Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERNIKAHAN

BEDA AGAMA DALAM HUKUM ISLAM


HUKUM ISLAM KELAS B KELOMPOK 4

Sabrina Budiarti { 3021210310 }


Dhafa Aresty F { 3021210224 }
Eriza Novaliyah { 3021210150 }
Muhammad Alwi { 3021210117 }
Dominico Savio Hugo M B { 3021210223 }
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu polemik yang masih kontroversial dalam masyarakat hingga saat ini
adalah pernikahan beda agama. Nikah beda agama merupakan pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai dan bersepakat untuk hidup
bersama dalam suatu keluarga dengan perbedaan keyakinan. Ada dua cara
penyelundupan nikah beda agama, diantaranya adalah :
a. Mengenyampingkan hukum nasional, dengan cara melakukan perkawinan di
luar negeri dan melangsungkan perkawinan secara adat.
b. Mengenyampingkan hukum agama, dengan cara menikah dua kali dan
berpindah agama sementara pada saat perkawinan dilangsungkan, kemudian
kembali pada agama semula setelah perkawinan dilangsungkan.
Terjadinya penyelundupan pernikahan beda agama membuat hukum perkawinan
kehilangan kewibawaannya dan menunjukkan bahwa kini hukum perkawinan tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, telah
terjadi suatu kesenjangan antara hukum yang dicita-citakan dengan realitas hukum yang
ada di masyarakat mengenai permasalahan hukum perkawinan beda agama.
Berdasarkan hukum perkawinan Islam, perkawinan dapat diterima dan dianggap sah
dalam agama apabila memenuhi syarat suatu perkawinan dimana kedua pengantin yang
ingin membentuk suatu keluarga dalam ikatan perkawinan harus memiliki keyakinan
yang sama yaitu beragama Islam. Namun kini di masyarakat telah terjadi pengabaian
hukum agama. Maka dari itu, perlu diadakan suatu penelitian tentang “Tinjauan Yuridis
Terhadap Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam”.
B. POKOK PERMASALAHAN
1. Undang-undang Perkawinan Pasal 1 Tahun 1974
Isinya mengenai “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 Ayat (1) Tahun 1974
Isinya mengenai “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu”.
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Al-Maqasid As-Syariah

Al-Maqasid As-Syariah yaitu makna dan tujuan yang yang dikehendaki syarat dalam
mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Al-Maqasid As-Syariah
ini telah ada sebagai landasan untuk menetapkan hukum sejak zaman Nabi Muhammad
SAW.
Seorang ahli usul fikih kontemporer dari Tunisia yakni Muhammad Thahi bin Asyur
Membagi Al Maqasid As- Syariah dilihat dari segi objeknya menjadi tiga bagian yaitu:
Al-Maqasid Al-Ammah
Al-Maqasid Al-Khassah
Al-Maqasid Al-Juz’iyyah
Sedangkan menurut Imam Asy-Syatibi yang merupakan ahli usul fikih Mazhab Maliki untuk
dapat mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat ada lima pokok yang harus
Diwujudkan dan dipelihara diantaranya adalah
Pemeliharaan agama
Pemeliharaan jiwa
Pemeliharaan akal
Pemeliharaan keturunan
Pemeliharaan harta

Kelima hal tersebut pada kasus nikah beda agama dalam hukum islam apabila dikaitkan dengan
konsep Al-Maqasid As-Syariah akan bertentangan dengan konsep - konsep pemeliharaan
tersebut, karena tidak ada tujuan yang dapat diperoleh sesuai dengan Al-Maqasid As-Syariah.
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama

ajzhakakd
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama

ajzhakakd
C. Perkawinan Beda Agama Menurut Hadist

ajzhakakd
C. Perkawinan Beda Agama Menurut Hadist

ajzhakakd
BAB II PEMBAHASAN
D. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang

1. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 Tahun 1974


Pernikahan dapat diartikan sebagai suatu ikatan lahir batin antara pria dan wanita yang
bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakral, penuh kasih sayang, dan saling
menyantuni berdasarkatan Ketuhanan Yang Mahaesa. Peraturan tersebut menegaskan
tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan secara seragam
dan terhadapat seluruh masyarakat Indonesia. Ketika disahkannya undang-undang ini
merupakan perwujudan dari adanya aturan perkawinan yang dimiliki negara Indonesia
sebagai negara hukum. Dengan demikian, pernikahan merupakan bagian dari hak warga
negara yang harus dilindungi dan dipenuhi haknya agar pelaksanaannya memenuhi
aspek legalitas yang bersifat yuridis formal.
Maka Undang-Undang No 1 Tahun 1974 merupakan acuan dasar yang bisa kita pahami
dalam melaksanakan pernikahan. Meskipun mengenai pernikahan di Indonesia telah
ditentukan aturannya dalam pasal ini bukan berarti undang-undang ini dapat benar-
benar mengatur tentang pernikahan yang berlangsung di Indonesia. Mengapa? Karena
dimasa kini, marak terjadinya pernikahan yang berbeda keyakinan yaitu antara pria dan
wanitanya. Hal ini merupakan contoh bahwa undang-undang ini belum tentu bisa
mengatur setiap masyrakat di Indonesia.
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 Ayat (1) Tahun 1974
Berdasarkan pasal tersebut, dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya itu, kemudian
dijelaskan dalam ayat berikutnya bahwa setiap perkawinan dicatat sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sesungguhnya di dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia tidak diatur secara khusus mengenai pasangan nikah beda
agama. Sahnya perkawinan dilakukan sesuai agama masing-masing. Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan
gholidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Berdasarkan kompilasi hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 diatur mengenai
larangan perkawinan antar lelaki muslim dengan wanita non muslim dan begitupun
sebaliknya.
Pasal tersebut menjelaskan mengenai pencegahan perkawinan terhadap calon
pasangan penhantin yang tidak memenuhi syarat berdasarkan hukum Islam serta
peraturan yang berlaku. Pasal tersebut secara tegas menguatkan pelarangan nikah beda
agama.

Dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 221 disebutkan “Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik”.
E. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam

ajzhakakd
E. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam

ajzhakakd
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan beda agama memang menjadi salah suatu fenomena yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat dengan pluralisme.
Pernikahan beda agama tidak bisa begitu saja dihilangkan hanya dengan peraturan
hukum, karena mencintai orang lain tidak bisa dibatasi dengan agama. Keutuhan dan
keharmonisan hubungan menjadi dambaan bagi semua pasangan suami istri, tak
terkecuali pasangan suami istri beda agama.

Perbedaan agama memang menjadi suatu hal yang rentan terhadap munculnya masalah
dan konflik dalam kehidupan berumah tangga pasangan beda agama. karena banyak
perbedaan dalam pola pikir, cara pandang, aktivitas dan kebiasaan sehari-hari yang
sedikit banyak disebabkan oleh perbedaan agama yang dimiliki oleh keduanya.

B. Saran
Dapat diketahui bahwa terjadinya pernikahan beda agama dikalangan masyarakat
Indonesia disebabkan karena masyarakat Indonesia masih banyak yang belum paham
akan dengan ajaran hukum Islam dan juga belum begitu paham akan dampak dari
pernikahan tersebut. Selain itu, pihak pemerintah juga tidak memberikan peraturan yang
tegas tentang pernikahan beda agama. Karena itu masih banyak masyarakat Indonesia
yang masih melakukan pernikahan beda agama meskipun tidak dilaksanakan di
Indonesia.

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kami menyarankan sebagai berikut :


Bagi pasangan yang memutuskan menikah beda agama, kelak dapat bertanggung jawab
dan mampu menjaga keharmonisan beragama di keluarga dan lingkungan masyarakat.
Demi menciptakan keselarasan keluarga dapat terwujud dengan sempurna ketika suami
dan istri dapat berpegang teguh pada ajaran yang sama
SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai