Hukum Keluarga dan Perkawinan merupakan seperangkat kaedah yang mengatur aspek
hukum keluarga dan aspek hukum perkawinan. Sebetulnya antara aspek hukum keluarga dan
aspek hukum perkawinan merupakan 2 hal yang saling berkaitan, karena perkawinan
merupakan dasar pembentuk keluarga.
Keluarga dilihat dari sistem sosial merupakan dasar susunan masyarakat Nasional (Basic
social Structure), oleh karena itu perlu segera diatur dan selanjutnya ditentukan bentuk serta
sistem apa yang dipilih sebagai pencerminan politik hukum di Indonesia, yang nantinya akan
memberi arah perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia di kemudian hari.
1. Motivasi Biologis, perkawinan merupakan bentuk pelayanan libido sexualis dari manusia
dalam rangka memenuhi dorongan untuk melangsungkan hasrat biologisnya dan dorongan
untuk melangsungkan jenisnya (regenerasi).
2. Motivasi Sosiologis, perkawinan merupakan salah satu titik perjalanan hidup manusia
dalam masyarakat yang merupakan lingkaran kehidupan (circle of life) dari lahir, menjadi
anak-anak, menjadi remaja, menjadi dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia.
Perkawinan merupakan titik puncak dari circle of life kehidupan manusia, oleh karena itu
perkawinan bagi masyarakat Jawa sering dikatakan sebagai “purna jeneng” atau sempurna
statusnya, artinya keberadaannya (eksistensi) sebagai anggota masyarakat telah mencapai
titik yang diakui keberadaannya. Biasanya dari perkawinan tersebut diikuti konsep yang
melengkapi yaitu telah mandiri (mentas), artinya telah membentuk rumah tangganya
sendiri (tidak ikut orang tua).
3. Motivasi Religieus, dalam hal ini dari sudut agama Islam dalam surat ar-Rum: 21
disebutkan “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diciptakanNya untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. Perkawinan merupakan
kewajiban yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia dan merupakan kriteria bagi
muslim yang beriman, dengan demikian perkawinan merupakan bagian dari aspek
keimanan.
4. Motivasi Psikologis, perkawinan akan menjadikan setiap orang menemukan ketentraman
dalam aspek kejiwaannya, karena biasanya bagi seseorang yang tidak kawin sering terlihat
tanda-tanda ada kelainan bila dibandingkan dengan orang lain dalam tingkah laku sehari-
harinya.
5. Motivasi Ekonomis, perkawinan dapat dipandang sebagai suatu jalan keluar dalam
mengatasi masalah ekonomi atau mengurangi beban ekonomi atau justru meningkatkan
kondisi ekonomi keluarga dan yang bersangkutan.
6. Motivasi Politis, perkawinan dalam masyarakat sering pula dapat dijadikan sarana untuk
mencapai suatu penyelesaian perselisihan maupun untuk meningkatkan hubungan diantara
dua keluarga dengan alasan kepentingan tertentu.
7. Motivasi Genetis, perkawinan yang dilakukan dengan berorientasi pada patokan dasar
bibit, bebet, dan bobot sebagaimana yang dikemukakan oleh Woerjanto (tanpa tahun: 2-3)
sebagai berikut:
a. Bibit, berarti keturunan dari orang baik-baik ditinjau dari sudut kejiwaan.
b. Bebet, berarti jika seorang wanita adalah wanita yang suci, dan jika seorang pria yang
gagah perkasa berarti pria yang berani bertanggung jawab.
c. Bobot, berarti diambil dari orang yang budi pekerti.
Perkawinan dengan apapun motifnya apabila dilihat dari sisi positifnya dapat dilihat
sebagai dasar dari system masyarakat dan dengan adanya perkawinan maka akan dapat
dibentuk suatu masyarakat yang beradab. Mengenai hal ini Muhammad Ali dalam bukunya
“De relegie van den Islam” dalam Soemiyati (1982: 17) menyatakan:
“Keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia, yang
menyebabkan terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan.
Tanpa perkawinan tidak ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada pula unsur-unsur
yang mempersatukan bangsa manusia, selanjutnya tidak ada peradaban”.
Pancasila memiliki posisi sebagai Dasar Negara dan tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, juga merupakan “sumber tertib hukum nasional” atau “sumber
dari segala sumber hukum” yang berlaku di negara Indonesia ini. Selanjutnya UUD 1945
sebagai hukum dasar yang tertulis ditetapkan pula sebagai landasan konstitusional bagi
pembinaan dan pembangunan hukum nasional di negara kita ini.
Sistem sosial menurut Nasikun (1986: 12-13) dikatakan sebagai suatu sistem dari
berbagai tindakan-tindakan, yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbagai
individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan
berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota
masyarakat. Yang paling penting diantara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah
apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial tersebut yang
sesungguhnya membentuk struktur sosial.
Menurut Parsons dalam Nasikun (1986: 11-12) antara lain dikatakan bahwa suatu
masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain dan di dalam masyarakat sering terjadi ketegangan-ketegangan
yang kadang kala menghasilkan perubahan-perubahan dalam masyarakat, kemudian faktor
yang paling penting memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di
antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Sistem nilai
tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial,
akan tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial itu sendiri.
Hukum merupakan suatu system nilai dapat pula dikatakan sebagai suatu refleksi dari
system social suatu masyarakat; dan hukum memiliki hubungan fungsional dengan
masyarakatnya, artinya tipe social dari suatu masyarakat akan mencerminkan pola hukum
yang berlaku pada masyarakatnya. Pada hakekatnya hukum merupakan perwujudan dari
nilai-nilai dari suatu masyarakat, dengan demikian dilihat dari pandangan ini di Indonesia
yang Bhineka Tunggal Ika ini menjadi banyak sekali system social yang ada dalam
masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dalam tata hukum di Indonesia yang berlaku atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 (pasal 131 Indische Staatsregeling yo pasal 163 Indische Staatsregeling) sebelum
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 yang merupakan produk hukum nasional yang mengatur
mengenai perkawinan, terdapat aneka ragam sistem sosial yang berlaku yaitu:
1. Sistem sosial pada masyarakat golongan eropa dan golongan timur asing Cina yang
secara yuridis diberlakukan hukum perdata barat (KUHPerdata) berorientasi pada
sistem kekeluargaan bilateral, padahal sebenarnya pada masyarakat Cina
menggunakan sistem kekeluargaan patrilineal.
2. Sistem social pada masyarakat bumi putera (Indonesia asli) berlaku dua macam
system social, yaitu:
a. Sistem social sebagaimana terlihat pada system hukum Islam yang sebetulnya
lebih bercorak system kekeluargaan patrilineal.
b. Sistem sosial sebagaimana terlihat pada sistem hukum adat yang secara umum
memiliki 3 corak, yaitu sistem kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaan
matrilineal dan sistem kekeluargaan parental dan masing-masing corak tersebut
masih dimungkinkan memiliki banyak variasinya.
Mengemban cita-cita hukum yang diamanatkan oleh UUD 1945, maka secara bertahap
dan secara sektoral telah dicanangkan pembangunan hukum nasional. Khusus di lapangan
hukum keluarga dan perkawinan diterbitkan UU No. 1 Tahun 1974 yang di dalamnya
diajukan suatu sistem nilai yang diharapkan dapat diberlakukan secara unifikasi dan
diharapkan pula dapat menjadi sarana untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat Indonesia.
Telah digariskan dalam GBHN yang dituangkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973
Naskah Bab D, b Hukum angka 2, dinyatakan bahwa pembinaan bidang hukum harus mampu
mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan Hukum sesuai dengan “Kesadaran
Hukum Rakyat” yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan Kepastian hukum sebagai
prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus
berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh.
Kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke adalah masyarakat yang sangat
heterogin dan terdiri dari banyak sekali suku-suku bangsa.
2. Tipologi masyarakat Indonesia sangat bervariasi (prismatis), yaitu: Masyarakat
Primitif, Masyarakat Sederhana, Masyarakat yang Berburu, meramu, berladang dan
bersawah, Masyarakat Pedesaan, Masyarakat Perkotaan, Masyarakat Agraris,
Masyarakat Industri, Masyarakat yang eksklusif atas dasar budaya maupun agama.
3. Adanya system kemasyarakatan (kekerabatan) yang berbeda-beda pada masyarakat
di Indonesia (Patrilineal, Matrilineal, dan Parental).
4. Masih ada hukum yang berorientasi pada pergolongan rakyat.
5. Masih banyaknya hukum yang berlaku di Indonesia (pluralisme hukum), yaitu sistem
Hukum Barat, sistem Hukum Islam, dan sistem Hukum Adat.
C. Ide Pembaharuan
Suatu ide pembaharuan, menurut M. Yahya Harahap (1975: 5-6) dijelaskan sebagai
berikut:
1. Hukum perkawinan lebih mendekati sifat yang publik daripada privat semata.
2. Hukum perkawinan erat kaitannya dengan ketertiban umum (publik orde), sehingga
perlu diprioritaskan dalam pengaturannya dan didahulukan daripada hukum perdata
lainnya.
3. Hukum perkawinan ini menampung aspirasi emansipasi tuntutan masa kini kea rah
yang lebih memenuhi kenyataan aktuil sejajar dengan taraf perkembangan
peningkatan kecerdasan dan peningkatan taraf peradaban bangsa di bidang
perkawinan.
4. Hukum perkawinan menempatkan kedudukan suami-isteri dalam perkawinan berada
dalam kedudukan yang sama sederajat, baik terhadap harta perkawinan, terhadap
anak-anak dan juga dalam proses perceraian. Begitu juga persamaan hak dan
kedudukan di dalam kehidupan rumah tangga maupun di dalam kehidupan
masyarakat.
5. Hukum perkawinan ini memperbaiki kepincangan-kepincangan yang terdapat pada
system tata cara perkawinan dan perceraian, serta mempersempit jalannya poligami.
6. Hukum perkawinan ini mengatur segala tindakan yang berkaitan dengan perkawinan,
poligami dan perceraian sama sekali tidak terlepas dari campur tangan kekuasaan
negara yang ditunjuk berwenang untuk mengawasi dan memutus untuk itu sehingga
semua aspek yang berhubungan dengan hukum perkawinan tidak bisa lagi atas
kehendak sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
7. Hukum perkawinan ini memberikan landasan mengenai konsep keluarga yang dipilih
sebagai keluarga yang ideal, yang mencerminkan pandangan atas dasar falsafah
Pancasila serta nilai murni kepribadian bangsa Indonesia, yaitu konsep keluarga yang
membentuk kehidupan rumah tangga bahagia, rukun dan sejahtera dunia dan akhirat.
Ide pembaharuan dengan memperkenalkan suatu konsep keluarga yang menjadi tujuan
dari perkawinan, selanjutnya menurut M. Yahya Harahap (1975: 7) kalau dibandingkan
dengan tujuan perkawinan dengan negara-negara lain yang sudah maju, tujuan perkawinan
tersebut jauh lebih tinggi nilai falsafahnya dengan apa yang kita jumpai pada negara-negara
yang sudah super modern seperti Amerika pun masih berpendapat bahwa keluarga itu adalah
landasan struktur sosial (The family is the basis of our social structure (You and the Law;
Arthur P. Crabtree; hal 139)). Famili dianggap sebagai basis social structure, maka
Pemerintah harus ikut mengatur ketentuan-ketentuan perkawinan, sehingga legalitas suatu
perkawinan ditentukan oleh hukum negara.
UU No. 1 Tahun 1974 oleh para pembentuk UU dikontruksi berdasar atas asas-asas
hukum perkawinan yang menurut M. Yahya Harahap (1975: 7-10) dirumuskan sebagai
berikut.
Penjelasan mengenai unifikasi hukum perkawinan ini akan dimulai dari melihat
gambaran politik hukum perkawinan sebelum dan sesudah berlakunya UU no. 1 Tahun 1974.
Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ini, pada bagian penjelasan umum dari UU
No. 1 Tahun 1974 angka 1 secara tegas telah dijelaskan maksud dari para pembentuk UU
No. 1 Tahun 1974 mengenai ide unifikasi hukum di bidang hukum keluarga dan
perkawinan yang dirumuskan bahwa bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia
adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. Kemudian
pada angka 5 Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 juga ditentukan bahwa untuk
menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan
menurut hukum yang telah ada adalah sah.
Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 di atas dimulai dengan kalimat “Untuk perkawinan
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-
undang ini”, artinya ruang lingkup materinya tidak hanya mengenai perkawinannya saja
akan tetapi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, yaitu akibat
hukum yang timbul dari adanya perkawinan di lapangan hukum keluarga, seperti
hubungan suami dan isteri, harta benda perkawinan, anak, hubungan antara orang tua
dengan anak, perwalian dan sebagainya.
UU No. 1 Tahun 1974 dalam tata hukum Republik Indonesia merupakan hukum
negara dan sebagai hukum positif yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Berlakunya
hukum perkawinan atas dasar agama (termasuk hukum Islam) justru disana-sini
dilegitimasi oleh UU No. 1 Tahun 1974 melalui pasal-pasalnya. Apabila terjadi
pertentangan nilai antara hukum negara (UU No. 1 Tahun 1974) dengan hukum agama,
yang harus diikuti adalah ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974; seperti dalam hukum
agama Kristen tidak boleh adanya perceraian karena bagi mereka hanya dikenal
perkawinan sekali seumur hidup (pandangan agama), akan tetapi menurut UU No. 1
Tahun 1974 dibolehkan terjadi perceraiana diantara mereka asalkan memenuhi alasan
dan prosedur perceraian sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Demikian
juga bagi orang yang beragama Islam yang menurut hukum Islam talak bisa dilakukan
tanpa melalui pengadilan, sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 cerai (talak) harus
dilakukan melalui pengadilan (Pengadilan Agama). Jadi dalam melakukan penafsiran
(interpretasi) berlakunya hukum agama (termasuk hukum Islam) harus di dalam bingkai,
kerangka, jiwa dan suasana kebatinan dari UU No. 1 Tahun 1974.
Pasal 67
BAB II
Sistematika berasal dari kata “system”, yang artinya antara lain menurut Tatang M.
Amirin dalam Soleman B Taneko (1986:2) dinyatakan sebagai:
“Sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisasikan, suatu himpunan gagasan,
prinsip, doktrin, hukum, dan sebagainya yang membentuk suatu kesatuan yang logic dan
dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan
tertentu”.
Jadi suatu sistematika merupakan suatu system yang disusun secara urut, artinya urutan
tersebut merupakan kerangka berpikir yang merupakan kesatuan dan urutan pertama
merupakan dasar bagi urutan berikutnya, selanjutnya urutan berikutnya merupakan
kelengkapan atau konsekuensi logis dari urutan sebelumnya.
Undang-undang yang di dalamnya terdiri dari banyak Bab, pasal, dan ayat merupakan
suatu system yang tersusun secara sistematis dan didasarkan atas kesatuan alam berpikir atau
asas-asas atau pikiran dasar yang mengorganisasikan sekian banyak nilai-nilai yang
dirumuskan sebagai penjabaran dari politik hukum, dalam hal ini di bidang hukum keluarga
dan perkawinan.
Kerangka piker sistemnya dapat dirinci dalam pandangan Mikro Sistem (Bab I sampai
dengan bab IX) dan Makro Sistem (Bab X sampai dengan Bab XIV).
Mikro Sistem:
Makro Sistem:
Selanjutnya pada Bab XII sampai dengan Bab XIV merupakan ketentuan yang melengkapi
sistemnya dalam rangka penerapan hukum serta kepastian hukum:
1. Pada Bab XII ini, yaitu Bab mengenai Ketentuan-ketentuan lain yang terdiri dari empat
bagian, telah diatur mengenai pembuktian asal-usul anak, perkawinan diluar Indonesia,
perkawinan campuran serta pengertian Pengadilan sebagai ketentuan di luar materi
perkawinan, akan tetapi berkaitan dengan permasalahan perkawinan dalam nuansa
bekerjanya suatu sistem hukum.
2. Pada Bab XIII ini menunjukkan bekerjanya secara system sehubungan dengan
dinyatakannya suatu UU yang baru dalam hubungannya dengan kepastian hukum terhadap
segala peristiwa hukum perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun
1974 ini, yaitu berupa Ketentuan Peralihan. Ketentuan peralihan ini penting demi
kepastian hukum, karena prinsip UU tidak berlaku surut adalah suatu prinsip yang harus
diperhatikan dalam penerapan hukum.
3. Ketentuan yang penting sekali dalam rangka bekerjanya system hukum perkawinan di
Indonesia pasca diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 adalah Bab XIV Ketentuan
Penutup, yaitu pasal 66 yang merupakan pernyataan hukum yang menunjukkan sifat
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara unifikasi bagi seluruh warga negara Indonesia
yang tidak lagi mengenal pergolongan rakyat dan pasal 67 yang menentukan kepastian
hukum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara efektif.
Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974 ini menunjukkan sifat dari UU No. 1 Tahun 1974 sebagai
UU Pokok, artinya hanya mengatur pokok-pokoknya saja, sehingga untuk dapat diperlakukan
masih memerlukan peraturan pelaksanaan (UU organic) yang merinci lebih lanjut dan supaya
tidak bersifat interpretable. Keadaan suatu peraturan yang tidak jelas akan menimbulkan
ketidakpastian hukum, dan pembuatan peraturan-peraturan pelaksanaan harus diikuti
pembuatan peraturan yang lebih bersifat teknis; missal mengenai bentuk serta format akte
perkawinan, perjanjian kawin dan lain sebagainya. Hal ini menjadi penting karena suatu
pengaturan yang tidak lengkap justru akan menimbulkan permasalahan baru di dalam
pelaksanaan hukumnya.
BAB III
DASAR-DASAR PERKAWINAN
Dasar-dasar perkawinan merupakan fundamen yang dibangun atau dipola agar setiap
perilaku perkawinan yang dilakukan oleh seluruh warga negara Indonesia mengikuti atau
berpedoman pada konsep yang dirumuskan dalam UU No. 1 Tahun 1974. Dasar-dasar
perkawinan ini sangat penting untuk dirumuskan dan disepakati sebagai suatu cita-cita,
sebagai suatu perasaan dan kesadaran hukum bagi masyarakat Indonesia, artinya sebagai
suatu idealisme yang akan diwujudkan dalam suatu kenyataan hidup dalam masyarakat
sehari-hari.
Ketentuan-ketentuan dalam dari UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dasar-
dasar perkawinan ini ada 5 pasal, yaitu Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dan dari ke 5 pasal
tersebut yang merupakan inti utama yang merupakan jiwa atau suasana batin serta yang
mencerminkan idealisme perkawinan di Indonesia adalah ketentuan pada Pasal 1 yang
menjelaskan terminology atau begrip mengenai perkawinan yang bersifat nasional (rumusan
otentik mengenai pengertian perkawinan).
1. Menurut KUHPerdata
Di dalam KUHPerdata tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi tentang
pengertian perkawinan, tetapi sebagai pedoman dapat dilihat pada Pasal 26 KUHPerdata,
yang berbunyi:
“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata”.
Pasal 26 KUHPerdata tersebut di atas memberikan gambaran bahwa perkawinan
tidak memandang soal agama dan kepercayaan, tetapi hanya dalam hubungan perdata.
Menurut J. Satrio (1988: 78) dikemukakan, bahwa Pasal 26 KUHPerdata hanya
mengakui perkawinan perdata, dan dengan pasal ini hendak ditegaskan bahwa
KUHPerdata tidak mengakui perkawinan gereja. Demikian juga yang dikemukakan oleh
Scholten dalam R. Soetojo Prawirohamidjojo (1989: 31) bahwa perkawinan adalah suatu
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
dengan kekal yang diakui oleh negara; atau dengan kata lain perkawinan merupakan
suatu hubungan hukum yang terjadi karena suatu perjanjian di lapangan hukum keluarga
dan menimbulkan status sebagai suami isteri serta bertujuan untuk hidup bersama.
Perkawinan dilaksanakan oleh kedua orang calon pengantin (pria dan wanita) dan
masing-masing menyatakan kehendaknya untuk kawin dihadapan pegawai pencatatan
sipil (Pasal 78 KUHPerdata) dan disaksikan oleh 2 orang saksi, bahwa mereka saling
menerima sebagai suami isteri dan bersedia sungguh-sungguh melaksanakan segala
kewajiban yang dibebankan oleh hukum kepada mereka di dalam perkawinan (Pasal 80
KUHPerdata).
Perkawinan tersebut harus merupakan hubungan hukum (perdata) yang diakui oleh
negara, maka untuk itu harus dilakukan pencatatan perkawinan dari Kantor Catatan Sipil,
dan justru upacara keagamaan untuk melangsungkan perkawinan tidak boleh dilakukan
sebelum dapat dibuktikan telah dilaksanakan perkawinan dihadapan pegawai catatan
sipil telah berlangsung (pasal 81 KUHPerdata).
2. Menurut Hukum Islam
Dalam bukunya “Outlines of Muhammadan Law” (pokok-pokok Hukum Islam),
Asaf A.A Fyzee dalam Nadimah Tanjung (1977: 28) menerangkan bahwa perkawinan
menurut pandangan Islam mengandung tiga aspek yaitu: aspek hukum, aspek sosial,
aspek agama.
Aspek Hukum
Perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung
tiga karakter yang khusus yaitu:
1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela.
2) Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan
itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan
ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan
kewajiban masing-masing.
Aspek Sosial
Perkawinan mempunyai arti penting yaitu sebagai berikut:
1) Pada umumnya orang yang melakukan perkawinan atau pernah melakukan
perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum
kawin. Khusus bagi kaum wanita dengan perkawinan akan memberikan kedudukan
social yang tinggi, karena ia sebagai istri dan wanita mendapat hak-hak tertentu dan
dapat melakukan tindakan hukum dalam berbagai lapangan mu’amalat. Ketika
masih gadis tindakan-tindakannya masih terbatas, harus dengan persetujuan dan
pengawasan orang tuanya.
2) Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, dulu wanita bisa dimadu tanpa batas
dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan
mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun
dengan syarat-syarat yang tertentu pula.
Aspek Agama
Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang
baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja, tetapi
diikat juga dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut ajaran Islam, perkawinan itu tidaklah
hanya sebagai suatu persetujuan bisa melainkan merupakan suatu persetujuan suci,
dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling
meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Tujuan perkawinan dalam Islam menurut Soemiyati (1982: 160) dapat diperinci
sebagai berikut:
i. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat kemanusiaan.
ii. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
iii. Memperoleh keturunan yang sah.
3. Menurut Hukum Adat
Perkawinan menurut hukum adat merupakan bagian suatu proses circle of life, yang
ditandai dengan suatu upacara, artinya menurut hukum adat suatu perkawinan
merupakan suatu upacara krisis-rite atau rites de passage. Suatu upacara yang penting
karena seseorang telah mencapai titik puncak (sempurna statusnya atau purna jenengnya)
dan keberadaannya selaku warga masyarakat telah eksis, apalagi bila kemudian diikuti
dengan kemandirian dalam kehidupan rumah tangganya.
Perkawinan bukan saja merupakan “perikatan perdata” tetapi juga merupakan
“perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”.
Menurut Ter Haar Bzn. dalam Hilman Hadikusuma (1980: 8) perkawinan dijelaskan
sebagai berikut:
Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
martabat serta urusan pribadi, begitu pula menyangkut urusan keagamaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Van Vollenhoven bahwa dalam hukum adat banyak
lembaga hukum dan kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan di luar dan di
atas kemampuan manusia.
Ragam Perkawinan menurut hukum Adat dijelaskan oleh Woerjanto (tanpa tahun:
13-20) sebagai berikut.
a. Pada Masyarakat Patrilineal
Seperti pada masyarakat Batak mereka menggunakan bentuk perkawinan dengan
system “pembayaran jujur” yang memiliki konsekuensi pihak si perempuan (pengantin
perempuan) berpindah dan menggunakan nama marga suaminya, dan memiliki ciri-ciri
tertentu, yaitu exogam, patrilocal, dan asymetris.
Exogam, artinya larangan keras kawin dengan sesame anggota marganya, jadi
perkawinan harus dari antara orang-orang di luar anggota marganya.
Patrilocal, artinya isteri harus bertempat tinggal di tempat kediaman suaminya atau
dalam lingkungan keluarga suaminya.
Asymetris, artinya jika sesuatu marga berkedudukan sebagai “Hula-hula”, yaitu
pihak yang menyerahkan perempuan dan pihak yang menerima perempuan disebut
dengan “Boru”.
Di Batak sistem asymetris ini dikenal dengan istilah “Dalian Natolu”, artinya bokor
berkaki tiga, dengan tersusun hubungan 3 marga secara segitiga maka akan menjadi kuat.
Laki-laki anggota Marga A bila mau kawin, ia akan mengambil pengantin
perempuannya dari Marga C, dan apabila orang laki-laki Marga C mau kawin ia
mengambil pengantin perempuannya dari Marga B, demikian pula apabila orang laki-
laki Marga B mau kawin ia akan mengambil pengantin perempuannya pada Marga A.
Anak-anak yang dilahirkannya (laki-laki) sebagai penerus silsilah dari bapaknya
(Patrilineal).
Varian dari system perkawinan pada masyarakat Patrilineal ini bisa terjadi seperti,
antara lain:
1) Amani Manu (di Batak), yang memiliki ciri-ciri:
a. Suami adalah orang luar masyarakat hukum dan miskin.
b. Mempunyai fungsi sebagai pembangkit anak.
c. Laki-laki tersebut dipandang sebagai pembantu/pesuruh mertua dan ia
menumpang di tanah isterinya dan bekerja untuk menambah hasilnya kepada harta
benda isteri.
d. Mengenai anak terdapat pengertian, dalam hubungan mewaris mengikuti si Ibu,
dan hubungan perkawinan mengikuti si bapak.
2) Semendo Tambi Anak (di Lampung), memiliki ciri-ciri:
a. Anak perempuan dikawinkan dengan orang luar keluarganya tetapi masih anggota
satu clan secara semendo.
b. Si Suami dijadikan anak angkat, jadi kedudukannya menjadi sederajat dengan
isterinya. Anak-anak dari perkawinan ini masuk clan ibu, mereka dapat mewaris
dari ayah tetapi bukan barang pusaka. Bila mertua meninggal terlebih dahulu, si
isteri yang mewaris. Jika si Isteri yang meninggal terlebih dahulu dari orang
tuanya maka si Suamilah yang mewaris untuk diberikan kepada anak-anaknya.
3) Kawin Tegak Tegi (di Lampung), ciri-cirinya hampir sama dengan Semendo Tambi
Anak, dengan perbedaan ialah: laki-laki diambil dari keluarga yang terdekat atau
dengan perkataan lain dari kurungnya (masih keluarga sendiri dan masih clan sendiri).
4) Kawin Jeng Mirul (di Lampung), memiliki ciri-ciri:
a. Suami bukan dari keluarga terdekat.
b. Suami merupakan orang menumpang bukan di dalam bentuk penghinaan.
c. Suami merupakan anak angkat.
d. Suami dikawinkan dengan anak perempuan secara Semendo, sehingga
mempunyai akibat di dalam perkawinan ini, ia diangkat sebagai wakil mutlak bagi
anak-anak yang akan lahir, tetapi hanya turut mengawasi harta peninggalan untuk
kepentingan si istri dan anak-anaknya.
e. Suami tidak berhak untuk mewaris harta pusaka dan gelar adat.
f. Apabila anaknya perempuan maka dikawinkan secara Tambi Anak atau Tegak
Tegi karena yang mempunyai hak sepenuhnya adalah anak laki-laki.
5) Kawin Manginjam Jago (di Lampung), memiliki ciri-ciri:
a. Laki-laki dipinjam supaya anak perempuan mempunyai anak keturunan.
b. Perkawinan ini bukan bentuk penghinaan atau merendahkan diri sehingga berbeda
dengan perkawinan Amani Manu.
c. Si Suami berkedudukan sebagai orang menumpang. Anak yang dilahirkan masuk
clan ibu.
6) Semendo Tidak Beradat atau Semendo Penuh (di Rejang), memiliki ciri-ciri:
a. Tidak ada pembayaran uang adat dan yang dikatakan uang pelapih.
b. Anak-anak masuk clan ibu.
7) Semendo Beradat (di Rejang) Suami membayar uang pelapih, macam-macamnya:
a. Kurang Beradat: ialah bilamana si Suami membayar uang pelapih sampai 5 real.
Dengan membayar uang pedaut Suami dapat menarik anak-anak laki-laki seorang
atau anak perempuan ke dalam kesatuan keluarganya.
b. Setengah Beradat, ciri-cirinya:
(1) Si Suami membayar uang pelapih antara 5 sampai 10 real.
(2) Dengan tidak membayar uang pedaut si suami dapat menarik seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan ke dalam kesatuan keluarganya.
(3) Biasanya anak-anak memilih sendiri untuk ikut dengan ayah sehingga masing-
masing ayah ikut mengasuh anak-anaknya.
(4) Jika hanya ada seorang anak laki-laki saja maka dikawinkan secara jujur dan
apabila hanya ada seorang anak perempuan dikawinkan secara Semendo dan
cucu-cucunya dibagi.
8) Semendo Rajo-Rajo (di Rejang), memiliki ciri-ciri:
a. Perkawinan dari orang-orang yang berlainan marga tetapi perempuan tidak dijujur
dan laki-laki kawinnya tidak secara semendo biasa.
b. Suami ataupun isteri bebas untuk berdiam menurut kemauannya sendiri sehingga
disini tidak ada patrilocal atau natrilocal.
c. Dasarnya tetap oxogami.
d. Dasarnya adalah Hukum Kebapakan tetapi akibatnya tetap seperti hukum keibu
bapakan.
e. Bentuk pembayaran tidak bersifat jujur dan juga tidak bersifat semendo.
Akibat perkawinan ini ialah:
Bagi anak-anaknya termasuk clan ibu dan ayah dan pula menjadi ahli waris dari clan ibu
dan clan ayah.
b. Pada Masyarakat Matrilineal
Perkawinan Semendo kita terdapat di Minangkabau Sumatera Barat.
Bentuk-bentuk perkawinan Semendo di Minangkabau:
1) Kawin Bertandang atau Kawin Berkunjung atau Kawin Bertamu atau Kawin
Jampui
Ciri-cirinya:
a. Suami isteri tidak hidup bersama.
b. Isteri tetap di lingkungan keluarganya sendiri.
c. Suami sekali-kali datang ke rumah isterinya hanya untuk
menimbulkan/membangkitkan anak dan tidak wajib memberi nafkah kepada anak
isterinya.
d. Isteri dan anak-anak hidup atas dasar harta benda sendiri dan harta benda
keluarga isteri.
e. Anak-anak mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya.
f. Perkawinan semacam ini bagi si Suami tidak rendah kedudukannya seperti halnya
di Batak.
g. Kebanyakan perkawinan dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi di
dalam masyarakat, umpanya: kepala adat, datuk yang tinggi martabatnya dan
lain-lainnya.
h. Si Suami bekerja untuk membantu Saudara perempuannya sendiri sebab ia
berkewajiban memberi nafkah kepada anak-anak dari Saudara perempuan.
i. Tetapi kebiasaannya maka Suami membantu juga bekerja untuk isterinya.
Akibat perkawinan bertandang ini ialah banyaknya perkawinan poligami.
2) Perkawinan Menetap, memiliki ciri-ciri:
a. Suami menetap pada isterinya dan hidup bersama menambah harta isterinya.
b. Hubungan antara ayah, ibu, dan anak-anak sangat erat sehingga timbulnya
keluarga dalam arti sempit (kelamin).
c. Ayah berkewajiban untuk membiayai dan mengasuh anak-anaknya.
d. Antara suami dan isteri ada usaha bersama, mengakibatkan adanya harta bersama.
e. Suami tidak dapat menjual harta pokok (yang berupa sawah, ladang, hewan, dan
lain-lain) tanpa ijin isterinya.
f. Sebaliknya ia bebas untuk menjual hasil dari harta pokok umpamanya:
Hasil tanah : kelapa, padi
Hasik kolam : ikan
Hasil ayam : telur
Hasil rumah : sewanya
3) Perkawinan Bebas, memiliki ciri-ciri:
a. Perkawinan ini berdasarkan pilihan suami isteri sendiri.
b. Suami dan isteri hidup terlepas dari ikatan harta benda keluarganya.
c. Penghidupannya tidak lagi berdasarkan atas harta pusaka sehingga si isteri
biasanya hidup tergantung dari nafkah suaminya atas usahanya sendiri.
d. Antara suami isteri ada penghidupan bersama dan saling membantu sehingga
timbul harta bersama.
e. Akibat perkawinan bebas ini, maka timbullah anggapan bahwa anak sebagai ahli
waris ayah, sehingga dalam perkawinan bebas ini ada cirinya yang terpenting
adalah:
(1) Adanya harta bersama.
(2) Ada hubungan erat antara anak dan ayah.
4) Perkawinan yang terjadi di Daerah Semendo, memiliki ciri-ciri:
a. Perkawinan di tanah Semendo bersifat keibu bapaan atau dinamakan kawin anak
tengah, kecuali anak perempuan sulung yang kawin secara Semendo.
b. Anak sulung dinamakan anak tunggu subang, ialah yang mewarisi harta pusaka.
c. Di tanah Semendo terdapat Semendo Ngangkit ialah jika tidak ada anak
perempuan maka anak laki-laki dikawinkan secara jujur (meskipun dalam
masyarakat matrinial) dan setelah itu isterinya diangkat/dimasukkan di dalam
keluarga suami dan diangkat menjadi anggota keluarga. Maksud dari perkawinan
ini ialah suapaya suami dan isteri dapat mewarisi harta pusaka.
Menurut Prof. Mr. Dr. HAZAIRIN dari jenis-jenis perkawinan diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa pada akhirnya masyarakat patrilinial dan matrilinial berkembang ke
arah masyarakat bilateral/parental. Hal mana dapat dibuktikan makin banyaknya
perkembangan Semendo rajo-rajo dan perkawinan bebas.
c. Pada Masyarakat Parental
1) Di dalam masyarakat parental yang terdapat paling merata di Indonesia ialah di
seluruh Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, seluruh Kalimantan, seluruh
Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
Di dalam kekeluargaan semacam ini maka bentuk perkawinannya adalah secara
bebas atau biasa dapat menikah atas pilihannya sendiri dengan siapa saja asalkan
jangan keluarga yang terdekat (biasanya sampai tingkat III).
2) Suami dan isteri hidup terasing dari ikatan harta keluarganya dalam arti kesatuan
hukum tidak ada.
3) Disini ada harta pusaka dalam arti peninggalan dari mereka yang meninggal dunia
tetapi tidak di dalam arti harta pusaka seperti di Minangkabau.
4) Disini ada harta bersama ialah hasil usaha suami dan isteri.
5) Di dalam kekeluargaan semacam ini pada hakekatnya tiada perbedaan antara suami
isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing.
Jadi suami sebagai akibat dari perkawinan di masyarakat Parental menjadi keluarga
si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami.
6) Dengan demikian akibat suatu perkawinan seorang suami dan isteri masing-masing
mempunyai 2 kekeluargaan dan demikian seterusnya untuk anak-anak perempuan,
maupun antara cucu laki-laki dan cucu perempuan.
7) Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam perkawinan ada suatu pemberian tetapi tidak
dalam arti uang untuk membeli si isteri melainkan dalam arti uang untuk membeli
barang-barang rumah tangga suami isteri pada permulaan perkawinan.
8) Sering juga uang ini dinamakan Srikawin atau Maskawin.
9) Pada suatu perkawinan dalam kekeluargaan yang bersifat ke ibu bapaan pada
hakekatnya suami dan isteri selama perkawinan berlangsung berkedudukan sama
baik mengenai harta benda masing-masing atau harta benda milik bersama maupun
mengenai pergaulan hidup diantara mereka.
10) Hubungan kekeluargaan pada masyarakat parental memiliki 7 derajat:
a. Derajat pertama adalah saudara kandung, termasuk satu derajat dengan saudara
kandung adalah saudara misan dan saudara mindo.
b. Derajat kedua adalah cucu.
c. Derajat ketiga adalah buyut.
d. Derajat keempat adalah canggah.
e. Derajat kelima adalah wareng.
f. Derajat keenam adalah udeg-udeg gantung siwur.
g. Derajat ketujuh adalah petarangan bubrah.
Biasanya diantara mereka masih saling kenal pada derajat kedua (cucu) atau
mungkin sampai derajat ketiga (buyut), selebihnya jarang yang kenal satu sama lain.
Ketiga sistem hukum di atas yaitu menurut KUHPerdata, hukum Islam, dan hukum
Adat yang menjelaskan pengertian perkawinan, lebih lanjut apabila terhadap ketiga sistem
hukum tersebut di atas dilakukan pembandingan, maka terdapat beberapa hal yang secara
umum perlu digaris bawahi disini sebagai berikut.
1. Pengertian Perkawinan
a. Menurut pandangan dalam KUHPerdata, perkawinan merupakan kontruksi perjanjian
(transaksi) di lapangan hukum keluarga.
b. Menurut pandangan hukum Islam, perkawinan atau nikah merupakan aqad atau
perjanjian.
c. Menurut pandangan hukum Adat, perkawinan suatu upacara peralihan, suatu rite de
passage.
2. Sifat Hubungan Perkawinan
a. Menurut pandangan KUHPerdata, perkawinan merupakan perjanjian yang
menimbulkan status suami isteri.
b. Menurut pandangan hukum Islam, perkawinan atau nikah menimbulkan perikatan
antara suami isteri.
c. Menurut pandangan hukum Adat, perkawinan juga merupakan suatu perikatan akan
tetapi juga merupakan suatu tahapan peralihan dari proses circle of life yang
menghasilkan perubahan status social yang lebih baik (purna jenengnya atau sempurna
status sosialnya), dan perkawinan memiliki banyak ragamnya sesuai dengan system
kemasyarakatan dari suatu masyarakat tertentu.
3. Tujuan Perkawinan
a. Menurut pandangan KUHPerdata, suami isteri bersama-sama membentuk kehidupan
rumah tangga sebagai bentuk hidup bersama dalam satu rumah.
b. Menurut pandangan hukum Islam, perhubungan suami isteri dimaksudkan
mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga.
c. Menurut pandangan hukum Adat, suami isteri membentuk kehidupan brayat dan hidup
somah (satu rumah atau household) sebagai suatu paguyuban hidup
(lebensgemeineschaft) dimana mereka merasa kerasan (at home, a son aise).
B. Pengertian Perkawinan Menurut Sudut Pandang UU No. 1 Tahun 1974
Pengertian perkawinan telah dirumuskan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Nilai strategis dari Pasal 1 adalah pasal yang menjadi fokus utama yang berisi tujuan
yang hendak diwujudkan dalam kenyataan sebagai idealisme perkawinan (yang dicita-
citakan) serta merupakan pedoman tingkah laku bagi seluruh warga negara Indonesia yang
akan dan telah melakukan perkawinan. Kemudian seluruh pasal berikutnya secara sistematis
akan berfungsi secara sistematik untuk melaksanakan idealisme perkawinan yang dirumuskan
tersebut.
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan dirumuskan dalam kalimat yang berbunyi “Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”, yang
mengandung unsur-unsur:
a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin
Perkawinan adalah suatu hubungan hukum perikatan yang terjadi karena perjanjian
dan didasarkan atas kasih saying (cinta), artinya ikatan tersebut tidak cukup hanya
bernilai “ikatan lahir” saja dan bersifat “hubungan formil”, akan tetapi juga merupakan
“ikatan batin” yang mendasari ikatan lahir tersebut supaya memiliki kekuatan (tidak
rapuh) atau hanya merupakan hubungan sesaat saja.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita
Unsur-unsur perkawinan adalah seorang pria dengan seorang wanita, dari kalimat
tersebut terdapat 2 aspek penting, yaitu:
1) Pelaku perkawinan adalah berjenis kelamin pria dan wanita, berarti hubungan antara
sesama jenis wanita (lesbian) atau sesama pria (gay atau homo sex) sebagaimana
yang sering kita dengar dan terjadi di luar negeri, tidak termasuk yang dimaksudkan
dalam pengertian perkawinan ini.
2) Pelaku perkawinan dirumuskan dengan istilah seorang pria dengan seorang wanita,
istilah “seorang” berarti satu orang, artinya perkawinan ini menunjuk pada bentuk
perkawinan yang bersifat monogamy.
c. Sebagai suami isteri
Digunakannya istilah “sebagai suami isteri” menunjukkan bahwa perkawinan
merupakan perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita di lapangan hukum
keluarga, artinya perjanjian tersebut bukan perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban (obligatoir) di lapangan harta kekayaan, tetapi merupakan perjanjian yang
menimbulkan status, yaitu si pria berstatus sebagai suami dan si wanita berstatus
sebagai isteri.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dirumuskan dengan kalimat “dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Unsur-
unsurnya:
a. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
1) Keluarga
Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu kesatuan
kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas perkawinan yang
sah, dan idealnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya. Adanya anak-anak
menjadikan keluarga itu ideal, lengkap atau sempurna, akan tetapi tanpa adanya
anak pun keluarga sudah ada atau sudah terbentuk.
Keluarga sebagai suatu istilah bisa dipahami dalam pengertian keluarga inti
(nucleus family), yaitu sebagai suatu basic dari suatu susunan masyarakat (basic
social structure), bukan dalam arti masyarakat genealogis yang sering dikenal
sebagai kekerabatan, kekeluargaan, saudara, clan atau marga.
2) Rumah Tangga
Konsep rumah tangga dituliskan dengan dalam kurung setelah istilah keluarga.
Artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk keluarga begitu saja, akan
tetapi secara nyata harus terbentuk suatu rumah tangga; yaitu suatu keluarga
dengan kehidupan mandiri yang mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya (telah
memiliki rumah atau dapur sendiri).
UU ini menganut prinsip (Penjelasan Umum angka 4 huruf d UU No. 1 Tahun
1974), bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya (aspek biologis
maupun aspek psikologis) untuk melangsungkan perkawinan agar supaya dapat
mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
b. Yang Bahagia
Kehidupan bersama antara suami isteri dalam suasana bahagia, merupakan tujuan
dari pengertian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 ini. Untuk tercapainya
suasana kebahagiaan ini maka pada pasal 1 disyaratkan harus atas dasar “ikatan lahir
batin” yang didasarkan atas kesepakatan (konsensus) antara calon mempelai pria
dengan calon mempelai wanita.
Cinta menjadi fundamen dari suatu perkawinan, karena perkawinan memiliki arti
pula sebagai bersatunya antara 2 orang (seorang pria dan seorang wanita) dengan
disaksikan oleh Tuhan dan masyarakat. Penyatuan ini harus dilandasi suatu penerimaan
baik keburukan maupun kebaikan masing-masing. Hal itu baru dapat dicapai apabila
didasari oleh cinta; dengan cinta masing-masing akan bisa berkorban dan pengabdian
untuk yang lain. Inilah yang dimaksudkan sebagai suatu fundamen perkawinan yang
kokoh.
c. Dan Kekal
Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya untuk waktu
sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai waktu yang lama. Orang Jawa
menyebutnya supaya sampai “Kaken-Ninen” atau seperti kehidupan “mimi lan
mintuno”, yaitu kehidupan sepasang ikan yang bernama “Mimi” dan “Mintuno” yang
selama hidupnya selalu berdua.
d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah dijelaskan unsur-
unsurnya di atas secara ideal maupun secara yuridis harus dilakukan dengan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan yang dianut oleh calon pengantin pria
maupun wanita.
Arti dari unsur yang terakhir ini sebetulnya merupakan dasar fundamental dari
suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang bersumber dan berdasar atas Pancasila dan
UUD 1945. Falsafah Pancasila telah memandang bahwa manusia Indonesia adalah
makhluk individu, makhluk social dan juga sebagai makhluk religious, oleh karena itu
segala tindakan manusia Indonesia khususnya dalam perkawinan harus dilandasi pada
hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Secara konsepsual agama dan kepercayaan harus menjadi dasar perkawinan yang
dilakukan bagi masyarakat Indonesia telah dirumuskan pada Bagian Penjelasan UU No.
1 Tahun 1974, khususnya pada penjelasan Pasal 1 yang berbunyi:
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan,
yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi
hak dan kewajiban orang tua.
Perkawinan merupakan dasar pembentuk keluarga, di dalam keluarga terdapat
kehidupan, pertumbuhan, pembinaan dan pendidikan anak-anak (keturunan) diharapkan
akan menjadi insan yang bermartabat (shaleh). Selanjutnya suami sebagai kepala
keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga memikul tanggung jawab yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
C. Sahnya Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa yang akibatnya diatur
oleh hukum, atau sebagai suatu peristiwa yang diberi akibat hukum. Suatu perkawinan
merupakan suatu peristiwa hukum apabila perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang
sah. Jadi suatu perkawinan dikatakan sah menurut hukum adalah apabila suatu perkawinan
dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku, yang dalam hal ini adalah menurut UU No. 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, diakui (kebenarannya), mengikat,
dan juga memiliki akibat hukum serta memperoleh perlindungan hukum.
1. Sahnya Perkawinan Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat
Sebelum Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
a. Menurut KUHPerdata
Menurut KUHPerdata perkawinan sah adalah perkawinan yang diakui oleh
negara, untuk diakui oleh negara perkawinan tersebut harus dilaksanakan menurut
aturan dalam KUHPerdata, diantaranya adalah dilakukan dihadapan pegawai catatan
sipil dan dengan dihadiri saksi-saksi kedua calon suami dan calon isteri harus
menerangkan, yang satu, menerima yang lain sebagai isterinya, dan yang lain,
menerima yang satu sebagai suaminya, pula bahwa mereka dengan ketulusan hati
akan menunaikan segala kewajiban demi undang-undang ditegaskan kepada mereka
sebagai suami dan isteri (Pasal 80 KUHPerdata).
b. Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi rukun perkawinan,
yaitu adanya:
a. Calon suami dan calon isteri
b. Wali nikah
c. Dua orang saksi
d. Ijab dan Kabul
Kelima unsur tersebut di atas harus ada dalam perkawinan menurut hukum Islam,
tanpa adanya rukun tersebut suatu perkawinan tidak dapat dilaksanakan, dan untuk
setiap unsur perkawinan di atas di dalamnya juga terdapat persyaratan yang
mengikutinya (akan dijelaskan pada Bab persyaratan perkawinan).
Pencatatan nikah atau perkawinan tidak diwajibkan artinya bukan suatu
keharusan, artinya tidak dicatatkan pun perkawinan atau nikahnya telah sah dan
memiliki kekuatan hukum. Pencatatan nikah yang diatur dalam UU No. 22 Tahun
1946 dan sifatnya meneruskan peraturan dalam “Huwelijksordonnantie” Stbl. 1929
No. 348 jo Stbl. 1931 No. 467 c.a. adalah merupakan tindakan kebiasaan dari
pemerintah berdasarkan pertimbangan efisiensi semata.
c. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat, perkawinan merupakan bentuk tahapan circle of life dan
diwujudkan dalam suatu upacara krisisrites (rite de passage) adalah tidak hanya
menjadi urusan individu semata, akan tetapi lebih tampak sebagai urusan adat, kerabat
maupun ketetanggaan. Dalam hukum adat sahnya perkawinan dilihat dari aspek
penerimaan atau pengakuan dari masyarakatnya.
Sahnya perkawinan menurut hukum adat ini juga berkaitan diadakannya
serangkaian upacara sejak ijab dan Kabul, upacara temu (panggih), sampai dengan
upacara resepsi di rumah atau di gedung, oleh karena itu khususnya bagi masyarakat di
Jawa pada umumnya yang beragama Islam, antara perkawinan menurut agama dengan
menurut adat dilakukan bersamaan, artinya dalam satu paket acara. Biasanya
perkawinan dilakukan menurut aturan hukum Islam terlebih dahulu, kemudian baru
dilakukan upacara adat (Receptio sebagian).
2. Sahnya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Sahnya perkawinan diatur pada Bab I Dasar-dasar Perkawinan dalam Pasal 2 UU No.
1 Tahun 1974 yang berbunyi:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
a. Penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
Pada bagian Penjelasan pasal demi pasal, khususnya penjelasan Pasal 2 UU No. 1
Tahun 1974 dinyatakan sebagai berikut:
“Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945”.
Secara grammatical dari bunyi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, apa yang
dimaksud dengan digunakannya kata dan antara kata agamnya dengan kata
kepercayaannya.
1) Berarti Alternatif
Dilihat dari aspek Bahasa (grammatical), kata dan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001: 234) mempunyai arti Penghubung satuan bahasa (kata,
frasa, klausula, dan kalimat) yang setara. Apabila bunyi kalimat pada Pasal 2 ayat
(1) di atas dibaca dari aspek Bahasa Indonesia, antara kata agamanya dan kata
kepercayaannya itu bisa menimbulkan penafsiran bahwa kata dan merupakan kata
penghubung, sehingga bisa diartikan bahwa kata agamanya dan kepercayaannya
adalah 2 hal yang terpisah/berbeda tetapi setara dan memiliki fungsi yang tidak
berbeda. Apabila menggunakan penafsiran ini perkawinan dapat dilakukan menurut
masing-masing hukum agamanya atau masing-masing kepercayaannya (alternatif).
Jadi perkawinan menurut kepercayaannya pun atau menurut agamanya yang selain
5 agama (Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam) yang diakui sebagai agama di
Indonesia, dan juga perkawinan menurut kepercayaan/hukum Adat juga merupakan
perkawinan yang sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 ini.
2) Berarti Kumulatif
Para pakar hukum Islam di Indonesia ada yang menafsirkan kata dan di atas
menunjukkan bahwa antara kata agamanya dan kata kepercayaannya itu merupakan
kalimat kesatuan (kumulatif) yang tidak terpisahkan.
Menurut K. Wantjik Saleh (1980: 16) bahwa:
Pada hakikatnya perkawinan bukan hanya merupakan suatu perbuatan hukum
saja akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan. Oleh karena itu,
sah dan tidaknya suatu perkawinan tergantung sepenuhnya pada hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya yang dianut pribadi yang
melakukan perkawinan.
Menurut pendapat Hazairin (1961: 61), yang dimaksud dengan tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
adalah sebagai berikut:
Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan kawin dengan melanggar hukum
agamanya sendiri. Dengan demikian juga bagi orang Kristen dan orang Hindu,
Budha seperti yang dijumpai di Indonesia. Maka untuk sahnya perkawinan itu
haruslah menurut ketentuan agamanya dan kepercayaannya.
3) Kumulatif-Alternatif
Penafsiran kata dan ada pula yang menilainya sebagai bersifat kumulatif-
alternatif, artinya suatu perkawinan itu berarti suatu perkawinan sah apabila
dilangsungkan menurut hukum agamanya masing-masing, dalam hal ini termasuk
pengertian kepercayaan dalam agama itu, perlu diketahui disini bahwa dalam suatu
agama, terutama Islam dan Nasrani terdapat beberapa sekte/mazhab, juga mengenai
tata cara perkawinan, maka seseorang penganut agama tertentu itu bebas memilih
aliran kepercayaan atau mazhab Syafi’I, Hanafi bagi yang beragama Islam dan bagi
yang beragama Nasrani, bisa memilih sekte Baptis, Pantekosta, Advent, Katolik,
dan sebagainya yang diyakini atau diikutinya. Sehingga dalam pemahaman ini
keyakinan yang politheisme tidak dapat diterima, artinya orang Indonesia hanya
dibolehkan menikah dengan memilih salah satu agama yang diakui negara. Bagi
suku-suku terasing dalam hal ini dikecualikan, akan tetapi pada akhirnya mereka
harus memilih salah satu agama.
b. Permasalahan Yang Mungkin Timbul Dari Penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974
Penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang dilakukan oleh para
pembentuk UU maupun dari beberapa pakar hukum di atas, khususnya yang
mengartikan kata dan secara kumulatif maupun kumulatif-alternatif, didasarkan atas
beberapa asumsi:
1) Bahwa sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Bahwa bangsa Indonesia adalah makhluk religious (beragama), dan terhadap yang
belum beragama akan diarahkan supaya memeluk salah satu agama yang sah atau
diakui di Indonesia.
3) Bahwa agama yang sah diakui di Indonesia adalah hanya 5 agama, yaitu: agama
Hindu, agama Budha, agama Kristen, agama Katolik, dan agama Islam.
4) Bahwa tidak ada lagi perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan
kepercayaan.
Ke empat asumsi tersebut di atas yang menjadi dasar penafsiran Pasal 2 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974, sebetulnya telah menimbulkan permasalahan dan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1) Bahwa sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 setiap orang di Indonesia
memiliki kebebasan untuk melakukan perkawinan sesama warga negara Indonesia,
maupun dengan warga negara asing di Indonesia.
2) Bahwa setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 justru menjadi tidak bisa lagi
melakukan perkawinan menurut hukum di Indonesia.
3) Bahwa orang-orang yang tidak lagi bisa melakukan perkawinan menurut UU No. 1
Tahun 1974 adalah:
a. Diantara orang-orang yang memeluk agama yang berbeda
b. Diantara orang-orang yang belum beragama dan hanya menganut aliran
kepercayaan, termasuk agama Kong Hu Cu.
c. Diantara orang-orang yang hidup di pedalaman yang semula mereka melakukan
perkawinan menurut adat mereka.
4) Bahwa UU No. 1 Tahun 1974 telah menimbulkan diskriminasi hukum bagi
masyarakat Indonesia.
5) Bahwa orang-orang yang beragama berbeda, penganut aliran kepercayaan atau
beragama Kong Hu Cu, apabila mau melakukan perkawinan dapat menerobos
melalui ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu melakukan
perkawinan di luar negeri.
6) Bahwa pada akhirnya UU No. 1 Tahun 1974 mengenai sahnya perkawinan
ditafsirkan secara limitative, artinya Pengadilan tidak lagi bisa menafsirkan lain, dan
tidak boleh atas nama hukum melakukan tindakan rechtsvinding atau menciptakan
hukum baru yang dapat mengatasi permasalahan di atas.
c. Perkawinan Antar Pemeluk yang Berbeda Agama dan Antar Penganut Aliran
Kepercayaan
1) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda ini pernah menimbulkan pro
dan kontra pendapat.
a) Menurut pandangan hukum Islam
Menurut hukum Islam terdapat 3 (tiga) pendapat (Abdurrahman dan Riduan
Syahrani, 1978: 21-23), yaitu:
1. Pendapat yang bersifat umum, antara lain dapat dibaca pada al-Quran Surat
al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi:
Janganlah kamu nikahkan laki-laki musrik dengan perempuan muslimat
kecuali setelah mereka beriman, sungguh laki-laki merdeka muslim lebih
baik daripada merdeka musrik yang bagaimanapun menarik hatimu.
Surat al-Maidah ayat 5 yang berbunyi:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan. Di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
Kesimpulannya adalah perkawinan antara seorang pemuda muslim
dengan seorang gadis ahli Kitab adalah sah, akan tetapi tidak untuk gadis
muslim dengan pemuda ahli Kitab. Demikian juga perkawinan antara
pemuda muslim dengan gadis yang bukan ahli Kitab (kafir) adalah juga tidak
sah.
2. Pendapat dari Maulana Muhammad Ali dan Sayid Muhammad Rasyid Ridha,
yaitu perkawinan antara wanita muslim dengan non muslim adalah terlarang,
akan tetapi perkawinan antara seorang pemuda muslin dengan penganut
agama apapun di dunia ini dapat dibenarkan. Argumentasi yang
dipergunakan adalah dalam menafsirkan arti “Kitabiyah” atau “ahlul kitab”
yang terkandung dalam al-Maidah ayat 5 tidak hanya meliputi Yahudi dan
Kristen saja, akan tetapi juga Hindu, Budha, dan lain-lainnya.
3. Pendapat yang ekstrim dalam hukum Islam adalah pendapat yang tidak
memperkenankan sama sekali adanya perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda.
Dilihat dari sudut pandang agama Islam menurut beberapa pendapat di atas sudah
terjadi penafsiran yang berbeda-beda mengenai perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda, atau sebetulnya masalah ini merupakan sesuatu yang sangat
penting, tetapi justru oleh UU No. 1 Tahun 1974 tidak diadakan pengaturan yang
bersifat tegas.
Mengenai hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia pernah
berpendapat, sebagai berikut:
a) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
382/Pdt/’89/PW/Jakarta Pusat yang merujuk Keputusan Mahkamah
Agung No. 1400/K/Pdt/’89/PW/Jakarta Pusat
Harian Kompas tanggal 21 Januari 1992 menerbitkan suatu tulisan yang
berintikan:
Perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda bukan merupakan
perkawinan yang dilarang.
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda agama oleh UU No. 1
Tahun 1974 dinyatakan sebagai perkawinan yang tidak diatur atau belum
diatur, sehingga tidak terkena ketentuan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai perkawinan campuran hanya
bagi perkawinan antar warga negara Indonesia dengan warga negara asing,
oleh karena perkawinan dimaksud adalah perkawinan antar mereka yang
berbeda hukum, maka bisa diperuntuki ketentuan perkawinan campuran
dalam GHR S. 1898 No. 158.
Ketua mahkamah Agung pada waktu itu adalah Ali Said, SH ikut juga
tertarik mengajukan pendapatnya mengenai perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda ini, dengan mengatakan pada pokoknya bahwa perkawinan antar
pasangan yang beda agama adalah suatu kenyataan dalam masyarakat yang
majemuk di Indonesia, sulit mencegah adanya orang-orang yang beda agama
untuk saling jatuh cinta dan ingin menjalin hubungan dalam bentuk keluarga,
maka dengan memberikan persetujuan dan membenarkan (atas nama hukum)
kepada mereka untuk menjadi suami isteri dalam suatu perkawinan yang sah,
meskipun kanyataan agama yang mereka anut berbeda. Bahkan dalam
keputusan para Hakim juga terdapat penafsiran yang mengarah pada suatu
perkawinan yang tidak atau belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga bisa digunakan kekuasaan rechtsvinding sebagai dasar untuk mengisi
kekosongan hukum.
Pasal 7 ayat (2) Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau
Peraturan Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 dinyatakan bahwa
“perbedaan agama”, bangsa atau asal itu sama sekali tidak merupakan
penghalang untuk melangsungkan perkawinan, jadi ketentuan ini membuka
seluas-luasnya kemungkinan untuk mengadakan perkawinan antar pemeluk
agama yang berbeda, sekalipun dalam hal tertentu akan mengesampingkan
ketentuan hukum agama.
(Bandingkan dengan prinsip yang dikandung dalam ketentuan Pasal 66 UU
No. 1 Tahun 1974)
Penafsiran Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengenai perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda didasarkan atas
argumentasi sebagai berikut:
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda bukan sebagai suatu
perkawinan yang dilarang oleh UU No. 1 Tahun 1974, karena tidak secara
tegas dinyatakan dalam UU.
Pasal 27 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga negara memiliki
kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, sehingga adalah
tidak adil apabila terjadi perlakuan yang berbeda diantara sesama warga
negara Indonesia, dan diantara mereka hanya karena berbeda agama
menjadi tidak bisa melakukan perkawinan.
Pasal 29 UUD 1945 juga memberikan jaminan bahwa setiap warga negara
dijamin kemerdekaannya untuk memeluk agamanya. Persoalan agama ini
merupakan hak asasi dan harus dihormati oleh hukum di Indonesia.
Perkawinan juga merupakan aspek hak asasi manusia, maka peristiwa
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dapat digolongkan sebagai
perkawinan yang belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dapat
digolongkan sebagai perkawinan yang bisa diperuntuki ketentuan GHR S.
1898 No. 158 tentang perkawinan campuran. Pasal 7: UU Perkawinan
Campuran S. 1898 – 158 dinyatakan bahwa perbedaan agama, ras, suku,
keturunan atau kepercayaan tidak menjadi penghalang untuk menikah.
Orang tidak perlu lagi “main dengan agama”, yaitu pura-pura merubah
agama (simulasi) hanya untuk menikah. Orang dapat menikah walau
mempunyai agama yang berbeda (pandangan hukum).
Atau dengan kewenangan hakim dapat ditafsirkan bahwa perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga telah terjadi kekosongan hukum, oleh karena itu dapat digunakan
kekuasaan rechtsvinding.
2) Perkawinan antar penganut aliran kepercayaan
Pengertian kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut sarasehan
nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tahun 1981
disebutkan sebagai:
“Pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan serta
pengalaman budi luhur”.
Pengertian kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah dalam agama
sumbernya adalah wahyu ilahi, ada kitab suci dan nabi, serta merupakan hubungan
antara Tuhan dan manusia inpersonal. Sedangkan kepercayaan bersumber pada
pengalaman batin manusia, serta merupakan hubungan antara Tuhan dan manusia,
dan manusia sedapat mungkin mengosongkan diri dan menipiskan “aku melebur” di
dalam laku “hening” (pengosongan pikiran melalui semedi atau kontemplasi).
Selanjutnya berdasar atas surat Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 28
Desember 1979 No. MA/650/1979 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia, perihal Pencatatan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu:
a) Kelompok Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
memeluk salah satu agama.
Kelompok ini masih dikelompokkan lagi menjadi:
(1) Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memeluk
agama Islam.
(2) Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memeluk
agama selain Islam (non muslim).
b) Kelompok Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tidak
memeluk salah satu agama.
Pengelompokkan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa di atas memiliki konsekuensi yang berbeda dalam pelaksanaan perkawinannya,
yaitu:
a) Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
beragama Islam, pelaksanaan perkawinan dan tata cara pencatatan perkawinannya
sama dengan bagi warga negara Indonesia lainnya yang beragama Islam.
b) Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
beragama selain Islam, pelaksanaan perkawinan dan tata cara pencatatan
perkawinannya mengikuti aturan sesuai dengan agama yang dipeluknya.
c) Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
tidak memeluk agama tertentu, untuk kelompok ini harus merujuk Surat Menteri
Agama Republik Indonesia No. D. VI/1125/1978 tanggal 18 Oktober 1978 yang
ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, perihal
Penyebutan Agama, Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi umat
beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan, serta Surat Menteri
Agama Republik Indonesia No. B. VI/5996/1980 tanggal 17 Juli 1980 yang
ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri perihal Perkawinan dan Kewalian para
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagai berikut:
(1) Dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal
adanya tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut Aliran
Kepercayaan dan tidak dikenal pula penyebutan Aliran Kepercayaan dalam
Agama.
(2) Bagi pemeluk agama yang mengikuti Aliran Kepercayaan tidaklah kehilangan
agama yang dipeluknya, oleh karena itu pula tidak ada tata cara perkawinan
dan sumpah menurut Aliran Kepercayaan.
(3) Penegasan secara lisan dari Presiden kepada Menteri Agama tanggal 12
Oktober 1979 bahwa Perkawinan bagi penganut Aliran Kepercayaan harus
berdasarkan tata cara agama dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Penegasan lebih lanjut dapat pula dirujuk Surat Menteri Dalam Negeri No.
477/2535/PUOD tanggal 25 Juli 1990, yang dinyatakan bahwa bagi para Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak kehilangan agamanya dan
perkawinan mereka harus berdasarkan suatu agama. Selanjutnya juga ditegaskan lagi
dengan Surat Menteri Dalam Negeri No. 474.2/3069/PUOD tanggal 19 Oktober
1995, bahwa perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa tidak diperkenankan lagi untuk dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil
meskipun sudah mendapat izin Dispensasi/persetujuan dari Pengadilan Negeri
setempat.
d. Penafsiran Sahnya Perkawinan
Pengertian perkawinan dengan memperhatikan bunyi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 tidak lagi hanya merupakan “perbuatan hukum” saja akan tetapi
juga merupakan “perbuatan keagamaan”. Persoalannya sekarang adalah untuk sahnya
perkawinan, apakah antara “perbuatan hukum” dengan “perbuatan keagamaan”
merupakan perbuatan sebagai suatu kesatuan atau bukan merupakan perbuatan sebagai
suatu kesatuan.
Perkawinan sebagai “perbuatan hukum”, ditandai dengan dicatatkannya
perkawinan tersebut Catatan Sipil, dan “perbuatan keagamaan”, ditandai dengan
dilaksanakannya perkawinan menurut ketentuan agama yang dianut oleh kedua calon
mempelai.
Penafsiran mengenai sahnya perkawinan ini dalam kenyataannya memang terdapat
kerancuan, artinya belum adanya keseragaman atau pemahaman yang sama mengenai
sahnya perkawinan.
Apabila boleh dilakukan kualifikasi atas ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974,
maka ketentuan ayat (1) dapat dikualifikasi sebagai sahnya perkawinan secara materiil
dan ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sebagai kualifikasi sahnya perkawinan secara
materiil-formil.
1) Sahnya perkawinan secara materiil
Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 harus dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, adapun yang
dimaksud disini adalah termasuk ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentang
atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini (Sudarsono, 1991: 10).
Pendapat secara materiil tentang sahnya perkawinan yang hanya merujuk pada
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 diatas sampai ini agaknya masih
dipegang oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Artinya perkawinan sudah sah
apabila sudah dilakukan memenuhi kriteria “perbuatan keagamaan” tanpa memenuhi
kriteria “perbuatan hukum”. Maksudnya apabila sudah sah menurut agama sudah
cukup, tidak perlu dipenuhi tata cara perkawinan sebagaimana yang diatur dalam PP
No. 9 Tahun 1975.
Fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang mencerminkan pendapat
itu adalah adanya perkawinan siri dan perkawinan mut’ah atau istilah lainnya, yaitu
perkawinan “dibawah tangan” (kemungkinan perkawinan yang kedua atau yang
ketiga dan seterusnya) apakah termasuk kategori sah menurut hukum.
Menghadapi fenomena tersebut apabila dikatakan sebagai perkawinan yang
sah menurut hukum artinya perkawinan tersebut termasuk yang dimaksud sebagai
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, maka
persoalannya adalah apakah Hakim mau menyatakan sah suatu perkawinan yang
jelas-jelas tidak dilakukan menurut tata cara perkawinan yang telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan (UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975).
Masalah yang mungkin timbul adalah:
a) Pencatatan perkawinan sebagai amanat ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 tidak atau sulit terlaksana.
b) Penerobosan terhadap persyaratan perkawinan, prosedur dan persyaratan
poligami, pencegahan maupun pembatalan perkawinan sulit dilakukan atau
tidak bisa lagi dikontrol oleh hukum.
c) Sistem hukum perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menjadi tidak bisa berlaku
dalam masyarakat.
2) Sahnya perkawinan secara formil-materiil
Dalam penafsiran sahnya perkawinan secara formil-materiil menentukan sah
tidaknya suatu perkawinan, didasarkan pada penafsiran sistematis dari UU No. 1
Tahun 1974. Secara sistematis ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
sebetulnya merupakan konsep dasar untuk menentukan sahnya perkawinan-
perkawinan dan dimuat dalam Bab I tentang Dasar-dasar Perkawinan. Kemudian
perlu diingat bahwa konsep sahnya perkawinan tersebut secara sistematis harus
dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Bab II tentang Syarat-syarat
Perkawinan untuk bisa dilangsungkannya perkawinan tersebut. Penafsiran sistematis
tentang sahnya perkawinan tidaklah cukup dipahami secara partial atas dasar Pasal 2
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 saja, tetapi harus dihubungkan dengan persyaratan
perkawinan. Dalam persyaratan perkawinan diatur ada syarat materiil (pasal 6
sampai dengan pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974) dan syarat formil (pasal 12 UU No.
1 Tahun 1974).
UU No. 1 Tahun 1974 adalah undang-undang pokok, artinya hanya mengatur
yang pokok-pokok saja, untuk itu sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UU No. 1 Tahun
1974. UU ini baru efektif apabila telah dibuat Peraturan Pemerintah yang
melaksanakan UU ini, dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975;
dengan demikian secara yuridis posisi hukum dari Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 merupakan kesatuan dengan UU No. 1 Tahun 1974.
PP No. 9 Tahun 1975 telah mengkontruksi penafsiran tentang sahnya
perkawinan dilihat secara substansial dari tata cara perkawinan yang diatur dalam
Pasal 10 ayat (1,2,3), sebagai berikut:
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Menafsirkan ketentuan Pasal 10 ayat (1,2,3) PP No. 9 Tahun 1975 diatas,
dapat diartikan bahwa implementasi konsep sahnya perkawinan yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 telah dikontruksi secara yuridis
formal. Dengan demikian pencatatan perkawinan juga sudah diakomodir dalam tata
cara pencatatan perkawinan tersebut, sebagaimana disebutkan pada Pasal 11 PP No.
9 Tahun 1975, yang berbunyi:
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Pasal 10 PP ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan
yang telah disipkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan telah tercatat secara resmi.
Jadi agaknya ketentuan Pasal 10 ayat (1,2,3) PP No. 9 Tahun 1975 merupakan
penafsiran yang menjembatani makna dari bunyi pasal antara ketentuan Pasal 2 ayat
(1) dengan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai suatu kesatuan, bukan sebagai
suatu pasal yang bisa ditafsirkan secara terpisah.
Untuk penjelasan yang terakhir, maka dapat ditafsirkan sahnya perkawinan
menurut ketentuan KUHPerdata seperti sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974,
yang hanya melihat dari sudut hukum keperdataan saja. Sehingga dapat
menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan istilah “anak haram perdata”, yaitu
perkawinan yang tidak dicatatkan di Catatan Sipil, dan istilah “anak haram” menurut
ketentuan agama, karena dilakukan tidak menurut ketentuan hukum agama
(Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978: 10-11).
D. Asas Monogami dan Poligami
UU No. 1 Tahun 1974 menentukan suatu prinsip dalam hubungan perkawinan dengan
berdasar atas asas monogami yang dinyatakannya: “Pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami” (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Ketentuan tersebut di atas secara tegas merumuskannya dengan kalimat yang sifatnya
pemaksa (dwingenrecht) yang diwujudkannya dengan kata “hanya boleh …” atau bisa
diperlunak pemahamannya dengan mengambil prinsip monogami dalam sistem
perkawinannya. Hal ini dikemukakan karena terdapat keanehan dengan pada Pasal 3 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 justru merumuskan kalimat yang bertentangan dengan kata “hanya
boleh …” pada ayat (1)-nya, yaitu: “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 walaupun menganut
prinsip asas monogami akan tetapi memberikan pula kesempatan (pengecualian) untuk pria
dapat melakukan poligami, apabila hukum agama yang dianut yang bersangkutan
membolehkan.
1. Asas Monogami
Istilah monogami berasal dari istilah yunani, mono berarti tunggal dan gamein atau
gamos berarti kawin atau perkawinan, sehingga monogami berarti pekawinan tunggal,
yakni perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.
Asas monogami ini merupakan asas yang umum dipergunakan oleh sebagian besar
masyarakat di dunia, karena pada hakekatnya seorang wanita pada umumnya tidak mau
dimadu, apabila terjadi seorang bersedia dimadu dalam perkawinannya sudah dipastikan
karena ada faktor lain, atau karena pengaruh keyakinan atau budaya masyarakatnya. Hal
ini berbeda pada diri seorang pria yang terdapat kecenderungan untuk itu, baik dilihat dari
aspek biologis, budaya, dan psikologis.
Sejalan dengan asas monogami yang merupakan suatu prinsip yang dikandung
dalam UU No. 1 Tahun 1974 juga dipilih suatu sistem keluarga bilateral atau sistem
keluarga yang bersifat parental, yaitu suatu sistem yang tersusun atas dasar hubungan
darah (kewangsaan) yang berorientasi pada kabapak ibuan; artinya setiap anak memiliki
dua hubungan silsilah, yaitu dari silsilah bapaknya maupun silsilah dari ibunya. Selain itu
juga dikontruksi aspek hubungan diantara suami isteri adalah seimbang dan masing-
masing cakap bertindak dalam hukum di lapangan harta benda perkawinan (Pasal 31 ayat
(1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
2. Poligami
Istilah poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu polu dan gamein, polu berarti
banyak dan gamein berarti kawin, jadi poligami dapat diartikan sebagai perkawinan yang
banyak.
Menurut Sayuti Thalib (1985: 56) poligami yaitu seorang laki-laki beristeri lebih
dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama, memang diperbolehkan dalam hukum
Islam, tetapi pembolehan itu diberikan sebagai suatu pengecualian, pembolehan diberikan
dengan pembatasan-pembatasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang
mendesak.
Menurut penjelasan angka 4 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan:
Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.
Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
Agama Islam membolehkan poligami dan poligami ini merupakan jalan keluar dari
kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim. Syarat
utama bagi seorang laki-laki dapat melakukan poligami adalah harus dapat berbuat adil,
apabila khawatir tidak akan dapat berbuat adil, supaya kawin dengan seorang isteri saja;
sebab monogamy lebih menjamin seseorang tidak akan berbuat aniaya.
Alasan berpoligami dikatakan dalam tafsir al Maraghy, jilid 4, halaman 182-183
sebagai berikut:
a. Tidak mempunyai anak yang akan menyambung keturunan.
b. Istri pertama menderita penyakit menahun (chronis) yang tidak memungkinkan
melakukan tugas-tugas sebagai istri.
c. Sebab tabiat kemanusiaan suami, yaitu nafsu keinginan melakukan hidup berkelamin
yang terlalu besar (terlalu kuat), sehingga suami memerlukan istri lebih dari seorang.
d. Jumlah wanita lebih banyak dari pria, karena peperangan dan lain-lain, termasuk di
dalamnya ialah janda-janda sehingga merupakan suatu masalah social yang perlu
mendapat perhatian.
UU No. 1 Tahun 1974 memberikan kesempatan bagi warga negara Indonesia yang
hukum agamanya membolehkan untuk melakukan poligami, akan tetapi harus sebelumnya
memperoleh izin terlebih dahulu dari Pengadilan.
Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi:
“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Pasal di atas menunjukkan secara jelas maksud pembentuk UU, bahwa UU No. 1
Tahun 1974 menganut asas monogamy akan tetapi memberikan pengecualian poligami
dengan memberikan persyaratan tertentu (pemaksa atau dwingenrecht) wajib, hanya,
harus dipenuhi oleh yang bersangkutan, yaitu:
1. Poligami wajib ada izin dari Pengadilan (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
2. Poligami hanya yang memiliki alasan-alasan yang ditentukan oleh UU (Pasal 4 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974).
3. Poligami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU (Pasal 5 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974).
Alasan-alasan yang harus dipenuhi untuk poligami diatur dalam ketentuan Pasal 4
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, sebagai berikut:
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan untuk poligami yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 bersifat alternative, artinya untuk dapat melakukan poligami cukup salah satu alasan
dari ketiga alasan tersebut di atas.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami, diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Berbeda halnya dengan alasan-alasan poligami, untuk syarat-syarat poligami justru
bersifat kumulatif, artinya ketiga syarat tersebut harus dipenuhi semua, ada salah satu
syarat yang tidak dipenuhi maka akan tidak dikabulkan permohonan untuk dapat
melakukan poligami.
Diberikannya izin poligami oleh Pengadilan berdasarkan atas hasil Pengadilan diatur
dalam Lampiran Instruksi Dirjen Binmas Islam tanggal 12 Agustus 1975 sebagai berikut:
a. Surat permohonan kepada Pengadilan.
b. Surat keterangan tentang keadaan isterinya yang dapat dijadikan alasan untuk poligami.
c. Surat keterangan yang dapat membuktikan bahwa dia mampu untuk menjamin
kehidupan isteri dan anak-anaknya.
d. Surat persetujuan dari isteri.
e. Surat pernyataan bahwa ia akan berbuat adil terhadap isteri dan anak-anaknya.
Pemerikasaan dan pemberian izin poligami dilihat dari aspek hukum administrasi
negara menurut K. Wantjik Saleh (1987: 24) merupakan tindakan “penetapan”
(Beschikking), bukanlah suatu “putusan” (vonis) sebagaimana halnya dalam suatu perkara
gugatan (yurisdictio Contentiosa); dengan kata lain bahwa suatu “tindakan administratif”
yang diberikan kepada Pengadilan untuk melakukannya, atau lebih dikenal dengan istilah
“Yurisdictio Voluntaria”. Jadi jelaslah bahwa pemeriksaan dan pemberian izin untuk
beristeri lebih dari seorang adalah merupakan suatu perkara “Yurisdictio Voluntaria”,
maka izin tersebut haruslah dituangkan dalam bentuk suatu “Penetapan”. Suatu
perkawinan yang tidak mengindahkan ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No.
9 Tahun 1975, maka dengan sendirinya dari sudut hukum termasuk kategori perkawinan
yang tidak sah maka tidak memiliki akibat hukum.
Timbul suatu pernyataan mengenai apakah poligami yang dilakukan tanpa izin
Pengadilan atau tidak mengikuti ketentuan hukum yang berlaku dalam pelaksanaan
perkawinan keduanya atau dan seterusnya, merupakan tindakan dalam kategori kejahatan
atau tindakan dalam kategori pelanggaran hukum saja.
Analisa mengenai persoalan ini agaknya oleh Abdurrahman dan Riduan Syahrani
(1978: 105-110) dengan mengambil pemikiran Dr. T. Jafizham dalam disertasinya, telah
diberikan suatu penjelasan yang pada intinya adalah:
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia bulan Agustus 1975 menyatakan agar
seorang suami yang kawin tanpa izin Pengadilan, dapat dihukum menurut Pasal 279
KUHP.
Dalam Pasal 279 KUHP ditentukan:
(1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun:
1e. Barang siapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinannya yang sudah
ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi.
2e. Barang siapa yang kawin, sedang diketahuinya, bahwa perkawinan yang sudah ada
dari pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi pihak yang lain itu akan
kawin lagi.
(2) Kalau orang yang bersalah karena melakukan perbuatan yang diterangkan di 1e,
menyembunyikan kepada yang lain, bahwa perkawinannya yang sudah ada itu
menjadi halangan yang sah akan kawin lagi, dihukum penjara selama-lamanya 7
tahun.
(3) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1-5.
Pendapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia di atas
menganggap bahwa perkawinan kedua (poligami) merupakan kejahatan. Perlu dipahami
bahwa ketentuan Pasal 279 KUHP tersebut di atas lebih tepat diberlakukan bagi warga
negara Indonesia yang hukum agamanya dan kepercayaannya tidak membolehkan
melakukan poligami, berbeda halnya dengan warga negara Indonesia yang beragama
Islam yang menurut hukum Islam diperbolehkan poligami. Kecuali bagi mereka yang
melakukan perkawinan ke lima, padahal hukum Islam hanya membolehkan poligami
dengan 4 (empat) orang isteri.
Pendapat dari Dr. T. Jafizham di atas agaknya menafsirkan sahnya perkawinan
secara materiil saja, yaitu cukup berdasar atas Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga perkawinan tetap sah, karena dilakukan sesuai hukum Islam, dan yang
bersangkutan hanya melanggar prosedur hukum yang harus dilakukan; selanjutnya
tindakan tersebut hanya dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hukum bukan
merupakan kejahatan.
Menurut penulis penafsiran sahnya perkawinan secara materiil saja lebih
mendasarkan pada kebiasaan selama ini yang terjadi sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun
1974 yang sepenuhnya perkawinan hanya merupakan urusan privat semata, sedangkan
politik hukum yang diarahkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan cara berpikir
bahwa perkawinan lebih dominan aspek publiknya daripada aspek privatnya semata.
BAB IV
Ketentuan tersebut secara tegas telah menentukan kapan saat berlakunya, yaitu sejak
saat diundangkannya pada tanggal 2 Januari 1974. Hanya selanjutnya diberi suatu keterangan
bahwa yang pelaksanaannya secara efektif akan diatur dengan PP, dengan demikian telah
jelas bahwa UU No. 1 Tahun 1974 merupakan UU Pokok. Persoalan ini akan menjadi
berkembang setelah dicermati secara mendalam nantinya pada Pasal 67 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974, yang berbunyi:
BAB V
Persamaan:
BAB VI
PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
A. Perjanjian Perkawinan
1. Istilah Perjanjian Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974 ini memberikan ketentuan mengenai perjanjian perkawinan
sebagai lembaga hukum yang diperkenalkan kepada seluruh masyarakat Indonesia,
sedangkan semula hanya merupakan lembaga hukum khusus bagi anggota masyarakan
Indonesia yang semula tunduk pada KUHPerdata dan disebut dengan istilah perjanjian
kawin. Suatu istilah selalu diberi makna sesuai dengan stelsel system hukum yang
melahirkannya, Perjanjian Perkawinan merupakan istilah yang diambilkan dari judul Bab
V UU No. 1 Tahun 1974 yang berisi satu pasal, yaitu Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974,
sedangkan mengenai pengertiannya dari perjanjian perkawinan ini tidak diperoleh
penjelasan dalam UU ini.
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum
agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
Sebenarnya UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian
perkawinan, hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan “perjanjian
tertulis”, dan dari bunyi Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud adalah perjanjian perkawinan.
2. Kapan Perjanjian Perkawinan Dibuat dan Siapa yang Membuatnya
Pada Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan “….kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis….”. Pasal 29 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dinyatakan bahwa yang berhak membuat perjanjian
perkawinan adalah kedua belah pihak calon suami dan calon isteri.
Mengingat bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
menikah, menurut UU berada di bawah kekuasaan orang tua atau walinya, orang tua
mewakili anak-anak tersebut dalam segala peraturan (Pasal 47 dan Pasal 50 UU No. 1
Tahun 1974).
Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa:
1. Bagi mempelai laki-laki yang berumur 19 tahun atau mempelai perempuan yang telah
berumur 18 tahun, atau sebelumnya telah pernah kawin, diperbolehkan membuat
perjanjian perkawinan sendiri.
2. Bagi mempelai perempuan yang belum genap berumur 18 tahun atau belum pernah
kawin, maka ia harus diwakili/didampingi oleh orang tua atau walinya.
3. Bagi kedua mempelai yang kawin dengan dispensasi umur, maka harus
diwakili/didampingi oleh orang tua atau walinya pada waktu membuat perjanjian
perkawinan.
3. Bentuk Perjanjian Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974 tidak mensyaratkan bentuk tertentu untuk sahnya perjanjian
perkawinan. Sebagai syarat yang ditentukan adalah perjanjian perkawinan tersebut harus
tertulis (Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), oleh karena itu perjanjian perkawinan
dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta authentik.
Apabila dengan bentuk akta di bawah tangan, maka perjanjian perkawinan tersebut harus
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Pada asasnya perjanjian perkawinan bersifat tetap selama perkawinan, dengan
diberikan pengecualian adanya penyimpangan (perubahan) yang memenuhi persyaratan:
1. Atas persetujuan dari kedua belah pihak.
2. Tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (Pasal 29 ayat
(3) UU No. 1 Tahun 1974) dan berlaku bagi suami isteri yang bersangkutan maupun
terhadap pihak ketiga, dan juga tidak ada syarat pengumuman terlebih dahulu sebelum
dinyatakan berlaku terhadap pihak ketiga.
4. Isi Perjanjian Perkawinan
Mengenai isi perjanjian perkawinan tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam UU,
perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974). Selanjutnya UU No. 1
Tahun 1974 menganut struktur persatuan (kebersamaan) terbatas dalam harta benda
perkawinannya, artinya struktur harta benda perkawinan telah ditentukan dan terdiri atas:
a. Harta pribadi suami atau harta pribadi isteri, yaitu harta yang dibawa masuk ke dalam
perkawinan oleh suami atau isteri.
b. Dan harta bersama, yaitu harta yang diperoleh oleh suami dan atau isteri secara sendiri-
sendiri atau bersama-sama selama perkawinan yang bukan berasal dari warisan atau
hadiah yang ditujukan kepada salah satu suami atau isteri.
(Apabila dibandingkan dengan struktur harta benda perkawinan menurut
KUHPerdata, dianut struktur persatuan bulat harta atau kebersamaan keseluruhan harta
perkawinan). Walaupun UU No. 1 Tahun 1974 telah menentukan struktur harta benda
perkawinan, akan tetapi UU-pun telah memberikan suatu pengecualian, yaitu memberikan
kebebasan kepada calon mempelai untuk secara individual dapat menentukan lain
mengenai harta benda perkawinannya (Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), asalkan
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU ini. Adanya kebebasan para calon
mempelai, apakah akan menjadi persatuan bulat harta atau justru sama sekali tidak ada
persatuan (kebersamaan) harta, atau pemisahan sama sekali antara harta calon suami dan
harta calon isteri dalam perkawinan nantinya; dan atau justru maksud pembentuk UU
secara system membuka diri untuk menampung (meng-akomodasi) masuknya nilai-nilai
dari system kekeluargaan Patrilineal dan Matrilineal, sehubungan dengan berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974 yang menganut system bilateral (Parental).
Mengenai hal ini menurut dari J. Satrio (1991; 88) ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36
UU No. 1 Tahun 1974 dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan bisa berisi tentang:
a. Kebersamaan harta yang menyeluruh/bulat (algehe gemeenschap van goederen).
b. Peniadaan setiap kebersamaan harta.
Sedangkan untuk kebersamaan harta yang terbatas tidak perlu dibuat perjanjian
perkawinan karena tanpa perjanjian kawinpun setelah UU No. 1 Tahun 1974 berlaku
sudah terjadi kebersamaan harta yang terbatas yaitu terbatas apa yang diperoleh sepanjang
perkawinan.
Pendapat J. Satrio tersebut di atas agaknya lebih dipengaruhi pada aspek historis
dengan latar belakang sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dikenal adanya
pergolongan rakyat dan berlaku KUHPerdata yang menganut prinsip persatuan bulat harta
bagi golongan tertentu, sehingga aspirasi hukum yang berlaku sebelumnya masih dapat
diberi ruang untuk dapat diberlakukan. Menyimak dasar pemikiran yang disampaikan oleh
J. Satrio tersebut menjadi logis pula apabila ditafsirkan, bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 juga dapat memberi peluang masuknya hukum kebiasaan
masyarakat yang berkaitan dengan system kekeluargaannya, dan ditetapkan pengaturannya
dalam perjanjian perkawinan.
5. Perjanjian Perkawinan Tidak Termasuk Tak’lik Talak
Pada penjelasan pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dalam pasal ini
tidak termasuk taklik talak. Taklik talak adalah syarat-syarat atau janji-janji yang
disepakati bersama dan menjadi keinginan pihak-pihak yang akan menikah yang
diucapkan dalam ijab Kabul dan dihadapkan saksi-saksi dalam akad nikah. Biasanya
dalam perkawinan oleh mempelai pria dibacakan Sighat Ta’lik: “Tepatilah janjimu
sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut”.
SIGHAT TA’LIK YANG DIUCAPKAN SESUDAH AKAD NIKAH SEBAGAI
BERIKUT:
(……………………………….)
Menurut Hazairin (1975: 28-29) dikatakan bahwa perjanjian yang dimaksud dalam
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 memang bukan taklik talak dalam perkawinan Islam yang
dibacakan mempelai pria di muka umum setelah selesai upacara ijab kabul, sebagaimana
bentuk yang telah ditetapkan Menteri Agama untuk seluruh Indonesia.
AKIBAT PERKAWINAN
Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum memiliki akibat hukum, yang meliputi: hak
dan kewajiban suami isteri, harta benda perkawinan, kedudukan anak, dan hak dan kewajiban
antara orang tua dengan anak.
BAB VIII
Ada awal semestinya juga ada akhir, oleh UU akhir suatu perkawinan disebut dengan
istilah putusnya perkawinan dan putusnya perkawinan ini bisa terjadi melalui tiga peristiwa
hukum, yaitu karena: kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan (Pasal 38 UU No.
1 Tahun 1974).
Putusnya perkawinan bisa terjadi melalui proses yudiciil maupun non yudiciil.
Putusnya perkawinan melalui proses non yudiciil terjadi karena adanya kematian salah satu
atau kedua suami isteri; yang melalui proses yudiciil melalui gugatan perceraian atau gugatan
pembatalan perkawinan. Antara putusnya perkawinan karena perceraian dengan putusnya
perkawinan atas keputusan Pengadilan ada kesamaan, yaitu harus dengan keputusan
Pengadilan. Adapun perbedaannya adalah pada subyek-subyek atau pihak-pihak dalam pokok
perkaranya, yaitu:
BAB IX
PERWALIAN