Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan ibadah yang berdasarkan pada kerelaan,
kesediaan, serta komitmen secara tulus untuk merajut rumah tangga sebagai
surga yang dipenuhi kasih sayang. Sebagaimana masyarakat Indonesia
merupakan bangsa yang berdaulat yang kaya akan ragam budaya dan agama
maka aturan tentang perkawinan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 pasal 1 perkawinan yaitu “ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam Undang-Undang pasal 2 ayat 1 undang-undang perkawinan disebutkan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.1 Dari ketentuan pasal 2 Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan hukum masing-masimg
agama dan kepercayaannya selama tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam undang-undang. Maka tidak mungkin terjadinya pernikahan
berbeda agama sebab Syari’at Islam melarang orang yang beragama Islam
menikah dengan yang bukan beragama Islam.
Pada realitanya banyak masyarakat Indonesia yang menikah dengan
berbeda keyakinan dengan mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatatan
Sipil, karena undang-undang tidak mengatur menikah berbeda agama hanya
memumgkinkan terjadinya pelaksanaan nikah beda agama selama dibolehkan
oleh agama masing – masing.
Penikahanan beda agama bisa terjadi karena faktor cinta antara satu
dengan yang lain dan jelas menimbulkan permasalahan sebagai akibat hukum
pernikahan mereka, sebagian besar konsekuensi yang ditimbulkan adalah hak
dan kewajiban masing–masing suami istri dalam perkawinan, pembagian
harta warisan, serta kedudukan anak dalam hubungan perkawinan.

1
H.M. Yahya Harahap. Kompilasi Hukum Islam, hal. 99
Mengenai kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan yang beda
agama berdasarkan ketentuan undang-undang pasal 42 menyebutkan bahwa
anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.2Jadi, kedudukan anak yang sah di mata hukum dan
memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua ketika pernikahan beda
agama dilakukan di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang beragama
Islam) ataupun dilakukan di Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan
nonmuslim). Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 anak yang
dianggap sah yaitu pertama anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah. Kedua hasil pembuahan suami istri yang diluar rahim
dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dari penjelasan tersebut bahwa anak yang
sah adalah anak yang lahir dari proses pernikahan yang sah bukan yang lahir
dari pernikahan yang tidak diaggap oleh agama dan negara.
Pernikahan beda agama memberi pengaruh, baik dalam lingkungan
keluarga ataupun di masyarakat sekitar, salah satu dampak yang ditimbulkan
orang tuanya yaitu untuk melanjutkan keyakinan salah satu dari orang tuanya
dan mengorbankan agama salah satu orang tuanya, dan juga adanya hambatan
hak waris anak serta perwalian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, pokok permasalahan yang menjadi
fokus pembahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana status anak yang lahir dari keluarga beda agama?
2. Bagaimana hak waris anak dalam keluarga bada agama?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui status anak dari keluarga beda agama.
b. Menjelaskan mawaris anak yang lahir dari keluarga beda agama.
2. Manfaat Penelitian

2
Ibid, hal. 86
manfaat penelitian dari penulisan karya ilmiah yang dibuat penulis
adalah untuk :
a. Secara teoritis, hasil dari penelitian ini untuk menambah wawasan baru
bagi mahasiswa dan dapat menjadikan sebagai pedoman untuk
menghadapi masalah status dan hak waris anak dalam kehidupan keluarga
beda agama.
b. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat
dalam mewujudkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat.
D. Kajian Terdahulu Dan Kerangka Teori
1. Kajian Terdahulu
Adanya kajian skripsi terdahulu untuk mengetahui gambaran tentang
permasalahan yang penulis teliti mungkin belum pernah diteliti oleh penulis
yang lain, sehingga tidak ada pengulangan penelitian secara mutlak ataupun
plagiasi. Merujuk dari skripsi terdahulu penulis menemukan data yang
berhubungan dengan penelitian yang sudah ditulis, Antara lain ;
a. Jurnal yang berjudul kedudukan ahli waris nonmuslim terhadap harta
warisan pewaris islam yang di tuliskan oleh Ilyas menjelaskan bahwa
permasalahan beda agama yang menjadi penghalang mawaris, yaitu
apabila antara ahli waris dan orang yang mewarisi salah satunya muslim
sedangkan yang lainnya nonmuslim adanya batasan tentang permasalahan
mereka yang berbeda keyakinan maka orang muslim tidak dapat saling
mewarisi dengan yang nonmuslim begitupun sebaliknya nonmuslim tidak
dapat mewarisi orang muslim.
b. Penelitian lainnya dilakukan oleh Ahmad Royani yang berjudul
“kedudukan anak nonmuslim terhdap harta warisa pewaris islam ditinjau
dari kitab undang-undang hukum perdata”. Latar belakang yang didasari
dengan potensi masalah yang mungkin timbul dari pengaturan pembagian
harta warisan nonmuslim. Hasil dari penelitian tersebut menjelasakan
bahwa kedudukan anak hasil perkawinan antara agama dalam hal
pembagian harta warisan anak menurut hukum kewarisan perdata barat
yang merupakan ahli waris menurut undang-undang, karena anak-anak
temasuk golongan pertama dari orang yang berhak menjadi ahli waris
bersam dengan keturunan dariana-anak tersebut. Menurut hukum islam
hak waris anak terbagi menjadi dua, yaitu kewarisan islam menurut
bilateral hazairin maupun menurut ahlul sunnah waljama’ah.
c. Penelitian yang dilakukan oleh Ety Farida Yusuf yang mengkaji tentang
hak waris anak diluar nikah menurut KHI. Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa kedudukan anak nikah menurut islam didasarkan
pada nasab sebagai legilitasi hubungan kekeluargaan yang berdasarkan
hubungan darah, sebagai akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah
fasid, atau senggama subhat. Konsekuensinya adalah “tidak ada hubungan
nasab anak dengan bapak biologisnya: tidak ada hak dan kewajiban
anatara anak dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan
lainya.
Penelitian ini lebih memfokuskan mengenai status anak dari
keluarga beda agama dan status harta warisan anak dari keluarga beda
agama. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, dimana
penelitian sebelumnya hanya membahas bagaimana hukum islam
mengenai kewarisan seorang muslim terhadap nonmuslim, sedangkan
penelitian Ety Farida membahas tentang hak waris anak angkat dan waris
anak diluar nikah menurut hukum islam.
2. Kerangka Teori
a. Pengertian nikah
Nikah secara etimologi berarti kumpulan atau gabungan, orang
arab mengatakan tanaakahatil asyjhaaru artinya bilamana pohon-
pohon saling bergabung satu sama lainnya, 3 atau sebuah pengibaratan
sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syari’at
dikenal dengan akad nikah.4 Sedangkan secara terminalogi berarti
sebuah akad yang mengendung pembolehan bersenang-senang dengan
perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, mencuim,
3
Zainuddin Al-Malibary, Kitab Fathul Mui’n (Surabaya: As Salam), vol. 3 hal.
4
Doctor. Wahbah Rukhli, al-Fiqhil islam wa adlillatuhu,(damaskus: dar alfiqr, 1985), vol.
7 hal. 152
memeluk, dan sebagainya, jika bukan dari segi nasab, sesusuan, dan
keluarga.
Menurut para ahli ilmu usfiq dan bahasa, kata nikah digunakan
secara haqiqat (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara
majas (kiasan) untuk arti akad, berkaitan dengan hukum pernikahan di
indonesia berdasarkan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1947, pengertian
pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan yang dimaksud pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yaitu “perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat atau misaqo galizho untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
b. Pernikahan Beda Agama
1. Pengertian pernikahan beda agama
Adapun defenisi pernikahan beda agama adalah pernikahan
yang dilakukan oleh orang-orang yang berbeda keyakinan satu dengan
yang lain dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang
dianut.5
c. Hukum Nikah Beda Agama
Pernikahan beda agama pada dasarnya sudah diatur dalam ayat-
ayat Al-qur’an. Mengenai masalah pernikahan beda agama, islam
membagi menjadi tiga macam, diantaranya:
1. pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan musyrik
Menurut pendapat para ulama yang melarang nikah beda
agama, sudah disepakati sejak masa sahabat hingga abad ini
bahwa dalam agama islam menikah perempuan muslimah
dengan nonmuslim hukumnya haram. Berdasarkan firman
Allah SWT :

5
Ash-Shabuni, Pembagian Ahli Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani,1995), Hal. 43
‫َأَلمةٌ ُمْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة‬ ِ ِ ِ
َ ‫َوالَ تَنك ُحواْ ال ُْم ْش ِر َكات َحتَّى ُيْؤ مّن َو‬

‫ين َحتَّى ُيْؤ ِمنُوا َول ََع ْب ٌد ُمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن‬ِ ِ


َ ‫َول َْو َأ ْع َجبَْت ُك ْم َواَل ُت ْنك ُحوا ال ُْم ْش ِرك‬
‫الجن َِّة‬ َ ‫ُم ْش ِر َك َول َْو َأ ْع َجبَ ُك ْم ُأولَِئ‬
َ ‫ك يَ ْدعُو َن ِإلَى النَّا ِر َواهللُ يَ ْدعُو ِإلَى‬
ِ ‫الم ْغ ِف َر ِة بِِإ ْذنِِه َو ُيَبيِّ ُن آَيَاتِِه لِلن‬
‫َّاس ل ََعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّك ُرو َن‬ َ ‫َو‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baikdari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surgadan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”
Sebagaimana sudah dijelaskan dalam firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adanya pernikahan beda
agama dikhawatirkan perempuan yang beriman jatuh kedalam
kekafiran maka pernikahan perempuan muslimah dengan
nonmuslim hukumnya haram meskipun dalam nash ini hanya
menyinggung orang-orang musyrik, akan tetapi illat (sebab)
adalah ajakan ke api neraka, mencakup kepada semua
nomuslim baik perempuan muslimah menikah dengan laki-laki
musyrik atau ahlul kitab maka hukum menjadi umum dengan
keumuman illat.6

6
Wahbah Rukhli, Al-Fiqhil Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar Alfiqr, 1985), Vol. 7 Hal.
152
Mazhab Hanafi dan Syafi’i serta mazhab yang lainnya
memasukkan perempuan yang murtad kedalam golongan
perempuan musyrik. Tidak ada seorang muslim atau kafir yang
boleh mengawininya. Penyebab bagi pengharaman menikahi
perempuan musyrik dan perempuan yang sepertinya adalah
tidak ada keharmonisan, ketenangan, dan kerjasama diantara
suami-istri. Adanya perbedaan akidah menumbuhkan rasa
gelisa dan ketidaktenangan, dan perpecahan diantara suami
istri. Sehingga kehidupan rumah tangga yang seharusnya
berdiri di atas landasan rasa sayang, kasih dan cinta tidak
menjadi tentram, dan tidak dapat tercapai tujuan yang berupa
ketenangan dan kestabilan.7
2. Pernikahan antara laki-laki Muslim dan wanita Ahli Kitab
Penjelasan mengenai kebolehan menikahi perempuan ahli
kitab terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 5, ayat ini
merupakan pengecualian dalam perkawinan beda agama ayat
tersebut adalah :

‫ب ِحلٌّ لَّ ُك ْم‬ ِ ۟ ِ َّ ِ


َ َ‫ين ُأوتُوا ٱلْك ٰت‬ ُ َ‫ٱلَْي ْو َم ُأح َّل لَ ُك ُم ٱلطَّيِّب‬
َ ‫ٰت ۖ َوطَ َع ُام ٱلذ‬
ِ َّ ِ ‫ت وٱلْمحص ٰن‬ِ ِ ِ َ‫وطَعام ُكم ِحلٌّ هَّل م ۖ وٱلْمحص ٰن‬
‫ين‬ ُ َ َ ْ ُ َ َ‫ت م َن ٱلْ ُمْؤ م ٰن‬
َ ‫ت م َن ٱلذ‬ ُ َ ْ ُ َ ُْ ْ َُ َ
ِِ ِِ ِ ِ ‫ُأوتُو ۟ا ٱلْ ِك ٰت‬
‫ني َواَل‬
َ ‫ني َغْيَر ُم َٰسفح‬
َ ‫ور ُه َّن حُمْصن‬
َ ‫ُأج‬ ُ ‫ب من َقْبل ُك ْم ِإذَٓا ءَاَتْيتُ ُم‬
ُ ‫وه َّن‬ ََ
‫اخَر ِة ِم َن‬
ِ ‫ط عملُهۥ وهو ىِف ْٱلء‬
َ
ِ ‫ِ ِإْل‬ ٍ
َ ُ َ ُ َ َ َ ‫َأخ َدان ۗ َو َمن يَ ْك ُف ْر بٱ ميَٰ ِن َف َق ْد َحب‬
ْ ‫ى‬ ٓ ‫َّخ ِذ‬
ِ ‫مت‬
ُ
ِ
َ ‫ٱخْلَٰس ِر‬
‫ين‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu
halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan

7
Ibid., 152
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan iaz di
hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
Para fuqoha’ membolehkan pernikahan dengan ahlul kitab,
karena dalam sejarah pernikahan tersebut pernah dilakukan
oleh Khalifah Ustman Bin Affan dengan Naa'ilah Bintil
Faraadhah Al-Kalbiyyah yang merupakan seorang perempuan
Nasrani dan kemudian masuk Islam di sisi Utsman.
Sebab dalam pembolehan menikah dengan perempuan ahli
kitab berbeda halnya dengan perempuan musyrik adalah,
memiliki kesamaan keimanan pada beberapa prinsip yang
asasi, dimulai dengan pengakuan terhadap Tuhan serta
keimanan kepada para rasul dan hari kiamat. Adanya titik temu
ini menyebabkan adanya komunikasi berdasarkan landasan ini,
yang menjamin terciptanya kehidupan perkawinan yang
biasanya lurus dengan mengharap keislaman perempuan
tersebut karena secara general dia beriman dengan kitab-kitab
para Nabi dan Rasul.8 Akan tetapi menurut mazhab Hanafi dan
Syafi’I, serta menurut mazhab Maliki dalam salah satu
pendapatnya, seorang muslim makruh menikah dengan
perempuan ahli kitab dan ahli dzimmah.
Menurut pendapat yang paling masyhur mazhab Syafi’I
jika seorang nasrani pindah ke agama yahudi, dan seorang
yahudi menjadi seorang nasrani, maka dia tidak diakui

8
Ibid.,153
sebagaimana halnya jika seorang muslim melakukan
kemurtadan kecuali orang tersebut menjadi islam.9
Al Imam Abdul A’la Al Maududi menyatakan bahwa
sesungguhnya bahwa pernikahan dengan orang-orang
nonmuslim, walaupun dibolehkan bagi laki-laki muslim dengan
hukum makruh, disamping ada sebagian ulama berpendapat
hukumnya haram, tapi yang pasti ulama sepakat bahwa
perkawinan bagi wanita muslim diharamkan selamaa-
lamanya.10 Sedangkan menurut majelis ulama Indonesia
pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
hukumnya haram karena didasarkan atas pertimbangan
kemaslahatan yang sifatnya lokal. Perempuan ahli kitab yang
dimaksud dalam fatwah MUI disini adalah perempuan Kristen
dan perempuan yahudi di Indonesia yang menurut imam syafi’I
tidak dikatagorikan ahli kitab.11 Ada beberapa tunjukkan dasar
MUI untuk mendukung fatwah tersebut diantaranya sabda
Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap bayi lahir
dalam keadaan suci, dan orang tuanyalah yang menjadikannya
yahudi, nasrani, atau majusi. Teks hadis ini sebagai berikut:

‫ َْأو مُيَ ِّج َسانِِه‬،‫صَرانِِه‬ ِ ‫ود ِإاَّل يولَ ُد علَى‬


ِّ َ‫ فَ ََأب َواهُ يُ َه ِّو َدانِِه َْأو يُن‬،‫الفطَْر ِة‬ ٍ ُ‫ما ِمن مول‬
َ ُ َْ ْ َ
“Tidak ada yang dilahirkan kecuali di atas fitrah, lalu
kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, atau Nasrani,
atau Majus.”
3. Pernikahan Laki-Laki Nonmuslim Dengan Perempuan Muslim
Ulama sepakat hukum menikah laki-laki ahli kitab
(nonmuslim) dengan perempuan muslimah adalah haram
berdasarkan firman Allah SWT surah Al-Mumtahanah ayat 10 :

9
Lot. Cit. Hal 154
10
Abdul Muta’al al Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Nonmuslim? Tinjauan
Fiqh dan Politik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 22
11
Prof.KH.Ali Mustafa Yaqub, MA, Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran Dan Hadis,
(Jakarta: Pustaka Firdaus,2005), Hal. 31
‫ٰت فَاَل تَ ۡر ِجعُ ۡو ُه َّن اِىَل ۡلا ُكفَّا ِ‌ر ؕ اَل ُه َّن ِحلٌّ هَّلُمۡ َواَل‬
ٍ ‫فَاِ ۡن عمۡلِتُم ۡوه َّن م ۡؤ ِمن‬
ُ ُ ُ َ
‫ُهمۡ حَيِ لُّ ۡو َن هَلُ َّن‬
“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak
halal bagi mereka”
Ayat di atas menegaskan keharaman laki-laki nonmuslim
menikah dengan perempuan muslimah. Dalam kaidah fiqih

disebutkan ‫ األص ! !!ل يف األبض ! !!اع التح ! !!رمي‬artinya:”pada dasarnya

dalam masalah farj (kemaluan) itu adalah haram.” Maksud


dari kadah ini, apabila dalam masalah (farj) wanita terdapat dua
hukum (perbrdaan pendapat), antara halal dan haram, maka
yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamakan.12
d. Waris
1. Pengertian waris
Kewarisan dalam bahasa arab disebut irtsun atau al-miras,
dengan makna berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain.13 Arti waris merupakan terjemahan dalam bahasa arab
menunjukkan bentuk masdar dari akar waratsa yarisu irtsan,
wamiratsan. Yaitu berpindahnya sesuatu dari seseorang (setelah ia
meninggal dunia) kepada orang lain14. Sehingga secara istilah
berpindahnya hak milik dari orang yang meninggal kepada ahli

12
Abu Al-Fadhl Jalal Al-Din Abdurrahman Al-Suyuti, Al-Asybah Wa Al-Nazhar Fi Qowaid
Wa Furu’ Fiqih Al-Syafi’iyyah, (Bairut: Dar Ar-Fikr, 1416H/1996), cet ke-2, hal. 84.
13
Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan, (Lirboy: Antri Salaf,1437),
Hal.8
14
Abu Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Cet. Ke 29 (Bairut: Dar
alMasyyriq, 1986), hlm. 895.
warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta,
kebun atau hak-hak syariah,15
Hak waris merupakan suatu istilah yang terdiri dari kata
“hak” dan “waris” kata hak dari terjemahan dari kata haqqa,
yahiqqu, wa huquqan, yang maknanya berarti sah, tetap, benar,
dan meyakini.16 Dalam perspektif Al-Qur’an, hak merupakan
nama Allah dari nama-namaNya yang 99 yang harus diyakini oleh
setiap umat islam. Artinya menyakini bahwa Allah itu maha benar,
tidak keluar dari kebenaran. Hak juga berupa lawan dari bathil.17
e. Dasar Hukum Waris
Masalah kewarisan merupakan masalah yang paling sempurna
dikemukakan oleh Al-Qur‟an, bahkan dapat dibilang tuntas. Nash-
nash yang menjadi dasar hukum atau dalil-dalilnya. Sebagaimana
dalam firman Allah swt tentang kewarisan terdapat dalam surat An-
Nisa ayat 11, yaitu:
ِ ‫ظ اُأْلْنَثَينْي ِ ۚ فَِإ ْن ُك َّن نِساء َفو َق ا ْثنََتنْي‬ َّ ِ‫وصي ُكم اللَّهُ يِف َْأواَل ِد ُكم ۖ ل‬
ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬ ِ ‫ي‬
ُ
ْ ًَ ُ ْ ُ
‫اح ٍد ِمْن ُه َما‬
ِ ‫اح َد ًة َفلَها النِّصف ۚ وَأِلبوي ِه لِ ُك ِّل و‬
َ ْ ََ َ ُ ْ َ
ِ ‫َفلَه َّن ثُلُثَا ما َتر َك ۖ وِإ ْن َكانَت و‬
َ ْ َ َ َ ُ
‫ث ۚ فَِإ ْن‬
ُ ُ‫الثل‬ ِّ َ‫س مِم َّا َتَر َك ِإ ْن َكا َن لَهُ َولَ ٌد ۚ فَِإ ْن مَلْ يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ ََأب َواهُ ف‬
ُّ ‫ُأِلم ِه‬ ُ ‫الس ُد‬
ُّ
ِ ‫الس ُدس ۚ ِمن بع ِد و ِصيَّ ٍة ي‬
‫وصي هِبَا َْأو َديْ ٍن ۗ آبَاُؤ ُك ْم َو َْأبنَاُؤ ُك ْم‬ ِ ِّ َ‫َكا َن لَه ِإخوةٌ ف‬
ُ َ ْ َ ْ ُ ُّ ‫ُأِلمه‬ َْ ُ
ِ ِ ‫ب لَ ُكم َن ْف ًعا ۚ فَ ِر َ ِ ِ ِإ‬
‫يما‬ ً ‫يضةً م َن اللَّه ۗ َّن اللَّهَ َكا َن َعل‬
ً ‫يما َحك‬ ْ ُ ‫اَل تَ ْد ُرو َن َُّأي ُه ْم َأْقَر‬
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
15
Samsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal.
169.
16
Sa’di Abu Habib, Al-Qamus al-Fiqhi Lugatan wa Isthilaha (Damaskus-Suria: Dar al-
Fikr, 1408 H./1988 M0, hlm. 93.
17
Shadiq dan Shalahuddin Chaery, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: CV Sinttarama, 1983),
hlm. 116.
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksan.”
Adapun dari hadis Nabi yang menerangkan pembagian warisan,
adalah:

‫ف الْعِْل ِم َوِإنَّهُ ََّأو ُل َما يُْنَزعُ ِم ْن َُّأميِت‬ ِ ‫ِئ‬ ِ ِ


ْ ‫ض فَِإن ََّها ن‬
ُ ‫ص‬ َ ‫َحديث َأيِب ُهَر ْيَر َة َت َعلَّ ُموا الْ َفَرا‬
Artinya: Pelajarilah ilmu faraid dan lalu ajarkanlah. Karena dia
separuh dari ilmu dan akan (mudah) dilupakan orang. Dan dia
adalah ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umatku”(HR Abi
Hurairah)18

‫قوله صلى اهلل عليه وسلم (ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو ألولى رجل‬

)‫ذكر‬
Nabi SAW bersabda: “Berikanlah bagian bagian tertentu kepada
orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki
yang utama (kekerabatannya)19
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171
Ayat 1, yang dimaksud dengan Hukum Waris adalah hukum yang

18
Ahmad Bin Ali Bin, Fathul Bari Syarah Shoheh Bukhori, (Bairut: Dar Al-Ma’rifah,
1379), Vol. 12 Hal.5
19
Muhammad Bin Said Bin Salim Al-Quhtoni, Al Wala’ Wal Bara’ Fil Islam (Saudi
Arabiyyah; Dar Toyyibah), Vol. 1 Hal. 90
mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagian masing-masing.20
f. Rukun Waris
Rukun menurut bahasa sesuatau dianggap rukun apabila posisinya
kuat dan dijadikan sandaran, sedangkan secara istilah adalah
keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu
yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat. Sujud dianggap
sebagai rukun, maka tidak dikatakan shalat jika tidak sujud. Dengan
demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan bagian harta waris dimana bagian harta waris tidak akan
ditemukanbila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun untuk
mawaris ada tiga:
1. Al-muwarisrtsi, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik
mati hakiki maupun mayi hukmy suatu kematian uang dinyatakan
oleh keputusan hakin atas dasar beberapa sebab, keinginan
sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.
Meninggalnya orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan
menjadi tiga:
a. Mati Hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang, baik kematian
itu disaksikan dengan pengujian atau dengan pendeteksi.
b. Mati Hukmiyah adalah suatu kematian yang disebabkan
keputusan hakim, seperti bila seorang hakim memvonis
kematian mafqud ‘orang yang tidak diketahui kabar beritanya,
tidak dikenal domisilinya,dan tidak pula diketahui hidup atau
matinya’.
c. Mati Taqdiri yaitu suatu kematian yang semata-mata
berdasarkan dugaan kuat.

20
Ilyas, “Kedudukan Ahli Waris Nonmuslim terhadap Harta Warisan Perwaris Islam”,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 65, Th. XVII(April, 2015). Hlm. 176
2. Al-warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang
mempunya hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan
terhalang.
3. Al-mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Termasuk
dalam katagori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang
mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishas (perdata), hak
menahan barang yang beum dilunasi pembayarannya,dan hak
menahan barang gadaian.
g. Sebab-Sebab Mendapat Warisan
1. Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang
mewarisikan dengan orang yang mewarisi, yang
disebabkan oleh kelahiran, baik dekat ataupun jauh.
Golongan yang mendapat mawaris dari garis hubungan
kerabat adalah
a. Golongan ushul ‘leluhur’ yaitu : ayah, kakek danjalur
keatas, ibu, nenek (ibunya suami dan ibunya istri),dan
jalur keatas.
b. Golongan furu’ yaitu: anak kali-laki, cucu,cicit dan
jalur kebawah.
c. Golongan hawasyi adalah saudara laki-laki dan perempuan
secara mutlak, baik saudara kandung maupun seayah atau
seibu, anak-anak saudara kandung atau seayah, paman
sekandung, seayah, dan anak laki-lakinya paman yang
sekandung.
2. Pernikahan
Pernikahan merupakan akad yang sah menurut syariat
meskipun orang yang menikah menderita sakit keras. Sedangkan
menurut imam Malik berpendapat bahwa akad dianggap batal jika
salah sastu dari orang yang menikah sakit keras. Kalau kondisi
demikian, waris mewarisi tidak dapat dilakukan. Dan golongan
yang mendapat warisan sebab pernikahan adalah suami yang
istrinya meninggal dan istri yang suaminya meninggal.
3. Baitul mal
Para ahli fiqih pendapat tentang baitul mal yang menjadi salah
satu sebab boleh tidaknya mewarisi. Dalam hal ini, ada tiga
pendapat sebagaimana berikut:21
a. Baitulmal menjadi penyebab sebagai mewarisi secara mutlak,
baik baitulmal yang terorganisasi maupun tidak. Jika seorang
muslim meninggal dunia dan tidak mempunyai seorangpun
ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah
satu sebab-sebab mewarisi yang telah disepakati, maka baitul
mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta
menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslim. Sebab,
kaum muslim pun diberi diyah (danda) untuk saudaranya
sesame musllim yang tidak berkerabat. Dengan demikian,
kedudukan mereka bagaikan ashabah (golongan yang
mewarisi) dalam lingkungan kerabat. Pendapat ini
dikemukakan oleh kalangan Malikiyyah.
b. Baitulmal menjadi waris jika terorganisasi. Seandainya orang
muslim meninggal dunia sedangkan ia tidak memilki ahli
waris sama sekali, harta peninggalan tersebut di serahkan
kebaitul mal, bukan atas dasar kemaslahatan atai kepentingan
sosial, tetapi uuntuk diwariskan kepada kaum muslimin secara
ushubah.
c. Baitulmal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak,
baik ia terorganisasi maupun tidak. Dan pendapat ini menurut
Hanafiyyah dan Hanabilah. Kalangan ulama yang berpegang
pada pendapat ini bersandarkan pada firman Allah SWT surah
Al’anfal ayat 75 yang berbunyi:

21
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hhukum Waris (Jakarta: Senayan Abidi
Publishing, 2004), Hal. 41
!‫َ!و! ا!لَّ ! ِذ! ي! َن! آ َم! نُ!و!ا! ِم! ْن! َب! ْع! ُد! َ!و! َه! ا! َج! ُر! و!ا! َ!و! َج! ا! َه! ُد! و!ا! َم! َع! ُك! ْم‬
ِ !َ ‫فَ!!ُأ و!ٰلَ! ِئ‬
ُ !‫ك! م! ْن! ُك! ْم! ۚ_ َ!و! ُأو!لُ!و! ا!َأْل ْ!ر! َح! ا!ِ!م! َب! ْع‬
!ٍ !‫ض! ُه! ْم! َأ ْ!و! ىَل ٰ! ب!ِ َ!ب! ْع‬
‫ض! يِف‬

!ٌ‫ب! ا!ل!لَّ ! ِه! ۗ_ ِإ َّن! ا!ل!لَّ !هَ! بِ! ُك! ِّل! َش! ْي! ٍء! َع! لِ!ي!م‬
!ِ !‫كِ! تَ!ا‬
Artinya:” orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat
itu, sebagian mereka lebih berhak terhadap sesamanya(dari
yang buala kerabat) didalam kitab Allah.
Berdasarkan dari ayat diatas, sisa harta waris
dikembalikan kepada dzawil arham. Jika tidak ditemukan
seorangpun dari ash-habul furudh, ‘ashabah atau dzawil
arham, warisan dialihkan kebaitulmal. Pengaliahan ini bukan
berdasarkan anggapan baitulmal merupakan ahli waris, tetapi
baitulmal dianggap sebagai penyimpan harta waris sehingga
waris si mayat diketahui.
h. Kewarisan Beda Agama
Perbedaan agama merupakan penghalang seseorang untuk
mendapatkan warisan, semua ulama’ sepakat bahwa orang muslim
dan nonmuslim tidak bisa saling mewarisi berdasarkan hadis riwayat
Imam Bukhori, yaitu:

‫المسلم‬
َ ‫الكافر‬
ُ ُ ‫ وال يَ ِر‬،‫الكافر‬
‫ث‬ َ ‫المسلم‬
ُ ‫يرث‬
ُ ‫ال‬
”Orang islam tidak mendapat warisan dari harta orang kafir, dan
orang kafir tidak mendapat warisan orang islam.”22 Maksud dari
hadis tersebut jika ada sebuah keluarga yang didalamnya memiliki
keragaman agama, misalnya kedua orang tuanya islam dedangkan
anaknya masuk kedalam agama lain, maka anak-anak tersebut tidak
dapat warisan, begitupun sebaliknya. Akan tetapi sebagian ulama
berpendapat lain, orang islam boleh menerima warisan dari orang
22
Syeh Alwi Bin Abi Qodir As-Saqof, Mausu’ah La-Farqul Muntasabbah Lil Islam,
(Darar Sunniyah,1443) Vol.2 Hal.167
kafir, sebaliknya orang kafir tidak boleh menerima warisan dari islam.
Mereka berpendapat bahwa agama islam lebih tinggi dan
ketinggiannya tidak dapat diungguli. Pendapat ini dikutip dari riwayat
Mu’az Bin Jabal.23
Sedangkan orang murtad (orang yang keluar dari agama Islam),
berdasarkan Ijma’ ulama orang yang tidak termasuk mendapatkan
warisan. Para ulama berbeda pendapat dalam kewarisan bagi kerabat
orang murtad yang muslim.
Dari penjelasan dia atas kewarisan dari orang yang berbeda agama
dapat diklarifikasihkan sebagai berikut :
1. Nonmuslim Mewarisi Orang Islam
Jumhur ulama’ sepakat bahwa nonmuslim tidak dapat
mewarisi orang Islam sebab derajatnya lebih rendah dari islam, 24
sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat 141 yaitu:

‫صو َن بِ ُك ْم فَِإن َكا َن لَ ُك ْم َفْت ٌح ِّم َن ٱللَّ ِه قَالُ ٓو ۟ا َأمَلْ نَ ُكن َّم َع ُك ْم َوِإن‬
ُ َّ‫ين َيَتَرب‬
ِ َّ
َ ‫ٱ لذ‬
ِِ ۟ ِ ‫َكا َن لِْل َٰك ِف ِر‬
ُ‫ني ۚ فَٱللَّه‬
َ ‫يب قَالُ ٓوا َأمَلْ نَ ْستَ ْح ِو ْذ َعلَْي ُك ْم َومَنَْن ْع ُكم ِّم َن ٱلْ ُمْؤ من‬
ٌ ‫ين نَص‬
َ
‫يل‬ِ َ ِ‫حَيْ ُكم َبْينَ ُكم َيو َم ٱلْ ِقيَٰم ِة ۗ ولَن جَيْ َعل ٱللَّهُ لِْل َٰك ِف ِرين َعلَى ٱلْمْؤ ِمن‬
ً ‫ني َسب‬ ُ َ َ َ َ ْ ْ ُ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu
(peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang
mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah
mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta
kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan
(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang
mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di
hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan

23
Op.Cit, Hal. 50
24
Mughniyah, Fiqih Empat Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), Hal. 541
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman.
2. Orang Islam Mewarisi Non Muslim
Ulama-ulama termasyhur dari golongan sahabat, tabi’in dan
imam mazhab berpendapat bahwa orang Islam tidak dapat
mewarisi orang kafir. Ahli Fiqih Imamiyah berbeda pendapat
menurut beliau larangan mewarisi karena perbadaan agama tidak
mencakup larangan bagi orang Islam yang mewarisi kerabatnya
yang nonmuslim.25
3. Nonmuslim Mewarisi Nonmuslim
Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah beranggapan bahwa
agama mereka dianggap sebagai satu agama sehingga mereka
dapat saling mewarisi satu sama lain,26baik perbedaan dan
kepercayaannya, seperti yahudi dengan nasrani dan budha dengan
Zoroaster. Hal ini berdasarkan firman Allah surah yunus ayat 32
“..Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” Hal ini
dikarenakan soal warisan antara orang tua dan anak atau
sebaliknya, sudah disebutkan di dalam kitab Allah secara umum
(baik Taurat, Injil, Al-Quran). Dengan demikian, tidak sesuatupun
yang ditinggalkan, melainkan sesuatu yang dikecualikan oleh
syari’at. Adapun sesuatu yang tidak dikecualikan oleh syari’at,
tetap berada dalam keumumannya.27
Akan tetapi Imamiyah mensyaratkan kebolehan saling
mewarisi apabila diantara mereka tidak ada pewaris yang muslim.
Sedangkan Imam Ahmad, Imam Maliki dan Imam Marzuq (aliran
malikiyyah) berpendapat bahwa mereka tidak bisa mewarisi,
karena diluar agama islam merupakan agama berdiri sendiri.
4. Orang Murtad Mewarisi Orang Islam

25
Ibid., 541.
26
ibid,. 543.
27
Muhammad Syahir Ibnu ‘Abidin, Hasyiyyah Ibnu ‘Abidin, (Dar Al ‘Lamiyah), Juz 5,
Hal. 489
Para ulama berbeda pendapat dalam kewarisan bagi kerabat
orang murtad yang muslim. Jumhur fuqoha’ termasuk Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa orang Islam tidak
boleh menerima warisan dari orang murtad, karena tidak ada
warisan dari orang Islam dengan orang kafir, baik dari keluarga
muslim dan orang kafir. Larangan mewarisi dari keluarga muslim,
karena orang murtad lebih rendah derajatnya dari pada keluarga
muslim, sedangkan larangan untuk orang murtad mewarisi orang
kafir, karena orang murtad dianggap tidak mempunyai agama,
sedangkan orang kafir dianggap mempunyai agama sesuai dengan
kepercayaannya. Dengan demikian orang murtad tidak dianggap
sebagai pengikut suatu agama.28. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa harta orang murtad bisa diwariskan kepada ahli waris yang
muslim. Pendapat ini berdasarkan riwayat Abu Bakar, Ali dan
Ibnu Mas’ud.29 Berdasarkan firman Allah surah An-Nisa ayat 7
yaitu :

‫يب مِم َّا َتَر َك‬ ِ ِ ‫صيب مِم َّا َتر َك الْوالِ َد ِان واَأْل ْقربو َن ولِلن‬
ٌ ‫ِّساء نَص‬
َ َ َُ َ َ َ ٌ َ‫ل ِّلر َجال ن‬
ِ ِ ِ

‫وضا‬ ِ َ‫الْوالِ َد ِان واَأْل ْقربو َن مِم َّا قَ َّل ِمْنه َأو َكثُر ۚ ن‬
ً ‫صيبًا َم ْفُر‬ َ ْ ُ َُ َ َ
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.
5. Orang Islam Mewarisi Orang Murtad
Tidak ada perbedaan pendapat diantara fuqaha tentang harta
milik orang murtad yang diperoleh setelah ia murtad yaitu
diletakkan dikas perbendaharaan negara Islam. Munurut Imam

28
Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Alma’arif, 1994), Hal. 102
29
Syeh Sa’id Bin Said, Takrirat ‘Iddatul Fara’id (Lirboyo Kediri: Dar Al-Mubtadi’in),
Hal.2
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, harta benda setiap orang
murtad yang didapat sebelum meninggal atau diputuskan sudah
menggabungkan diri kepada musuh, maka harta tersebut menjadi
hak ahli waris yang beragama islam.30
Menurut Imam Al-Qurtubi Dan Al-Kiya Al-Harrasi status
orang murtad dengan orang kafir dalam masalah kewarisan yaitu
bahwa mereka terhalang untuk saling mewarisi dengan ahli
warisnya yang muslim. Pendapat mereka berlandaskan hadis dari
Usamah Ibn Zaid Ibnu Kahab yang menjelaskan tentang cakupan
hadistnya bersifat orang kafir secara umum, baik kafir karena
murtad ataupun bukan karena murtad.31
i. Kedudukan anak dalam kewarisan
1. Pengertian anak
Anak merupakan keturunan dan hasil dari perkawinan
sepasang suami istri. Anak adalah karunia yang terbesar bagi
keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, anak bisa diartikan sebagai keturunan yang kedua,
manusia yang masih kecil, dan orang yang berasal dari atau
dilahirkan disuatu negeri dan sebagainya.32
Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu
dan ayah kandungnya. Kedudukan anak kandung dalam kewarisan
dipengaruhi oleh pernikahan yang dilakukan oleh orang tuanya.
Jikan pernikahan kedua orang tuanya sah, maka anak tersebut sah
sebagai ahli waris, sedangkan apabila pernikahannya tidak sah
maka anak juga tidak sah.33 Yang dimaksud dengan anak tidak sah
(yang sering disebut dengan istilah setempat anak haram) adalah
anak yang lahir dari perbuatan orang yang tidak mentaati

30
Op. Cit., hal, 104-105.
31
Abdullah Ahmad An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah : Wacana Kebebasan Sipil, HAM Dan
Hubungan Internasional Dalam Islam (Jokjakarta;Lkis, 1990), 337.
32
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tanpa Kota:
Balai Pustaka, 1989), 84.
33
Ibnu Mas'ud, Fiqih Madzhab Syafi'i Buku 2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hal. 411
ketentuan agamaatau anak yang lahir dari perbuatan zina kedua
orang tunya. Sedangkan pengertian anak menurut UU RI No. 4
Tahun 1979 adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun
dan belum pernah menikah. Batas 21 tahun ditentukan
berdasasrkan pertimbangan usaha kesejahteraan social,
kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai
pada usia tersebut.
2. Kedudukan Anak dalam Kewarisan
Termasuk dalam ahli waris laki-laki adalah anak laki-laki
yang masih kecil. Anak laki-laki ditetapkan sebagai ahli waris
mutlak, karena anak menjadi penyambung orang tua untuk
melangsungkan keturunan. Anak laki-laki diberi mendapatkan
bagian dua kalilipat daripada bagian anak perempuan. Ini semua
sejalan dengan kewajibannya dalam keluarga. Dalam kehidupan
keluarga, anak laki-laki yang dibebani kewajiban mencari nafkah
guna mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
Dalam hukum kewarisan Islam anak laki-laki ditetapkan
sebagai ahli waris ashabah binnafsi yang tidak ditetapkan berapa
bagiannya dari warisan mendiang orang tuanya. Anak laki-laki
menerima sisa diambil bagian ahli waris dzawil furud yang
termasuk ahli waris mutlak. Jika ahlil waris terdiri dari ayah, ibu,
suami dan anak laki-laki maka bagian ayah 1/6, ibu 1/6, suami ¼
dan anak laki-laki menerima sisanya. Anak laki-laki disini sebagai
ahli waris ashabah yang terkuat dan tidak bisa dihalangi.34
Kedudukan anak perempuan dalam kewarisan sebelum
islam datang, bagian warisan bagi kaum perempuan dikalangan
masyarakat arab jahilliyah tidak ada sama sekali. Mereka
beralasan bahwa kaum perempuan tidak terlibat dalam peperangan
dan tidak menanggung biaya sedikutpun untuk kepentingan
keluarga. Pada waktu itu, orang-orang arab masih bersikap dzalim

34
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal. 160
terhadap kaum perempuan akan tetapi keadaan seperti itu tidak
berlangsung lama, setelah datangnya ajaran islam maka system
sebelum islam tidak berlaku lagi. Syariat islam telah menetapkan
dalam ayat kewariasan mengenai ketentuan dalam memberikan
warisan kepada kaum perempuan. Mereka mendapatkan warisan
bukan karena perasaan kasian atau alasan lainnya, akan tetapi
semata-mata karena Allah SWT 35
Adapun untuk saudara-saudara seibu, Allah SWT
menjelaskan bahwa mereka mewarisi dengan cara Kalala (orang
yang tidak mempunyai orang tua) yakni bagian warisan untuk satu
orang ditetapkan 1/6, sedangkan jika dua oranng atau lebih, bagian
mereka adalah 1/3 secara bersama-sama, yaitu tidak ada yang
diutamakan dari pihak laki-laki maupun permpuan.
E. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan penulis sebagai pedoman adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian
yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisis.
Menurut Jonny Ibrahim, dalam bukunya teori dan metode penelitian
hukum normative, mengatakan bahwa”penelitian hukum normative adalah
proseduer penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum normative dibangun berdasarkan disiplin ilmiah
dan cara-cara kerja ilmu normative.36Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis penelitian berdasarkan kepustakaan, pemilihan jenis
ini karena data-data yang dibutuhkan berupa teori, konsep dan ide tentang
perkawinan beda agama dan hukum waris. Sumber data atau bahan-bahan

35
Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an Dan Hadits
(Bandung: Trigenda Karya,1995), Hal. 24-25
36
Jonni Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatife, (Malang:
Bayumedia,2006), Hal. 47
yang menjadi objek penelitian bagi penulis ini dibagi menjadi tiga bagian
yaitu sumber data primer, sekunder, tersier.37
a. Bahan Data Primer
Bahan data primer yaitu bahan-bahan yang mengikat dan menjadi
bahan utama dalam membahas suatu permasalahan. Bahan hukum
primer dalam penelitian ini terdiri dari al-Qur’an, al-Hadits, kitab-kitab
fiqh, KHI dan UUD.
b. Bahan Data Sekunder
Bahan data sekunder yaitu sumberdata yang diperoleh dari
berbagai macam media perantara atau secara tidak langsung yaitu dari
beberapa buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas
dalam penulisan ini.
c. Bahan Data Tersier
Bahan data tersier yaitu sumber data yang dapat memberi informasi
tentang sumber data primer dan sekunder seperti jurnal hukum dan
internet.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Pendekatan Yuridis
Pendekatan yuridis adalh pendekatan yang mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang beerlaku di Indonesia. Hal ini bertujuan
untuk menganalisis terhadap praktik kewarisan berbeda agamA yang
disandarkan dengan norma hukum yang ada dan diambil dari
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.38
b. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatife adalah pendekatan yang mengacu pada nilai-
nilai, baik bersumber dari Al-Qur’an dan hadis maupun norma-norma
yang berlaku dimasyarakat untuk ditelusuri, kemudian dapat diketahui
37
Ronny Hanitijo Soemititro, Metodelogi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesi, 1990), Hal. 11
38
Adhi Prasetyo, Metode Pendekatan, yang dikutip dari laman
http://duniainformatikaindonesia.blogspot.co.id/2013/03/metode-pendekatan.html yang diakses
pada hari Selasa, 8/5/2018 Pukul 19.28 WIB
landasan hukum yang dapat dijadikan rujukan sehingga dapat menilai
tentang kedudukan waris anak dlam perkawinan beda agama pada
masyarakat menurut hukum islam.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Di dalam penelitian, lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis alat
pengumpul data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau
observasi, dan wawancara atau interview. Mengingat penelitian ini
merupakan penelitian bahan kepustakaan, maka dalam penelitian ini
menggunakan metode dokumentasi sebagai alat pengumpulan data.
Dokumentasi adalah suatu alat untuk mencari data mengenai hal-hal atau
variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan
sebagainya. Dalam penelitian ini, penulis mencari data mengenai
perkawinan beda agama dan kewarisan beda agama dalam literature-
literatur ilmiah, dokumen resmi dan hal- hal lain yang berkaitan dengan
pembahasan.
4. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan dalam mempelajari materi skripsi ini,
sistematika pembahasan memegang peranan penting. Adapun sistematika
pembahasan skripsi dapat ditulis paparan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Di dalam bab ini menerangkan tentang latar
belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu,
metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab pendahuluan ini
sebagai jembatan awal untuk mengantarkan penelitian pada bab
selanjutnya.
Bab II Kajian Teori. Dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian
pernikahan, pernikahan beda agama, pengertian waris, rukun-rukun waris
kewarisan beda agama, kedudukan anak dalam waris. Kajian teori
diletakkan pada bab II agar dalam pelaksanaan penelitian bisa
mendapatkan hasil.
Bab III Pembahasan. Dalam bab ini menjelaskan tentang Eksistensi
anak dari perkawinan beda agama dan hukum waris anak dari perkawinan
beda agama. Pembahasan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah.
Bab IV Merupakan penutup, yang meliputi tentang kesimpulan dan
saran. Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan sebagai jawaban dari
permasalahan yang dikemukakan dan diakhiri dengan saran-saran bagi
pihak yang terkait.
F. Daftar pustaka
Abdul Muta’al Al Jabri, Apa Bahayanya Menikah Dengan Wanita Nonmuslim?
Tinjauan Fiqh Dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
Abdullah Ahmad An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah : Wacana Kebebasan Sipil,
HAM Dan Hubungan Internasional Dalam Islam, Jokjakarta ;Lkis,
1990
Abu Al-Fadhl Jalal Al-Din Abdurrahman Al-Suyuti, Al-Asybah Wa Al-Nazhar Fi
Qowaid Wa Furu’ Fiqih Al-Syafi’iyyah, Bairut: Dar Ar-Fikr,
1416H/1996
Abu Luwis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, Cet. Ke 29 Bairut: Dar
Al-Masyyriq, 1986
Adhi Prasetyo, Metode Pendekatan, Yang Dikutip Dari Laman
Http://Duniainformatikaindonesia.Blogspot.Co.Id/2013/03/Metode-
Pendekatan.Html Yang Diakses Pada Hari Selasa, 8/5/2018 Pukul 19.28
WIB
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris, Yogyakarta: UII Press, 2001
Ahmad Bin Ali Bin, Fathul Bari Syarah Shoheh Bukhori, Bairut: Dar Al-
Ma’rifah, 1379
Ali Mustafa Yaqub, MA, Nikah Beda Agama Dalam Al-Quran Dan Hadis,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani, 1995
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Tanpa Kota: Balai Pustaka, 1989
H.M. Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam
Ibnu Mas'ud, Fiqih Madzhab Syafi'i Buku 2, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007
Ilyas, “Kedudukan Ahli Waris Nonmuslim Terhadap Harta Warisan Perwaris
Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 65, Th. XVII, April, 2015
Jonni Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatife, Malang:
Bayumedia, 2006
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hhukum Waris, Jakarta: Senayan
Abidi Publishing, 2004
Mughni Muhammad Syahir Ibnu ‘Abidin, Hasyiyyah Ibnu ‘Abidin, Dar Al
‘Lamiyah
Mughniyah, Fiqih Empat Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996
Muhammad Bin Said Bin Salim Al-Quhtoni, Al Wala’ Wal Bara’ Fil Islam, Saudi
Arabiyyah; Dar Toyyibah
Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Alma’arif, 1994
Ronny Hanitijo Soemititro, Metodelogi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesi, 1990
Sa’di Abu Habib, Al-Qamus Al-Fiqhi Lugatan Wa Isthilaha, Damaskus-Suria:
Dar Al-Fikr, 1408 H./1988 M0
Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan, Lirboy: Antri
Salaf, 1437
Samsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2011
Shadiq Dan Shalahuddin Chaery, Kamus Istilah Agama, Jakarta: CV Sinttarama,
1983
Syeh Alwi Bin Abi Qodir As-Saqof, Mausu’ah La-Farqul Muntasabbah Lil
Islam, Darar Sunniyah, 1443
Syeh Sa’id Bin Said, Takrirat ‘Iddatul Fara’id, Lirboyo Kediri: Dar Al-
Mubtadi’in
Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an Dan
Hadits, Bandung: Trigenda Karya, 1995
Wahbah Rukhli, Al-Fiqhil Islam Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar Alfiqr, 1985
Zainuddin Al-Malibary, Kitab Fathul Mui’n ,Surabaya: As Salam

Anda mungkin juga menyukai