Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARI’AH
2021
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmatNya, saya dapat
menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan suatu apapun. Sholawat serta salam saya
haturkan kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW, semoga kita semua mendapat
syafaatnya di yaumil qiyamah kelak.
Makalah ini saya buat guna memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Keluarga.
Tujuannya untuk memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca dan untuk
menambah wawasan serta ilmu pengetahuan mengenai Pernikahan Berbeda agama
(Studi Kasus di Desa Kuncen, Ungaran)
Telepas dari itu semua saya menyadari masih banyak kekeliruan dalam
pembuatan makalah ini. Tentunya kami juga mengharap kritik dan saran dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr Wb
Penulis
ii
Daftar Isi
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Pada studi kasus ini dirumuskan pokok masalah sebagai obyek kajian, antara
lain:
1. Apa faktor yang melatarbelakangi pernikahan beda agama di Desa Kuncen,
Ungaran?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan beda agama?
3. Bagaimana sudut pandang Psikologi Keluarga dalam Pernikahan Beda
Agama yang terjadi di Desa Kuncen, Ungaran?
4. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh pasangan beda agama untuk
membangun keluarga sakinah didalam kehidupan rumah tangga?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti merumuskan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan
beda agama di Desa Kuncen, Ungaran
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kasus pernikahan beda
agama dilapangan.
3. Untuk mengetahui praktik perkawinan beda agama di Desa Kuncen,
Ungaran dalam Pandangan Psikologi Keluarga.
4. Untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh pasangan berbeda
agama untuk membangun keluarga sakinah di dalam kehidupan rumah
tangga.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dengan adanya undang-undang yang mengatur yaitu Pasal 2 ayat (1) undang-
undang perkawinan No.1 Tahun 1974 dimana dalam pasal ini mengatakan:
“Bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya”.
Kemudian selang waktu beberapa bulan Bu Syusan kembali pindah agama
sebelumnya yaitu agama Islam. Semua itu hanya sebatas formalitas semata agar
mereka bisa terjalin sebuah ikatan keluarga dan tercatat sah dalam pencatatan
perkawinan.
1
Kompilasi hukum Islam Pasal 44.
4
beriman”. Jumhur ulama berpendapat, bahwa semua mushrikah (wanita
wanita musyrik) baik dari kalangan bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab
selain ahlulkitab, yakni Yahudi dan Kristen haram dinikahi.
c) Laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab
Yang terakhir yaitu seorang laki-laki Muslim dilarang menikah dengan
wanita non Muslim kecuali wanita Ahli Kitab seperti yang disebut dalam
surat Al Maidah ayat 5:
َ ْم ِحلٌّ لَّهُ ْم َۖو ْال ُمحFْ ب ِح ٌّل لَّ ُك ْم ۖ َوطَ َعا ُم ُك
Fُ ص ٰن
ت َ ت َوطَ َعا ُم الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت ُ ۗ اَ ْليَوْ َم اُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّي ِّٰب
ب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم اِ َذٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّنَ ت ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت َ ْت َو ْال ُمح
ُ ص ٰن ِ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِم ٰن
ان فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهٗ َۖوه َُو فِى ِ ي اَ ْخدَا ۗ ٍن َو َم ْن يَّ ْكفُرْ بِااْل ِ ْي َم ْٓ صنِ ْينَ َغي َْر ُم َسافِ ِح ْينَ َواَل ُمتَّ ِخ ِذ ِ ُْمح
َااْل ٰ ِخ َر ِة ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين
Artinya : Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi
mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum
kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan wanita piaraan.
Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh sia-sia amal mereka, dan
di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (QS al-Mā’idah/5:5).2
5
waktu dan pengaturan secara perlahan-lahan. Maka, ketika allah
berkehendak agar kaum muslimin mempunyai tempat yang independen di
kota madinah, dan kepribadian masyarakat berbeda dan istimewa dengan
yang lainnya, ebagaimana keistimewaan kepribadian keyakinan, mulailah
tatanan baru melangkahi jalanya, dan turunlah ayat QS. Al-Baqarah ayat
221. Ayat ini turun mengharamkan jalinan pernikahan dalam bentuk baru,
yaitu antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Adapun perkawinan yang
telah ada antara kaum muslimin dan kaum musyrikin (sebelum turunya ayat
ini) terus berlangsung sampai tahun keenam hijriah, yaitu ketika turunya ayat
kesepuluh dari surat al-Mumtahanah.55 Dengan turunya ayat ini berakhirlah
segala hubungan pernikahan antara umat Islam dan kaum musyrikin.3
3
Abdul Muta‟al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah Dengan Wanita Non Muslim? Tinjauan fiqih dan
politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet.
I, hlm. 32
6
pasal 42 status hukum dari keluarga Bapak Fahsan dan Ibu Syusan sudah sah
karena sudah sesuai dengan undang-undang perkawinan. Namun disisi lain
keluarga Bapak Fahsan dan Ibu Syusan mengalami problematika terkait anak
dimana dari pihak Bapak Fahsan sendiri meminta anak ikut agamanya
bapaknya karena sesuai dengan kesepakatan dari awal, Namun dari Ibu
Syusan merasa keberatan jika anak mengikuti agamanya Bapak Fahsan .
Oleh karena itu Ibu Muyati tetap tidak memperbolehkan jika anak mengikuti
Bapaknya. untuk menyikapi dalampermasalahan tersebut biar tidak ada
percekcokan maka pihak suami menentukan sendiri untuk dibagi dua yang
anak pertama mengikuti agamanya Bapaknya dan yang anak kedua
mengikuti agmanya Ibunya biar adil.
2) Pola Asuh Anak
Terkait dalam pola asuh anak yang menjadi permasalahan dari pasangan
Bapak Fahsan Utomo dan Ibu Syusan itu terkait dalam hal pendidikan,
dimana Bapak Fahsan meminta anaknya disekolahkan di pendidikan formal
namun dari pihak isteri meminta pada pendidikan non formal. Dari
permasalahan itulah yang membuat mereka jadi bertengkar. Maka dari untuk
menyikapi terkait masalah pendidikan dari pihak anak menentukan sendiri
mau sekolah dimana.
Namun relasi antara orang tua dan anak dalam keluarga berbeda agama
tersebut terlihat dengan pernyataan Ibu Syusan yang mengatakan bahwa dia
sangat mendukung segala keputusan anaknya. Dalam hal ini keputusan untuk
berpindah agama yang semula Kristen menjadi Islam. Walaupun sebelumnya
sempat terjadi problematika akan tetapi mampu diselesaikan secara musyawarah
dan kekeluargaan.
7
D. Problematika Pernikahan Berbeda Agama dan Penyelesaiannya
Adapun problematika dalam perkawinan beda agama sebagai berikut:
1. Keabsahan status hukum perkawinan
Merujuk pada pasal 2 ayat (1) jo pasal huruf f Undang-undang No.1
Tahun 1974 maka menurut penulis Undang-undang perkawinan cenderung
menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing masing untuk
menentukan boleh tidaknya perkawinan beda agama. Semua agama di
Indonesia melarang perkawinan beda agama, bagi umat Islam setelah
dikeluarkannya Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, pada pasal 44 menyatakan bahwa perkawinan campuran beda
agama, baik itu laki-laki muslim dengan wanita non muslim, telah dilarang
secara penuh. Begitu pula dengan agama Kristen yang melarang perkawinan
beda agama antara umat Kristen dengan non Kristen, sama halnya dengan
agama-agama lain yang melarang umatnya melakukan perkawinan dengan
berbeda agama. Oleh karena itu semua agama melarang perkawinan beda
agama maka perkawian beda agama juga dilarang oleh Undang-undang No 1
Tahun 1974 dan hal tersebut mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah.
2. Hak dan Kewajiban Suami Isteri.
Hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam pasal 30 sampai dengan
pasal 34 bahwa kedudukan suami isteri adalah seimbang, dengan suami
sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga dengan kewajiban
yang telah ditentukan, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Hak isteri terhadap nafkah dan harta bersama sepenuhnya
tergantung kepada ada tidaknya perkawinan yang sah sebagai atas hukumnya.
Begitu pula dengan perkawinan yang sah akan melahirkan anak-anak yang
sah. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah mempunyai hubungan
hukum hanya dengan ibunya. Dengan demikian segala hak anak terhadap
bapaknya akan hilang dan tidak diakui oleh hukum. Hak pemeliharaan
terhadap anak yang dimiliki orang tuanya, hanya akan dapat diperoleh, apabila
orang tua memiliki perkawinan yang sah. Sebaliknya, perkawinan beda agama
yang telah memiliki bukti otentik berupa buku nikah, dapat diajukan
pembatalan dengan alasan perkawinannya tidak sah. Karena tidak sesuai
8
dengan ketentuan hukum agama. Pembatalan nikah, walau tidak berlaku surut,
tetapi akan menimbulkan problem kejiawaan yang besar bagi anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan tersebut.
3. Status Anak
Menurut hukum positif anak yang dilahirkan oleh pasangan yang berbeda
agama dianggap sah selama perkawinan beda agama tersebut disahkan oleh
agama dan dicatatkan dalam kantor pencatatan perkawinan. Karena anak yang
sah menurut ketentuan undang-undang perkawinan pasal 42 ialah anak yang
lahir dari perkawinan yang sah berdasarkan pasal 2 ayat (2).Dalam pasal 99
Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.Hasil perbuatan suami isteri
yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.Dari ketentuan-
ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa untuk menentukan sah atau
tidaknya anak tergantung pada sah atau tidaknya suatu perkawinan. Maka
menurut pendapat penulis, anak dari hasil perkawinan berbeda agama adalah
anak tidak sah atau anak luar kawin karena perkawinan kedua orang tuanya
tidak sah menurut hukum agama atau hukum perkawinan. Oleh karena itu
anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama adalah tidak sah atau anak
luar kawin, maka akibatnya adalah anak tersebut tidak memiliki dari hukum
perdata dengan ayahnya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibunya saja. Hal tersebut diatur dalam pasal 43 ayat (1) Undang-
undang No 1 Tahun 1974 dan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab degan ibunya dan keluarga ibunya.
4. Hak kewarisan antara suami isteri dan anak-anaknya.
Sekiranya keabsahan perkawinan pasangan beda agama tidak
dipersoalkan. Dan dianggap keduanya telah terikat dalam perkawinan yang
sah. Begitu pula status anak-anaknya dengan sendirinya juga dianggap sah,
namun hak kewarisan diantara mereka tidak ada. Perbedaan agama
menggugurkan hak saling mewarisi. Bila persoalan kewarisan diatas dilihat
dari aspek keadilan, maka larangan kawin beda agama jelas lebih melindungi
hak kewarisan masing-masing. Anak-anak tidak mungkin beragama kembar,
9
karena agama adalah persoalan keyakinan. Konsekwensinya anak hanya akan
seagama dengan salah satu dari kedua orang tuanya bisa pula menganut agama
yang lain lagi dari yang dianut kedua orang tuanya. Ketika ada anak yang
seagama dengan bapaknya yang mendapat hak dan keawarisan dari bapaknya
itu, berhadapan dengan saudaranya yang beda agama. Akan timbul persoalan
keadilan ketika yang satu seagama mendapat warisan, sementara saudara
kandungnya anak pewaris yang lain yang tidak seagama sama sekali tidak
mendapatkan warisan.
E. Upaya yang dilakukan oleh pasangan beda agama (Bapak Fahsan Utomo dan
Ibu Syusan) untuk membangun keluarga sakinah didalam kehidupan rumah
tangga.
Hubungan suami isteri adalah atas dasar saling membutuhkan,seperti pakaian
yang dipakai, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah
: 187 “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pula adalah pakaian bagi
mereka".
Menurut Bapak Fahsan dan Ibu Syusan Di dalam mewujudkan keharmonisan
suami dan istri, terdapat unsur-unsur upaya untuk mewujudkan keluarga sakinah
mereka. Unsur-unsur tersebut dapat dicapai antara lain melalui:
10
Fahsan seperti pasangan suami istri yang lain juga. Pak Fahsan menjelaskan
bahwa jalinan hubungannya bersama isteri dan anak adalah normal, bahagia
seperti pasangan yang lain. Pengurusan mereka terhadap anak-anak pun
seperti biasa baik dari segi penjagaan dan pendidikan juga teratur. Mereka
membangun keluarga sakinah dengan mengambil langkah dengan sentiasa
mendekati, bermesra bersama isteri dan juga anak-anak. Sentiasa mencukupi
kebutuhan keperluan keluarga karena ia sudah menjadi tanggungjawab
bersama bagi mereka. Dan anak-anak mereka juga masing-masing juga sudah
paham dengan keadaan keluarga. Maka dengan ini sangatlah sesuai dengan
fungsi sosialisasi untuk mewujudkan keluarga sakinah di dalam kehidupan
mereka.
3) Jalinan hubungan antara suami istri dengan keluarga (orang tua)
Di dalam hubungan narasumber terhadap kedua orang tua mereka,
mereka saling menyambung hubungan silaturahmi, senantiasa bersama untuk
meluangkan waktu bersama. Ketika ada waktu luang maka mereka bersama-
sama meluangkan waktu untuk berjalan bersama-sama, makan bersama-sama,
beraktivitas bersama- sama, dengan tujuan untuk merapatkan hubungan
silaturahmi sesama mereka. Walaupun berbeda tempat tinggal, tapi hal itu
tidak menjadi masalah untuk meluangkan waktu untuk bersama. Kedua
orang tua mereka paham dengan keadaan mereka yang nikah berbeda agama,
dan itu tidak menjadi masalah kepada pasangan untuk mewujudkan keluarga
sakinah. Bagi mereka, yang penting adalah sentiasa menjaga hubungan
silaturahmi sesama orang tua mereka.
11
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
13