanah, air, dan udara. Lebih
lanjut, unsur-unsur lingkungan hidup (biotik dan abiotik) melakukan interaksi
timbal balik dengan manusia sebagai makhluk biologis dan makhluk
kebudayaan.
Dengan demikian, aktivitas dan perilaku manusia bisa berperan dalam tiga
fungsi, yakni manusia sebagai aktor pencipa krisis ekologi, manusia sebagai

8
pihak terdampak atas krisis ekologi, dan manusia selaku pihak yang
memiliki potensi mencari pemecahan masalah (solusi) atas terjadinya krisis
ekologi. Pada tataran inilah kita akan masuk pada dimensi modernisasi
ekologi.

Modernisasi: Pengertian dan Dampak


Modernisasi merupakan suatu proses transformasi dari keadaan yang
kurang maju atau kurang berkembang ke kehidupan yang lebih maju
modern dan lebih makmur berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam perkembangannya modernisasi juga membawa
pengaruh negatif berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
degradasi hutan dan laut bahkan hingga kerusakan ozon dan perubahan
iklim dengan kata lain modernisasi merupakan faktor pendorong utama
timbulnya krisis ekologi.

Modernisasi bisa memberi dampak positif dan negatif. Sebagai contoh,


dampak positifnya adalah perubahan nilai, norma dan sikap terutama dari
yang irasional berubah menjadi rasional. Modernisasi telah mendorong
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi secara luar biasa yang
pada akhirnya memiliki potensi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat. Namun demikian, dampak-dampak negatif yang
memungkinkan muncul akibat modernisasi juga perlu dipertimbangkan
dan dimitigasi. Contoh dampak negatif modernisasi adalah pola hidup
masyarakat menjadi konsumtif, hubungan antar manusia menjadi
individualis, kesenjangan sosial makin tinggi bahkan kriminalitas semakin
meningkat sebagai akibat dari sikap hidup yang konsumtif dan sikap hidup
yang individualis serta kurang adanya kerjasama dan hubungan relasi
kekeluargaan yang semakin menipis

Modernisasi Ekologi: Latar Historis, Teori dan


Pengaruhnya
Latar historis munculnya teori modernisasi ekologi dimulai pada tahun
1970an melalui penelitian sosiologi dan ilmu politik barat yang terkait
dengan masalah lingkungan hidup dengan memfokuskan untuk
mengetahui akar masalah lingkungan hidup di negara-negara industri
seperti gagalnya lembaga-lembaga modern di dalam menangani
masalah lingkungan hidup. Lebih lanjut latar timbulnya gerakan protes
lingkungan tersebut adalah kapitalisme yang dipandang sebagai

9
penyebab terjadinya krisis lingkungan serta sikap dan perilaku manusia
yang menjadi penyebab masalah lingkungan.
Pembangunan tidak mungkin dilakukan tanpa konsumsi sumber daya
alam dan menghasilkan berbagai emisi. Namun dalam struktur ekonomi
yang kapitalistik dimana proses produksi terus dipacu untuk menghasilkan
keuntungan yang lebih besar telah menyebabkan bumi mengalami
kerusakan yang semakin parah dan lambat laun tidak mampu lagi
menopang kehidupan makhluk hidup. Perubahan tersebut menjadi
keprihatinan atas semakin tingginya harga bahan energi dan
kekhawatiran atas meluasnya dampak perubahan iklim, maka muncul
inovasi untuk menyelesaikan persoalan lingkungan melalui pendekatan
modernisasi ekologi (Janicke 2007).
Pada tahun 1980an konsep modernisasi ekonomi diperkenalkan dalam
suatu studi yang diperuntukkan bagi “The Berlin Science Center”.
Kemudian pada tahun 1980an ilmuwan sosial di Eropa merubah fokus
penelitian ke arah memahami reformasi lingkungan hidup sehingga
modernisasi ekologi muncul menjadi ilmu sosial tentang reformasi
lingkungan hidup, sejak diperkenalkan oleh Martin Janicke dan Joseph
Huber sekitar tahun 1980.
Lebih lanjut, modernisasi ekologi kemudian dikembangkan sebagai teori
sosial oleh Arthur mol dan Gert Spaargaren pada tahun 1990an. Sejak saat
itu modernisasi ekologi muncul sebagai konsep yang paling tangguh,
terkenal, paling banyak digunakan sebagai rujukan akademis dan praktek,
dan senantiasa diperdebatkan di berbagai literatur dan forum akademik,
baik oleh para politisi maupun oleh regulator. Modernisasi ekologi sebagai
bingkai untuk program reformasi lingkungan banyak digunakan di
berbagai negara seperti Jerman Belanda, Inggris, Australia, dan China.

Sejak munculnya konsep modernisasi ekologi dan menyebar ke berbagai


negara, maka terjadi perubahan paradigma cara pandang industriawan
dan para pengambil kebijakan pembangunan sebagai perwujudan
reformasi lingkungan hidup. Perubahan paradigma menunjukkan
perubahan yang mendasar dimana pengelolaan lingkungan menjadi
suatu bagian dari pengelolaan industri.

Beberapa pergeseran pandangan di Eropa Barat dan Amerika Serikat


sebelum tahun 1980an dan setelah tahun 1980an. Jika sebelum 1980an
pengelolaan lingkungan umumnya dipandang sebagai biaya yang harus
dihindari dan mengurangi competitive adventage (keunggulan bersaing)
maka setelah tahun 1980an biaya untuk pengelolaan lingkungan justru
dipandang sebagai investasi masa depan bahkan meningkatkan
competitive adventage. Jika sebelum tahun 1980an sikap industriawan

10
defensif, resisten bahkan lari dari berbagai klaim, cenderung untuk
sengketa dengan masyarakat, namun setelah tahun 1980an terdapat
perubahan sikap para industriawan dimana mereka menjadi lebih proaktif
kreatif dan pengelolaan praktek industrialisasi atas dasar kesadaran
ekologi sudah mulai menjadi landasan utama. Bahkan tidak sedikit
kalangan induri yang melakukan kerjasama dengan gerakan akar rumput
(grass root) sehingga dengan “menghijaukan” proses industrialisasi maka
modernisasi ekologi tidak memandang masalah lingkungan hidup sebagai
ancaman terhadap bisnis dan industri, melainkan sebagai peluang untuk
meningkatkan manfaat ekonomi dan keberlanjutan pembangunan.
Modernisasi ekologi memberi penekanan pada solusi atas krisis-krisis ekologi
dengan pendekatan yang holistik dan manajemen lingkungan yang baik
melalui teknologi, pasar, intervensi negara, dan bahkan gerakan sosial.
Dalam dunia yang semakin modern, setidaknya terdapat dua cara untuk
menghindari peningkatan emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab
perubahan iklim. Pertama, menahan diri dari menggunakan aktivitas apa
pun yang membutuhkan energi, artinya modernisasi harus dihentikan. Hal
ini akan mengurangi kenyamanan manusia, yang kemudian akan
menyebabkan penolakan. Kedua, tetap melanjutkan aktivitas namun
menggunakan teknologi yang lebih baik, artinya pengembangan
teknologi dalam dunia modern dengan menghasilkan teknologi yang lebih
ramah lingkungan. Pendekatan yang kedua inilah yang disebut sebagai
modernisasi ekologi. Martin Janicke (2007) menjelaskan bahwa modernisasi
ekologi merupakan pendekatan untuk kebijakan lingkungan yang berbasis
teknologi dan berorientasi inovasi.
Modernisasi Ekologi ini merupakan jawaban dimana proses modernisasi
dalam industri dan pembangunan tidak mungkin untuk dihentikan namun
harus ada terobosan dalam mengurangi dampak lingkungan. Modernisasi
ekologi muncul karena perubahan kelembagaan yang dilakukan oleh
pelaku bisnis dalam perusahaan dengan mengintegrasikan kepentingan
menjaga kelestarian ekologis dengan pemenuhan kebutuhan produksi
dan konsumsi dalam proses ekonomi. Mol (2010) menjelaskan di antara
perubahan kelembagaan tersebut adalah manajemen lingkungan dalam
industri, pajak atas jasa lingkungan yang digunakan (ecotax),
penghematan dan daur ulang sumber daya alam, dan penggunaan
ekolabel.

Pengaruh teori modernisasi ekologi dalam bentuk re-adaptasi (adaptasi


ulang/kembali beradaptasi) ekologi. Hal ini bisa dilihat dimana semula
limbah industri diolah di instalasi pengolahan air limbah atau ujung pipa kini
perlakukan terhadap limbah dilakukan di setiap titik proses sejak bahan

11
mentah hingga akhir produksi (from cradle to cradle). Dari kebijakan yang
semula pengendalian pencemaran dilakukan dengan menerbitkan
peraturan atau kebijakan yang bersifat atur kendali, kini diperkaya dengan
mekanisme atur diri sendiri melalui dorongan instrumen pasar.
Lebih jauh pengaruh modernisasi ekologi dari yang semula pengelolaan
lingkungan hidup dilakukan karena diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan. Namun kini cenderung berubah menjadi sukarela bahkan
sikap industriawan yang semula resisten dan menolak menjadi proaktif dan
kreatif terhadap lingkungan hidup. Semula pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan sendiri-sendiri sekarang mulai bergeser ke cara pengelolaan
lingkungan yang bersifat membangun jejaring kerjasama. Dari yang
semula pengelolaan lingkungan hidup dipandang sebagai suatu hal yang
bersifat instrumental, misal cukup ditangani oleh teknologi pengolahan
limbah semata, kini pengolahan lingkungan hidup berubah menjadi
instrumental dan fundamental, misal berubahnya kepeduliaan warga
masyarakat terhadap lingkungan hidup.
Melalui “menghijaukan” proses industrialisasi, modernisasi ekologi tidak
memandang masalah lingkungan hidup sebagai ancaman terhadap
bisnis dan industri, melainkan sebagai peluang untuk meningkatkan
manfaat ekonomi dan keberlanjutan pembangunan. Sehingga
modernisasi ekologi merupakan upaya adaptasi ulang atau disebut
dengan re-adaptasi antara masyarakat industri terhadap lingkungan
hidupnya melalui cara-cara menggunakan ilmu pengetahuan modern
dan teknologi maju. Dengan demikian, pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup dapat dikendalikan, daya dukung lingkungan alam
meningkat dan pada akhirnya pembangunan berkelanjutan mewujud.

Inisiatif dan Praktik Readaptasi melalui Modernisasi


Ekologi
Modernisasi ekologi menjadi aksi dan praksis adaptasi yang dimulai dari diri
sendiri, komunitas, organisasi dan entitas global dalam merespon krisis
ekologi kontemporer. Berbagai praktek re-adaptasi melalui modernisasi
ekologi ditingkat proyek industri atau bisnis misalnya ecolabel, sistem
manajemen lingkungan, audit lingkungan, evaluasi kinerja lingkungan,
analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan yang paling populer
sekarang ini rezim sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) ataupun
RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) pada bisnis kelapa sawit. Hal-
hal tersebut merupakan bagian dari praktek-praktek re-adaptasi dalam
modernisasi ekologi.

12
Aneka praktek adaptasi dalam modernisasi ekologi ke tingkat industri
sudah banyak dilakukan oleh kalangan industri, mulai dari industri
manufaktur, kuliner, hingga kosmetik. Melalui penerapan modernisasi
ekologi, perusahaan-perusahaan tersebut terbukti mampu melakukan
penghematan-penghematan yang pada akhirnya menguntungkan
perusahaan. Contoh lain yang paling populer di masyarakat misalnya
pada perusahaan kosmetik mengingat kosmetik merupakan industri yang
dibutuhkan oleh masyarakat global yang semakin modern. Ada
perusahaan kosmetik yang tidak hanya menawarkan aspek glamour
namun juga banyak menawarkan aspek kesehatan dan pasar yang adil.
Selain itu perusahaan juga menawarkan fair trade dalam proses bisnisnya,
no animal test dan memfasilitasi konsumen untuk melakukan 3R (reduce,
reuse, dan recycle) dalam bentuk memberikan reward point untuk setiap
bekas kemasan yang dikembalikan kepada pihak toko.
Berbagai inisiatif dan praktek adaptasi modernisasi ekologi bisa dilakukan
oleh anda dan kita semua sehari-hari, misalnya kita membawa tumbler
untuk air minum sehari-hari. Contoh lain lagi kita bisa membawa goody
bag ketika melakukan aktivitas berbelanja sehari-hari sehingga kita bisa
mengurangi sampah plastik yang beredar di muka bumi ini. Contoh lain,
ketika kita membelanjakan makanan yang akan dibungkus kita bisa
membawa tempat makanan sendiri sehingga kemudian kita bisa
membawa pulang makanan tanpa menggunakan steroform atau plastik.
Atau bisa juga melakukan upaya penghematan energi dengan
mematikan lampu yang tidak kita gunakan atau mencabut stop kontak
ketika kita sedang tidak men-charge suatu perangkat elektronik. Hal-hal
tersebut merupakan contoh-contoh sederhana yang riil dan konkrit dalam
keseharian kita sebagai bentuk re-adaptasi dalam modernisasi ekologi.

Pilihan lain misalnya, ketika kita bertransportasi apakah kita akan memilih
untuk berjalan kaki atau menggunakan sepeda atau menggunakan
sepeda motor atau menggunakan moda transportasi publik seperti kereta
api atau angkutan umum lainnya atau kita memiliki kendaraan pribadi.
Disini kita bisa mempertimbangkan moda transfortasi apa yang lebih
berpotensi untuk mengurasi emisi karbon yang terlepas ke udara. Pilihan
berjalan kaki atau menggunakan sepeda untuk aktivitas yang
memungkinkan kita lakukan adalah bentuk dari re-adaptasi dalam
modernisasi ekologi.

Tentu memilih berjalan kaki atau bersepeda itu adalah bentuk yang paling
ekologis sehingga kita semua ditantang untuk melakukan aksi re-adaptasi
perilaku dan gaya hidup sehari-hari agar lebih mengandung kesadaran
ekologis. Mari kita wujudkan perilaku ekologis dalam kehidupan kita setiap

13
harinya dengan mengusung jargon perilaku hemat energi yang bukan
sekedar menjadi wacana, melainkan sebuah praktek dan aksi moral yang
nyata. Perubahan sosial menuju keberlanjutan umat manusia dimuka bumi
ini ditentukan dan berawal dari anda dan kita semua didalam
membangun aksi kolektif bersama komunitas dan masyarakat. Lakukanlah
re-adaptasi modernisasi ekologi sehari-hari oleh anda sendiri mulai dari
sekarang, mulai dari hal yang kecil misalnya membawa botol minuman isi
ulang, membawa tempat makan sendiri, serta membawa goody bag
kemana-mana. Sesuatu yang dilakukan secara kolektif meski dipandang
sebagai sesuatu yang kecil jika dilakukan secara kolektif dan konsisten
maka selanjutkan akan berkontribusi besar terhadap keberlanjutan
ekosistem biosfer, planet bumi dan kehidupan umat manusia.

Daftar Pustaka
Beck, U., Giddens, A., & Lash, S. (1994). Reflexive modernization: Politics,
tradition and aesthetics in the modern social order. Stanford
University Press.

Beck, U., Lash, S., & Wynne, B. (1992). Risk society: Towards a new modernity
(Vol. 17). sage
Carter, Neil. 2007. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, and
Policy. Second Edition. Cambridge University Press, NY.
Gabrillin, A. (2021). Jumlah Rumah Rusak Akibat Banjir Bandang di Kota
Batu Bertambah. Di akses pada 16 Desembeer 2021, dari
https://regional.kompas.com/read/2021/11/06/130253878/jumlah-
rumah-rusak-akibat-banjir- bandang-di-kota-batu-
bertambah?page=all

Giddens, Anthony. 2014. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas.


Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Mol, Arthur P.J. 2010. Ecological Modernization as Social Theory of
Environmental Reform dalam M.R. Redclift dan G. Woodgate (2010)
Environmental Sociology (Eds). Edward Elgar Publishing Limited.
Cheltenham, UK.

Mol, A. P. 2000. The environmental movement in an era of ecological


modernisation. Geoforum, 31(1), 45-56.
Mol, A. P., & Spaargaren, G. (1993). Environment, modernity and the risk-
society: the apocalyptic horizon of environmental reform.
International sociology, 8(4), 431-459.

14
Nurasi, A. (2021). Alih Fungsi Lahan dan Banjir Bandang. Di akses pada 18
Desember 2021, dari https://news.detik.com/kolom/d-5806853/alih-
fungsi-lahan-dan-banjir-bandang

Riski, P. (2021). Banjir bandang kota batu dan rusaknya kawasan hutan.
diakses pada 17 desember 2021, dari
https://www.mongabay.co.id/2021/11/13/banjir-bandang-kota-
batu-dan- rusaknya-kawasan-hutan/
Riski, P. (2021). Banjir Bandang Dikota Batu, Dampak Kerusakan Hutan Dan
Hilangnya Kawasan Resapan. Di akses pada 16 Desembeer 2021,
dari https://www.voaindonesia.com/a/banjir-bandang-di-kota-
batu-dampak-kerusakan-hutan-dan- hilangnya-kawasan-
resapan/6303216.html
Walhi. (2021). Banjir di Kota Batu, Petaka Bencana Iklim dan Tata Ruang. Di
akses pada 17 Desember 2021, dari https://www.walhi.or.id/banjir-
di-kota-batu-petaka-bencana-iklim-dan-tata- ruang

15
BAB XII
GENDER, KESETARAAN DAN INKLUSI
SOSIAL
Melani Abdulkadir-sunito, Ekawati Sri Wahyuni,
Nuraini W.Prasodjo, Sriwulan F. Falatehan, Rajib Gandhi

Tiga sub pokok bahasan yang akan dijelaskan adalah (1) pengertian
(konsep) gender, identitas gender, dan peran gender ; (2) bentuk-bentuk
ketidakadilan gender ; serta (3) kesetaraan gender dan inklusi sosial.

Pengantar: Mengapa Sosiologi mengkaji gender?


Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat langsung mengenali seseorang itu
perempuan atau laki-laki, anak perempuan atau anak laki-laki. Kegiatan
sehari-hari yang kita lakukan juga berdasarkan perbedaan antara
perempuan dan laki-laki itu, dari cara berpakaian, di pusat perbelanjaan
kita masuk bilik mengepas pakaian atau toilet yang terpisah, kita
memotong rambut di tempat yang berbeda, juga berbeda dalam hal
model sepatu, celana panjang, ataupun tas – bahkan arah
mengancingkan kemeja laki-laki dan perempuan dibedakan. Kesemua
perbedaan antara perempuan dan laki-laki ini menjadi hal yang sangat
biasa dan sudah jamak (umum). Sedemikian biasa dan umumnya,
sehingga malah menjadi aneh jika ada yang mempertanyakan mengapa
sebabnya demikian.

Di bidang Ilmu Sosiologi, dalam pembahasan mengenai stratifikasi sosial


Sajogyo (1994) menyatakan bahwa jenis kelamin menjadi salah satu faktor
pembeda peranan dan posisi, serta penilaian atas peranan atau posisi
seseorang itu. Hal ini, misalnya, nampak jika kita bicara mengenai
“pemimpin”, apakah pemimpin pada tingkat negara, perusahaan, atau di
dalam rumahtangga. Para pemimpin itu hampir bisa dipastikan jenis
kelaminnya laki-laki, namun pada masa sekarang kita menjadi makin
terbiasa dengan adanya pemimpin perempuan. Meski demikian, ada
pandangan dan norma sosial terhadap pemimpin perempuan yang
berbeda dibanding terhadap pemimpin laki-laki. Ada yang kagum pada
pemimpin perempuan, ada pula yang mempertanyakan bagaimana
pemimpin perempuan bisa membagi waktu antara tugas rumahtangga
dengan tugas negara atau perusahaan (suatu hal yang tidak ditanyakan

1
pada pemimpin laki-laki!), serta ada juga yang menolak dipimpin oleh
perempuan.
Hal-hal di atas ini menunjukkan bahwa dalam analisa Sosiologi, konsep
gender telah menjadi konsep kunci dalam pembahasan mengenai
peranan dan fungsi, stratifikasi sosial, hingga ideologi dan pengetahuan.
Lebih jauh, gender tidak saja menekankan pentingnya perbedaan dan
pembedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat biologis
maupun ajar, tetapi juga bahwa perbedaan ini membagi-lintas (cross-
divides) bentuk-bentuk perbedaan sosial, seperti kelas, status atau ras
(Sajogyo 1994; Slattery 2003:115-119).

Konsep Gender, Identitas dan Peran Gender


Kita mulai dengan memahami apa itu gender, apa beda ‘gender’ dengan
‘jenis kelamin’, serta bagaimana proses pembentukan identitas dan peran
gender.

Jenis kelamin (Sex) dan Gender


Dalam bahasa sehari-hari, seperti misalnya apabila melihat di kamus, istilah
sex (atau jenis kelamin) dan gender tidak dibedakan. Dalam pemahaman
sosial, secara khusus dalam pemahaman Ilmu Sosiologi, istilah jenis kelamin
dan gender dibedakan.
Istilah gender diperkenalkan pada tahun 1955 untuk membedakan antara
jenis kelamin biologis (biological sex) dengan peran jenis kelamin (gender
roles). Pemaknaan gender baru menjadi lebih umum pada tahun 1970an
saat Teori Feminis memanfaatkan konsep ini untuk membedakan antara
jenis kelamin biologis dengan “konstruksi sosial dari gender” atau
diistilahkan sebagai jenis kelamin sosial.

Jenis kelamin (sex) mengacu pada perbedaan fisik atau fisiologis antara
laki-laki dan perempuan, yang ditunjukkan oleh organ tubuh yang berkait
dengan sistem reproduksi (yaitu vagina dan rahim pada perempuan, serta
penis pada laki-laki), berikut ciri-ciri fisik yang menyertainya. Gender
mengacu pada perbedaan secara sosial dan budaya dari perempuan
dan laki-laki yang nampak dalam sikap, tindakan dan peran yang
dihubungkan atau diasosiasikan dengan ciri kelelakian (maskulinitas) dan
keperempuanan (femininitas). Jika jenis kelamin tidak dapat berubah
maka ciri gender dapat berubah, dapat dipelajari, dan mengalami

2
perubahan dan adaptasi. Karenanya, jenis kelamin disebut sebagai
kodrat seseorang.
Dari beragam pendefinisian mengenai gender, di sini dikemukakan definisi
gender oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (KPP-PA, 2010), yaitu,
“Gender adalah perbedaan sifat, peranan, fungsi dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang bukan berdasar pada
perbedaan biologis, tetapi berdasar konstruksi sosial budaya yang
dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas, sehingga dapat
berubah sesuai perkembangan zaman” (KPP-PA, 2010)

Agar lebih memahami perbedaan jenis kelamin dan gender, berikut


dikemukakan tiga kelompok contoh pertanyaan mengenai perempuan
dan laki-laki, yaitu pertama mengenai ciri (atribut personal) siapa; kedua
mengetahui sifat (perilaku) siapa; dan ketiga menyatakan setuju atau tidak
setuju atas peran tertentu dari perempuan dan laki-laki.

Mengenai “ciri siapa”, pilihan jawabnya cukup jelas. Satu ciri dimiliki oleh
laki-laki saja atau oleh perempuan saja. Perempuan memiliki vagina dan
rahim, dapat mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma, serta memiliki ciri
sekunder berupa jakun dan pada masa remaja suaranya berubah akibat
perkembangan hormonal.

Pada “sifat siapa”, jawaban apakah suatu sifat dimiliki perempuan atau
laki-laki menjadi lebih beragam. Tidak setegas jawab atas pertanyaan “ciri
siapa”. Hal ini karena suatu sifat dapat dimiliki oleh kedua jenis kelamin.
Ada kecenderungan tertentu seperti sifat lembut dan emosional
cenderung dimiliki perempuan, sedangkan agresif dan berpikir logis lebih
Laki-laki. Kecenderungan ini menunjukkan adanya harapan masyarakat
atas sifat tertentu dilekatkan pada jenis kelamin mana.

3
Pada pernyataan “setuju atau tidak setuju”, pandangan orang lebih
terbelah, apalagi jika kita menelisik alasan setuju atau tidaknya seseorang
akan pernyataan itu. Dari kedua pernyataan di atas, ada orang yang
setuju pada kedua pernyataan: perempuan perlu bekerja nafkah, namun
pendapatannya tidak lebih tinggi dari suami. Ada orang lain yang setuju
sebagian, ada pula yang tidak setuju keduanya karena menganggap
peran perempuan hanyalah berhubungan dengan apa yang diistilahkan
sebagai “dapur, kasur, dan sumur”. Pada umumnya pandangan yang
berbeda antar orang ini dilatarbelakangi oleh pengamatan dan
pembelajaran (atau sosialisasi) dari kedua orangtua dan lingkungan
sosialnya. Norma sosial mempengaruhi pandangan dan pendapat
seseorang mengenai peran gender perempuan dan laki-laki.
Dengan demikian jelas bahwa hal pertama (yaitu kelompok pertanyaan
“ciri siapa”) adalah ranah konsep jenis kelamin; hal kedua dan ketiga
adalah ranah konsep gender.

Selanjutnya, perhatikan perbandingan data BPS mengenai Lama sekolah


(LS) dan Angka Melek Huruf (AMH) antara perempuan dan laki-laki pada
gambar di atas ini . “Lama sekolah” dan “Angka Melek Huruf” merupakan
indikator pencapaian pendidikan universal. Pada Lama Sekolah, dapat
dilihat bahwa meski pada perbandingan antar waktu terjadi peningkatan
rata-rata lama sekolah, pada perempuan angkanya selalu sekitar satu
tahun lebih rendah dibanding laki-laki. Demikian juga dalam persentase
angka melek huruf. Persentase melek huruf perempuan lebih pesat
bertambah, namun laki-laki sejak semula sudah tinggi, di sekitar 94 ke 95
persen.

Mengapa demikian?
Kesempatan pendidikan perempuan seringkali lebih terbatas karena
adanya pandangan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi, toh
akhirnya hanya mengurus dapur. Ini mungkin pandangan kuno, dan

4
sekarang sudah berubah. Tapi sekarangpun kita terkadang mendengar
pandangan bahwa perempuan, “tidak perlu sekolah tinggi, nanti sulit
mendapatkan jodoh”. Sebaliknya, laki-laki didorong untuk melanjutkan
sekolah setinggi mungkin agar memperoleh pekerjaan atau jabatan yang
baik dan layak. Ini menunjukkan bahwa meskipun pendidikan adalah hak
semua orang, perempuan maupun laki-laki, pada kenyataannya terdapat
perbedaan pencapaian pendidikan.

Identitas dan Peran Gender


Setelah mendefinisikan gender, kita perlu bertanya bagaimana identitas
gender dari seseorang itu terbentuk?
Simone de Beauvoir menyebut, “One is not born a woman, one becomes
one”, yang terjemahannya seseorang tidak lahir sebagai perempuan, ia
(belajar) menjadi perempuan.
Hal yang sama juga berlaku untuk laki-laki.
Identitas sosial adalah ciri yang diberikan, atau dipelajari, oleh seseorang.
Saat bayi lahir, identitas sosial pertamanya adalah warna baju: merah
jambu untuk bayi perempuan dan biru untuk bayi laki-laki. Bertumbuh,
seseorang mempelajari dan meniru identitas sosial dari lingkungannya,
dengan keluarga sebagai pemberi sosialisasi gender yang pertama,
kemudian juga kerabat dekat. Identitas sebagai perempuan atau laki-laki
diperkuat dan peran-peran spesifik gender diperkenalkan melalui
hadiah/mainan yang berbeda (misalnya anak perempuan mendapat
mainan boneka dan alat memasak, anak laki-laki mobil-mobilan), serta
melalui jenis kegiatan yang berbeda (anak laki-laki bebas bermain di luar,
membantu ayah; anak perempuan di sekitar rumah, membantu Ibu). Dari
buku cerita, peran dan sifat yang sesuai untuk jenis kelamin tertentu
dicontohkan. Misalnya ciri perempuan yang lembut, merawat, dan pasif
sementara laki-laki berciri mengambil inisiatif dan perkasa seperti tokoh-
tokoh dalam dongeng Putri Salju, Beauty and the Beast, atau dongeng
lainnya.

Sosialisasi dalam keluarga ini diperkuat dalam beragam bidang kehidupan


sosial. Ini dilakukan oleh para pendidik di sekolah, teman-teman
sepermainan atau teman seumur (peer groups), tokoh agama, dan
komunitas yang lebih luas (termasuk media dan budaya populer). Para
pihak itu memberi pengajaran mengenai hal-hal apa yang diharapkan
dari seseorang, berkait penampilan dan perilaku, tergantung dari apakah
identitas kelamin seseorang perempuan atau laki-laki.

5
Dari sosialisasi gender ini terbentuk identitas gender, yaitu definisi seseorang
atas dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Selanjutnya, penguatan
(reinforcement) dengan memberikan ganjaran (pujian, hadiah) atas
perilaku yang dipandang sesuai dengan gender-nya, atau sanksi
(cemooh, teguran, bahkan hukuman fisik) atas apa yang dianggap
perilaku menyimpang memperkuat sosialisasi seseorang pada gendernya.
Jadi Gender mencerminkan ekspektasi atau harapan dan stereotip
budaya.

Lebih jauh, proses sosialisasi ini ditiru dan diteruskan dari generasi satu ke
generasi berikutnya sehingga tumbuh keyakinan bahwa ciri atau peran
tertentu hanya bisa dilakukan oleh jenis kelamin tertentu saja sedangkan
jenis kelamin lain tidak. Hal ini sesungguhnya sama sekali tidak benar,
karena ciri dan peran bisa berbeda antar tempat dan antar waktu.
Dengan mengacu pada paparan di atas itu, kita mengamati ada
perbedaan identitas sosial antara perempuan dan laki-laki, atau yang
disebut perbedaan identitas gender. Perbedaan identitas gender itu
membentuk perbedaan sifat dan peran gender yang tertentu dan
berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perempuan suka memasak, laki-
laki suka terlihat kuat dan tidak menunjukkan emosi sedih. Perempuan
belajar menjadi perawat dengan membantu merawat anggota keluarga
yang lanjut usia, sedangkan anak laki-laki bertumbuh menjadi dokter.
Perbedaan identitas gender dan perbedaan peran gender antara
perempuan dan laki-laki ini adalah kenyataan yang ada dan biasa dalam
masyarakat.

Perbedaan dan Pembedaan


Perbedaan (differentiation, distinction) identitas yang menyebabkan
adanya perbedaan peran gender dan peran antara perempuan dan laki-
laki ini sebenarnya tidak menjadi permasalahan. Hal ini baru menjadi
masalah jika menjadi pembedaan (discrimination).

Pembedaan ini misalnya, ketika ada peran gender tertentu yang dinilai
lebih rendah (atau lebih tinggi) serta mendapat ganjaran yang berbeda,
baik ganjaran secara ekonomi maupun ganjaran sosial. Sebagai contoh,
laki-laki (suami) bekerja upahan dan perempuan (istri) bekerja memasak
mencuci mengasuh anak di rumahnya. Kedua kegiatan ini merupakan
bentuk aktivitas kerja karena ada enerji atau usaha yang dikeluarkan, dan
ada waktu yang diluangkan. Namun karena kerja upahan bernilai
ekonomi (yaitu memperoleh bayaran dalam bentuk uang) maka negara

6
memandangnya sebagai “kerja”. Sedangkan mengurus rumahtangga,
karena tidak diupah, maka tidak bernilai ekonomi dan dipandang bukan
kerja. Lebih lanjut, karena ada nilai ekonominya maka kerja upahan
dipandang lebih penting dibanding mengurus rumahtangga. Ironisnya, jika
kegiatan mengurus rumahtangga dilakukan oleh asisten rumahtangga
(=ART) yang mendapat upah atau gaji, maka ART tersebut dipandang
bekerja. Sedangkan apabila istri atau ibu rumahtangga melakukan
kegiatan yang sama, karena tidak diupah, maka istri tidak dipandang
bekerja.

Ketidakadilan yang terjadi dalam pembedaan gender inilah yang perlu


dipermasalahkan dan digugat. Sekali lagi, bukan perbedaan gendernya,
melainkan pembedaannya.
Selanjutnya, pembedaan itu menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan
gender.

Ketidakadilan Gender
Mansour Fakih (1996) menyebut bahwa ada lima bentuk ketidakadilan
gender, yaitu stereotype, beban kerja ganda, marjinalisasi, subordinasi,
dan kekerasan.
Kelima bentuk ketidakadilan gender ini, sebagaimana dikemukakan pada
gambar di atas ini, ada dan bisa terjadi pada beragam tingkatan atau
lapisan – dari tingkat keluarga/rumahtangga, adat istiadat kelompok etnis,
budaya atau tradisi suku dan tafsir agama, di tempat kerja dan institusi
pendidikan, hingga tingkatan negara dan global. Dalam hal ini gender
dan ketidakadilan gender nampak pada hubungan antara perorangan,
dan juga pada hubungan antara perorangan dengan bermacam institusi
dari tingkat lokal hingga politik global.
Dengan demikian dapat dinyatakan, pada setiap lembaga/organisasi
yang mensosialisasi nilai atau norma gender tertentu, dan
lembaga/organisasi itu membuat pembedaan antara identitas dan peran
gender perempuan dan laki-laki, di situ pula sumber ketidakadilan gender
terjadi.

Stereotip
Stereotip adalah pelabelan atau penandaan berdasarkan pandangan
baku yang sangat menyederhanakan (oversimplified standardized image
or idea) dan umumnya negatif terhadap kelompok tertentu. Kelompok

7
tertentu ini bisa diciri berdasar umur, penampilan, suku bangsa, atau lain
ciri, termasuk jenis kelamin. Sebagai misal, ada stereotip bahwa orang tua
itu kolot (konservatif) sedangkan anak muda terbuka pada perubahan.
Atau karena pandangan bahwa kulit warna terang itu cantik dan baik,
maka kita stereotip orang berkulit warna gelap sebagai jelek dan tidak
baik.

Stereotip juga ditunjukkan pada gambar di kiri bawah berikut: anak laki-
laki yang tidak pandai dalam pelajaran Matematika dipandang memiliki
kekurangan pada dirinya, sedangkan anak perempuan yang tidak bisa
matematika seolah mengonfirmasi pandangan bahwa semua anak
perempuan memang tidak pandai matematika.
Stereotip menjadi dasar bentuk-bentuk ketimpangan gender lainnya, yaitu
beban kerja, marjinalisasi, subordinasi, dan kekerasan.

Beban Kerja Ganda


Beban kerja ganda adalah adanya beban kerja yang lebih berat pada
salah satu jenis kelamin, umumnya perempuan, akibat dua atau lebih jenis
kegiatan yang dilakukannya. Beban kerja yang lebih berat ini ditunjukkan
oleh jam kerja per satuan waktu (hari, bulan) yang lebih lama atau lebih
panjang.
Contoh beban kerja pada perempuan digambarkan pada gambar di
kanan atas. Seorang perempuan (istri) yang sekaligus bekerja menyabit
rumput untuk ternak sapi, mengambil air, mengumpulkan kayu bakar,
memasak, dan itu semua dilakukannya sambil mengasuh dua anak.
Sementara itu suaminya nampak bersantai, kita dapat menduga ia
sedang menunggu makanan siap disajikan. Pada saat yang sama, dalam
pengamatan ‘petugas proyek pembangunan’ dari dalam mobilnya,
segala macam kegiatan istri (perempuan) itu dipandang sebagai bukan
kerja karena ia hanya ‘ibu rumahtangga’. Terlebih, karena dalam kaitan

8
dengan kegiatan pembangunan di tingkat komunitas, perempuan tidak
hadir pada rapat/musyawarah desa ataupun kegiatan penyuluhan.
Sesungguhnya, bukan karena tidak mau tetapi karena berbagai kesibukan
di rumah membuat perempuan tidak bisa hadir.

Marginalisasi
Marginalisasi adalah meniadakan atau menyingkirkan peran perempuan
dari kegiatan ekonomi (kerja upahan, pasar tenaga kerja; Saptari & Holzner
1997), serta dari asumsi dalam (pengembangan) ilmu pengetahuan, dan
dari kebijakan pemerintah, interpretasi keagamaan/tradisi/adat suku.

Contoh marjinalisasi yang sering dikemukakan adalah bagaimana


perubahan teknologi pertanian menyingkirkan perempuan dari kerja-kerja
pertanian padi sawah seperti menyiangi (=membersihkan tanaman
pengganggu) dan memanen padi.

Sumber ketimpangan dan beban kerja juga berasal dari pembagian kerja
berdasar jenis kelamin, yaitu bagaimana masyarakat membagikan tugas-
tugas berbeda pada perempuan dan laki-laki. Kegiatan kerja yang dipilah
menjadi tiga bentuk, yaitu kerja produktif, kerja reproduktif, dan kerja
komunal, oleh masyarakat diberi makna atau pengakuan yang berbeda
(lihat Gambar).
Kerja produktif yang bertujuan menghasilkan barang dan jasa untuk
pendapatan atau subsistensi, dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
Kerja ini merupakan kegiatan yang mendapat pengakuan secara sosial,
dan dinilai sebagai “kerja”, juga dihitung dalam Pendapatan Nasional.
Kerja reproduktif adalah kerja mengurus rumah, semisal memasak,
mencuci, membereskan rumah, mengasuh anak, dan lainnya. Kerja yang
merupakan tanggung jawab perempuan ini harus dilakukan agar anggota
rumahtangga siap bekerja, namun kerja reproduktif tidak dinilai sebagai
‘kerja’.

9
Bentuk kerja ketiga adalah kerja komunitas, semisal menyelesaikan
sengketa, membuat aturan bersama, pengajian, menyelenggarakan
upacara, pesta, dan sebagainya. Kegiatan ini dilakukan oleh perempuan
dan laki-laki namun dipandang sebagai kegiatan informal dan tidak dinilai
sebagai kerja.

Subordinasi
Subordinasi adalah menilai peran-peran secara berbeda (lebih rendah
atau kurang penting) atas dasar gender. Sebagai misal, perempuan tidak
dijadikan pemimpin karena stereotip bahwa perempuan emosional dalam
mengambil keputusan. Atau, karena tafsir agama maka kesaksian
seorang perempuan dinilai tidak sejajar atau setara dengan kesaksian
seorang laki-laki.

Kekerasan Berbasis Gender


Tindak kekerasan ini dapat berbentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi (Fakih 1999; Saptari & Holzner
1997).
Contoh subordinasi yang berujung pada kekerasan dilaporkan Edriana
Noerdin sebagai berikut.
“Seorang Ibu melahirkan di rumah ditolong Bidan, kemudian
mengalami pendarahan hebat, disarankan untuk ke rumah sakit.
Suami si Ibu tersebut mengatakan: Saya tidak bisa memutuskan begitu
saja karena harus meminta pendapat orang tua dan mertuanya
terlebih dahulu. Setelah berembug, suami mengatakan kepada Bidan,
“…keluarga kami memutuskan bahwa nyawa di tangan Tuhan, kalau
istri saya tetap harus meninggal biarlah dia meninggal di rumah saja”
(WRI 2011).

Kasus ini menggambarkan ketidakberdayaan dan ketidakampuan


perempuan untuk mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri. Akibat
dari itu dapat berujung pada kematian ibu, juga bayinya – hal mana
merupakan bentuk pembiaran dan kekerasan.

10
Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial
Sesudah mengenal konsep dan mengetahui permasalahan, baiknya kita
mengupayakan solusi. Untuk itu dibahas strategi kesetaraan gender yang
inklusif, suatu hal yang dirangkum Mansour Fakih (1996) dengan istilah
transformasi sosial.

Kesamaan dan Kesetaraan


Kesetaraan seringkali menjadi konsep yang dimaknai secara salah kaprah.
Sering kita dengar orang mengatakan tentang kejadian pada suatu
pertemuan atau rapat, “perempuannya yang tidak mau berbicara,
padahal sudah dikasih kesempatan yang sama”.
Jadi ada istilah ‘sama’ dan ‘setara’.
Berbedakah pengertian kedua istilah ini?
Untuk mempermudah pemahaman, berikut ini disampaikan contoh yang
dimodifikasi dari dongeng Aesop.

Seekor rubah dan seekor bangau diberi kesempatan yang sama untuk
makan dari satu wadah. Siapa yang mendapat makanan paling
banyak tergantung pada apakah wadah makan itu lebar dan
dangkal yang sesuai untuk si rubah, ataukah dalam dan sempit yang
sesuai untuk si bangau. Agar sama, masing-masing binatang harus
makan bagian makanan mereka dari wadah masing-masing yang
berbeda.

Apa makna dari perumpamaan di atas itu? Saat berupaya mengurangi


ketimpangan atau ketidakadilan, kita perlu mempertimbangkan
hambatan tersembunyi (underlying) untuk mencapai partisipasi yang
sama.
Kembali ke pernyataan di atas, mengapa perempuan tidak memberikan
pendapatnya pada suatu rapat atau pertemuan, kita dapat menjelaskan
berdasarkan pemahaman gender. Bisa jadi karena pada
rapat/pertemuan tersebut hanya beberapa perempuan saja yang hadir
sehingga bersuasana kurang kondusif. Bisa juga karena pertemuan
diselenggarakan pada malam hari yang membuat sulit bagi perempuan
untuk meninggalkan rumah dan anak. Atau juga perempuan sulit
mengemukakan pendapat di muka umum karena sepanjang hidupnya
perempuan kurang didorong untuk memiliki dan mengemukakan
pendapatnya sendiri dibanding laki-laki.

11
Dengan demikian, tidak sekedar kesempatan sama yang perlu diberikan,
tetapi juga bagaimana mengupayakan agar hasilnya sama. Jika
pendapat perempuan dipandang sama bernilainya dengan pendapat
laki-laki, maka perlu dipikirkan pertemuan yang menghadirkan lebih
banyak perempuan (seimbang dalam jumlah perempuan dan laki-laki),
atau mengadakan pertemuan terpisah (perempuan saja dan laki-laki saja)
sebelum diadakan pertemuan bersama, atau juga menyelenggarakan
pertemuan tidak pada malam hari. Segala hal yang mengarah pada
kesetaraan manfaat (equity of impact), tidak sekedar kesamaan
kesempatan (equality of opportunity) perlu dipertimbangkan.
Membedakan secara jernih pengertian sama dan setara itu juga dapat
digambarkan sebagai berikut ini. Pada gambar kiri, dukungan/bantuan yg
diberikan pada setiap orang adalah sama; pada gambar kanan setiap
orang mendapat dukungan/bantuan berbeda supaya memungkinkan
mereka mendapat akses (kesempatan) yang sama. Ini adalah setara.

Inklusi Sosial sebagai Strategi Kesetaraan


Apa itu inklusi sosial?

Bank Dunia (2000) mendefinisikan inklusi sosial sebagai proses perbaikan


kondisi orang atau kelompok agar supaya setiap mereka dapat berperan
setara dalam masyarakat, dan proses ini dilakukan dengan memperbaiki
kemampuan dan kesempatan, serta meningkatkan harga diri mereka
yang tersisih akibat identitasnya. Di dalam prinsip Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan, inklusi sosial ini bersejajar dengan prinsip “no one left behind”
(menyertakan semua orang, tanpa ada seorang pun yang ditinggalkan).

12
Dari bahasan topik ini, kita belajar bahwa perjuangan gender untuk
kehidupan yang lebih berkeadilan bukan merupakan upaya perempuan
untuk ‘mengalahkan’ laki-laki. Atau juga menjadikan perempuan sama
dengan laki-laki, dalam arti tidak ada lagi perbedaan identitas dan peran
perempuan dan laki-laki. Ini sama sekali salah kaprah! Perjuangan gender
adalah mengenai pengakuan atas keberagaman (diversity) dan
perbedaan yang setara. Kesetaraan ini dilakukan melalui dua strategi –
yang pertama dengan menimbang perlakuan khusus dan kepentingan
perempuan dalam program umum; yang kedua dengan strategi jangka
panjang dalam hal perubahan perilaku dan sikap pada perempuan dan
laki-laki, serta perubahan ideologi (cara) pandang dan sosialisasi gender.
Demikianlah pembahasan mengenai “Gender, Kesetaraan dan Inklusi
Sosial”. Semoga dapat membuka cakrawala kita semua untuk bertindak
lebih setara dan berkeadilan.

13
Bahan Diskusi

14
Daftar Pustaka
Abdulkadir-sunito M, Sumarti T. 2015. Gender dan Pembangunan. Dalam
Nasdian FT, editor. Sosiologi Umum. Jakarta (ID): Buku Bogor.
Canadian Council for International Cooperation (1991) Two Halves Make a
Whole: Balancing Gender Relations in Development. CCIC.

Connell R. (2009). Gender: Short Introductions. Polity.


Fakih M. 1999 . Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar
(cetakan keempat)

O’Donnell, M. (1981) A New Introduction to Sociology (2nd Edition). UK:


Thomas Nelson and Sons.
Saptari R, Holzner B. 1997. Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial.
Pustaka Utama Grafiti & Kalyanamitra.
Noerdin, E. (Ed.). 2011. Mencari Ujung Tombak Penurunan Angka Kematian
Ibu di Indonesia. Women Resource Institute (WRI).

15
BAB XIII
PERUBAHAN SOSIAL DALAM ARUS
GLOBALISASI
Satyawan Sunito, Melani A. Sunito, Lala M. Kolopaking

Definisi dan Aspek-Aspek Perubahan Sosial


Definisi Perubahan Sosial
Di dalam Sosiologi perhatian pada ke-stabilan dan perubahan masyarakat
selalu hadir bersamaan. Namun mana yang mendapat perhatian khusus
tergantung dari keadaan dunia dan kondisi masyarakt. Pada akhir abat
ke 18 dan abat 19 perubahan-perubahan besar terjadi di dalam kurun
waktu hidup seseorang. Hal ini berbeda dengan abat-abat sebelumnya
dimana kestabilan merupakan ciri utama, dimana dari generasi ke
generasi boleh dikatakan tidak terjadi perubahan berarti di semua aspek
kehidupan.

Pada akhir abat 18 Revolusi Perancis (1789-1799) meruntuhkan sistem


Monarki dan melahirkan pandangan Demokrasi dan sistem politik Republik
di Perancis. Pada gilirannya Revolusi Perancis dimotivasi oleh pandangan-
pandangan yang mengobarkan Revolusi Kemerdekaan Amerika (1765-
1783) seperti1, ‘semua orang dilahirkan sama’ dan ‘pemerintah dari rakyat
dan memperjuangkan kepentingan publik’ (ideologi Republikan). Kedua
revolusi ini menggerakkan perubahan sosial dan politik di seantero Eropah.
Perubahan-perubahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari Revolusi
Industri dan perkembangan kapitalisme yang berproses pada waktu yang
sama, menciptakan perubahan besar di dalam segala aspek kehidupan,
pertumbuhan kota yang cepat dan perubahan besar di pedesaan. Di
dalam kondisi dimana perubahan besar terjadi didepan mata, di dalam
rentang waktu kehidupan seseorang, maka perhatian para founding-
fathers sosiologi terfokus pada perubahan (sosial, ekonomi, politik).

Sebaliknya, pasca Perang Dunia ke II, para sosiolog justru fokus pada
kestabilan dan keteraturan/orde di dalam masyarakat. Antara lain karena
bangsa dan negara Amerika Serikat yang keluar dari perang sebagai
negara yang terkuat dipandang sebagai model ideal bagi negara-negara
lain. Sosiologi kemudian beralih perhatiannya dari Perubahan Sosial ke
usaha menerangkan struktur dan sistem masyarakat yang ideal tersebut.

1
Bila diterjemahkan secara bebas.

1
Sehingga fokus beralih kembali pada faktor-faktor yang mendatangkan
kestabilan di dalam masyarakat.

Namun disekitar tahun 1960an, sebagian Sosiolog mengalihkan


pandangannya pada bangsa-bangsa yang baru mencapai
kemerdekaannya setelah berjuang melawan kolonialisme. Bangsa-
bangsa yang baru merdeka ini – termasuk Indonesia - memperlihatkan
perubahan yang tidak dapat diterangkan oleh teori-teori yang fokus pada
keteraturan dan stabilitas. Maka perhatian para Sosiolog kembali
dicurahkan pada usaha menerangkan perubahan-perubahan yang
terjadi pada negara-negara post-kolonial. Teori Modernisasi (J.W. Schoorl,
1988), Teori Masyarakat Plural (Furnival, 1939), Teori Masyarakat Prismatik
(Riggs, 1967), ragam Teori Ketergantungan (a.l. Celso Furtado, 1975; A.G.
Frank, 1969) merupakan contoh dari fokus pada perubahan tadi. Di dalam
bab ini hanya Teori Modernisasi dan Teori Ketergantungan akan dibahas,
karena kedua teori ini merupakan contoh dari dua pandangan yang saling
bertentangan di dalam menerangkan Perubahan Sosial. Terutama
perubahan besar dan cepat yang melanda bangsa-bangsa yang baru
terbentuk dan mendapat kemerdekaannya setelah Perang Dunia II di Asia
dan Afrika. Namun juga mengenai bangasa-bangsa di benua Amerika
bagian selatan, dari Mexico sampai dengan Chile, walaupun sudah
merdeka lama namun berada di dalam kondisi keterbelakangan.

Beberapa definisi dari Perubahan Sosial:

1. Perubahan Sosial adalah gejala perubahan dalam lembaga-lembaga


kemasyarakatan (social institutions) yang mempengaruhi sistem
sosialnya (Selo Soemardjan 1981)

2. Perubahan Sosial adalah perubahan yang terjadi dengan berjalannya


waktu di dalam pola sikap dan tindak manusia, di dalam kebudayaan
dan struktur dari suatu masyarakat (Calhoun et al 1994).

3. Perubahan Sosial adalah perubahan antar waktu dari pola-pola


perilaku, hubungan-hubungan sosial, kelembagaan-kelembagaan,
dan struktur sosial (Farley 1990 dalam Sztompka 1993)

4. Perubahan Sosial mencakup perkembangan (development),


kemerosotan (undevelopment) dan keterbelakangan
(underdevelopment). Perkembangan mengandaikan kemajuan yang
positif di dalam kondisi masyarakat, sedangkan keterbelakangan
mengandaikan kemunduran (decline) atau kemandekan
(stagnation). (Mike O’Donnell, second ed., 1987)

Definisi Perubahan Sosial 1 s/d 3 boleh dikatakan lazim. Definisi ke 4 menarik


dan penting karena mengintegrasikan dimensi nilai pada perubahan. Ada

2
perubahan social yang dinilai positif, progresif, dinilai sebagai kemajuan.
Ada pula perubahan yang dinilai negative, sebagai kemunduran atau
stagnasi.

Pokok Bab13 khusus mengusung tema perubahan sosial. Dan memang


kehidupan selalu bergerak dan berubah, walau tidak selalu segera terlihat.
Tekan yang diberikan pada perubahan di dalam masyarakat disebut
aspek diachronic. Namun, di dalam mempelajari dan menganalisa
masyarakat ilmuan sosial juga membangun gambaran suatu masyarakat
seperti adanya pada saat diteliti, atau pada suatu jaman tertentu, seolah
suatu struktur yang statis dan menekankan keteraturan. ‘Potret sesaat’ dari
masyarakat ini disebut aspek synchronic. Bagian dari metoda meneliti
perubahan sosial misalnya adalah membandingkan dua kondisi statis –
potret sesaat”- dari waktu/periode yang berbeda. Misalnya, perubahan
komposisi ethnik penduduk suatu kota, dapat kita ketahui dengan
membandingkan komposisi ethnis kota tersebut antar waktu. Kemudian
meneliti mengapa dan bagaimana perubahan tersebut terjadi. Sehingga
kita memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai dinamika sosial
kota tersebut.

Studi-studi ethnografi seringkali menekankan segi synchronic. Seperti studi-


studi yang rinci mengenai sistem kekerabatan atau sistem penghidupan
(livelihood) suatu suku. Sosiologi sering juga melakukan penelitian dari segi
synchronic, seperti pemetaan penduduk berdasarkan pilihan partai politik
di suatu kota. Perbandingan antar waktu kemudian akan memperlihatkan
perubahan pemihakan politik dari penduduk. Sedangkan studi yang
khusus menekankan perubahan – aspek diachronic/diakronis - misalnya,
penelitian atas perubahan masyarakat Bali oleh pengaruh pariwisata, atau
perubahan di dalam distribusi pemilikan tanah sebagai akibat perubahan
teknologi pertanian (Revolusi Hijau), dsb.

Gambar 1, Perspektif Syncronic dan Diacronic dari Masyarakat

3
Aspek-aspek dan Sumber Perubahan Sosial
Perubahan sosial dapat terjadi pada struktur sosial masyarakat, seperti
komposisi penduduk, kesenjangan ekonomi, ragam peran dan status di
dalam masyarakat serta ciri hubungan diantaranya. Perubahan sosial
terjadi juga pada budaya masyarakat, seperti pada ragam khasanah
pengetahuan dan teknologi, norma dan nilai, ideologi, keyakinan agama,
di dalam kesenian, dsb.

Perubahan sosial dapat dibahas atau dipelajari dari berbagai aspeknya,


seperti aras/level (aras lokal atau aras global), atau arah dan laju
perubahan. Perubahan sosial dapat dibahas dari dari sumber
perubahannya, seperti faktor internal atau external dari masyarakat terkait,
faktor manusia atau alam. Dengan sendirinya satu dan lainnya saling
terkait. Misalnya orang dapat meneliti perubahan struktur sosial
masyarakat pada aras desa, dengan menekankan keterhubungan antara
faktor internal desa dan pengaruh faktor eksternal seperti kebijakan
pemerintah atau ekonomi nasional.

Perubahan Struktural dan Perubahan Budaya


Perubahan Struktur Sosial
Perubahan struktur sosial adalah perubahan pada elemen-elemen dasar
yang membedakan status sosial individu yang satu dengan yang lain, dan
yang menentukan ciri hubungan antara individu-individu tersebut. Warna
kulit misalnya. Di Amerika Serikat (AS) sepanjang abat 18 s/d 19 warna kulit
menentukan apakah seseorang adalah budak atau tuan. Usaha dan
proses penghapusan perbudakan dan diskriminasi ras di AS merupakan
perubahan sosial yang dahsyat, bahkan mencetuskan perang saudara
yang melumat ratusan ribu warga AS. Walau perbudakan sudah lama
dihapus namun di dalam kehidupan nyata warga kulit hitam (dan kulit
berwarna lainnya) di AS masih harus berjuang untuk mendapatkan
kesamaan hak dan kesempatan (misalnya gerakan Black Lives Matters).

Perubahan struktur sosial sering berkaitan dengan perubahan pembagian


kekuasaan dan penguasaan atas sumber-sumber ekonomi, politik, sosial
dan budaya. Seperti antara penguasa kolonial dengan yang terjajah,
antara lapisan elite kulit putih dengan warga kulit hitam, atau laki-laki yang
harus melepaskan dominasinya atas perempuan oleh gerakan emansipasi
perempuan. Perubahan sosial dapat juga terjadi pada komposisi
penduduk, misalnya jumlah laki-laki menjadi lebih besar secara signifikan
dibanding perempuan. Hal ini terjadi di China akibat kebijakan satu
keluarga satu anak untuk mengurangi laju pertambahan penduduk.

4
Budaya China yang menilai laki-laki lebih berharga, berdampak banyak
kelahiran perempuan yang dibatalkan. Konsekwensi lanjutannya adalah
timpangnya rasio laki dan perempuan, sehingga banyak laki-laki yang
kesulitan mendapatkan pasangan. Segera terlihat pada kasus-kasus diatas
bahwa perubahan struktur sosial diatas tidak dapat dilepas dari aspek
budaya, seperti pandangan rasis dan prasangka-perasangka terhadap
perempuan.

Gambar 2. Aspek-Aspek Perubahan Sosial

Perubahan Budaya
Perubahan budaya adalah perubahan pada nilai, norma, adat-istiadat,
pengetahuan dan sikap, maupun pada hasil karya manusia seperti
kesenian, arsitektur dan produk kerajinan dan industri. Misalnya perubahan
pada bagaimana agama dipahami dan diekspresikan. Atau bagaimana
pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi berubah karena
pertemuan antar bangsa. Namun juga expresi manusia dalam bentuk
kesenian dan yang lebih keseharian seperti berpakaian, arsitektur
bangunan dan dunia kuliner. Perubahan budaya dapat bersumber pada
dinamika internal masyarakat atau atas pengaruh luar, dan biasanya
merupakan percampuran dari keduanya. Harus difahami bahwa
masyarakat penerima tidak dapat diandaikan sebagai gelas kosong,
namun selalu sudah ¾ terisi. Sehingga selalu terjadi percampuran budaya
dari akar-akar yang berbeda. Misalnya, elemen-elemen budaya Barat
yang masuk (terdifusi) ke masyarakat Indonesia akan berubah bentuknya,
karena diinterpretasi ulang oleh masyarakat penerima, di adaptasi

5
dengan budaya sendiri serta disesuaikan dengan lingkungan alam lokal.
Proses penyesuaian ini disebut sebagai Akulturasi. Beberapa contoh dapat
memperjelas, pakaian Barat misalnya sudah menjadi umum, namun di
daerah tropis disesuaikan menjadi tipis. Demikian juga dengan budaya
makan gaya Barat - seperti penggunaan piring beserta perangkatnya -
yang sudah menjadi umum di Indonesia. Namun karena makanan
Indonesia berbeda komposisi dan strukturnya, maka piring yang kita
gunakan adalah piring-dalam, dan perangkat yang menyertai bukan
kombinasi garpu dan pisau seperti di Barat, melainkan sendok dan garpu.
Demikianpun dengan aspek-aspek budaya lain yang terdifusi, seperti
sistem politik, agama, kesenian, dsb. Salah satu fenomena lain yang
menyertai perubahan budaya adalah cultural-lag, yang akan diterangkan
dibawah ini.

Cultural-lag: Perubahan terjadi tidak sama cepat dan sama dalamnya


pada semua aspek struktur sosial atau kebudayaan. Budaya material
(misalnya, barang konsumsi, arsitektur, gadget, pakaian, kendaraan
bermotor) umumnya berubah lebih cepat daripada budaya non-material
(nilai, norma, tradisi, ideologi) (Ogburn 1930). Gab yang terjadi antara
yang berubah cepat dengan yang lambat disebut sebagai fenomena
cultural lag. Misalnya, perubahan budaya material seperti sarana lalu-
lintas modern (dari cikar, beca, sepeda menjadi motor, mobil, kereta-api
yang bertambah besar dan cepat) dapat berlangsung dengan cepat dan
tanpa banyak kendala. Namun, tanpa didampingi perubahan budaya
non-material yang menyertainya (seperti pemahaman norma berlalu-lintas
era modern), telah menyebabkan kekacauan lalu-lintas serta tingginya
angka kecelakaan lalu-lintas. Contoh lain adalah kegemaran orang pada
beragam bentuk arloji. Namun kegemaran tersebut tidak disertai oleh
sikap menghargai waktu (budaya non-material), jelas disini terjadi cultural
lag. Jam tangan disini berubah menjadi perhiasan dan penanda status,
ketimbang alat melihat waktu. Contoh lain, perkembangan pesat sarana
komunikasi, media dan informasi digital tanpa didampingi perkembangan
norma, etika berkomunikasi digital membawa tumbuhnya fenomena
HOAX dan hate speach.

Seperti halnya pada perubahan Struktural, perubahan budaya jarang


berjalan mulus dan harmonis. Hal mana tercermin pada konflik budaya
generasi tua dengan generasi muda, penolakan atas tuntutan kaum
perempuan untuk mendapatkan hak-hak politik, sosial dan ekonomi yang
sama, dsb. Karena perubahan dapat mengusik budaya yang sudah
mengakar dalam dan bersejarah panjang. Terutama bila perubahan
tersebut menyangkut terusiknya kepentingan-kepentingan yang telah

6
lama dinikmati, seperti dominasi laki atas perempuan, atau privilese yang
dinikmati golongan elite di dalam masyarakat.

Sumber Perubahan
Sumber atau faktor-faktor yang paling penting menggerakkan perubahan
adalah yang berasal dari masyarakat manusia sendiri – apakah itu dari
dinamika internal masyarakat maupun pengaruh external. Kedua sumber
perubahan tersebut - internal dan external - sukar dipisahkan dan
umumnya saling berkelindan. Pengaruh dari masyarakat luar, kolonialisme
misalnya, akan menggerakkan dinamika sosial, ekonomi dan politik di
dalam masyarakat terjajah. Namun pada gilirannya, penjajah merubah
strategi dan kebijakan penjajahan atas dasar dinamika masyarakat
terjajah. Demikianpun difusi budaya dari luar, seperti masuknya agama
Islam ke Nusantara, proses ini membawa perubahan pada banyak aspek
budaya, pada semua lapisan masyarakat penerima. Pada gilirannya,
budaya masyarakat penerima – agama lokal, Hindu, Budha yang untuk
ribuan tahun mempengaruhi kehidupan penduduk, iklim tropis yang
menentukan makanan, pakaian dan cara hidup - mempengaruhi
bagaimana agama Islam difahami dan diekspresikan. Sumber
perubahan social lain adalah, dinamika alam seperti gempa dan tsunami,
atau kegiatan vulkanik. Dampaknya a.l. migrasi penduduk, adaptasi di
dalam hal sistem penghidupan, di dalam konstruksi rumah, dsb. Namun
ada juga fenomena alam buatan manusia, seperti pemanasan global.
Pemanasan global membawa beragam konsekwensi, seperti naiknya
permukaan laut yang mengakibatkan abrasi pantai, yang dapat
memaksa penduduk bermigrasi. Selain itu, pemanasan global telah
memaksa perubahan sikap manusia terhadap alam.

Perubahan pada satu aspek selalu berkaitan dengan aspek lain dari
masyarakt, misalnya perubahan pada struktur sosial akan membawa
perubahan juga pada aspek budaya, atau sebaliknya. Contoh berikut ini
dapat menjelaskannya. Tumbuhnya pandangan demokrasi (aspek
budaya) di dalam masyarakat akan merubah sistem status sosial serta ciri
hubungan sosial diantara warga (aspek struktural). Di dalam sistem sosial
dengan pelapisan tertutup dan status orang berciri ascribe, tidak
dimungkinkan terjadi mobilitas sosial vertikal. Namun dengan
berkembangnya faham demokrasi maka status sosial yang berciri ascribe
berangsur ditinggalkan orang dan ragam status berciri achived menjadi
dominan. Sehingga sistem pelapisan masyarakat yang berciri tertutup
tersebut cepat atau lambat runtuh dan berubah menjadi masyarakt
dengan pelapisan terbuka. Dimana mobilitas sosial vertikal dapat terjadi.

7
Indonesia mengalami proses tersebut. Dari suatu masyarakat feodal
dimana masyarakat terstratifikasi dalam kelas bangsawan dan orang biasa
(bahkah golongan budak), menjadi masyarakat terjajah dimana status
orang ditentukan oleh warna kulit, dan kini menjadi suatu masyarakat yang
demokratis dimana semua warga memiliki hak dan kewajiban sama
dihadapan hukum. Setidaknya demikian ditegaskan di dalam konstitusi
atau UU Dasar Republik Indonesia.

Perubahan pandangan di dalam suatu masyarakat – seperti halnya


tumbuhnya pandangan demokrasi diatas - dapat terjadi karena berbagai
faktor, seperti difusi pandangan baru dari luar, atau karena dinamika sosial
di dalam masyarakat bersangkutan. Namun, yang terjadi lebih sering
adalah kombinasi dari berbagai faktor, external dan internal. Misalnya,
ketidak adilan ekonomi, melahirkan pandangan bahwa demokrasi politik
saja tidak cukup, harus disertai demokrasi ekonomi. Kesadaran ini,
memotivasi warga yang terpinggirkan misalnya untuk mengadopsi
kelembagaan koperasi dan bentuk-bentuk organisasi modern (seperti
serikat buruh, serikat tani, asosiasi pengusaha kecil, dsb.) untuk
memberdayakan diri dan menuntut keadilan ekonomi. Kedua
kelembagaan tersebut – koperasi dan organisasi modern – tumbuh di Barat
sebagai respons dari ketidak adilan yang sama, namun dialami satu abat
lebih dulu.

Arah dan Laju Perubahan Sosial


Arah Perubahan
Salah satu definisi Perubahan Sosial memahami perubahan sebagai
progress, kemunduran maupun kemandekan. Dengan demikian
arah perubahan tidak hanya ‘maju’, ‘perbaruan’ atau progress.
Pemahaman atas Perubahan Sosial ini mengandung dimensi nilai,
mengenai apa yang difahami sebagai kemajuan atau
kemunduran. Pertanyaannya kemudian, apa yang menjadi
indicator dari kemajuan/progress atau kemunduran,
keterbelakangan? Apakah ada indicator universal untuk itu?
Apakah angka harapan hidup, akumulasi ilmu pengetahuan,
performa ekonomi, partisipasi warga di dalam politik negara dapat
dijadikan indikator? Pertanyaan lain kemudian muncul, dengan
pengorbanan siapa atau apa? Kemajuan dari negara-negara
Utara misalnya jelas tidak dapat terlepas dari eksploitasi manusia
dan SDA daerah jajahan, serta kerusakan lingkungan global.
Demikianpun, kemajuan di negara-negara Utara dan Selatan
setelah Perang Dunia II tidak diragukan lagi disertai melebarnya

8
jurang kaya-miskin serta mengorbankan lingkungan alam. Kita akan
berjumpa lagi dengan permasalahan ini di sub-bab
“Pembangunan”.

Evolusi
Evolusi dimaknai sebagai suatu perkembangan universal dari yang
sederhana ke arah yang kompleks. Proses evolusi ini terjadi pada bumi,
pada semua mahluk (dalam kata lain pada Ekosistem), serta pada
masyarakt manusia, pemerintahan, bisnis, bahasa, kesusastraan, ilmu-
pengetahuan, kesenian (dalam kata lain pada Sistem Sosial). Proses Evolusi
sosial berjalan melalui proses differensiasi-struktural dan differensiasi-
fungsional (Herbert Spencer, 1972, di dalam Sztompka, 1993; Waters, M.,
1998: 291)

Tabel 1. proses differensiasi-struktural dan differensiasi-fungsional

Diferensiasi- Perkembangan dari bentuk sederhana,


struktural homogen ke bentuk yang lebih beragam dan
kompleks.

Diferensiasi- Perkembangan ragam peran/role dari berciri


fungsional umum dan kabur, menjadi bertambah spesialis
di dalam fungsinya di masyarakat.

Diferensiasi-struktural dan –fungsional, saling berkaitan.

Kita dapat mengambil contoh perihal evolusi ras manusia dan evolusi sosial
manusia dari kasus migrasi manusia masuk Eropah. Hasil penelitian baru
yang memanfaatkan kemajuan analisa gnome, memastikan bahwa
semua manusia modern di bumi ini berasal dari nenek-moyang yang
bermigrasi keluar dari Afrika sekitar 60.000 tahun lalu. Sekitar 45.000 tahun
lalu sebagian dari kelompok manusia pertama ini - yang berupa pemburu
dan peramu – mencapai daratan Eropah.2 Sekitar 7000 tahun lalu
gelombang migrasi kelompok manusia lain yang sudah mengenal
pertanian dari dataran Anatolia (kini Turki) masuk Eropah, dan berbaur
dengan manusia pemburu dan peramu yang telah menetap di daratan
Eropah sebelumnya. Kemudian, sekitar 3500 tahun lalu kelompok manusia
peternak nomaden bermigrasi masuk Eropah dari kawasan padang
rumput Rusia. Masing-masing gelombang migrasi manusia ini membawa
budaya mereka, bercampur baur secara budaya dan biologis, serta
membentuk manusia dan budaya Eropah yang ada sekarang. DNA orang
Eropah kini merupakan campuran dari kelompok pemburu dan meramu

2
Ketika itu Eropah sudah dihuni oleh proto-manusia, seperti Neandertal.

9
Afrika, petani dari Timur-Tengah serta peternak dari padang-padang
rumput Rusia. Masing-masing masuk kawasan Eropah pada waktu yang
berbeda, dan menciptakan pembauran budaya dan biologis.
Pengetahuan baru ini menghapuskan segala ilusi mengenai ras kulit putih
yang asli. (Andrew Curry, Who Where the First Europeans? National
Geographic, Augustus 2019). Percampuran biologi dan budaya seperti ini
terjadi di seantero bumi ini.

Dengan berjalannya waktu dan perkembangan budaya, proses


perubahan bertambah cepat. Dari hitungan puluhan ribu tahun menjadi
ribuan kemudian ratusan, bahkan proses puluhan tahun. Para founding
fathers dari Sosiologi perhatiannya justru terfokus pada perubahan-
perubahan cepat dan besar yang terjadi di jendela waktu yang pendek
antara abat 18 dan 19, perkembangan kapitalisme industri, Revolusi
Perancis serta awal berkembangnya masyarakat modern. Karena itu
pengertian dan konsep evolusi tidak memegang peranan yang penting di
dalam Sosiologi. Selain itu, evolusi mengandaikan suatu proses tahapan
perkembangan dari bentuk sederhana ke bentuk yang lebih kompleks dan
lebih maju. Pandangan mengenai perubahan sosial yang uni-liniair seperti
itu tidak lagi populer di dalam Sosiologi dan kebanyakan disiplin ilmu sosial
lain.

Revolusi
Revolusi adalah perubahan cepat, yang menyentuh semua tingkat dan
dimensi dari masyarakat: ekonomi, politik, budaya, organisasi sosial,
kehidupan sehari-hari, kepribadian orang. Revolusi adalah perubahan
radikal dan fundamental, dapat diandaikan sebagai “Ledakan dinamika
menyelingi arus lambat proses historis”. Revolusi menyulut reaksi emosional
dan intelektual dari pihak-pihak yang terlibat maupun pengamat
(Sztompka, 1993)

Berbagai perubahan besar di dalam sejarah panjang peradaban manusia


diberi label Revolusi. Di dalam hal ini pengertian “perubahan cepat” harus
maknai secara relatif. Cepat dibandingkan dengan apa? Penemuan budi
daya tanaman misalnya mulai sekitar 10.000 tahun lalu di beberapa zona
seperti Mesopotamia (diantara S. Euphrat dan Tigris), Amerika Tengah,
China, dan penemuan baru menunjukkan bahwa Papua termasuk salah
satu zona tersebut3. Periode ratusan bahkan ribuan tahun dimana sistem

3
Penelitian arkeologi menemukan selokan-selokan irigasi dari 9000 tahun lalu di dataran tinggi
Papua, yang menandakan perkembangan pertanian. Sistem pertanian ini menyebar ke lembah-
lembah di dataran tinggi Papua antara 6000 sampai 5000 tahun yang lalu. Jauh mendahului daerah
dan bangsa-bangsa lain di kepulauan Nusantara, dan menempatkan Papua – bersama

10
pertanian tumbuh dan mempengaruhi dengan fundamental aspek-aspek
kehidupan manusia lain (peningkatan jumlah penduduk, perkembangan
kota, sistem pemerintahan, struktur masyarakat berlapis/hirarkis, dll) disebut
di dalam ilmu-pengetahuan sebagai Revolusi Pertanian atau Revolusi
Neolithic. Disebut revolusi mengingat sistem penghidupan manusia untuk
puluhan-ribu-tahun sebelumnya boleh dikatakan tidak berubah. Demikian
juga Revolusi Industri harus dimaknai. Periode ratusan tahun (abat 18 s/d
abat 19) berkembangnya teknologi dan sistem produksi industrial4 disebut
juga sebagai Revolusi Industri (dalam hal ini Revolusi Industri I).

Label Revolusi digunakan untuk memaknai beragam kejadian perubahan


besar di dalam sejarah. Revolusi Pertanian dan Revolusi Industri,
mempunyai dampak luar biasa, jauh melampaui batas geografi dimana
revolusi tersebut berawal.

Contoh revolusi sosial-politik adalah Revolusi Perancis yang meletus di akhir


abat 18 (1789 s/d 1799) dan menumbangkan sistem monarki di Perancis
dan menumbuhkan ide-ide mengenai hak-azasi manusia universal dan
sistem pemerintahan Republik. Revolusi Perancis menciptakan gelombang
perubahan sosial dan politik besar diseantero Eropah serta menjadi inspirasi
bagi banyak gerakan emansipasi di seluruh dunia, termasuk bagi para
founding fathers gerakan kemerdekaan Indonesia.

Kini kita disibukkan dengan Revolusi Teknologi, dari Revolusi Industri yang
bertumpu pada teknologi 1.0 sampai revolusi teknologi 4.0 dimana
teknologi informasi digital mulai mendominasi seluruh aspek kehidupan,
termasuk kehidupan anda sendiri.

Seperti anda dapat simak, Revolusi adalah mengenai gelombang


perubahan radikal yang relatif cepat pada aspek penting dari masyarakat
– seperti pandangan mengenai alam dan ilmu pengetahuan, budidaya
tanaman, teknologi, sistem sosial dan politik – yang menggulirkan
perubahan-perubahan besar di berbagai aspek kehidupan yang lain.
Seringkali melampaui masyarakat dimana revolusi tersebut terjadi.

Dua Perspektif Perubahan Sosial: Teori-teori


Pembangunan
Di dalam sub-bab ini akan dibahas teori-teori yang menerangkan
perubahan besar di dalam masyarakat, terutama masyarakat di negara-

Mesopotamia, China dan Amerika Tengah - sebagai zona dimana teknik budidaya tanaman secara
mandiri ditemukan (Jared Diamond, 1999: 303-304).
4
Sistem produksi industrial sebagai proses produksi yang dibantu secara mekanis dengan mesin,
dan dilakukan pada skala yang jauh lebih besar dari industri rumah-tangga.

11
negara sedang berkembang, yang disebut juga negara-negara Dunia ke
III. Teori-teori ini sering juga disebut sebagai teori-teori Pembangunan
(theories of Development)5. Karena itu, Teori Pembangunan –
sebagaimana makna “Pembangunan” – antara lain membahas juga
usaha-usaha sengaja seperti, strategi dan kebijakan pemerintah di dalam
rangka pembangunan nasional. Teori-teori Pembangunan ini berpangkal
pada dua perspektif mengenai Pembangunan. Pertama, perspektif
Pembangunan sebagai Proses. Perspektif ini melahirkan Teori Modernisasi.
Kedua, perspektif Pembangunan sebagai Interaksi. Perspektif ini a.l.
melahirkan Teori Ketergantungan. Sub-bab ini banyak mengandalkan
studi-studi dari Ankie Hoogveld (1978), Harold Brookfield (1975) dan J.W.
Schoorl (terjemahan, 1980).

Perspektif Pembangunan sebagai Proses


Perspektif ‘Pembangunan sebagai Proses’ menerangkan bahwa semua
masyarakat di bumi ini mengalami proses evolusi sosial yang sama, yaitu
proses evolusi masyarakat kearah diferensiasi sosial yang lebih kompleks.
Pada masyarakat masa lalu, ragam kegiatan yang berlangsung di dalam
masyarakat masih demikian sederhana sehingga belum terbentuk
spesialisasi maupun kelembagaan khusus dimana semua yang
berhubungan dengan kegiatan tersebut ditata dan dijadikan pedoman
bagi semua warga. Keputusan-keputusan di dalam suatu komunitas
menyangkut ragam hal seperti, sangsi bagi perbuatan kriminal warga,
waktu untuk menanam atau panen, kapan perburuan dapat dilakukan
atau menyangkut konflik dengan komunitas tetangga, diselesaikan
semuanya dalam musyawarah antara tokoh-tokoh komunitas tersebut.
Ketika komunitas berkembang jauh lebih besar, skala dan kompleksitas
kegiatan bertambah maka tumbuh spesialisasi di dalam masyarakat,
seperti petani, pedagang, hakim, tentara, dsb. Ragam kegiatan yang
mengalami pembesaran skala dan kompleksitas menumbuhkan
kelembagaannya sendiri. Seperti kelembagaan peradilan, ekonomi,
pertahanan, dan lainnya, masing-masing memayungi para spesialisnya,
aturan, kebiasaan, teknologi yang didedikasikan untuk kegiatan tersebut,
simbol-simbolnya, bahkan kosa-kata yang khas berhubungan dengan
kompleks kegiatan-kegiatan tersebut. Seperti kosa-kata yang
berhubungan dengan kegiatan peradilan, ekonomi, pertahanan,

5
Istilah Pembangunan merupakan penterjemahan kurang tepat dari pengertian Development.
Pembangunan umumnya dihubungkan dengan kebijakan negara untuk mencapai suatu yang
diharapkan. Sedangkan Development memiliki arti lebih luas, tidak selalu melekat pada
kebijakan negara. Dengan pengertian ‘negara sedang berkembang’ /developing countries
umumnya dimaksud, negara-negara ex jajahan yang merdeka setelah Perang Dunia ke II.

12
pendidikan, dsb. Diferensiasi yg lebih kompleks ini membutuhkan sistem-
integrasi atau “alat perekat dan pemersatu”, berupa ideologi (a.l.
Nasionalisme) dan sering juga agama, serta simbol-simbol seperti bendera,
lagu dan segala ritual disekitarnya. Dari perspektif ini masyarakat
diasumsikan sebagai sistem sosial yg terisolasi, berevolusi tanpa campur
tangan banyak dari luar. Kalaupun ada interaksi, maka dalam bentuk halus
dan harmonis (a.l. difusi budaya, akulturasi). Masyarakat dengan
diferensiasi yang lebih kompleks dipandang lebih maju. Dari sudut
pandang ini, bangsa dan negara Barat - dan Amerika Serikat khususnya -
dipandang sebagai bangsa dan negara yang paling maju. Dan pada
dasarnya semua masyarakat di bumi ini akan berevolusi kearah dan
menyerupai negara-negara maju tersebut. Teori Modernisasi mewakili
perspektif ini ( A. Hoogveld, 1978)

TEORI MODERNISASI – Teori Modernisasi merupakan gagasan mengenai


perubahan masyarakat – di dalam hal ini masyarakat yang baru merdeka
dari penjajahan setelah Perang Dunia II – bertumpu pada teori evolusi
sosial. Menurut gagasan ini perkembangan masyarakat merupakan proses
modernisasi. Proses modernisasi adalah transformasi total dari masyarakat
tradisional/pre-modern ke dalam tipe masyarakat dengan teknologi dan
organisasi sosial seperti pada masyarakat “maju” (advance) di Barat yang
secara ekonomi makmur dan secara politik stabil. (Wilbert More, 1963b:89
didalam Sztompka, 1993:132) Proses modernisasi ini terjadi di semua
lapangan hidup masyarakat. Di dalam box dibawah ini dikemukakan
beberapa lapangan hidup yang penting sebagai contoh.

Tabel 2. Arena dan Proses Modernisasi

Pada teori Modernisasi awal, proses modernisasi ini diyakini sebagai proses
yang digerakan oleh faktor-faktor endogen (internal) yang berjalan
dengan sendirinya. Namun di dalam teori Modernisasi versi lebih baru,
proses modernisasi ini dikaitkan dengan social-engeneering dan usaha

13
berencana untuk menggerakkan perubahan masyarakat ke arah
masyarakat modern. Social engeneering ini dilakukan oleh agen-agen dari
luar maupun oleh elite terpelajar di dalam masyarakat bersangkutan,
dalam rangka menumbuhkan pola pikir dan tindak serta kelembagaan-
kelembagaan yang mencirikan bangsa-bangsa Barat yang menjadi
contoh sebagai masyarakat yang modern (Sztompka, 1993:130-131)

Perspektif Pembangunan sebagai Interaksi


Perspektif ‘Pembangunan sebagai Interaksi’ menolak gagasan bahwa
perubahan sosial dan Pembangunan merupakan proses linier dari kondisi
primitive ke arah modernisasi seperti digagas oleh teori Modernisasi.
Menurut perspektif ‘Pembangunan sebagai interaksi’, interaksi antara
bangsa dan negara merupakan kenyataan sejarah dan seringkali
menciptakan dominasi yang satu atas yang lain. Dominasi dan ekspansi
bangsa yang satu umumnya menghambat dan men-disrupsi
perkembangan mandiri dari bangsa yg didominasi. Sehingga
menciptakan inter-societal stratification (=stratifikasi antar
masyarakat/bangsa). Perspektif ini a.l. melahirkan Teori Ketergantungan /
Dependency.

Teori Ketergantungan
Teori Ketertangungan merupakan kritik langsung pada teori Modernisasi.
Menurut Teori Ketergantungan, kemiskinan dan keterbelakangan dari
bangsa-bangsa Dunia ke III6, bukan karena masih tradisional. Selain itu
kemiskinan, keterbelakangan serta perkembangan dan perubahan-
perubahan yang terjadi di bangsa atau negara-negara ini bukan
utamanya merupakan proses-proses endogen atau internal. Sebaliknya,
proses-proses perubahan, kemiskinan dan keterbelakangan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari intervensi dari kekuatan-kekuatan luar. Seperti
ratusan tahun kolonialisme, dan kemudian dominasi dari negara-negara
industri Barat dan korporasi transnasional pada era pos-kolonial.

Menurut teori Ketergantungan, kapitalisme mendorong persaingan antara


negara-negara Barat di dalam menguasai sumberdaya, tenaga kerja
murah dan pasar sampai ke seluruh pelosok dunia. Sebagai dampaknya,
terbentuklah tatanan dunia dimana negara-negara industri kaya (disebut
negara-negara Center/Pusat) memaksakan hubungan dominasi dan
esploitatif atas negara-negara yang lebih lemah (disebut negara-negara

6
Juga sering disebut Negara Sedang Berkembang/Developing Countries dan Under Developed
Countries.

14
Periphery/ Pinggiran). Dalam kata lain, suatu stratifikasi global terdiri dari
negara-negara kaya di belahan utara dunia, dan negara-negara miskin di
belahan selatan dunia.

Hubungan asimetris antara Center dan Periphery ini sukar dipatahkan


karena adanya kepentingan yang sama antara kelas elite di Center dan
kelas elite di Periphery. Kesamaan kepentingan tersebut berbuah pada
kerjasama antara elite dari Center dengan elite dari Periphery, di dalam
bentuk kemitraan (a-simetris) untuk meng-eksploitasi SDA, tenaga kerja
murah dan pasar dari Periphery. Kemitraan a-simetris ini mengambil bentuk
nyata di dalam investasi modal asing bermitra dengan pemodal dalam
negeri, serta difasilitasi elite politik di dalam pemerintah dengan Undang-
Undangan dan kebijaksanaan yang memudahkan. Hubungan a-simetris
antara Center dan Periphery direplikasi lebih lanjut di dalam negara-
negara Dunia ke III ke dalam hubungan a-simetri antara Pusat – Daerah,
dan antara Kota – Pedesaan. Hubungan struktural yang a-simetris ini
membawa konsekwensi bahwa kebijakan pembangunan di kebanyakan
negara-negara Dunia ke III tidak berorientasi pada kemandirian, namun
sebaliknya terus mem-fasilitasi kepentingan modal-besar nasional dan
global di negara-negara industri kaya. Inilah menurut Teori
Ketergantungan, konteks dari keterbelakangan dan kemiskinan dari
banyak negara-negara Dunia III.

Stratifikasi
negara-negara
dunia: Negara
kaya/maju
(Center) di
belahan bumi
Utara, dan
Negara
miskin/sed.-
berkembang
(Periphery) di
belahan bumi
Selatan – Brandt
Report 1980.
Gambar 3. Stratifikasi negara-negara di Dunia

Teori Ketergantungan juga menerangkan mengapa struktur a-simetris ini


sukar dipatahkan. Seperti sudah dikemukakan, elite negara-negara Center
memiliki kepentingan yang sama dan bermitra dengan elite pemodal dan
elite politik di negara-negara Periphery. Namun sebaliknya yang terjadi
antara kelas ter-eksploitasi di Center (periphery-nya Center) dan di
Periphery (periphery-nya Periphery). Bagi kelas-sosial yang ter-eksploitasi di
negara-negara Center, seperti kaum buruh di industri serta karyawan di

15
perusahaan maupun pegawai-pegawai pemerintahan rendahan, upah
dan kondisi kerjanya akan ikut meningkat dengan lancarnya proses
eksploitasi SDA dan tenaga kerja murah serta terbukanya pasar di negara-
negara Periphery. Kasarnya, kelas ter-eksploitasi di Center ikut kecipratan
dari keuntungan tinggi yang diperoleh korporasi-korporasi besar yang
beroperasi di negara-negara Dunia III. Sehingga kelas bawah di negara-
negara Center ini tidak berkepentingan dengan perjuangan untuk
mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dari kelas ter-ekploitasi di
negara-negara Dunia III. Tidak adanya solidaritas dari kelas bawah di dunia
ini memudahkan elite di Center dan Periphery bekerjasama memantabkan
kepentingannya.

Di negara-negara Pinggiran (Periphery) – seperti Indonesia dan negara-


negara Dunia III lain – dapat kita lihat struktur hirarkis seperti diatas. Di satu
pihak ada kelas atas yang terdiri dari pemodal besar, yang terwakili juga
secara kuat di dalam DPR dan Pemerintah. Kelas atas ini disebut sebagai
Centernya Periphery. Kemudia terdapat satu lapisan cukup besar dari apa
yang sering disebut sebagai kelas menengah yang umumnya penduduk
kota, namun termasuk juga di dalamnya petani kaya atau nelayan besar.
Kemudian dibawahnya terdapat lapisan besar dari kelas buruh, petani
gurem dan buruh-tani, buruh-nelayan, pekerja di sektor informal dan
pengangguran. Lapisan terakhir ini disebut sebagai peripherynya dari
Periphery (lihat gambar).

Gambar 4. Hubungan Ketergantungan dan eksploitatif antara negara-negara


Center dan negara-negara Periphery. Johan Galtung di dalam J.W. Schoorl,
1988: 80-82

16
Struktur kekuasaan ini ter-replikasi di tingkat daerah, di dalam bentuk ikatan
kuat antara pemodal daerah dengan para politisi dan Pejabat Tinggi di
Pemerintah Daerah dan di Pusat. Kebijakan ekonomi Daerah, seringkali
dapat dianalisa sebagai kolaborasi antara pemodal Asing, pemodal Pusat
dan pemodal Daerah difasilitasi Pemerintah Daerah untuk meng-
eksploitasi SDA daerah, atas kerugian bahkan penyingkiran hak-hak warga
di daerah. Kolaborasi elite ini berimplikasi pada kebijakan daerah yang
bias-pemodal besar. Pemerintah Daerah memberikan konsesi-konsesi skala
besar (HGU/Hak Guna Usaha) dalam bentuk penguasaan tanah pertanian
dan perkebunan, kawasan hutan dan sumberdaya mineral kepada
pemodal-besar. Kebijakan bias-pemodal-besar ini berdampak pada
penyingkiran penduduk lokal dari tanah pertanian, yang dibeli paksa atau
sekedar digani rugi. Selain itu berdampak juga pada hilangnya hak
memanfaatkan sumberdaya bersama (common pool resources), seperti
hutan, air, pesisir, dsb. yang kini menjadi bagian dari HGU korporasi besar.

Selain penduduk lokal kehilangan hak-haknya atas tanah dan common


pool resources, kebijakan bias-pemodal-besar ini berdampak pada
perubahan dahsyat dari tata-guna dan bentang-alam/lansekap alam
lokal, karena konversi hutan, lenyapnya beragam agroekosistem dan
keragaman hayati lokal. Berganti dengan perkebunan maha luas dan
hutan tanaman industri yang cirinya monokultur, atau menjadi kawasan
pertambangan. Penduduk lokal di dalam status peripheri dari Periphery ini
tidak punya pilihan banyak. Menjadi plasma yang sangat tergantung
pada perusahaan, menjadi buruh pada level paling rendah karena tidak
berpendidikan cukup, atau beralih ke usaha informal. Sambil bersaing
dengan gelombang penduduk migran yang datang, mengikuti ekspansi
perusahaan besar. Di dalam sekejap, potensi penduduk untuk menjadi
pengusaha pertanian yang mandiri diatas tanahnya sendiri, atas dasar
agroekosistem lokal, hilang begitu saja. Demikianpun dengan potensi
ekonomi lokal untuk berkembang atas dasar keragaman sumberdaya
lokal dan usaha penduduk lokalnya sendiri. Bukan hanya untuk generasi
sekarang, namun untuk generasi-generasi berikutnya (lihat Hariadi
Kartodiharjo & H. Jhamtani, 2009; Maria R. Ruwiastuti, 2000; R. Simarmata,
2002; R.Yando Zakaria, 2018; J.D. Van Der Ploeg, 2008).

Kritik terhadap Teori Ketergantungan


Teori Ketergantungan terutama dikritik karena menempatkan negara-
negara Dunia III kedalam kedudukan yang tidak memungkinkan
memutuskan rantai ketergantungan dengn negara-negara industri
(kapitalis) maju. Sehingga tidak dapat menerangkan fenomena negara-

17
negara macan-asia seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapura atau suatu
kawasan seperti Hongkong, atau China yang nampaknya dapat
mendobrak hubungan ketergantungan tersebut. Salah satu turunan dari
Teori Ketergantungan yang mencoba menjawab tantangan tersebut
adalah Dependency Associated Development Theory atau Teori
Dependent Development (Ankie Hoogveld, 1997: 57-61).7 Teori Dependent
Development ini menerangkan bawha pada peralihan ke tahun 1980an,
perkembangan kapitalisme global sudah sedemikian rupa sehingga
negara Periphery sudah melampaui perannya sebagai penyedia SDA dan
tenaga kerja murah. Pada fase ini telah terbentuk elite ekonomi yang
sifatnya benar-benar global, tidak terikat pada sentimen asal dan batas
negara. Bagi elite global ini negara Periphery sudah cukup berkembang
dan kini dibutuhkan juga perannya sebagai konsumen barang industri,
yang diproduksi oleh sistem ekonomi global. Kondisi seperti ini memberikan
negara Periphery ruang lebih besar untuk mengedepankan
kepentingannya di dalam negosiasi dengan korporasi Transnasional.
Sehingga hubungan ketergantungan mulai berubah menjadi hubungan
ke-saling-tergantungan, sehingga memungkinkan berkembangnya
industrialisasi yang substantif di negara Periphery. Dengan sendirinya
dengan bentuk spesifiknya masing-masing. Harus diperhatikan disini, walau
ruang gerak negara-negara Periphery bertambah luas untuk berkembang,
namun inisiatif dan ciri perkembangan tersebut tetap dikendalikan oleh
dan sesuai kepentingan dari elite global dan Korporasi Transnasional.

Globalisasi
Globalisasi umumnya diterangkan sebagai fenomena ekonomi, seperti
pernyataan sebagai berikut: “Globalisasi sebagai proses pengintegrasian
ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia, proses tersebut
digerakkan oleh tiga aktor utama. ….. pertama, TNC’s (Transnasional
Corporations), ……… dengan dukungan negara-negara yang
diuntungkan oleh TNC’s tsb. membentuk suatu dewan perserikatan
perdagangan global yang dikenal dengan WTO yang menjadi aktor
kedua. Aktor ketiga, adalah lembaga keuangan global IMF, dan Bank
Dunia. Ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-aturan seputar
investasi, Intelectual Property Rights dan kebijakan Internasional. (Mansour
Fakih, 2002: 215-216). McMichael mengambil sudut pandang yang sama,
dengan tekanan pada besarnya kuasa dari aktor-aktor utama Globalisasi
di dalam mengatur dunia ini. Menurut McMichael Globalisasi sebagai
tujuan adalah usaha membentuk dunia sesuai suatu prinsip bahwa: dunia

7
Harold Brookfield (1975) menggunakan istilah Interdependent Development.

18
dan sumberdayanya sebagai ekonomi pasar bebas yang dikelola secara
global, oleh lembaga2 politik dan (terutama) finansial raksasa dan oleh
elite ekonomi dan politik yang boleh dikatakan unaccountable/tidak
tersentuh undang-undang (McMichael 2000, 241, di dalam Ben White,
Saturnino M. Borras Jr., Ruth Hall, Ian Scoones and Wendy Wolford, The New
Enclosures, 2012: 354)

Integrasi ekonomi tersebut dapat diuraikan sebagai kondisi dimana


keterhubungan di dunia bertambah erat di dalam network dan “rantai
produksi dan pemasaran komoditi”/ commodity chain untuk memasok
kebutuhan konsumsi dari para konsumen yang hidup jauh dari lokasi
dimana barang konsumsinya di rencanakan serta diproduksi. (Philip
McMichael, Development and social Change. A Global Perspective. Third
Edition. Pine Forge Press, 2004). Seperti dicontohkan oleh rantai-produksi
dan pemasaran komoditi dari sepatu olahraga merek terkenal dibawah ini.

Philip McMicheal,
2004
Gambar 5. Rantai Produksi dan Pemasaran Komoditi
Sumber: Michael 2004

Dipandang dari Teori Ketergantungan maka, rantai produksi dan


pemasaran ini dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional di
negara-negara Center, dan memanfaatkan sumberdaya alam dan
manusia dari seantero dunia untuk produksinya. Sumberdaya alam dan
tenaga kerja diperoleh dengan mudah dan murah atas kerjasama elite
politik dan ekonomi negara-negara pinggiran/periphery. Selanjutnya, hasil
produksi tersebut dijual kembali dengan sangat mahal kepada konsumen
di negara-negara pinggiran/periphery. Dengan demikian keuntungan

19
besar mengalir ke negara-negara Center, dengan imbalan cukup besar
bagi elite politik dan ekonomi di negara-negara pinggiran.

Namun menurut Giddens (Anthony Giddens, 1999: 35), Konsep Globalisasi


disalah artikan bila hanya dikaitkan dengan ekonomi, atau hanya
mengenai hal keterhubungan/ ketergantungan ekonomi. Menurut
Giddens, Globalisasi terutama adalah mengenai transformasi ruang dan
waktu di dalam kehidupan manusia. Kini Kejadian, kebijakan, prilaku, trend
pakaian, dampak industrialisasi, dengan segera dan langsung
mempengaruhi kehidupan ditempat-tempat lain. Dalam kata lain
memilliki implikasi global. Transformasi ruang dan waktu ini menurut
Giddens memiliki kaitan erat dengan Revolusi komunikasi dan teknologi
informasi. Robertson menambahkan hal penting pada fenomena
Globalisasi, menurutnya proses shrinking of the world atau compression of
the world, diikuti oleh tumbuhnya global consciousness atau suatu
kesadaran global (Roland Robertson, di dalam Hoogvelt, 1997: 117)
Kesadaran global ini tercermin dari ungkapan-ungkapan seperti world
order, ‘perdamaian dunia’ dan ‘hak-azasi-manusia’ bila diskusi mengenai
isu militer dan politik, orang juga bicara mengenai resessi-ekonomi-dunia,
bahkan bicara mengenai ‘saving the planet’. Pemanfaatan pengertian-
pengertian ini secara luas di dalam masyarakat mengindikasikan adanya
kesadaran melampaui batas-batas negara atau bangsa, yaitu kesadaran-
global/global consciousness.

Kompresi ruang dan waktu ini membawa implikasi meningkatnya


pengaruh budaya dari masyarakat yang satu pada yang lain, dan
sebaliknya. Dari pusat-pusat budaya dan politik negara-negara Center
mempengaruhi Periphery sampai ke pelosok-plosok. Menurut Hannerz,
gelobang pengaruh budaya ini tidak simetris dan resiprokal, namun sangat
berat sebelah. Arus yang dominan berasal dari Center, sedangkan
masyarakat Periphery umumnya hanya berperan sebagai penerima. Arus
budaya asimetris ini diperkuat oleh penguasaan strategi komunikasi dan
teknologi informasi oleh perusahaan Transnasional untuk memasarkan
produk-produknya, dari sabun wajah sampai dengan mobil. Walaupun
harus dikatakan bahwa tidak sepenuhnya satu-arah. Kita dapat
menyaksikan betapa musik dari Afrika, Caribia dan belakangan dari Korea
deras masuk ke Barat, demikianpun bagaimana masakan Thailand
populer di Barat dan film Boliwood mulai merangsek ke Barat.

Ragam Skenario Proses Globalisasi


Ulf Hannerz mengemukakan beberapa kemungkinan sebagai konsekwensi
dari proses Globalisasi Budaya yang menurutnya dapat terjadi (Ulf Hannerz

20
di dalam Sztompka, ibid:93-94). Pertama, Global homogenization scenario,
diandaikan bahwa proses globalisasi membawa pada dominasi budaya
Barat, dimana seluruh dunia menjadi sebentuk replika gaya hidup Barat
(pola konsumsi, menu resto., mobil, film, lakon theater, berita media, musik,
dsb.). Proses ini merupakan pengandaian yang ekstrem dari proses yang
sedang dan dapat terjadi, dimana budaya-budaya lokal kehilangan ciri
khasnya. Kedua, Saturation scenario, diandaikan bahwa bangsa dan
negara periphery di dalam proses yang panjang, setahap demi setahap
mng-absorbsi elemen-elemen budaya Barat/Center sehingga setelah
beberapa generasi menjadi jenuh dengan budaya Barat. Skenario kedua
ini boleh dikatakan Homogenisasi dengan memasukkan faktor historis.
Ketiga adalah Peripheral corruption scenario , dimana dibayangkan
bahwa dalam proses adopsi elemen-elemen budaya Barat oleh negara-
negara pinggiran, terjadi tafsir ulang, redefinisi, penyesuaian dari elemen-
elemen budaya Barat tersebut. Reformulasi dari elemen-elemen budaya
Barat yang diadopsi oleh negara-negara pinggiran ini disebabkan oleh 1)
pada pihak penerima (Periphery) terdapat kondisi ketidak siapan
menerima budaya dari luar, sedangkan dari pihak pengirim (Center)
terjadi proses dumping-budaya. Sehingga hanya elemen-elemen budaya
Barat yang nilainya rendah ‘diekspor’ dan kemudian di absorbsi oleh
masyaraakt Periphery; 2) adopsi budaya dilakukan melaui penyesuaian
dengan norma dan nilai budaya di periphery. Sehingga nilai demokrasi
misalnya ter-degradasi menjadi sandiwara politik, prinsip persamaan
menjadi nepotism, dsb.. Keempat, Maturation scenario dimana
dibayangkan arus pertukaran budaya yang lebih timbal balik. Aktor-aktor
penyelia budaya menterjemahkan ulang elemen-elemen budaya yang
diadopsi sesuai budaya sendiri. Hal mana merangsang dan
menumbuhkan kreatifitas. Di dalam konteks ini bentuk dan nilai budaya
lokal mekar dan diperkaya. Proses globalisasi ini menciptakan hibridisasi /
sintesa budaya, dalam kata lain Glokalisasi budaya. Dan terjadi arus balik
pengaruh budaya dari Periphery ke Center.
Tiap bangsa memiliki sejarahnya sendiri, termasuk sejarah interaksi dengan
bangsa-bangsa lain. Pertemuan masyarakat pernerima – yang memiliki
struktur dan budaya yang spesifik - dengan elemen-elemen budaya luar,
menciptakan proses-proses yang khas dan tidak ditemukan pada
masyarakat lain. Ragam skenario glokalisasi diatas, hanya memberikan
bentuk umumnya. Pada kasus masyarakat yang nyata, skenario-skenario
umum tersebut akan memperoleh ke khasannya sendiri sendiri. Anda
dapat mendiskusikan skenario mana yang anda lihat terjadi di Indonesia,
atau mungkin kita harus bicara mengenai kombinasi dari skenario-skenario
tersebut?

21
Pembangunan
Pembangunan merupakan pengertian yang dapat diperdebatkan.
Berbeda dengan pengertian Perubahan Sosial yang dapat dikatakan
netral, pengertian Pembangunan mengandung harapan dan cita-cita,
suatu yang ingin dicapai dan untuk itu harus diusahakan. Bagi founding
fathers negara-negara yang baru memerdekakan diri dari penjajah,
seperti halnya Indonesia, Pembangunan adalah usaha mengisi
Kemerdekaan yang telah dicapai dengan susah payah dan korbanan
besar. Sehingga Pembangunan dipahami sebagai pengembangkan
ekonomi yang mandiri dan meningkatkan kesejahteraan bagi semua
warga (lihat Bernstein, 1982:219). Namun siapa yang rajin baca koran,
majalah berita dan mengikuti berita di TV, dapat menyaksikan betapa
banyaknya ketidak sepakatan mengenai kebijakan Pembangunan,
banyaknya konflik serta degradasi lingkungan yang menyertai prose
pembangunan.

Dari sudut pandang Teori Modernisasi, Pembangunan menjadi usaha dari


negara-negara sedang berkembang, atau negara-negara tertinggal
untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Karena itu
tekanan diberikan pada pertumbungan Ekonomi. Seperti pada
pembangunan infrastruktur ekonomi, peningkatan skala eksploitasi SDA,
modernisasi sistem produksi dan peningkatan sumberdaya manusia.
Keberhasilannya diukur dari pertumbuhan GNP misalnya.

Sedangkan dari sudut pandang Teori Ketergantungan, Pembangunan


menjadi lebih sulit diterangkan, karena pengertian Pembangunan itu
sendiri menjadi suatu yang patut dipertanyakan. Tidak jarang apa yang
disebut Pembangunan oleh pemerintah, dirasakan pihak-pihak lain
sebagai penyingkiran, perampasan hak atau ketidak-adilan.
Bertentangan dengan makna yang diberikan, Pembangunan seringkali
menyebabkan jurang yang bertambah lebar antara segelintir yang kaya
dengan mayoritas yang miskin. Bagaimana tidak, bila dari sudut pandang
Teori Ketergantungan, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah
merupakan kelindan dari kepentingan bersama antara elite politik dan
ekonomi di negara-negara sedang berkembang (negara Periphery)
dengan elite politik dan ekonomi di negara industri kaya (negara Center).
Di dalam konteks ini pengertian ‘Pembangunan’ menjadi semu, sebagai
kedok bagi eksploitasi sumberdaya alam dan manusia untuk segelintir elite
global.

Perdebatan sekitar Pembangunan serta masalah-masalah yang muncul


mengikuti praktek pembangunan, menumbuhkan istilah seperti

22
“Pembangunan-isme”, sebagai ideologi yang mengutamakan
pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhitungkan dampak lingkungan dan
pengorbanan dari rakyat kecil. Sebaliknya, tumbuh pengertian dan
konsep seperti “Pembangunan-Alternatif” dan “Pembangunan
Berkelanjutan” merupakan perncerminan dari perdebatan disekitar
Pembangunan (Edelman & Haugerud, 2005: 1-3). Walaupun demikian
dibawah ini dikemukakan dua definisi yang lazim digunakan untuk
pengertian Pembangunan:

1. Pembangunan adalah Perubahan kemasyarakatan yang besar, dari


satu tingkat kesejahteraan ke tingkat berikutnya yang dihargai lebih
tinggi (Katz dikutip Ndraha 1987)

2. Pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha


pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan
secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju
modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)
(Siagian dikutip Ndraha 1997)

Kedua definisi diatas memperlihatkan dilema-dilema yang dibahas


sebelumnya, dan karena itu kelemahan dari kedua definisi diatas.

Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa Pembangunan bukan


masalah manajemen manusia, teknologi dan sumberdaya alam saja.
Sebaliknya, Pembangunan – Konsepnya, Perencanaannya, drajat
partisipasi warga di dalamnya serta prakteknya - tidak dapat dilepaskan
dari struktur kekuasaan, sistem politik dan demokrasi di masyarakat,
sumberdaya manusia, sumberdaya alam, interaksi antar negara, antar
kawasan, serta dari proses globalisasi.
Disamping itu dengan berjalannya waktu dan pengalaman, pandangan
mengenai Pembangunan bertambah komprihensif. Pada periode 1950 -
1970 Pembangunan hanya diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi,
yang diukur dari peningkatan GNP/Gross Nasional Product. Namun
laporan dari komisi Brant (perdana menteri Jerman) tahun 1980 membuat
jelas bahwa Pembangunan tidak hanya masalah pertumbuhan ekonomi,
namun tidak kalah pentingnya bagaimana pertumbuhan tsb.
didistribusikan. Sejak itu Pembangunan dikonseptualisasikan secara lebih
komprihensif. Pada periode 2000 – 2015 Millenium Development
Goals/MDG’s disepakati banyak negara – termasuk Indonesia – untuk
menjadi tujuan Pembangunan. MDG’s meliputi 8 ‘goals’, yang meliputi
penanggulangan kemiskinan s/d kesehatan ibu hamil dan kelestarian
alam. Pasca 2015 Sustainable Development Goals/SDG’s disepakati
sebagai kelanjutan dari MDG’s. Dimana permasalahan keseimbangan

23
antara pertumbuhan, kesejahteraan sosial, keadilan dan kelestarian alam
diterjemahkan kedalam 17 ‘goals’ dari Pembangunan.

Dibawah ini diperlihatkan dua contoh dari konsep Pembangunan, Your


Better Life Indext (OECD 2011) dan Sustainable Development Goals
(SDG’s). Konsep Pembangunan berserta ‘goals’-nya dapat juga berperan
sebagai indikator keberhasilan Pembangunan. Seperti dapat dilihat,
kedua konsep indikator Pembangunan ini mencakup jauh lebih luas
daripada sekedar pertumbunan ekonomi.

Tabel 3. INDIKATOR PEMBANGUNAN


Dari “pertumbuhan ekonomi/GDP”(OECD 1961-2010) menjadi ..... “Your
Better LifeIndex” (OECD 2011) dengan 11 indikator:

Pendapatan Lingkungan

Perumahan Kesehatan

Pekerjaan Kepuasan hidup

Pengembangan Masyarakat Keamanan

Pendidikan Keseimbangan pekerjaan dan


hidup

Lingkungan

Dibawah ini diperlihatkan tujuan-tujuan dari Sustainable Development


Goals (SDG’s) yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan
diharapkan diadopsi sebagai pedoman Pembangunan oleh semua
negara.

24
Gambar 6. Tujuan-tujuan SDG’s

Konsep Pembangunan seperti SDG’s mengandung banyak hal yang


membesarkan hati, yang merupakan hasil pertarungan dan kompromi
antara negara-negara dan kelembagaan-kelembagaan internasional
serta organisasi-organisasi masyarakat sipil (NGO/LSM). Menyepakati
konsep seperti SDG’s di forum Internasional, merupakan bagian dari
diplomasi internasional dan diperlukan untuk meningkatkan status negara
agar tetap menjadi bagian dari masyarakat internasional. Namun
penerapannya adalah hal lain. Sejauh mana kebijakan Pembangunan
Nasional mendekati tujuan-tujuan SDG’s dapat kita lihat dari HDI / Human
Development Index yang mengukur capaian pembangunan dari angka-
angka harapan-hidup (life expectancy), pendidikan dan penghasilan per-
capita (Gross National Income per-capita). Konsep HDI dirancang oleh ahli
ekonomi Pakistan Mahbub Ul Haq dan dimanfaatkan oleh UNDP untuk
merangking negara-negara atas nilai Human-Development mereka.
Konsep HDI kemudian diperbaiki menjai IHDI/Inequality-ajusted HDI.
Dimana faktor inequality/ketimpangan diperhitungkan untuk mengkoreksi
nilai HDI yang hanya menghitung nilai rata-rata. Dibawah ini disampaikan
konsep dari HDI dan IHDI.

25
Konsep IHDI / Inequality-adjusted HDI:
Life expenctancy index, Education index dan GNI index dikurangi oleh
index Ketimpangan = IHDI (ukuran yang lebih mencerminkan kenyataan)

Gambar 7. Konsep HDIInequallity Adjusted HDI

abel 4. Indonesia’s HDI Component Indicators for 2019 relative to


selected countries and groups

erhatikan nilai HDI Indonesia (Tabel B) dibandingkan dengan negara lain


(China, Philippines) dan dengan rata-rata Asia Tenggara dan Pacifik. Nilai
HDI Indonesia dan Philippina yang paling rendah dibandingkan rata-rata
negara Asia Tenggara dan Pasifik. Demikianpun Indonesia paling rendah
dalam hal angka harapan hidup pada saat kelahiran. Bila faktor
Ketimpangan diperhitungkan terlihat bahwa Indonesia juga tidak terlalu
baik nilainya (Tabel C).

Tabel E khususnya membandingkan capaian pembangunan dengan


membedakan dampkaknya pada laki-laki dan perempuan, GII/Gender
Ineqality Index. Bertambah kecil nilai GII maka bertambah tinggi
kesetaraan gendernya. Dengan 0.480 Indonesia berada pada rangking
121 dalam kesetaraan gender, kalah jauh dari China dan dari rata-rata
Asia Tenggara/Pasifik bahkan dari Philippina. Dalam angka kematian ibu
melahirkan Indonesia juga jauh lebih parah dari China, Philippina dan rata-
rata Asia Tenggara dan Pasifik. Di dalam hal pendidikan, perempuan

26
Indonesia yang mengikuti pendidikan SMP dan SMA paling rendah
dibanding negara lain dan dari rata-rata Asia Tenggara dan Pacific.
Mungkin a.l. karena keterwakilan perempuan di DPR juga paling rendah.
Angka-angka HDI, IHDI dan GII dapat memberikan gambaran sejauh
mana konsep dan strategi Pembangunan Nasional mencapai apa yang
dicitakan, bukan sekedar besarnya GDP.

Perspektif yang diberikan oleh Teori Ketergantungan dan Dependent


Development dapat membantu kita melihat hambatan-hambatan
struktural yang harus dihadapi untuk menerapkan konsep Pembangunan
seperti SDG’s. Untuk itu kita akan mendiskusikan bagan dibawah ini.
Tabel 5. Indonesia’s GII for 2019 relative to selected countries and
groups

Gambar 8. SDG’s dalam perspektif hubungan Kekuasaan dan Rkonomi


yang ada

Pada bagian kanan bagan dapat dilihat ciri dari kekuatan ekonomi dan
politik di dalam suatu negeri yang terbangun di dalam proses ekspansi
kapitalisme global. Yaitu aliansi dari elite ekonomi global di dalam

27
perusahaan transnasional (TNC’s/Transnational Corporations) dengan elite
ekonomi dan elite politik nasional dan daerah. Mendasari aliansi ini adalah
ideologi Neo-Liberal yang mengatakan bahwa, “tidak ada diskripansi atau
pertentangan antara kepentingan TNC dengan cita-cita Pembangunan
Nasional”. Aliansi kepentingan global ini sangat menentukan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang seringkali diberikan cap Pembangunan atau
Proyek Strategis Nasional. Di dalam kasus negara-negara Dunia ke III –
termasuk Indonesia – tekanan kepentingan global ini tercermin di dalam
kebijakan-kebijakan ‘business as usual’ (pada bagan lihat bagian tengah),
yang dicirikan oleh: Komoditisasi dan privatisasi sumberdaya alam;
komoditisasi dan privatisasi jasa-jasa publik seperti pendidikan, kesehatan,
jaminan sosial, infrastruktur; kebijakan ekonomi liberal yang
mempertahankan kebijakan tenaga-kerja murah, pertanian agribusiness,
dan corporate farming. Kebijakan ‘business as usual’ ini umumnya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Namun berdampak
pada jurang kaya – miskin bertambah dalam, tersingkirnya penduduk desa
dari tanah dan sumberdaya-bersama (common pool resources: air, hutan,
rawa, padang rumput, pantai/pesisir, dsb.). Eksploitasi sumberdaya alam
skala besar oleh korporasi-korporasi besar selain berdampak pada
tersingkirnya penduduk lokal dari sumberdaya, juga berdampak pada
perubahan bentang alam (landscape) secara radikal, digantikan sistem
monokultur skala besar (sistem perkebunan, hutan tanaman industri).
Perubahan radikal pada ekosistem, digantikan dengan sistem industrial
monokultur skala besar berdampak pada hilangnya keragaman hayati
dan pencemaran lingkungan. Dampak lanjutannya adalah, runtuhnya
ragam sistem pertanian lokal (agroekosistem lokal), serta kemandirian
pangan dan ekonomi lokal.

Bila ‘business as usual’ sudah mendominasi, maka ekonomi Daerah dan


Nasional akan menjadi sangat rentan oleh runtuhnya daya dukung alam,
serta oleh gejolak ekonomi global. Dan seperti biasa, beban ekonomi dan
kerusakan lingkungan yang paling besar akan dipikul oleh golongan miskin.
Gambaran umum diatas kita peroleh bila menggunakan kaca-mata Teori
Ketergantungan dan Dependent Development. Menarik untuk didiskusikan
seberapa jauh gambaran tersebut sesuai dengan proses Pembangunan di
Indonesia. Satu hal menjadi jelas, bahwa Pembangunan Nasional –
bagaimanapun konsep dan strateginya – menjadi salah satu faktor
penting di dalam menggerakkan Perubahan Sosial.

Teori Dependent Development / Dependency Associated Development


Theory mengemukakan bahwa masih ada jalan keluar, walau tidak
sepenuhnya, dari jebakan Ketergantungan. Mengapa demikian, karena
ekonomi global saat ini lebih memperlihatkan ciri saling ketergantungan,

28
walau yang satu lebih kuat dari yang lain. Di dalam konteks ini, masih ada
ruang negosiasi antara pemerintah di negara Dunia ke III dengan TNC’s.
Disinilah terdapat peran perguruan tinggi untuk menggagas secara ilmiah
kebijakan-kebijakan yang lebih dekat dengan tujuan SDG’s dan lebih
bersahabat dengan alam. Namun besarnya kekuatan bussiness as usual
yang dihadapi – koalisi dari modal besar global dan domestik serta elite
politik pusat dan daerah – menyadarkan kita bahwa mendobrak jebakan
ketergantungan bukanlah pekerjaan akademis semata. Bukan juga
perjuangan LSM saja. Namun perjuangan semua golongan masyarakat,
bahkan bangsa. Karena yang dipertaruhkan kini lebih dari penghapusan
kemiskinan dan keadilan sosial-politk, namun keselamatan planet bumi.

Daftar Pustaka
Bernstein, H., 1982, Industrialization, Development, and Dependence.
Dalam Hamza Alavi & T. Shanin (eds.), Introduction to the Sociology
of “Developing Societies”, Monthly Review Press, NY and London.

Bierstedt, Robert, 1970, The Social Order. Third Edition, McGrow-Hill Book
company.

Edelman, Marc & Angelique Haugerud, 2005, The Anthropology of


Development and Globalization. From Classical Political Economy
to Contemporary Neoliberalism. Blackwell Publishing, hal. 1-3.

Fakih, Mansour, 2001, Runtuhnya Teori Pemangunan dan Globalisasi.


Pustaka Pelajar & INSIST Press.

Giddens, Anthony, 1999, Jalan Ketiga. Pembaruan Demokrasi Sosial. PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Harper, Charles L., 1989, Exploring Social Change. Prentice Hall, New Jersey.

Hoogveld, Ankie, 1978, The Sociology of Developing Societies. Second


Edition. The MacMillan Press LTD, London and Basingstoke.
Hoogveld, Ankie, 1997, Globalisation and the Postcolonial World. The New
Political Economy of Development. McMillan Press LTD.

McMichael, Phillipe, 2004, Development and social Change. A Global


Perspective. Third Edition. Pine Forge Press.

Ndraha,T., 1987, Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat


Tinggal Landas. Bina Aksara, Jakarta.

OECD, 1961-2010.

OECD, 2011, Your Better Life Index.

29
Schoorl, J.W., 1988, Modernisasi. Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-negara Sedang Berkembang. Diindonesiakan oleh R.G.
Soekadijo. PT Gramedia, Jakarta.

Sztompka, Piotr, 1993, The Sociology of Social Change. Blackwell, Oxford


UK & Cambridge USA.

Waters, Malcolm, 1998, Modern Sociological Theory. Second Printing, SAGE


Publication, London.

Ben White, Saturnino M. Borras Jr., Ruth Hall, Ian Scoones and Wendy
Wolford, 2012, The New Enclosures: critical perspectives on
corporate land deals. The Journal of Peasant Studies, Vol. 39, No. 3-
4, July-Octobeer 2012, 619-647.

30

Anda mungkin juga menyukai