Anda di halaman 1dari 7

Perkawinan Beda Agama dalam Prespektif Undang-Undang No.

1 tahun 1974 Tentang


Perkawinan

Disusun oleh Andini Mei Cahya_031911133176_andini.mei.cahya-2019@fh.unair.ac.id

Abstrak

Perkawinan adalah sebuah bukti dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial dimana manusia
cenderung bergantung pada oranglain dan ingin bergaul serta ikut serta dalam hubungan
bermasyarakat. Indonesia sebagai negara plural memiliki banyak keberagaman salah satunya
adalah agama. Perkawinan berbeda agama masih memiliki banyak perdebatan. Namun, menurut
peraturan perundang-undangan perkawinan sah apabila dilaksanakan sesuai hukum dan aturan
dalam masing-masing agama. Akibat sah atau tidaknya perkawinan akan berdampak kepada
status anak yang lahir dalam perkawinan tersebut serta masalah hak waris dari orangtua untuk si
anak.

Kata kunci: Perkawinan, Berbeda Agama, Status Anak, Hak Waris

Abstract

Marriage is a proof of human nature as social beings where humans tend to depend on others
and want to get along and participate in social relations. Indonesia as a plural country has a lot
of diversity, one of which is religion. Interfaith marriages still have a lot of debate. However,
according to the laws and regulations, marriage is legal if it is carried out according to the laws
and regulations of each religion. As a result of whether a marriage is legal or not, it will have an
impact on the status of the child born in the marriage as well as the issue of inheritance rights
from parents to the child.

Keywords: Marriage, Different Religion, Child Status, Inheritance Rights

I. Pendahuluan
Menurut Aristoteles (384-322 SM), manusia dikatakan sebagai Zoon Politicon yang
artinya manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu ingin bergaul dan
bersosialisasi dengan oranglain maupun masyarakat. 1Dari istilah ini lah manusia disebut
sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat hidup atau bergantung kepada
oranglain untuk melangsungkan hidupnya. Hal inilah yang membuat manusia selalu ingin
menciptakan kelompok sosial bahkan kelompok sosial terkecil seperti halnya keluarga.
Untuk mencapai tujuan tersebut, tentunya harus melewati proses yang dinamakan
perkawinan.

Secara etimologi, perkawinan berasal dari bahasa jawa kuno ka-ahwin yang memiliki
arti dibawa, dipikul, dam diboyong. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974,
Perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila disimpulkan,
perkawinan merupakan ikatan antara laki-laki dan perempuan di mana dalam menjalani
hubungan tersebut keduanya sudah siap untuk berbagi segala suka duka bersama agar
mendapat kebahagiaan dan semuanya berlandaskan dengan ketentuan agama atau
kepercayaan yang dianutnya.

Seperti yang dijelaskan pada pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974, perkawinan
memiliki hubungan erat dengan agama karena harus dilaksanakan berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap agama memiliki ketentuan mereka masing-masing
dalam hal ini dan pasti diutamakan perkawinan tersebut terjadi antara laki-laki dan
perempuan dengan agama dan kepercayaan yang sama. Negara Indonesia yang
merupakan negara majemuk dengan keberagaman suku, budaya, adat, dan agama menjadi
negara yang memiliki keberagaman pula dalam hal permasalahan perkawinan, salah
satunya adalah perkawinan dengan agama yang berbeda. Walau setiap orang pasti
menginginkan sebuah hubungan perkawinan dengan pasangan yang memiliki kesamaan
agama dan kepercayaan agar tercipta keselarasan, namun rasa ketertarikan kepada lawan
jenis yang berbeda agama tidak dapat terhindarkan.

1
Muhammad Amirullah, “Zoon Politicon Menjadi Zoom Politicon” Rechtsvinding, 2020. Hlm. 4
1.1 Rumusan Masalah

1.1.1 Apakah perkawinan beda agama itu sah menurut Undang-undang?


1.1.2. Apakah akibat hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut?
II. Pembahasan
II.1.1 Sahnya Perkawinan beda agama menurut Undang-undang No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan.
Sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda, perkawinan campuran sudah
diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde
Huwelijken). Dalam aturan tersebut, dikatakan bahwasanya setiap pasangan
yang melangsungkan perkawinan berbeda agama hanya dapat didaftarkan dan
dicatat di kantor catatan sipil. Namun, sejak dikeluarkannya Undang-undang
No. 1 tahun 1974, terdapat pengaturan lanjutan mengenai perkawinan berbeda
agama dan semuanya berlandaskan ajaran agama dan kepercayaan masing-
masing individu.
Seperti yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1), perkawinan dianggap sah
apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Sehingga untuk sah tidaknya, dapat dipastikan menurut
hukum setiap agama. Kemudian pada ayat ke (2) disebutkan bahwasanya
perkawinan tersebut hendaklah dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (2), pencatatan
perkawinan tersebut dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang N0. 22 tahun 1946 jo Undang-undang N0. 32
tahun 1954.
Dalam agama islam, perkawinan beda agama hukumnya adalah haram dan
tidak sah. Hal ini pernah disabdakan oleh RasulAllah SAW dalam hadis
riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a yang berbunyi:
“Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2)
karena (asal-usul) keturunan-nya (3) karena kecantikannya (4) karena
agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang
memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu.”
Dalam Fatwa MUI No. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 dinyatakan jelas
bahwasanya pernikahan berbeda agama itu hukumnya haram dan tidak sah.
Hal ini juga berlaku untuk pernikahan antara laki-laki beragama islam dan
perempuan yang tidak beragama islam ahli kitab. Dikeluarkannya Fatwa
tersebut juga dilatarbelakangi oleh banyaknya perkawinan beda agama di
Indonesia. Dalam Fatwa tersebut, ketentuan mengenai sah tidaknya sebuah
perkawinan berbeda agama sudah berdasar pada Al-qur’an yakni, QS. al-Nisa
[4]: 3, QS. al-Rum [30]: 21, (QS. al-Tahrim [66]: 6, QS. al-Maidah [5]: 5,
QS. Al-Baqarah [2]: 221, (QS. al-Mumtahanah [60]: 10, dan QS. al-Nisa [4]:
25
Kompilasi Hukum Islam yang disahkan melalui Intruksi Presiden No. 1
tahun 1991 yang merupakan salah satu rujukan peraturan perundang-undangan
bagi Warga Indonesia yang beragama muslim. Dalam pasal 44 Kompilasi
Hukum Islam yang berbunyi :
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam.” 
Dinyatakan secara tegas bahwasanya perkawinan yang dilakukan antara
dua orang yang berbeda agama tidaklah sah.
Dalam agama Katolik, perkawinan beda agama juga dianggap tidak sah
dan tidak diperbolehkan. Sama halnya seperti agama islam. Dalam agama
Katolik perkawinan hanya dapat dilakukan oleh sepasang laki-laki dan
perempuan yang sama-sama beragama katolik. Hal ini dikarenakan dalam
agama Katolik perkawinan dianggap sebagai sakramen yakni sesuatu yang
kudus dan suci. 2
Dalam agama Protestan juga menganut perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang

2
Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama, Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis
Kebijakan, Komnas HAM, Jakarta, 2005, hlm. 207
memiliki agama yang sama. Namun, dalam agama Protestan, terdapat
pengecualian dan dispensisasi. Dalam sidang Majelis Pekerja Lengkap
Persekutuan Gereja-gerja di Indonesia (MPLGI) tahun 1989, pengesahan
pernikahan ditentukan oleh negara dan Gereja berkewajiban meneguhkan dan
memberkati suatu perkawinan yang telah disahkan oleh Pemerintah. 3
Dalam ajaran agama Budha, perkawinan beda agama diperbolehkan
asalkan pengesahannya dilakukan menurut tata cara agama Budha dan dalam
ritual, kedua belah mempelai wajib mengucap “atas nama sang Budha,
Dharma, dan Sangka”, yang merupakan dewa-dewa dalam agama Budha. 4
Dalam ajaran agama Hindu, suatu perkawinan berbeda agama juga
dilarang. Menurut hukum Hindu, sahnya sebuah perkawinan salah satu
aspeknya adalah kedua mempelai pengantin memiliki agama yang sama. 5

2.1.2 Akibat Hukum Terhadap Anak Yang Lahir dari Perkawinan

Dalam sebuah perkawinan, tentunya anak adalah salah satu subjek hukum
yang memiliki status dan kedudukan di mata hukum. Hal ini juga termasuk
dalam perkawinan berbeda agama. Status terkait sah atau tidaknya anak yang
lahir dalam perkawinan campuran sampai saat ini masih menuai banyak
perdebatan.
Berdasar ketentuan pasal 42 Undang-undang No. 1 tahun 1874 yang
berbunyi :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.”
Menurut ketentuan tersebut, sah atau tidaknya status anak tersebut
didasarkan kepada sah atau tidaknya pernikahan kedua orangtuanya. Hal ini
dikembalikan lagi kepada ketentuan berdasar agama tiap orangtuanya. Namun,
apabila dalam ketentuan agama tersebut perkawinan kedua orangtuanya
dianggap tidak sah, maka berlaku ketentuan pasal 43 ayat (1) yang berbunyi :

3
Ibid, hlm. 211
4
Ibid, hlm. 212
5
Ibi, hlm. 214
“Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam hal ini diartikan bahwa anak tersebut dianggap tidak memiliki
hubungan keperdataan dan sah di mata hukum sebagai anak dari sang ayah.
Anak tersebut hanya akan dianggap sah di mata hukum sebagai anak sang ibu
saja.

III. Kesimpulan
Sah atau tidaknya sebuah perkawinan berbeda agama dikembalikan lagi kepada
ketentuan dalam tiap agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan
pernikahannya. Dalam agama Islam, Katolik dan Hindu, perkawinan beda agama
dianggap tidak sah dan haram untuk dilakukan. Sementara dalam agama Budha dan
Protestan hal ini diperbolehkan, namun masih ada ketentuan khusus lagi yang
mengatur. Terkait status anak hasil dari perkawinan beda agama, status ini ditentukan
atas sah atau tidaknya perkawinan kedua orangtuanya. Apabila tidak sah, maka anak
tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan dengan sang ibu.

VI. Daftar Pustaka

Jurnal

Amirullah, Muhammad, “Zoon Politicon Menjadi Zoom Politicon” Rechtsvinding, 2020

Buku

Baso, Ahmad dan Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama, Kesaksian, Argumen
Keagamaan dan Analisis Kebijakan, Komnas HAM, Jakarta, 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Uundang-undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Regeling op de Gemengde Huwelijken

Fatwa MUI No. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005

Anda mungkin juga menyukai