Anda di halaman 1dari 20

BAB VIII

DINAMIKA STRATIFIKASI DAN MOBILITAS


SOSIAL DI INDONESIA PADA ERA DIGITAL
Nurmala K. Pandjaitan, Nuraini W. Prosodjo, Murdianto,
Zessy Ardinal Barlan, dan Rajib Gandi

Perbedaan antar individu atau antar kelompok adalah suatu gejala yang
umum dalam semua masyarakat (Pitirim A. Sorokin 1959). Perbedaan ini
ada yang bersifat horizontal dan ada yang vertikal. Perbedaan yang
bersifat horizontal disebut juga diferensiasi sosial membedakan individu-
individu atau kelompok-kelompok berdasarkan jenis pekerjaan, jenis
kelamin, jenis ras/etnis dan perbedaan lainnya yang tidak menunjukkan
adanya suatu jenjang atau peringkat diantara individu atau kelompok,
artinya perbedaan ini tidak menunjukkan ada individu yang lebih tinggi
atau rendah posisinya dibandingkan individu lainnya. Sementara itu
perbedaan yang bersifat vertikal, membedakan individu-individu atau
kelompok dalam peringkat yang hierarkis atau bertingkat, dimana ada
individu atau kelompok yang lebih tinggi atau lebih rendah posisi sosialnya
dari individu lainnya di dalam suatu masyarakat. Inilah yang disebut
sebagai stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Stratifkasi sosial merupakah
bagian dari struktur sosial dan merupakan gejala sosial yang ada di setiap
masyarakat.

Pengertian Stratifikasi Sosial


Jika kita diminta menempatkan individu-individu yang berada di
lingkungan kampus IPB ke dalam semacam tangga posisi/kedudukan dari
yang rendah sampai yang tinggi, dimanakah kita akan menempatkan
seorang rektor, dosen, mahasiswa, pegawai administrasi, petugas
kebersihan, petugas keamanan, pedagang yang berjualan dan lain-lain
pada tangga posisi itu? Apakah dasar atau alasan kita menempatkan
mereka masing-masing pada posisi itu? Apakah perbedaan tingkatan
pada masing-masing posisi tersebut dihargai dengan imbalan berupa
gengsi, kehormatan dan hak yang berbeda pula? Apakah masing-masing
posisi itu ditandai dengan gaya hidup (sikap/kepribadian, norma, gaya
bahasa, jaringan sosial, tingkat kesehatan, dll) yang berbeda pula? Faktor
apa yang mendorong terbentuknya pelapisan sosial, bagaimana
prosesnya dan bagaimana dinamikanya dalam era digital pada masa

1
kini? Dampak apakah yang timbul dari adanya stratifikasi sosial ini ?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan dibahas
dalam bab ini.
Ditinjau dari asal katanya Social-stratification (stratifikasi sosial) berasal dari
kata stratum (bentuk jamak dari strata yang berarti lapisan). Stratifikasi
sosial dapat diartikan sebagai pembedaan posisi sosial individu-individu
secara hierarkis dalam masyarakat yang diwujudkan dalam dua atau lebih
lapisan-lapisan atau kelas-kelas misalnya: tinggi, sedang dan rendah
(Soekanto 1990). Sistim pelapisan ini yang membuat sejumlah orang
dianggap lebih penting atau lebih dihormati daripada yang lain. Semakin
tinggi posisi sosial seseorang maka semakin besar penghormatan yang
diterimanya dari orang-orang yang posisinya lebih rendah. Perbedaan
posisi sosial ini dapat terlihat pada gaya hidup masyarakat seperti tempat
pemukiman, pemilihan alat transportasi, kegiatan waktu luang, pola
berlibur, lingkungan pergaulan dan tentunya penampilan individu seperti
tutur kata, cara berpakaian dan sebagainya dimana kelas menengah ke
atas menunjukkan gaya yang lebih atraktif dan ekslusif yang sekaligus
menjadi simbol statusnya.

Dasar-Dasar Stratifikasi Sosial


Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial muncul sejak manusia mengenal
adanya kehidupan bersama di dalam suatu sistem sosial. Misalnya, pada
masyarakat yang bertaraf kebudayaan sederhana stratifikasi sosial sudah
ada meskipun hanya didasarkan pada perbedaan jenis kelamin dan
perbedaan antara kepala suku dan warganya. Pada masyarakat bertaraf
kebudayaan sederhana ini biasanya perbedaan posisi dan peranan masih
minim, karena jumlah warganya masih sedikit sehingga keragaman posisi-
posisi yang dianggap rendah sampai tinggi juga tidak banyak. Semakin
besar ukuran masyarakat dan semakin maju teknologinya, maka biasanya
sistem stratifikasi sosialnya makin rumit akibat semakin beragamnya dasar
pelapisan yang diterapkan.
Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi
dalam kenyataannya tidaklah demikian. Seseorang yang memiliki sesuatu
yang dinilai berharga oleh masyarakat dalam jumlah yang lebih banyak
dan atau fasilitas-fasilitas hidup yang lebih baik dan atau pengaruh sosial
yang lebih besar, akan ditempatkan oleh masyarakatnya pada lapisan
lebih tinggi. Sementara mereka yang hanya sedikit sekali atau bahkan
tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut akan ditempatkan pada
posisi yang lebih rendah. Sesuatu yang dianggap berharga oleh
masyarakat bisa saja berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat

2
lainnya. Namun demikian, terdapat dasar atau ukuran yang biasa dipakai
untuk menempatkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu:
(a) Ukuran kekayaan: mereka yang memiliki kekayaan paling banyak,
ditempatkan pada lapisan teratas. Kekayaan seseorang dapat
dilihat dari kepemilikan dan luas lahan yang diusahakan, jumlah
barang-barang berharga yang dimilikinya (rumah mewah, mobil
bermerek, perhiasan emas permata) dan mungkin juga banyaknya
hewan ternak yang dimilikinya seperti sapi, kerbau dan sebagainya
yang bernilai tinggi.

(b) Ukuran kekuasaan: mereka yang memiliki kekuasaan atau


mempunyai wewenang yang besar, akan ditempatkan pada lapisan
lebih tinggi. Contohnya Sekalipun seorang politikus anggota suatu
partai politik mungkin tidak mempunya kekayaan yang tergolong
besar, namun mereka sering diakui sebagai lapisan atas, karena
kekuasaan dapat diperoleh bukan semata dari kekayaan tetapi juga
dari akses dan kontrolnya terhadap birokrasi;
(c) Ukuran kehormatan: ukuran ini dapat saja terlepas dari ukuran
kekayaan dan atau kekuasaan. Mereka yang paling disegani dan
dihormati menempati tempat teratas dalam masyarakatnya. Ukuran
semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat
tradisional yang masih memegang teguh adat istiadat. Biasanya
mereka yang dihormati ini adalah tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh
agama dan orang yang dinilai berjasa oleh masyarakat.
(d) Ukuran iImu-pengetahuan: ukuran ini umumnya diterapkan oleh
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Orang yang
mempunyai tingkat pendidikan yang dinilai tinggi pada suatu
masyarakat akan menempati tempat teratas dalam masyarakatnya.
Akan tetapi ukuran tersebut kadangkala menimbulkan efek negatif
ketika bukan mutu substansi ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran
utama, melainkan sekedar gelar kesarjanaan yang dimiliki. Hal
semacam ini yang memicu segala macam usaha yang dilakukan
sebagian orang untuk sekedar mendapatkan gelar kesarjanaan,
walaupun harus melanggar norma hukum.

Posisi yang tinggi sifatnya akumulatif dimana mereka yang berada pada
lapisan atas bisa saja memiliki satu macam hal yang dihargai oleh
masyarakat. Mereka yang memiliki banyak uang, akan mudah sekali
mendapatkan tanah, kekuasaan dan juga kehormatan. Demikian juga
mereka yang mempunyai kekuasaan besar akan mudah menjadi kaya
dan mengusahakan ilmu pengetahuan. Menurut Max Weber stratifikasi
sosial adalah suatu penggolongan orang-orang ke dalam lapisan-lapisan

3
hirarkis menurut dasar kekuasaan, privilege (hak istimewa) dan prestise
(Hurst 2007). Sedangkan Karl Marx menyebutkan bahwa kelas sosial
ditentukan oleh kepemilikan alat produksi. Dengan demikian stratifikasi
sosial menyangkut adanya perbedaan dan ketidaksamaan dalam aspek
sosial dan ekonomi pada golongan-golongan orang dalam suatu
masyararakat.

Sementara itu Sajogyo (1994) mengemukakan ada 3 faktor yang


mendasari stratifikasi sosial yaitu:1) faktor biologis (jenis kelamin, ras, usia,
bentuk fisik, bakat, dan lain-lain), 2) faktor ajar (pendidikan, jenis pekerjaan
dan sebagainya), 3) kepentingan dan kelangkaannya. Sebagai contoh
faktor biologis adalah pada masyarakat biasanya orang yang berusia tua
lebih dihormati, sementara orang disabilitas dianggap rendah statusnya
sehingga sering diperlakukan tidak adil. Demikian pula berdasarkan faktor
ajar, orang yang berpendidikan sarjana, pegawai negeri ataupun orang-
orang yang mempunyai profesi tertentu seperti polisi, dokter dan artis lebih
dihargai oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Sedangkan menurut
faktor kepentingan dan kelangkaannya, seseorang yang mempunyai
keterampilan tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat dan jarang
ada orang yang memilikinya akan ditempatkan pada posisi sosial yang
tinggi. Contohnya di daerah pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih
dikenal adanya paraji atau mak berang yang cukup dihormati warga
desa karena tidak banyak perempuan yang terampil membantu
persalinan para ibu sementara kemampuan ini sangat dibutuhkan
mengingat minimnya tenaga kesehatan di pedesaan terutama yang
berjarak jauh dari kota.
Ukuran-ukuran yang dipakai sebagai dasar stratifikasi sosial tidaklah
terbatas pada apa yang telah disebutkan di atas. Banyak ukuran-ukuran
lain yang dapat digunakan. Pada beberapa masyarakat tradisional di
Indonesia, kelompok sosial pembuka tanah dan keturunannya biasanya
menduduki lapisan tertinggi. Pada masa kini, mereka yang menguasai
teknologi digital (contohnya: data scientist, web developer, digital
marketers) cenderung ditempatkan pada posisi sosial yang lebih tinggi,
karena belum banyak orang yang memiliki keterampilan tersebut yang
sangat dibutuhkan di era teknologi industri 4.0 saat ini.
Ilustrasi pada tulisan Pattinasarany (Kotak 8.1) menunjukkan tiga hal
yaitu: pertama, dasar-dasar atau ukuran yang diterapkan masyarakat
Indonesia untuk menempatkan kelompok sosial tertentu ke dalam lapisan
– lapisan sosial. Dasar stratifikasi sosial yang tampak adalah pendidikan,
penghasilan atau juga remitansi. Kedua, kombinasi dan keterkaitan satu
sama lain dasar stratifikasi sosial yang diterapkan di Indonesia yaitu

4
pendidikan formal dan ketrampilan yang diperoleh secara informal serta
penghasilan termasuk remitansi. Ketiga, perubahan atau dinamika dalam
penentuan dasar stratifikasi. Pendidikan dan pendapatan masih menjadi
dasar atau ukuran yang mempengaruhi dalam menentukan posisi sosial
masyarakat di Indonesia. Pattinasarany juga menyebutkan bahwa pada
karakterisik masyarakat tertentu, terjadi perubahan dasar dan ukuran
stratifikasi, dimana dalam mendapatkan ketrampilan untuk meningkatkan
status sosialnya tidak harus melalui pendidikan formal tetapi juga dari
pembelajaran individu secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa dasar
stratifikasi suatu masyarakat juga dinamis.

Boks 8.1.
Dasar Stratifikasi dan Mobilitas Sosial
Disadur dari tulisan Indera Ratna Irawati Pattinasarany, Universitas Indonesia,
Depok, Indonesia, Anggota ISA Research Committees on Sociology of Education
(RC04) and Social Stratification (RC28) dengan judul Memacu Mobilitas Sosial
Naik di Indonesia
Selama bertahun-tahun, ketidaksetaraan di Indonesia paling jelas terlihat dalam
ketidaksetaraan peluang untuk mobilitas sosial ke atas. Penelitian yang dilakukan
di Indonesia, seperti di sebagian besar dunia, semakin rendah kelas sosial,
semakin kecil peluang untuk mobilitas ke atas. Hal ini tentunya tidak terlepas dari
dasar stratifikasi yang digunakan. Berkenaan dengan gender, laki-laki lebih
mungkin untuk bergerak ke atas daripada perempuan dengan posisi yang
sama, terutama bagi mereka yang memulai di kelas sosial yang lebih rendah.
Pendidikan jelas mempengaruhi mobilitas sosial ke atas di Indonesia. Semakin
tinggi tingkat pendidikan semakin besar peluang mobilitas sosial ke atas. Namun,
ada beberapa pengecualian menarik di mana orang-orang dari kelas bawah
naik ke kelas menengah, bahkan tanpa sekolah. Terdapat tiga contoh yaitu:
pertama, masyarakat Indonesia yang memilih untuk bekerja di luar negeri
sebagai pekerja migran, lalu mendapatkan penghasilan lebih dan banyak yang
mengirim remitansi ke kerabat yang tinggal di desa. Dengan remitansi ini
keluarga dapat pindah ke kelas sosial yang lebih tinggi. Kedua, adanya
ketrampilan khusus turun temurun antar generasi. Sebuah komunitas di Garut
(Jawa Barat) terkenal menghasilkan tukang cukur pria terbaik di Jawa.
Kebanyakan tukang cukur profesional yang sukses sementara bekerja di luar
desa mereka di kota-kota besar seperti Jakarta. Melalui keahlian khusus mereka
sebagai tukang cukur, banyak yang berhasil mengangkat status ekonomi dan
sosial keluarga mereka. Ketiga, adalah kewirausahaan dimana pengusaha desa
yang memulai menjadi wiraswasta, tetapi kemudian beralih ke usaha skala
mikro, dan mengembangkan usahanya ke desa desa tetangga.

Biasanya dalam suatu masyarakat, tidak ada stratifikasi sosial yang


benar-benar hanya didasarkan oleh satu ukuran saja. Max Weber
menyatakan bahwa dasar kekayaan bersama-sama dengan dasar
kekuasaan belum dapat seluruhnya menjelaskan sistem stratifikasi yang
ada pada masyarakat modern, tetapi masih ada faktor lain yang harus
dipertimbangkan yaitu faktor yang melibatkan kebudayaan (culture).

5
Fungsi Stratifikasi Sosial
Pembedaan posisi atau status sosial dalam masyarakat dinilai dengan
ganjaran (pahala), gengsi, kehormatan, dan hak yang berbeda-beda
atas tiap posisi. Tinggi-rendahnya posisi seseorang akan menentukan
seberapa besar ia akan mendapatkan ganjaran (pahala), gengsi,
kehormatan, dan hak sesuai dengan norma yang ada pada
masyarakatnya. Seperti halnya seorang pemimpin apalagi dalam
organisasi formal dan besar tentunya sangat bergengsi dan dihormati oleh
para bawahannya. Sesuai dengan posisinya itu ia mempunyai hak-hak
yang lebih besar untuk mengambil keputusan penting dalam
organisasinya. Sekaligus ia juga mendapatkan ganjaran berupa jumlah
penghasilan dan fasilitas yang paling besar. Namun ia mempunyai
kewajiban agar semua target yang telah ditetapkan oleh organisasinya
dapat tercapai seluruhnya dan tepat waktu, untuk itu ia dituntut untuk
dapat berperan sebagai pemimpin yang efektif, yang mampu
membangun kinerja yang tinggi pada para bawahannya.
Dengan demikan stratifikasi atau pelapisan sosial menunjuk adanya
ketidaksamaan dalam pembagian hak, kewajiban, tanggung-jawab, nilai-
nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Ketidaksamaan ini berfungsi sebagai: 1) pendorong agar individu mau
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan posisi dan
peranannya pada posisi-posisi yang tersedia dalam struktur masyarakat
tersebut; 2) dasar penuntun bertingkah laku dalam masyarakat yang
mempengaruhi cara berpikir, sikap, pola bertindak, selera dan
sebagainya; 3) menunjukkan ciri-ciri penyimpangan, yaitu ketika
seseorang tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya. Pembedaan ini dapat juga berfungi mempertahankan
status seseorang dalam sistim sosial masyarakat, ketika ada aturan-aturan
tidak tertulis untuk membatasi kelompok-kelompok lain menduduki posisi
yang lebih tinggi karena adanya kepentingan politik dan ekonomi dari
golongan lapisan atas. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidak adilan,
kekerasan dan juga diskriminasi.
Unsur-Unsur Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan bagian dari struktur sosial dalam suatu
masyarakat yang diwujudkan dengan adanya kelas yang tinggi dan kelas
yang rendah. Posisi setiap individu pada hierarki sosial akan disertai dengan
peranan yang harus dijalankannya sesuai dengan kedudukannya
tersebut.

6
Kedudukan/Status
Kedudukan diartikan sebagai tempat seseorang secara umum
dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, yang
diwujudkan dalam kedudukan atau status sosial yang tinggi atau rendah.
Masyarakat pada umumnya mengenal dua macam kedudukan/status,
yaitu:
(a) Kedudukan/status yang diperoleh karena kelahiran (ascribed-status),
misalnya kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan
juga; dan

(b) Kedudukan/status yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha


yang disengaja (achieved-status). Keduduan ini tidak diperoleh atas
dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja
tergantung dari usahanya untuk mencapai kedudukan tersebut.
Misalnya, seseorang bisa menjadi influencer terkenal karena kerja
kerasnya dalam menampilkan hal-hal yang positif dan menarik di
media sosial.
Ada lagi satu macam kedudukan/status yang tidak begitu umum, yaitu
assigned status. Status ini mempunyai hubungan erat dengan achieved
status yang biasanya diberikan oleh suatu kerajaan atau negara kepada
seseorang yang dianggap telah berjasa memberikan atau
memperjuangkan sesuatu hal yang berharga untuk kepentingan
masyarakat. Sebagai contoh Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris telah
menganugerahkan gelar “Sir” kepada aktor Sean Connery atas perannya
sebagai agen rahasia dalam film James Bond yang sangat terkenal, dan
memberikan gelar ”Dame” pada artis Angelina Jolie atas dedikasinya
mengkampanyekan stop kekerasan seksual di zona konflik.
Kedudukan seseorang melekat padanya dalam kehidupan sehari-hari
yang dapat terlihat melalui ciri-ciri tertentu yang dalam Sosilogi dinamakan
prestige simbol (status-symbol). Ciri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi
bagian hidup seseorang yang telah terlembaga dan mendarah daging.
Beberapa contoh ciri-ciri yang sering dianggap sebagai status simbol gaya
berpakaian serta bahan pakaiannya, lingkungan pergaulannya, cara
mengisi waktu luang (bentuk rekreasi), memilih tempat tinggal (lokasi,
bentuk, tipe dan ukuran rumahnya), cara dan corak penghias rumah,
jumlah dan merek mobil pribadinya, caranya merawat tubuh dan
kesehatannya dan seterusnya.

7
Peranan (Role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status) yang
menyangkut hak dan kewajiban seseorang sesuai dengan posisinya.
Antara peranan dan kedudukan, dalam kenyataanya tidak dapat
dipisahkan, karena saling tergantung satu deng. Kedudukan/status
merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam
organisasi masyarakat, sedangkan peranan lebih bersifat dinamis yang
menunjuk pada harapan-harapan masyarakat menyangkut
kedudukan/status tertentu.
Dalam kaitan ini, Soekanto (1990) menegaskan bahwa konsep peranan
dapat dipelajari dalam arti sebagai berikut :
(a) Norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan bermasyarakat atau apa yang seharusnya dilakukan
seseorang dalam masyarakat sesuai dengan kedudukannya;
(b) Apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat; dan
(c) Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat atau apa
yang dilakukan oleh seseorang.
Setiap orang dapat memiliki bermacam-macam peranan yang berasal
dari pola-pola pergaulan hidupnya, sehingga memungkinkan pula
terjadinya konflik peran (conflict of roles). Seorang ibu yang bekerja dapat
mengalami konflik peran antara peran sebagai pegawai perusahan dan
peran sebagai ibu yaitu pada saat ia harus mengerjakan tugas penting di
kantornya sementara anaknya sedang sakit dan membutuhkan
perhatiannya.

Dinamika Stratifikasi Sosial


Proses Stratikasi Sosial
Proses terjadinya stratifikasi sosial bisa secara tidak sengaja atau terjadi
begitu saja di dalam masyarakat sejalan dengan proses pertumbuhan
masyarakat. Penyebabnya antara lain seperti yang dikemukakan oleh Karl
Marx, yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik
sosial, dan hak kepemilikan pribadi. Dengan perkembangan teknologi
internet memunculkan berbagai jenis pekerjaan yang belum pernah ada
sebelumnya. Akan tetapi stratifikasi sosial dapat juga terbentuk dengan
sengaja untuk mengejar suatu tujuan bersama seperti adanya pembagian
kekuasaan dan wewenang dalam organisasi formal (perusahaan,

8
pemerintahan, partai politik). Bila dikaitkan dengan kekuasaan, maka
dengan adanya pembagian kerja akan bermunculan berbagai posisi-
posisi dimana yang satu akan memiliki kekuasaan dan wewenang lebih
besar daripada yang lain. Ketidaksamaan dalam kekuasaan ini pada
gilirannya akan mendorong terjadinya stratifikasi sosial. Dengan demikian
terdapat tiga hal yang menjadi dasar terjadinya stratifikasi sosial, yaitu:
1. Proses kelembagaan atau penetapan suatu tipe barang dan jasa
tertentu sebagai sesuatu yang bernilai dan diinginkan sehingga
barang/jasa tersebut menjadi simbol atau penciri pemiliknya termasuk
dalam lapisan atas, seperti pada saat ini dimana revolusi industri 4.0
telah menghasilkan IOT (Internet Of Things) maka mereka yang
menguasai teknologi digital sangat dihargai oleh kalangan industri
sehingga lebih mudah mendapat pekerjaan dengan penghasilan
yang besar.
2. Aturan-aturan alokasi yang mendistribusikan barang dan jasa tersebut
kepada beragam kedudukan atau pekerjaan, untuk memperolehnya
seseorang perlu perjuangan karena barang/jasa tersebut jumlahnya
terbatas. Makin tinggi kedudukan seseorang makin besar pula
kekuasaan/wewenangnya sekaligus juga tanggung jawabnya dan
juga ganjaran (pahala) dan gengsinya. Namun karena kedudukan
yang tinggi itu jumlahnya tidak banyak maka untuk mendapatkannya
seseorang membutuhkan perjuangan yang besar.
3. Mekanisme mobilitas (gerak berubah: dari status sosial rendah ke status
sosial yg lebih tinggi) yang mengkaitkan antara individu-individu
dengan pekerjaannya dan kedudukannya itu. Dalam hal ini ada
upaya yang sengaja dilakukan untuk menjaring pemimpin dengan
cara memberi persyaratan tertentu yang sulit untuk dipenuhi semua
orang, contohnya untuk menjadi seorang Ketua Badan Eksekutif
Mahasiswa ada persyaratan tertentu menyangkut tingkat pendidikan,
pengalaman berorganisasi, prestasi akademik, pengalaman
mahasiswa tersebut sebagai pemimpin dalam berbagai kegiatan
kemahasiswaan dan berbagai hal lain yang menunjukkan kapasitas
individu tersebut sebagai seorang pemimpin. Keberhasilan seorang
mahasiswa menjadi ketua BEM akan membawanya pada posisi sosial
yang lebih tinggi dari mahasiswa lainnya.
Golongan masyarakat yang mampu melihat peluang dan potensi alam
yang ada disekitarnya pun dapat mendorong adanya gerak mobilitas
naik. Hal ini seperti yang terlihat dalam ilustrasi pada kotak 8.2. yang
menjelaskan bagaimana seorang petani yang memulai usahanya dari nol

9
mampu menjadi salah satu produsen terbesar di wilayah Jawa Timur
karena mampu membaca peluang dan menggorganisir petani lainnya.

Boks 8.2.
Dinamika Stratifikasi Sosial
Disadur dari kumparan.com dengan judul kisah petani sukses dari nol kini jadi
perngusaha kaya
Kisah petani yang berhasil sukses dari nol bernama Abdul Qohar. Petani ini
tinggal di Desa Candisari, Kecamatan Sambeng, Lamongan. Abdul meraup
banyak keuntungan dengan berkebun pepaya calina. Lahan pertanian yang
ada di ujung selatan Lamongan terkenal kering dan sudah turun temurun hanya
ditanami tembakau, padi, serta jagung. Namun, hal ini tidak menurunkan niat
Abdul. Dengan ketekunan dan kegigihan, Abdul berhasil membentuk Kelompok
Tani Godong Ijo Sejahtera dengan 112 anggota yang tersebar di 8 desa di
wilayah Kecamatan Sambeng. Dengan total kebun buah pepaya calina seluas
15 hektar, Lamongan menjadi produsen terbesar ketiga di wilayah Jawa Timur.
Tak hanya ke Lamongan saja, buah pepaya calina dari Sambeng ini juga
dipasarkan hingga ke Tuban, Gresik, serta Jakarta. Dalam lahan seluas 1 hektar,
dapat ditanam hingga 1.520 batang pepaya calina. Pada setiap hektar, petani
dapat mendapat omzet sebesar Rp 18 juta/bulan. Hal ini pun sudah dihitung
dengan adanya kemungkinan faktor kegagalan. Masa panen buah pepaya
calina itu sendiri yakni ketika telah berusia 6 bulan 20 hari. Pepaya calina akan
terus berbuah sampai berumur 3 tahun kemudian. Pepaya calina dari Sambeng
ini sudah memiliki merk dagang. Pemilik kebun pun sudah mendapatkan binaan
khusus untuk menjaga kualitas buah pepaya agar sama, meski ditanam di lahan
yang berbeda.

Pada saat ini di Indonesia terlihat adanya fenomena munculnya golongan


masyarakat yang dalam waktu singkat naik ke lapisan sosial atas karena
kemampuannya memanfaatkan internet dengan menjadi blogger,
influencer, selegram atau membuat platform-platform yang dapat
menarik perhatian para pengguna internet dan media sosial. Mereka
dapat menghasilkan uang yang sangat banyak melalui postingannya di
media sosial baik untuk pemasukan pribadi, ataupun mengumpulkan
dana masyarakat untuk mendanai program-proogram kemanusiaan
seperti kitabisa.com, BenihBaik.com, Indonesiadermawan.id dan lain-lain
yang memberi bantuan dana bagi masyarakat tidak mampu yang
mengalami musibah. Ada juga yang bergerak dalam bidang pelayanan
masyarakat seperti ruangguru.com, dalam bidang transportasi seperti
GRAB dan GOJEK dan bisnis retail seperti Tokopedia, Shopee dan
sebagainya. Mereka yang berada di balik media sosial dan platform ini
dapat menghasilkan kekayaan yang fantastis dalam waktu singkat, sangat
populer dan ditempatkan dalam lapisan sosial atas dalam struktur sosial
masyarakat Indonesia.

10
Namun ada juga suatu mekanisme dalam masyarakat yang dapat
mempertahankan stratifikasi sosial yang sudah ada agar tidak berubah
yaitu melalui:
(a) Usaha dari pihak yang berkuasa, yaitu usaha yang dilakukan dengan
menggunakan beragam saluran seperti ekonomi, politik, pendidikan
dan sistem hukum ini dimaksudkan untuk melindungi dirinya agar tetap
terus bertahan dalam posisi yang diuntungkan;
(b) Pranata sosial, yaitu kelembagaan sosial yang dimanfaatkan untuk
mempertahankan sistem stratifikasi sosial, dapat berupa kelembagaan
politik, kelembagaan ekonomi seperti hak kepemilikan terhadap
barang dan usaha, kelembagaan agama, pendidikan, militer,
kekerabatan dan lain-lain;
(c) Kebudayaan, yang selalu menjadi alasan pembenaran adanya
pembedaan atau pelapisan masyarakat, seperti misalnya adanya
ideologi bahwa kemiskinan akibat dari kemalasan;

(d) Sosialisasi, yaitu suatu proses dimana individu-individu belajar tentang


posisi, peranan serta hak dan kewajibannya yang sesuai dengan
konteks budaya masyarakatnya; dan

(e) Alat pemaksa, yang berfungsi untuk mengontrol penyimpangan yang


dilakukan individu-individu dalam menjalankan hak dan kewajibannya
sesuai dengan posisinya ataupun mengontrol upaya pelanggaran
hukum yang dilakukan mereka dalam usaha menaikkan posisinya,
misalnya hukuman bagi pejabat yang korupsi atau mahasiswa yang
menyontek.

Mobilitas Sosial
Arah Mobilitas Sosial
Di dalam masyarakat, posisi individu tidak selalu sama dari waktu ke waktu.
Peningkatan karir selain membuat seseorang naik ke lapisan yang lebih
tinggi dalam struktur pekerjaannya, juga dapat membuatnya menempati
lapisan sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat, misalnya setelah berhasil
menjadi pemenang pada suatu ajang pencarian bakat yang bergengsi
seorang penyanyi yang belum terkenal menjadi sangat dikenal di seantero
negeri, dihormati dan menjadi kaya raya. Sebaliknya PHK (pemutusan
hubungan kerja) bukan saja membuat seseorang kehilangan pekerjaan
tetapi juga dapat membuatnya turun ke lapisan sosial yang lebih rendah.
Gejala inilah yang disebut gerak sosial atau mobilitas sosial.

11
Menurut Sorokin (1998) dalam Soenarto (2000) pengertian mobilitas sosial
adalah perpindahan individu-individu dari kategori sosial yang lebih
rendah ke yang lebih tinggi (mobilitas ke atas), atau lebih tinggi ke yang
lebih rendah (mobilitas ke bawah) dalam suatu sistem stratifikasi sosial
“Social mobility is the movement of individu-als from lower to higher
(upward mobility), or higher to lower (downward mobility) social categories
in a social stratification system”.
Terdapat dua gerak sosial (mobilitas sosial) berdasarkan arahnya, yaitu,
pertama, mobilitas sosial horizontal dan kedua, mobilitas sosial vertikal yang
meliputi mobilitas sosial vertikal naik (upward mobility) dan mobilitas sosial
vertikal turun (downward mobility) (Sorokin dalam Pattinasarany 2016:35).
Terkait dengan gerak sosial vertikal Sorokin (1998) menyatakan bahwa
terdapat dua gerak sosial ertikal (mobilitas sosial vertikal) ; Vertical mobility
ia devided into two types: (1) Vertical climbing mobility is transition from a
lower stratum into higher one. When someone improves his or her position
in society, this is known as climbing mobility. and (2). Vertical sinking mobility
is to droping of individuals from a higher social position into lower one,
without degradation or disintegration of higher group to which they
belonged. When someone falls to a lower position in the social hierarchy
and this termed sinking mobility.
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Yadaf (2015), gerak sosial
vertikal mencakup Upward Mobility dan Downward Mobility., When a
person or a group of persons move from lower position to upper position it
is called Upward Mobility, and Downward mobility indicates that one loses
his higher position and occupies a lower position.
Tampak bahwa terdapat dua macam penggunaan istilah yang berbeda
namun brmakna sama untuk menggambarkan gerak sosial naik dan gerak
sosial turun; yaitu penggunaan istilah Upward Mobility dan Vertical
climbing mobility digunakan untuk gerak sosial naik serta penggunaan
istilah Downward Mobility dan Vertical sinking mobility untuk gerak sosial
turun. Selanjutnya Didalam naslah ini istilah yang digunakan adalah
Upward Mobility dan Downward Mobility.
Mobilitas sosial horizontal yaitu peralihan posisi sosial (status sosial) individu
atau kelompok dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang
sederajat. Sebagai ilustrasi, seorang tukang ojek pangkalan yang beralih
menjadi tukang ojek on-line, atau seorang kasir di bank yang beralih
pekerjaan menjadi bagian keuangan di sebuah kantor pengacara, dapat
dikatakan posisi (status) sosialnya tetap sama; tidak naik dan tidak turun.
Berbeda halnya dengan seorang pejabat negara yang menjadi
narapidana karena korupsi atau seorang pegawai kantor menjadi

12
pengangguran setelah diberhentikan dari perusahaan akibat pandemi
Covid-19 yang membuat perusahaan mengalami penurunan produksi
secara drastis, hal ini dapat dikatakan status sosialnya berubah secara
vertikal.
Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dibedakan menjadi dua
yaitu mobilitas sosial vertikal naik (Upward Mobility) dan mobilitas sosial
vertikal turun (Downward Mobility). Mobilitas sosial vertikal naik
dimungkinkan karena: (1) masuknya individu-individu yang mempunyai
posisi sosial rendah ke dalam posisi sosial yang lebih tinggi yang telah ada
sebelumnya; atau (2) pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian
ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari posisi individu-individu
pembentuk kelompok itu. Sedangkan mobilitas sosial vertikal turun
dimungkinkan karena: (1) turunnya posisi individu ke posisi yang lebih
rendah derajatnya; atau (2) turunnya derajat sekelompok individu yang
berupa suatu disintegrasi dalam kelompok sebagai kesatuan (Sorokin
dalam Prasodjo dan Pandjaitan, 2015).
Pada era digital, gejala mobilitas sosial terjadi dengan munculnya
influencer dan selebgram yang memanfaatkan saluran internet untuk
menjadi terkenal bahkan melakukan “pansos (panjat sosial)”. Istilah ini
merupakan kosa kata baru yang beredar di kalangan netizen (warganet
yaitu orang yang menggunakan media sosial melalui medium internet
untuk berinteraksi atau berkomunikasi) yang oleh sebagian orang diartikan
sebagai suatu upaya yang dilakukan seseorang untuk mencitrakan dirinya
sebagai orang yang mempunyai status sosial tinggi. Sebagian lainnya
menterjemahkan “pansos” sebagai suatu upaya untuk meningkatkan
popularitas yang pada gilirannya tingkat popularitas itu akan
menempatkannya pada posisi sosial tertentu yang baru. Pelaku pansos
selalu berusaha melakukan berbagai cara untuk dapat dikenal oleh
banyak orang atau publik yang dihitung dari jumlah follower-nya.
Publikasinya seringkali direncanakan secara matang agar masif dan
terkadang juga bombastis. Upaya-upaya ini dilakukan untuk membangun
brand personalitas positif, yang nantinya dapat memberi keuntungan
ekonomi, otoritas, dll. Namun demikian, tidak jarang bukan upward
mobility yang dialami pelaku melainkan downward mobility, karena apa
yang mereka hadirkan dianggap oleh masyarakat telah melanggar
norma.

Contoh di atas selain menjelaskan kriteria yang digunakan masyarakat


untuk menempatkan warganya ke dalam lapisan sosial tertentu, juga
menjelaskan saluran-saluran yang ada dalam masyarakat untuk
mencapai mobilitas sosial vertikal. Saluran-saluran itu diantaranya seperti

13
sekolah (sebagai saluran mobilitas vertikal bagi orang-orang lapisan
rendah yang berhasil masuk pada sekolah untuk orang-orang dari lapisan
atas), ekonomi (kekayaan sebagai saluran mobilitas sosial vertikal bagi
orang yang semula berada pada lapisan rendah), dan popularitas
(sebagai saluran untuk menciptakan brand personalitas positif, yang pada
akhirnya dapat berefek pada peluang memperoleh sumberdaya
ekonomi, kekuasaan ataupun kehormatan). Sudah tentu, selain saluran-
saluran yang disebutkan ini masih banyak lagi saluran-saluran lain yang
dapat diamati pada gejala mobilitas sosial. Proses mobilitas sosial vertikal
melalui saluran-saluran inilah yang disebut sebagai social circulation.

Sistem Stratifikasi Sosial


Berdasarkan sistemnya secara umum dikenal dua ciri sistem stratifikasi
sosial yaitu sistem yang relatif terbuka dan relatif tertutup. Kedua sistem ini
membawa konsekuensi kepada peluang mobilitas sosial vertikal. Pada
masyarakat yang menganut atau menerapkan sistem stratifikasi sosial
tertutup (closed social stratification), struktur sosial masyarakatnya
menjaga ketat dan cenderung tidak membuka akses untuk anggota
masyarakat dari lapisan sosial lebih rendah untuk memasuki lapisan sosial
yang lebih tinggi. Dengan demikian tidak setiap anggota masyarakat
memiliki akses untuk melakukan mobilitas sosial vertikal naik. Sebagai
contoh adalah masyarakat yang menerapkan sistem kasta (di India dan di
Bali). Pada masyarakat yang menerapkan sistem stratifikasi sosial tertutup
ini, mobilitas sosial vertikal relatif sulit terjadi meski terdapat kasus khusus
mobilitas sosial vertikal (baik vertikal naik maupun turun) yang diakibatkan
oleh peristiwa pernikahan antar lapisan sosial.
Pada masyarakat oligarkhi atau masyarakat yang berlatar belakang
kerajaan dan mengenal pemerintahan parlementer (terdapat pemisahan
sistem pemerintahan yang mengatur kerajaan dan sistem pemerintahan
yang mengatur pemerintahan umum dalam suatu negara), akses
masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial vertikal relatif lebih
dimungkinkan dibanding pada masyarakat berkasta. Pada struktur
kerajaan, akses mobilitas sosial vertikal hanya terbuka bagi keluarga
kerajaan dan relatif tertutup bagi masyarakat umum. Namun demikian
masih dimungkinkan masyarakat umum mendapatkan gelar bangsawan
yang dianugerahkan oleh raja/ratu atas kontribusinya pada kerajaan
(negara), seperti artis/aktor yang mendapat gelar kebangsawanan seperti
“sir” atau “dame” dari Ratu Inggris karena prestasi mereka maupun
dedikasinya pada usaha-usaha kemanusiaan. Mereka yang dianugrahi
gelar kebangsawanan ini berasal dari berbagai kewarganegaraan,

14
antara lain David Beckham dan JK Rowling dari Inggris, Bill Gates dan
Angelina Jolie dari Amerika Serikat bahkan Prof. Azyumardi Azra dari
Indonesia dan masih banyak lagi tokoh berbagai bidang yang dianggap
telah berprestasi luar biasa.
Sementara pada sistem stratifikasi terbuka (opened social stratification),
mobilitas sosial vertikal relatif lebih mudah terjadi. Posisi atau status sosial
yang hendak diraih oleh seseorang lebih tergantung pada usaha dan
kemampuan individu tersebut. Memang benar bahwa seorang anak dari
keluarga lapisan sosial atas akan memiliki peluang yang lebih besar untuk
mencapai status sosial yang lebih tinggi dan terpandang dalam
masyarakat dibanding anak seorang buruh pabrik dari lapisan sosial
bawah, namun demikian, sifat terbuka dalam sistem stratifikasi
memungkinkan dan memberikan peluang lebih besar bagi anak buruh itu
untuk dapat mencapai posisi sosial yang sama tinggi dan terpandang
dalam masyarakat. Mobilitas sosial vertikal naik (upward mobility) itu
dimungkinkan terjadi melalui ragam saluran misalnya saluran sekolah,
organisasi politik, ekonomi dan sebagainya.

Gambar 8.1: Perbandingan peluang mobilitas sosial vertikal pada


beragam tipe masyarakat.

Dengan demikian prinsip-prinsip umum yang patut diperhatikan dalam


memahami mobilitas sosial vertikal adalah bahwa (Sorokin dalam Prasodjo
& Pandjaitan, 2015: 199 dan Sorokin dalam Yadav, KS tt.):

15
(1) Hampir tidak ada masyarakat yang sifat sistem stratifikasi sosialnya
mutlak tertutup atau sama sekali tidak memberi peluang mobilitas
sosial vertikal;
(2) Betapapun terbukanya suatu sistem sosial, mobilitas sosial vertikal tidak
mungkin dilakukan sebebas-bebasnya, sedikit banyaknya akan ada
hambatan-hambatan;
(3) Tidak ada mobilitas sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua
masyarakat, setiap masyarakat memiliki kekhasan dalam mobilitas
sosial vertikal;
(4) Terdapat perbedaan antara laju mobilitas sosial vertikal yang
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan;
(5) Secara historis, khususnya dalam mobilitas sosial vertikal yang
disebabkan faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan, tidak ada
kecenderungan yang kontinu dalam hal bertambah atau
berkurangnya laju mobilitas sosial.

Dampak Stratifikasi Sosial


Pendapatan seseorang sering menjadi ukuran dalam penstratifikasian di
masyarakat. Melalui pendapatan yang tinggi secara akumulatif seseorang
mampu kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan memiliki sarana-prasarana
(tempat tinggal, kendaraan, peralatan komunikasi, perlengkapan kerja,
perabot rumah tanggl dan lain sebagainya) yang lebih baik secara
kualitas maupun kuantitas. Kepemilikan materi ini kemudian menjadi
penanda yang tidak hanya membedakan tapi juga menempatkan
seseorang pada posisi sosial yang lebih tinggi terutama dibandingkan
masyarakat lain yang memiliki pendapatan lebih rendah.
Persoalannya, krisis pendapatan semakin menguat dikala masa pandemi
Covid-19 ini. Dilansir dari laman Kemnaker.go.id hingga 31 Juli 2020, total
baik pekerja formal maupun informal yang terdampak COVID-19
mencapai lebih dari 3,5 juta orang secara nasional. Hasil penelitian dari LIPI
(2020) menunjukkan hasil serupa dimana sebanyak 15,6% pekerja
mengalami PHK dan 40% pekerja mengalami penurunan pendapatan,
diantaranya sebanyak 7% pendapatan buruh turun sampai 50%. Kondisi
kelas pekerja dunia pun nampak sama, ditinjau dari laporan ILO (2020)
yang dikeluarkan pada April 2020, disampaikan jika gangguan ekonomi
besar-besaran akibat krisis COVID-19 memengaruhi tenaga kerja dunia
yang berjumlah 3,3 miliar. Penurunan tajam dan tak terduga dalam
aktivitas ekonomi menyebabkan penurunan drastis dalam lapangan kerja,
baik dalam hal jumlah pekerjaan dan jam kerja agregat. Menggunakan

16
perhitungan jam kerja, pandemi ini diprediksi menghilangkan 6,7% jam
kerja secara global, itu sama dengan dengan PHK terhadap 195 juta
tenaga kerja. Pada situasi krisis yang menimpa aktivitas usaha seperti ini,
tentu saja kelompok yang paling rentan adalah kelompok pekerja (buruh)
karena berada pada strata terbawah. Banyak pemilik usaha untuk
menghindari dari kebangkrutan dengan terpaksa melakukan efisiensi
melalui pengurangan tenaga kerja baik itu ‘hanya’ dirumahkan atau
sampai pemutusan hubungan kerja (PHK). Pandemi Covid-19 juga
mempersulit para buruh untuk mencari pekerjaan alternatif karena krisis
usaha yang massif dan pembatasan mobilitas. Tentunya pendapatan
yang semakin sedikit ini membuat para buruh tani semakin sulit untuk
mengakses pelayanan kesehatan
Gaya hidup dan politik juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
mobilitas sosial golongan masyarakat. Seperti beberapa kasus yang
dialami oleh artis artis tanah air. Beberapa dari mereka merubah gaya
hidup untuk dapat memperluas jaringan yang mereka miliki sebagai upaya
untuk meningkatkan popularitas mereka. Namun bagi mereka yang
terlibat skandal maupun penggunaan narkoba justru tidak akan mampu
untuk mempertahankan popularitasnya. Sama halnya dengan kasus yang
terjadi pada pejabat negara yang terlibat kasus korupsi atau tindakan
pidana lainnya, mereka mengalami mobilitas vertikal turun dari pejabat
negara (‘yang terhormat”), menjadi terpidana dan tahanan (‘tidak
terhormat’).
Perbedaan kemampuan respon terhadap perubahan juga dapat
memberikan dampak yang berbeda pada golongan masyarakat salah
satunya pada petani kakao. Kakao merupakan komoditas ekspor dengan
mengacu harga dunia. Situasi krisis moneter 1998, yang membuat kurs
dolar tinggi, menyebabkan harga kakao turut menjulang tinggi. Dalam
waktu singkat pendapatan petani kakao mengalami peningkatan yang
signifikan, perekonomian masyarakat terangkat seketika. Di masa itu,
daerah-daerah pusat Kakao sampai dikenal dengan sebutan ‘Daerah
Penghasil Dollar’. Pendapatan masyarakat yang tinggi membuat tingkat
konsumsi masyarakat meningkat. Banyak masyarakat yang berangkat naik
haji, membeli kendaraan motor dan mobil, serta membangun rumah. Ada
anekdot saat itu, jika masyarakat Sulawesi lebih takut kehilangan 1 kilogram
kakao dibandingkan dengan 1 gram emas, karena harga emas lebih
rendah dari pada Kakao. Di masa-masa itu menjadi petani kakao adalah
profesi yang sangat menjanjikan.
Dampak masa kejayanaan Kakao juga mendorong arus mobiliasasi
migrasi masyarakat. Wilayah Luwu Raya yang menjadi pusat Kakao di

17
Sulawesi Selatan banyak didatangi pendatang yang berasal dari daerah
Makassar, Bone, Enrekang, Sidrap dan Wajo. Mereka berharap berkah
rejeki kakao yang juga bisa mereka rasakan dan meningkatkan kualitas
hidup mereka. Sampai saat ini masa keemasan Kakao di tahun 1998 terus
diingat dengan baik oleh masyarakat. Romantisme ini di beberapa petani
menjadi motivasi mereka bahwa kakao adalah komoditas yang tetap
menjanjikan. Padahal pada masa itu, keadaannya 180 derajat berbeda
untuk di Jawa, krisis sangat dirasakan oleh masyarakat, dengan harga-
harga bahan pokok naik, usaha-usaha gulung tikar dan juga
mengakibatkan konflik sosial.
Sementara itu stratifikasi sosial juga berdampak pada inequalities yang
menguntungkan lapisan sosial atas dan merugikan lapisan sosial bawah
seperti akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Golongan atas mampu
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang terkenal sampai
ke jenjang pendidikan tinggi sementara hanya sedikit anak-anak golongan
bawah yang dapat menikmati pendidikan tinggi yaitu mereka yang
cerdas sehingga mampu meraih beasiswa. Dengan sendirinya mereka
dari golongan atas lebih besar kemungkinannya mendapat pekerjaan-
pekerjaan yang berpenghasilan besar yang membuat mereka tetap
menduduki lapisan atas dalam masyarakat. Sementara anak-anak dari
golongan bawah hanya dapat menjadi buruh atau pegawai rendahan
dengan gaji yang kecil. Demikian pula golongan atas lebih mempunyai
akses pada perawatan kesehatan, mereka mampu berobat ke rumahsakit
yang bagus, mendapat perawatan dan obat-obatan yang terbaik sesuai
dengan kondisi penyakitnya. Sementara golongan bawah dengan
penghasilan pas-pasan hanya bisa mengobati dirinya dengan obat-
obatan di warung, dan hanya mampu ke rumah sakit setelah mendapat
keterangan tidak mampu atau menggunakan kartu BPJS yang terbatas
dalam memberikan dana untuk pengobatan pasien. Hasilnya harapan
hidup golongan atas jauh lebih tinggi dari golongan bawah.

Sistim upah yang tidak adil juga turut andil dalam hal ini dimana antara lain
para buruh dieksploitasi oleh para pemilik usaha dengan upah yang
rendah tidak sebanding dengan beban kerja mereka yang tinggi,
sehingga seberapa kerasnya para buruh ini bekerja tetap tidak dapat
membawa uang yang cukup ke rumah untuk memenuhi kebutuhan pokok
keluarganya. Kondisi inilah yang kemudian bisa menimbulkan konflik kelas
seperti demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh buruh untuk
menuntut kewajiban perusahaan dalam memberikan upah yang layak.
Demonstrasi ini bisa disertai pula dengan tindakan-tindakan anarkis yang
menimbulkan keresahan dalam yang meluas diantara masyarakat.

18
Demikian juga pada masyarakat yang majemuk, yang memiliki latar
belakang agama, ras/etnis, suku dan ideologi yang beragam dapat
berpotensi timbul konflik sosial antar kelompok-kelompok tersebut karena
adanya kelompok tertentu yang ingin menguasai kelompok sosial lainnya
dengan cara pemaksaan dan melakukan diskriminasi pada kelompok lain
yang dianggap sebagai kelompok minoritas. Selain itu konflik juga bisa
terjadi antar generasi ketika generasi tua berusaha mempertahankan adat
istiadat serta nilai-nilai yang sudah berlaku sejak lama dan memaksa
generasi muda untuk tetap mematuhiya. Sementara generasi muda
merasa bahwa nilai-nilai dan norma-norma yang ada perlu dirubah sesuai
dengan perkembangan jaman yang sudah modern.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial:
(1) Ada dalam semua masyarakat namun bervariasi antara satu
masyarakat dengan masyarakat yang lain.
(2) Ada dari waktu ke waktu walaupun dasar, rentang, jenis, tipe dan
sebagainya mengalami perubahan-perubahan.
(3) Diwariskan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi (pengajaran).
(4) Melibatkan inequality (ketidaksamaan) dimana tiap lapisan sosial
mempunyai akses yang berbeda pada sumberdaya ekonomi, sosial
dan politik yang dapat menimbulkan potensi konflik di dalam
masyarakat.

Daftar Pustaka
Bierstedt, R. 1970. The Social Order An Introduction to Sociology. New York:
McGraw Hill Book Co.
Calhoun, C. et al. 1994. Sociology An Introduction. McGraw Hill, Inc.
CNBC Indonesia. 2020. Ngeri! Covid-19 Percepat Tren Tenaga Orang akan
Diganti Robot. [diakses melalui www.cnbcindonesia.com]
Davis K and Moore WE. 1994. The Functions of Stratification dalam David B
Grusky, editor. Social Stratification in Sociological Perspective.
Colorado (US):Westview Press Inc.
Hurst C E. 2007. Social Inequality: Forms, Causes, and Consequences.
Boston MA, Allyn and Bacon, 6th ed ISBN 0-205-48436-0.

ILO. 2020. ILO Monitor: COVID-19 and the world of work. Second edition.
Kementerian Tenaga Kerja RI - Kemnaker. 2020. Menaker Ida Berdayakan
Pekerja Perempuan Terdampak Covid-19 melalui Program TKM.
[diakses melalui www.kemnaker.go.id]

19
Kumparan. 2021. Kisah Petani Sukses dari Nol Kini Jadi Pengusaha Kaya.
[diakses melalui www.kumparan.com]
LIPI. 2020. Survey Dampak Darurat Virus Corona terhadap Tenaga Kerja
Indonesia. [diakses melalui www.lipi.go.id]
Marx, Karl. 2004. Kapital I: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Indonesia: Hasta
Mitra.

Pattinasarany IRI. 2016. Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jakarta (ID): Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Prasodjo NW dan Pandjaitan NK. 2015. Stratifikasi Sosial. Di Dalam Fredian T
Nasdian, editor. Sosiologi Umum. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Riyanto A. 2019. Panjat Sosial (Social Climber) di Media Sosial, Bagaimana
Seharusnya?. Business Law [Internet]. [diunduh 2020 November 13].
Tersedia pada https://business-law.binus.ac.id/2019/12/19/panjat-
sosial-social-climber-di-media-sosial-bagaimana-seharusnya/
Satria A. 2015. Struktur Sosial Masyarakat Pesisir. Di dalam Pengantar
Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): Rajawali Press.
Pitirim A Sorkin (1927). Social Mobility: A Pioneer Studi of The Historical and
Contemporary Dynamics of Inequality. https://cliffstreet.org/
index.php/writings-pitirim-sorokin/278-reviews/155-sorokin-social-
mobility
Sorokin, PA. 1994. Social and Cultural Mobility. Di dalam David B Grusky,
editor. Social Stratification in Sociological Perspective. Colorado
(US):Westview Press Inc
Sorokin, PA. 1998. Social Mobility. http://etheses.uin-malang.ac.id/16644/1/
13320030.pdf
Sunarto, 2000. Pengantar Sosiologi (Edisi kedua). Jakarta : Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Wertheim W.F. 1959. Indonesian Society in Transition A Study of Social


Change. Bandung: Van Hoeve.
Yadav, KS. 2015. Social Mobility: The Meaning, Types and Factors
Responsible for Social Mobility.https://www.patnauniversity.ac.in/
econtent/ science/stat/MScStatistics6.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai