Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 1

HUKUM ADAT

DISUSUN OLEH

NAMA : A.SYAKHARULLAH
NIM : 043121243
SEMESTER : IV ( EMPAT )

UNIVERSITAS TERBUKA
FAKULTAS HUKUM, ILMU SOSIAL, DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU HUKUM
OKTOBER 2022
1. Berikan Analisis anda menegenai pelamaran dalam hukum perkawinan adat
dan undang-undang tentang perkawinan.
Jawab :
Hukum perkawinan bagi pemeluk agama Islam di Indonesia mengacu pada
dua ketentuan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(“UU Perkawinan”) dan Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Pasal 2 UU Perkawinan berbunyi:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan keyakinannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sehingga secara umum, keabsahan setiap perkawinan dikembalikan kepada
hukum agama para pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, serta harus
dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan.
Khusus bagi pemeluk agama Islam, pengaturan lebih rinci mengenai
bagaimana suatu perkawinan dapat dipandang sah diterangkan dalam Pasal 14 KHI.
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
 calon suami;
 calon istri;
 wali nikah;
 dua orang saksi; dan
 ijab dan kabul.
Dengan demikian, sampai sejauh ini lamaran tidak dikenal sebagai syarat sah
perkawinan menurut hukum Islam.
Lebih lanjut, kedua sumber hukum yang menjadi rujukan ihwal perkawinan
pemeluk agama Islam di Indonesia di atas tidak mengenal istilah ‘lamaran’. Namun
demikian, KHI mengenal istilah ‘peminangan’ yang maknanya paling mendekati
istilah ‘lamaran’
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring menjelaskan bahwa istilah
‘meminang’ salah satunya dimaknai sebagai meminta seorang perempuan (untuk
dijadikan istri) atau melamar.
Menurut KHI sendiri, peminangan / pelamaran adalah kegiatan atau upaya ke
arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita.
Peminangan / pelamaran dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat
dipercaya.
Namun harus diingat, dalam peminangan tetap berlaku sejumlah aturan.
Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
terhadap janda yang telah habis masa idahya. Peminangan haram dilakukan terhadap:
 wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa idah raj’iah;
 wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus
atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Pasal 13 KHI kemudian mengatur bahwa:
1. Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan
hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang
baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai.
Sehingga, peminangan / pelamaran tidak memengaruhi keabsahan suatu
perkawinan dalam bentuk apapun, pun tidak menimbulkan akibat hukum. Menurut
hemat saya, perkawinan dapat dilangsungkan dengan atau tanpa peminangan.
Putusnya pinangan untuk pria sendiri, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam, di mana pria yang meminang
telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Refrensi :
- Mawardi dkk. 2022. Lamaran dalam pernikahan perspektif pendidikan islam. Jurnal Al-
HUKMI
- https://www.hukumonline.com/klinik/a/lamaran-tak-mempengaruhi-keabsahan-perkawinan-
lt5ecf45f5a2571

2. Berikan Analisis anda menegenai perkawinan pada satu marga dalam hukum
adat batak
Jawab :
Hukum adat perkawinan adalah hukum masyarakat (hukum rakyat) yang
tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan negara, yang mengatur tata-tertib
perkawinan. Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa hukum terhadapadat
perkawinan dibuat sendiri oleh suatu kelompok budaya tertentu yang disepakati
bersama oleh kelompok. Adapun perkawinan adat ada tiga macam yaitu:
Pertama, exogami yaitu seorang laki-laki dilarang menikah dengan
perempuan yang semarga dengannya. Kedua, endogami yaitu seorang laki-laki
diharuskan menikahi perempuan dalam lingkungan kerabat (suku, klan famili)
sendiri dan dilarang menikahi perempuan di luar kerabat. Ketiga, eleutrogami yaitu
seorang laki-laki tidak lagi diharuskan atau dilarang menikahi perempuan di luar
ataupun di dalam lingkungan kerabat melainkan dalam batas-batas yang telah
ditentukan hukum Islam dan hukum perundang- undangan yang berlaku.
Sistem perkawinan di atas, masyarakat Batak menganut sistem
perkawinan exogami. Secara antropologis, perkawinan semarga dianggap sebagai
perkawinan pantang atau menyalahi aturan adat Batak. Perkawinan laki-laki dengan
perempuan yang semarga dianggap sebagai saudara dan sedarah dari ayah
(patrilinial). Perkawinan semarga adalah suatu perkawinan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang melangsungkan perkawinan mempunyai marga yang
sama. Misalnya perkawinan antara marga Hasibuan dengan marga Hasibuan, marga
Harahap dengan marga Harahap, marga Lubis dengan marga Lubis, dan lain
sebagainya. Pada intinya, hukum adat Batak hubungan kekerabatannya adalah
bersifat asymmetrisch connubium, melarang terjadinya perkawinan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang semarga.
Larangan perkawinan semarga sudah turun-temurun sebelum agama Islam
datang ke tanah Batak. Oleh karena itu, hukum adat selalu ditaati masyarakat Batak
setempat dan masih mempertahankannya. Pada zaman dahulu, pasangan yang
melakukan perkawinan semarga akan dihukum berat seperti dikucilkan dari
pergaulan masyarakat, dan biasanya masyarakat tidak mau menerima mereka, tidak
diakui dan dilarang mengikuti acara adat, bahkan kedua belah pihak akan dikenai
sanksi dengan direndahkan oleh komunitasnya dan atau diusir dari masyarakat
tersebut. Masyarakat Batak Mandailing telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan-
peraturan budaya Mandailing. Perkawinan semarga Batak Mandailing misalnya,
bahwasanya adat larangan perkawinan semarga dalam adat Batak justru
dilaksanakan dan dilanggar oleh masyarakat. Sistem perkawinan ke luar marga
sudah luntur dalam masyarakat Batak. Perkawinan ini disebut dengan perkawinan
semarga (sumbang).

Anda mungkin juga menyukai