Anda di halaman 1dari 13

0

PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA


NON MUSLIM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Masail fiqhiyah Al-Haditsah ”

Dosen Pengampu:
Ibnu Muchlis,M.Hum.
Disusun oleh kelompok: 2
Muh. Ngainunajib 210315326

JURUSAN TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PAI.I / SEMESTER VI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
MARET 2018
1

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Membicarakan soal perkawinan selalu menarik, karena dalam lembaga
yang unik ini penjumlahan dalam matematik tidaklah berlaku : satu tambah
satu sama dengan dua. Dalam lembaga istimewa ini mungkin saja satu tambah
satu sama dengan tiga,lima,tujuh,sepuluh. Yang dimaksud dan yang akan
dilakukan adalah meninjau soal perkawinan dari sudut hukum islam yaitu
hukum yang didasarkan ajaran dan merupakan bagian agama islam.
Dalam hukum islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.
Menurut ajaran islam melaksanakan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.
Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama. “Barang
siapa yang menikah berarti ia telah melaksanakan separuh (ajaran) agamanya,
yang separuh lagi, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah. Demikian sunnah
qauliyah (sunah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.
Bahwa agama islam menganjurkan bahkan mewajibkan seseorang
(kalau sudah memenuhi illat atau alasanya) untuk kawin dapat dibaca dalam
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah yang kini terekam dengan baik dalam kitab-
kitab haditys. Tujuanya jelas agar manusia dapat melanjutkan keturunan,
membina sakinah,mawwadah,warrahmah dalam kehidupan berkeluarga.
Dalam kepustakaan hukum Indonesia, istilah perkawinan campuran
mempunyai arti yang luas. Ke dalamnya termasuk juga perkawinan antara
orang-orang yang berlainan kewarganegaraan, tempat,golongan,dan agama.
Karena perbedaan perbedaan tersebut ,berlainan pula hukum yang mengatur
perkawinan mereka.
B. Rumusan Masalah
Adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan membantu kita dalam
membahas masalah ini, yaitu meliputi:
1. Bagaimana Konsep dan Pengertian Nikah Beda Agama?
2. Apa saja dampak negative pernikahan beda agama?
3. Bagaimana hukum pernikahan beda agama ?
1
22

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Pengertian Nikah Beda Agama


Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang
mengartikannya “perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan
menurut Abu Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh
kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai
dengan ketapatan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang
bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan
untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang
akan terhindar dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i
pernikahan adalah “Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan”.
Sedang menurut mazhab Hambali adalah “Aqad yang di dalamnya terdapat
lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.1
Menikah dengan pasangan yang se-agama tentu tidak akan susah-
susah mengurus segala sesuatu mulai dari restu keluaga, juga dalam
berhubungan dengan pemuka agama yang menikahkan hingga pegawai
pencatat nikah. Akan tetapi ceritanya akan lain kalau Anda sudah
berketetapan hati untuk menikah dengan seseorang yang merupakan pasangan
hidup anda. Bukan sekedar karena sudah bilang mencintai, tapi juga niat tulus
untuk berbuat baik dan membangun keluarga bersama dalam sebuah ikatan.
Tetapi niat baik itu akan terbentur tembok agama dan juga birokrasi hukum.
Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang
dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain.
Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai didalam

1
M. Ali Hasan ,Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), 1-2

2
3

kehidupan bermasyarakat.Persoalan nikah beda agama dalam konteks Negara


Indonesia adalah persoalan hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang
pernikahan antara penganut agama bersangkutan dengan penganut agama lain
adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.
B. Dampak Negative Pernikahan Beda Agama
Tujuan dari Pernikahan adalah untuk memperoleh ketentraman dan
ketenangan jiwa serta mendapat keturunan yang baik. Berkenaan dengan hal
ini, dapat dikemukakan pertanyaan, apakah mungkin ketenangan jiwa
diperoleh dalam suatu rumah tangga yang berlainan akidah dan apakah
mungkin mendidik anak-anak yang saleh dalam satu keluarga yang beragam
keyakinan?
Dalam persoalan ini kita membuat pengandaian, apabila suami
memiliki kepribadian yang kuat dan dapat pula berpengaruh terhadap istrinya,
maka ada kemungkinan keluarga ini masih mampu memelihara warna islam.
Tetapi tidak sedikit yang terjadi sebaliknya, yaitu istri lebih berpengaruh
daripada suami. Lebih parah lagi apabila si istri tetap kokoh dalam
keyakinananya, maka keyakinanya itu akan ditanamkan kepada anak-
anaknya. Disamping itu satu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa istri
lebih banyak dirumah dan bergaul dengan anak, sedangkan suami lebih
banyak diluar rumah. Pada suatu saat akan terlihat, pengaruh istrilah yang
dominan, ataupun mungkin tidak begitu banyak berpengaruh, tetapi jelas
keyakinan anak-anak sudah bercampur aduk, dan sukar membedakanya.
Apalagi anak-anak yang masih kecil dia lebih terikat pada kebiasaan-
kebiasaan yang berlaku dalam rumah tangga itu. 2
Pasangan adalah subyek dari pernikahan beda agama. Namun
demikian, anak akan terkena dampaknya. Thomas (dalam Blood, 1969)
melaporkan bahwa kebanyakan anak dari pernikahan beda agama hanya
sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari
kedua orang tuanya. Djajasinga (2001) menemukan bahwa anak-anak ini

2
M. Ali Hasan ,Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. 14
4

menunjukkan pencapaian dimensi kepercayaan, intelektual, dan


konsekuensial yang baik, namun pencapaian dimensi ritual dan eksperiensial
kurang baik. Viemilawati (2002) menemukan bahwa mereka memiliki
keyakinan terhadap Tuhan yang baik, memandang penting berbuat baik
terhadap sesama namun ritual tidak wajib dilakukan.
Dan, akhirnya, karena kerusakanya lebih besar dari kebaikannya bagi
kehidupan keluarga, terutama kehidupan anak-anak yang lahir dari orang-
orang yang berlainan agama itu, maka untuk kepentingan umat islam
Indonesia (MUI) tanggal 1 juni 1980 mengeluarkan fatwa, “mengharamkan
perkawinan laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim (termasuk wanita
ahlukitab)”. Dalam kenyataan, banyak perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama berakhir perceraian. Atau, kalau pernikahan berbeda agama
itu dapat berlangsung terus, karena konflik atau pertentangan yang melekat
pada dirinya, kehidupan dalam keluarga yang demikian, tidak akan harmonis,
bulat dan m,enyatu lahir batin yang mengakibatkan sebagian anak-anak yang
lahir dari pernikahan tersebut akan mengikuti agama ibunya, yang lain
mengikuti agama bapaknya, yang lain lagi tidak beragama atau menjadi
Atheis, mengikuti ajaran atau paham yang bertentangan dengan Ketuhanan
Yang Maha Esa yang menjadi kaidah fundamental dan dasar Negara
Republik Indonesia (pasal 29 ayat 1 UUD 1945), bertentangan dengan dasar
perkawinan Indonesia (pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan).3

C. Hukum Pernikahan Beda Agama


1. Mengenai masalah pernikahan pria muslim dengan wanita bukan ahli
kitab, islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
a. Perkawinan Anatar Seorang Pria Muslim dengan Wanita Musyrik.
Islam melarang perkawinan antara seorang pria dengan wanita
musyrik, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221 :

3
Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja grafindo
persada), 66
5

‫امنا‬ ِ ‫ر‬ٞ ‫ة ا ُّم ۡاؤ ِمنَةٌ اخ َۡي‬ٞ ‫او ََل َ َام‬ ‫ن َا‬‫ت ا َحت َّ َٰى ايُ ۡؤ ِم َّا‬ ‫ل اتَن ِك ُحواْ ا ۡٱل ُم ۡش ِر َٰ َك ِا‬ ‫َو َ ا‬
‫ا‬ٞ‫او َل اتُن ِك ُحواْ اٱ ۡل ُام ۡش ِر ِاكينَا ا َحات َّ َٰى ايُ ۡؤ ِمنُواْ ا َولَا َع ۡبد‬ َ ‫اولَ ۡو اأ َ ۡع َج َب ۡت ُك ۡۗۡم‬
َ ‫ُّم ۡش ِر َك ٖة‬
‫ارا َاو َّا‬
‫ٱّللُا‬ ‫عونَاا ِإلَىاٱلنَّ ِا‬ ُ ‫اولَ ۡواأ َ ۡع َج َب ُك ۡۗۡاماأ ُ ْاو َٰالَ ِئ َكا َي ۡاد‬َ ‫امنا ُّم ۡش ِر ٖك‬ ِ ‫ر‬ٞ ‫ُّم ۡؤ ِم ٌناخ َۡي‬
‫اس الَا َعلَّ ُه ۡما‬ ِ َّ‫عواْ ا ِإلَى ا ۡٱل َجنَّ ِاة ا َاو ۡٱل َم ۡغ ِف َر ِاة ا ِبإ ِ ۡذ ِن ِهۦا ا َاويَُاب ِي ُن ا َءا َٰ َي ِت ِاهۦ ا ِللن‬ ُ ‫َي ۡد‬
‫ا ا‬٢٢١‫يَتَذَ َّك ُرونَ ا‬
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. Al Baqoroh:
221)

Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang


siapa musyrikah yang haram dikawini itu? Menurut ibnu jarir at-thabari
seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi itu ialah
musyrikah dari bangsa arab saja, karena bangsa arab pada waktu al-
Qur’an turun memang tidak mengenal kitab suci dan mereka
menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh
kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non arab, seperti cina, india
dan jepang yang diduga dahulu mempunyai kitab suci serupa, seperti
agama budha,hindu,konghucu, yang percaya kepada tuhan yang maha
esa, percaya adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah
baik dari bangsa non arab, selain ahlulkitab yakni yahudi dan Kristen
tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan
islam, dan bukan pula yahudi/Kristen tidak boleh dikawini oleh pria
muslim,apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti budha, hindu,
6

konghucu, majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama lain selain islam,


Kristen dan yahudi itu termasuk kategori “ musyrikah”.4

b. Perkawinan dengan Wanita Majusi


Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi
(penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian
pendapat Jumhur Ulama, dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah
Yahudi dan Nashara.
Sedangkan golongan Zhahiriyah memperbolehkan pria muslim
kawin dengan wanita majusi karena orang-orang majusi dimasukkan kc
dalam kelompok ahli kitab.
Abu Tsaur juga memperbolehkan berdasarkan sabda Rosulullah
Saw.

ِ ‫سنَّةأ َ ْه ِلاال ِكتَا‬


‫با‬ ُ ‫سنُّوا ِب ِه ْما‬
َ
“Tetapkanlah bagi mereka jalan ahli kitab".
Disamping itu ada ulama lain yang memperbolehkannya, karena
menurut satu riwayat, bahwa Hudzaifah juga pemah menikah dengan
wanita majusi. Demikian juga kepada orang-orang majusi ditetapkan
jizyah (pajak), sehjngga keberadaan mereka sama dengan orang Yahudi
dan Nashara.
Dalam persoalan ini, yang dipandang-paling tepat adalah
pendapat Jumhur Ulama, yaitu pria muslim tidak dibenarkan menikah
dengan wanita majusi, sebab mereka tidak termasuk ahli kitab,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

‫او ِإن ا ُكانَّا ا َعنا‬


َ ‫امن اقَا ۡب ِلنَا‬
ِ ‫طائِافَت َۡاي ِن‬ ‫نز َل ا ۡٱل ِك َٰت َ ُا‬
‫ب ا َعلَ َٰى ا َا‬ ِ ُ ‫أَن اتَقُولُواْ ا ِإنَّ َما اأ‬
‫ا‬١٥٦‫ستِ ِه ۡمالَ َٰغَ ِف ِلينَ ا‬َ ‫د َِرا‬
“(Kami turunkan al-Quran itu) agar kamu (tidak) menyatakan
bahwa kitab itu hanya diturunkan pada dua golongan (Yahudi dan

4
Masjfuk zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji
Mas Agung,1992), 5
7

Nasrani) sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan


apa yang mereka baca”. (al an’am: 156)

c. Perkawinan dengan Wanita Shabi'ah


Shabi'ah adalah satu golongan dalam agama Nasrani: Shabi'ah
dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh as._ Ada pula yang
berpendapat, dinamakan Shabi'ah, karena berpindah dari satu agama
kepada agama lain.
Ibnul Hammam mengatakan, bahwa orang-orang Shabi'ah
adalah golongan yang memadukan antara agama Yahudi dan Nasrani.
Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam berbagai buku hadits
disebutkan, bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab.
Ibnu Qudamah berkata: "Para ulama berbeda pendapat tentang
orang-orang Shabi'ah. Menurutriwayat Ahmad, bahwa mereka adalah
orang-orang Nasrani. Tetapi di tempat lain ia berkata: "pernah kudengar
bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari
Sabtu. Jadi mereka, termasuk orang-orang Yahudi? '
Menurut riwayat Umar. bahwa mereka adalah orang-orang yang
sangat mengagungkan hari Sabtu. Sedangkan Mujahid

d. Perkawinan dengan Wanita Penyembah Berhala


Para ulama telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin
dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda
lainnya, karena mereka termasuk orang-orang kafir sebagaimana firman
Allah:

‫ ا‬...‫ص ِما ۡٱل َك َوافِ ِارا‬


َ ‫ َو َلات ُ ۡم ِس ُكواْا ِب ِع‬...
...Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir... (al-Muntahanah: 10).

ayat diatas cukup jelas dan tegas tentang pengharaman menikahi


wanita-wanita pcnyembah berhala.
8

2. Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim dengan Wanita Ahlulkitab.


Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh
kawin dengan wanita ahlulkitab (yahudi/Kristen), berdasarkan firman
Allah dalam surat al maidah ayat 5 :

‫ل الَّ ُك ۡاما‬ٞ ‫ب ا ِح‬ ‫طعَا ُم اٱالَّذِينَا ااأ ُوتُواْ اٱۡال ِك َٰت َ َا‬ َ ‫لطيِ َٰبَتُا ا َو‬ َّ ‫ٱ ۡليَ ۡو َام اأ ُ ِح َّل الَ ُك ُم اٱ‬
‫ص َٰنَتُا ا ِمنَ اٱلَّذِينَاا‬ َ ‫ح‬ ‫ت ا َاوٱ ۡل ُم ۡا‬ ‫ص َٰنَتُا ا ِمنَ اٱ ۡل ُام ۡؤ ِام َٰنَ ِا‬
َ ‫اوٱ ۡل ُم ۡح‬ ‫ل الَّ ُه ۡم َا‬ٞ ‫اح‬
ِ ‫ط َعا ُم ُك ۡم‬ َ ‫َو‬
‫صنِينَ اغ َۡي َرا‬ ِ ‫ح‬ ‫ن ا ُم ۡا‬ ‫ور ُه َّا‬
‫ج َا‬ ‫ب ا ِمن اقَ ۡب ِل ُك ۡم ا ِإذَا ا َءات َ ۡيت ُ ُموهُا َّن ااأ ُ ُا‬ ‫أُوتُواْ اٱ ۡل ِك َٰت َ َا‬
‫ط ا َع َملُ اهۥُ ا َاوهُ َوا‬َ ‫ن افَقَا ۡد ا َح ِب‬ ‫او َمنا َي ۡكفُرۡا اِابٱ ۡ ِۡلي َٰ َم ِا‬ َ ‫ان‬ ٖۡۗ َ‫او َل ا ُمت َّ ِخذِي اأ َ ۡخد‬ َ َ‫س ِف ِحين‬ َ َٰ ‫ُم‬
‫ا ا‬٥‫ِفياٱ َۡل ِخ َر ِاةا ِمنَ اٱ ۡل َٰ َخس ِِرينَاا‬
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang
merugi”

Selain berdasarkan Al-Qur’an surat Al maidah ayat 5, juga


berdasarkan sunah nabi pernah menikah dengan wanita ahlul kitab, yakni
Mariah al-qibtiyah (Kristen). Demikian pula seorang sahabat nabi yang
termasuk senior bernama hudzaifah bin Al yaman pernah kawin dengan
seorang wanita yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
Namun demikian, ada sebagian ulama’ yang melarang perkawinan
antara seorang pria muslim dengan wanita Kristen atau yahudi, karena
pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadah Kristen/yahudi mengandung
unsur syirik yang cukup jelas, misalnya ajaran trinitas dan mengkultuskan
9

nabi Isa dan ibunya Maryam bagi umat Kristen, dan kepercayaan Uzair
putra Allah dan mengkultuskan Haikal nabi Suliman bagi umat Yahudi.5

3. Perkawinan Antara Seorang Muslimah dengan Pria Non Muslim.


Ulama’ telah sepakat islam melarang perkawinan antara seorang
wanita muslimah dengan pria non muslim, baik calon suaminya itu
termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan
yahudi (relevaed religion), ataupun pemeluk agama yang menpunyai kitab
serupa kitab suci, seperti budhisme, hinduisme, maupun pemeluk agama
yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci.
Termasuk pula disini penganut Animisme, Atheisme, Politheisme dan
sebagainya. Adapun dalil yang mendasari hukum untuk kawin antara
wanita muslimah dengan pria non muslim adalah Firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 221 dan ijma’ para ulama’ tentang larangan
perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non-muslim.
Adapun hikmah dilarangnya perkawinan antar orang islam
(pria/wanita) dengan orang non islam selain ahlulkitab, ialah bahwa antara
orang islam dengan orang kafir selain Kristen dan yahudi itu terdapat way
of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang islam percaya
sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada
para nabi, kitab suci, malaikat, dan percaya pula pada hari kiamat,
sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada
semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khufarat dan irasional.
Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama
/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti
idelogi mereka.
Mengenai hikmah diperbolehkanya perkawinan antara seorang pria
muslim dengan wanita yahudi/kristen, ialah pada hakikatnya keduanya
termasuk kedalam agama samawi yakni agama yang diturunkan dari langit

5
Husain M. Yusuf, Motivasi Berkeluarga, (Terjemah), (Jakarta: Pustaka Al Kautsar,
Cet. Ke-4, 1994), 24
10

namun, dalam perkembangan kemudian akidahnya menjadi sangat


berbeda. Islam sebagai agama samawi terakhir, ajaranya tentang
ketunggalan Allah, sebagai contoh, tetap tidak berubah-ubah, tauhidnya
tetap murni dan konsekuen dipahami, dipelihara dan dijalankan oleh
pemelukn-pemeluknya kaum muslimin dan muslimat seluruh dunia. 6

6
Abd. Mua’al M. Al-Jabri, Perkawinan Antar Agama Tinjauan Islam (Terjemah),
Risalah Gusti, surabaya Cet. Ke-2, 1993), 36
11

BABA III
KESIMPULAN
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang
mengartikannya “perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan
menurut Abu Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh
kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai
dengan ketapatan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang
bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.
Tujuan dari Pernikahan adalah untuk memperoleh ketentraman dan
ketenangan jiwa serta mendapat keturunan yang baik. Namun kebanyakan
keturunan dari pernikahan beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan
pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orang tuanya. maka untuk
kepentingan umat islam Indonesia (MUI) tanggal 1 juni 1980 mengeluarkan
fatwa, “mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita
nonmuslim (termasuk wanita ahlukitab)”. Dalam kenyataan, banyak
perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama berakhir perceraian.
Atau, kalau pernikahan berbeda agama itu dapat berlangsung terus, karena
konflik atau pertentangan yang melekat pada dirinya, kehidupan dalam
keluarga yang demikian, tidak akan harmonis. Berikut ini beberapa macam
pernikahan beda agama:
A. Mengenai masalah pernikahan pria muslim dengan wanita bukan ahli
kitab, islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
1. Perkawinan Anatar Seorang Pria Muslim dengan Wanita Musyrik
2. Perkawinan dengan Wanita Majusi
3. Perkawinan dengan Wanita Shabi'ah
4. Perkawinan dengan Wanita Penyembah Berhala
B. Perkawinan Antara Seorang Pria Muslim dengan Wanita Ahlulkitab.
C. Perkawinan Antara Seorang Muslimah dengan Pria Non Muslim.

11
12

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Mua’al M. Al-Jabri, Perkawinan Antar Agama Tinjauan Islam (Terjemah),


Risalah Gusti, surabaya Cet. Ke-2, 1993), 36

Husain M. Yusuf, Motivasi Berkeluarga, (Terjemah), (Jakarta: Pustaka Al


Kautsar, Cet. Ke-4, 1994), 24

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah: Pada Masalah-Masalah Hukum


Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1997.), 7-14

Masjfuk zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji
Mas Agung,1992), 5

Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja
grafindo persada), 66

Anda mungkin juga menyukai