BEDA AGAMA”
Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Kajian Fatwa Hukum Keluarga Islam”
Dengan Dosen Pengampu : Dr. Hj. Titin Samsudin, M.HI
Disusun Oleh:
A. Latar Belakang
B. Pembahasan
Pertanyaan:
Sampai sekarang masih ada umat Muslim yang melakukan nikah beda
agama, yaitu perkawinan yang terjadi antara seorang wanita atau pria Muslim
dengan seorang pria atau wanita non muslim. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah Muchammad Ichsan menegaskan bahwa pernikahan beda agama
hukumnya haram Dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang,
Jawa Timur, menyimpulkan bahwa para ulama sepakat perempuan Muslimah haram
menikah dengan laki-laki musyrik. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim
haram menikah dengan perempuan musyrikah (Budha, Hindu, dll). fatwa
perkawinan beda agama majelis tarjih muhamadiyyah keputusan Muhktamar Tarjih
ke-22 tahun 1989 di malang Jawa Timur. Pertanyaan, faktor apa saja yang menjadi
terlahirnya fatwa perkawinan beda agama, dan perbandingan apa yang ada pada
undang-undang perkawinan di Indonesia?
Jawaban:
“Rasulullah SAW bersabda: “anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat
tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinahan
(hukumnya) batu (rajam sampai mati)”.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan yang
sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur
(maksudnya, yang menikahi ibunya). Manakala zina itu tidak layak untuk
dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan penzina itu harus mendapatkan
hukuman rajam.
Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga harus
selaras dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 100 yang berbunyi: “Anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut masuk islam, maka jika
anak tersebut lahir setelah 6 bulan dari pernikahan, maka anak tersebut
dinasabkan kepada si laki-laki muslim diatas. Alasannya ialah, tempo kehamilan
itu minimalnya 6 bulan menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah itu si laki-
laki muslim tersebut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan
dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan
dan lainnya sama perish dengan ana hasil perkawinan yang sah. Namun jika anak
hasil zina tersebut lair sebelum enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut
dinasabkan kepada ibunya. Dan laki-laki muslim tersebut tetap bertanggung jawab
atas nafkah, pendidikan, kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari
segi perwalian dan pewarisan, laki-laki muslim itu tidak berhak menjadi wali anak
tersebut dan tidak waris-mewarisi dengannya. Menurut ulama fiqih.