Judul
dengan
diberlakukannya
setidaknya
dua
peraturan
tentang
berlangsung
masing-masing
pihak
kembali
memeluk
agamanya masing-masing.
3. Mencari lembaga alternatif untuk menikahkan atau melaksanakan
pernikahan di luar negeri, kemudian melaporkan pernikahan tersebut ke
catatan sipil / KUA dengan menuliskan kolom Agama dalam akta nikah
sesuai dengan agamanya pasangannya, cara ini sangat tidak disarankan.
Penilaian generasi muda dewasa ini lebih mengutamakan kasih cinta.
Di kota-kota besar atau di daerah-daerah yang sudah maju dengan
percampuran penduduk yang bermacam ragam, dengan peralatan teknologi
modern dimana masuknya pengaruh budaya barat berlebihan. Nampak
kecenderungan generasi muda yang kurang berbekal iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, mulai banyak yang menganggap perbedaan agama
tidak merupakan masalah yang berat dalam pembentukan rumah tangga.
keadilan dan
perkawinan.
Namun,
yang
dapat
melangsungkan
10
11
4. Kedudukan Anak
Secara umum yang dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan
dari perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria, meskipun
dari hubungan yang tidak sah dalam kacamata hukum tetap dikatakan
anak. Anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Seorang anak
hadir sebagai amanah yang dititipkan Allah untuk dirawat, dijaga dan
dididik yang kelak setiap orang tua akan diminta pertanggungjawaban
atas sifat dan perilaku anak semasa di dunia.
Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pengaturan yang
mendetail mengenai kedudukan anak. Kedudukan anak dalam UndangUndang Perkawinan dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: 1) Anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah (pasal 42), dan 2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(pasal 43 ayat (1)).
Mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan
bahwa:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
12
13
b) Anak wajib menhormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang
baik.
c) Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah
tua.
d) Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan
ada dibawah kekuasaan orang tua.
e) Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin
mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
f) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
kepentingan si anak menghendakinya.
5. Harta Perkawinan
Perkawinan mengakibatkan suatu ikatan hak dan kewajiban, juga
menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi yang
melakukan hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga
atau somah (gezin atau household).7
Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah
terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan
diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam
kehidupan berkeluarga.
Pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai
kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib harta perolehan selama
7 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
hlm. 244.
14
ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendirisendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi
suami isteri tersebut.8 Sedangkan Hazairin menyatakan bahwa:
Harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah
harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja
yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anakanak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian
perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik
harta maupun anak-anaknya.9
Dengan demikian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh
selama masa perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah
harta yang didapat atas usaha mereka (suami isteri), atau sendiri-sendiri
selama masa ikatan perkawinan.10
KUHPerdata
menyatakan
bahwa,
sejak
saat
dilangsungkan
15
bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga
barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam
hal terakhir ini yang mewariskan atau menghibahkan menentukan
kebalikannya dengan tegas (pasal 120). Harta bersama bubar demi hukum,
karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak
ada, perceraian pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta (pasal
126).
Harta perkawinan dalam Hukum Islam disebut syirkah, yaitu
penyatuan atau penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta
orang lain. Al Quran dan Hadits tidak membicarakan harta bersama secara
tegas, akan tetapi dalam kitab-kitab fikih ada pembahasan yang dapat
diartikan sebagai pembahasan harta bersama, yaitu syirkah atau syarikah.11
Menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 35 ayat (1) dan (2)
menyatakan bahwa:
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing
baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing
suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat (1) dan (2)).
11 Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, PT. Refika Aditama, Bandung,
2015, hlm. 18.
16
6. Pengertian Perceraian
Pada umumnya, apabila terjadi suatu perkawinan seorang laki-laki
dengan perempuan ingin hidup dalam keadaan selalu rukun dan sejahtera
selama-lamanya hingga meninggal dunia. Namun adakalanya suatu
perkawinan tidak demikian dan berakhir dengan perceraian.12
Perceraian menurut Subekti adalah Penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim atau tuntuan salah satu pihak dalam perkawinan
itu.13
Perceraian adakalanya terjadi, karena tindakan sewenang-wenang
dari pihak laki-laki. Di beberapa daerah di Indonesia, angka perceraian
meningkat, sebelum rancangan Undang-Undang Perkawinan berhasil
diundangkan.14 Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tersebut,
tidaklah mudah perceraian itu terjadi tanpa alasan yang dapat diterima.
Dalam pasal 38 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:
12 Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta,
1989, hlm.29.
13 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 20.
14 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.
63.
17
18
7. Alasan-alasan Perceraian
Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Perkawinan dapat putus
karena: kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan.15
Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan yang diajukan oleh suami atau isteri untuk dijatuhkan
talak atau gugatan perceraian ke pengadilian. Alasan-alasan itu adalah
sebagai beriku:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
7. Suami melanggar Talik Talak.
15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 116.
19
8. Peralihan
Agama
atau
murtad
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
yang
menyebabkan
20
21
22
23
atau
dokumen
dan
peraturan
perundang-undangan
yang
maksud
tertentu,
24
yang
berhubungan
dengan
masalah
penelitian.
25
6. Jadwal Penelitian
Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan dan mempunyai kegiatan sebagai berikut:
No
Kegiatan
Bulan
Ag
Sep
Okt
s
1.
2.
3.
4.
5.
Persiapan
a. Penulisan Proposal
X
b. Pembimbingan Proposal
c. Ujian Proposal
Pelaksanaan
a. Pengurusan ijin penelitian
b. Pengumpulan data
c. Klasifikasi data
d. Analisa data pelaporan
Seminar hasil penelitian
Perbaikan
Penyusunan laporan penelitian
dan penggandaan
No
Des
Jan
X
X
X
X
X
X
X
X
X
26
7. Kerangka Skripsi
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup
Pengertian Perkawinan
Tujuan Perkawinan
Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan
Kedudukan Anak
Harta Perkawinan
Pengertian Perceraian
Alasan-alasan Perceraian
Tata Cara Perceraian
Jenis Pendekatan
Metode Pendekatan
Jenis dan Sumber Data
Teknik Pendumpulan Data
Analisa Data
27