Perkawinan merupakan ikatan suci diantara dua insan berlainan jenis yang telah menjadi
sunnatullah setiap manusia guna melanjutkan keturanannya. Sehingga Kompilasi Hukum Islam
menyebut perkawinan sebagai ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan menjalankannya merupakan ibadah. Mengingat konsekuensi logis dari suatu
Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi kriteria sahnya perkawinan menurut hukum Islam,
yaitu terpenuhinya rukun nikah, syarat nikah, dan perkara wajib namun bukan bagian dari rukun
nikah. Apabila semua terpenuhi maka suatu perkawinan dapat dinyatakan sah menurut hukum
islam.
Hal ini lah yang kemudian difasilitasi oleh Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang
mengatakan bahwasannya suatu perkawaninan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Yang kemudian dicatat menurut undang-undang
yang berlaku guna menjaga ketertiban serta menjaga kesucian dari perkawinan tersebut.
Dewasa ini, mungkin kita sering mendengar pernikahan antar umat beragama yang berlainan
kepercayaan. Bahkan perkawinan semacam ini tidak hanya dilakukan oleh orang biasa, namun
juga dilakukan oleh public figure, artis, bahkan sampai konglomerat. Lantas bagaimana
legalitasnya menurut hukum yang berlaku di Indonesia khusunya jika dikaji berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam? Dan bagaimana bisa mereka yang
Pandangan agama Islam terhadap perkawinan beda agama pada dasarnya tidak diperbolehkan.
Dalil mengenai larangan pernikahan beda agama tersebut terdapat dalam Surah Al Baqarah ayat
221. Larangan dalam ayat tersebut berlaku bagi laki-laki maupun perempuan beragama Islam
Namun, Al-Quran Surah al Maidah ayat 2 juga memberikan pengaturan berbeda mengenai
menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Pembolehan melaksanakan perkawinan dengan
perempuan ahli kitab dalam ayat tersebut juga disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 10.
Namun persoalannya, Apakah wanita Yahudi dan Nasrani yang sekarang masih dapat disebut
sebagai ahli kitab seperti pada zaman dahulu? Jawabannya Mereka bukan lagi termasuk
perkawinan antara seorang pria kepada seorang wanita yang tidak beragama islam. Dan pada
Pasal 44 KHI menyebutkan “Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama islam.” Dari kedua pasal tersebut telah jelas secara hukum
perkawinan islam nasional perkawinan beda agama itu dilarang. Termasuk juga perkawinan
antara seorang laki-laki beragama islam dengan perempuan ahli kitab. Hal ini bertujuan untuk
masyarakat.
Senada dengan itu, Majelis Ulama Indonesia Dalam Keputusan Musyawarah Nasional ke II
Majelis Ulama Indonesia No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 tentang Fatwa
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya.
kemudian Pada Munas MUI ke VII, fatwa dalam Munas kedua tersebut dipertegas kembali oleh
MUI dengan menetapkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005
Dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
memuat pengaturan yang lebih jelas mengenai larangan pernikahan beda agama menurut hukum
Jadi, Hukum Islam Nasional setelah diundangkannya Kompilasi Hukum Islam secara tegas
dan jelas telah melarang perkawinan beda agama baik untuk menikahi laki-laki maupun
perempuan yang tidak beragama islam. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan