Anda di halaman 1dari 104

ABSTRAK

Hasriana Usman, 2024. “Analisis Penetapan Dispensasi Kawin Di Pengadilan


Agama Belopa Kabupaten Luwu”. Program Studi Hukum
Keluarga Pascasarjana IAIN Palopo. Dibimbing Oleh H.
Thayyib Kaddase dan Rahmawati Beddu.

Tesis ini membahas Penetapan Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Belopa


Kabupaten Luwu. Penelitian ini bertujuan: Untuk Menganalisis Pertimbangan
Hakim Dalam Penetapan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Belopa dan
Menganalisis Tinjauan Islam Terhadap Penetapan Hakim Pengadilan Agama
Belopa. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif melalui metode wawancara,
observasi, dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan, perlunya pemahaman orang tua sejak dini yang
dibangun kepada anak bahwa pernikahan di bawah umur bukan menjadi solusi
terkhir untuk memberikan kebahagian kepada anak. Pencegahan pernikahan di
bawah umur dengan mengacu terhadap UURI No. 16 Tahun 2019 dalam hal batas
usia perkawinan tidak dapat dikecualikan dilingkup keluarga, pendidikan dan
sosial kemasyarakatan.

Perlunya ketegasan pemerintah Kabupaten Luwu dalam memberikan pemahaman


kepada masyarakat bahwa tindakan pernikahan di bawah umur memiliki unsur
pidana yang termuat dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual pada Pasal 10 ayat 1 yang menerangkan hukum penjara
paling lama 9 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000.

Analisis, Dispensasi Kawin, Pengadilan Agama Belopa.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perkawinan di bawah umur merupakan fenomena yang sering terjadi di

masyarakat dan menjadi sesuatu yang dikenal luas, meskipun sering kali disimpan

sebagai rahasia. Kasus perkawinan di bawah umur sering kali menarik perhatian

publik dan dapat berkembang menjadi masalah hukum yang serius. Fenomena ini

tidaklah baru, terutama di Kabupaten Luwu, namun meluas ke berbagai daerah,

termasuk daerah pedalaman, pedesaan, dan perkotaan. Tujuan utama dari

perkawinan adalah untuk membentuk sebuah rumah tangga yang bahagia dan

abadi, yang didasarkan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan

dianggap sebagai ikatan suci, dan untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan

aturan yang jelas. Namun, peraturan-peraturan tersebut tidak dimaksudkan untuk

mengekang individu, melainkan untuk mengutamakan kemaslahatan bersama.1

Pernikahan memegang peran yang sangat signifikan dalam struktur

masyarakat. Dari pernikahan, terbentuklah keluarga yang mengikat erat antara

anggota keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Selain itu, pernikahan juga

dianggap sebagai ikatan suci, murni, dan sakral yang harus dijaga dengan baik

oleh kedua pasangan suami dan istri. Pengawasan terhadap hubungan tersebut

dilakukan dengan memenuhi kewajiban dan mengakui hak-hak yang timbul

sebagai hasil dari pernikahan tersebut. Melalui pernikahan, pasangan suami-istri

1
Leza Melta Rany dam Liya Sukma Muliya, “Implementasi Dispensasi Nikah terhadap
Anak di Bawah Umur di Kota Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera
Selatan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak
(Putusan Pengandilan Nomor 83/Pdt.P/2020/PABta)”, Jurnal Riset Ilmu Hukum, 2021, h. 75.
Diakses, https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/444. Tanggal 2 Juni 2023

1
2

menjalani kehidupan bersama dan melahirkan keturunan yang merupakan pilar

utama dalam pembentukan negara dan bangsa. Negara juga memiliki kepentingan

dalam mengatur masalah perkawinan dengan merumuskan dan menerapkan

undang-undang tentang perkawinan. Oleh karena itu, dalam menjalankan

perkawinan, penting untuk mematuhi aturan-aturan perkawinan yang telah

ditetapkan oleh negara.

Pernikahan juga menghasilkan konsekuensi hukum, yang tidak hanya

memengaruhi suami-istri yang terlibat dalam ikatan pernikahan, tetapi juga anak-

anak, orang tua, keluarga, dan masyarakat secara umum. Dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pernikahan

didefinisikan sebagai ikatan jiwa dan raga antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan abadi berdasarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain

itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyatakan bahwa pernikahan menurut

ajaran Islam merupakan suatu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalidzan,

yang bertujuan untuk taat pada perintah Allah dan dianggap sebagai bentuk

ibadah.2

Ungkapan "akad yang sangat kuat atau mitsaaqan gholizahan" adalah

penjelasan dari istilah "ikatan lahir batin" yang terdapat dalam rumusan Undang-

Undang. Ini mengindikasikan bahwa akad pernikahan bukanlah semata perjanjian

yang bersifat keperdataan. Sementara itu, ungkapan "mentaati perintah Allah dan

melakukannya merupakan ibadah" adalah penjelasan dari istilah "berdasarkan

2
Mahkamah Agung R.I., Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Dirjen Badilag, 2015), h. 15.
3

Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Undang-Undang. Ini menunjukkan bahwa

pernikahan bagi umat Islam bukan sekadar peristiwa sosial, melainkan juga

merupakan peristiwa agama, dan karena itu, orang yang melaksanakannya telah

melakukan ibadah.

Dalam pandangan Islam, pernikahan bukan hanya sebuah ibadah semata,

tetapi juga merupakan bagian dari sunnatullah dan sunnah Rasul. Sunnatullah

mengacu pada kehendak dan keputusan Allah dalam penciptaan alam, sementara

sunnah Rasul merujuk pada tradisi dan contoh yang ditetapkan oleh Nabi

Muhammad untuk dirinya sendiri dan umatnya. Hikmah di balik institusi

pernikahan adalah untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia, baik di dunia

maupun di akhirat, di bawah bimbingan cinta dan ridha Allah SWT.

Menurut Muhammad Abu Zahra, seperti yang dikutip oleh Peuno Daly,

pernikahan adalah sebuah perjanjian yang bertujuan untuk menghalalkan

hubungan antara laki-laki dan perempuan, di mana keduanya saling membantu

satu sama lain dan memiliki hak serta kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk

mencapai tujuan mulia ini, dibutuhkan kesiapan fisik dan kedewasaan emosional

dari kedua belah pihak, sehingga muncul rasa tanggung jawab pada mereka.

Pernikahan juga dipandang sebagai suatu kebutuhan alami manusia untuk

melanjutkan keturunan demi kelangsungan hidupnya, serta untuk menciptakan

ketenangan hidup dan memperkuat rasa kasih sayang di antara sesama manusia.

Oleh karena itu, Islam mendorong orang untuk menempuh hidup berumah tangga.

Pernikahan yang baik dan sukses tidak akan dapat diharapkan dari mereka

yang masih kurang matang fisik maupun mental emosional, melainkan menurut
4

kedewasaan dan kematangan fisik dan mental. Untuk itu, pernikahan harus

dimasuki dengan persiapan yang matang.3 Menjembatani antara kebutuhan kodrati

manusia dengan pencapaian esensi dari suatu pernikahan, Undang-Undang RI

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menetapkan dasar dan syarat yang

harus dipenuhi dalam perkawinan. Salah satu di antaranya adalah ketentuan dalam

pasal 7 ayat (1): “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai

umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas)

tahun.”4

Ketentuan mengenai batas usia pernikahan telah mengalami revisi dengan

disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) dari undang-undang tersebut menyatakan

bahwa: "Perkawinan hanya diperbolehkan jika pria dan wanita telah mencapai

usia 19 (sembilan belas) tahun."

Sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan al-Sunnah, tidak secara

eksplisit menetapkan batas usia pernikahan. Al-Qur'an memberikan petunjuk dan

isyarat, sehingga penentuan batas usia ini diserahkan kepada ranah fikih dan

masyarakat Muslim untuk menetapkan standar yang sesuai dengan syarat-syarat

yang telah ditentukan, dan sesuai dengan kondisi di tempat di mana hukum

tersebut diberlakukan. Dalam hukum adat, tidak ada ketentuan yang menetapkan

batas usia untuk pernikahan. Lazimnya, kedewasaan seseorang dalam hukum adat

3
Djoko Prasodjo dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Cet.
I; Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 2
4
Purwosusilo, et al., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Dirjen Badilag, 2016), h. 340.
5

diukur dengan tanda-tanda fisik, seperti perempuan yang sudah mengalami haid

atau memiliki tanda-tanda fisik tertentu, seperti buah dada yang sudah menonjol,

yang menandakan kematangan. Sementara untuk laki-laki, indikatornya bisa

dilihat dari perubahan suara, postur tubuh, serta pengalaman "mimpi basah" atau

nafsu seksual.Pembatasan usia minimum untuk pernikahan yang ditetapkan oleh

pembuat undang-undang bertujuan untuk memastikan kesejahteraan keluarga dan

rumah tangga.

Pembatasan usia dalam pernikahan oleh pihak pembuat undang-undang

bertujuan untuk memastikan bahwa rumah tangga yang terbentuk dapat mencapai

tujuan pernikahan yang sejalan dengan ajaran agama. Tujuan utama pernikahan

adalah untuk membentuk sebuah rumah tangga yang bahagia dan abadi, yang

didasarkan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Seiring dengan kompleksitas

perkembangan kehidupan manusia, timbul permasalahan di masyarakat, seperti

penurunan nilai-nilai moral atau akhlak, seperti meningkatnya pergaulan bebas di

kalangan remaja dan peningkatan hubungan zina yang menjadi hal yang umum,

yang mengakibatkan kehamilan di luar pernikahan.

Jika terjadi situasi yang sangat mendesak, seperti kehamilan di luar nikah,

maka perkawinan di bawah umur mungkin harus dilakukan secara segera untuk

bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan dan untuk menjaga status

hukum calon anak yang akan dilahirkan. Untuk mendapatkan izin atau legalitas

hukum untuk melakukan pernikahan dalam keadaan seperti ini, pihak yang

berkeinginan untuk menikah diberikan kesempatan untuk mengajukan

permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama yang telah ditunjuk oleh kedua


6

orang tua dari pihak laki-laki atau perempuan, sesuai dengan ketentuan yang

tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal ini

menyatakan bahwa dalam kasus pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1),

pihak yang terlibat dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama atau

pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua baik dari pihak pria maupun pihak

wanita.”5

Arti dari pasal di atas adalah bahwa setelah izin pernikahan dikeluarkan

oleh pengadilan agama, kedua pasangan dapat melangsungkan pernikahan. Dalam

praktiknya, pengadilan harus mempertimbangkan dengan cermat ketentuan yang

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan,

yang menetapkan batas usia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Usia

dan kedewasaan menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan oleh calon

pengantin. Namun, seringkali terjadi ketidaksesuaian antara standar ideal dan

kenyataan di lapangan. Dalam kasus seperti itu, aturan memberikan fleksibilitas

kepada masyarakat untuk tidak mengikuti ketentuan tersebut, asalkan ada alasan

yang kuat, seperti kehamilan sebelum pernikahan atau yang sering disebut sebagai

"married by accident".

Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan panduan yang jelas

kepada Hakim Pengadilan Agama dalam memberikan dispensasi usia pernikahan.

Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Agama perlu melakukan evaluasi yang cermat

untuk menentukan apakah permohonan dispensasi usia pernikahan akan diterima

atau ditolak. Dasar dan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama menjadi sangat

5
Purwosusilo, et al., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Lingkungan
Peradilan Agama, h. 340.
7

penting dalam proses tersebut, sehingga penulis merasa perlu untuk mengkaji

tentang dasar dan pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau menolak

permohonan dispensasi usia perkawinan. Meskipun batas usia yang ideal untuk

menikah menurut undang-undang adalah 21 tahun, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), namun pada kenyataannya,

batas usia tersebut seringkali tidak diindahkan oleh masyarakat, yang tercermin

dari banyaknya kasus pernikahan dini.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pernikahan dini, antara lain faktor

pribadi dan faktor keluarga. Dari segi pribadi, beberapa remaja ingin menghindari

perbuatan yang berpotensi menimbulkan dosa, seperti hubungan bebas, dan ada

juga yang menikah karena kehamilan di luar nikah. Sedangkan dari sisi keluarga,

pernikahan dini bisa terjadi karena adanya jodoh dari orang tua atau paksaan dari

keluarga.6

Pernikahan dini adalah institusi suci yang besar yang mengikat dua

individu yang masih remaja dalam ikatan keluarga. Perlindungan hak anak telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

yang mencakup hak tumbuh dan berkembang, hak sipil dan kebebasan, hak

asuhan dan perawatan, hak bermain dan berpartisipasi, hak kesehatan, hak

pendidikan, dan perlindungan khusus. Hak anak dalam pernikahan dini

mencermati bagaimana hak anak dilindungi jika menjadi subjek dalam pernikahan

dini. Dari perspektif hukum nasional, sejarah pembentukan undang-undang

tersebut menunjukkan implementasi dan pemenuhan hak di Indonesia

6
Dian Luthfiyanti, Metodeologi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h.
47.
8

Pengadilan Agama seharusnya menjadi barisan terakhir dalam upaya

mencegah meningkatnya pernikahan dini, karena dampaknya dapat merugikan

keberlangsungan pernikahan dan bahkan bertentangan dengan tujuan pernikahan

itu sendiri, yang dapat berujung pada perceraian. Meskipun Undang-Undang

Perkawinan memberikan kelonggaran kepada mereka yang ingin menikah, namun

bagi mereka yang mengajukan dispensasi nikah, Pengadilan harus menilai dengan

seksama alasan-alasan yang mereka berikan mengenai pernikahan dini. Hal ini

penting karena jika semua permohonan dispensasi dikabulkan, hal itu akan

bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan maupun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Meski begitu,

dalam praktiknya di Pengadilan Agama, Majelis Hakim memiliki pertimbangan

tersendiri dalam menetapkan permohonan dispensasi nikah, misalnya jika terdapat

hubungan cinta yang kuat antara calon pasangan yang telah terjalin selama

beberapa tahun, bahkan jika salah satu di antara mereka telah hamil, maka

keputusan untuk menikahkan mereka lebih cepat beralasan untuk menghindari

pelanggaran syariat serta melindungi hak-hak hukum dan kepentingan anak yang

belum lahir serta hubungan keluarga yang ada.

Alasan-alasan tersebut sering menjadi pertimbangan hukum oleh beberapa

hakim dalam mengabulkan permohonan Dispensasi Nikah, demi memenuhi aspek

kemaslahatan dalam setiap penetapan dispensasi dan untuk mematuhi prinsip-

prinsip syariat. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip hukum dalam teori

maṣlahah mursalah, di mana ketentuan-ketentuan hukum yang belum dijelaskan

secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dapat ditetapkan berdasarkan


9

pertimbangan kebaikan dan untuk menghindari kerusakan dalam kehidupan

masyarakat, serta sebagai upaya untuk mencegah kemudharatan. Maslahah

merupakan salah satu konsep yang penting dalam pemahaman hukum Islam,

karena mencerminkan tujuan syariat (maqashid syari'ah) dalam menciptakan

kesejahteraan bagi umat.7

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Kawin di

Pengadilan Agama Belopa ?

2. Bagaimana Tinjauan Islam terhadap Penetapan Hakim Pengadilan Agama

Belopa ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Menganalisis Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Dispensasi Kawin

di Pengadilan Agama Belopa.

2. Untuk Menganalisis Tinjauan Islam Terhadap Penetapan Hakim Pengadilan

Agama Belopa

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang akan dilakukan antara lain adalah:

1. Aspek Teoritis; Menambah wawasan keilmuan tentang , bagaimana

pertimbangan hakim pengadilan Agama Belopa dalam penetapan Dispensasi

7
Riva’i dan Muhammad, Ushul Fiqh, Cetakan.Ke-VII, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1995),
h. 10.
10

nikah sebab hampir semua kalangan Masyarakat terintegrasi dengan

dispensasi nikah tersebut, sehingga diharapkan dari penelitian ini pula dapat

menjadi bahan masukan bagi peneliti yang lain yang penelitiannya memiliki

hubungan atau keterkaitan dengan hasil penelitian ini.

2. Aspek Praktis; Bagi lembaga, hasil penelitian ini diharapkan dapat berfungsi

sebagai bahan evaluasi dalam menjalankan sebuah kebijakan dan teknis

pelaksanaan dari kebijakan tersebut dilapangan, lebih khusus mengenai

pertimbangan hakim pengadilan Agama Belopa dalam Penetapan Dispensasi

nikah. Bagi jurusan, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

tambahan referensi dalam studi implementasi kebijakan dan dapat menjadi

sumbangan dalam bidang ilmu hukum Islam. Bagi masyarakat, hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang

bermanfaat dalam Menganalisis putusan dispensasi nikah dipengadilan

Agama Belopa.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian yang membahas tentang dispensasi nikah bukanlah penelitian

yang baru dalam dunia hukum. Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya

akan dikemukakan oleh peneliti untuk melihat relevansi antara penelitian

sebelumnya dengan yang dilakukan oleh peneliti, antara lain:

1. Muh. Idris, melakukan penelitian yang berjudul, “Dispensasi Pengadilan

Agama Masamba dalam Kasus Pernikahan di Bawah Umur”. Dari hasil penelitian

yang dilakukan, disimpulkan bahwa pemberian dispensasi umur perkawinan oleh

Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kepada pasangan di bawah

umur yang akan bermohon Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Masamba

dilakukan sebagai upaya memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang telah

sadar akan aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Pemberian dispensasi umur

perkawinan memberi kemudahan dan jalan keluar atas masalah pernikahan di

bawah umur. Faktor-faktor yang menyebabkan pasangan di bawah umur yang

akan melangsungkan pernikahan mengajukan permohonan dispensasi umur

perkawinan di Pengadilan Agama Masamba yaitu karena calon mempelai

perempuan telah hamil sebelum melakukan pernikahan, dikarenakan masalah

ekonomi dan lemahnya tingkat pendidikan, yang kemudian memicu orang tua

lebih memilih menikahkan anaknya di usia di bawah 15 ketentuan Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.8

8
Muh.Idris, “Dispensasi Pengadilan Agama Masamba dalam Pernikahan Dibawah
Umur”, Tesis Magister, (Palopo, IAIN Palopo, 2016), h. 119-120.

11
12

2. Nur Aisyah, melakukan penelitin yang berjudul, “Dispensasi Pernikahan

di bawah Umur pada Masyarakat Islam di Kabupaten Bantaeng”. Dari hasil

penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa, perkara permohonan Dispensasi

Nikah hanyalah untuk mendapatkan hak dari Pemohon, sehingga Hakim selaku

penegak hukum harus memperhatikan kemanfaatan hukum dalam memeriksa dan

mengabulkan permohonan dispensasi nikah. Hakim dalam membuat penetapan

tidak hanya terikat pada hukum positif mengenai batasan batasan usia perkawinan

bagi pihak laki laki berusia 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun, melainkan Hakim

dituntut untuk lebih progresif dalam memberikan pertimbangkan hukum, dan

tidak terpaku pada aturan yang bersifat normatif dan tekstual.9

3. Lukman Haqiqi Amirulloh, melakukan penelitian yang berjudul, “Metode

Penemuan Hukum dalam Perkara Dispensasi Nikah (Studi di Pengadilan Agama

se- D.I. Yogyakarta tahun 2013-2015)”. Dari hasil penelitian yang dilakukan,

disimpulkan bahwa yang menjadi pertimbangan hakim se-D.I. Yogyakarta dalam

mengabulkan permohonan Penetapan Dipsensasi Nikah dalam mengabulkan dan

menolak permohonan dispensasi nikah yakni pertimbangan hukum dalam

peraturan perundang-undangan seperti batas usia yang tercantum dalam Undang-

Undang Nomor I tahun 1974 tentang perkawinan, dan syarat-syarat perkawinan

dalam Undang-Undang Perkawinan. Sedangkan pertimbangan hukum hasil ijtihad

hakim antara lain; pertimbangan persepsi yang tidak baik dalam masyarakat

sekitar, pertimbangan masa depan, pertimbangan psikologi, pertimbangan jaminan

yang pasti dan kuat dalam kehidupan rumah tangga, dan pertimbangan

9
Nur Aisyah, “Dispensasi Pernikahan di bawah Umur pada Masyarakat Islam di
Kabupaten Bantaeng”, Tesis Magister (Makassar, UIN Alauddin Makassar, 2015), h. 45.
13

kematangan mental. Untuk perkara yang ditolak, yaitu kematangan mental, tidak

ada alasan yang darurat, dan yang kedua calon mempelai sama-sama di bawah

umur dan belum mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama setempat.

Adapun proses penemuan hukum dalam penanganan kasus permohonan

dispensasi nikah, hakim Pengadilan Agama se-D.I. Yogyakarta menggunakan 3

tahap, yakni tahan konstatir, kualifisir, dan konstituir.10

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang relevan, peneliti menemukan

perbedaan dengan penelitian ini karena fokus tesis ini lebih tertuju pada analisis

mendalam terhadap putusan Hakim terkait keputusan yang dibuat dalam kasus

Dispensasi Nikah, baik dalam mengabulkan maupun menolak permohonan yang

diajukan oleh para pencari keadilan. Dalam tesis ini, peneliti berupaya untuk

mengkaji dan menganalisis secara rinci pertimbangan hukum Hakim dalam

membuat keputusan Dispensasi Nikah di Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama

Palopo, yang didasarkan pada prinsip kemaslahatan bagi pihak yang mengajukan

permohonan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menjelajahi lebih dalam

mengenai putusan Hakim dalam kasus Dispensasi Nikah. Penelitian ini

diselenggarakan di Pengadilan Agama Palopo karena jumlah kasus permohonan

Dispensasi Nikah yang signifikan ditangani oleh lembaga tersebut

B. Deskripsi Teori
10
Lukman Haqiqi Amirullah, “Metode Penemuan Hukum dalam Perkara Dispensasi
Nikah (Studi di Pengadilan Agama se- D.I. Yogyakarta tahun 2013-2015)”, Tesis Magister
(Yogyakarta: UIN Sunang Kalijaga, 2016), h. 80.
14

1. Analisis Putusan

Analisis menurut KBBI adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa baik

berupa karangan, perbuatan, dan lain sebagainya. Arti lain analisis ini merupakan

penguraian suatu pokok atas berbagai bagian dan penelaahan yang memiliki

hubungan antara satu dengan yang satunya dalam memperoleh pengertian yang

tepat atau memunculkan suatu paham secara keseluruhan. Penetapan adalah

keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter), misalnya penetapan

dalam perkara dispensasi kawin, poligami, perwalian, dan lain-lain sebagainya.

Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria yang berarti bukan peradilan yang

sesungguhnya karena pada penetapan hanya ada permohonan tidak ada lawan

hukum. Didalam penetapan, hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun

cukup dengan menggunakan kata “menetapkan”.11

Terdapat 3 jenis putusan hakim yang dilihatnya dari segi putusan, isi dan

dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan. Menurut

Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, pertimbangan hakim adalah pemikiran-

pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-

hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap hakim wajib

menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang

diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.Dalam

melaksanakan kekuasaan kehakiman hakim secara kontekstual memilik tiga

esensi yakni:12

11
Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaanm
Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 28
12
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif”,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 104
15

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

3) Tidak ada konsekuensi terhadap hakim dalam menjalankan tugas dan

fungsi yudisialnya.

Hakim merupakan personifikasi lembaga peradilan, dalam membuat

keputusan suatu perkara selain dituntut memiliki kemampuan intektual, juga

seorang hakim harus memiliki moral dan integritas yang tinggi sehingga

diharapkan dapat mencerminkan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum dan

dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Berdasarkan Undang-undang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 53, berbunyi:

1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab

atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar

hukum yang tepat dan benar.

Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil

pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Seorang hakim sebelum

menjatuhkan putusannya harus memperhatikan serta mengusahakan seberapa

dapat jangan sampai putusan yang akan dijatuhkan nanti memungkinkan

timbulnya perkara baru. Putusan harus tuntas dan tidak menimbulkan ekor perkara

baru. Tugas hakim tidak berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi

juga menyelesaikan sampai pada pelaksanaannya. Dalam perkara perdata hakim


16

harus membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi

segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,

cepat dan biaya ringan.13

Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran

yuridis, kebenaran filosofis dan sosiologis. Kebenaran yuridis artinya landasan

hukum yang dipakai apakah telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

Kebenaran filosofis artinya hakim harus mempertimbangkan sisi keadilan apakah

hakim telah berbuat dan bertindak yang seadil-adilnya dalam memutuskan suatu

perkara. Pertimbangan sosiologis artinya hakim juga harus mempertimbangkan

apakah putusannya akan berakibat buruk dan berdampak di masyarakat dengan

kata lain bahwa seorang hakim harus membuat keputusan yang adil dan bijaksana

dengan mempertimbangkan dampak hukum dan dampak yang terjadi dalam

masyarakat.

2. Dispensasi

Istilah dispensasi kawin, secara letterlijk tersusun dari dua kata, yaitu

dispensasi dan perkawinan. Istilah dispensasi secara bahasa merupakanserapan

dari istilah dispensation memiliki makna yang sama denganexamtion (Inggris).14

Dispensasi dalam kamus besar bahasa Indonesia, dispensasi artinya pengecualian

dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus; pembebasan dari suatu

kewajiban atau larangan. Dispensasi merupakan bentuk dari keringanan.

Maksudnya dari dispensasi nikah adalah keringan yang berlaku bagi calon

13
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, (Yogyakarta: Liberty,
2002), h. 108
14
John M. Echols, “An Indonesian-English Dictionary”. Edisi Ke 3, (Jakarta: Gramedia,
1992), h. 146
17

pasangan suami istri yang belum bisa menikah karena umur mereka belum

mencapai batas yang dibolehkannya menikah. 15 Sedangkan yang dikemukakan

Roihan A. Rasyid bahwa dispensasi kawin adalah dispensasi yang dikeluarkan

oleh Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum mencukupi batas usia

perkawinan.16

Secara sederhana dispensasi kawin dapat dipahami dalam dua kata dasar,

yaitu dispensasi dan kawin. Secara gramatikal, dispensasi diartikan sebagai

pengecualian dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus. 17Dispensasi

nikah adalah jalan keluar dari pintu darurat untuk kemudian menikahkan mereka

yang masih di bawah umur, diberikannya dispensasi itu adalah suatu pintu darurat

untuk memberikan solusi bagi mereka yang memiliki keadaan darurat seperti

menikah di bawah umur.

Undang-undang perkawinan yang baru ketentuan mengenai batas usia

perkawinan diubah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Tidaklah

mudah memang dalam menentukan batas minimal usia dalam perkawinan. Selain

adanya perbedaan ukuran mengenai kedewasaan seseorang, juga menyangkut soal

agama, sebab dewasa dalam ukuran agama khususnya agama islam diukur dari

seseorang baliq. Jumhur ulama mengatakan bahwa tanda-tanda baligh pada anak

laki-laki yaitu keluarnya sperma baik dalam kondisi sadar maupun mimpi.

Sedangkan pada anak perempuan dengan mengalami menstruasi, mengandung,

atau berdasarkan usia jika tanda-tanda secara fisik tidak nampak. Perlindungan
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet,IV;
Edisi.10; Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 2.
16
Roihan A. Rayid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 32
17
Tim Penyusun dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988).
18

terhadap anak untukterhindar dari perkawinan pada usia anak rupanya akan

mengalami kendala dikarenakan undang-undang satu dengan undang-undang

lainya saling tumpang tindih dalam hal perkawinan anak tersebut. Setelah

diubahnya batas usia perkawinan perkawinan dari 19 tahun untuk laki-lakidan 16

tahun untuk perempuan yang jelas sudah merugikan anak khususnya wanita,

kemudian diubah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan yang dirasa

sudah cukup untuk mencegah perkawinan anak akan tetapi ada ketentuan lainya

yang menjadi celah terjadinya perkawinan anak tersebut, yaitu dispensasi usia

perkawinan.18

Dispensasi nikah adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah

maupun usianya belum mencapai batas minimal yang ditentukan oleh undang-

undang. Batas usia minimal pernikahan menurut ketentuan Undang-undang

Nomor 16 Tahun 1974 adalah, usia pria minimal 19 tahun dan usia wanita

minimal 16 tahun. Namun berdasarkan undang-undang Nomor 16 tahun 2019

Tentang Perubahan Terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 usia

pernikahan disejajarkan antara pria dan wanita. Yakni sama-sama usia 19 tahun.

Dalam undang-undang ini ditetapkan seseorang baik pria maupun wanita baru

boleh menikah seteah berusia minimal 19 tahun.

Pengadilan agama diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk

memberikan Dispensasi Nikah bagi calon mempelai yang belum mencapai batas

minimal usia perkawinan yang ditentukan Undang-undang yaitu 19 tahun setelah

mendengar keterangan kedua calon mempelai, orangtua kedua belah pihak dan
18
M. Emil Maulana, “Dispensasi Usia Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Perlindungan
Anak”, Tesis (Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945, 2021), h. 6. Diakses Melalui,
http://repository.untag-sby.ac.id/10261/. Tanggal 21 Juni 2023
19

saksi-saksi dipersidangan. Dengan dispensasi nikah yang dikeluarkan oleh

Pengadilan Agama tersebut, pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama

(KUA) yang ditunjuk berwenang untuk menikahkan kedua calon mempelai

tersebut meskipun usianya belum mencapai 19 tahun.19

Peraturan perundang-undangan telah diatur bahwa suatu perkawinan dapat

dilakukan apabila adanya persetujuan dari kedua belah pihak dan kedua belah

pihak telah memiliki kematangan serta kesiapan dalam membentuk suatu rumah

tangga. Kematangan dan kesiapan tersebutlah yang kemudian dibatasi dengan usia

minimal diperbolehkannya seseorang untuk melangsungkan perkawinan

sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Perkawinan.20

Penyelesaian perkara yang diterima dan diadilinya perkara dispensasi

nikah di Pengadilan Agama mengacu pada hukum materiil dan hukum formil

yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama. Undang-undang No. 7 Tahun

1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa; “Hukum Acara yang

berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum

Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,

kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

Al-Quran dan Hadis tidak memberikan penjelasan secara utuh mengenai

batasan usia dalam pernikahan, namun ditegaskan seseorang yang ingin menikah

agar dewasa dan layak menikah, sehingga ia dapat menjalani atau mengelola

19
Sri Agustini, “Pelaksanaan Isbad Nikah dan Dispensasi Nikah di Kota Padang”, Jurnal
Ensiklopedia Social Review, Vol 3, No. 1, 2021, h. 55-56. Diakses Melalui,
https://jurnal.ensiklopediaku.org/ojs-2.4.8-3/index.php/sosial/article/view/677. Pada Tanggal 7
Juni 2023
20
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinanjo. Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
20

manajemen dalam berumah tangga dengan baik. Sebagaimana dalam Quran Surah

An-Nisa ayat 6/4 menerangkan bahwa:

‫َو اْب َت ُلوا اْلَي َت اَم ٰى َح َّت ٰى ِإَذ ا َب َلُغ وا الِّن َك اَح َف ِإْن آَن ْس ُتْم ِم ْن ُهْم ُر ْش ًد ا َف اْد َفُعوا ِإَلْي ِه ْم‬

‫َأْم َو اَلُهْم ۖ َو اَل َت ْأُك ُلوَه ا ِإْس َر اًفا َو ِبَداًر ا َأْن َي ْك َب ُرواۚ َو َم ْن َك اَن َغ ِنًّي ا َفْلَي ْس َت ْع ِفْف ۖ َو َم ْن‬

‫َك اَن َفِقيًر ا َفْلَي ْأُك ْل ِباْلَم ْع ُروِف ۚ َفِإَذ ا َد َفْع ُتْم ِإَلْي ِه ْم َأْم َو اَلُهْم َفَأْش ِه ُد وا َع َلْي ِه ْم ۚ َو َكَفٰى ِباِهَّلل‬

‫َح ِس يًبا‬

Terjemahnya:

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.Dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-
gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka,
maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi
mereka.Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).21

Ayat tersebut memerikan penjelasan bahwa setiap orang dapat melakukan

pernikahan selama meraka sudah menginjak usia yang sudah dewasa. Dalam

pernikahan memberikan ketarangan lebih jelas mengenai pada usia balighnya

seseorang, sebagaimana Jumhur Ulama menegaskan bahwa usia baligh pada

seseorang ditandai dengan keluarnya mani atau sudah pernah mengalami mimpi

basah. Para ahli berbeda pendapat, Muhammad bin al-Husain, Bisyr bin Mu’adz,

Ibnu Waki’ dan al-Mutsanna berpendapat bahwa maknanya yakni pintar dan baik

dalam urusan agama. Sedangkan makna menurut Muhammad bin Basysyar, Ibnu
21
Kementerian Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: CV. Mikraj
Khazanah Ilmu, 2019), h. 77
21

Basysyar dan Ya’qub bin Ibrahim adalah pandai (saja). Ada juga yang

berpendapat bahwa makna ar-rusy adalah baik dan bisa mengetahui sesuatu yang

dapat memperbaiki dirinya, ialah Al-Qasim, Hajjaj dan Ibn. Juraij.22

Kasus dispensasi nikah ini diatur dalam hukum acara perdata sebagaimana

yang telah diuraikan di atas, namun dalam praktik dispensasi nikah yang

dilakukan di pengadilan agama atau di pengadilan Negeri memuat beberapa tata

cara dalam pelaksanaan atau pengajuan dispensasi nikah. Adapun tata cara

pengajuan dispensasi sebagai berikut:

a. Pengajuan Permohonan

Perkara dispensasi kawin merupakan perkara perdata yang diajukan secara

Voluntair (permohonan). Perkara Voluntair mempuyai karakteristik yang

menjadikannya berbeda dengan perkara contensiosa (gugatan).23

b. Kewenangan mengadili/kompetensi

Permohonan dispensasi kawin harus diajukan kepada pengadilan yang

berwenang dan pengadilan yang berwenang mengadili perkara dispensasikawin

adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi

yang beragama non muslim. Jika terdapat perbedaan agama antara anak dan orang

tua/wali maka permohonan dispensasi kawin diajukan pada pengadilan sesuai

dengan agama anak (Pasal 7 Perma 5/2019). Dalam hal calon suami danisteri

22
Imam Syafi’I, “Penetapan Dispensasi Nikah oleh Hakimi (Studi Komparatuf Hukum
Islam dan Hukum Positif)”, Jurnal Mabahits, Vol. 2, No. 2, 2021, h. 99-100. Diakses Melalui,
http://ejournal.inaifas.ac.id/index.php/Mabahits/article/view/761. Pada Tanggal 21 Juni 2023
23
M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata”, Cetakan Ketujuh (Sinar Grafika, 2008),
h. 9
22

sama-sama berusia di bawah batas usia perkawinan (kurang dari 19 tahun),

permohonan dispensasi kawin untuk masing-masing calon suami dan calon isteri

diajukan kepengadilan yang sama sesuai degan domisili salah satu orang

tua/walicalon suami atau isteri (Pasal 8Perma 5/2019).

c. Persyaratan Adimistrasi

Secara administrasi persayaratan yang termuat dalam dispensasi nikah

sebagai berikut:

1) Surat permohonan

2) Foto copy kedua orang tua/wali

3) Foto copy Kartu Keluarga

4) Foto copy KTP atau berupa identitas lainnya seperti akta kelahira

5) Foto copy ijazah pendidikan terakhir anak dan atau surat keterangan masih

sekolah dari sekolah anak.24

Persyaratan tersebut di atas tidak dapat dipenuhi maka dapat digunakan

dokumen lainnya yang menjelaskan tentang identitas dan status pendidikan anak

dan identitas orang tua atau wali (Pasal 5 ayat 2 Perma Nomor 5 Tahun 2019).

Terkait mengenai suatu aturan yang menerangkan dispensasi nikah ini

memberikan legitimasi secara normatifnya dan dalam penguatan secara konsep

Islam maka sebagaimana dalam qur’an surah an-Nisa ayat 59/4 menerangkan

tentang mentaati pemerintah dan Allah swt, adapun ayatnya sebagai berikut:

24
Widhia Arum Wibawa, “Apa itu Dispensasi Nikah”. Diakses Melalui,
https://news.detik.com/berita/d-6516438/apa-itu-dispensasi-nikah-hal-hal-ini-wajib-diketahui-.
Pada Tanggal 21 Juni 2023
23

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َف ِاْن َتَن اَزْع ُتْم ِفْي‬

‫َش ْي ٍء َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّر ُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن‬

ࣖ ‫َتْأِو ْياًل‬

Terjemahnya:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi
Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.Jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir.Yang demikian
itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat)”.25

Turunnya ayat ini sebagai pedoman dalam kehidupan suatu bangsa.

Sebagaimana ulil amri dijelaskan sebagai isyarat bahwa kehadiran ulil amri sangat

diperlukan dalam rangka mengatur tata nilai kehidupan sosial seorang muslim.

Dilihat dari sisi lain, menempatkan ketaatan pada perintah ulil amri setelah

ketaatan pada perintah Allah dan Rasul-Nya juga mengandung ajaran bahwa

kewajiban membayar ulil amri berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipatuhi

ulil amri dalam menjalankan kepemimpinannya. Ajaran Allah SWT dalam Al-

Quran. Dalam pandangan Al-Qurthubi mengatakan, diriwayatkan oleh Ali bin

Abu Thalib RA, dia berkata, “Tugas pemimpin adalah mengatur dengan adil dan

menunaikan amanah, dan jika hal itu dilakukan, maka umat Islam wajib

mentaatinya, karena Allah SWT telah memerintahkan agar senantiasa untuk

memenuhi misi dan harga adil dan kemudian memerintahkan kami untuk

mematuhinya”26

25
Kementerian Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: CV. Mikraj
Khazanah Ilmu, 2019), h. 45
26
Sulaeman Kurdi, Dkk, “Konsep Taat Kepada Pemimpin (Ulil Amri) di dalam Surah An-
Nisa: 59, Al-Anfal: 46 dan Al-Maidah: 48-49 (Analisis Tafsir Al-Qurthubi, Al-Mishbah, dan Ibnu
24

Taraf usia matang berdampak dari hasil pendidikan terhadap manfaat dari

suatu perkawinan sehingga dari beberapa tujuan perkawinan itu dikemukakan oleh

al-Ghazali yang membaginya dari beberapa hal yakni sebagai berikut:

1) Memperoleh keturunan yang sah akan melangsungkan dan

mempertahankan keturunan agar manusia tidak punah dan dunia tidak

kosong. Selain itu, pada hakikatnya diciptakannya nafsu seksual pada diri

manusia adalah sebagai pendorong tercapainya tujuan tersebut.

2) Penyaluran gejolak nafsu seksual dengan cara yang ma’ruf. Di sini,

perkawinan merupakan sarana yang telah ditentukan oleh syari’a untuk

memperoleh keduniawian sebagai bukti terhadap ukhrawi. Ketika manusia

memenuhi rangsangannya maka ia akan merasakan puncaknya. Tujuan

kedua ini berkaitan erat dengan tujuan pertama yaitu memperoleh anak

merupakan tujuan manusia sesuai dengan fitrahnya, sedangkan syahwat

merupakan faktor pendorong bagi tercapainya tujuan tersebut.

3) Memperoleh ketenangan hati serta memelihara manusia dari kejahatan dan

kerusakan. Sebab dorongan syahwat yang semula (sebelum nikah) biasa

dilepaskan dengan cara-cara yang dilarang oleh syara’, seperti dengan cara

melakukan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan, maka dengan

perkawinan dorongan seks tersebut akan hanya dipenuhi dengan satu

pasangan tetap yaitu istri atau suami. Jadi, perkawinan merupakan

pencegah timbulnya bencana akibat dorongan syahwat.

Katsir)”, Journal Of Islamic Law and Studies, Vol. 1, No.1 Juni 2017, h. 35-36. http://jurnal.uin-
antasari.ac.id/index.php/jils/article/view/2552. Pada Tanggal 26 Desember 2022
25

4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari

masyarakat yang besar berdasarkan cinta dan kasih sayang.

5) Melaksanakan kewajiban masyarakat degan cara menumbuhkan

kesungguhan dalam mencari rizki penghidupan yang halal, dan

memperbesar rasa tanggung jawab.27

Terjadinya pengajuan dispensasi kawin di Pengadilan Agama tidak hanya

didasari satu hal, namun dalam hal ini ada beberapa faktor yang menyebabkan

pernikahan di bawah umur terjadi. Rujukan fiqih munaqahat secara normatif

membolehkan pernikahan di bawah umur dilaksanakan dengan

mempertimbangkan maslahat dan mudarotnya sehingga terpenuhinya sakinah,

mawaddah, warahmah. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya

pernikahan di bawah umur28:

a. Faktor Sosial

Faktor sosial merupakan pengaruh lingkungan sebagaimana lingkungan

mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan individu dan secara teori

hal ini ini pada umumnya menunjukkan kebenarannya. Dalam lingkungan sosial

atau lingkungan masyarakat terjadi adanya interaksi individu satu dengan individu

lain. Sehingga keadaan masyarakatpun akan memberikan pengaruh tertentu

terhadap perkembangan individu. Bagaimanapun juga hubungan antara individu

dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal balik. Dimana

27
Al-Ghazali, “Menyingkap Hakikat Perkawinan; Adab, Tata Cara dan Hikmahnya,
Penerjemah: Muhammad al-Baqir. (Bandung: Karisma, 1999), h. 24
28
26

lingkungan dapat mempengaruhi individu, dan sebaliknya individu juga dapat

mempengaruhi lingkungan.29

Faktor sosial dalam perspektif budaya masyarakat patriarki yang bias

gender, menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap

pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran

agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan. Dan

juga Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang

akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan, sehingga pengaruh sosial

kebudayaan merupakan hal yang mendasar akibat terjadinya pernikaha di bawah

umur.

b. Faktor Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan

masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan untuk menikahkan anaknya

yang masih dibawah umur dan tidak dibarengi dengan pemikiran yang panjang

tentang akibat dan dampak permasalahan yang dihadapi.30

c. Faktor Ekonomi

Kondisi ekonomi yang rendah membuat pelaku pernikahan di bawah umur

memutuskan untuk menikah. Tidak ada biaya sekolah menjadi alasan mereka

untuk putus sekolah. Beberapa informan mengatakan bahwa menikah karena tidak

sekolah sehingga tidak ada yang membuat sibuk. Beberapa informan mengatakan

tidak sekolah disebabkan tidak ada biaya utuk melanjutkan sekolah. Selain karena

tidak ada biaya sekolah, harapan akan terjadinya perubahan ekonomi yang lebih
29
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi,1989), h. 55
30
Fitri Raya, Dkk, “Urgensi Pendidikan Tekan Pernikahan Dini”, Jurnal Pengabdian
Masyarakat, Vol. 15, No. 1, 2022, h.55
27

baik dengan menikah menjadi alasan terjadinya pernikahan dini. Ada beberapa

informan memutuskan menikah karena faktor tidak ada kesibukan yang

diakibatkan tidak melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya sekolah, selain itu

karena orang tuanya kurang memberikan pandangan untuk sekolah sehingga ia

berharap dengan menikah dapat menyebabkan terjadinya perubahan ekonomi

menjadi lebih baik dan ingin meningkatkan ekonomi mereka. Dengan menikah

kondisi kehidupan diharapkan menjadi semakin baik.31

Selain menguraikan faktor terjadinya pernikahan di bawah umur, dalam

hal ini peneliti menjabarkan dampak pasca menikah di bawah umur sebagaimana

dampaknya di uraikan sebagai berikut:

a. Gangguan Emosional dan Psikologis Pernikahan dini dapat menyebabkan

gangguan emosional dan psikologis pada pasangan yang menikah. Kedua

individu yang masih dalam masa perkembangan,belum memiliki kemampuan

yang cukup untuk menghadapi masalah dan tekanan dalam kehidupan

pernikahan. Hal ini dapat menyebabkan stres, depresi, dan bahkan bisa

menyebabkan masalah mental yang serius.

b. Anak yang menikah pada usia dini memiliki risiko yang lebih tinggi untuk

mengalami gangguan kesehatan fisik, seperti komplikasi pada kehamilan dan

melahirkan, anemia, serta malnutrisi. Selain itu, mereka juga berisiko

mengalami infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS, karena mereka

belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang seksualitas dan kesehatan

reproduksi.

31
Eva Eliya Sibagariang, Kesehatan Reproduksi Wanita, Edisi Revisi, (Jakarta: Trans
InfoMedia. 2016), h. 35
28

Kehamilan pada usia dini memiliki resiko medis yang cuku ptinggi,

karena pada usia dini alat reproduksi belum matang untuk menjalankan

fungsinya, alat reproduksi baru siap mejalankan fungsinya setelah berusia 20

tahun karena pada usia ini fungsi hormonal melewati masa kerjanya secara

maksimal, rahim seorang wanita mengawali kematangan sejak usia 14 tahun

yang ditandai dengan menstruasi. Kematangan rahim ini dapat pula dilihat dari

perubahan ukuran rahim secara anatomis, pada seorang wanita ukuran rahim

berubah sejalan dengan usia dan perkembangan hormonal. Hamil di usia sangat

muda dapat meningkatkan risiko kesehatan pada wanita dan bayinya. Hal ini

karena sebenarnya tubuh belum siap untuk hamil dan melahirkan.32

c. Pernikahan dini dapat membatasi akses pendidikan dan karir bagi individu

yang menikah pada usia dini. Pasangan yang menikah pada usia dini seringkali

harus menghentikan pendidikan mereka dan tidak memiliki kesempatan untuk

mengembangkan karir mereka. Hal ini dapat menyebabkan mereka sulit untuk

meraih keberhasilan dan kemajuan di masa depan.

d. Pernikahan dini seringkali terjadi di kalangan masyarakat yang kurang mampu

secara ekonomi. Pasangan yang menikah pada usia dini belum memiliki

kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Hal ini dapat menyebabkan mereka mengalami

kemiskinan dan ketergantungan ekonomi pada keluarga mereka.

Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan


32
Novita Joseph, “Bahaya Kesehatan yang Timbul Akibat Perkawinan Dini”,
https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/bahaya-kesehatan-akibat-perkawinan-dini/, Diakses
pada Januari 2024
29

norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal usia perkawinan bagi

wanita. Dalam hal ini batas minimal usia perkawinan bagi wanita dipersamakan

dengan batas minimal usia perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun.

Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara

baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan

berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas usia yang lebih tinggi dari 16 (enam

belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang

lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat

terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak.33

berlakukanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang

Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, segala sesuatu yang

berkaitan dengan proses mengadili dispensasi kawin harus tunduk pada peraturan

ini. Mulai dari asas dan prinsip yang harus diperhatikan, syarat dan ketentuan

dalam mengajukan permohonan, serta bagaimana hakim dalam memeriksa

perkara ini, sampai dengan hal apa saja yang harus dipertimbangkan dalam

putusan atau penetapan hakim terkait dengan apakah permohonannya ditolak atau

dikabulkan.

Perma ini mengatur bahwa pemberian izin kawin kepada anak tidak boleh

asal-asalan, penetapan yang diberikan oleh hakim harus patuh dan berpedoman

pada prinsip-prinsip tersebut di atas, di mana prinsip-prinsip tersebut harus

dijabarkan dalam pertimbangan hukum secara argumentatif. Implementasi

33
Salinan uuri Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UURI Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
30

kewajiban tersebut tergambar dalam ketentuan yang mewajibakan bagihakim

untuk memastikan orang tua, anak,calon suami/isteri dan orang tua/wali calon

suami/isteri memahami resiko perkawinan diusia anak yang terkait dengan

kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak, belumsiapnya organ reproduksi

anak (perempuan), dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak, serta

potensi perselisihan dan kekerasandalam rumah tangga. Apabila proses tersebut

tidak digunakan oleh hakim atau tidak dicantumkan dalam pertimbangan

hukumnya, maka penetapan yang dibuat oleh majelis hakim tersebut batal demi

hukum. Ketentuan ini merupakan terobosankarena banyaknya penetepan pada

perkaradispensasi kawin hanya berdasarkan pada “mencegah kemadharatan yang

lebih besar” dengan tidak menjelaskan secara lebih jauh kemadharatan besar apa

yang akan dilaluioleh anak tersebut apabila pernikahan itu dilangsungkan dan

kemadharatan besarapa yang akan dilalui anak tersebut apabila pernikahan tidak

dilangsungkan.34

3. Perkawinan

Perkawinan diambil dalam bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yakni,

zawwaja artinya pasangan, sedangkan nakaha yang berarti menghimpun,

kemudian kata inilah yang dipakai dalam Al-Quran sebagaimana disebutkan

perkawinan muslim. Olehnya itu bahasa perkawinan diartikan sebagai

menghimpun dua insan menjadi satu. Melalui dipersatukannya dua insan tersebut

yang awalnya hidup sendiri (tak berpasangan), dengan adanya perkawinan dua

34
Fahadil Amin Al Hasan, Dkk, Dispensasi Kawin Dalam Sistem Hukum Indonesia
menjamin Kepentingan Terbaik Anak Melalui Putusan Hakim (Marriage Dispensation In The
Indonesian Legal system protecting Children’s Best Interests Through Judges’ Decisions). Vol.
14, No. 1 Tahun 2021, h. 90-91
31

insan manusia yang dipertemukan berdasarkan jalan Allah SWT untuk berjodoh

menjadi satu atau dengan kata lain suami dan istri.35

Ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun

1974 yakni:

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Dari ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 jelas, setiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya setiap perkawinan

harus diikuti dengan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Bila kedua ayat dalam Pasal 2 UU 1/1974 dihubungkan

satu sama lainnya, maka dapat dianggap bahwa pencatatan perkawinan

merupakan bagian integral yang menentukan pula kesahan suatu perkawinan,

selain mengikuti ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya

suatu perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa

peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu

perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak

35
Tinuk Dwi Cahyani, “Hukum Perkawinan”, Cet. 1, (Malang : Penerbit Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020), h. 1
32

lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak

ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum.36

Dibawah ini beberapa tokoh menjelaskan perkawinan:

1) Wahbah al-Zuhaily menjelaskan definisi perkawinan dengan: "akad yang

membolehkan terjadinya al-istimta' (persetubuhan) dengan seorang wanita

ataumelakukan wath'i, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita

yang diharamkan, baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan". Definisi

lain yang diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah "akad yang telah ditetapkan

oleh syar'i agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan

istimta' dengan seorang wanita atau sebaliknya".

2) Menurut Hanafiah, "nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan

mut'ah secara sengaja" artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta'

dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya

pernikahan tersebut secara syar'i.

3) Menurut Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafadz inkah yang

bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.

Menurutsyara’, fuqaha’ telah banyak memberikan definisi. Perkawinan secara

umum diartikanakad zawaj adalah pemilikan sesuatu melalui jalan yang

disyari’atkan dalam agama. Tujuannya, menurut tradisi manusia dan menurut

syara’ adalah menghalalkan sesuatu tersebut. Akan tetapi ini bukanlah tujuan

perkawinan (zawaj) yang tertinggi dalamsyari’at Islam. Tujuan tertinggi adalah

memelihara regenerasi, memelihara gen manusia dan masing-masing suami-


36
Marbuddin, Pengertian azas dan Tata Cara Perkawinan Menurut dan Dituntut Oleh
Undang-Undang Perkawinan, (Banjarmasin, Bimbingan Dakwah Agama Islam Kanwil
DEPAG: 1978), h. 8
33

istri mendapatkan ketenangan jiwa karena kecintaan dan kasih sayangnya dapat

disalurkan. Demikian juga pasangan suami-istri sebagai tempat peristirahatan

disaat-saat lelah dan tegang, keduanya dapat melampiaskan kecintaan dan

kasih sayangnya layaknya sebagai suami-istri.37

Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum,

melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta

bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong.

Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung

adanya tujuan atau maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan

sejatinya adalah sebuah perjanjian atau pengikatan suci antara seorang laki-laki

dan perempuan.

Setiap perangkat hukum mempunyai asas atau prinsip masingmasing,

tidak terkecuali dalam hukum perkawinan. Menurut Hukum Islam dan perundang-

undangan, Asas Hukum Perkawinan Islam terdiri atas tujuh asas, yakni asas

personalitas keislaman, asas persetujuan, asas kebebasan mencari pasangan, asas

kesukarelaan, asas kemitraan suami istri, asas monogami terbuka, dan asas untuk

selama-lamanya Adapun uraiannya sebagai berikut:

a. Asas Personalitas Keislaman

Asas Personalitas Keislaman ialah dasar pemberlakuan hukum syariah

Islam terhadap orang Islam dan badan hukum Islam. Pengertian asas personalitas

keislaman merupakan asas pemberlakuan hukum Islam terhadap orang

(Person/Mukallaf) yang beragama Islam.


37
Ach. Puniman, “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974”, Vol. 19, No. 1, Mei 2018, h. 87. Diakse Melalui,
http://ejournal.unira.ac.id/index.php/yustitia/article/view/408. Pada Tanggal 10 Oktober 2022
34

Asas personalitas keislaman adalah asas utama yang melekat pada

Undang-Undang Peradilan Agama yang mempunyai makna bahwa pihak yang

tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan di lingkungan Pengadilan

Agama adalah hanya mereka yang beragama Islam.38 Asas Personalitas Keislaman

ialah salah satu asas perkawinan Islam di Indonesia berdasarkan Pasal 1 dan Pasal

2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan junto Pasal

40 huruf c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1 Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk membentuk rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Pasal 29 UUD 1945 sebagai landasan hukum. Pasal 40 huruf C dan Pasal

44 Kitab Undang-undang Hukum Islam melarang perkawinan antara laki-laki

Muslim dan non-Muslim. Oleh karena itu, asas kepribadian Islami dalam bidang

hukum perkawinan Indonesia didasarkan pada Pasal dan Pasal 2 Ayat (1) UU

Perkawinan Junto, Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.

b. Asas kesukarelaan

Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting perkawinan Islam.

Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami- istri, tetapi

juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Asas kesukarelaan menurut

Mohammad Daud Ali, tidak hanya harus terdapat pada kedua calon mempelai,

38
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), halaman. 56
35

tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua masing-masing

calon mempelai.39

Kesukarelaan wali merupakan unsur yang esensial, karena wali nikah

merupakan salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur dalam

Pasal 14 syariat Islam yang menyebutkan bahwa rukun nikah terdiri dari calon

suami, calon istri dan pernikahan. Wali, dua saksi laki-laki, dan persetujuan Ijab

Kabul.

c. Asas persetujuan

Asas persetujuan merupakan implementasi dari persetujuan kedua belah

pihak yang merupakan konsekuensi logis dari asas kesukarelaan. Hukum

perkawinan Islam menghormati hak asasi manusia dalam hal perkawinan yang

telah ditetapkan sejak awal Islam, sekitar abad ketujuh Masehi. Ketika memilih

pasangan nikah, seorang wanita Muslim diberikan kebebasan memilih dengan

menunjukkan apakah dia menerima tawaran pria itu atau tidak (prinsip

persetujuan).

d. Asas kebebasan

Asas kebebasan yang dimaksud ialah memilih pasangan merupakan

rangkaian dari asas persetujuan dan kesukarelaan. Seseorang berhak untuk

memilih siapa pasangan hidupnya. Hal ini tampak dari hadits kelompok kecuali

kaum muslimin atas otoritas Khansa binti Khadam al-Ansariyyah, disebutkan

dalam asas akad bahwa ayahnya menikahinya ketika dia janda dan dia tidak.

39
H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 45
36

Seperti pernikahan, dia datang ke Rasulullah, semoga Tuhan memberkati dia dan

memberinya kedamaian.

e. Asas kemitraan

Asas kemitraan merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang

sederajat. Asas kemitraan dalam hukum perkawinan Islam dapat dilihat dari:

Pertama, subjek hukum atau orang yang mengadakan akad nikah, yaitu calon

suami dan calon istri, yang dilaksanakan oleh wali. Kedua: Dari segi akad, atau

subjek akad nikah, adalah hubungan hukum antara suami dan istri atas dasar

timbal balik. Dalam akad nikah terdapat perintah dari Allah dan orang tua

mempelai wanita (istri) kepada mempelai pria (suami) dalam mengurus rumah

tangga dan mengurus keluarga agar terhindar dari kesengsaraan lahir dan batin di

dunia maupun dari api neraka.

f. Asas monogami terbuka

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mengenai seorang pria hanya boleh

memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami,

yang dikenal dengan asas monogami. Asas monogami yang dimaksud bukanlah

asas monogami mutlak tetapi asas monogami terbuka. Artinya, jika suami tidak

mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup

seorang istri saja. Poligami dibolehkan tentunya dengan pengecualian dan syarat-

syarat tertentu.

g. Asas untuk selama-lamanya


37

Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk

melangsungkan keturunan dan saling membina cinta selama hidup. Tujuan

perkawinan adalah untuk selama-lamanya, bukan untuk sementara waktu dan

untuk sekedar bersenang-senang atau rekreasi semata.

Sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dilandasi rasa saling

mencintai satu sama lain, saling suka dan rela antara kedua belah pihak. Sehingga

tidak ada keterpaksaan satu dengan yang lainnya. Perjanjian suci dalam sebuah

perkawinan dinyatakan dalam sebuah ijab dan qobul yang harus dilakukan antara

calon laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya berhak atas diri mereka.

Apabila dalam keadaan tidak waras atau masih berada di bawah umur, untuk

mereka dapat bertindak wali-wali mereka yang sah. 40 Abu Zahrah berpendapat,

perkawinan dapat menghalalkan hubungan biologis antara laki-laki dan

perempuan, dengan adanya perkawinan ini maka laki-laki dan perempuan

mempunyai kewajiban dan haknya yang harus saling dipenuhi satu sama lainnya

sesuai syariat Islam.

Rukun merupakan hal pokok yang tidak boleh ditinggalkan atau masuk di

dalam substansi, berbeda dengan syarat yang tidak masuk ke dalam substansi dan

hakikat sesuatu. Rukun dalam pernikahan harus memperhatikan hal-hal pokoknya

yang tidak boleh ditinggalkan. Adapun rukun nikah diantaranya:

1) Kedua mempelai, laki-laki dan perempuan. Dalam hal syarat yang mesti

dipenuhi oleh kedua mempelai diantaranya:

40
M Khoiruddin, “Wali Mujbir Menurut Imam Syafi’i (Tinjauan Maqâshid Al-
Syarî’ah)”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 18, No 2, 2019, h. 257, diakses Melalui,
https://doi.org/10.24014/af.v18.i2.8760. Pada Tanggl 7 Juni 2023
38

a. Memiliki identitas yang jelas dan tidak kabur, hal ini dimaksudkan

agar pernikahan dapat dicatat oleh petugas pernikahan dan diakui oleh

Negara.

b. Kedua belah pihak mempelai telah setuju untuk menikah dan juga

setuju dengan pihak yang mengawinkan termasuk wali dari mempelai

perempuan.

Kompilasi Hukum Islam mempertegas syarat persetjuan kedua mempelai

pada pasal 16 yakni:

2) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

3) Pihak wanita harus menyetujui pernikahan dengan mengucapkannya

dengan lisan maupun tulisan

4) Antara ke dua telah tidak ada hal-hal yang terlarang untuk melangsungkan

pernikahan atau tidak ada konflik dalam keluarga

5) Kedua mempelai telah dewasa dan mencapai usia minimum pernikahan,

sesuai dengan aturan yang berlaku.

6) Wali

Dalam sebuah pernikahan bahwa wali merupakan salah satu rukun yang

harus ada. Wali berasal dari pihak perempuan yang akan dinikahkan kepada

pengantin laki-laki. Karena kemutlakan adanya wali dalam sebuah akad nikah

adalah menghalalkan kemaluan wanita yang wanita tersebut tidak mungkin akan

menghalalkan kemaluannya sendiri tanpa adanya wali. 41 Salah satu rukun nikah

yaitu wali juga terdapat dalam H.R Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah
41
Aspandi A. “Pernikahan Berwalikan Hakim Analisis Fikih Munakahat Dan
Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Hukum Islam, Vol.5, No.1 , 2017, h. 85. Diakses melalui,
khttps://doi.org/10.21274/ahkam.2017. tanggal 7 Juni 2023
39

bahwa “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya

batal”.

Adapun syarat-syarat wali nikah yang mesti diperhatikan adalah, sebagai

berikut:

a) Merdeka dan bukan budak atau hamba sahaya

b) Berjenis kelamin laki-laki an bukan perempuan sebagaimana yang

dijelaskan dalam hadis namun ada yang menyebutkan bahwa wanita yang

telah dewasa dan berakal boleh menjadi wali bagi dirinya sendiri.

c) Baligh serta berakal sehat dalam arti ia haruslah sudah dewasa

d) Tidak sedang melakukan ihram ibadah haji maupun umrah.

e) Memiliki pikiran yang sehat dna tidak pikun, oleh sebab itu seseorang

tidaklah sah menjadi wali apabila ia memiliki gangguan denga pikiran atau

dalam kondisi yang sudah pikun.

f) Beragama Islam, seorang wali niah haruslah beragama Islam dan hal ini

sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Imran/3 ayat 28:

ٓ ‫اَّل َيَّتِخ ِذ ٱْلُم ْؤ ِم ُنوَن ٱْلَٰك ِف ِر يَن َأْو ِلَيآَء ِم ن ُدوِن ٱْلُم ْؤ ِمِنَني ۖ َو َم ن َيْف َعْل َٰذ ِلَك َفَلْيَس ِم َن ٱلَّلِه ىِف َش ْى ٍء ِإاَّل‬
‫ِإ ِه ِص‬ ‫ِم‬
‫َأن َتَّتُقوا۟ ْنُه ْم ُتَق ٰى ًة ۗ َو َحُيِّذ ُر ُك ُم ٱلَّلُه َنْف َس ۥُه ۗ َو ىَل ٱلَّل ٱْلَم ُري‬
Terjemahnya:

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi


wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).42

42
Kementerian Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung: CV. Mikraj
Khazanah Ilmu, 2019), h. 53
40

g) Adanya dua orang saksi. Dalam hal ini syarat dari saksi pernikahan adalah

sebagai berikut:

1) Berjumlah minimal dua orang sesuai dengan pendapat ulama namun

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa saksi itu boleh terdiri dari satu

orang laki-laki dan dua orang perempuan.

2) Saksi haruslah merdeka dan bukan budak atau hambsa sahaya

3) Bersifat adil dalam arti saksi dikenal sebagai orang baik dan tidak

pernah melakukan kejahatan besar.

4) Beragama Islam, orang non muslim tidak dianjurkan menjadi saksi

5) Bisa mendengar dan melihat, hal ini diharuskan karena saksi adalah

orang yang nantinya akan menyaksikan dan mendengarkan prosesi ijab

kabul dalam pernikahan.

6) Berjenis kelamin laki-laki dan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa

saksi itu boleh terdiri dari perempuan dengan catatan harus disertai

saksi laki-laki.43

7) Ijab Kabul. Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 29 menyebutkan

bahwa ijab kabul meliputi beberapa hal yakni:

a. Yang berhak mengucapkan kabul ialah seorang calon mempelai pria

secara pribadi

b. Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada

pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang

43
Diakses Melalui, Redaksi Dalam Islam, “Rukun Nikah dalam Islam”,
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/rukun-nikah-dalam-islam. Tanggal 7 Juni 2023
41

tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu

adalah untuk mempelai pria

c. Dalam hal calon mempelai wanita atua wali keberatan bila calon

mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.44

Uraian ayat (3) diatas dimaksudkan sebagai berikut:

1) Pernyataan mengawinkan dari wali pihak perempuan

2) Ada pernyataan menerima dari calon mempelai laki-laki

3) Menggunakan kata nikah atau tazwij atau direvsi dari kedua kata

tersebut

4) Diantara ijab dan kabul bersambungan

5) Antara ijab dan kabul maksudnya jelas dan tidak samar

6) Orang yang melaksanakan ijab dan kabul tidak dalam haji dan umrah

7) Di dalam tempat tersebut, ijab dan kabul harus dihadiri minimal empat

orang, yakni; wali dari calon mempelai perempuan dan atau wakilnya,

calon mempelai laki-laki atau wakilnya, dan dua orang saksi.45

Selain menguraikan mengenai syarat atau rukun dalam perkawinan maka

dalam hal ini terdapat dampak ketika hubungan sumi dan isteri terjadi pertikaian

yang berujung perceraian, sehingga pada fenomena tersebut dilarang dalam agama

sebagaimana dalam hadis berdasarkan riwayata Sunan Abu Dawud diterangkan

sebagai berikut:

‫َح َّد َثَنا َك ِثيُر ْبُن ُع َبْيٍد َح َّد َثَنا ُمَحَّم ُد ْبُن َخ اِلٍد َع ْن ُمَع ِّر ِف ْبِن َو اِص ٍل َع ْن ُمَح اِر ِب ْبِن‬
44
Dakwatul Chairah, “Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan di Masa Pandemi Covid-
19 di KUA Kec. Sampang Madura”, Vol. 11, No. 1, Juni 2021, h. 68. Diakses Melalui,
http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/alhukuma/article/view/1102. Tanggal 8 Juni 2023
45
Ahmad Rofiq, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Raja Wali Pers,
2013), h. 75
42

‫ِد َثاٍر َع ْن اْبِن ُع َم َر َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َأْبَغ ُض اْلَح اَل ِل ِإَلى ِهَّللا َتَع اَلى‬

‫الَّطاَل ُق‬

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Katsir bin ‘Ubaid, telah menceritakan


kepada kami Muhammad bin Khalid dari Mu’arrif bin Washil dari Muharib bin
Ditsar dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
“Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian” (HR. Sunan Abu
Dawud: 3/505)46.

Penjelasan Ali Yusuf as-Subki tentang hadis di atas bahwa, perceraian

merupakan solusi terakhir untuk melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi oleh

salah seorang pasangan suami atau isteri yang tidak kuat dan tidak puas atas

perkawinan yang mereka jalani. Apabila pasangan suami isteri telah tidak

harmonis lagi dan tidak menemukan suatu titik temu diantara mereka yang hanya

dapat dipecahkan melalui sidang pengadilan maka perceraian merupakan pilihan

atau jalan yang ditempuh untuk memutuskan hubungan suami isteri yang sah.47

Perkawinan dalam hukum Islam sebagai suatu perjanjian yang suci dan

kokoh untuk kelangsungan sebuah rumah tangga, sehingga ketentuan Pasal 28B

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dicantumkan

bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah serta Negara menjamin hak anak atas kelangsungan

hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

46
Abu Dawud Sulayman Sajastani, 2008. Mawsu’ah al-Hadis as-Sharif al-Kutub as-
Sittah. Riyad: Dar as-salam, h.1383
47
Ali Yusuf as-Subki, “Fiqh Keluarga”, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 331
43

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa

persetujuan perkawinan hanya diperbolehkan jika pihak pria telah mencapai usia

19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Aturan ini membuka

kemungkinan terjadinya perkawinan di usia muda, terutama bagi wanita,

mengingat definisi anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan

Anak, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara itu, penafsiran

tentang pernikahan dari sudut pandang Imam Mazhab menjelaskan bahwa::

1) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pernikahan adalah suatu

kesepakatan yang diadakan dengan tujuan untuk mendapatkan kenikmatan dari

wanita secara sadar. Artinya, itu adalah untuk melegalkan bagi seorang pria untuk

memperoleh kesenangan dari seorang wanita. Definisi ini bertujuan untuk

menghindari kebingungan dengan transaksi jual-beli wanita, yang merujuk pada

suatu perjanjian untuk memperoleh seorang budak wanita..

2) Ulama Malikiyah mendefinisikan pernikahan sebagai sebuah perjanjian

yang menghalalkan untuk meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram

melalui sebuah ikrar, terutama wanita yang memiliki kitab suci..

3) Ulama Syafi'iyyah menjelaskan bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian

yang memungkinkan hubungan seksual melalui penggunaan kalimat seperti

"ankahtuka" (aku menikahkanmu wahai pria dengan wanita tertentu) atau

"tazawwajtu" (aku mengawinkanmu wahai pria dengan wanita tertentu).


44

4) Ulama Hanabilah mendefenisikan akad perkawinan adalah sebuah

perjanjian yang didalamnya terdapat lafadz nikah atau tazwid yang dijadikan

sebagai pedoman.48

Selain menguraikan pernikahan berdasarkan perspektif Imam Mazhab

maka dalam halam ini peneliti menguraikan pernikhan menyangkut tentang

hikmahnya. Adapun hikmah pernikahan menurut Abdul Aziz Muhammad Azzam

dan Abdul Sayyed Hawwas yang menyatakan bahwa dalam Islam pernikahan

tidak hanya sebatas pemenuhan nafsu semata melainkan terdapat tujuan penting

yang berkenaan dengan ruang lingkup sosial, psikologis dan agama 49. Adapun

uraian secara detail pentingnya pernikahan sebagai berikut:

1) Menjaga kelangsungan gen manusia adalah salah satu fungsi

pernikahan. Melalui pernikahan, manusia mempertahankan keturunan,

memastikan aliran gen, dan memungkinkan regenerasi dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Pernikahan dianggap sebagai sarana

untuk memakmurkan kehidupan dan melaksanakan tanggung jawab

sebagai khalifah Allah SWT tanpa melanggar ajaran agama. Hal ini

sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Hadits Anas bin Malik.50

2) Pernikahan adalah fondasi kuat dari sebuah keluarga. Di dalamnya

terdapat hak-hak yang dianggap suci dan berlandaskan nilai-nilai

agama. Seseorang akan merasa bahagia karena adanya ikatan yang

suci, yang meningkatkan martabat kemanusiaannya. Ini berupa ikatan

48
Yusuf A. Duraiwsy, “Nikah Siri dan Kontrak”, (Jakarta: Darul Haq, 2010), h. 18
49
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, “Fiqih
Munakahat Khitbah, Nikah dan Talaq, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 39-41
50
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram bin Abdillah Ahkam, alih bahasa Harun
Zendan Zaenal Muttaqin, (Bandung: Jabal, 2013), h. 245
45

rohani dan jiwa yang mengangkat derajat manusia, menjadikannya

lebih mulia daripada tingkat hewan yang hanya terkait dengan

dorongan nafsu antara jantan dan betina. Lebih dari itu, hubungan

suami-istri juga merupakan sumber kedamaian jiwa, kasih sayang, dan

pengertian.

3) faedah nikah, diantaranya, nikah dapat menyegarkan jiwa, hati menjadi

tenang, dan memperkuat ibadah Karena jiwa bersifat mudah bosan,

melawan dan lari dari kenyataan, akan tetapi jika disenangkan dengan

kenikmatan dan kelezatan di sebagai waktu ia akan kuat dan semangat.

Kasih sayang dan bersenang-senang dengan istri akan menghilangkan

rasa sedih dan menghibur hati. Demikian disampaikan bagi orangyang

bertaqwa, jiwanya dapat merasakan kesenangan dengan perbuatan

mubah (nikah).

4) Nikah sebagai perisai bagi manusia. Nikah dapat menjaga diri

kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang

diharamkan dalam agama. Pernikahan tidak membahayakan bagi umat,

tidak menimbulkan kerusakan, tidak berpengaruh dalam bentuk sebab

kebintangan, tidak menyebabkan tersebarnya kefasikan, dan tidak

menjerumuskan para pemuda dari kebebasan.

5) Melawan hawa nafsu. Nikah menjadikan tersalurnya nafsu manusia

menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan

hak-hak istri dan anak-anak serta mendidik mereka. Nikah juga


46

melatih kesabaran terhadap akhlak istri dan usahaoptimal memperbaiki

dan memberikan petunjuk jalan agama.51

Perkawinan memiliki unsur hukum perdata yang terdapat didalamnya

berbagai ketentuan yang pada akhirnya disebut sebagai asas atau aturan dasar

perkawinan, sebagaimana dalam hal ini adalah Ikatan perkawinan merupakan

suatu perjanjian sakral dan suci antara seorang pria dan wanita, yang mempunyai

segi-segi perdata. Adapun asas-asas perkawinan yang terdapat dalam Kompilasi

Hukum Islam adalah, Perkawinan suatu akad yang sangat kuat atau mitasaqan

gholidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah ibadah.

4. Kewenangan Pengadilan Agama

Lembaga peradilan dalam suatu Negara merupakan hal yang sangat

strategis dan menentukan kerena lembaga peradilan bertindak untuk

menyelesaikan sengketa yang terjadi di dalam masyarakat dan memberikan sanksi

pada anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan

hukum yang telah ditentukan. Dengan adanya lembaga peradilan diharapkan

masyarakat tidak melakukan perbuatan yang merugikan pihak lain dengan

melakukan tindakan main hakim sendiri (eigenreichting), namun semua persoalan

hukum diselesaikan melalui lembaga peradilan.52

51
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, “Fiqih
Munakahat Khitbah, Nikah dan Talaq, h. 41
52
Eka Susylawati, “Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Perkara
Kewarisan Islam berdasarkan UURI Peradilan Agama” (Surabaya: Duta Media Publishing,
2017), h. 2
47

Peradilan Agama adalah proses pemberian keadilan melalui proses

persidangan di Pengadilan Agama.53 Peradilan Agama merupakan salah satu

peradilan yang bersifat khusus, yang mempunyai kewenangan khusus yang

ditujukan kepada umat Islam dengan ruang lingkup kewenangan yang khusus baik

mengenai perkaranya maupun para pencari keadilannya (justiciabel).54 Secara

historis eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia terlebih dahulu ada apabila

dibandingkan dengan pengadilanlain, misalnya Pengadilan Negeri. Dalam sejarah

Peradilan Agama di Indonesia keberadaannya telah memakan waktu yang

panjang, sepanjang keberadaan hukum Islam itu sendiri. Pertumbuhan Islam

selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum Islamnya sendiri.

Adapun beberapa hal yang menjadi konteks atau alasan mendasar

berlakunya hukum Islam di wilayah Pengadilan Agama di Indonesia yakni:

a. Secara filosofis diketahui bahwa seluruh aspek kehidupan masyarakat

muslim Indonesia sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam baik pandangan

hidup, cita moral dan citahukum dalam kehidupan sosio kulturalnya.

Secara epistimologi, hal itu mempunyai peranan besar bagi terciptanya

kelahiran norma fundamental Negara yang terkandung dalam Pancasila.

Uraian itu menggambarkan hubungan antara epistemologi keislaman

masyarakat dan nilai-nilai filosofis dalam pancasila.

b. Secara sosiologis menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum

mempunyai tingkat aktualitas yang berkesinambungan. Berawal dari

53
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 101
54
Abdul Ghofur Anhori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006
(Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan),(Yogyakarta: UII Press, 2007), h. 1
48

bentuk kelompok sosial yang sangat minimal hingga menjadi bagian dari

masyarakat negara, masyarakat muslim mengaktualkan kebutuhan layanan

hukum dan peradilan dengan mentahkimkan permasalahan hukumnya

kepada pemuka agama yang dipandang mampu menjadi hakim untuk

memeriksa, mengadili dan menyelesaikan masalah hukum. Kondisi

tersebut tidak mampu diruntuhkan sejak zaman penjajahan sehingga

terpaksa diberi pengakuan dalam sejarah tata hukum kolonial. Tuntutan

layanan hukumberupa peradilan bagi masyarakat muslim harus diletakkan

pada kerangka tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia

sehingga berada dalam kesatuan system peradilan Negara.

c. Sejarah hukum Indonesia dapat membuktikan bahwa tata hukum kolonial

tidak mampu membendung arus tuntutan layanan hukum masyarakat

muslim sehingga pada akhirnya memberikan pengakuan dengan

menempatkan Peradilan Agama dalam tata hukum di Indonesia.55

Kekuasaan kehakiman Pasal 28 Ayat 1 Undang-undang Nomor 4Tahun

2004 tentang kewajiban hakim yaitu hakim wajib menggali, mengikuti nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Berbicara tentang hakim dan

putusan hakim di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan tentang

keadilan dan kepastian hukum. Hal ini disebabkan kedua kata tersebut merupakan

unsur yang esensial dalam hukum termasuk putusan hakim. Grustav Radbruch

55
Zainuddin Ali, “Signifikansi Penyusunan RUU Hukum Kewarisan di
Indonesia(Filosofis, Yuridis, Sosiologis dan Historis) dalam Problematik Hukum KewarisanIslam
Kontemporer di Indonesia”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat PuslitbangKehidupan
Keagamaan, 2002) h. 19-20
49

mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum,

yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.56

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 28 Ayat (1) tentang kewajiban hakim yaitu hakim wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup di masyarakat.57 Pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara harus

benar-benar memiliki kepastian hukum demi terwujudnya keadilan. Masyarakat

membutuhkan suatu keadilan dari aturan hukum yang dibentuk darisuatu

penetapan hakim tersebut. Dalam memberikan pertimbangan seorang hakim harus

terlepas dari campur tangan oleh pihak manapun yang berusaha mempengaruhi

putusan yang akan dihasilkan oleh hakim dan obyektif terhadap perkara yang

diperiksa. Hal ini untuk menjaga eksistensi lembaga peradilan dan hakim itu

sendiri.

Secara yuridis formal Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah

mengeluarkan regulasi yang mengatur penanganan dan penyelesaian perkara

dispensasi nikah atau dispensasi kawin. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2019 tentang perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan hanya

diizinkan jika pihak pria berusia minimal 19 tahun dan pihak wanita minimal 19

tahun.

56
Yusuf Qardhawi, Al-Fiqh Al Islami Bayn Al-Ashalah wa At-Tajdid, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1999), h. 89
57
Satjipto Rahardjo, Hati Nurani Hakim Dan Putusannya: Suatu Pendekatan Dari Perspektif ilmu
Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2007), h. 44
50

Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili

Permohonan Dispensasi Kawin. Peraturan Mahkamah Agung ini ditetapkan pada

tanggal 20 November 2019 dan diundangkan pada tanggal 21 November 2019

untuk diketahui dan diberlakukan bagi segenap lapisan masyarakat. Adapun

tujuan ditetapkannya pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin adalah

untuk:

a. Menerapkan asas sebagaimana dimaksud Pasal 2, yaitu asas

kepentingan terbaik bagi anak, asas hak hidup dan tumbuh kembang

anak, asas penghargaan atas pendapat anak, asas penghargaan harkat

dan martabat manusia, asas non diskriminasi, keseteraan gender, asas

persamaan di depan hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas

kepastian hukum.

b. Menjamin pelaksaan sistem peradilan yang melindungi hak anak

c. Meningkatkan tanggungjawab orang tua dalam rangka pencegahan

perkawinan anak.

d. Mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi

pengajuan permohonan dispensasi kawin.

e. Mewujudkan standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi

kawin di pengadilan

Peraturan Mahkamah Agung ini fokusnya melindungi anak, karena anak

merupakan amanah dan karunia Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Anak

memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya serta memiliki hak yang
51

sama untuk tumbuh dan berkembang. Semua tindakan mengenai anak yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, negara atau swasta,

pengadilan, penguasa administratif atau badan legislatif, dilaksanakan demi

kepentingan terbaik bagi anak, demikian ditegaskan dalam Konvensi tentang Hak-

Hak Anak, di mana Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut melakukan

adopsi konvensi tersebut.

Dalam hal perkawinan telah ditentukan bahwa perkawinan hanya

diizinkan bagi mereka yang telah memenuhi persyaratan usia. Bagi mereka yang

telah memenuhi syarat usia perkawinan, maka perkawinan dapat dilaksanakan

sebagaimana mestinya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas dan juga karena proses

mengadili permohonan dispensasi kawin belum diatur secara tegas dan rinci

dalam peraturan perundang-undangan dan demi kelancaran penyelenggaraan

peradilan, maka Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang

Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Peraturan Mahkamah Agung

ini ditetapkan pada tanggal 20 November 2019 dan diundangkan pada tanggal 21

November 2019 untuk diketahui dan diberlakukan bagi segenap lapisan

masyarakat.58

Pengadilan Agama dalam menerima permohonan dispensasi kawin tidak

hanya hakim yang kemudian melakukan proses dari permohonan namun dalam

hal ini panitea memiliki kewenangan memeriksa pengajuan permohonan


58
Pengadilan Agama Bojonegoro Kelas IA,
https://www.pa-bojonegoro.go.id/article/Dispensasi-Kawin-Menurut-Peraturan-Mahkamah-
Agung-RI-Nomor-5-Tahun-2019
52

dispensasi kawin yang secara administrasi tidak terpenuhi, pada wilayah ini

panitera berhak mengembalikan permohonan dispensasi kawin kepada pemohon

untuk dilengkapi. Namun jika permohonan Dispensasi Kawin telah memenuhi

syarat administrasi, maka permohonan tersebut didaftar dalam register, setelah

membayar panjar biaya perkara. Dalam hal Pemohon tidak mampu dapat

mengajukan permohonan dispensasi Kawin secara cuma-Cuma (prodeo).

Adapun hakim yang mengadili permohonan Dispensasi Kawin adalah:

a. Hakim yang sudah memiliki Surat Keputusan Ketua Mahkamah

Agung sebagai Hakim Anak, mengikuti pelatihan dan/atau bimbingan

teknis tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum atau

bersertifikat Sistem Peradilan Pidana Anak atau berpengalaman

mengadili permohonan Dispensasi Kawin

b. Jika tidak ada Hakim sebagaimana tersebut di atas, maka setiap Hakim

dapat mengadili permohonan Dispensasi Kawin.

Selain menguraikan mengenai keberlakuan hukum Islam yang ada di

Indonesia maka pada pembahasan berikut ini menyoal tentang perkara pengajuan

permohonan dispensasi perkawinan pada usia anak termasuk perkara permohonan,

yakni perkara yang tidak mengandung sengketa di dalamnya. Hanya ada satu

pihak yakni pemohon. Hasil akhir dari pemeriksaan perkara permohonan adalah

dijatuhkannya penetapan Hakim. Berdasarkan ketentuan pasal 178 ayat 1 HIR,

dihubungkan dengan ketentuan Pasal 53 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009, dalam

menjatuhkan penetapan dan putusan harus memuat pertimbangan hukum hakim


53

yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar 59. Sedangkan

bagian konsideran dalam penetapan Hakim sebagaimana dapat dilihat pada data

suatu penetapan serta wawancara dengan narasumber, pertimbangan Hakim dalam

mengabulkan permohonan pada umumnya:

1) Pertimbangan Fakta

Sebelum memeriksa Hakim selalu memberi nasehat kepada orang tua

sebagai pemohon serta anak yang diajukan dispensasi untuk menunda perkawinan

hingga usia anak memenuhi syarat yakni calon mempelai perempuan dan laki-laki

berusia 19 tahun. Adapun beberapa poin yang menjadi pertimbangan hakim yakni

sebagai berikut:

a. Mendengar kedua orang tua calon yang telah menyetujui rencara

pernikahan

b. Calon suami menyatakan siap bertanggung jawab menjadi suami

c. Calon suami istri sudah memiliki hubungan special yang cukup lama

sehingga apabila dibiarkan dapat mengakibatkan terjadinya perbuatan

yang dilarang dalam agama.

d. Pertimbangan didasarkan pada keterangan dari pemohon yang dalam hal

ini adalah orang tua

e. Pertimbangan hakim didasarkan pada keterangan dari pemohon, pihak

besan serta kedua calon pasangan.

2) Pertimbangan Hakim

59
Sudikno Mertokusumo,”Hukum Acara Perdana Indonesia”, (Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya, 2010), h.
54

a. Memberikan dispensasi perkawinan dapat memberikan manfaat terbaik

bagi anak, terutama dalam situasi di mana kehamilan telah terjadi. Hal ini

bertujuan untuk menjaga kehormatan keluarga dan masa depan calon

pasangan. Dispensasi ini juga dapat memberikan kemaslahatan dengan

mencegah perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

b. Dasar hukum yang digunakan untuk memberikan dispensasi perkawinan

adalah Pasal 7 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Selain itu, prinsip hukum fiqih Islam yang ditegaskan adalah menolak

segala yang merusak lebih diutamakan daripada menarik segala yang

bermaslahat. Dalam hal ini, hakim tidak menggunakan Undang-Undang

Perlindungan Anak secara langsung. Undang-Undang Perlindungan Anak

baru akan dipergunakan jika orang tua tidak setuju dengan perkawinan

tersebut dan mengajukan permohonan untuk mencegah perkawinan usia

anak. Namun, hingga saat ini, tidak ada permohonan dari orang tua yang

diajukan untuk mencegah perkawinan usia anak..60

60
Umi Habibah, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap Permohonan Dispensasi
Nikah Dibawah Umur”, Vol 4 No 3, 2023, h. 650-651
55

C. Kerangka Pikir

Penelitian Analisis Putusan Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama

Belopa Kabupaten Luwu memberikan arah dalam penentuan alur dari konsep

yang dilakukan oleh peneliti. Dalam penentuan untuk menemukan analisis

putusan pengadilan tersebut maka peneliti menjabarkannya dalam bentuk

kerangka pikir, adapun skemanya sebagai berikut:

AL-QUR’AN DAN AL-HADIS

UURI NO. 16 TAHUN 2019 PERUBAHAN ATAS


UURI NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Dispensasi Kawin Pengadilan Agama


Belopa

Dasar Pertimbangan Tinjauan Yuridis


Hakim

Tijauan Hukum Islam

Hasil Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir di atas memberikan penjelasan bahwa,

dispensasi nikah sebagai tolak ukur dalam menganalisis suatu kejadian yang ada

di Pengadilan Agama Belopa. Problematika dispensasi nikah ini perlu suatu

pengkajian secara mendalam untuk mencari tahu apa sebab dari maraknya praktek

dispensasi nikah. Olehnya itu putusan Pengadilan Agama Belopa sebagai instansi

yang akan memberikan keterangan lebih lanjut.


BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif.

Dalam mengerjakan penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan hukum

sosiologis. Penelitian hukum sosiologis ini dilakukan dengan merumuskan

hipotesis dan adapun hipotesis merupakan simpulan sementara yang ditemukan

atas dasar teori dan observasi terhadap fenomena yang ada. 61 yang dilakukan

berupa pengkajian normatif mengenai UURI No.16 Tahun 2019 (dispensasi

nikah) dan UURI No. 1 Tahun 1974 (Perkawinan).

B. Fokus Penelitan

Fokus penelitian bermanfaat bagi pembatasan objek penelitian yang

diangkat manfaat lainnya agar peneliti tidak terjebak pada banyaknya data yang

diperoleh di lapangan. Penentuan fokus penelitian lebih diarahkan pada tingkat

kebaruan informasi yang akan diperoleh dari situasi sosial dan putusan Pengadilan

Agama Belopa. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi studi kualitatif sekaligus

membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan mana data yang

tidak relevan.

C. Definisi Istilah

Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan

pemahaman dan perbedaan penafsiran dengan istilah-istilah dalam judul.

Sebagaimana dalam judul tersebut mengenai Analisis Putusan Dispensasi Nikah

61
Meray Hendrik Mezak, “Jenis, Metode dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum”, Vol.
5, No. 3, h. 92. https://www.academia.edu/download/33676150/lw-05-03-2006-
jenis_metode_dan_pendekatan.pdf. 31 Agustus 2023

56
57

Di Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu. Adapun secara defenisi yang

perlu dijelaskan sabagai berikut:

1. Analisis putusan merupakan suatu tolak ukur yang akan dijadikan bahan bagi

peneliti dalam menentukan hasil dari pernikahan dispensasi nikah yang terjadi

di wilayah kerja Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu.

2. Dispensasi nikah adalah topik utama dalam penelitian ini, dimana kajian yang

akan dilakukan peneliti terkait dispensasi nikah merujuk pada fenomena yang

marak terjadi di Kabupaten Luwu.

3. Perkawinan adalah suatu ikatan suci antara laki-laki dan perempuan dalam

membina rumah tangga yang secara harmonis dan bermartabat

D. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu

memberikan data seteliti mungkin tentang keadaan atau gejala lainnya sehingga

mendapatkan data yang menyeluruh dari perilaku manusia atau sekelompok

manusia, sebagaimana yang terjadi di lapangan. Penelitian ini akan dilakukan

menggunakan metode wawancara terhadap Pihak Pengadilan Agama Belopa di

Kabupaten Luwu.

E. Data dan Sumber Data

Adapun data dan sumber data yang dimaksudkan ialah :

1. Data Primer, yaitu merupakan data yang secara langsung diperoleh dari

responden dengan melakukan wawancara. Data primer diperoleh dari Hakim

Pengadilan Agama dan Panitera pengadilan Agama Belopa.


58

2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari jurnal, artikel, tesis, buku,

serta situs-situs internet yang berkenaan dengan muatan materi pada judul yang

diangkat.

F. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan ialah :

1. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengamati serta mencari data yang berkaitan

dengan penelitian yaitu tentang Analisis Putusan Dispensasi Nikah di Pengadilan

Agama Belopa Kabupaten Luwu. Observasi dilakukan dengan melihat fenomena-

fenomena yang terjadi khususnya mengenai putusan pengadilan agama dalam hal

dispensasi nikah.

2. Wawancara
Peneliti dalam hal ini aktif bertanya kepada narasumber dalam memperoleh

jawaban atau tanggapan. Dalam teknik pengumpulan data melalui wawancara

metode yang digunakan adalah metode primer yaitu data yang dihasilkan dari

wawancara merupakan data yang utama dengan tujuan untuk menjawab

permasalahan sesuai dengan rumusan masalah. Wawancara akan dilakukan

dengan Hakim atau petugas Pengadilan Agama Belopa untuk mengetahui proses

perkara dispensasi nikah.

3. Dokumentasi

Peneliti akan mengambil data pada informan penelitian berupa buku, arsip,

dokumen, tulisan, angka dan gambar. Adapun dokumentasi yang akan dilakukan

dalam penelitian ini dengan memuat foto-foto lokasi dan kegiatan wawancara,
59

data-data lapangan yang terkait dengan penelitian, serta rekaman wawancara

dengan semua informan.

G. Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan merupakan pedoman tertulis tentang wawancara,

atau pengamatan, atau daftar pertanyaan, yang dipersiapkan untuk mendapatkan

informasi. Instrumen ini disebut dengan pedoman pengamatan dalam pelaksanaan

penelitian yang terkait dengan wawancara, pedoman dokumenter, serta sesuai

dengan metode yang akan dipergunakan. Begitupun jika metode pengumpulan

datanya adalah dokumentasi, instrumennya adalah format pustaka atau format

dokumen. Secara operasional, pengukuran merupakan suatu tahapan untuk

perbandingan antar atribut yang akandiukur menggunakan alat ukurnya.

H. Pemeriksaan Keabsahan Data


Dibutuhkan data yang valid dalam suatu penelitian sehingga dapat

memperoleh kepercayaan yang berkaitan dengan kebenaran dari hasil penelitian

yang dilakukan. Dalam pengujian keabsahan data, pengujian data dalam penelitian

kualitatif terdiri atas beberapa pengujian, yaitu sebagai berikut:

1. Uji Kredibiltas

Ukuran tentang keakuratan data yang didapatkan melalui instrumen

disebut dengan Uji Credibility (Kredibilitas).Suatu penelitian dikatakan

kredibilitas apabila instrumen yang digunakan mengukur variabel yang

sesungguhnya dan data yang diperoleh sesuai dengan kebenaran.

2. Transferabilitas

Transferabilitas berkaitan dengan generalisasi. Dengan hal ini dimana

perumusan generalisasi dapat juga digunakan pada masalah-masalah lain di luar


60

ruang lingkup penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak menjamin

terkait dengan hasil penelitian pada subjek lain. Tujuan penelitian kualitatif tidak

untuk menggeneralisasi hasil penelitian sebab penelitian kualitatif ini teknik

Purposive.

3. Depenbilitas

Dependabilitas dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan

proses penelitian. Uji dependabilitas digunakan untuk menentukan bahwa

penelitian yang dilakukan benar-benar ada dan data yang diperoleh berasal dari

informan yang terkait.

4. Objektivitas

Sebuah penelitian dapat dikatakan bersifat objektivitas jika dibenarkan

oleh peneliti lainnya. Terkait dengan hal ini, uji Confirmability adalah suatu tahap

pengujian terhadap hasil penelitian yang dihubungkan dengan serangkaian proses

yang telah dilakukan. Dalam hal ini, hasil dari penelitian tersebut adalah bagian

fungsi dari serangkaian tahapan penelitian yang telah dilakukan.Maka hasil

penelitian tersebut telah memenuhi standar Confirmability.

I. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses dalam mencari serta menyusun data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan di lapangan dan bahan-bahan lain

yang disusun secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami serta hasil

dari penelitian tersebut dapat diinformasikan kepada orang lain. Beberapa teknik

pengelolaan dan analisis data kualitatif yang digunakan peneliti yaitu:


61

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan bentuk analisis data yang memperjelas,

mengelompokkan, mengarahkan, dan membuang yang tidak perlu,

mengorganisasi data sedemikian rupa serta merangkum semua hal-hal pokok

dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang

lebih jelas yang kemudian nantinya akan dijadikan sebagai kesimpulan akhir.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah salah satu teknik dari analisis kualitatif, dengan

adanya data yang disajikan oleh peneliti sehingga mampu memahami fenomena

yang terjadi, dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan dan mengambil

keputusan dalam bertindak.Adapun pada penelitian ini, penyajian data disajikan

dalam bentuk narasi terhadap data yang telah direduksi tentang fenomena yang

sedang diteliti ma diamati.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk

mengambil tindakan setelah data yang diperoleh telah direduksi dan disajikan

dalam bentuk narasi, selanjutnya peneliti menarik kesimpulan terhadap hasil

penelitian sebagai ringkasan terhadap hasil penelitian.


BAB IV

DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

A. Profil Lokasi Penelitian

1. Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu

Sumber: https://pa-belopa.go.id/tentang-pengadian/profile-pengadilan/sejarah-pengadilan

Sebelum terbentuknya Pengadilan Agama Belopa, masyarakat wilayah

Kabupaten Luwu termasuk dalam yurisdiksi Pengadilan Agama Palopo. Namun,

dalam upaya untuk mewujudkan pemerataan akses terhadap keadilan dengan cara

yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, Pemerintah, di bawah kepemimpinan

Presiden, merasa perlu membentuk Pengadilan Agama Belopa. Berdasarkan

pertimbangan tersebut, dibentuklah dasar hukum untuk pembentukan Pengadilan

Agama Belopa yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2016

tentang Pembentukan 85 Pengadilan baru di berbagai wilayah Republik

62
63

Indonesia. Keputusan ini ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia saat

itu, Ir. Joko Widodo..

Menyusul Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2016 tentang

Pembentukan Peradilan Agama di Indonesia, pada hari Senin, tanggal 22 Oktober

2018, Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, SH.,

MH. secara resmi meresmikan operasionalisasi 85 Pengadilan Baru di seluruh

Indonesia. Upacara peresmian dilaksanakan di Melonguane, ibu kota Kabupaten

Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Peresmian Pengadilan baru yang ke-

85 ini di Kabupaten Kepulauan Talaud memiliki makna tersendiri karena wilayah

ini merupakan yang paling utara di Indonesia Timur dan langsung berbatasan

dengan Davao del Sur, Filipina. Pemilihan lokasi peresmian ini merupakan

bentuk perhatian dan penghargaan dari pimpinan Mahkamah Agung terhadap

satuan kerja yang beroperasi di wilayah terpencil dan pulau-pulau terdepan

Indonesia.

Dari total 85 Pengadilan Baru yang diresmikan, 50 di antaranya adalah

Pengadilan Agama baru dan 3 Mahkamah Syar'iyah baru. Selain itu, terdapat 30

Pengadilan Negeri baru dan 2 Pengadilan Tata Usaha Negara baru. Pengadilan

Agama Belopa termasuk dalam 50 Pengadilan Agama baru yang diresmikan.

Meskipun sarana dan prasarana yang tersedia terbatas, namun berkat kerjasama

yang baik antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan pemerintah daerah

setempat, Pemerintah Kabupaten Luwu telah menyiapkan sebagian Kantor Dinas

Perhubungan sebagai Kantor sementara Pengadilan Agama Belopa dengan status

pinjam pakai. Dengan kondisi tersebut, Pengadilan Agama Belopa siap melayani
64

masyarakat yang membutuhkan akses keadilan di wilayah yurisdiksi Kabupaten

Luwu.62

Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu berperan sebagai lembaga

kehakiman tingkat pertama bagi warga yang membutuhkan penyelesaian perkara

perdata khusus yang berlandaskan hukum Islam. Hal ini sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang

mengatur tentang peradilan agama. Pengadilan ini berada dalam yurisdiksi

Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Pengadilan Agama Belopa Kabupaten

Luwu berstatus sebagai Pengadilan Agama Kelas II dan berada di bawah

yurisdiksi Pengadilan Tinggi Makassar. Kantor Pengadilan Agama Belopa

terletak di Jalan Tomptikka, Kelurahan Sabe, Kecamatan Belopa Utara,

Kabupaten Luwu. Wilayah hukum Pengadilan Agama Belopa mencakup 22

kecamatan di Kabupaten Luwu, yaitu:.

1) Kecamatan Larompong dengan 11 Desa/1 Kelurahan

2) Kecamatan Larompong Selatan terdiri dari 11 Desa/1 Kelurahan

3) Kecamatan Suli terdiri 10 Desa/1 Keluarahan

4) Kecamatana Suli Barat terdiri 6 Desa/1 Kelurahan

5) Kecamatan Belopa terdiri dari 5 Desa/1 Kelurahan

6) Kecamatan Kamanre terdiri dari 6 Desa

7) Kecamatan Belopa Barat terdiri dari 3 Desa

8) Kecamatan Belopa Utara terdiri dari 8 Desa

9) Kecamatan Bajo dengan 11 Desa

62
Diakses Melalui, https://pa-belopa.go.id/tentang-pengadian/profile-pengadilan/sejarah-
pengadilan. Tanggal 5 Oktober 2023
65

10) Kecamatan Bajo Barat terdiri dari 7 Desa

11) Kecamatan Bastem terdiri dari 24 Desa

12) Kecamatan Latimojong terdiri dari 10 Desa

13) Kecamatan Bupon dengan 9 Desa

14) Kecamatan Ponrang terdiri 10 Desa

15) Kecamatan Ponrang Selatan terdiri dari 11 Desa

16) Kecamatan Bua terdiri dari 13 Desa

17) Kecamatan Walenrang terdiri dari 9 Desa

18) Kecamatan Walenrang Utara terdiri dari 9 Desa

19) Kecamatan Walenrang Timur terdiri dari 8 Desa

20) Kecamatan Lamasi dengan 9 Desa

21) Kecamatan Walenrang Barat dnegan 4 Desa

22) Kecamatan Lamasi Timur terdiri dari 6 Desa

2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu:

Sumber Gambar: Pengadilan Agama Belopa Kab. Luwu. 2023


66

3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu

Visi Pengadilan Agama Belopa adalah “Terwujudnya Pengadilan Agama

Belopa yang Agung”.

Misi Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu adalah sebagai berikut:

1) Menjaga kemandirian Pengadilan Agama Belopa

2) Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan bagi pencari keadilan

3) Meningkatkan kualitas kepemimpinan Pengadilan Agama Belopa

4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Pengadilan Agama Belopa.63

4. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Belopa

Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu melaksanakan tugasnya

dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 UURI No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan

Atas UURI No. 7 Tahun 1989 tentang Perdailan Agama adalah memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama

Islam pada bidang:

1) Perkawinan. Hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang

mengenari perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah, anatara

lain:

a) Izin beristri lebih dari seorang

b) Dispensasi kawin

c) Pencegahan perkawinan

63
Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu.
67

d) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun,

dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan

pendapat

e) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah

f) Pembatalan perkawinan gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri

g) Perceraian karena talak

h) Gugagatn perceraian

i) Penyelesaian harta bersama

j) Penguasaan anak-anak

k) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana

bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya

l) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak

m) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada

bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri

n) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua

o) Pencabutan kekuasaan wali

p) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan

seoarang wali dicabut

q) Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur

18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya.

r) Pembebanan kewajiban gantu kerugian atas harta benda anak yang ada di

bawah keusahaannya
68

s) Penetepan asal-usul seorang dan penetapan pengangkatan anak

berdasarkan hukum Islam

t) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

perkawinan campuran

u) Pernyataan tentang sahnya pernikahan yang terjadi sebelum UURI No. 16

tahun 2019 tentang pernikahan dan dijalankan menurut peraturan yang

lain.

2) Waris. Penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta

peninggala, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan

pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas

permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,

penentuan bagian masing-masing ahli waris.

3) Wasiat. Perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada

orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi

tersebut meninggal dunia.

4) Hibah. Pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari

seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

5) Wakaf. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagaian harta benda miliknya untu

dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentinganya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

syariah.
69

6) Zakat. Harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum

yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk

diberikan kepada yang berhak menerimanya.

7) Infak. Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna

menutupu kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan,

memberikan rezeki, atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan

rasa ikhlas dan karena Allah swt.

8) Shodaqoh. Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atai

lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu

dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah swt dan pahala semata.

9) Ekonomi syariah. Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut

prinsip syariah antara lain meliputi: Bank Syariah, lembaga keuangan mikro

syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dan syariah, obligasi

syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah,

pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan

syariah dan bisnis syariah.64

Selain tugas pokok di atas maka dalam hal ini Pengadilan Agama Belopa

Kabupaten Luwu mempunyai fungsi diantaranya sebagai berikut:

1) Fungsi mengadili (judicial Power).

Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara

yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal

29 UURI No. 3 Tahun 2006)

2) Fungsi pembinaan
64
Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu.
70

Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Keputusan

Mahkamah Agung Nomor KMA/080/VIII/2006 menegaskan bahwa sebagai

seorang pejabat struktural atau fungsional di bawah jajarannya, Anda memiliki

tanggung jawab untuk memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada

bawahan Anda dalam berbagai aspek, termasuk teknis yudisial, administrasi

peradilan, serta administrasi umum seperti perlengkapan, keuangan,

kepegawaian, dan pembangunan.

3) Fungsi Pengawasan

Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

mengamanatkan untuk mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas

dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan

Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajaran Anda. Hal ini bertujuan agar sistem

peradilan dapat diselenggarakan dengan cermat dan sesuai dengan standar yang

ditetapkan.

4) Fungsi Nasehat

Jika diminta, memberikan pertimbangan dan nasehat hukum Islam kepada

instansi pemerintah di wilayah hukumnya adalah kewajiban, sesuai dengan Pasal

52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

5) Fungsi administrative

Melaksanakan tugas administrasi peradilan, baik yang bersifat teknis dan

terkait dengan proses persidangan, serta mengelola administrasi umum, termasuk

manajemen kepegawaian, keuangan, dan perlengkapan umum, adalah bagian dari


71

tanggung jawab yang diemban sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung

Nomor KMA/080/VIII/2006.

6) Fungsi lainnya:

a. Berkoordinasi dengan instansi lain yang relevan, seperti Kementerian

Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi Islam, dan lainnya

dalam pelaksanaan tugas terkait penentuan awal bulan (hisab) dan

pengamatan hilal (rukyat) merupakan bagian dari kewajiban yang

diamanatkan oleh Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

b. Memberikan layanan penyuluhan hukum, layanan riset/penelitian, dan

kegiatan serupa, serta memastikan akses yang maksimal bagi masyarakat

dalam konteks keterbukaan dan transparansi informasi peradilan,

sepanjang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/144/SK/VIII/2007

mengenai Keterbukaan Informasi di Pengadilan.65

B. Hasil Penelitian

1. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Kawin di Pengadilan

Agama Belopa

Pertimbangan hakim dalam menetapkan dispensasi kawin di Pengadilan

Agama merupakan dasar dalam memutus perkara atau pengajuan pernikahan di

bawah umur. Dalam penetapan tersebut didasari dari UURI No.1 Tahun 1974

tentang perubahan atas perubahan UURI No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan

dalam hal ini terkait mengenai dispensasi kawin pada Pasal 7, selain itu majelis
65
Mahkamah Agung Republik Indoensia Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu,
“Fungsi Pengadilan Agama Belopa”. Diakses melalui,
https://pa-belopa.go.id/tentang-pengadian/tugas-pokok-dan-fungsi.
72

Hakim merujuk berdasar dari PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman

Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.

Adapun angka pernikahan di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Luwu

yang terdaftar di Pengadilan Agama Belopa sebagai berikut:

No Tahun Pemohon Dikabulkan Ditolak Tidak Gugur


Diterima

1 2019 81 75 3 1 2

2 2020 67 60 2 3 2

3 2021 69 61 3 1 1

4 2022 35 31 2 1 1

Total 252 227 10 6 6


Sumber Data: Pengadilan Agama Belopa Kab. Luwu, 2023

Data pada table di atas menunjukkan jumlah secara keseluruhan data

pemohon setahun setelah diresmikannya Pengadilan Agama Belopa pada Agustus

2018 sebagaimana dalam hal ini di tahun 2019 hingga tahun 2022 sebanyak 252

pemohon, sedangkan pada tahun 2018 yang diperoleh peneliti terdapat 2

pemohon66 dan dari angka tersebut dikabulkan oleh pengadilan agama Belopa

untuk melakukan perkawinan di bawah umur. Data di tahun 2018 ini mengalami

kenaikan di tahun 2019 pasca di revisinya usia perkawinan dengan jumlahnya

sebanyak 81 pemohon dan dikabulkan sebanyak 75 pemohon.

Selanjutnya, diperkuat dengan hasil studi lapangan yang diperoleh peneliti

di Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu yang menerangkan terkait

66
Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu, 2021
73

mengenai pandangan majelis Hakim dalam melihat gejala pernikahan di bawah

umur diterangkan sebagai berikut:

a) Hakim I

Kalau untuk pernikahan di bawah umur pasca perubahan umur perkawinan


tahun 2019 itu memang ada peningkatan tapi, peningkatan itu juga tidak
semerta-merta tanpa alasan dan alasan-alasan dari peningkatan itu juga
rata-rata karena pernikahan anak yang masih 18 tahun dan 16 tahun sudah
banyak mengajukan permohonan dispensasi kawin, apalagi Pengadilan
Agama Belopa melihat ini sebagai suatu hal yang memang sudah ditebak
sebelumnya selain itu, persoalan batasan usia dalam hal 19 tahun ini
dipertimbangkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya
dan yang termasuk banyak yang masuk dalam perkara dispensasi kawin ini
di usia 18 tahun atau dengan catatan mereka telah tamat dari SMA dan
rata-rata dari mereka ini sudah tidak ingin melanjutkan pendidikan
selanjutnya, maka pilihan terakhirnya adalah menikah dan secara otomatis
pihak orang tua termasuk pasrah akan hal tersebut karena didasari pula
dari hubungan mereka yang sudah cukup serius namun dalam memutuskan
perkara dispensasi nikah ini kami tetap merujuk di peraturan Mahkamah
Agung.67

Pandangan hakim terkait gejala pernikahan di bawah umur yang masuk di

Pengadilan Agama Belopa salah satunya didasari adanya anak yang sudah tidak

ingin melanjutkan pendidikannya. Rujukan batas usia kawin dalam Pasal 7 UURI

No. 16 tahun 2019 tidak hanya sebagai patokan mendasar dalam pendekatan

Hakim untuk menolak permohonan dispensasi kawin, namun UURI No. 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu rujukan dalam proses

lebih lanjutnya permohonan dispensasi kawin sebagaimana yang tertuang dalam


67
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim (Hakim Pengadilan Agama Belopa). Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
74

Pasal 1 ayat (2): “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara optimal dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selain mengulas jawaban dari narsumber di atas maka dalam hal ini yang

peneliti ajukan berupa pertanyaan yang menyangkut tentang alasan hakim dalam

menerima penetapan dispensasi kawin. Adapun keterangannya di uraikan sebagai

berikut:

Menerima atau menolak dispensasi kawin itu sekali lagi dilihat dari alasan
mendesaknya karena beberapa kali kami juga mengikuti pendidikan
latihan dan pembinaan dari Mahkamah Agung bahwa harus ditekankan
dalam menerima atau menolak dalam garis besar memeriksa dispensasi
kawin itu harus melalui mekanisme bagaimana disebutkan dalam
dispensasi peraturan Mahkamah Agung yakni diperiksa orang tuanya,
diperiksa calon besannya, diperiksa anaknya bahkan saksi dari keluarga ke
dua belah pihak pun diperiksa demi mencari tingkat urgensinya mereka
dalam menikahkan anaknya di usia yang belum cukup umur dan dalam
menyampaikan alasan-alasan untuk menikahkan anak tersebut beragam
macam alasan yang mereka sampaikan namun ketika alasan bahwa
perempuan telah hamil di luar nikah maka itu termasuk alasan yang sangat
mendesak dan tidak bisa untuk ditolak permohonannya. Jadi dalam
perkara dispensasi kawin ini kami juga menggunakan pendekatan
perspektif kebiasaan masyarakat di Kabupaten Luwu ini walaupun saya
secara pribadi dari Sumatera namun hal demikian tidak bisa untuk
ditanggal menyoal kebiasaan masyarakat Luwu.68

Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa dalam menetapkan

perkara permohonan dispensasai kawin mengacu pada pertauran Mahkamah

Agung Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan

Disepensasi Kawin. Mengenai beberapa alasan yang selama ini diterima oleh

68
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim, Hakim Pengadilan Agama Belopa. Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
75

Pengadilan Agama Belopa bahwa, salah satu alasan yang mendesak untuk

diterimanya permohonan yakni kategori anak yang dalam status urgen atau

dengan kata lain hamil di luar nikah dan disertakan bukti keterangan kesehatan

dari pihak rumah sakit.

Adapun keterangan alasan hakim dalam menolak penetapan dispensasi

kawin di bawah umur dijelaskan sebagai berikut:

Dalam menolak dispensasi kawin ini dadasari dari peraturan perundang-


undangan yang berlaku yang tertuang dalam UURI No. 16 Tahun 2019
yang didalamnya membahas mengenai batas usia kawin dan juga mengacu
pada Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman
Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.69

Keterangan hakim terkait mengenai alasan dalam menolak penetapan

dispensasi kawin di bawah umur mengacu pada UURI No. 16 Tahun 2019 tentang

batas usia kawin, selain itu hakim juga mengacu pada PERMA No. 5 Tahun 2019

(Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin) sebagaimana secara

substansi permohonan yang ditolak berdasarkan PERMA No. 5 tahun 2019 terkait

mengenai pemohon yang tidak mengikuti atau melengkapi persyaratan

administrasi yang telah ditentukan. Selanjutnya adapun keterangan yang diperoleh

peneliti dari hakim mengenai meyakinkan pemohon untuk tidak melakukan

pernikahan di bawah umur diterangkan sebagai berikut:

Kami menyelesaikan mengenai dampak-dampak dari pernikahan di bawah


umur diantaranya dampak yang pertama yakni tentang alat reproduksi
yang belum matang karena secara usia yang belum dewasa, secara mental
anak yang di bawah dari 19 tahun juga masih belum terbentuk
sepenuhnya, dalam artian belum mampu menghadapi suatu permasalahan
dengan cara yang dewasa, yang kedua rawan akan kekerasan dalam rumah
69
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim, Hakim Pengadilan Agama Belopa. Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
76

tangga, dan juga dimungkinkan terjadi perselingkuhan di usianya yang


masih muda lantaran belum mampu menyeimbangi kondisi pergaulannya.
Jadi kami juga meyakinkan orang tua jika memang mereka telah diberikan
dispensasi kawin maka perlunya pengawasan dengan catatan tidak
mengurusi segala sesuatu yang ada dalam rumah tangga mereka70

Beberapa hal yang digunakan hakim dalam memberikan edukasi atau

meyakinkan pemohon untuk tidak melangsungkan perkawinan di bawah umur

dengan menyampaikan tentang bahayanya kondisi fisik anak yang belum matang,

secara ekonomi yang belum stabil, pemikiran yang terlampau masih di bawah dari

kedewasaan, serta dimungkinkan timbulnya perceraian di usia dini. Adapun

masukan berupa nasehat yang disampaikan hakim kepada pemohon yang diterima

permohonan dispensasi kawinnya dijelaskan sebagai berikut:

Dalam hal ini pemohon atau orang tua dari yang dimintai dispensasi kawin
perlu adanya pengawasan yang tidak sampai mencampuri segala sesuatu
dalam rumah tangga anaknya, selain itu kondisi anak yang belum matang
secara ekonomi perlu dibawah pengawan atau bantuan orang tua karena
kebanyakan dari anak yang menikah di bawah umur ini belum mendapat
kerjaan atau kurang matang dalam mengelola ekonomi keluarganya. Kami
juga senantiasa memberikan pengajaran secara mendalam kepada si anak
agar menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang dalam agama agar
hubungan mereka senantiasa rukun.71

Selanjutnya keterangan berikut ini mengenai pendapat hakim terhadap

putusan yang ditolak namun pemohon tetap melakukan pernikahan secara siri.

Adapun jawaban hakim dikemukakan sebagai berikut:

Menyoal tentang perkawinan siri tentunya secara administrasi atau


pengakuan terhadap Negara tidak diperolehnya, dengan kata lain pasangan
tersebut cacat secara perdata dan hak keperdataan bagi anak yang
dilahirkan di kemudian hari juga cacat secara perdata. Jadi persoalan
70
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim (Hakim Pengadilan Agama Belopa). Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
71
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim (Hakim Pengadilan Agama Belopa). Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
77

pernikahan yang dilakukan di bawah tangan tentunya tidak dapat


dihalangi, namun kami senantiasa memberikan masukan kepada pihak atau
pelaku nikah di bawah umur terkait bagaimana dampak dari pernikahan di
bawah umur ini.72

Adapun solusi hakim dalam mencegah perkawinan di bawah umur

diterangkan sebagai berikut:

Untuk mencegah perkawinan di bawah umut saya rasa harus kolektif


khususnya di unsur terkecil dalam masyarakat yaitu kepada keluarga
karena kebanyakan pernikahan anak di bawah umur itu rata-rata
kurangnya pengawasan atau kurangnya edukasi dari keluarga mengenai
persoalan pernikahan. Jadi dalam pengawasan atau pemberian edukasi dari
keluarga disarankan agar kiranya tidak menekan anak dalam
menyampaikan.73

Selain menguraikan pendapat hakim terkait dinamika dispensasi nikah di

Kabupaten Luwu, peneliti juga memperoleh jawaban dari Panitera sebagaimana

dalam hal ini peneliti memperoleh jawaban mengenai gejala pernikahan di bawah

umur diterangkan sebagai berikut:

Kasus dispensasi kawin ini bukan kasus baru yang ada di Pengadilan
Agama dan tentunya kasus tersebut merupakan dilema bagi kami karena
pihak Pengadilan Agama senantiasa mengadakan penyuluhan pencegahan
kepada masyarakat terkait mengenai dampak dari pernikahan di bawah
umur namun karena pergaulan bebas yang tidak terkontrol sehingga bisa
dikatakan bahwa dampak dari timbulnya pernikahan di bawah umur ini
salah satu faktor terbesarnya yakni mengenai pergaulan bebas yang
berujung hamil di luar nikah dan mengenai dampak dari pernikahan di
bawah umur dapat terjadinya perceraian dini akibat persoalan kedewasaan
yang belum matang dan ditambah masalh perekonomian rumah tangga
yang tidak stabil, selain itu dampak lainnya yakni ancaman bagi anak yang
dilahirkan bisa terjangkit stunting.74
72
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim (Hakim Pengadilan Agama Belopa). Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
73
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim (Hakim Pengadilan Agama Belopa). Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
74
Hasil Wawancara, Awaluddin (Panitera Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu).
Pada Tanggal 30 Oktober 2023
78

b) Hakim II

Jawaban yang diperoleh peneliti yang dikemukakan oleh narasumber ke

dua menyangkut tentang pandangannya dalam melihat gejala pernikahan di bawah

umur yang terjadi di Kabupaten Luwu. Adapu jawaban yang dikemukan oleh

narasumber tersebut dikemukakan sebagai berikut:

Secara pribadi bahwa pernikahan di bawah umur ini sebenarnya melanggar


hukum karena undang-undang sudah jelas menerangkan hal tersebut
sebagaimana yang tertuang dalam perubahan UURI No. 1 Tahun 1974 atas
UURI No. 16 Tahun 2019 yang mempertegas secara usia di masing-
masing perempuan dan pria adalah 19 tahun dan dinamika yang terjadi di
masyarakat tentang pernikahan di bawah umur ini tentunya sangat miris
melihat fenomena seperti ini.75

Selanjutnya dalam pertanyaan ke dua menyoal tentang bagaimana alasan

hakim menerima penetapan dispensasi kawin di bawah umur. Adapun jawabannya

dikemukakan sebagai berikut:

Sebagai hakim kami menerima perkara setelah diberikan wewenang oleh


ketua pengadilan agama dan mengenai bagaimana pemeriksaannya
tentunya ketika sudah terdaftar maka akan dipanggil dari pihak keluarga
ke dua yang mengajukan dispensasi kawin dan juga yang dimohonkan
untuk menikah di bawah umur ini. Dari semua pihak tersebut akan
dimintai keterangan alasan mengapa mereka memilih dan atau
dimohonkan untuk mengajukan dispensasi kawin. Dari alasan-alasan
tersebut nantinya akan diperoleh jawaban baik penolakan maupun
diterimanya permohonan.76

c) Narasumber III

75
Nirwana, Majelis Hakim (Wakil Ketua Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu).
Pada Tanggal 12 Oktober 2023
76
Nirwana, Majelis Hakim (Wakil Ketua Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu).
Pada Tanggal 12 Oktober 2023
79

Pandangan Panitera tentang dampak pernikahan di bawah umur di atas

merupakan suatu hal yang telah marak terjadi terhadap akibat dari memilih

pernikahan di bawah umur dan adapun pandangan panitera pada pembahasan

yang kedua ini menyoal tentang putusan yang ditolak namun pemohon tetap

melangsungkan pernikahan secara siri/dibawah tangan. Adapun jawabannya

dikemukakan sebagai berikut:

Jadi, persoalan tersebut merupakan suatu jalan terakhir bagi mereka yang
memaksakan diri untuk menikah di bawah umur melalui hasil putusan
dispensasi kawin di pengadilan agama namun jika hal demikian ditolak
maka pilihannya adalah menikah di bawah umur, jadi semestinya pada
kasus seperti ini mesti dipertimbangankan sebijaksana mungkin karena
persoalan menikah di bawah umur banyak hal-hal yang akan ditempuhnya
pasca nikah dan tidak menutup kemungkinan di kemudian hari, pelaku
nikah di bawah umur ini juga yang akan merasakan bagaimana sulitnya
menikah di bawah umur dan dtimbah secara administrasi mereka tidak
memiliki legalitas terhadap Negara dan dimungkinkan untuk memperoleh
pelayanan kesehatan secara gratis itu tidak diperolehnya.77

C. Pembahasan

1. Analisis Deskripsi terhadap Pertimbangan Hakim dalam Penetapan

Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Belopa.

Pertimbangan Hakim terhadap penetapan dispensasi Kawin yang terdaftar

di Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu memiliki langkah atau prosedur

dalam penyelesaiannya, tidak semua permohonan dispensasi kawin yang masuk

dikabulkan. Pada persoalan ini peneliti memperoleh beberapa fakta lapangan dari

hasil studi wawancara yang digelar di Pengadilan Agama Belopa sebagaimana

prosedur dalam penetapan tersebut berdasarkan dari peraturan perundang-

77
Hasil Wawancara, Awaluddin (Panitera Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu).
Pada Tanggal 30 Oktober 2023
80

undangan dan adapun data permohonan dispensasi kawin yang dikabulkan sejak

tahun 2019 sampai dengan tahun 2022 di uraikan sebagai berikut:

Data Permohonan Dispensasi Kawin yang DiKabulkan


Pengadilan Agama Belopa
80 75
70 60 61
60
50 Dikabulkan
40
30 31
20
10
0
2019 2020 2021 2022

Data di atas menunjukkan sejak tahun 2019 sampai 2022 terdapat 252

pemohon yang mengajukan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Belopa

Kabupaten Luwu. Dari jumlah keseluruhan data pemohon tersebut terdapat 19

pemohon yang tidak diterima, ditolak dan gugur sehingga dapat disimpulkan 233

yang dikabulkan (inkra). Alasan dari hal tersebut bahwa pemohon tidak

memenuhi syarat formil, biaya perkara yang tidak dipenuhi dan ke dua orang tua

dari masing-masing yang diajukan permohonan dispensasi kawin tidak

menghadiri persidangan dalam memberikan kesaksian.

Permohonan pengajuan dispensasi kawin mengalami penurunan

sebagaimana pada data di atas khususnya tahun 2019 mencapai 75 pemohon yang

dikabulkan permohonan dispensasi kawinnya dalam proses persidangan

sedangkan di tahun berikutnya (2020) terdapat 60 permohonan yang dikabulkan,

artinya, ada penurunan sejumlah 15 perkara dari 75 perkara pada tahun 2019.
81

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa putusan Pengadilan Agama

Belopa dalam menerima dan menolak permohonan berdasarkan dari peraturan

Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili

Permohonan Dispensasi Kawin yang termuat pada Pasal 5 ayat (1): “Syarat

administrasi dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin adalah”:

c. Surat permohonan

d. Fotokopi KTP kedua orang tua/wali

e. Fotokopi Kartu Keluarga

f. Fotokopi KTP/Akta Kelahiran anak

g. Fotokopi KTP atau kartu identitas anak dan/atau akta kelahiran calon

suami/istri

h. Fotokopi ijazah pendidikan terakhir anak dan/atau surat keterangan

masih sekolah dari sekolah anak.

Pasal 5 ayat (1) di atas menunjukkan bahwa perkara yang diterima atau

dikabulkan merupakan syarat untuk menikahnya seorang anak sebagaimana

ketentuan pada pasal tersebut memberikan syarat administrasi yang

dipertimbangkan oleh hakim dalam putusan pengadilan dan dapat disimpulkan

bahwa perkara yang tidak diterima, gugur atau ditolak didasari dari persyaratan

administrasi yang tidak dipenuhi oleh pemohon sedangkan hasil wawancara yang

mempertegas bahwa permohonan yang tidak bisa ditolak didasari urgensitasnya

perkara dengan kata lain, terdapat pasangan yang telah mengalami hamil di luar

nikah (married by accident).78 Kondisi hamil di luar nikah merupakan perkara

78
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim (Hakim Pengadilan Agama Belopa), Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
82

yang cukup fatal namun dalam mencegah perselisihan terhadap seorang anak yang

menikah di usia di bawah umur tersebut diberikan pemahaman kepada ke dua

pihak orang tua dari anak tersebut yang terkhusus pada pengawasannya namun

tidak sampai mencampuri urusan rumah tangga mereka, sebagaimana pemahaman

dalam bentuk pengawasan hubungan rumah tangga anak, dalam Pasal 12 ayat (2)

Hakim memberikan nasehat untuk memastikan orang tua, anak, calon suami/isteri

dan orang tua/wali calon suami/isteri agar memahami resiko perkawinan sebagai

dijelaskan:

a. Kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak

b. Keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun

c. Belum siapnya organ reproduksi anak

d. Dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak

e. Potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.79

Ketentuan yang dikabulkan atas permohonan dispensasi kawin yang

disebabkan hamil di luar nikah sebagaimana yang diterangkan di atas berdasarkan

ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 sedangkan mengenai

fakta persidangan yang tidak diterima permohonannya dan pihak pemohon tetap

melangsungkan perkawinan secara siri (dibawah tangan) dalam pandangan Hakim

yang diperoleh peneliti bahwa hal tersebut merupakan dinamika yang terjadi di

tengah-tengah masyarakat dan tentunya tidak dihalangi atas pilihan mereka untuk

menikahkan anaknya, namun dampak yang diperoleh dari menikah siri ini salah

satu contohnya yakni ke dua mempelai (suami/isteri) tidak memperoleh pelayanan

79
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Dispensasi Kawin Pasal 12 ayat (2)
83

secara gratis dalam biaya persalinannya di kemudian hari, bantuan sosial dari

Negara dan ditambah pengurusan akta kelahiran anak yang menjadi hambatan

dalam pengurusannya, dalam hal tersebut dapak dikategorikan cacar secara

perdata.80

Uraian mengenai ketentuan secara administrasi dalam mengajukan

permohonan dispensasi kawin tidak dengan mudahnya diterima oleh Pengadilan

Agama sebagaimana ketentuan yang disampaikan pihak Pengadilan Agama

Belopa telah bersesuaian dengan ketentuan atau perundang-undangan yang

berlaku, selain itu pihak Pengadilan Agama Belopa juga memberikan solusi

pencegehan pernikahan di bawah umur yang diawali berupa edukasi dari keluarga

dengan pemberian pendidikan keluarga kepada anak yang tidak memberikan

penekanan secara kasar terhadap anak sebagaimana hal tersebut dipertegas oleh

Panitera bahwa pihak Pengadilan Agama senantiasa mengadakan penyuluhan

pencegahan kepada masyarakat terkait mengenai dampak dari pernikahan di

bawah umur.

Prinsip permohonan dispensasi kawin dalam mencapai putusan dari pihak

Pengadilan Agama Belopa dalam hal ini Hakim memiliki pertimbangan terhadap

permohonan yang dikabulkan dan tidak dikabulkan sebagaimana dalam mengadili

perkara dispensasi kawin ini hakim membutuhkan berupa bukti-bukti konkret

sebelum dimulainya proses persidangan. Bukti-bukti tersebut sebagai alat hukum

yang mengungkap fakta-fakta mengenai permohonan dispensasi kawin. Adapun

80
Hasil Wawancara, Mujiburrahman Salim (Hakim Pengadilan Agama Belopa). Pada
Tanggal 30 Oktober 2023
84

bukti-bukti sebagai syarat berdasarkan peraturan Perundang-undangan sebagai

berikut:81

a. Bukti surat, meliputi: fotocopy surat kelahiran atan nama anak

pemohon yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Kelurahn dan surat

Pemberitahuan Penolakan Melangsungkan Pernikahn (Model N-9)

yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA).

b. Bukti saksi, sebagaimana dalam hal ini bukti saksi biasa dihadirkan

oleh Hakim dalam persidangan adalan dua orang.

252 permohonan yang masuk di Pengadilan Agama Belopa sejak tahun

2019 sampai dengan 2022 bahwa terdapat 233 yang diputuskan dalam

permohonan dispensasi kawin sebagaimana dalam hal ini peneliti menilai

pemberian dispensasi kawin telah dipertimbangkan sesuai prosedur oleh majelis

hakim Pengadilan Agama Belopa dengan disesuaikan atas undang-undang yang

berlaku. Dalam pemberian dispensasi kawin tersebut dapat digambarkan bahwa

putusan hakim Pengadilan Agama Belopa cukup mempermudah pemohon dalam

menerima putusan dispensasi kawin yang terhitung sejak tahun 2019 hingga

tahun 2022.

Penetapan hasil pertimbangan hakim Pengadilan Agama Belopa yang

mengeluarkan dispensasi kawin bagi pemohon dewasa ini menyita perhatian

peneliti bahwa dapat disimpulkan pemberian dispensasi kawin di tahun 2023

lebih ketat lagi yang ditandai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 12 Tahun

81
Team Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Buku Saku Pedoman Mengadili
Permohonan Dispensasi Kawin, (Jakarta: Mahkamah Agung RI bersama Indonesia Judicial
Research Society, 2020), h. 58
85

2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dalam peraturan

undang-undang tersebut menerangkan dalam Pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 yakni:

1) Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang

di bawah kekuasaanya atau orang lain, atau menyalahgunakan

kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan

dengannya atau dengan orang lain, dipidana penjara paling lama 9 tahun

dan atau/denda pidana paling banyak Rp. 200.000.000.

2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. Perkawinan anak

b. Pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya

c. Pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.82

Berdasarkan ketentuan di atas dengan melihat fakta fenomena yang terjadi

di Kabupaten Luwu yang marak menikahkan anak dengan alasan kebudayaan

menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam memberikan kesadaran kepada

seluruh elemen masyarakat di Kabupaten Luwu, disamping itu hakim juga

memiliki rujukan terbaru untuk lebih memberikan penegasan terhadap unsur

pidana mengenai menikahkan anak di bawah umur.

2. Tinjauan Hukum Islam Dispensasi Kawin terhadap Penetapan Hakim

Pengadilan Agama Belopa

82
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Pasal 10 ayat (1) dan (2)
86

Al-Quran dan al-Hadis tidak tercantum secara jelas mengenai penetapan

batas usia perkawinan. Pernikahan dibawah umur dalam persepektif fiqh

merupakan pernikahan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Apabila

batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka perkawinan dibawah

umur adalah perkawinan dibawah usia 15 tahun menurut mayoritas fuqaha, dan

dibawah usia 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah. Sedangkan dalam

perspektif Imam Mazhab diterangkan sebagai berikut:

a. Imam Malik menetapkan 17 tahun bagi laki-laki maupun perempuan untuk

dikategorikan baligh. Namun demikian, pernikahan bagi yang masih dibawah

usia 17 tahun dianggap sah kalau menurut wali dapat mendatangkan kebaikan

bagi yang bersangkutan, demikian menurut Maliki. Sedangkan Imam Syafi’I

dan Hambali menentukan umur 15 tahun.83

b. Dari perspektif Iman Hanafi menjelaskan bahwa wacana tentang batasan

umur pernikahan tidak secara kongkrit menyebut umur, hanya saja secara

tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah baligh dan

berakal sebagaimana keduanya juga menjadi syarat umum bagi

operasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh

hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan

syarat keabsahan pernikahan. Dalam hal ini madzhab Hanafi menetapkan usia

baligh 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.84

Selain dari perspektif di atas dalam hal ini dalih yang digunakan oleh

masyarakat untuk memilih pernikahan di bawah umur selain dari faktor


83
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta, Basrie Prees, 1994), h. 23
84
Desi Amalia, “Pernikahan Di Bawah Umuru Perspektif Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia”, Jurnal Al-Ashriyyah, Vol. 3, No. 1, Mei 2017, h. 91
87

pergaulan bebas yang berujung hamil di luar nikah (married by accident) dan

faktor kebiasaan orang terdulu (kebudayaan) dalam hal ini terkait mengenai kisah

Rasulullah saw yang menikahi Aisyah r.a di usianya yang masih terbilang muda.

Mengenai pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah r.a, Ibnu Syubrumah

berpendapat bahwa hal demikian merupakan pengecualian atau suatu kekhususan

bagi Rasulluah saw yang tidak dianjurkan diberlakukan bagi umatnya. Jika

melihat pandangan jumhur ulama fiqh, Ibnu Syurumah dkk, apabila dikaitkan

dengan teori pemikiran hukum Islam yang dikenal dengan produk ijtihad,

memiliki status fatwa yang kebenarannya tidak terikat dan memaksa semua

orang.85

Hasil penelusuran peneliti yang diperoleh di Pengadilan Agama Belopa

mengenai landasan yang digunakan majelis Hakim dalam menetapkan perkara

dispensasi kawin sebagaimana yang diterangkan oleh Nirwana 86 bahwa, Majelis

Hakim dalam memeriksa perkara yang mengajukan dispensasi kawin anak yang

akan menikah namun belum memenuhi syarat usia sebagaimana ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan, maka aturan hukumnya berdasarkan Pasal 7 ayat

2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 jo. Pasal 49 ayat (1)

huruf (a) dan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

85
Desi Amalia, “Pernikahan Di Bawah Umuru Perspektif Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia”, h. 95
86
Hasil Wawancara, Nirwana (Wakil Ketua Pengadilan Agama Belopa). Pada Tanggal 12
Oktober 2023
88

2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,

maka perkara ini menjadi wewenang absolut Pengadilan Agama:

Secara formal yuridis, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah

mengeluarkan regulasi yang mengatur penanganan dan penyelesaian perkara

dispensasi nikah atau dispensasi kawin, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah oleh Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan. Dalam regulasi tersebut,

dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria berusia minimal 19

tahun dan pihak wanita juga minimal 19 tahun.

Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Panduan

Penyelesaian Permohonan Dispensasi Kawin. Peraturan Mahkamah Agung ini

disahkan pada tanggal 20 November 2019 dan diumumkan pada tanggal 21

November 2019 untuk dikenal dan dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Tujuan dari penetapan panduan ini adalah untuk:

1) Menerapkan asas sebagaimana dimaksud Pasal 2, yaitu asas kepentingan

terbaik bagi anak, asas hak hidup dan tumbuh kembang anak, asas

penghargaan atas pendapat anak, asas penghargaan harkat dan martabat

manusia, asas non diskriminasi, keseteraan gender, asas persamaan di depan

hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum

2) Menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak.

3) Meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan

perkawinan anak;
89

4) Mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan

permohonan dispensasi kawin;

5) Mewujudkan standarisasi proses mengadili permohonan dispensasi kawin di

pengadilan.

Fokus Peraturan Mahkamah Agung ini adalah untuk melindungi anak,

karena anak dianggap sebagai amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Anak memiliki martabat dan hak yang sama untuk hidup dan berkembang seperti

manusia lainnya. Setiap tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan

oleh lembaga-lembaga sosial, negara, swasta, pengadilan, pemerintah

administratif, atau badan legislatif harus dilakukan dengan mempertimbangkan

kepentingan terbaik bagi anak, sesuai dengan Konvensi tentang Hak-Hak Anak

yang telah diadopsi oleh Indonesia. Selain itu, dalam proses pemeriksaan, Hakim

wajib memperhatikan kepentingan terbaik anak sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam Pasal 16 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019:87

a. Mempelajari secara teliti dan cermat permohonan pemohon

b. Memeriksa kedudukan hukum Pemohon

c. Menggali informasi terkait ada tidaknya halangan perkawinan

d. Menggali informasi terkait dengan pemahaman dan persetujuan anak

untuk dikawinkan;

e. Memperhatikan perbedaan usia antara anak dan calon suami/isteri;

f. Mendengar keterangan pemohon, anak, calon suami/isteri dan orang

tua/wali calon suami/isteri;

87
Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 Pasal 16 Tentang Pedoman Mengadili
Permohona Dispenasasi Kawin.
90

g. Mendengar keterangan pemohon, anak, calon suami/istri dan orang

tua/wali calon suami/istri.

h. Mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya,

pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan orang tua, berdasarkan

rekomendasi dari psikolog, dokter/bidan, pekerja sosial profesional,

tenaga kesejahteraan sosial, pusat pelayanan terpadu perlindungan

perempuan dan anak (P2TP2A) atau Komisi Perlindungan Anak

Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD)

i. Memastikan komitmen orang tua untuk ikut bertanggungjawab terkait

masalah ekonomi, sosial, kesehatan dan pendidikan anak.

Penetapan dispensasi kawin yang digunakan Majelis Hakim di Pengadilan

Agama Belopa Kabupaten Luwu mengacu pada dinamika keadilan hukum yang

meliputi antara hak dan kewajiban demi penyelesaian hukum berdasar pada aturan

yang berlaku. Dinamika keadilan hukum ini lebih kepada penelusuran yang secara

menyeluruh terhadap setiap pihak yang sedang mengajukan dispensasi kawin.

Sebagaimana aturan PERMA No. 5 tahun 2019 menenrangkan bahwa:

1) Mempertimbangkan semua kepentingan bagi anak (meliputi hak hidup,

hak tumbuh berkembang, harkat martabat, tanpa diskriminasi, adanya

kesetaraan gender, persamaan kedudukan di depan hukum).

2) Jaminan pelaksanaan peradilan untuk perlindungan pada hak anak

3) Peningkatan tanggungjawab orangtua dalam pencegahan pernikahan anak.

4) melakukan identifikasi latar belakang mengajukan dispensasi kawin.88


88
M. Beni Kurniawan, ”Penafsiran Makna, Alasan sangat Mendesak Dalam
Penolakan Permohonan Dispensasi Kawin,” Jurnal Yudisial, Universitas Indonesia, Vo.
15, No. 1, 2022, h. 98
91

Penegakan keadilan hukum dalam menetapkan dispensasi kawin

mengikuti serangkaian tahapan yang telah dijelaskan di atas, dengan tujuan

mewujudkan jaminan keadilan hukum di tengah-tengah masyarakat. Prinsip

keadilan hukum yang ditegakkan oleh Hakim adalah memastikan adanya hak dan

kewajiban yang ideal. Putusan yang diambil berdasarkan pertimbangan keadilan,

baik untuk anak perempuan maupun anak laki-laki, dilakukan dengan tahapan

yang sama tanpa ada perbedaan perlakuan. Setiap pertimbangan harus

mempertimbangkan kemaslahatan bagi anak. Selain memperhatikan aspek

keadilan dalam hukum, Hakim juga selalu mengacu pada prinsip kepastian

hukum dalam mempertimbangkan setiap keputusan yang diambil:

a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-undang tentang perkawinan ini secara substansi memberikan

landasan terhadap hubungan seseorang antar lawan jenis dengan kata lain aturan

tersebut sebagai dasar dalam melakukan suatu perkawinan yang diakui oleh

Negara. Selanjutnya, dalam UU Perkawinan ini menerangkan tentang kepastian

hukum, bahwa setiap orang yang mengacu pada aturan perkawinan berada dalam

suatu ketertiban masyarakat.

b) UU No. 16 Tahun 2019 (Batas Usia Kawin)

Ketentuan atau hasil perubahan batas usia perkawinan dari usia 16 tahun

bagi wanita dan selanjutnya direvisi masing-masing 19 tahun merupakan

pencegahan kondisi fisik anak yang belum siap secara fisik maupun secara

sikologis, sehingga perkawinan di bawah umur rentan akan terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga, stunting, perceraian di usia muda, dan beberapa hal lainnya.
92

c) UU No. 7 Tahun 1989 (Peradilan Agama)

Salah satu pokok bahasan dalam UU tentang Peradilan Agama ini

mengacu tentang proses atau tata cara memeriksa, memutuskan, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antar orang-orang yang beragama

Islam yang dalam hal padan bidang perkawinan.

d) Perspektif Islam dalam Qs. Al-Nisa ayat 6/4:

‫َو اْبَتُلوا اْلَيٰت ٰم ى َح ّٰت ٓى ِاَذ ا َبَلُغ وا الِّنَك اَۚح َفِاْن ٰا َنْس ُتْم ِّم ْنُهْم ُر ْش ًدا َف اْدَفُع ْٓو ا ِاَلْيِهْم َاْم َو اَلُهْۚم َو اَل َتْأُك ُلْو َه ٓا‬

‫ِاْس َر اًفا َّو ِبَداًرا َاْن َّيْك َبُرْو ۗا َو َم ْن َك اَن َغ ِنًّيا َفْلَيْس َتْع ِفْۚف َو َم ْن َك اَن َفِقْي ًرا َفْلَيْأُك ْل ِب اْلَم ْع ُرْو ِۗف َف ِاَذ ا‬

‫َد َفْع ُتْم ِاَلْيِهْم َاْم َو اَلُهْم َفَاْش ِهُد ْو ا َع َلْيِهْۗم َو َك ٰف ى ِباِهّٰلل َحِس ْيًبا‬

Terjemahnya:

Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan
janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka
dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah
dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa
miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.
Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai
pengawas.

Tafsiran ayat tersebut menerangkan bahwa Pada pembahasan tentang

ketentuan umur seseorang untuk bisa menikah secara sah dalam pandangan Islam,

juga secara psikologi mempunyai kematangan jiwa serta mempunyai kemampuan

dalam berfikir dengan baik dalam menentukan status dirinya sebagaimana dalam

pandangan Al-Qurtubi bahwa kedewasaan tidak hanya berbicara kecerdasan

intelektual, tetapi kedewasaan juga dikaitkan mengenai usia. Al-Qurtubi


93

mengambil pendapat dari Imam Hanbal bahwa usia 15 tahun sudah dewasa,

disebabkan karena sudah baligh, walaupun belum bermimpi. Sedangkan ulama

madinah merujuk pada pendapat Abu Hanifah bahwa umur baligh yaitu 19 tahun,

hal tersebut adalah untuk seorang laki-laki sedangkan untuk seorang gadis

berumur 17 tahun.89

Maraknya pernikahan di bawah umur yang diajukan di Pengadilan Agama

Belopa Kabupaten Luwu sebagaimana yang diuraikan di atas bahwa kematangan

secara sikologis anak juga sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan

dispensasi kawin dan juga bagaimana proses berfikir anak ketika menghadapi

suatu masalah dalam keluarga. Selanjutnya pertimbangan hakim untuk

mengabulkan permohonan pada umumnya mengacu pada pertimbangan fakta,

bahwa hakim senantiasi memberikan nasehat kepada orang tua yang berstatus

pemohon dan berupaya untuk menunda perkawinan anak. Pertimbangan fakat

tersebut diuraikan sebagai berikut:

1) Mendengar kedua orang tua calon yang telah menyetujui rencana

pernikahan

2) Calon suami menyatakan siap bertanggung jawab menjadi suami

3) Calon suami istri sudah memiliki hubungan special yang cukup lama

sehingga apabila dibiarkan dapat mengakibatkan terjadinya perbuatan

yang dilarang dalam agama.

4) Pertimbangan didasarkan pada keterangan dari pemohon yang dalam

hal ini adalah orang tua

89
Abdullah, Abi Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Al-Qurtubi. “Al-Jami’ Al-Ahkam Al-
Qur’an”, (Beirut: Al-Resalah, 2006), h. 34
94

5) Pertimbangan hakim didasarkan pada keterangan dari pemohon, pihak

besan serta kedua calon pasangan.90

Beberapa hal tersebut merupakan dasar dalam memberikan penetapan

dispensasi kawin dan posisi orang tua anak dapat memberikan nasehat atas

hubungan anaknya karena masih dikategorikan di bawah umur, namun tidak dapat

secara penuh mengurusi rumah tangga mereka. Uraian mengenai hasil

pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan dispensasi kawin di

Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu mempertimbangkan pada posisi anak

yang telah terlanjur hamil di luar nikah, alasan ini salah satu bagian yang urgen

untuk diberikan penetapan dispensasi kawin dengan disertakan bukti-bukti

administrasi seperti keterangan kesehatan bahwa anak tersebut benar-benar telah

hamil. Mengenai dasar pertimbangan hakim ini merujuk dalam kaidah fiqiyah

Islam bahwa, menolak segala yang merusak lebih utamakan daripada menarik

segala yang bermaslahat dan muatan undang-undang Perlindungan Anak

dijadikan pertimbangan bilamana orang tua secara sepihak untuk menikahkan

anaknya di usia yang masih belia atau di bawah dari 19 tahun.

90
Umi Habibah, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap Permohonan Dispensasi
Nikah Dibawah Umur”, h. 651
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelusuran penelitian mengenai perkara dispensasi

kawin yang terdaftar di Pengadilan Agama Belopa Kabupaten Luwu maka dalam

hal ini peneliti mengemukakan beberapa kesimpulan yang dimuat sebagai

berikut:

1. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Dispensasi Kawin di Pengadilan

Agama Belopa mengacu pada aturan perundang-undangan Nomor 1 Tahun

1974 perubahan atas Undang-undang No. 16 Tahun 2019 pada Pasal 7 yang

menerangkan mengenai batas usia perkawinan yang dalam usia tersebut

masing-masing pria dan wanita pada usia 19 tahun, selain berdasarkan pada

undang-undang tersebut, majelis Hakim Pengadilan Agama Belopa Kabupaten

Luwu mempertimbangkan permohonan dispensasi kawin pada Peraturan

Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan

Dispensasi Kawin bahwa dalam Perma tersebut telah dijalankan oleh

Pengadilan Agama Belopa dan secara kemanfaatan dari perma No. 5 tahun

2019 ini memiliki kepastian hukum dan kemanfaatan hukum demi tercapainya

kesejahteraan masyarakat khususnya bagi anak di bawah umur.

2. Tinjauan hukum Islam terhadap Penetapan Hakim Pengadilan Agama Belopa

mengenai dispensasi kawin yang ada di Kabupaten Luwu merupakan upaya

memberikan kesadaran bagi masyarakat berstatus pemohon bahwa kisah

Rasulullah saw dan Aisyah r.a tidak bisa dijadikan dasar hukum Islam untuk

memilih pernikahan di bawah umur, selain itu majelis Hakim Pengadilan

95
96

Agama Belopa lebih banyak menemukan kasus pengajuan dispensasi nikah

didasari dari faktor pergaulan bebas yang berujung hamil di luar nikah, terdapat

anak yang menjadi korban orang tua dalam hal perekonomian keluarga, serta

taraf pendidikan yang rendah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dimuat di atas maka dalam hal ini peneliti

memberikan beberapa saran untuk mencegah pernikahan di bawah umur. Adapun

saran tersebut sebagai berikut:

1. Perlunya pemahaman orang tua sejak dini yang dibangun kepada anak bahwa

pernikahan di bawah umur bukan menjadi solusi terkhir untuk memberikan

kebahagian kepada anak.

2. Pencegahan pernikahan di bawah umur berdasarkan Undang-undang No. 16

Tahun 2019 yang memuat batas usia perkawinan tidak dapat dikecualikan

dilingkup keluarga, pendidikan dan sosial kemasyarkatan

3. Perlunya ketegasan pemerintah Kabupaten Luwu dalam memberikan

pemahaman kepada masyarakat bahwa tindakan pernikahan di bawah umur

memiliki unsur pidana yang termuat dalam Undang-undang Nomor 12 tahun

2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada Pasal 10 ayat 1 yang

menerangkan hukum penjera paling lama 9 tahun dan/atau denda paling

banyak Rp. 200.000.000.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,


“Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talaq, (Jakarta: Amzah, 2011).

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,


“Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talaq.

Abdul Ghofur Anhori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3


Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan),(Yogyakarta: UII Press,
2007).

Abdullah, Abi Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Al-Qurtubi. “Al-Jami’


Al-Ahkam Al-Qur’an”, (Beirut: Al-Resalah, 2006).

Abu Dawud Sulayman Sajastani, 2008. Mawsu’ah al-Hadis as-Sharif


al-Kutub as-Sittah. Riyad: Dar as-salam.

Ach. Puniman, “Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam dan


Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”, Vol. 19, No. 1, Mei 2018. Diakses
Melalui, http://ejournal.unira.ac.id/index.php/yustitia/article/view/408.

Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif


Hukum Progresif”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Ahmad Rofiq, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Raja


Wali Pers, 2013).

Ahmad, Metodologi Riset Keperawatan, (Jakarta: Infomedika, 2008)

Al-Ghazali, “Menyingkap Hakikat Perkawinan; Adab, Tata Cara dan


Hikmahnya, Penerjemah: Muhammad al-Baqir. (Bandung: Karisma, 1999).

Ali Yusuf as-Subki, “Fiqh Keluarga”, (Jakarta: Kencana, 2007).

Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, Cet. II


(Jakarta: Kencana, 2007).

Aspandi A. “Pernikahan Berwalikan Hakim Analisis Fikih


Munakahat Dan Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Hukum Islam, Vol.5, No.1 ,
2017. Diakses melalui, khttps://doi.org/10.21274/ahkam.2017.

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi,1989)

Dakwatul Chairah, “Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan di Masa


Pandemi Covid-19 di KUA Kec. Sampang Madura”, Vol. 11, No. 1, Juni 2021,

97
98

Diakses Melalui, http://jurnalfsh.uinsby.ac.id/index.php/alhukuma/article/


view/1102.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, (Cet,IV; Edisi.10; Jakarta: Balai Pustaka, 1995).

Desi Amalia, “Pernikahan Di Bawah Umuru Perspektif Hukum Islam


dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Jurnal Al-Ashriyyah, Vol.
3, No. 1, Mei 2017.

Desi Amalia, “Pernikahan Di Bawah Umuru Perspektif Hukum Islam


dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”.

Diakses Melalui, https://pa-belopa.go.id/tentang-pengadian/profile-


pengadilan/sejarah-pengadilan.

Diakses Melalui, Redaksi Dalam Islam, “Rukun Nikah dalam Islam”,


https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/rukun-nikah-dalam-islam.

Dian Luthfiyanti, Metodeologi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: Rineka


Cipta, 2008).

Dian Luthfiyanti, Metodeologi Penelitian Kesehatan.

Djoko Prasodjo dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di


Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1987).

Eka Susylawati, “Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili


Perkara Kewarisan Islam berdasarkan UURI Peradilan Agama” (Surabaya:
Duta Media Publishing, 2017).

Eva Eliya Sibagariang, Kesehatan Reproduksi Wanita, Edisi Revisi,


(Jakarta: Trans InfoMedia. 2016).

Fahadil Amin Al Hasan, Dkk, Dispensasi Kawin Dalam Sistem


Hukum Indonesia menjamin Kepentingan Terbaik Anak Melalui Putusan
Hakim (Marriage Dispensation In The Indonesian Legal system protecting
Children’s Best Interests Through Judges’ Decisions). Vol. 14, No. 1 Tahun
2021.

Fitri Raya, Dkk, “Urgensi Pendidikan Tekan Pernikahan Dini”,


Jurnal Pengabdian Masyarakat, Vol. 15, No. 1, 2022.

H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan


Tata Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
99

Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut


Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju,
1990).

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram bin Abdillah Ahkam, alih


bahasa Harun Zendan Zaenal Muttaqin, (Bandung: Jabal, 2013).

Imam Syafi’I, “Penetapan Dispensasi Nikah oleh Hakimi (Studi


Komparatuf Hukum Islam dan Hukum Positif)”, Jurnal Mabahits, Vol. 2, No.
2, 2021. Diakses Melalui, http://ejournal.inaifas.ac.id/index.php/Mabahits/
article/view/761.

John M. Echols, “An Indonesian-English Dictionary”. Edisi Ke 3,


(Jakarta: Gramedia, 1992).

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,


(Jakarta: Bulan Bintang, 1974).

Kementerian Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung:


CV. Mikraj Khazanah Ilmu, 2019).

Kementerian Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung:


CV. Mikraj Khazanah Ilmu, 2019).

Kementerian Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahan”, (Bandung:


CV. Mikraj Khazanah Ilmu, 2019).

Leza Melta Rany dam Liya Sukma Muliya, “Implementasi Dispensasi


Nikah terhadap Anak di Bawah Umur di Kota Baturaja Kabupaten Ogan
Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan Ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak (Putusan Pengandilan
Nomor 83/Pdt.P/2020/PABta)”, Jurnal Riset Ilmu Hukum, 2021. Diakses,
https://journals.unisba.ac.id/index.php/JRIH/article/view/444.

Lukman Haqiqi Amirullah, “Metode Penemuan Hukum dalam Perkara


Dispensasi Nikah (Studi di Pengadilan Agama se- D.I. Yogyakarta tahun 2013-
2015)”, Tesis Magister (Yogyakarta: UIN Sunang Kalijaga, 2016).

M Khoiruddin, “Wali Mujbir Menurut Imam Syafi’i (Tinjauan


Maqâshid Al- Syarî’ah)”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 18, No 2,
2019, diakses Melalui, https://doi.org/10.24014/af.v18.i2.8760.

M. Beni Kurniawan, ”Penafsiran Makna, Alasan sangat Mendesak


Dalam Penolakan Permohonan Dispensasi Kawin,” Jurnal Yudisial,
Universitas Indonesia, Vo. 15, No. 1, 2022.
100

M. Emil Maulana, “Dispensasi Usia Perkawinan Ditinjau dari


Perspektif Perlindungan Anak”, Tesis (Surabaya: Universitas 17 Agustus
1945, 2021). Diakses Melalui, http://repository.untag-sby.ac.id/10261/.

M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata”, Cetakan Ketujuh (Sinar


Grafika, 2008).

Mahkamah Agung R.I., Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991,


Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Dirjen Badilag, 2015).

Mahkamah Agung Republik Indoensia Pengadilan Agama Belopa


Kabupaten Luwu, “Fungsi Pengadilan Agama Belopa”. Diakses melalui,
https://pa-belopa.go.id/tentang-pengadian/tugas-pokok-dan-fungsi.

Marbuddin, Pengertian azas dan Tata Cara Perkawinan Menurut dan


Dituntut Oleh Undang-Undang Perkawinan, (Banjarmasin, Bimbingan
Dakwah Agama Islam Kanwil DEPAG: 1978).

Meray Hendrik Mezak, “Jenis, Metode dan Pendekatan dalam


Penelitian Hukum”, Vol. 5, No. 3.
https://www.academia.edu/download/33676150/lw-05-03-2006-
jenis_metode_dan_pendekatan.pdf.

Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di


Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1995).

Muh.Idris, “Dispensasi Pengadilan Agama Masamba dalam


Pernikahan Dibawah Umur”, Tesis Magister, (Palopo, IAIN Palopo, 2016).

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta, Basrie


Prees, 1994).

Nirwana, Wakil Ketua Pengadilan Agama Belopa, ”Hasil


Wawancara”, 2023

Novita Joseph, “Bahaya Kesehatan yang Timbul Akibat Perkawinan


Dini”, https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/bahaya-kesehatan-akibat-
perkawinan-dini/, Diakses pada Januari 2024

Nur Aisyah, “Dispensasi Pernikahan di bawah Umur pada Masyarakat


Islam di Kabupaten Bantaeng”, Tesis Magister (Makassar, UIN Alauddin
Makassar, 2015).

Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinanjo. Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
101

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang


Perkawinan

Pengadilan Agama Bojonegoro Kelas IA, https://www.pa-


bojonegoro.go.id/article/Dispensasi-Kawin-Menurut-Peraturan-Mahkamah-
Agung-RI-Nomor-5-Tahun-2019

Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 Pasal 16 Tentang


Pedoman Mengadili Permohona Dispenasasi Kawin.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman


Mengadili Perkara Dispensasi Kawin Pasal 12 ayat (2)

Peuno Daly, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Studi Perbandingan


dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara Negara Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1988).

Purwosusilo, et al, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di


Lingkungan Peradilan Agama.

Purwosusilo, et al., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di


Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Dirjen Badilag, 2016).

Purwosusilo, et al., Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di


Lingkungan Peradilan Agama.

Q.S. Ar-Rum (30): 21, Allah berfirman: “Dan di antara tanda-tanda


kekuasaa-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan di jadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.

Republik Indonesia, Undang-Undangan Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan, (Cet. I; Bandung: Citra Umbara, 2007).

Rifyal Ka’bah, “Penegakan Syariat Islam di Indonesia”, (Jakarta:


Khairul Bayan, 2004).

Riva’i dan Muhammad, Ushul Fiqh, Cetakan.Ke-VII, (Bandung: PT.


Al-Ma’arif, 1995).

Roihan A. Rayid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2005).
102

Salinan uuri Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UURI


Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Satjipto Rahardjo, Hati Nurani Hakim Dan Putusannya: Suatu


Pendekatan Dari Perspektif ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence)
Kasus Hakim Bismar Siregar (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007).

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar


Grafika, 2002).

Sri Agustini, “Pelaksanaan Isbad Nikah dan Dispensasi Nikah di


Kota Padang”, Jurnal Ensiklopedia Social Review, Vol 3, No. 1, 2021.
Diakses Melalui,
https://jurnal.ensiklopediaku.org/ojs-2.4.8-3/index.php/sosial/article/view/677.

Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”,


(Yogyakarta: Liberty, 2002)

Sudikno Mertokusumo,”Hukum Acara Perdana Indonesia”,


(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010)

Sulaeman Kurdi, Dkk, “Konsep Taat Kepada Pemimpin (Ulil Amri) di


dalam Surah An-Nisa: 59, Al-Anfal: 46 dan Al-Maidah: 48-49 (Analisis Tafsir
Al-Qurthubi, Al-Mishbah, dan Ibnu Katsir)”, Journal Of Islamic Law and
Studies, Vol. 1, No.1 Juni 2017.
http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/jils/article/view/2552.

Team Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Buku Saku


Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI bersama Indonesia Judicial Research Society, 2020)

Tim Penyusun dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa


Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).

Tinuk Dwi Cahyani, “Hukum Perkawinan”, Cet. 1, (Malang :


Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, 2020).

Umi Habibah, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap


Permohonan Dispensasi Nikah Dibawah Umur”, Vol 4 No 3, 2023, h. 650-651

Umi Habibah, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap


Permohonan Dispensasi Nikah Dibawah Umur”, h. 651

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana


Kekerasan Seksual Pasal 10 ayat (1) dan (2)
103

Widhia Arum Wibawa, “Apa itu Dispensasi Nikah”. Diakses Melalui,


https://news.detik.com/berita/d-6516438/apa-itu-dispensasi-nikah-hal-hal-ini-
wajib-diketahui-. Pada Tanggal 21 Juni 2023

Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan


Persidangan, Penyitaanm Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005).

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan


Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001).

Yusuf A. Duraiwsy, “Nikah Siri dan Kontrak”, (Jakarta: Darul Haq,


2010).

Yusuf Qardhawi, Al-Fiqh Al Islami Bayn Al-Ashalah wa At-Tajdid,


(Kairo: Maktabah Wahbah, 1999).

Zainuddin Ali, “Signifikansi Penyusunan RUU Hukum Kewarisan di


Indonesia(Filosofis, Yuridis, Sosiologis dan Historis) dalam Problematik
Hukum KewarisanIslam Kontemporer di Indonesia”, (Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2002).

Anda mungkin juga menyukai