Abstrak
Perkawinan adalah sebuah bukti dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial dimana manusia
cenderung bergantung pada oranglain dan ingin bergaul serta ikut serta dalam hubungan
bermasyarakat. Indonesia sebagai negara plural memiliki banyak keberagaman salah satunya
adalah agama. Perkawinan berbeda agama masih memiliki banyak perdebatan. Namun, menurut
peraturan perundang-undangan perkawinan sah apabila dilaksanakan sesuai hukum dan aturan
dalam masing-masing agama. Akibat sah atau tidaknya perkawinan akan berdampak kepada
status anak yang lahir dalam perkawinan tersebut serta masalah hak waris dari orangtua untuk si
anak.
Abstract
Marriage is a proof of human nature as social beings where humans tend to depend on others
and want to get along and participate in social relations. Indonesia as a plural country has a lot
of diversity, one of which is religion. Interfaith marriages still have a lot of debate. However,
according to the laws and regulations, marriage is legal if it is carried out according to the laws
and regulations of each religion. As a result of whether a marriage is legal or not, it will have an
impact on the status of the child born in the marriage as well as the issue of inheritance rights
from parents to the child.
I. Pendahuluan
Menurut Aristoteles (384-322 SM), manusia dikatakan sebagai Zoon Politicon yang
artinya manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu ingin bergaul dan
bersosialisasi dengan oranglain maupun masyarakat. 1Dari istilah ini lah manusia disebut
sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup atau bergantung kepada
oranglain untuk melangsungkan hidupnya. Hal inilah yang membuat manusia selalu ingin
menciptakan kelompok sosial bahkan kelompok sosial terkecil seperti halnya keluarga.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tentunya harus melewati proses yang dinamakan
perkawinan.
Secara etimologi, perkawinan berasal dari bahasa jawa kuno ka-ahwin yang memiliki
arti dibawa, dipikul, dam diboyong. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974,
Perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila disimpulkan,
perkawinan merupakan ikatan antara laki-laki dan perempuan di mana dalam menjalani
hubungan tersebut keduanya sudah siap untuk berbagi segala suka duka bersama agar
mendapat kebahagiaan dan semuanya berlandaskan dengan ketentuan agama atau
kepercayaan yang dianutnya.
Seperti yang dijelaskan pada pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, perkawinan
memiliki hubungan erat dengan agama karena harus dilaksanakan berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap agama memiliki ketentuan mereka masing-masing
dalam hal ini dan pasti diutamakan perkawinan tersebut terjadi antara laki-laki dan
perempuan dengan agama dan kepercayaan yang sama. Negara Indonesia yang
merupakan negara majemuk dengan keberagaman suku, budaya, adat, dan agama menjadi
negara yang memiliki keberagaman pula dalam hal permasalahan perkawinan, salah
satunya adalah perkawinan dengan agama yang berbeda. Walau setiap orang pasti
menginginkan sebuah hubungan perkawinan dengan pasangan yang memiliki kesamaan
agama dan kepercayaan agar tercipta keselarasan, namun rasa ketertarikan kepada lawan
jenis yang berbeda agama tidak dapat terhindarkan.
1
Muhammad Amirullah, “Zoon Politicon Menjadi Zoom Politicon” Rechtsvinding, 2020. Hlm. 4
1.1 Rumusan Masalah
2
Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama, Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis
Kebijakan, Komnas HAM, Jakarta, 2005, hlm. 207
memiliki agama yang sama. Namun, dalam agama Protestan, terdapat
pengecualian dan dispensisasi. Dalam sidang Majelis Pekerja Lengkap
Persekutuan Gereja-gerja di Indonesia (MPLGI) tahun 1989, pengesahan
pernikahan ditentukan oleh negara dan Gereja berkewajiban meneguhkan dan
memberkati suatu perkawinan yang telah disahkan oleh Pemerintah. 3
Dalam ajaran agama Budha, perkawinan beda agama diperbolehkan
asalkan pengesahannya dilakukan menurut tata cara agama Budha dan dalam
ritual, kedua belah mempelai wajib mengucap “atas nama sang Budha,
Dharma, dan Sangka”, yang merupakan dewa-dewa dalam agama Budha. 4
Dalam ajaran agama Hindu, suatu perkawinan berbeda agama juga
dilarang. Menurut hukum Hindu, sahnya sebuah perkawinan salah satu
aspeknya adalah kedua mempelai pengantin memiliki agama yang sama. 5
Dalam sebuah perkawinan, tentunya anak adalah salah satu subjek hukum
yang memiliki status dan kedudukan di mata hukum. Hal ini juga termasuk
dalam perkawinan berbeda agama. Status terkait sah atau tidaknya anak yang
lahir dalam perkawinan campuran sampai saat ini masih menuai banyak
perdebatan.
Berdasar ketentuan pasal 42 Undang-undang No. 1 tahun 1874 yang
berbunyi :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.”
Menurut ketentuan tersebut, sah atau tidaknya status anak tersebut
didasarkan kepada sah atau tidaknya pernikahan kedua orangtuanya. Hal ini
dikembalikan lagi kepada ketentuan berdasar agama tiap orangtuanya. Namun,
apabila dalam ketentuan agama tersebut perkawinan kedua orangtuanya
dianggap tidak sah, maka berlaku ketentuan pasal 43 ayat (1) yang berbunyi :
3
Ibid, hlm. 211
4
Ibid, hlm. 212
5
Ibi, hlm. 214
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam hal ini diartikan bahwa anak tersebut dianggap tidak memiliki
hubungan keperdataan dan sah di mata hukum sebagai anak dari sang ayah.
Anak tersebut hanya akan dianggap sah di mata hukum sebagai anak sang ibu
saja.
III. Kesimpulan
Sah atau tidaknya sebuah perkawinan berbeda agama dikembalikan lagi kepada
ketentuan dalam tiap agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan
pernikahannya. Dalam agama Islam, Katolik dan Hindu, perkawinan beda agama
dianggap tidak sah dan haram untuk dilakukan. Sementara dalam agama Budha dan
Protestan hal ini diperbolehkan, namun masih ada ketentuan khusus lagi yang
mengatur. Terkait status anak hasil dari perkawinan beda agama, status ini ditentukan
atas sah atau tidaknya perkawinan kedua orangtuanya. Apabila tidak sah, maka anak
tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan dengan sang ibu.
Jurnal
Buku
Baso, Ahmad dan Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama, Kesaksian, Argumen
Keagamaan dan Analisis Kebijakan, Komnas HAM, Jakarta, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan