Anda di halaman 1dari 13

FATWA LEMBAGA TARJIH MUHAMMADIYAH TENTANG “NIKAH

BEDA AGAMA”

Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Kajian Fatwa Hukum Keluarga Islam”
Dengan Dosen Pengampu : Dr. Hj. Titin Samsudin, M.HI

Disusun Oleh:

Fahriansyah Tohis (202012013)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN AMAI GORONTALO
2023
FATWA LEMBAGA TARJIH MUHAMMADIYAH TENTANG “NIKAH
BEDA AGAMA”

A. Latar Belakang

Pernikahan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) yang


dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk
keluarga yang pelaksanaanya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua
belah pihak. Oleh karena itu, pernikahan bukanlah ibadah dalam arti kewajiban,
melainkan hanya hubungan sosial kemanusian semata. Pernikahan akan bernilai
Ibadah, jika diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT.
Pernikahan yang baik adalah yang dilakukan pria dan wanita yang sama
akidah, akhlak dan tujuannya, disamping cinta dan ketulusan hati. Islam
memandang, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna
kecuali suami istri berpegang pada agama yang sama. Jika agama keduanya berbeda
akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadah,
pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisikeagamaan, dan lain-lain.
Undang-undang perkawinan tidak secara tegas mengatur pernikahan lintas
agama. Bahkan para aparat dalam satu badan peradilan agama saja ada yang tidak
konsisten, dimana para hakim agama berbeda pendapat tentang Pernikahan lintas
agama tersebut. Hal ini bisa karena pengaruh latar belakang pendidikan mereka dan
bisa juga karena kurang memahami sejarah problematika tentang perkawinan.
Pro dan kontra tentang perkawinan beda agama ini tidak pernah berakhir.
Karena satu pihak mengaitkan dengan hak kebebasan manusia, karenanya dianggap
sah-sah saja seorang kawin dengan pasangan yang berlainan agama.
Perkawinan beda agama tidak dikenal secara literature klasik, karena literal
tidak ditemukan pembatasan pengertian secara jelas, namun pembahasan yang
berkaitan dengan masalah tersebut dimasukkan pada bagian pembahasan mengenai
perempuan yang haram dinikahi atau pernikahan yang diharamkan. Perkawinan
beda agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori : pertama, perkawinan seorang
pria muslim dengan seorang wanita musyrik, kedua, perkawinan antara seorang pria
muslim dengan wanita ahli kitab, dan ketiga perkawinan antara seorang wanita
muslimah dengan pria non muslim (sama adanya musyrik atau ahli kitab).
Wahbah al-Zuhayli mengatakan penyebab larangan (pengharaman)
perkawinan beda agama diantaranya, karena tidak ada harmoni (al-insijam), tidak
aka ada ketentraman (al-ithmi’nan), dan tidak bisa saling kerjasama tolong-
menolong (al-ta’awun) diantara pasangan suami istri ini, mengingat perbedaan
akidah itu bisa menimbulkan kegalauan dan kerisauan yang bisa menjauhkan
pasangan suami istri tersebut, maka kehidupan rumah tangganya tidak mungkin bisa
tegak untuk mengabadikan pernikahan dan rumah tangganya dengan penuh kasih
sayang dan rasa cinta (al-mahabah). Ketiadaan iman juga mengakibatkan si
perempuan/ si laki-laki mudah mengkhianati pasangannya sehingga rumah
tangganya begitu rentan, mudah keropos, dan pada akhirnya hancur lebur.
Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru bagi
masyarakat Indonesia yang murtikultural. Perkawinan tersebut ialah terjadi
dikalangan masyarakat (diberbagai dimensi sosialnya) dan sudah berlangsung sejak
lama. Namun demikian, tidak juga berarti bahwa persoalan perkawinan beda agama
tidak dipermasalahkan, bahkan cenderung selalu menuai kontroversi dikalangan
masyarakat. Ada anggapan bahwa penyebabnya adalah keberadaan keberadaan
undang- undang No. 1 tahun 1974 yang tidak mengakomodir persoalan perkawinan
beda agama, karena perkawinan campur yang dimaksud dalam pasal 57 Undang-
Undang Perkawinan adalah perkawinan antara dua orang Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, bukan kerena
perbedaan agama. Sementara keberadaan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan yang berisi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan itu, dianggap menutup kesempatan untuk
terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia., sehingga dalam
perkembangannya, keberadaan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dalam
proses penggugatan dan diajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Masyarakat muslim Indonesia, kontroversi dan polemik seputar perkawinan
beda agama selalu menghangat karena beberapa hal: 1) sejak dikeluarkan Inpres
No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam. Dimana dalam buku I KHI Pasal
40 Huruf (c) menegaskan bahwa seorang wanita yang tidak beragama islam
dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria muslim. Padahal dalam literature
klasik (kitab- kitab tafsir dan fikih) cenderung membolehkan perkawinan seorang
pria muslim dengan perempuan ahli kitab, 2) adanya fatwa MUI pusat tahun 2005
yang kembali menegaskan tentang keharaman perkawinan beda agama, baik
perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan non muslim, maupun
perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab. Hal ini yang
menjadikan kontroversi dan polemik tersebut semakin menghangat.
Keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah disebutkan bahwa
perkawinan beda agama merupakan pernikahan antar agama, yaitu pernikahan
antara orang muslim/muslimah dengan non muslim/muslimah atau dengan orang-
orang musyrik dan ahli kitab.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan
bahwa: "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu." Jadi, kriteria sahnya perkawinan adalah hukum
masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai. Ulama muhammadiyah
menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tidak
sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat
administratif.

B. Pembahasan

Pertanyaan:

Sampai sekarang masih ada umat Muslim yang melakukan nikah beda
agama, yaitu perkawinan yang terjadi antara seorang wanita atau pria Muslim
dengan seorang pria atau wanita non muslim. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah Muchammad Ichsan menegaskan bahwa pernikahan beda agama
hukumnya haram Dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang,
Jawa Timur, menyimpulkan bahwa para ulama sepakat perempuan Muslimah haram
menikah dengan laki-laki musyrik. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim
haram menikah dengan perempuan musyrikah (Budha, Hindu, dll). fatwa
perkawinan beda agama majelis tarjih muhamadiyyah keputusan Muhktamar Tarjih
ke-22 tahun 1989 di malang Jawa Timur. Pertanyaan, faktor apa saja yang menjadi
terlahirnya fatwa perkawinan beda agama, dan perbandingan apa yang ada pada
undang-undang perkawinan di Indonesia?

Jawaban:

Fatwa yang yang ditetapkan dalam majelis tarjih bebentuk semacam


pertanyaan dari seseorang dan dijelaskan secara rinci dan berlandaskan hukum
Islam dan menurut undang-undang perkawinan, dijawab dan dijelaskan langsung
oleh Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, pertanyaan ini diajukan seorang hamba
Allah, dan fatwa ini telah disidangkan pada hari jum’at, 20 Sya’ban 1432H/ 22
Juli 2011 M.
Pertanyaan ini mengenai hal yang terjadi pada seorang laki-laki Muslim
yang telah berbuat zina dengan seorang wanita Katolik sehingga menyebabkan
wanita tersebut hamil sekian bulan dan tentunya laki-laki Muslim tersebut wajib
menikahi wanita tersebut dengan kondisi perbedaan agama diantara keduanya.
Kondisi yang terjadi setelah ini adalah wanita Katolik tersebut menginginkan
menikah di gereja dengan cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara
Islam, dengan perkawinan seperti itu maka catatan Negara dilakukan dengan
administrasi Katolik, sedangkan perkawinan secara Islam tidak di
administrasikan, hal tersebut membuat pihak laki-laki terpojokkan karena harus
menikah dengan cara yang demikian, dan akan menjalani hidup berumah tangga
tetap dalam keyakinan masing-masing.
Pertanyaan yang muncul tentang kasus diatas adalah bagaimana hukumnya
yang sesuai dengan syariat Islam tentang kasus diatas, bagaimana status anak
yang sudah dikandung dan statusnya setelah lahir nanti, bagaimana hukum dan
tindakan dari keluarga pihak laki-laki ini jika anaknya dinikahkan dengan cara
tersebut, dan bagaimana sikap saya sebagai saudara dari laki-laki ini jika
perkawinan seperti itu tetap dilaksanakan, apakah boleh tetap menghadiri pesta
perkawinan yang seperti itu?
Tim majelis tarjih telah memberikan jawaban dari pertanyaan yang
diajukan oleh hamba Allah tersebut sebagaimana berikut : perkawinan beda
agama sebelumnya telah diterangkan dalam rubik tanya jawab majelis tarjih dan
juga telah menjadi keputusan Mukhtamar Tarjih ke-22 pada tahun 1989 di Malang
Jawa Timur. Keputusannya para ulama telah sepakat bahwa seorang wanita
Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki Muslim dan laki-laki Muslim
juga haram menikahi wanita musyrikah (Budha, Hindu, Konghuchu, dan lainnya).
Namun dalam keputusan tersebut ada hal yang menjadi perselisihan antar
para ulama yaitu tentang bolehkan laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul
Kitab (Yahudi, Nasrani: Katolik/Protestan)? Jawabannya ada yang mengatakan
boleh-boleh saja dengan bersandarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-
Maidah ayat 5, adapula yang mengatakan tidak boleh, namun masalah tersebut
telah ditarjihkan atau diperkuat dengan pendapat yang mengatakan tidak boleh
dengan beberapa alasan diantaranya:
a. Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada
pada Zaman Nabi Muhammad SAW, semua Ahlul Kitab yang ada pada
Zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah
dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (dalam keyakinan
Yahudi) dan Isa itu anak Allah (dalam keyakinan Nasrani).

b. Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan


keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
c. Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan
realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-
lakinya.
d. Sebagai upaya syad-adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga
keimanan calon suami istri dan anak-anak yang akan dilahirkan. Sekalipun
seorang laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab
menurut sebagian ulama sebagaimana yang sudah dijelaskan, namun dalam kasus
yang disebutkan diatas, para ulama majelis tarjih tetap tidak menganjurkan
perkawinan tersebut karena syarat wanita Ahlul Kitab yang disebut dalam surat al-
Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka yang membolehkan perkawinan
tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-inshan, yang artinya wanita Ahlul Kitab
tersebut haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan penzina.
Perhatiakan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5: ‫اليوم ا ِحل لكم الطيبت‬
ُ ِّ َّ ُ ُ َ َّ ُ َ ْ ََْ
ْ ْ َ ُ ْ ْ ُ َّ ُ
‫ب ِح ٌّل لك ْم َوط َع ُامك ْم ِح ٌّل له ْم َوال ُمح َصنت ِمن ال ُمؤ ِمن ِت‬
َ ُ َّ َ ‫َو َط َع ُام َّالذ ْي َن ُا ْو ُتوا ْالكت‬
ِ ِ
َ ُ ُ ُ ُ َ َ ُ َ
َ‫ب م ْن ق ْبلك ْم اذا ات ْيت ُم ْوه َّن ا ُج ْو َره َّن ُم ْحصن ْ ن‬ ْ ُ ُ
ْ َ ْ َّ َ ُ َ ْ ُْ َ
‫ي غ ْ ْ َي‬ ِْ ِ ِ ِ
َ
ِ ‫والمحصنت ِمن ال ِذين اوتوا ال ِكت‬
َ ْ ‫ُ ن‬ ُ َ َ َ ْ ََ َ ‫ي َو ََل ُم َّتخذ ْي َا ْخ َدان َو َم ْن َّي ْك ُف ْر ب ْاَل ْي‬
‫ان فقد ح ِبط ع َمله َوه َو ِف اَل ِخ َر ِة ِمن‬ ‫م‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫ُم َسافح ْ ن‬
ْ ِ ِ
َ ْ ْ
‫ِسين‬ ِ ِ ‫الخ‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan [sembelihan]
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
pula bagi mereka. [Dan dihalalkan mengawini] wanita-wanita yang menjaga
kehormatan [9] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak [pula] menjadikannya gundik-gundik.” (Q.S.
Al-Ma'idah: 5).

Negara Indonesia tidak mengakui perkawinan beda agama, karena menurut


Undang- undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1
dinyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ini artinya Negara ini tidak
mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun pengantin laki-
laki beragama Islam). Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara perkawinan
tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di KUA. Dan
yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di Catatan Sipil,
sebagaimana penduduk non-Muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka
disana.
Perlu ditekankan disini pihak laki-laki Muslim tersebut seharusnya tidak
merasa terpojokkan sehingga harus menikahi wanita Katolik itu sebagaimana
yang saudara katakana. Perzinahan itu bisa saja terjadi karena atas dasar suka
sama suka sehingga menurut hukum positif tidak bisa dipidanakan. Dengan
demikian, upaya agar menikahkan mereka berdua dengan cara Islami, yaitu masuk
Islam dahulu lalu menikah di KUA, harus terus dilakukan semaksimal mungkin.
Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kami jelaskan
sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi menika maka ana tersebut dinasabkan
kepada ibunya. Ini karena anak tersebut hasil perzinahan dan lahir diluar
perkawinan yang sah. Dan perzinahan itu tidak menimbulkan dampak penetapan
nasab anak tersebut (kepada laki-laki yang berzina dengan ibunya), menurut
kesepakatan jumhur mayoritas ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan
yang dikaruniakan oleh Allah. Dengan ditetapkan nasab itu seorang ayah wajib
menafkahi, mendidik, menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena
itu nasab itu adala kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu
yang diharamkan . dalil yang mendasari hal tersebut adala hadis berikut yang
artinya:

“Rasulullah SAW bersabda: “anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat
tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinahan
(hukumnya) batu (rajam sampai mati)”.”(HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan yang
sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur
(maksudnya, yang menikahi ibunya). Manakala zina itu tidak layak untuk
dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan penzina itu harus mendapatkan
hukuman rajam.
Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga harus
selaras dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 100 yang berbunyi: “Anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut masuk islam, maka jika
anak tersebut lahir setelah 6 bulan dari pernikahan, maka anak tersebut
dinasabkan kepada si laki-laki muslim diatas. Alasannya ialah, tempo kehamilan
itu minimalnya 6 bulan menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah itu si laki-
laki muslim tersebut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan
dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan
dan lainnya sama perish dengan ana hasil perkawinan yang sah. Namun jika anak
hasil zina tersebut lair sebelum enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut
dinasabkan kepada ibunya. Dan laki-laki muslim tersebut tetap bertanggung jawab
atas nafkah, pendidikan, kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari
segi perwalian dan pewarisan, laki-laki muslim itu tidak berhak menjadi wali anak
tersebut dan tidak waris-mewarisi dengannya. Menurut ulama fiqih.

Namun perlu diketengahkan disini, bahwa menurut Kompilasi HukumIslam, anak


hasil zina yang lahir sebelum enam bulan tersebut dapat dinasabkan kepada laki-
laki muslim tersebut, karena anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam
pasal 99 adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar Rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut. Besar kemungkinan Kompilasi Hukum Islam menetapkan demikian
demi kemaslahatan anak tersebut.
1. Mengenai perbuatan orang tua laki-laki muslim diatas sebaiknya tetap
berusaha untuk menikahkan keduanya dengan cara Islam, yaitu di KUA.
2. Mengenai sikap saudara terutama dalam menghadiri pesta perkawinan jika
proses perkawinan seperti yang dikehendaki keluarga wanita Katolik terjadi,
saudara boleh menghadirinya jika diundang.
Dalam konsep Indonesia, esensi perkawinan pada Pasal 1 menghendaki
peran agama dalam pembentukan keluarga. Sehingga perkawinan beda agama
dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga karena impian membentuk
keluarga bahagia yang dibesarkan berdasarkan agama tidak akan terwujud, atau
bahkan menyingkirkan agama dalam kehidupan keluarga sebab ada perbedaan
agama itu sendiri di dalam keluarganya.
Dr. Aidil memandang bahwa pernikahan itu selayaknya bisa menjadikan
keluarga yang dibangun bisa memiliki kesamaan untuk membangun keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab menurut
dia, pernikahan di Indonesia jika didasarkan pada Undang-Undang merupakan
pernikahan yang bersifat keagamaan.
Pernikahan itu bukan hanya ikatan perdata semata-mata, karena di
Indonesia, pernikahannya itu bersifat keagamaan. Jadi jika ada yang melakukan
pernikahan beda agama, itu sebenarnya bertentangan dengan Undang-undang
dasar Tahun 1945.

Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengatakan


pernikahan beda agama bisa memberi sekat dalam hubungan keluarga, terutama
hubungan antara suami dan istri. Sementara keluarga merupakan sekutu abadi
dalam kehidupan, sebab segala hal dalam kehidupan seseorang itu pasti
keluarganya (suami/istri) yang lebih tahu dan menjadi partnernya. Namun jika ada
sekat diantara keduanya, kehidupan keluarganya juga bisa menjadi terbagi-bagi.
Contohnya seperti ibadah, kalau salah satunya akan menjalankan ibadah, tidak
bisa dijalankan secara bersama-sama, tidak bisa pergi berdua ke tempat ibadah
karena ada sekat yang memisahkan aktivitas keduanya, dan ini secara tidak
langsung menjadi batasan dalam kehidupan keluarganya. Selain itu, secara rohani
juga pastinya akan ada sekat, jadi sekat ini harus dihilangkan, dengan tidak
melakukan nikah beda agama itu. Kalau pernikahan itu dilandaskan atas dasar
cinta, cinta juga sebenarnya bisa tumbuh, tapi juga bisa runtuh, tergantung
bagaimana kita memupuk dan menjaganya.
Antropolog dan dosen Fakultas Agama Islam UMY, Nawari Ismail
menuturkan sekalipun banyak terjadi pernikahan beda agama, tapi hal itu tidak
memengaruhi keharmonisan rumah tangga yang dibangun. Hal ini karena adanya
beberapa faktor yang menyebabkan keluarga beda agama itu bisa tetap harmonis,
seperti dominasi subbudaya abangan, gejala sekularisme, formalisme agama, pola
hubungan tenggang rasa, dan faktor anak.
Kelima faktor itu tidak berdiri sendiri, tapi saling terkait satu sama lain. Di
samping itu, yang mendorong terjadinya pernikahan beda agama ini umumnya
karena pandangan keagamaan penganutnya. Mereka yang menikah beda agama,
memandang semua agama itu baik dan sekadar sebagai alternatif pilihan, bukan
menjadi pertimbangan utama.
Namun, meski hukum positif di Indonesia tidak memberikan ruang untuk
melakukan pernikahan beda agama, menurut Siti Baroroh sebagai Ketua
Pengadilan Agama Bantul, dalam praktiknya terdapat beberapa pasangan yang
tetap melangsungkan pernikahan beda agama tersebut, dengan dalih cinta ataupun
hak asasi manusia, dan umumnya mereka akan menempuh salah satu dari empat
cara yang populer dilakukan.
Seperti meminta penetapan pengadilan, pernikahan dilakukan menurut
masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
terakhir menikah di luar negeri.
Hukum perkawinan beda agama dalam majelis tarjih menguatkan sebuah
fatwa dengan mengharamkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita non
muslim, dan wanita muslim dengan pria non muslim. Walaupun terjadi
perselisihan pendapat dalam surat al-maidah ayat 5 yang membolehkan laki-laki
Muslim menikahi wanita ahli kitab, namun tersanggahkan dengan pernyataanwanita
ahli kitab pada zaman nabi Muhammad dengan ahli kita sekarang ini sangat
berbeda karena wanita ahli kitab pada saat ini adalah yang musyrik, dan ahli kitab
seharusnya wanita baik-baik yang tidak mungkin melakukan perzinahan. Fatwa
majelis tarjih juga mengeluarkan fatwa berlandaskan undang- undang perkawinan
nomor 2 tahun 1974 yang mana menjelaskan perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini artinya
pemerintah tidak mewadahi terjadinya perkawinan beda agama dan tidak bisa
dicatatkan di kantor urusan agama melainkan hanya dicatatkan di kantor catatan
sipil seperti umat non muslim pada umumnya.
Sedangkan dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia, pemerintah
tidak memberi tempat untuk terlaksananya perkawinan beda agama karena belum
ada undang-undang yang mengatur tentang hal itu, ini menyebabkan terjadinya
kekosongan hukum. Sebelum dikeluarkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, perkawinan beda agama di Indonesia diatur dalam Ordonansi
Perkawinan Campuran Stb.1898 No.158. Pada waktu itu, perkawinan beda agama
termasuk dalam perihal perkawinan campuran. Pasal 1 Ordonansi Perkawinan
Campuran menyebutkan bahwa: yang dinamakan perkawinan campuran ialah
perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang
berlainan. Pasal 7 yang berbunyi : Perbedaan agama, suku, bangsa atau keturunan,
sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan. Maka dari itu Ordonansi
perkawinan membuka seluas-luasnya dibolehkan pelaksanaan perkawinan beda
agama.
Perbedaannya adalah fatwa majelis tarjih tidak membolehkan sama sekali
dan mengharamkan perkawinan beda agama. Sedangkan undang-undang
perkawinan tidak mewadahi terjadinya perkawinan beda agama karena tidak ada
hukum yang mengatur tentang persoalan tersebut, jika tetap terjadi pencatatan
perkawinannya hanya di catatan sipil.
C. Penutup

Proses lahirnya fatwa perkawinan beda agama majelis tarjih muhammadiyah


dikarenakan ada yang menyatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat 5, namun ada pula yang menyatakan tidak boleh, maka
dengan ini ditarjihkan sebuah fatwa perkawinan beda agama dengan beberapa alasan
antara lain:
Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan ahlul kitab yang ada pada
zaman Nabi SAW. Semua ahlul kitab zaman sekarang sudah jelas- jelas musyrik
atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut
yahudi), dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani)
Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan
keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
Insya Allah umat Islam tidak kekurangan laki-laki muslimah atau perempuan
muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita muslimah lebih banyak.
Sebagai upaya syad-adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga
keimanan calon suami/istri dana anak-anak yang akan dilahirkan.
Fatwa sudah sesuai dengan Undang-undang perkawinan Indonesia di Negara
Indonesia tidak mengakui perkawinan beda agama, namun menurut Undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 dinyatakan:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Ini artinya Negara ini tidak mewadahi dan
tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun pengantin laki-laki beragama
Islam). Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan
secara Islam, yaitu di KUA. Dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan
tersebut di Catatan Sipil, sebagaimana penduduk non-Muslim lainnya mencatatkan
perkawinan mereka disana. Pertimbangan hukum yang digunakan dalam penyusunan fatwa
dalam majelis tarjih diantaranya pertimbangan yang tidak lepas dari hukum-hukum Islam
meliputi Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijtihad para ulama, undang-undang perkawinan nomor 1
tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, sehingga bisa menguatkan / mentarjihkan fatwa
tersebut.
Majelis Tarjih menentukan kemaslahatan untuk dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menetapkan hukum dengan teknik maslahah mursalah dalam
fatwa-fatwanya adalah : 1. Memperhatikan kesesuaian kemaslahatan dengan tujuan
hukum Islam atau maqasid asy-syari’ah, 2. Memperhatikan niat (tujuan) dan hasil
akhir dari suatu perbuatan atau peristiwa yang memberikan manfaat dan
menghindarkan dari kesulitan, baik kepada pelaku maupun orang lain, 3.
Mengedepankan prinsip keseimbangan dan keadilan, bila persoalan dihadapkan
pada dua orang atau lebih sebagai bagian dari kemaslahatan, dimana semua pihak
diposisikan setara. 4. Kemaslahatan yang ada pada suatu masalah adalah
kemaslahatan yang menghadirkan kepastian dan ketertiban.
Sementara, penggunaan teknik maslahah mursalah untuk menetapkan hukum
dalam upaya mencapai kemaslahatan bersama dalam fatwa-fatwa majelis tarjih
Muhammadiyah merupakan wujud misi Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid di
Indonesia dalam mewujudkan misi ke-Indonesiaan, kemajuan bangsa dan
perkembangan ilmu. Ketiga misi ini merupakan upaya menfungsikan fatwa-fatwa
majelis tarjih Muhammadiyah sebagai kontrol sosial, dan rekayasa sosial untuk
semakin meningkatkan kualitas kehidupan umat Islam di Indonesia dan negara
kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44849/1/NOVIANTY-FSH.pdf
https://muhammadiyah.or.id/hukum-nikah-beda-agama-majelis-tarjih-haram/

Anda mungkin juga menyukai