Anda di halaman 1dari 4

Analisis Undang Undang Pasal 8 No 1 Tahun 1974

Tentang Laranagan Perkawinan

Meyrani Puput T

2274230016

Hukum Keluarga Islam.Universitas Nahdhatul Ulama Blitar

Abstrak
Aturan larangan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974
dari pasal 8-10 dan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 39 yaitu larangan
untuk selama-lamanya dan pasal 40-44 yaitu larangan untuk sementara. Secara garis besar isi
tentang aturan larangan perkawinan tersebut adalah sama yaitu tentang larangan perkawinan
dengan orang musyrik, menikahi wanita yang masih dalam masa iddah, menikahi ibu tiri,
karena hubungan darah, sepersusuan, anak tiri yang ba’da ad dukhul dengan ibunya,
mengumpulkan dua wanita (muhrim).

Kata Kunci : Perkawinan, undang-undang, kompilasi hukum islam

Abstract

The rules prohibiting marriage are regulated in the Marriage Law Number. 1 Year 1974
from articles 8-10 and also stipulated in the Compilation of Islamic Law in article 39 which
is a ban for eternity and articles 40-44 which is a temporary prohibition. Broadly speaking,
the content of the rules prohibiting marriage is the same, namely about the prohibition of
marriage with polytheists, marrying women who are still in the iddah period, marrying
stepmothers, because of blood relations,milk, stepchildren who are ba'da ad dukhul with
their mothers, gathering two women (muhrim).

Keywords : Marriage, law, compilation of Islamic law

A. Pendahuluan
Hukum perkawinan yang berkembang hingga saat ini merupakan pelestarian dan
pengembangan hukum yang telah diperkenalkan Tuhan Yang Maha Esa kepada generasi
manusia terdahulu. Itulah sebabnya hukum perkawinan merupakan hukum yang selalu
diperlukan oleh manusia. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, memberikan definisi
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Di sisi lain nilai ikatan sebuah perkawinan tidak
hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia (amaliah) yaitu sebagai
hubungan keperdataan tetapi perkawinan juga mengandung unsur sakralitastransendental
yakni dimensi hubungan manusia dengan Tuhannya (ubudiyah). Hal ini terbukti setiap agama
apapun memliki aturan-aturan pelaksanaan perkawinannya masing-masing. Sebagai
konsekuensi logis bahwa Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan hanya
berdasarkan kekuasaan, maka seluruh aspek kehidupan masyarakat haruslah diatur oleh
hukum, yang salah satunya adalah mengenai perkawinan.

B. Pembahasan Larangan Perkawinan.


Dalam hukum perkawinan islam dikenal sebuah asas yang disebut dengan asas
selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak menikah harus terlebih
dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang utuk
menikah.1Di dalam hukum adat pun sebenarnya dikenal dengan adanya larangan perkawinan
yang ebih spesifik melampaui apa yang diatur oleh agama dan perundang undangan.dalam
perspektif fiqih hukum islam juga mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fiqih
disebut dengan mahram(orang yang haram dinikahi).Wanita yang haram dinikahi untuk
waktu yang selamanya terbagi kedalam 3 kelompok yaitu,wanita wanita seketurunan,wanita
sepesusuan,wanita dikawini karena hubungan persemendaan.Dalam larangan perkawinan ini
agaknya alquran memberikan aturan yang tegas dan terperinci dalam alquran surah an nisa
ayat 22-23.Dalam perspektif UU No 1 tahun 1974 pasal 8 yaitu diatur tentang perkawinan
yang dilarang yaitu termuat dalam Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi
atau paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin.
Yang ada pasal ini menjelaskan larangan bagi seorang pria dan juga wanita untuk melakukan
poligami, kecuali ada ketentuan lain yang membolehkan seorang pria untuk menikah lagi.
Artinya UUP maju selangkah dengan poligami sebagai salah satu larangan perkawinan. Dari
perspektif KHI berbeda dengan UUP yang hanya memuat secara singkat hal hal yang
termasuk larangan perkawinan,kompilasi hukum islam menjelaskan nya lebih rinci dan tegas.
Bahkan KHI dalam hal ini mengikut sistematika fiqih yang telah baku. Larangan perkawinan
juga berlaku bagi seorang laki laki yang telah beristri 4 orang masih terikat dalam perkawinan
atau di talak raj’I dalam masa iddah. Tampaknya berkenaan dengan larangan perkawinan
yang termuat di dalam fiqih, UUP, dan KHI tidak menunjukkan adanya pergeseren
konseptual dari fikih, UPP dan KHI. Hal ini disebabkan karena masalah larangan perkawinan
ini adalah masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken for granted.

1 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta:Bumi Aksara, 1996) h,34
Kendati demikian sebenarnya masih ada satu bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur
dalam KHI di Indonesia, yaitu nikah mut’ah. Nikah mut’ah ini juga disebut dengan al-jawaz
al-muaqqat, atau al-zawat al-munqati’ yang artinya perkawinan antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti satu bulan, dua bulan atau
dalam satuan waktu tertentu. Menurut Mahmud Syaltut, nikah semacam ini tujuannya
hanyalah memenuhi kebutuhan seksual saja dan berakhir tidak melalui perceraian, tetapi
dengan berlalunya satuan waktu tertentu yang telah disepakati atau dengan perpisahan jika
tidak ditentukan waktunya. Pernikahan semacam ini tidak dikenal dalam syari’at Islam. 2 Pada
masa awal Islam nikah mut’ah ini pernah diizinkan Ketika kondisi keimanan umat Islam
masih sangat dangkal karena masih dalam masa peralihan dari zaman jahiliyyah ke zaman
Islam. Sebagaimana di maklumi pada masa jahiliyyah, zina dianggap wajar dan tidak
berdosa. Untuk menghindarkan mudharat yang lebih besar pada hal kondisi pribadi para
sahabat mendesak baik disebabkan perjalanan atau peperangan maka nikah mut’ah
dibenarkan.3 Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa larangan perkawinan dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 pasal 8 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
secara garis besar adalah sama yaitu tentang larangan perkawinan dengan orang musyrik,
menikahi wanita yang masih dalam masa iddah, menikahi ibu tiri, karena hubungan darah,
sepersusuan, anak tiri yang ba’da ad dukhul dengan ibunya, mengumpulkan dua wanita
(muhrim).Perkawinan bertujuan untuk melanjutkan sejarah manusia, karena keturunan yang
baik harus dilalui dengan perkawinan yang menurut norma yang berlaku. Jika perkawinan
tanpa aturan maka sejarah peradaban manusia tentu seperti binatang. Adapun norma yang
berlaku untuk perkawinan adalah berdasarkan norma agama yang diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam sedangkan norma hukum mengacu pada Undang Undang pasal 8 no 1 tahun
1974,peliknya problematika problematika yang muncul di indonesia mengenai tentang
larangan perkawinan memicu pemikiran saya untuk menaganalisis pasal ini untuk tugas
tengah semester saya dengan tujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang apa
yang di larang dalam perkawinan dalam perspektif KHI,UUP,dan fiqih.

C. DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Negara Republik. Buku Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Yogjakarta:
Pustaka Yunistesia, 2009
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007
Ali, Zainuddin, Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
2 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers, 1998) h, 162-163 3
A.
Rahman I, Doi Penjelasan lengkap Hukum-hukum Allah (Syari'ah) Terjemahan Zainuddin Dan
Rusydi Sulaiman dari buku Syari'ah The Islamic Law (Jakarta:Rajawali Pers, 2002) h,204
Amin, Samsul Munir, Kamus Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2005
Anshary, Muhammad, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Pelajar 2007

Anda mungkin juga menyukai