Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN SIRI DI

INDONESIA

Diajukan Sebagai Tugas Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Dosen : Prof. Dr. Ismansyah, S.H., M.H.

Dr. Dahlil Marjon, S.H., M.H.

Dr. Delfiyanti, S.H., M.Hum

Oleh:

GUSTIA WULANDARI

2020112034

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Manusia dikaruniai akal dan pikiran untuk berpikir, hati untuk merasakan sesuatu, serta
kemampuan berkomunikasi dan berbicara yang membedakan manusia dengan mahluk lain
yang ada di muka bumi ini. Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan
makhluk lainnya bukan berarti bisa hidup sendiri dan melakukan segala sesuatu sendiri.
Meskipun merupakan makhluk yang paling sempurna, manusia pada dasarnya juga
diciptakan sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Manusia merupakan makhluk sosial yang secara alamiah membutuhkan orang lain
dalam hidupnya mulai dari untuk memenuhi kebutuhannya sampai untuk meneruskan
keturunannya. Adanya kebutuhan tersebut menimbulkan ketergantungan antara satu orang
dengan yang lainnya. Ketergantungan antara satu dengan yang lain tersebut menimbulkan
keinginan manusia untuk selalu hidup bersama atau hidup berkelompok dengan orang lain.
Aristoteles mengatakan bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon yaitu selalu mencari
manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian berorganisasi. Hidup bersama
merupakan suatu gejala yang biasa bagi seseorang manusia dan hanya manusia-manusia
yang memiliki kelainan-kelainan sajalah yang mampu hidup mengasingkan diri dari orang-
orang lainnya.1 Kebutuhan manusia untuk hidup bersama orang lain inilah yang kemudian
menjadi salah satu faktor pendorong manusia untuk melakukan perkawinan.
Ditinjau dari segi agama pun, perkawinan dinyatakan memang sudah menjadi kodrat
manusia. Dalam agama Islam dikatakan bahwa setiap manusia diciptakan berpasang-
pasangan maka sudah kodratnya jika pria dan wanita saling mengikatkan diri dalam suatu
perkawinan. Bahkan melangsungkan perkawinan dinilai sebagai suatu ibadah yang akan
mendatangkan pahala yang besar bukan hanya sebagai sarana untuk melampiaskan hawa
nafsu seksual saja. Akan tetapi merupakan ibadah seumur hidup yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Perkawinan merupakan suatu hubungan yang sakral dan selalu diharapkan hanya
terjadi sekali seumur hidup. Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan manusia, tidak hanya bagi individu yang melakukan perkawinan tapi juga
bagi keluarga kedua belah pihak yang melakukan perkawinan.

1
Lili Rasyidi, 1982, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia , Alumni,
Bandung, hlm. 1.

1
Perkawinan bukanlah sekadar ritual untuk menghalalkan hubungan seksual antara
dua jenis manusia yaitu laki-laki dan perempuan, tetapi merupakan hubungan yang masing-
masing mempunyai peranan penting. Perkawinan pada hakikatnya merupakan ikatan lahir
dan batin antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang bertujuan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia, kekal , sejahtera, damai dan tenteram yang
didasarkan atas rasa cinta dan kasih sayang sebagaimana dapat terlihat dalam pengertian
perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan).
Perkawinan bukan hanya merupakan masalah sosial yang memiliki aspek sosiologis,
tetapi juga terkait dengan konteks budaya dan pemahaman agama. Oleh karena itu,
pernikahan adalah suatu lembaga sosial sekaligus lembaga keagamaan. Pernikahan
merupakan sunnatullah yang mengatur tata kehidupan manusia, baik perorangan maupun
kelompok. Dilihat dari sisi sosiologis, pernikahan adalah suatu bentuk kerjasama kehidupan
antara pria dan wanita dalam kehidupan suatu masyarakat di bawah suatu peraturan khas
(khusus) yang memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu pria bertindak sebagai suami, dan perempuan
bertindak sebagai istri, yang keduanya dalam ikatan yang sah. Dengan pernikahan yang sah
pergaulan laki-laki dan perempuan dipandang terhormat sebagai manusia yang beradab. 2
Perkawinan tidak hanya dianggap sebagai perikatan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang bernilai ibadah namun lebih dari itu, suatu perkawinan dianggap
sebagai suatu perbuatan hukum yang untuk pelaksanaannya terikat dengan peraturan-
peraturan tertentu agar suatu perkawinan tersebut mempunyai legitimasi menurut hukum
negara sehingga segala dampak atau akibat yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut pun
juga bisa diakui dan dianggap sah oleh negara.
Aturan mengenai pelaksanaan perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut agama atau kepercayaan masing-masing dan perkawinanan
tersebut kemudian dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian
dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
yang menyebutkan “Tatacara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”, sehingga dari pasal tersebut terdapat 2 (dua) hal yang
harus dipatuhi dalam melakukan suatu perkawinan, yaitu tentang keabsahan suatu
perkawinan dan tentang pencatatan perkawinan. Mengenai keabsahan suatu perkawinan
ditentukan oleh agamanya masing-masing, bagi agama Islam harus terpenuhinya syarat dan

2
G. Kartasapoetra, dkk, 1997, Sosiologi Umum. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 76-78

2
rukun suatu perkawinan3, sedangkan masalah pencatatan perkawinan merupakan
pelaksanaan perkawinan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah dengan tujuan untuk
mencatatkan perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk mendapatkan buku atau akta nikah yang berfungsi sebagai pengakuan, perlindungan
dan kepastian hukum bagi laki-laki dan perempuan yang mengikatkan diri dalam perkawinan
tersebut dan terhadap segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut baik anak
maupun terhadap harta yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut, pencatatan menjadi unsur penentu legalitas
suatu perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum yang diakui oleh negara.
Konsekuensinya, akan ada perkawinan yang sah secara hukum agama akan tetapi belum
tentu legal menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan sebagaimana yang diwajibkan dalam Undang-Undang
Perkawinan mempunyai tujuan tertentu, salah satunya adalah agar pelaksanaan perkawinan
tersebut bisa dinilai secara sah secara hukum agama maupun hukum negara dan segala
akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut juga bisa diakui dan dilindungi
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi jika dilihat dari praktik
yang terjadi di masyarakat, masih banyak ditemukan masyarakat yang melaksanakan
perkawinan hanya secara agama namun tidak didaftarkan kepada pejabat yang berwenang
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan berbagai alasan mulai dari
faktor ekonomi, usia, pergaulan bebas, sampai dengan kurangnya pemahaman dan
kesadaran pentingnya pencatatan perkawinan. Perkawinan yang dilaksanakan tanpa
dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah perkawinan di bawah tangan atau perkawinan siri.
Realitas perkawinan siri adalah seperti fenomena gunung es, banyak terjadi di
masyarakat, tetapi hanya kecil muncul ke permukaan dan umumnya dipublikasikan ketika
pelaku pejabat publik atau tokoh masyarakat. Dampak negatif dari perkawinan siri dialami
oleh banyak wanita (isteri) dan anak-anak jika suaminya tidak bertanggung jawab.
Pernikahan sirri membawa dampak positif dan negatif bagi suami, isteri dan anak-anak. Sisi
negatifnya tidak sebanding dengan sisi positifnya terlihat dari banyaknya kasus yang terjadi,
dimana sisi negatifnya banyak dialami wanita (istri) dan anak-anak daripada yang dialami

3
Tihami dan Sohari Sahrani, 2010, Fikih Munakahat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm,. 12.

3
suami.4 Karena perkawinan siri seringkali dijadikan dalih bagi laki-laki untuk bertindak
sewenang-wenang terhadap pasangannya baik secara psikologis maupun material. 5
Dibalik sisi-sisi negatif dan positif yang ditimbulkan dari praktik perkawinan siri
tersebut nyatanya tetap masih banyak pasangan yang memutuskan untuk melaksanakan
perkawinan secara siri dengan berbagai faktor dan pertimbangan masing-masing.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas
mengenai praktik perkawinan siri yang terjadi Indonesia ditinjau dari perspektif sosiologi
hukum.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun yang menjadi rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud perkawinan siri?
2. Apa faktor penyebab terjadinya perkawinan siri di Indonesia ditinjau dari perspektif
sosiologi hukum?
3. Bagaimanakah dampak perkawinan siri di Indonesia ditinjau dari perspektif sosiologi
hukum?

4
Siti Ummu Adillah, Analisis Hukum Terhadap Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya
Nikah Sirri Dan Dampaknya Terhadap Perempuan (Istri) Dan Anak-Anak ”, dalam Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 11, Edisi Khusus Februari 2011, hlm. 104
5
Munir Subarman, Nikah Dibawah Tangan Perspektif Yuridis, Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan, Vol. 13, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 66

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Perkawinan Siri


Perkawinan siri berasal dari kata “kawin” dan “siri”. Kata kawin menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis,
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 6 Perkawinan juga dikenal dengan
istilah pernikahan yang berasal dari kata “nikah” yang merupakan terjemahan dari
bahasa Arab an-nikah. Perkataan nikah mengandung dua pengertian yaitu
pengertian dari segi bahasa dan pengertian dari segi syariat.
Kata an-nikah secara bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan,
menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. 7 Istilah lain untuk perkawinan dalam
bahasa Arab adalah az-zawaj/az-ziwaj yang secara bahasa berarti mengawinkan,
mencampuri, menemani, menggauli, menyertai dan memperistri. 8 Menurut syariat
Agama Islam perkawinan merupakan suatu perjanjian atau akad antara seorang laki-
laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami
istri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan
oleh syariat Islam.9
Ikatan perkawinan dalam Alquran disebut dengan “ mitsaaqan ghalidza”,
yang berarti suatu ikatan janji yang kokoh. 10
Ini mengisyaratkan bahwa perkawinan
merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai
perempuan (istri). Oleh karena itu, perkawinan yang sudah dilangsungkan harus
dijaga keutuhannya agar jangan sampai berakhir.
Pengertian perkawinan dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan : “Perkawinan ialah ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sedangkan kata siri berasal dari bahasa Arab yang berarti rahasia atau
menyembunyikan sesuatu. Secara bahasa perkawinan siri berarti perkawinan secara

6
6
KBBI, “Arti Kata Kawin”, http://kbbi.web.id/kawin diakses 26 April 2016
7
Abdul Rahman Ghozali, 2003, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 8
8
Ahmad Warson Munawwir, 2005, “Al-Munawwir Qamus Arab – Indonesia” dalam Muhammad
Amin Summa (ed), Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam , Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
43-44
9
Mahmud Sholeh dan Asrorun Ni’am, 2008, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga ,
eLSAS, Jakarta, hal. 3.
10
M. Anshary MK, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 55

5
sembunyi-sembunyi atau perkawinan yang dirahasiakan, sedangkan menurut hukum
perkawinan siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau
adat istiadat yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga perkawinan itu
tidak tercatat di kantor pegawai pencatat nikah yakni KUA bagi yang beragama Islam
dan kantor catatan sipil bagi yang beragama non-Islam. 11
Istilah perkawinan siri sendiri pertama kali dikenal pada zaman Khalifah Umar
Bin Khattab sekitar 1500 tahun yang lalu. Pada awalnya pengertian perkawinan siri
itu ditujukan atau dimaknai terhadap perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan
syarat perkawinan. Pada waktu itu, Khalifah Umar bin Khattab menerima pengaduan
tentang perkawinan yang hanya disaksikan oleh seorang saksi laki-laki dan seorang
saksi perempuan sehingga membuat Khalifah Umar menjadi geram dan ingin
merajam pasangan yang menikah siri tersebut. Namun saat ini pengertian
perkawinan siri telah diperluas, yaitu perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat
perkawinan, tetapi belum/tidak dicatatkan di kantor pencatatan nikah. 12
Perkawinan siri dapat dibagi menjadi dua, yakni : pertama, perkawinan yang
memenuhi rukun dan syarat perkawinan, namun karena satu dan lain hal, tidak
dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Kedua, perkawinan yang dilakukan
tanpa terpenuhi salah satu atau beberapa rukun dan syaratnya. Fenomena nikah
sirri, baik dalam golongan pertama, maupun kedua, banyak sekali terjadi di
masyarakat.
Menurut hukum Islam perkawinan siri atau di bawah tangan adalah sah,
asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun dari aspek perundang-
undangan perkawinan ini belum lengkap karena belum dicatatkan. Namun
pencatatan itu hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak berpengaruh
terhadap sah tidaknya perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan sendiri,
syarat sah suatu perkawinan dapat dibagi menjadi dua, yakni : syarat materil dan
syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang
hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak
ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan syarat formil
adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus
dipenuhi sebelum proses perkawinan.13
11
M. Idris Ramulyo, 2001, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42
12
Neng Zubaedah, 2010, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Sinar Grafika,
Jakarta hlm. 345
13
Titik Triwulan Tutik, 2011, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta,
hlm. 110

6
Syarat formil perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) undang-Undang
Perkawinan, yang menyatakan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari bunyi Pasal
tersebut dijelaskan bahwa suatu perkawinan dinyatakan sah apabila telah dilakukan
menurut ajaran agama yang dianutnya. Berarti setiap perkawinan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum agama, maka perkawinan tersebut juga tidak dianggap
sah oleh negara dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai perkawinan. Adapun
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang mengatur untuk dilakukannya
pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat sah perkawinan. Pencatatan
perkawinan disadari dan dirasakan sangat penting sehingga perlu ada. Namun
pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif saja, tidak
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, karena sah tidaknya suatu
perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan. 14
Pencatatan perkawinan menjadi hal yang penting untuk memberikan
kepastian hukum. Dengan dilakukannya pencatatan perkawinan bisa untuk
menambah kekuatan pembuktian perkawinan, sehingga menjadikan perkawinan
bersangkutan tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, dan menjadi bukti bahwa negara
telah mengakui keabsahan perkawinan tersebut.15

2. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Siri Di Indonesia Ditinjau Dari


Perspektif Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain
meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati
hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Perspektif normatif
berbeda dengan perspektif sosiologis, pendekatan tradisional yang normatif menerima saja
apa yang tertera pada peraturan hukum, sementara pendekatan dengan perspektif
sosiologis menguji dengan data (empiris). Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan
mengapa sesuatu praktek-praktek hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi,
sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang mempengaruhi. Sosiologi hukum tidak hanya
menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang
bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Sosiologi hukum tidak
memberikan penilaian atau memebedakan antara tingkah laku yang sesuai dengan hukum
atau yang menyimpang dari kaidah hukum, karena keduanya merupakan obyek
pengamatan dari sosiologi hukum. Sosiologi hukum hanya mendekati hukum sebagai
14
Neng Djubaidah, Op.Cit., hlm. 159
15
Sudarsono, 1991, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 163

7
obyektifitas semata dan bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang
nyata. Oleh karena itu, dalam melihat fenomena praktik perkawinan siri yang terjadi di
Indonesia, dalam perspektif sosiologi hukum tidak dibahas apakah perkawinan tersebut sah
secara undang-undang ataukah melanggar. Akan tetapi dilihat faktor-faktor penyebab dan
dampak terjadinya prkatik perkawinan siri tersebut di Indonesia.
Praktik perkawinan siri di Indonesia terjadi disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya :
a. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi diantaranya karena biaya administrasi pencatatan nikah, yaitu
sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi menengah ke bawah merasa tidak
mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali dari biaya
resmi. Ada keluhan dari masyarakat bahwa biaya pencatatan pernikahan di KUA tidak
transparan, berapa biaya sesungguhnya secara normatif. Oleh karena dalam praktik
masyarakat yang melakukan perkawinan, di kenai biaya yang beragam. Adanya
kebiasaan yang terjadi di masyarakat, bahwa seorang mempelai laki-laki selain ada
kewajiban membayar mahar, juga harus menanggung biaya pesta perkawinan yang
cukup besar sehingga membuat pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan
memutuskan untuk melakukan perkawinan secara diam-diam untuk menghemat biaya
perkawinan.16
b. Berbenturan dengan aturan hukum positif
Perkawinan siri dilakukan untuk menghindari birokrasi yang berbelit-belit dan
mungkin sulit untuk dilakukan yakni karena terhalang beberapa aturan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti : 17
 Belum cukup umur, undang-undang perkawinan di Indonesia mensyaratkan batas
umur tertentu untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Perkawinan yang mensyaratkan batas umur minimal bagi laki-laki
yakni 19 tahun dan untuk perempuan minimal 16 tahun. Sehingga bagi orang-orang
yang belum cukup umur sehingga memutuskan untuk melakukan kawin siri sampai
usia mereka mencukupi untuk mendaftarkan perkawinan.
 Perkawinan campuran yang memerlukan persyaratan administrasi yang cukup rumit,
karena melibatkan hukum kedua negara.
 Tidak memiliki status resmi sebagai warganegara.

16
Siti Ummu Adillah, Op.Cit., hlm. 110
17
Munir Subarman, Op.Cit.

8
 Terkait aturan, seperti tidak boleh menikah dengan teman sekantor, PNS wanita tidak
boleh menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat.
 Terkait peraturan sekolah atau pekerjaan, misalnya masih tercatat sebagai pelajar
sekolah menengah, ataupun terikat ikatan dinas yang melarang melakukan
perkawinan selama masih berada dalam status ikatan dinas dalam suatu pekerjaan
dan apabila melanggar akan dikelurakan atau diberhentikan.
c. Faktor pemahaman agama
Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perkawinan siri sudah sah menurut
agama, sedangkan pencatatan itu hanya tertib administrasi sehingga tidak perlu
dilakukan lagi. Banyak masyarakat menganggap sebuah perkawinan hanya didasarkan
pada norma agama sedangkan pencatatan perkawinan tidak memiliki hubungan dengan
sah tidaknya sebuah perkawinan. Fenomena ini banyak terjadi pada sebagian masyarakat
yang masih berpegang pada hukum perkawinan yang fiqh sentris.18
d. Faktor Hamil diluar nikah
Akibat dari pergaulan yang semakin bebas antara laki-laki dan perempuan, yang
tidak lagi mengindahkan norma dan kaidah-kaidah agama sehingga semakin marak
terjadinya hamil diluar nikah. Kehamilan tersebut akan menjadi aib keluarga yang
mengundang cemoohan dari masyarakat. Oleh karena itu, akhirnya orang tua
menikahkan secara siri anaknya dengan laki-laki yang menghamilinya dengan alasan
menyelamatkan nama baik keluarga dan tanpa melibatkan petugas pencatatan nikah.
e. Faktor kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan
pernikahan
Pemahaman masyarakat Indonesia terutama yang berada di daerah-daerah yang
sedikit terpelosok masih sangat minim tentang pentingnya pencatatan perkawinan,
akibatnya masih banyak masyarakat tetap melaksanakan perkawinan secara siri. Banyak
masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan yang dicatat dengan perkawinan yang
tidak dicatatkan tidak ada beda dan dampaknya sehingga mereka memutuskan
melangsungkan perkawinan secara siri. Padahal Undang-undang Perkawinan telah
mensyaratkan untuk mencatatkan perkawinan menurut ketentuan yang berlaku yaitu:
bagi yang muslim pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi
yang beragama non muslim, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
f. Faktor sosial
Faktor sosial yakni terhadap orang-orang yang akan melakukan poligami masyarakat
sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap orang (laki-laki) yang menikah
18
Ahmad Rofiq, 2000, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 109.

9
lebih dari satu (berpoligami), maka untuk menghindari stigma negatif tersebut,
seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.
g. Sulitnya aturan berpoligami.
Untuk melakukan perkawinan poligami ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,
sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 yaitu harus mendapat izin dan persetujuan dari istri sebelumnya. Hal ini
diharapkan dapat memperkecil dilakukannya poligami bagi laki-laki yang telah menikah
tanpa alasan tertentu. Oleh karena itu, bagi laki-laki yang sulit untuk mendapatkan izin
dari istri, maka akhirnya suami melakukan nikah secara diam-diam atau nikah siri.
h. Faktor tradisi
Tradisi yang dilakukan turun temurun yang menganggap perkawinan siri sebagai
kelaziman, praktis dan ekonomis, sehingga tidak butuh legal formal hukum. Ini terjadi
pada masyarakat yang masih memegang tradisi leluhur sangat kuat. Seperti pernikahan
yang terjadi pada suku Badui dalam di propinsi Banten dan suku-suku yang lain. 19
i. Masih adanya masyarakat yang melakukan nikah sirri karena tidak ada yang mau
mengambil tindakan yang tegas.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 yang menyatakan bagi orang yang
tidak melakukan pencatatan perkawinan dihukum dengan hukuman denda setinggi-
tingginya hanya Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Dengan demikian membuat
banyak orang tidak takut untuk melanggar ketentuan tersebut. Pegawai Pencatat Nikah
atau aparat penegak hukum mestinya memberikan sanksi secara tegas terhadap pelaku
nikah sirri yang tidak bertanggungjawab dan mengabaikan kewajibannya, hal ini untuk
membuat jera pelaku, meskipun sanksi yang ada cukup ringan. Sehingga membuat
masyarakat lebih termotivasi untuk mencatatkan perkawinannya bukan dengan
mudahnya melakukan perkawinan secara siri.

3. Dampak Perkawinan Siri Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi


Hukum
Secara bahasa perkawinan siri berarti perkawinan secara sembunyi-sembunyi
atau perkawinan yang dirahasiakan, sedangkan menurut hukum perkawinan siri
adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat
yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga perkawinan itu tidak tercatat di

19
https://media.neliti.com/media/publications/29624-ID-nikah-di-bawah-tangan-perspektif-yuridis-
dan-sosiologis.pdf

10
kantor pegawai pencatat nikah yakni Kantor Urusan Agama bagi yang beragama
Islam dan kantor catatan sipil bagi yang beragama non-Islam.
Perkawinan siri dapat dibagi menjadi dua, yakni : pertama, perkawinan yang
memenuhi rukun dan syarat perkawinan, namun karena satu dan lain hal, tidak
dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Kedua, perkawinan yang dilakukan
tanpa terpenuhi salah satu atau beberapa rukun dan syaratnya. Fenomena nikah
sirri, baik dalam golongan pertama, maupun kedua, banyak sekali terjadi di
masyarakat.
Menurut hukum Islam perkawinan siri atau di bawah tangan adalah sah,
asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun dari aspek perundang-
undangan perkawinan ini belum lengkap karena belum dicatatkan. Namun
pencatatan itu hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak berpengaruh
terhadap sah tidaknya perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan sendiri,
syarat sah suatu perkawinan dapat dibagi menjadi dua, yakni : syarat materil dan
syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang
hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak
ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan syarat formil
adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus
dipenuhi sebelum proses perkawinan.
Pencatatan perkawinan disadari dan dirasakan sangat penting sehingga perlu
ada. Namun pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif
saja, tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan, karena sah tidaknya
suatu perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan. Pencatatan
perkawinan menjadi hal yang penting untuk memberikan kepastian hukum. Dengan
dilakukannya pencatatan perkawinan bisa untuk menambah kekuatan pembuktian
perkawinan, sehingga menjadikan perkawinan bersangkutan tidak dapat dipungkiri
oleh siapapun, dan menjadi bukti bahwa negara telah mengakui keabsahan
perkawinan tersebut.
Menurut Yayan Sopyan, setidaknya terdapat dua manfaat dalam pencatatan
perkawinan yaitu manfaat preventif dan represif. Manfaat preventif yaitu untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat
perkawinan baik menurut hukum, kepercayaannya dan menurut undang-undang.
Kongkritnya, penyimpangan tersebut dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur
dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Manfaat represif adalah

11
sebagai bukti hukum, dimana suatu perkawinan dianggap ada dan diakui sebagai
suatu perkawinan ketika ada tanda bukti perkawinan atau akta nikah. 20
Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan secara siri atau tidak
dicatatkan kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku tentu saja akan menimbulkan berbagai dampak bagi pelaku
perkawinan siri tersebut, baik dampak yang positif maupun dampak yang negatif.
Akan tetapi, dampak-dampak tersebut dipandang dari segi perspektif sosiologi
hukum , dalam artian tidak bertujuan untuk mencari benar atau salah perbuatan
tersebut menurut hukum yang berlaku akan tetapi hanya memaparkan dampak-
dampak yang mungkin ditimbulkan dari praktik perkawinan tersebut.
Perkawinan siri sebenarnya memiliki dampak bagi suami, isteri maupun anak-
anak, baik dari sisi positif maupun sisi negatif, hanya saja sisi positf tidak seimbang
dengan dampak negatifnya dan kalau dilihat dari banyak kasus, sisi negatifnya lebih
banyak dialami para isteri dan anak-anak daripada yang dialami suami. Adapun
dampak-dampak yang dapat ditimbulkan dari praktik perkawinan siri tersebut
diantaranya :
1. Dampak positif praktik perkawinan siri21
 Dapat menutupi hak-hak individu
Kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang melatarbelakangi dilakukannya
pernikahan siri dapat tertutupi, misalnya perkawinan yang dilakukan karena hamil
diluar nikah, maka dengan dilakukannya perkawinan siri sebagai upaya
agar aib dalam keluarganya tertutupi sehingga masyarakat tidak mengetahui seputar
kehamilannya yang terjadi diluar nikah. Demikian pula dengan perkawinan siri yang
dilakukan karena adanya ikatan dinas atau masih sekolah. Karena terikat dengan
perjanjian kerja, sementara ada hal mendesak seseorang harus menikah, maka
dilakukanlah nikah siri, begitu pula dengan yang masih sekolah, karena suatu
keperluan, salah satu calon mempelai mau studi ke luar negeri, maka dilakukan
perkawinan secara siri untuk mengikat kedua mempelai dan keluarga.
 Hilangnya kekhawatiran perzinahan
Salah satu alasan yang banyak melatarbelaknagi seseorang melakukan
perkawinan siri adalah kekhawatiran akan terjadi zina antara seorang permepuan
dan laki-laki apabila tidak segera dilangsungkan perkawinan diantara mereka.
Banyak anggapan bahwa daripada terjerumus ke dalam perzinahan atau berbuat
20
Yayan Sopyan, 2012, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, Wahana Semesta Intermedia, Jakarta, hlm. 134.
21
Siti Ummu Adillah, Op.Cit., hlm. 108

12
dosa, maka solusi yang dianggap terbaik, yaitu dengan melakukan perkawinan siri.
Perkembangannya yang terjadi di kalangan remaja, khususnya para mahasiswa
tertentu yang tergabung dalam kelompok-kelompok pengajian tertentu pula, kalau
ada sepasang remaja yang merasa sudah memiliki kecocokan dan daripada
terjerumus kepada perzinahan, maka mereka akan menikah sirri atau dinikahkan
secara sirri (tidak dicatat dalam KUA) oleh ”guru” mereka. Hal ini dilakukan karena
berbagai alasan, pertama kalau meminta restu orang tua mereka, khawatir tidak
diperbolehkan karena mereka masih kuliah dan takut mengganggu kuliah, kedua
karena alasan ekonomi mengingat kebutuhan mereka masih bergantung pada orang
tua mereka, dan yang pasti karena kekehawatiran akan berbuat dosa/zina. Dengan
dilakukannya perkawinan siri, maka tidak ada kehawatiran dari masing-masing pihak
dan mereka merasa perkawinan yang dilakukan tidak melanggar agama dan tidak
akan menimbulkan dosa zina di kemudian hari.
2. Dampak negatif praktik perkawinan siri22
 Tidak memberikan kepastian hukum
Praktik perkawinan siri tidak memberikan kepastian hukum apabila di kemudian
hari terjadi sengketa hukum karena tidak adanya bukti autentik yang bisa
membuktikan keabsahan perkawinan mereka sehingga akan sulit jika pasangan yang
telah melakukan perkawinan siri ingin melakukan suatu perbuatan hukum sebagai
suami isteri selain itu dalam perkawinan siri rentan terhadap masalah kekerasan
dalam rumah tangga, karena tidak ada legalitas perkawinan sehingga baik isteri
amupun suami merasa bisa berlaku sewenang-wenang.
 Menyulitkan untuk mengidentifikasi status seseorang sudah menikah atau belum.
Praktik perkawinan siri atau perkawinan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan menyebabkan banyak orang yang tidak mengetahui identitas tentang
status pasangan tersebut. Di dalam Islam ada perintah untuk mengumukan
pernikahan. Hal ini bertujuan agar jika ada orang yang naksir atau menaruh hati,
maka dia akan mundur karena orang yang ditaksirnya sudah menikah, sehingga jelas
status orang tersebut yaitu sudah beristri atau sudah bersuami. Selain itu,
pengumuman perkawinan juga untuk mencegah timbulnya fitnah di tengah
masyarakat apabila seorang laki-laki dan perempuan hidup bersama.
 Tidak diakui sebagai istri atau suami karena perkawinan tidak tercatat secara hukum
negara. Orang-orang yang melakukan perkawinan secara siri tidak mempunyai bukti
atau legalitas atas perkawinan mereka berupa surat nikah, sehingga apabila
22
Siti Ummu Adillah, Op.Cit., hlm. 109-110

13
pasangannya baik itu isteri ataupun suami tidak bertanggungjawab atau melakukan
suatu pelanggaran dalam perkawinan maka ia tidak bisa menuntut
pertanggungjawaban karena statusnya yang tidak diakui sebagau seorang suami
atau isteri, meskipun perkawinan tersebut telah dilakukan menurut agama dan
kepercayaan masing-masing, namun di mata negara perkawinan siri tidak dianggap
atau diakui karena belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor
Catatan Sipil.
 Terabaikannya hak dan kewajiban sebagai isteri atau suami. Seorang yang
melakukan perkawinan siri bisa dengan mudah mengabaikan hak dan kewajibannya
baik secara lahir maupun batin karena tidak ada alat bukti berupa surat nikah,
sebagai bukti autentik untuk membuktikan legalitas perkawinan mereka sehingga
apabila suatu hari akan dituntut ataupun digugat, mereka juga dengan mudah bisa
mengelak atau menghindari tuntutan ataupun gugatan tersebut.
 Tidak berhak atas nafkah, warisan dan pembagian harta bersama. Akibat lebih jauh
dari perkawinan siri adalah, istri tidak bisa menuntut nafkah melalui pengadilan
terhadap suaminya yang masih hidup dan tidak bertanggungjawab. Begitu juga
apabila salah satu dari isteri ataupun suami meninggal dunia, maka pasangannya
akan sulit untuk menuntut dan membuktikan haknya untuk mendapatkan warisan
dari harta pasangannya yang telah meninggal dunia tersebut serta apabila terjadi
perceraian diantara pasangan yang melakukan perkawinan siri akan sulit bagi
pasangannya untuk menuntut pembagian harta bersama, karena perkawinannya
dianggap tidak pernah ada menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia,
dan tidak ada bukti autentik yang menyatakan bahwa mereka telah melakukan
perkawinan.
 Menimbulkan keresahan atau kehawatiran melaksanakan perkawinan siri,
dikarenakan tidak memiliki akta nikah.
Praktik perkawinan siri akan menimbulkan kekhawatiran bagi pasangan yang
melaksanakannya apabila bepergian jauh atau tinggal di suatu daerah yang baru
karena mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka adalah pasangan suami istri
yang sah, sehubungan dengan banyaknya razia terhadap para tuna susila.
 Adanya sanksi sosial dari masyarakat terhadap pelaku perkawinan siri
Salah satu risiko perkawinan siri adalah timbulnya fitnah di masyarakat karena
masyarakat menganggap bahwa perkawinan yang dilakukan secara siri merupakan
upaya untuk menutupi aib seputar kehamilan diluar nikah.
Walaupun spekulasi tersebut belum tentu benar adanya atau ada hal-hal lain yang

14
disembunyikan akan tetapi kecenderungan masyarakat akn membuat stigma negatif
pada pasangan yang melakukan perkawinan siri tersebut.
 Kesulitan bersosialisasi
Seorang perempuan yang melakukan perkawinan siri akan mengalami kesulitan
dalam bersosialisasi karena sering adanya stima negatif di masyarakat yang
menganggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau
dianggap sebagai istri simpanan. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan
pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan
kemudahan-kemudahan bagi suami istri dan masyarakat serta untuk mencegah
adanya stigma yang negatif terhadap pasangan perkawinan siri.
 Menyulitkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya jika kelak ada persoalan-
persoalan yang menyangkut pasangan yang melakukan perkawinan siri tersebut.
Oleh karena perkawinan dilakukan secara siri (diam-diam atau dirahasiakan), maka
banyak masyarakat yang tidak mengetahui kalau kedua mempelai sudah menikah,
akibatnya bila terjadi perselisihan diantara pasangan perkawinan siri atau terjadi
penelantaran terhadap istri dan atau anak-anaknya secara ekonomi misalnya, maka
masyarakat akan kesulitan untuk membatu atau memberikan kesaksian.
 Timbulnya anggapan poligami terhadap pelaku perkawinan siri
Apabila ada pasangan yang melakukan perkawinan siri, maka masyarakat akan
menaruh kecurigaan danmenganggap bahwa perkawinan siri merupakan upaya
untuk menutupi adanya poligami sehingga dilakukan nikah secara diam-diam, agar
istri sebelumnnya atau istri pertamanya tidak mengetahui perihal poligami tersebut.
Walaupun anggapan tersebut tidak selalu benar adanya.
 Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu
Perkawinan siri selain memberikan dampak bagi pasangan yang melakukannya
jua menimbulkan dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum,
yakni: status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya
sebagaimana tercantum dalam Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan.
Status anak dalam akta kelahiran akan dicatat sebagai anak luar nikah karena
pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari
Negara sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya dan memiliki
hubungan keperdataan hanya dengan ibu dan keluarga ibunya. Hal ini juga akan

15
berdampak negatif bagi anak karena akan dianggap anak di luar kawin atau anak
tidak sah oleh masyarakat.
 Anak tidak berhak atas nafkah, warisan dan hak-hak lainnya
Apabila tidak ada pengingkaran dari ayahnya terhadap perkawinan yang
dilakukan dan mau bertanggungjawab dengan baik, maka tidak akan ada persoalan
dalam hal pemberian nafkah atau hak-hak lainnya. Namun apabila terjadi
pengingkaran atau ayahnya tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan begitu
saja anak hasil perkawinan siri maka hal ini akan merugikan anak. Anak menjadi
tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
Hak nafkah dan warisnya akan hilang karena anak tidak memiliki bukti apapun, maka
anak akan mendapat hak-haknya hanya dari ibunya.
Perkawinan siri juga akan merugikan anak-anak di kemudian hari, karena untuk
masuk sekolah harus ada akte kelahiran, sedangkan akte kelahiran bisa dibuat kalau
ada surat nikah. Sedangkan suami istri yang melakukan perkawinan siri tidak
mempunyai akte perkawinan atau surat nikah, maka akibatnya tidak bisa mempunyai
kartu keluarga. Sehingga anak yang lahir dari perkawinan siri juga akan kesulitan
mendapatkan akta kelahiran dan kalaupun dikeluarkan akta kelahiran, anak tersbut
hanya akan tercatat sebagai anak ibunya dan hanya berhak atas hak-hak
keperdataan dari ibu dan keluarga ibunya. Tapi tidak bisa menuntut dari ayahnya.
 Anak hasil perkawinan siri rentan menjadi korban eksploitasi diantaranya, seperti
pekerja seks komersil dan perdagangan anak. Oleh karena banyak anak-anak korban
perkawinan siri biasanya terlantar dan kurang terurus baik dari segi ekonomi,
kesehatan, pendidikan maupun masa depannya. Dikarenakan anak perkawinan siri
yang diasuh ibunya yang tidak mandiri secara ekonomi atau hanya dititipkan kepada
orang tua di kampung dengan jaminan kesehatan yang relatif rendah.
 Secara psikologis hubungan anak-anak dengan bapaknya lemah dan tidak kuat
karena status anak-anak yang lahir dari perkawinan siri dapat disangkal sebagai
anak bapaknya dan begitu pula sebaliknya.
Diantara dampak-dampak yang ditimbulkan dari praktik perkawinan siri baik
berupa dampak positif maupun negatif walaupun lebih banyak dampak negatif yang
ditimbulkan daripada dampak positifnya, akan tetapi sosiologi hukum tidak akan
memandang praktik perkawinan siri sebagai suatu perbuatan yang salah atau
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sosiologi hukum hanya
akan memandang sebagai suatu fenomena dalam masyarakat yang menjadi objek
dari sosiologi hukum dan memandangnya secara netral. Hanya saja pilihan

16
terakhirnya tetap diberikan kepada masyarakat, apakah akan tetap melakukan
perkawinan siri dengan segala akibat hukumnya ataukah memilih untuk mencatatkan
perkawinannya sesuai dengan aturan yang ditetapkan.

17
BAB III

PENUTUP

1. Simpulan
a. Perkawinan siri berasal dari kata “kawin” dan “siri”. Pengertian perkawinan menurut
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan kata siri berasal dari bahasa Arab yang berarti rahasia atau
menyembunyikan sesuatu. Secara bahasa perkawinan siri berarti perkawinan secara
sembunyi-sembunyi atau perkawinan yang dirahasiakan, sedangkan menurut
hukum perkawinan siri adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan
agama atau adat istiadat yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga
perkawinan itu tidak tercatat di kantor pegawai pencatat. Perkawinan siri dapat
dibagi menjadi dua, yakni : pertama, perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat
perkawinan, namun karena satu dan lain hal, tidak dicatat menurut peraturan
perundang-undangan. Kedua, perkawinan yang dilakukan tanpa terpenuhi salah
satu atau beberapa rukun dan syaratnya.
b. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain
meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk
menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.
Sosiologi hukum hanya mendekati hukum sebagai obyektifitas semata dan
bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang nyata. Praktik
perkawinan siri di Indonesia terjadi disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya : faktor ekonomi, berbenturan dengan aturan hukum positif, faktor
pemahaman agama, faktor Hamil diluar nikah, aktor kurangnya pemahaman dan
kesadaran masyarakat tentang pencatatan pernikahan, faktor sosial, sulitnya
aturan berpoligami, faktor tradisi, masih adanya masyarakat yang melakukan
nikah sirri karena tidak ada yang mau mengambil tindakan yang tegas.
c. Perkawinan siri sebenarnya memiliki dampak bagi suami, isteri maupun anak-
anak, baik dari sisi positif maupun sisi negatif. Adapun dampak positif yang dapat
ditimbulkan dari praktik perkawinan siri tersebut diantaranya dapat menutupi hak-
hak individu, hilangnya kekhawatiran perzinahan. Sedangkan dampak negatif dari
perkawinan siri diantaranya adalah tidak memberikan kepastian hukum,
menyulitkan untuk mengidentifikasi status seseorang sudah menikah atau belum,

18
tidak diakui sebagai istri atau suami karena perkawinan tidak tercatat secara
hukum, terabaikannya hak dan kewajiban sebagai isteri atau suami, tidak berhak
atas nafkah, warisan dan pembagian harta bersama, menimbulkan keresahan
atau kehawatiran melaksanakan perkawinan siri, dikarenakan tidak
memiliki akta nikah, adanya sanksi sosial dari masyarakat terhadap pelaku
perkawinan siri, kesulitan bersosialisasi, timbulnya anggapan poligami terhadap
pelaku perkawinan siri, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibu, anak tidak berhak atas nafkah, warisan dan hak-hak lainnya,
anak hasil perkawinan siri rentan menjadi korban eksploitasi, secara psikologis
hubungan anak-anak dengan bapaknya lemah dan tidak kuat.
2. Saran
a. Perlu dilakukan lagi sosialisasi kepada masyarakat agar lebih memahami dan mau
menaati aturan mengenai pencatatan perkawinan, mengingat banyaknya manfaat
dari melakukan pencatatan perkawinan sebagaimana yang diamanatkan peraturan
perundang-undangan.
b. Masyarakat yang akan melangsungkan perkawinan agar lebih memahami aturan
terkait pelaksanaan perkawinan dan memahami dampak atau akibat hukum yang
akan ditimbulkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
Abdul Rahman Ghozali, 2003, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta.
Ahmad Rofiq, 2000, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Ahmad Warson Munawwir, 2005, “Al-Munawwir Qamus Arab – Indonesia” dalam
Muhammad Amin Summa (ed), Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam , Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
G. Kartasapoetra, dkk, 1997, Sosiologi Umum. Bina Aksara, Jakarta.
Lili Rasyidi, 1982, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia ,
Alumni, Bandung.
M. Anshary MK, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Mahmud Sholeh dan Asrorun Ni’am, 2008, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan
Keluarga, eLSAS, Jakarta,
Neng Zubaedah, 2010, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Sinar
Grafika, Jakarta
Sudarsono, 1991, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta
Tihami dan Sohari Sahrani, 2010, Fikih Munakahat, Rajagrafindo Persada, Jakarta
Titik Triwulan Tutik, 2011, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana,
Jakarta.
Yayan Sopyan, 2012, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Wahana Semesta Intermedia, Jakarta
2. Jurnal
M. Idris Ramulyo, 2001, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam , Sinar Grafika, Jakarta
Munir Subarman, Nikah Dibawah Tangan Perspektif Yuridis , Jurnal Wacana Hukum
Islam dan Kemanusiaan, Vol. 13, Nomor 1, Juni 2013
Siti Ummu Adillah, Analisis Hukum Terhadap Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi
Terjadinya Nikah Sirri Dan Dampaknya Terhadap Perempuan (Istri) Dan Anak-
Anak”, dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, Edisi Khusus Februari 2011.
3. Internet
http://kbbi.web.id/kawin

20
https://media.neliti.com/media/publications/29624-ID-nikah-di-bawah-tangan-
perspektif-yuridis-dan-sosiologis.pdf

21

Anda mungkin juga menyukai