Anda di halaman 1dari 2

Pernikahan Beda Agama di Indonesia Dan Korelasinya Dengan

Hukum Islam

Annisa Nur Jasmine


A1011221258
Fakultas Hukum/Ilmu Hukum
Hukum Islam

I. PENDAHULUAN

Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat
Indonesia yang multikultural. Perkawinan tersebut telah terjadi di kalangan masyarakat (di
berbagai dimensi sosialnya) dan sudah berlangsung sejak lama. Namun demikian, tidak juga
berarti bahwa persoalan perkawinan beda agama tidak dipermasalahkan, bahkan cenderung
selalu menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Ada anggapan bahwa penyebabnya adalah
keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 yang tidak mengkaji soal perkawinan beda agama.
Persoalan yang muncul belakangan ini adalah banyaknya orang yang telah beriman tetapi
belum memeluk agama Islam. Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri disamping
banyaknya bebagai pendapat fuqaha terhadap perkawinan beda agama ini. Konsep dasar
dalam Islam bahwa jika orang-orang musyrik tersebut telah beriman maka boleh orang
muslim menikah dengannya. Perkawinan adalah salah satu media dakwah menyerukan orang
menuju ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis.
Dengan ada peluang seperti ini, melalui jalan perkawinan diharapkan calon yang telah
beriman tersebut mendapat tuntunan dan ajaran dari pasangannya yang muslim. Dengan
melalui proses pendekatan emosional dapat memahami Islam secara baik, sehingga menjadi
muallaf dan memahami Islam secara utuh kedepannya.

II. PEMBAHASAN
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam rumusan ini diketahui bahwa
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Ketentuan pasal
ini menunjukkan bahwa perkawinan dinyatakan sah manakala ditetapkan berdasarkan hukum
agama yang dipeluknya. Bagi yang beragama Islam maka acuan sah dan tidaknya suatu
perkawinan adalah berdasarkan ajaran agama Islam. Hal senada diterangkan beberapa pasal
dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Pasal 4 menjelaskan bahwa, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan". Pasal 40 menyebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; seorang wanita yang tidak
beragam Islam. Lebih tegas lagi larangan menikah beda agama pada Pasal 44: "Seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam". Pasal 61 disebutkan: "Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf Al-Dien."
Sebelum adanya UU Perkawinan, keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam.
Setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan
penduduk yang lain. Persoalan ini menimbulkan masalah hukum perkawinan antargolongan,
yaitu tentang hukum perkawinan manakah yang akan diberlakukan untuk perkawinan antara
dua orang dari golongan yang berbeda.
Permasalahan perkawinan beda agama masih menjadi polemik. Untuk melaksanakan
perkawinan beda agama di masyarakat relatif sulit. Padahal, perkawinan beda agama
merupakan realitas yang masih terjadi di masyarakat. Adapun pelaksanaan perkawinan antara
dua orang yang memeluk agama yang berbeda, salah satu pihak, biasanya menundukkan diri
atau masuk agama pihak lain, baik masuk agama semu atau sesungguhnya. Misalnya, seorang
nonmuslim yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang muslim dengan
menggunakan hukum Islam, dengan pencacatan oleh KUA, sebelumnya harus mengucapkan
ikrar syahadat. Ikrar syahadat ini menandakan dirinya masuk agama Islam
Cinta yang bersifat universal, tanpa mengenal batasan agama, ras dan golongan,
memungkinkan dua orang berbeda agama menjadi saling mencintai dan hendak
melangsungkan perkawinan. Di sisi lain, kebebasan beragama dijamin secara konstitusional
di Indonesia dan dilindungi sebagai hak asasi manusia.

III. KESIMPULAN
Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama setelah
berlakunya UU Perkawinan, relatif sulit dilakukan. Dengan tidak diaturnya secara jelas
perkawinan beda agama dalam UU perkawinan, maka terdapat polemik dalam pemahaman
dan pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 2 UU Perkawinan, ada yang menyatakan bahwa
perkawinan beda agama tidak boleh. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 66 UU Perkawinan,
terdapat ahli hukum yang menyatakan adanya kekosongan hukum sehingga peraturan GHR
dapat diberlakukan. Dengan demikian, perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dengan
pencacatan di Kantor Catatan Sipil.
Terlepas dari polemik tersebut, saat ini realitas masyarakat masih menghendaki
berlakunya legalitas perkawinan beda agama. Banyaknya praktek perkawinan beda agama di
masyarakat, yang relatif sulit dilaksanakan, menjadi permasalahan hukum yang perlu
mendapatkan penyelesaian.Pada realitasnya, pernikahan beda agama di Indonesia juga kerap
terjadi di kalangan artis maupun masyarakat biasa. Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda
agama tetap berjalan, walaupun kontroversial. Di satu sisi dihadapkan dengan hukum Islam,
dan di sisi lain ada regulasi sebagai hukum positif, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai