Anda di halaman 1dari 151

BAB I

POLITIK HUKUM NASIONAL DI LAPANGAN HUKUM KELUARGA DAN


PERKAWINAN

A. Istilah Hukum Keluarga dan Perkawinan

Hukum Keluarga dan Perkawinan merupakan seperangkat kaedah yang mengatur aspek
hukum keluarga dan aspek hukum perkawinan. Sebetulnya antara aspek hukum keluarga dan
aspek hukum perkawinan merupakan 2 hal yang saling berkaitan, karena perkawinan
merupakan dasar pembentuk keluarga.

Keluarga dilihat dari sistem sosial merupakan dasar susunan masyarakat Nasional (Basic
social Structure), oleh karena itu perlu segera diatur dan selanjutnya ditentukan bentuk serta
sistem apa yang dipilih sebagai pencerminan politik hukum di Indonesia, yang nantinya akan
memberi arah perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia di kemudian hari.

Keluarga merupakan istilah (terminology) yang menggambarkan suatu kesatuan


kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas suatu perkawinan yang sah
dan idealnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya (nucleus family); jadi keluarga dalam
hal ini dikontruksi sebagai keluarga inti.

Istilah perkawinan merupakan istilah yang dipergunakan oleh pembentuk UU No. 1


Tahun 1974. Istilah perkawinan ini sering rancu dengan istilah pernikahan, istilah “kawin”
pada umumnya dilihat dalam konteks hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan,
sedangkan istilah “nikah” lebih ditekankan pada hubungan formal antara seorang pria dan
seorang perempuan dalam ikatan yang disebut sebagai keluarga. Sekarang istilah perkawinan
telah dipergunakan sebagai istilah resmi, maka kerancuan pemahaman mengenai istilah
“perkawinan” dengan istilah “pernikahan” sudah ada penyelesaiannya.

Setiap orang dalam melakukan perkawinan bias disebabkan oleh bermacam-macam


dorongan (motivasi), antara lain sebagai berikut:

1. Motivasi Biologis, perkawinan merupakan bentuk pelayanan libido sexualis dari manusia
dalam rangka memenuhi dorongan untuk melangsungkan hasrat biologisnya dan dorongan
untuk melangsungkan jenisnya (regenerasi).
2. Motivasi Sosiologis, perkawinan merupakan salah satu titik perjalanan hidup manusia
dalam masyarakat yang merupakan lingkaran kehidupan (circle of life) dari lahir, menjadi
anak-anak, menjadi remaja, menjadi dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia.
Perkawinan merupakan titik puncak dari circle of life kehidupan manusia, oleh karena itu
perkawinan bagi masyarakat Jawa sering dikatakan sebagai “purna jeneng” atau sempurna
statusnya, artinya keberadaannya (eksistensi) sebagai anggota masyarakat telah mencapai
titik yang diakui keberadaannya. Biasanya dari perkawinan tersebut diikuti konsep yang
melengkapi yaitu telah mandiri (mentas), artinya telah membentuk rumah tangganya
sendiri (tidak ikut orang tua).
3. Motivasi Religieus, dalam hal ini dari sudut agama Islam dalam surat ar-Rum: 21
disebutkan “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diciptakanNya untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. Perkawinan merupakan
kewajiban yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia dan merupakan kriteria bagi
muslim yang beriman, dengan demikian perkawinan merupakan bagian dari aspek
keimanan.
4. Motivasi Psikologis, perkawinan akan menjadikan setiap orang menemukan ketentraman
dalam aspek kejiwaannya, karena biasanya bagi seseorang yang tidak kawin sering terlihat
tanda-tanda ada kelainan bila dibandingkan dengan orang lain dalam tingkah laku sehari-
harinya.
5. Motivasi Ekonomis, perkawinan dapat dipandang sebagai suatu jalan keluar dalam
mengatasi masalah ekonomi atau mengurangi beban ekonomi atau justru meningkatkan
kondisi ekonomi keluarga dan yang bersangkutan.
6. Motivasi Politis, perkawinan dalam masyarakat sering pula dapat dijadikan sarana untuk
mencapai suatu penyelesaian perselisihan maupun untuk meningkatkan hubungan diantara
dua keluarga dengan alasan kepentingan tertentu.
7. Motivasi Genetis, perkawinan yang dilakukan dengan berorientasi pada patokan dasar
bibit, bebet, dan bobot sebagaimana yang dikemukakan oleh Woerjanto (tanpa tahun: 2-3)
sebagai berikut:
a. Bibit, berarti keturunan dari orang baik-baik ditinjau dari sudut kejiwaan.
b. Bebet, berarti jika seorang wanita adalah wanita yang suci, dan jika seorang pria yang
gagah perkasa berarti pria yang berani bertanggung jawab.
c. Bobot, berarti diambil dari orang yang budi pekerti.
Perkawinan dengan apapun motifnya apabila dilihat dari sisi positifnya dapat dilihat
sebagai dasar dari system masyarakat dan dengan adanya perkawinan maka akan dapat
dibentuk suatu masyarakat yang beradab. Mengenai hal ini Muhammad Ali dalam bukunya
“De relegie van den Islam” dalam Soemiyati (1982: 17) menyatakan:

“Keluarga yang merupakan kesatuan yang nyata dari bangsa-bangsa manusia, yang
menyebabkan terciptanya peradaban hanyalah mungkin diwujudkan dengan perkawinan.
Tanpa perkawinan tidak ada keluarga dan dengan sendirinya tidak ada pula unsur-unsur
yang mempersatukan bangsa manusia, selanjutnya tidak ada peradaban”.

Penjelasan mengenai perkawinan di atas, memberikan gambaran mengenai arti


pentingnya suatu perkawinan diatur dalam suatu undang-undang; terlebih lagi seperti pada
masyarakat Indonesia yang sangat heterogin. Dalam politik hukum di Indonesia perkawinan
telah mendapat prioritas untuk didahulukan dan dalam penyusunan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 telah diperitmbangkan pula aspek hukum agama dan dikemas sebagai hukum
yang bersifat unifikasi dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia.

B. Arah Politik Hukum

Pancasila memiliki posisi sebagai Dasar Negara dan tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, juga merupakan “sumber tertib hukum nasional” atau “sumber
dari segala sumber hukum” yang berlaku di negara Indonesia ini. Selanjutnya UUD 1945
sebagai hukum dasar yang tertulis ditetapkan pula sebagai landasan konstitusional bagi
pembinaan dan pembangunan hukum nasional di negara kita ini.

Politik hukum akan memberikan arah terhadap perkembangan masyarakat dan


perkembangan hukum di Indonesia, dengan melakukan pembinaan hukum dan pembangunan
serta pembaharuan hukum di Indonesia. Salah satu dari sasaran pembaharuan dan
pembangunan hukum di Indonesia adalah di lapangan hukum keluarga dan perkawinan yang
merupakan dasar dari sistem sosial dari masyarakat Indonesia. Perlu dikemukakan disini
selama ini masyarakat Indonesia memiliki bermacam-macam bentuk sistem sosial, dilihat
dari banyak ragamnya sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Sistem sosial menurut Nasikun (1986: 12-13) dikatakan sebagai suatu sistem dari
berbagai tindakan-tindakan, yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbagai
individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan
berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota
masyarakat. Yang paling penting diantara berbagai standar penilaian umum tersebut adalah
apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial tersebut yang
sesungguhnya membentuk struktur sosial.

Menurut Parsons dalam Nasikun (1986: 11-12) antara lain dikatakan bahwa suatu
masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain dan di dalam masyarakat sering terjadi ketegangan-ketegangan
yang kadang kala menghasilkan perubahan-perubahan dalam masyarakat, kemudian faktor
yang paling penting memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di
antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Sistem nilai
tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial,
akan tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial itu sendiri.

Hukum merupakan suatu system nilai dapat pula dikatakan sebagai suatu refleksi dari
system social suatu masyarakat; dan hukum memiliki hubungan fungsional dengan
masyarakatnya, artinya tipe social dari suatu masyarakat akan mencerminkan pola hukum
yang berlaku pada masyarakatnya. Pada hakekatnya hukum merupakan perwujudan dari
nilai-nilai dari suatu masyarakat, dengan demikian dilihat dari pandangan ini di Indonesia
yang Bhineka Tunggal Ika ini menjadi banyak sekali system social yang ada dalam
masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Dalam tata hukum di Indonesia yang berlaku atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 (pasal 131 Indische Staatsregeling yo pasal 163 Indische Staatsregeling) sebelum
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 yang merupakan produk hukum nasional yang mengatur
mengenai perkawinan, terdapat aneka ragam sistem sosial yang berlaku yaitu:

1. Sistem sosial pada masyarakat golongan eropa dan golongan timur asing Cina yang
secara yuridis diberlakukan hukum perdata barat (KUHPerdata) berorientasi pada
sistem kekeluargaan bilateral, padahal sebenarnya pada masyarakat Cina
menggunakan sistem kekeluargaan patrilineal.
2. Sistem social pada masyarakat bumi putera (Indonesia asli) berlaku dua macam
system social, yaitu:
a. Sistem social sebagaimana terlihat pada system hukum Islam yang sebetulnya
lebih bercorak system kekeluargaan patrilineal.
b. Sistem sosial sebagaimana terlihat pada sistem hukum adat yang secara umum
memiliki 3 corak, yaitu sistem kekeluargaan patrilineal, sistem kekeluargaan
matrilineal dan sistem kekeluargaan parental dan masing-masing corak tersebut
masih dimungkinkan memiliki banyak variasinya.

Mengemban cita-cita hukum yang diamanatkan oleh UUD 1945, maka secara bertahap
dan secara sektoral telah dicanangkan pembangunan hukum nasional. Khusus di lapangan
hukum keluarga dan perkawinan diterbitkan UU No. 1 Tahun 1974 yang di dalamnya
diajukan suatu sistem nilai yang diharapkan dapat diberlakukan secara unifikasi dan
diharapkan pula dapat menjadi sarana untuk mengintegrasikan seluruh masyarakat Indonesia.

Telah digariskan dalam GBHN yang dituangkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973
Naskah Bab D, b Hukum angka 2, dinyatakan bahwa pembinaan bidang hukum harus mampu
mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan Hukum sesuai dengan “Kesadaran
Hukum Rakyat” yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan Kepastian hukum sebagai
prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus
berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh.

Kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke adalah masyarakat yang sangat
heterogin dan terdiri dari banyak sekali suku-suku bangsa.
2. Tipologi masyarakat Indonesia sangat bervariasi (prismatis), yaitu: Masyarakat
Primitif, Masyarakat Sederhana, Masyarakat yang Berburu, meramu, berladang dan
bersawah, Masyarakat Pedesaan, Masyarakat Perkotaan, Masyarakat Agraris,
Masyarakat Industri, Masyarakat yang eksklusif atas dasar budaya maupun agama.
3. Adanya system kemasyarakatan (kekerabatan) yang berbeda-beda pada masyarakat
di Indonesia (Patrilineal, Matrilineal, dan Parental).
4. Masih ada hukum yang berorientasi pada pergolongan rakyat.
5. Masih banyaknya hukum yang berlaku di Indonesia (pluralisme hukum), yaitu sistem
Hukum Barat, sistem Hukum Islam, dan sistem Hukum Adat.

Fenomena mengenai kenyataan masyarakat Indonesia yang sangat heterogin seperti


tersebut di atas, dirasa perlu untuk dilakukan suatu perubahan yang mendasar (hakiki), agar
dapat dibangan suatu susunan masyarakat (sistem sosial) Indonesia yang bersifat nasional
sebagai dasar dari sistem Hukum Nasional yang akan datang. Fungsi hukum disamping
sebagai kontrol sosial (fungsi normatif dari hukum), juga merupakan sarana untuk merubah
masyarakat (law as a tool of social enginering).

C. Ide Pembaharuan

Suatu ide pembaharuan, menurut M. Yahya Harahap (1975: 5-6) dijelaskan sebagai
berikut:

1. Hukum perkawinan lebih mendekati sifat yang publik daripada privat semata.
2. Hukum perkawinan erat kaitannya dengan ketertiban umum (publik orde), sehingga
perlu diprioritaskan dalam pengaturannya dan didahulukan daripada hukum perdata
lainnya.
3. Hukum perkawinan ini menampung aspirasi emansipasi tuntutan masa kini kea rah
yang lebih memenuhi kenyataan aktuil sejajar dengan taraf perkembangan
peningkatan kecerdasan dan peningkatan taraf peradaban bangsa di bidang
perkawinan.
4. Hukum perkawinan menempatkan kedudukan suami-isteri dalam perkawinan berada
dalam kedudukan yang sama sederajat, baik terhadap harta perkawinan, terhadap
anak-anak dan juga dalam proses perceraian. Begitu juga persamaan hak dan
kedudukan di dalam kehidupan rumah tangga maupun di dalam kehidupan
masyarakat.
5. Hukum perkawinan ini memperbaiki kepincangan-kepincangan yang terdapat pada
system tata cara perkawinan dan perceraian, serta mempersempit jalannya poligami.
6. Hukum perkawinan ini mengatur segala tindakan yang berkaitan dengan perkawinan,
poligami dan perceraian sama sekali tidak terlepas dari campur tangan kekuasaan
negara yang ditunjuk berwenang untuk mengawasi dan memutus untuk itu sehingga
semua aspek yang berhubungan dengan hukum perkawinan tidak bisa lagi atas
kehendak sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
7. Hukum perkawinan ini memberikan landasan mengenai konsep keluarga yang dipilih
sebagai keluarga yang ideal, yang mencerminkan pandangan atas dasar falsafah
Pancasila serta nilai murni kepribadian bangsa Indonesia, yaitu konsep keluarga yang
membentuk kehidupan rumah tangga bahagia, rukun dan sejahtera dunia dan akhirat.
Ide pembaharuan dengan memperkenalkan suatu konsep keluarga yang menjadi tujuan
dari perkawinan, selanjutnya menurut M. Yahya Harahap (1975: 7) kalau dibandingkan
dengan tujuan perkawinan dengan negara-negara lain yang sudah maju, tujuan perkawinan
tersebut jauh lebih tinggi nilai falsafahnya dengan apa yang kita jumpai pada negara-negara
yang sudah super modern seperti Amerika pun masih berpendapat bahwa keluarga itu adalah
landasan struktur sosial (The family is the basis of our social structure (You and the Law;
Arthur P. Crabtree; hal 139)). Famili dianggap sebagai basis social structure, maka
Pemerintah harus ikut mengatur ketentuan-ketentuan perkawinan, sehingga legalitas suatu
perkawinan ditentukan oleh hukum negara.

Penjelasan mengenai ide pembaharuan di atas menunjukkan bahwa melalui UU No. 1


Tahun 1974 oleh para pembentuk undang-undang telah diletakkan dasar atau basis dari suatu
struktur sosial dari sistem sosial Indonesia, yang berorientasi pada sistem keluarga bilateral
atau parental. Dipilihnya sistem parental atau bilateral ini dan yang kemudian diberlakukan
bagi seluruh masyarakat di Indonesia dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap
kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama pada masyarakat yang
menggunakan sistem patrilineal dan sistem matrilineal.

UU No. 1 Tahun 1974 oleh para pembentuk UU dikontruksi berdasar atas asas-asas
hukum perkawinan yang menurut M. Yahya Harahap (1975: 7-10) dirumuskan sebagai
berikut.

1. Undang-undang Perkawinan ini menampung di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan


Hukum Agama dan Kepercayaan masing-masing anggota masyarakat di Indonesia.
2. Undang-undang Perkawinan ini menampung aspirasi emansipasi kaum wanita Indonesia,
di samping perkembangan sosial ekonomis dan teknologi yang telah membawa implikasi
mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.
3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
a. Suami isteri saling bantu-membantu serta saling lengkap-melengkapi.
b. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan
kepribadian itu suami isteri harus saling membantu.
c. Dan tujuan terakhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga
bahagia yang sejahtera spiritual dan material.
4. Prinsip yang menjadi azas Undang-undang ini sekaligus mencakup:
a. Perkawinan harus dilakukan berdasar hukum Agama dan kepercayaan masing-masing.
b. Azas agar setiap perkawinan merupakan tindakan yang harus memenuhi administrative
pemerintahan dengan jalan pencatatan pada catatan yang ditentukan undang-undang.
Dan pencatatan itu tiada lain artinya sebagai akte resmi yang termuat dalam daftar
catatan resmi pemerintah.
5. Undang-undang perkawinan ini menganut azas monogram, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengijinkan untuk itu.
6. Prinsip, bahwa perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi
yang telah matang jiwa dan raganya.
a. Jadi azas ini bertujuan menghapuskan kebiasaan perkawinan anak-anak atau
perkawinan dalam usia yang sangat muda yang belum matang memegang tanggung
jawab sebagai suami isteri.
b. Menjaga pertumbuhan populasi yang menjadi masalah nasional, perkawinan pada usia
muda akan lebih memungkinkan mempunyai keturunan yang lebih banyak.
c. Memperkecil jumlah perceraian atau mempersukar perceraian dan perceraian menurut
undang-undang ini harus dengan alasan-alasan tertentu dan dilakukan dihadapan
sidang pengadilan.
7. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
a. Dalam kehidupan rumah tangga suami isteri sederajat dan segala sesuatu harus
dirundingkan bersama.
b. Isteri berhak mencapai kedudukan sosial diluar lingkungan rumah tangga dan suami
tak dapat melarang hal tersebut.
c. Lebih jauh kalau kita perhatikan azas yang kita sebut pada sub 7 ini tersirat suatu
penjurusan yang lambat laun akan menuju tendensi sistem kekeluargaan yang bilateral
atau parental.
D. Unifikasi Hukum Perkawinan

Penjelasan mengenai unifikasi hukum perkawinan ini akan dimulai dari melihat
gambaran politik hukum perkawinan sebelum dan sesudah berlakunya UU no. 1 Tahun 1974.

1. Sebelum Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974


Sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dalam tatanan hukum di Indonesia
sebagai warisan dari system hukum colonial yang berlaku atas dasar pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 (pasal 131 IS jo pasal 163 IS), yaitu:
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang
telah diresiplir dalam hukum adat.
b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
ordonnantie Cristen Indonesia (S. 1933 Nomor 74).
d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina
berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan.
e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur
Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka.
f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Peraturan hukum perkawinan sebagaimana disebutkan di atas masih memperlihatkan


politik hukum dari pemerintah Hindia Belanda dan di dalamnya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:

1) Adanya pergolongan rakyat, pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda ada 3


golongan Kaula Negara, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur Asing Cina dan
bukan Cina dan golongan bumi putera.
2) Adanya pluralisme hukum di bidang hukum perkawinan seperti: Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, HOCI, peraturan Perkawinan Campuran, Hukum Adat dan
Hukum Islam yang diresiplir ke dalam Hukum Adat.
3) Pandangan politik hukum pada jaman Hindia Belanda yang berorientasi pada asas
Konkordansi dan terdapat pandangan bahwa dipisahkan antara Hukum Negara dengan
Hukum Agama.
4) Pandangan politik hukum Pemerintahan Hindia Belanda yang memandang Hukum
Islam sebagai bagian dari Hukum Adat dalam arti Hukum Islam termasuk hukum
tidak tertulis, dan berlaku bagi masyarakat Bumi Putera khususnya yang beragama
Islam (Teori Receptio in Complexu dan Teori Receptio sebagian).
2. Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Orientasi hukum rangka pembaharuan dan pembangunan Hukum Nasional, adalah:
1) Tidak mengenal pergolongan rakyat
2) Unifikasi hukum yang artinya hanya ada satu hukum yang berlaku bagi warga negara
Indonesia
3) Adanya pandangan hukum yang mempertimbangkan masuknya hukum agama dalam
Hukum Nasional yang dibingkai dalam konsep unifikasi hukum, sehingga terdapat
unifikasi akan tetapi juga mewadahi adanya pluralisme di sektor hukum (sahnya
perkawinan).
4) Hukum agama, khususnya Hukum Islam mendapatkan legitimasi sebagai hukum
positif di Indonesia, dan berlakunya Hukum Islam harus ditafsirkan masih dalam
koridor unifikasi hukum.
5) Dalam Hukum Nasional khususnya dalam UU No. 1 Tahun 1974 di dalamnya masih
terlihat nuansa hukum yang bersumberkan pada nilai-nilai dan pengertian hukum
(begrip) atau konsep dari hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata. Hanya dalam
hal ini harus diperhatikan bahwa nuansa yang diperkenalkan (introdusir) kepada
warga negara harus dipahami dalam suasana unifikasi hukum.

Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ini, pada bagian penjelasan umum dari UU
No. 1 Tahun 1974 angka 1 secara tegas telah dijelaskan maksud dari para pembentuk UU
No. 1 Tahun 1974 mengenai ide unifikasi hukum di bidang hukum keluarga dan
perkawinan yang dirumuskan bahwa bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia
adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung
prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. Kemudian
pada angka 5 Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 juga ditentukan bahwa untuk
menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan
menurut hukum yang telah ada adalah sah.

3. Arti dan Konsekuensi Unifikasi Hukum Perkawinan


Konsekuensi yuridisnya dari unifikasi hukum bagi warga negara Indonesia adalah
tidak ada lagi pluralisme hukum perkawinan dan hanya ada satu hukum perkawinan yang
berlaku baginya, yaitu UU No. 1 Tahun 1974.
Menurut Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 telah dirumuskan:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesiaers : 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemeng de Huwelijken S. 1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang
ini dinyatakan tidak berlaku”.

Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 di atas dimulai dengan kalimat “Untuk perkawinan
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-
undang ini”, artinya ruang lingkup materinya tidak hanya mengenai perkawinannya saja
akan tetapi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, yaitu akibat
hukum yang timbul dari adanya perkawinan di lapangan hukum keluarga, seperti
hubungan suami dan isteri, harta benda perkawinan, anak, hubungan antara orang tua
dengan anak, perwalian dan sebagainya.

UU No. 1 Tahun 1974 dalam tata hukum Republik Indonesia merupakan hukum
negara dan sebagai hukum positif yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Berlakunya
hukum perkawinan atas dasar agama (termasuk hukum Islam) justru disana-sini
dilegitimasi oleh UU No. 1 Tahun 1974 melalui pasal-pasalnya. Apabila terjadi
pertentangan nilai antara hukum negara (UU No. 1 Tahun 1974) dengan hukum agama,
yang harus diikuti adalah ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974; seperti dalam hukum
agama Kristen tidak boleh adanya perceraian karena bagi mereka hanya dikenal
perkawinan sekali seumur hidup (pandangan agama), akan tetapi menurut UU No. 1
Tahun 1974 dibolehkan terjadi perceraiana diantara mereka asalkan memenuhi alasan
dan prosedur perceraian sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Demikian
juga bagi orang yang beragama Islam yang menurut hukum Islam talak bisa dilakukan
tanpa melalui pengadilan, sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 cerai (talak) harus
dilakukan melalui pengadilan (Pengadilan Agama). Jadi dalam melakukan penafsiran
(interpretasi) berlakunya hukum agama (termasuk hukum Islam) harus di dalam bingkai,
kerangka, jiwa dan suasana kebatinan dari UU No. 1 Tahun 1974.

4. Sifat Unifikasi Hukum Perkawinan


UU No. 1 Tahun 1974 secara yuridis sebagai unifikasi hukum di bidang hukum
keluarga dan perkawinan memiliki karakter yang khusus (specific), yaitu unifikasi yang
mengandung pluralisme hukum terutama mengenai sahnya perkawinan. Ketentuan ini
semakin menjelaskan posisi berlakunya hukum agama dalam bingkai tatanan hukum
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974, atau dengan perkataan lain ketentuan ini
membuka pintu sebagai masuknya (legitimasi) hukum agama dalam Hukum Perkawinan
Nasional.
5. Permasalahan UU No. 1 Tahun 1974 Sebagai Unifikasi Hukum
UU No. 1 Tahun 1974 dalam pelaksanaannya secara sistematis memiliki kelemahan
atau kekurangan-kekurangan.
a. Dalam pandangan sistem hukum
Dalam aspek pelaksanaannya dilihat dari aspek yuridis telah mengalami
kesulitan untuk bekerja mencapai tujuannya secara keseluruhan, karena UU No. 1
Tahun 1974 diterbitkan dalam UU Pokok, yang artinya untuk berlaku efektif dalam
masyarakat masih memerlukan UU Organik (Peraturan Pemerintah). Hal ini
sebagaimana diatur dalam pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut.

Pasal 67

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang


pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara ini Peraturan Pemerintah sebagai UU Organik dari UU No. 1 Tahun
1974 yang telah diterbitkan adalah PP 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 dan hanya mengatur mengenai:
1) Ketentuan Umum;
2) Pencatatan Perkawinan;
3) Tata cara Perkawinan;
4) Akta Perkawinan;
5) Tata cara Perceraian;
6) Pembatalan Perkawinan;
7) Waktu Tunggu;
8) Beristri Lebih Dari Seorang;
9) Ketentuan Pidana;
10) Penutup.
Berkaitan dengan bunyi ketentuan pasal 67 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 di
atas yang menyatakan bahwa “Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal
diundangkan, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah” dan bunyi pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan
“…sejauh sudah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku”, maka
sering menimbulkan berbagai penafsiran yang perlu diberikan suatu penjelasan.
Dalam satu sisi sudah ditetapkan ada kepastian hukum perkawinan dan di sisi lain
karena sifatnya hanya mengatur yang pokok-pokok saja sehingga membutuhkan
peraturan pelaksanannya. Dipandang dari system hukum terdapat lubang-lubang
system, antara lain mengenai Harta Benda Perkawinan, Perwalian; sehingga
menimbulkan persoalan interpretasi dalam penerapan hukumnya, yaitu antara lain:
a) Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang bersangkutan yang dipandang kurang
jelas, walau dalam bagian penjelasan sebetulnya sudah dikatakan “cukup jelas”,
sering ditafsirkan menjadi belum berlaku.
b) Pemberlakuan ketentuan hukum lama akan menimbulkan permasalahan, karena
masih berorientas pada pergolongan rakyat, sedangkan ketentuan UU No. 1 Tahun
1974 tidak lagi mengenal pergolongan rakyat (unifikasi hukum).
c) Apabila ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 tetap dinyatakan berlaku karena
merupakan lembaga hukum baru yang memang hendak diperkenalkan sebagai
hukum yang berlaku bagi warga negara Indonesia, maka apakah sudah tepat
ketentuan hukum lama di tempatkan sebagai sumber hukum dan diinterpretasikan
dalam kerangka penerapan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dengan
mengesampingkan masalah pergolongan rakyat (nuansa unifikasi hukum).
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 20 Agustus 1975 pernah
mengambil langkah pintas, dengan melakukan penafsiran yang dituangkan dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. MA/Pemb/0807/75 yang
berjudul “Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung mengenai pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaan No. 9 Tahun 1975”, pada sub 4 pada
pokoknya dinyatakan, bahwa tentang harta benda perkawinan ternyata tidak diatur
dalam PP No. 9 Tahun 1975, karenanya belum dapat diberlakukan secara efektif dan
dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
dan perundang-undangan lama (J. Satrio, 1989: 9-10).
Perlu diketahui bahwa Surat Edaran hanya berlaku secara intern dan ditujukan
kepada para Hakim yang sebetulnya tidak mengikat umum, akan tetapi karena posisi
Hakim dalam penerapan hukum merupakan posisi yang strategis, maka dengan
sendirinya akan berpengaruh dalam praktek penerapan hukum di Pengadilan.
Dilihat dari sudut pandang system hukum logika tersebut dapat diterima, akan
tetapi menimbulkan beberapa pertanyaan lebih lanjut perlu dijawab, yaitu antara
lain:
a. Bagaimana penafsiran berlakunya ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata
mengenai harta benda perkawinan secara sistematis, karena prinsip dasarnya
dalam perkawinannya dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu?
b. Bagi masyarakat Cina yang beragama Islam apa bisa begitu saja ditafsirkan
berlaku ketentuan lama yang berlaku bagi “semula golongannya” mengingat
sekarang sudah ada Komplikasi hukum Islam yang berlaku bagi warga negara
Indonesia yang beragama Islam dan telah diundangkannya UU No. 7 Tahun
1989 tentang Pengadilan Agama yang dinyatakan berwenang memeriksa dan
mengadili perkara-perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam?
c. Bagaimana pula dengan kedudukan hukum dan hak serta kewajiban diantara
suami-isteri yang berbeda menurut UU No. 1 Tahun 1974 dengan menurut
KUHPerdata termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan harta benda
perkawinan?
d. Bagaimana bisa mengkontruksi secara pasti berlakunya ketentuan hukum harta
benda perkawinan yang dilihat secara system hukum sepertinya sudah
compang-camping sebagai suatu kitab undang-undang?
e. Menjadi semakin tidak jelas penafsiran ketentuan hukum yang didasarkan atas
pergolongan rakyat dalam suasana unifikasi hukum menurut UU No. 1 Tahun
1974! Dan penafsiran yang bagaimana yang tepat dapat dilakukan untuk itu?
b. Dalam pandangan empiris
Bagi masyarakat yang jauh dari kota Kabupaten, atau di daerah pelosok
pedalaman kemungkinan bagi mereka urgensi hukum hanya dilihat dalam kehidupan
disekitarnya saja tanpa melihat dalam konteks nasional, oleh karena itu nilai-nilai
kebiasaaan mereka masih dominan. Secara empiris bagi mereka tidak ada
kepentingannya untuk melaksanakan UU No. 1 Tahun 1974, alasannya:
Pertama:
Dalam perkara perceraian, gugatan perceraian harus dilakukan ke Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Agama, padahal lembaga tersebut adanya di kota Kabupaten,
padahal untuk mencapai kota Kabupaten kemungkinan memerlukan waktu
berminggu-minggu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit bagi mereka yang kurang
mampu. Maka cukuplah bagi mereka menggunakan hukum agama atau kebiasaan
yang mereka lakukan selama ini.
Kedua:
Bagi mereka yang memiliki pandangan yang fanatic sering kali mereka juga tidak
melaksanakan ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974, akan tetapi yang penting bagi
mereka adalah sah menurut agama (sudut pandang keagamaan), misalnya kawin siri
atau juga “perkawinan dibawah tangan”.
c. Sehubungan dengan otonomi khusus di Nangroe Aceh Darussalam
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam termasuk wilayah hukum Republik
Indonesia yang sekarang memiliki kewenangan secara khusus untuk menerapkan
syariat Islam bagi warga Aceh yang beragama Islam.
Dalam konteks pandangan unifikasi Hukum Perkawinan Nasional
menimbulkan pertanyaan apakah unifikasi hukum masih dapat dipertahankan disini,
dan penafsiran untuk itu bisa bervariasi, yaitu:
1) Unifikasi hukum UU No. 1 Tahun 1974 hanya berlaku bagi warga Aceh yang
beragama non-Islam.
2) Unifikasi hukum UU No. 1 Tahun 1974 masih relevan berlaku bagi warga Aceh
yang beragama Islam sebagaimana hukum perkawinan yang diatur seperti dalam
Kompilasi Hukum Islam.
3) Unifikasi hukum UU No. 1 Tahun 1974 sudah tidak relevan lagi diberlakukan
bagi warga Aceh yang beragama Islam, karena kepada mereka diberlakukan
Hukum Islam khusus bagi warga Aceh.
Permasalahan ini merupakan hal baru yang sementara ini masih memerlukan
studi secara mendalam dan sistematis dengan menggunakan bahan referensi yang
lengkap serta akurat. Paling tidak hasil kajian ini semakin melengkapi khasanah
pengetahuan mengenai Hukum Perkawinan Nasional.

BAB II

SISTEMATIKA UU NO. 1 TAHUN 1974

Sistematika berasal dari kata “system”, yang artinya antara lain menurut Tatang M.
Amirin dalam Soleman B Taneko (1986:2) dinyatakan sebagai:
“Sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun, terorganisasikan, suatu himpunan gagasan,
prinsip, doktrin, hukum, dan sebagainya yang membentuk suatu kesatuan yang logic dan
dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama, atau bentuk pemerintahan
tertentu”.
Jadi suatu sistematika merupakan suatu system yang disusun secara urut, artinya urutan
tersebut merupakan kerangka berpikir yang merupakan kesatuan dan urutan pertama
merupakan dasar bagi urutan berikutnya, selanjutnya urutan berikutnya merupakan
kelengkapan atau konsekuensi logis dari urutan sebelumnya.
Undang-undang yang di dalamnya terdiri dari banyak Bab, pasal, dan ayat merupakan
suatu system yang tersusun secara sistematis dan didasarkan atas kesatuan alam berpikir atau
asas-asas atau pikiran dasar yang mengorganisasikan sekian banyak nilai-nilai yang
dirumuskan sebagai penjabaran dari politik hukum, dalam hal ini di bidang hukum keluarga
dan perkawinan.
Kerangka piker sistemnya dapat dirinci dalam pandangan Mikro Sistem (Bab I sampai
dengan bab IX) dan Makro Sistem (Bab X sampai dengan Bab XIV).

Mikro Sistem:

1. Bab I mengatur mengenai Dasar-dasar Perkawinan yang mengatur mengenai idealisme


perkawinan dalam pengertian dan tujuan perkawinan (Pasal 1) dan sahnya perkawinan
(Pasal 2), serta asas perkawinan yang monogamy dan pengecualiannya (poligami), berikut
alasan serta persyaratannya (Pasal 4 dan 5).
2. Untuk mewujudkan idealism perkawinan diatas, diberikan rambu-rambunya dengan
diberikan persyaratan perkawinan yang harus dipenuhi bagi setiap orang yang hendak
melangsungkan perkawinan, yang dimuat dalam Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan.
3. Terhadap persyaratan perkawinan oleh UU No. 1 Tahun 1974 diberikan hak control bagi
pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengajukan Pencegahan Perkawinan (Bab
III) sebelum dilangsungkannya perkawinan, dan hak untuk membatalkan Perkawinan (Bab
IV) apabila perkawinan telah dilangsungkan.
4. Sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan, pembentuk Undang-undang
memberikan bagi calon suami isteri hak dapat mengecualikan akibat perkawinan di
lapangan Harta Benda Perkawinan dengan membuat Perjanjian Perkawinan (Bab V).
5. Setelah perkawinan dilangsungkan maka peristiwa tersebut memiliki akibat hukum, yang
meliputi: Hak dan Kewajiban Suami Isteri (Bab VI) dan Harta Benda Perkawinan (Bab
VII).
6. Perkawinan terjadi sebagai akibat suatu perjanjian di lapangan hukum keluarga, maka oleh
hukum pun dimungkinkan putus atau diputuskan serta akibatnya (Bab VIII).
7. Selain akibat perkawinan mengenai hubungan suami isteri, ada juga diatur kedudukan
anak apabila ada anak yang lahir dalam perkawinannya (Bab IX) dan juga mengenai Hak
dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak (Bab X).
8. Kelengkapan system untuk mengantisipasi keadaan apabila ada anak yang sudah
kehilangan orang tua atau kekuasaan orang tua dicabut oleh Pengadilan, maka diatur pula
lembaga perwalian (Bab XI).

Makro Sistem:

Selanjutnya pada Bab XII sampai dengan Bab XIV merupakan ketentuan yang melengkapi
sistemnya dalam rangka penerapan hukum serta kepastian hukum:

1. Pada Bab XII ini, yaitu Bab mengenai Ketentuan-ketentuan lain yang terdiri dari empat
bagian, telah diatur mengenai pembuktian asal-usul anak, perkawinan diluar Indonesia,
perkawinan campuran serta pengertian Pengadilan sebagai ketentuan di luar materi
perkawinan, akan tetapi berkaitan dengan permasalahan perkawinan dalam nuansa
bekerjanya suatu sistem hukum.
2. Pada Bab XIII ini menunjukkan bekerjanya secara system sehubungan dengan
dinyatakannya suatu UU yang baru dalam hubungannya dengan kepastian hukum terhadap
segala peristiwa hukum perkawinan yang dilakukan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun
1974 ini, yaitu berupa Ketentuan Peralihan. Ketentuan peralihan ini penting demi
kepastian hukum, karena prinsip UU tidak berlaku surut adalah suatu prinsip yang harus
diperhatikan dalam penerapan hukum.
3. Ketentuan yang penting sekali dalam rangka bekerjanya system hukum perkawinan di
Indonesia pasca diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 adalah Bab XIV Ketentuan
Penutup, yaitu pasal 66 yang merupakan pernyataan hukum yang menunjukkan sifat
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara unifikasi bagi seluruh warga negara Indonesia
yang tidak lagi mengenal pergolongan rakyat dan pasal 67 yang menentukan kepastian
hukum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara efektif.
Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974 ini menunjukkan sifat dari UU No. 1 Tahun 1974 sebagai
UU Pokok, artinya hanya mengatur pokok-pokoknya saja, sehingga untuk dapat diperlakukan
masih memerlukan peraturan pelaksanaan (UU organic) yang merinci lebih lanjut dan supaya
tidak bersifat interpretable. Keadaan suatu peraturan yang tidak jelas akan menimbulkan
ketidakpastian hukum, dan pembuatan peraturan-peraturan pelaksanaan harus diikuti
pembuatan peraturan yang lebih bersifat teknis; missal mengenai bentuk serta format akte
perkawinan, perjanjian kawin dan lain sebagainya. Hal ini menjadi penting karena suatu
pengaturan yang tidak lengkap justru akan menimbulkan permasalahan baru di dalam
pelaksanaan hukumnya.

BAB III

DASAR-DASAR PERKAWINAN

Dasar-dasar perkawinan merupakan fundamen yang dibangun atau dipola agar setiap
perilaku perkawinan yang dilakukan oleh seluruh warga negara Indonesia mengikuti atau
berpedoman pada konsep yang dirumuskan dalam UU No. 1 Tahun 1974. Dasar-dasar
perkawinan ini sangat penting untuk dirumuskan dan disepakati sebagai suatu cita-cita,
sebagai suatu perasaan dan kesadaran hukum bagi masyarakat Indonesia, artinya sebagai
suatu idealisme yang akan diwujudkan dalam suatu kenyataan hidup dalam masyarakat
sehari-hari.

Ketentuan-ketentuan dalam dari UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai dasar-
dasar perkawinan ini ada 5 pasal, yaitu Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 dan dari ke 5 pasal
tersebut yang merupakan inti utama yang merupakan jiwa atau suasana batin serta yang
mencerminkan idealisme perkawinan di Indonesia adalah ketentuan pada Pasal 1 yang
menjelaskan terminology atau begrip mengenai perkawinan yang bersifat nasional (rumusan
otentik mengenai pengertian perkawinan).

A. Pengertian Perkawinan dari Sudut Pandang Beberapa Sistem Hukum yang


Berlaku Sebelum Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dalam tata hukum Republik Indonesia
berlaku beberapa system hukum perkawinan, yaitu menurut KUHPerdata, menurut hukum
Islam dan menurut hukum Adat.

1. Menurut KUHPerdata
Di dalam KUHPerdata tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi tentang
pengertian perkawinan, tetapi sebagai pedoman dapat dilihat pada Pasal 26 KUHPerdata,
yang berbunyi:
“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan
perdata”.
Pasal 26 KUHPerdata tersebut di atas memberikan gambaran bahwa perkawinan
tidak memandang soal agama dan kepercayaan, tetapi hanya dalam hubungan perdata.
Menurut J. Satrio (1988: 78) dikemukakan, bahwa Pasal 26 KUHPerdata hanya
mengakui perkawinan perdata, dan dengan pasal ini hendak ditegaskan bahwa
KUHPerdata tidak mengakui perkawinan gereja. Demikian juga yang dikemukakan oleh
Scholten dalam R. Soetojo Prawirohamidjojo (1989: 31) bahwa perkawinan adalah suatu
hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama
dengan kekal yang diakui oleh negara; atau dengan kata lain perkawinan merupakan
suatu hubungan hukum yang terjadi karena suatu perjanjian di lapangan hukum keluarga
dan menimbulkan status sebagai suami isteri serta bertujuan untuk hidup bersama.
Perkawinan dilaksanakan oleh kedua orang calon pengantin (pria dan wanita) dan
masing-masing menyatakan kehendaknya untuk kawin dihadapan pegawai pencatatan
sipil (Pasal 78 KUHPerdata) dan disaksikan oleh 2 orang saksi, bahwa mereka saling
menerima sebagai suami isteri dan bersedia sungguh-sungguh melaksanakan segala
kewajiban yang dibebankan oleh hukum kepada mereka di dalam perkawinan (Pasal 80
KUHPerdata).
Perkawinan tersebut harus merupakan hubungan hukum (perdata) yang diakui oleh
negara, maka untuk itu harus dilakukan pencatatan perkawinan dari Kantor Catatan Sipil,
dan justru upacara keagamaan untuk melangsungkan perkawinan tidak boleh dilakukan
sebelum dapat dibuktikan telah dilaksanakan perkawinan dihadapan pegawai catatan
sipil telah berlangsung (pasal 81 KUHPerdata).
2. Menurut Hukum Islam
Dalam bukunya “Outlines of Muhammadan Law” (pokok-pokok Hukum Islam),
Asaf A.A Fyzee dalam Nadimah Tanjung (1977: 28) menerangkan bahwa perkawinan
menurut pandangan Islam mengandung tiga aspek yaitu: aspek hukum, aspek sosial,
aspek agama.
Aspek Hukum
Perkawinan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung
tiga karakter yang khusus yaitu:
1) Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela.
2) Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan
itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan
ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
3) Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan
kewajiban masing-masing.
Aspek Sosial
Perkawinan mempunyai arti penting yaitu sebagai berikut:
1) Pada umumnya orang yang melakukan perkawinan atau pernah melakukan
perkawinan mempunyai kedudukan yang lebih dihargai daripada mereka yang belum
kawin. Khusus bagi kaum wanita dengan perkawinan akan memberikan kedudukan
social yang tinggi, karena ia sebagai istri dan wanita mendapat hak-hak tertentu dan
dapat melakukan tindakan hukum dalam berbagai lapangan mu’amalat. Ketika
masih gadis tindakan-tindakannya masih terbatas, harus dengan persetujuan dan
pengawasan orang tuanya.
2) Sebelum adanya peraturan tentang perkawinan, dulu wanita bisa dimadu tanpa batas
dan tanpa bisa berbuat apa-apa, tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan
mengenai kawin poligami ini hanya dibatasi paling banyak empat orang, itupun
dengan syarat-syarat yang tertentu pula.
Aspek Agama
Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang
baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja, tetapi
diikat juga dengan ikatan batin dan jiwa. Menurut ajaran Islam, perkawinan itu tidaklah
hanya sebagai suatu persetujuan bisa melainkan merupakan suatu persetujuan suci,
dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling
meminta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Tujuan perkawinan dalam Islam menurut Soemiyati (1982: 160) dapat diperinci
sebagai berikut:
i. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi hajat tabiat kemanusiaan.
ii. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
iii. Memperoleh keturunan yang sah.
3. Menurut Hukum Adat
Perkawinan menurut hukum adat merupakan bagian suatu proses circle of life, yang
ditandai dengan suatu upacara, artinya menurut hukum adat suatu perkawinan
merupakan suatu upacara krisis-rite atau rites de passage. Suatu upacara yang penting
karena seseorang telah mencapai titik puncak (sempurna statusnya atau purna jenengnya)
dan keberadaannya selaku warga masyarakat telah eksis, apalagi bila kemudian diikuti
dengan kemandirian dalam kehidupan rumah tangganya.
Perkawinan bukan saja merupakan “perikatan perdata” tetapi juga merupakan
“perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”.
Menurut Ter Haar Bzn. dalam Hilman Hadikusuma (1980: 8) perkawinan dijelaskan
sebagai berikut:
Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
martabat serta urusan pribadi, begitu pula menyangkut urusan keagamaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Van Vollenhoven bahwa dalam hukum adat banyak
lembaga hukum dan kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan di luar dan di
atas kemampuan manusia.
Ragam Perkawinan menurut hukum Adat dijelaskan oleh Woerjanto (tanpa tahun:
13-20) sebagai berikut.
a. Pada Masyarakat Patrilineal
Seperti pada masyarakat Batak mereka menggunakan bentuk perkawinan dengan
system “pembayaran jujur” yang memiliki konsekuensi pihak si perempuan (pengantin
perempuan) berpindah dan menggunakan nama marga suaminya, dan memiliki ciri-ciri
tertentu, yaitu exogam, patrilocal, dan asymetris.
Exogam, artinya larangan keras kawin dengan sesame anggota marganya, jadi
perkawinan harus dari antara orang-orang di luar anggota marganya.
Patrilocal, artinya isteri harus bertempat tinggal di tempat kediaman suaminya atau
dalam lingkungan keluarga suaminya.
Asymetris, artinya jika sesuatu marga berkedudukan sebagai “Hula-hula”, yaitu
pihak yang menyerahkan perempuan dan pihak yang menerima perempuan disebut
dengan “Boru”.
Di Batak sistem asymetris ini dikenal dengan istilah “Dalian Natolu”, artinya bokor
berkaki tiga, dengan tersusun hubungan 3 marga secara segitiga maka akan menjadi kuat.
Laki-laki anggota Marga A bila mau kawin, ia akan mengambil pengantin
perempuannya dari Marga C, dan apabila orang laki-laki Marga C mau kawin ia
mengambil pengantin perempuannya dari Marga B, demikian pula apabila orang laki-
laki Marga B mau kawin ia akan mengambil pengantin perempuannya pada Marga A.
Anak-anak yang dilahirkannya (laki-laki) sebagai penerus silsilah dari bapaknya
(Patrilineal).
Varian dari system perkawinan pada masyarakat Patrilineal ini bisa terjadi seperti,
antara lain:
1) Amani Manu (di Batak), yang memiliki ciri-ciri:
a. Suami adalah orang luar masyarakat hukum dan miskin.
b. Mempunyai fungsi sebagai pembangkit anak.
c. Laki-laki tersebut dipandang sebagai pembantu/pesuruh mertua dan ia
menumpang di tanah isterinya dan bekerja untuk menambah hasilnya kepada harta
benda isteri.
d. Mengenai anak terdapat pengertian, dalam hubungan mewaris mengikuti si Ibu,
dan hubungan perkawinan mengikuti si bapak.
2) Semendo Tambi Anak (di Lampung), memiliki ciri-ciri:
a. Anak perempuan dikawinkan dengan orang luar keluarganya tetapi masih anggota
satu clan secara semendo.
b. Si Suami dijadikan anak angkat, jadi kedudukannya menjadi sederajat dengan
isterinya. Anak-anak dari perkawinan ini masuk clan ibu, mereka dapat mewaris
dari ayah tetapi bukan barang pusaka. Bila mertua meninggal terlebih dahulu, si
isteri yang mewaris. Jika si Isteri yang meninggal terlebih dahulu dari orang
tuanya maka si Suamilah yang mewaris untuk diberikan kepada anak-anaknya.
3) Kawin Tegak Tegi (di Lampung), ciri-cirinya hampir sama dengan Semendo Tambi
Anak, dengan perbedaan ialah: laki-laki diambil dari keluarga yang terdekat atau
dengan perkataan lain dari kurungnya (masih keluarga sendiri dan masih clan sendiri).
4) Kawin Jeng Mirul (di Lampung), memiliki ciri-ciri:
a. Suami bukan dari keluarga terdekat.
b. Suami merupakan orang menumpang bukan di dalam bentuk penghinaan.
c. Suami merupakan anak angkat.
d. Suami dikawinkan dengan anak perempuan secara Semendo, sehingga
mempunyai akibat di dalam perkawinan ini, ia diangkat sebagai wakil mutlak bagi
anak-anak yang akan lahir, tetapi hanya turut mengawasi harta peninggalan untuk
kepentingan si istri dan anak-anaknya.
e. Suami tidak berhak untuk mewaris harta pusaka dan gelar adat.
f. Apabila anaknya perempuan maka dikawinkan secara Tambi Anak atau Tegak
Tegi karena yang mempunyai hak sepenuhnya adalah anak laki-laki.
5) Kawin Manginjam Jago (di Lampung), memiliki ciri-ciri:
a. Laki-laki dipinjam supaya anak perempuan mempunyai anak keturunan.
b. Perkawinan ini bukan bentuk penghinaan atau merendahkan diri sehingga berbeda
dengan perkawinan Amani Manu.
c. Si Suami berkedudukan sebagai orang menumpang. Anak yang dilahirkan masuk
clan ibu.
6) Semendo Tidak Beradat atau Semendo Penuh (di Rejang), memiliki ciri-ciri:
a. Tidak ada pembayaran uang adat dan yang dikatakan uang pelapih.
b. Anak-anak masuk clan ibu.
7) Semendo Beradat (di Rejang) Suami membayar uang pelapih, macam-macamnya:
a. Kurang Beradat: ialah bilamana si Suami membayar uang pelapih sampai 5 real.
Dengan membayar uang pedaut Suami dapat menarik anak-anak laki-laki seorang
atau anak perempuan ke dalam kesatuan keluarganya.
b. Setengah Beradat, ciri-cirinya:
(1) Si Suami membayar uang pelapih antara 5 sampai 10 real.
(2) Dengan tidak membayar uang pedaut si suami dapat menarik seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan ke dalam kesatuan keluarganya.
(3) Biasanya anak-anak memilih sendiri untuk ikut dengan ayah sehingga masing-
masing ayah ikut mengasuh anak-anaknya.
(4) Jika hanya ada seorang anak laki-laki saja maka dikawinkan secara jujur dan
apabila hanya ada seorang anak perempuan dikawinkan secara Semendo dan
cucu-cucunya dibagi.
8) Semendo Rajo-Rajo (di Rejang), memiliki ciri-ciri:
a. Perkawinan dari orang-orang yang berlainan marga tetapi perempuan tidak dijujur
dan laki-laki kawinnya tidak secara semendo biasa.
b. Suami ataupun isteri bebas untuk berdiam menurut kemauannya sendiri sehingga
disini tidak ada patrilocal atau natrilocal.
c. Dasarnya tetap oxogami.
d. Dasarnya adalah Hukum Kebapakan tetapi akibatnya tetap seperti hukum keibu
bapakan.
e. Bentuk pembayaran tidak bersifat jujur dan juga tidak bersifat semendo.
Akibat perkawinan ini ialah:
Bagi anak-anaknya termasuk clan ibu dan ayah dan pula menjadi ahli waris dari clan ibu
dan clan ayah.
b. Pada Masyarakat Matrilineal
Perkawinan Semendo kita terdapat di Minangkabau Sumatera Barat.
Bentuk-bentuk perkawinan Semendo di Minangkabau:
1) Kawin Bertandang atau Kawin Berkunjung atau Kawin Bertamu atau Kawin
Jampui
Ciri-cirinya:
a. Suami isteri tidak hidup bersama.
b. Isteri tetap di lingkungan keluarganya sendiri.
c. Suami sekali-kali datang ke rumah isterinya hanya untuk
menimbulkan/membangkitkan anak dan tidak wajib memberi nafkah kepada anak
isterinya.
d. Isteri dan anak-anak hidup atas dasar harta benda sendiri dan harta benda
keluarga isteri.
e. Anak-anak mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya.
f. Perkawinan semacam ini bagi si Suami tidak rendah kedudukannya seperti halnya
di Batak.
g. Kebanyakan perkawinan dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi di
dalam masyarakat, umpanya: kepala adat, datuk yang tinggi martabatnya dan
lain-lainnya.
h. Si Suami bekerja untuk membantu Saudara perempuannya sendiri sebab ia
berkewajiban memberi nafkah kepada anak-anak dari Saudara perempuan.
i. Tetapi kebiasaannya maka Suami membantu juga bekerja untuk isterinya.
Akibat perkawinan bertandang ini ialah banyaknya perkawinan poligami.
2) Perkawinan Menetap, memiliki ciri-ciri:
a. Suami menetap pada isterinya dan hidup bersama menambah harta isterinya.
b. Hubungan antara ayah, ibu, dan anak-anak sangat erat sehingga timbulnya
keluarga dalam arti sempit (kelamin).
c. Ayah berkewajiban untuk membiayai dan mengasuh anak-anaknya.
d. Antara suami dan isteri ada usaha bersama, mengakibatkan adanya harta bersama.
e. Suami tidak dapat menjual harta pokok (yang berupa sawah, ladang, hewan, dan
lain-lain) tanpa ijin isterinya.
f. Sebaliknya ia bebas untuk menjual hasil dari harta pokok umpamanya:
Hasil tanah : kelapa, padi
Hasik kolam : ikan
Hasil ayam : telur
Hasil rumah : sewanya
3) Perkawinan Bebas, memiliki ciri-ciri:
a. Perkawinan ini berdasarkan pilihan suami isteri sendiri.
b. Suami dan isteri hidup terlepas dari ikatan harta benda keluarganya.
c. Penghidupannya tidak lagi berdasarkan atas harta pusaka sehingga si isteri
biasanya hidup tergantung dari nafkah suaminya atas usahanya sendiri.
d. Antara suami isteri ada penghidupan bersama dan saling membantu sehingga
timbul harta bersama.
e. Akibat perkawinan bebas ini, maka timbullah anggapan bahwa anak sebagai ahli
waris ayah, sehingga dalam perkawinan bebas ini ada cirinya yang terpenting
adalah:
(1) Adanya harta bersama.
(2) Ada hubungan erat antara anak dan ayah.
4) Perkawinan yang terjadi di Daerah Semendo, memiliki ciri-ciri:
a. Perkawinan di tanah Semendo bersifat keibu bapaan atau dinamakan kawin anak
tengah, kecuali anak perempuan sulung yang kawin secara Semendo.
b. Anak sulung dinamakan anak tunggu subang, ialah yang mewarisi harta pusaka.
c. Di tanah Semendo terdapat Semendo Ngangkit ialah jika tidak ada anak
perempuan maka anak laki-laki dikawinkan secara jujur (meskipun dalam
masyarakat matrinial) dan setelah itu isterinya diangkat/dimasukkan di dalam
keluarga suami dan diangkat menjadi anggota keluarga. Maksud dari perkawinan
ini ialah suapaya suami dan isteri dapat mewarisi harta pusaka.
Menurut Prof. Mr. Dr. HAZAIRIN dari jenis-jenis perkawinan diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa pada akhirnya masyarakat patrilinial dan matrilinial berkembang ke
arah masyarakat bilateral/parental. Hal mana dapat dibuktikan makin banyaknya
perkembangan Semendo rajo-rajo dan perkawinan bebas.
c. Pada Masyarakat Parental
1) Di dalam masyarakat parental yang terdapat paling merata di Indonesia ialah di
seluruh Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, seluruh Kalimantan, seluruh
Sulawesi, Ternate, dan Lombok.
Di dalam kekeluargaan semacam ini maka bentuk perkawinannya adalah secara
bebas atau biasa dapat menikah atas pilihannya sendiri dengan siapa saja asalkan
jangan keluarga yang terdekat (biasanya sampai tingkat III).
2) Suami dan isteri hidup terasing dari ikatan harta keluarganya dalam arti kesatuan
hukum tidak ada.
3) Disini ada harta pusaka dalam arti peninggalan dari mereka yang meninggal dunia
tetapi tidak di dalam arti harta pusaka seperti di Minangkabau.
4) Disini ada harta bersama ialah hasil usaha suami dan isteri.
5) Di dalam kekeluargaan semacam ini pada hakekatnya tiada perbedaan antara suami
isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing.
Jadi suami sebagai akibat dari perkawinan di masyarakat Parental menjadi keluarga
si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami.
6) Dengan demikian akibat suatu perkawinan seorang suami dan isteri masing-masing
mempunyai 2 kekeluargaan dan demikian seterusnya untuk anak-anak perempuan,
maupun antara cucu laki-laki dan cucu perempuan.
7) Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam perkawinan ada suatu pemberian tetapi tidak
dalam arti uang untuk membeli si isteri melainkan dalam arti uang untuk membeli
barang-barang rumah tangga suami isteri pada permulaan perkawinan.
8) Sering juga uang ini dinamakan Srikawin atau Maskawin.
9) Pada suatu perkawinan dalam kekeluargaan yang bersifat ke ibu bapaan pada
hakekatnya suami dan isteri selama perkawinan berlangsung berkedudukan sama
baik mengenai harta benda masing-masing atau harta benda milik bersama maupun
mengenai pergaulan hidup diantara mereka.
10) Hubungan kekeluargaan pada masyarakat parental memiliki 7 derajat:
a. Derajat pertama adalah saudara kandung, termasuk satu derajat dengan saudara
kandung adalah saudara misan dan saudara mindo.
b. Derajat kedua adalah cucu.
c. Derajat ketiga adalah buyut.
d. Derajat keempat adalah canggah.
e. Derajat kelima adalah wareng.
f. Derajat keenam adalah udeg-udeg gantung siwur.
g. Derajat ketujuh adalah petarangan bubrah.
Biasanya diantara mereka masih saling kenal pada derajat kedua (cucu) atau
mungkin sampai derajat ketiga (buyut), selebihnya jarang yang kenal satu sama lain.
Ketiga sistem hukum di atas yaitu menurut KUHPerdata, hukum Islam, dan hukum
Adat yang menjelaskan pengertian perkawinan, lebih lanjut apabila terhadap ketiga sistem
hukum tersebut di atas dilakukan pembandingan, maka terdapat beberapa hal yang secara
umum perlu digaris bawahi disini sebagai berikut.
1. Pengertian Perkawinan
a. Menurut pandangan dalam KUHPerdata, perkawinan merupakan kontruksi perjanjian
(transaksi) di lapangan hukum keluarga.
b. Menurut pandangan hukum Islam, perkawinan atau nikah merupakan aqad atau
perjanjian.
c. Menurut pandangan hukum Adat, perkawinan suatu upacara peralihan, suatu rite de
passage.
2. Sifat Hubungan Perkawinan
a. Menurut pandangan KUHPerdata, perkawinan merupakan perjanjian yang
menimbulkan status suami isteri.
b. Menurut pandangan hukum Islam, perkawinan atau nikah menimbulkan perikatan
antara suami isteri.
c. Menurut pandangan hukum Adat, perkawinan juga merupakan suatu perikatan akan
tetapi juga merupakan suatu tahapan peralihan dari proses circle of life yang
menghasilkan perubahan status social yang lebih baik (purna jenengnya atau sempurna
status sosialnya), dan perkawinan memiliki banyak ragamnya sesuai dengan system
kemasyarakatan dari suatu masyarakat tertentu.
3. Tujuan Perkawinan
a. Menurut pandangan KUHPerdata, suami isteri bersama-sama membentuk kehidupan
rumah tangga sebagai bentuk hidup bersama dalam satu rumah.
b. Menurut pandangan hukum Islam, perhubungan suami isteri dimaksudkan
mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga.
c. Menurut pandangan hukum Adat, suami isteri membentuk kehidupan brayat dan hidup
somah (satu rumah atau household) sebagai suatu paguyuban hidup
(lebensgemeineschaft) dimana mereka merasa kerasan (at home, a son aise).
B. Pengertian Perkawinan Menurut Sudut Pandang UU No. 1 Tahun 1974
Pengertian perkawinan telah dirumuskan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Nilai strategis dari Pasal 1 adalah pasal yang menjadi fokus utama yang berisi tujuan
yang hendak diwujudkan dalam kenyataan sebagai idealisme perkawinan (yang dicita-
citakan) serta merupakan pedoman tingkah laku bagi seluruh warga negara Indonesia yang
akan dan telah melakukan perkawinan. Kemudian seluruh pasal berikutnya secara sistematis
akan berfungsi secara sistematik untuk melaksanakan idealisme perkawinan yang dirumuskan
tersebut.
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan dirumuskan dalam kalimat yang berbunyi “Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”, yang
mengandung unsur-unsur:
a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin
Perkawinan adalah suatu hubungan hukum perikatan yang terjadi karena perjanjian
dan didasarkan atas kasih saying (cinta), artinya ikatan tersebut tidak cukup hanya
bernilai “ikatan lahir” saja dan bersifat “hubungan formil”, akan tetapi juga merupakan
“ikatan batin” yang mendasari ikatan lahir tersebut supaya memiliki kekuatan (tidak
rapuh) atau hanya merupakan hubungan sesaat saja.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita
Unsur-unsur perkawinan adalah seorang pria dengan seorang wanita, dari kalimat
tersebut terdapat 2 aspek penting, yaitu:
1) Pelaku perkawinan adalah berjenis kelamin pria dan wanita, berarti hubungan antara
sesama jenis wanita (lesbian) atau sesama pria (gay atau homo sex) sebagaimana
yang sering kita dengar dan terjadi di luar negeri, tidak termasuk yang dimaksudkan
dalam pengertian perkawinan ini.
2) Pelaku perkawinan dirumuskan dengan istilah seorang pria dengan seorang wanita,
istilah “seorang” berarti satu orang, artinya perkawinan ini menunjuk pada bentuk
perkawinan yang bersifat monogamy.
c. Sebagai suami isteri
Digunakannya istilah “sebagai suami isteri” menunjukkan bahwa perkawinan
merupakan perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita di lapangan hukum
keluarga, artinya perjanjian tersebut bukan perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban (obligatoir) di lapangan harta kekayaan, tetapi merupakan perjanjian yang
menimbulkan status, yaitu si pria berstatus sebagai suami dan si wanita berstatus
sebagai isteri.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dirumuskan dengan kalimat “dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Unsur-
unsurnya:
a. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
1) Keluarga
Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu kesatuan
kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas perkawinan yang
sah, dan idealnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya. Adanya anak-anak
menjadikan keluarga itu ideal, lengkap atau sempurna, akan tetapi tanpa adanya
anak pun keluarga sudah ada atau sudah terbentuk.
Keluarga sebagai suatu istilah bisa dipahami dalam pengertian keluarga inti
(nucleus family), yaitu sebagai suatu basic dari suatu susunan masyarakat (basic
social structure), bukan dalam arti masyarakat genealogis yang sering dikenal
sebagai kekerabatan, kekeluargaan, saudara, clan atau marga.
2) Rumah Tangga
Konsep rumah tangga dituliskan dengan dalam kurung setelah istilah keluarga.
Artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk keluarga begitu saja, akan
tetapi secara nyata harus terbentuk suatu rumah tangga; yaitu suatu keluarga
dengan kehidupan mandiri yang mengatur kehidupan ekonomi dan sosialnya (telah
memiliki rumah atau dapur sendiri).
UU ini menganut prinsip (Penjelasan Umum angka 4 huruf d UU No. 1 Tahun
1974), bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya (aspek biologis
maupun aspek psikologis) untuk melangsungkan perkawinan agar supaya dapat
mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
b. Yang Bahagia
Kehidupan bersama antara suami isteri dalam suasana bahagia, merupakan tujuan
dari pengertian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 ini. Untuk tercapainya
suasana kebahagiaan ini maka pada pasal 1 disyaratkan harus atas dasar “ikatan lahir
batin” yang didasarkan atas kesepakatan (konsensus) antara calon mempelai pria
dengan calon mempelai wanita.
Cinta menjadi fundamen dari suatu perkawinan, karena perkawinan memiliki arti
pula sebagai bersatunya antara 2 orang (seorang pria dan seorang wanita) dengan
disaksikan oleh Tuhan dan masyarakat. Penyatuan ini harus dilandasi suatu penerimaan
baik keburukan maupun kebaikan masing-masing. Hal itu baru dapat dicapai apabila
didasari oleh cinta; dengan cinta masing-masing akan bisa berkorban dan pengabdian
untuk yang lain. Inilah yang dimaksudkan sebagai suatu fundamen perkawinan yang
kokoh.
c. Dan Kekal
Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya untuk waktu
sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai waktu yang lama. Orang Jawa
menyebutnya supaya sampai “Kaken-Ninen” atau seperti kehidupan “mimi lan
mintuno”, yaitu kehidupan sepasang ikan yang bernama “Mimi” dan “Mintuno” yang
selama hidupnya selalu berdua.
d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah dijelaskan unsur-
unsurnya di atas secara ideal maupun secara yuridis harus dilakukan dengan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan yang dianut oleh calon pengantin pria
maupun wanita.
Arti dari unsur yang terakhir ini sebetulnya merupakan dasar fundamental dari
suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang bersumber dan berdasar atas Pancasila dan
UUD 1945. Falsafah Pancasila telah memandang bahwa manusia Indonesia adalah
makhluk individu, makhluk social dan juga sebagai makhluk religious, oleh karena itu
segala tindakan manusia Indonesia khususnya dalam perkawinan harus dilandasi pada
hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Secara konsepsual agama dan kepercayaan harus menjadi dasar perkawinan yang
dilakukan bagi masyarakat Indonesia telah dirumuskan pada Bagian Penjelasan UU No.
1 Tahun 1974, khususnya pada penjelasan Pasal 1 yang berbunyi:
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan,
yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi
hak dan kewajiban orang tua.
Perkawinan merupakan dasar pembentuk keluarga, di dalam keluarga terdapat
kehidupan, pertumbuhan, pembinaan dan pendidikan anak-anak (keturunan) diharapkan
akan menjadi insan yang bermartabat (shaleh). Selanjutnya suami sebagai kepala
keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga memikul tanggung jawab yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
C. Sahnya Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu peristiwa yang akibatnya diatur
oleh hukum, atau sebagai suatu peristiwa yang diberi akibat hukum. Suatu perkawinan
merupakan suatu peristiwa hukum apabila perkawinan tersebut merupakan peristiwa yang
sah. Jadi suatu perkawinan dikatakan sah menurut hukum adalah apabila suatu perkawinan
dilakukan menurut aturan hukum yang berlaku, yang dalam hal ini adalah menurut UU No. 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, diakui (kebenarannya), mengikat,
dan juga memiliki akibat hukum serta memperoleh perlindungan hukum.
1. Sahnya Perkawinan Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat
Sebelum Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
a. Menurut KUHPerdata
Menurut KUHPerdata perkawinan sah adalah perkawinan yang diakui oleh
negara, untuk diakui oleh negara perkawinan tersebut harus dilaksanakan menurut
aturan dalam KUHPerdata, diantaranya adalah dilakukan dihadapan pegawai catatan
sipil dan dengan dihadiri saksi-saksi kedua calon suami dan calon isteri harus
menerangkan, yang satu, menerima yang lain sebagai isterinya, dan yang lain,
menerima yang satu sebagai suaminya, pula bahwa mereka dengan ketulusan hati
akan menunaikan segala kewajiban demi undang-undang ditegaskan kepada mereka
sebagai suami dan isteri (Pasal 80 KUHPerdata).
b. Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi rukun perkawinan,
yaitu adanya:
a. Calon suami dan calon isteri
b. Wali nikah
c. Dua orang saksi
d. Ijab dan Kabul
Kelima unsur tersebut di atas harus ada dalam perkawinan menurut hukum Islam,
tanpa adanya rukun tersebut suatu perkawinan tidak dapat dilaksanakan, dan untuk
setiap unsur perkawinan di atas di dalamnya juga terdapat persyaratan yang
mengikutinya (akan dijelaskan pada Bab persyaratan perkawinan).
Pencatatan nikah atau perkawinan tidak diwajibkan artinya bukan suatu
keharusan, artinya tidak dicatatkan pun perkawinan atau nikahnya telah sah dan
memiliki kekuatan hukum. Pencatatan nikah yang diatur dalam UU No. 22 Tahun
1946 dan sifatnya meneruskan peraturan dalam “Huwelijksordonnantie” Stbl. 1929
No. 348 jo Stbl. 1931 No. 467 c.a. adalah merupakan tindakan kebiasaan dari
pemerintah berdasarkan pertimbangan efisiensi semata.
c. Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat, perkawinan merupakan bentuk tahapan circle of life dan
diwujudkan dalam suatu upacara krisisrites (rite de passage) adalah tidak hanya
menjadi urusan individu semata, akan tetapi lebih tampak sebagai urusan adat, kerabat
maupun ketetanggaan. Dalam hukum adat sahnya perkawinan dilihat dari aspek
penerimaan atau pengakuan dari masyarakatnya.
Sahnya perkawinan menurut hukum adat ini juga berkaitan diadakannya
serangkaian upacara sejak ijab dan Kabul, upacara temu (panggih), sampai dengan
upacara resepsi di rumah atau di gedung, oleh karena itu khususnya bagi masyarakat di
Jawa pada umumnya yang beragama Islam, antara perkawinan menurut agama dengan
menurut adat dilakukan bersamaan, artinya dalam satu paket acara. Biasanya
perkawinan dilakukan menurut aturan hukum Islam terlebih dahulu, kemudian baru
dilakukan upacara adat (Receptio sebagian).
2. Sahnya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Sahnya perkawinan diatur pada Bab I Dasar-dasar Perkawinan dalam Pasal 2 UU No.
1 Tahun 1974 yang berbunyi:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
a. Penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
Pada bagian Penjelasan pasal demi pasal, khususnya penjelasan Pasal 2 UU No. 1
Tahun 1974 dinyatakan sebagai berikut:
“Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945”.
Secara grammatical dari bunyi Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, apa yang
dimaksud dengan digunakannya kata dan antara kata agamnya dengan kata
kepercayaannya.
1) Berarti Alternatif
Dilihat dari aspek Bahasa (grammatical), kata dan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2001: 234) mempunyai arti Penghubung satuan bahasa (kata,
frasa, klausula, dan kalimat) yang setara. Apabila bunyi kalimat pada Pasal 2 ayat
(1) di atas dibaca dari aspek Bahasa Indonesia, antara kata agamanya dan kata
kepercayaannya itu bisa menimbulkan penafsiran bahwa kata dan merupakan kata
penghubung, sehingga bisa diartikan bahwa kata agamanya dan kepercayaannya
adalah 2 hal yang terpisah/berbeda tetapi setara dan memiliki fungsi yang tidak
berbeda. Apabila menggunakan penafsiran ini perkawinan dapat dilakukan menurut
masing-masing hukum agamanya atau masing-masing kepercayaannya (alternatif).
Jadi perkawinan menurut kepercayaannya pun atau menurut agamanya yang selain
5 agama (Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam) yang diakui sebagai agama di
Indonesia, dan juga perkawinan menurut kepercayaan/hukum Adat juga merupakan
perkawinan yang sah menurut UU No. 1 Tahun 1974 ini.
2) Berarti Kumulatif
Para pakar hukum Islam di Indonesia ada yang menafsirkan kata dan di atas
menunjukkan bahwa antara kata agamanya dan kata kepercayaannya itu merupakan
kalimat kesatuan (kumulatif) yang tidak terpisahkan.
Menurut K. Wantjik Saleh (1980: 16) bahwa:
Pada hakikatnya perkawinan bukan hanya merupakan suatu perbuatan hukum
saja akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan. Oleh karena itu,
sah dan tidaknya suatu perkawinan tergantung sepenuhnya pada hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya yang dianut pribadi yang
melakukan perkawinan.
Menurut pendapat Hazairin (1961: 61), yang dimaksud dengan tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
adalah sebagai berikut:
Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan kawin dengan melanggar hukum
agamanya sendiri. Dengan demikian juga bagi orang Kristen dan orang Hindu,
Budha seperti yang dijumpai di Indonesia. Maka untuk sahnya perkawinan itu
haruslah menurut ketentuan agamanya dan kepercayaannya.
3) Kumulatif-Alternatif
Penafsiran kata dan ada pula yang menilainya sebagai bersifat kumulatif-
alternatif, artinya suatu perkawinan itu berarti suatu perkawinan sah apabila
dilangsungkan menurut hukum agamanya masing-masing, dalam hal ini termasuk
pengertian kepercayaan dalam agama itu, perlu diketahui disini bahwa dalam suatu
agama, terutama Islam dan Nasrani terdapat beberapa sekte/mazhab, juga mengenai
tata cara perkawinan, maka seseorang penganut agama tertentu itu bebas memilih
aliran kepercayaan atau mazhab Syafi’I, Hanafi bagi yang beragama Islam dan bagi
yang beragama Nasrani, bisa memilih sekte Baptis, Pantekosta, Advent, Katolik,
dan sebagainya yang diyakini atau diikutinya. Sehingga dalam pemahaman ini
keyakinan yang politheisme tidak dapat diterima, artinya orang Indonesia hanya
dibolehkan menikah dengan memilih salah satu agama yang diakui negara. Bagi
suku-suku terasing dalam hal ini dikecualikan, akan tetapi pada akhirnya mereka
harus memilih salah satu agama.
b. Permasalahan Yang Mungkin Timbul Dari Penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974
Penafsiran Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang dilakukan oleh para
pembentuk UU maupun dari beberapa pakar hukum di atas, khususnya yang
mengartikan kata dan secara kumulatif maupun kumulatif-alternatif, didasarkan atas
beberapa asumsi:
1) Bahwa sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Bahwa bangsa Indonesia adalah makhluk religious (beragama), dan terhadap yang
belum beragama akan diarahkan supaya memeluk salah satu agama yang sah atau
diakui di Indonesia.
3) Bahwa agama yang sah diakui di Indonesia adalah hanya 5 agama, yaitu: agama
Hindu, agama Budha, agama Kristen, agama Katolik, dan agama Islam.
4) Bahwa tidak ada lagi perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan
kepercayaan.
Ke empat asumsi tersebut di atas yang menjadi dasar penafsiran Pasal 2 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974, sebetulnya telah menimbulkan permasalahan dan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1) Bahwa sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 setiap orang di Indonesia
memiliki kebebasan untuk melakukan perkawinan sesama warga negara Indonesia,
maupun dengan warga negara asing di Indonesia.
2) Bahwa setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 justru menjadi tidak bisa lagi
melakukan perkawinan menurut hukum di Indonesia.
3) Bahwa orang-orang yang tidak lagi bisa melakukan perkawinan menurut UU No. 1
Tahun 1974 adalah:
a. Diantara orang-orang yang memeluk agama yang berbeda
b. Diantara orang-orang yang belum beragama dan hanya menganut aliran
kepercayaan, termasuk agama Kong Hu Cu.
c. Diantara orang-orang yang hidup di pedalaman yang semula mereka melakukan
perkawinan menurut adat mereka.
4) Bahwa UU No. 1 Tahun 1974 telah menimbulkan diskriminasi hukum bagi
masyarakat Indonesia.
5) Bahwa orang-orang yang beragama berbeda, penganut aliran kepercayaan atau
beragama Kong Hu Cu, apabila mau melakukan perkawinan dapat menerobos
melalui ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu melakukan
perkawinan di luar negeri.
6) Bahwa pada akhirnya UU No. 1 Tahun 1974 mengenai sahnya perkawinan
ditafsirkan secara limitative, artinya Pengadilan tidak lagi bisa menafsirkan lain, dan
tidak boleh atas nama hukum melakukan tindakan rechtsvinding atau menciptakan
hukum baru yang dapat mengatasi permasalahan di atas.
c. Perkawinan Antar Pemeluk yang Berbeda Agama dan Antar Penganut Aliran
Kepercayaan
1) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda
Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda ini pernah menimbulkan pro
dan kontra pendapat.
a) Menurut pandangan hukum Islam
Menurut hukum Islam terdapat 3 (tiga) pendapat (Abdurrahman dan Riduan
Syahrani, 1978: 21-23), yaitu:
1. Pendapat yang bersifat umum, antara lain dapat dibaca pada al-Quran Surat
al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi:
Janganlah kamu nikahkan laki-laki musrik dengan perempuan muslimat
kecuali setelah mereka beriman, sungguh laki-laki merdeka muslim lebih
baik daripada merdeka musrik yang bagaimanapun menarik hatimu.
Surat al-Maidah ayat 5 yang berbunyi:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan. Di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
Kesimpulannya adalah perkawinan antara seorang pemuda muslim
dengan seorang gadis ahli Kitab adalah sah, akan tetapi tidak untuk gadis
muslim dengan pemuda ahli Kitab. Demikian juga perkawinan antara
pemuda muslim dengan gadis yang bukan ahli Kitab (kafir) adalah juga tidak
sah.
2. Pendapat dari Maulana Muhammad Ali dan Sayid Muhammad Rasyid Ridha,
yaitu perkawinan antara wanita muslim dengan non muslim adalah terlarang,
akan tetapi perkawinan antara seorang pemuda muslin dengan penganut
agama apapun di dunia ini dapat dibenarkan. Argumentasi yang
dipergunakan adalah dalam menafsirkan arti “Kitabiyah” atau “ahlul kitab”
yang terkandung dalam al-Maidah ayat 5 tidak hanya meliputi Yahudi dan
Kristen saja, akan tetapi juga Hindu, Budha, dan lain-lainnya.
3. Pendapat yang ekstrim dalam hukum Islam adalah pendapat yang tidak
memperkenankan sama sekali adanya perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda.
Dilihat dari sudut pandang agama Islam menurut beberapa pendapat di atas sudah
terjadi penafsiran yang berbeda-beda mengenai perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda, atau sebetulnya masalah ini merupakan sesuatu yang sangat
penting, tetapi justru oleh UU No. 1 Tahun 1974 tidak diadakan pengaturan yang
bersifat tegas.
Mengenai hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia pernah
berpendapat, sebagai berikut:
a) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
382/Pdt/’89/PW/Jakarta Pusat yang merujuk Keputusan Mahkamah
Agung No. 1400/K/Pdt/’89/PW/Jakarta Pusat
Harian Kompas tanggal 21 Januari 1992 menerbitkan suatu tulisan yang
berintikan:
 Perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda bukan merupakan
perkawinan yang dilarang.
 Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda agama oleh UU No. 1
Tahun 1974 dinyatakan sebagai perkawinan yang tidak diatur atau belum
diatur, sehingga tidak terkena ketentuan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974.
 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai perkawinan campuran hanya
bagi perkawinan antar warga negara Indonesia dengan warga negara asing,
oleh karena perkawinan dimaksud adalah perkawinan antar mereka yang
berbeda hukum, maka bisa diperuntuki ketentuan perkawinan campuran
dalam GHR S. 1898 No. 158.
Ketua mahkamah Agung pada waktu itu adalah Ali Said, SH ikut juga
tertarik mengajukan pendapatnya mengenai perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda ini, dengan mengatakan pada pokoknya bahwa perkawinan antar
pasangan yang beda agama adalah suatu kenyataan dalam masyarakat yang
majemuk di Indonesia, sulit mencegah adanya orang-orang yang beda agama
untuk saling jatuh cinta dan ingin menjalin hubungan dalam bentuk keluarga,
maka dengan memberikan persetujuan dan membenarkan (atas nama hukum)
kepada mereka untuk menjadi suami isteri dalam suatu perkawinan yang sah,
meskipun kanyataan agama yang mereka anut berbeda. Bahkan dalam
keputusan para Hakim juga terdapat penafsiran yang mengarah pada suatu
perkawinan yang tidak atau belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga bisa digunakan kekuasaan rechtsvinding sebagai dasar untuk mengisi
kekosongan hukum.
Pasal 7 ayat (2) Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau
Peraturan Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 dinyatakan bahwa
“perbedaan agama”, bangsa atau asal itu sama sekali tidak merupakan
penghalang untuk melangsungkan perkawinan, jadi ketentuan ini membuka
seluas-luasnya kemungkinan untuk mengadakan perkawinan antar pemeluk
agama yang berbeda, sekalipun dalam hal tertentu akan mengesampingkan
ketentuan hukum agama.
(Bandingkan dengan prinsip yang dikandung dalam ketentuan Pasal 66 UU
No. 1 Tahun 1974)
Penafsiran Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengenai perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda didasarkan atas
argumentasi sebagai berikut:
 Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda bukan sebagai suatu
perkawinan yang dilarang oleh UU No. 1 Tahun 1974, karena tidak secara
tegas dinyatakan dalam UU.
 Pasal 27 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga negara memiliki
kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, sehingga adalah
tidak adil apabila terjadi perlakuan yang berbeda diantara sesama warga
negara Indonesia, dan diantara mereka hanya karena berbeda agama
menjadi tidak bisa melakukan perkawinan.
 Pasal 29 UUD 1945 juga memberikan jaminan bahwa setiap warga negara
dijamin kemerdekaannya untuk memeluk agamanya. Persoalan agama ini
merupakan hak asasi dan harus dihormati oleh hukum di Indonesia.
 Perkawinan juga merupakan aspek hak asasi manusia, maka peristiwa
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dapat digolongkan sebagai
perkawinan yang belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dapat
digolongkan sebagai perkawinan yang bisa diperuntuki ketentuan GHR S.
1898 No. 158 tentang perkawinan campuran. Pasal 7: UU Perkawinan
Campuran S. 1898 – 158 dinyatakan bahwa perbedaan agama, ras, suku,
keturunan atau kepercayaan tidak menjadi penghalang untuk menikah.
Orang tidak perlu lagi “main dengan agama”, yaitu pura-pura merubah
agama (simulasi) hanya untuk menikah. Orang dapat menikah walau
mempunyai agama yang berbeda (pandangan hukum).
 Atau dengan kewenangan hakim dapat ditafsirkan bahwa perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga telah terjadi kekosongan hukum, oleh karena itu dapat digunakan
kekuasaan rechtsvinding.
2) Perkawinan antar penganut aliran kepercayaan
Pengertian kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut sarasehan
nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tahun 1981
disebutkan sebagai:
“Pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan serta
pengalaman budi luhur”.
Pengertian kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah dalam agama
sumbernya adalah wahyu ilahi, ada kitab suci dan nabi, serta merupakan hubungan
antara Tuhan dan manusia inpersonal. Sedangkan kepercayaan bersumber pada
pengalaman batin manusia, serta merupakan hubungan antara Tuhan dan manusia,
dan manusia sedapat mungkin mengosongkan diri dan menipiskan “aku melebur” di
dalam laku “hening” (pengosongan pikiran melalui semedi atau kontemplasi).
Selanjutnya berdasar atas surat Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 28
Desember 1979 No. MA/650/1979 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia, perihal Pencatatan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu:
a) Kelompok Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
memeluk salah satu agama.
Kelompok ini masih dikelompokkan lagi menjadi:
(1) Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memeluk
agama Islam.
(2) Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memeluk
agama selain Islam (non muslim).
b) Kelompok Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tidak
memeluk salah satu agama.
Pengelompokkan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa di atas memiliki konsekuensi yang berbeda dalam pelaksanaan perkawinannya,
yaitu:
a) Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
beragama Islam, pelaksanaan perkawinan dan tata cara pencatatan perkawinannya
sama dengan bagi warga negara Indonesia lainnya yang beragama Islam.
b) Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
beragama selain Islam, pelaksanaan perkawinan dan tata cara pencatatan
perkawinannya mengikuti aturan sesuai dengan agama yang dipeluknya.
c) Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
tidak memeluk agama tertentu, untuk kelompok ini harus merujuk Surat Menteri
Agama Republik Indonesia No. D. VI/1125/1978 tanggal 18 Oktober 1978 yang
ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, perihal
Penyebutan Agama, Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah bagi umat
beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan, serta Surat Menteri
Agama Republik Indonesia No. B. VI/5996/1980 tanggal 17 Juli 1980 yang
ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri perihal Perkawinan dan Kewalian para
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagai berikut:
(1) Dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal
adanya tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut Aliran
Kepercayaan dan tidak dikenal pula penyebutan Aliran Kepercayaan dalam
Agama.
(2) Bagi pemeluk agama yang mengikuti Aliran Kepercayaan tidaklah kehilangan
agama yang dipeluknya, oleh karena itu pula tidak ada tata cara perkawinan
dan sumpah menurut Aliran Kepercayaan.
(3) Penegasan secara lisan dari Presiden kepada Menteri Agama tanggal 12
Oktober 1979 bahwa Perkawinan bagi penganut Aliran Kepercayaan harus
berdasarkan tata cara agama dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Penegasan lebih lanjut dapat pula dirujuk Surat Menteri Dalam Negeri No.
477/2535/PUOD tanggal 25 Juli 1990, yang dinyatakan bahwa bagi para Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak kehilangan agamanya dan
perkawinan mereka harus berdasarkan suatu agama. Selanjutnya juga ditegaskan lagi
dengan Surat Menteri Dalam Negeri No. 474.2/3069/PUOD tanggal 19 Oktober
1995, bahwa perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa tidak diperkenankan lagi untuk dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil
meskipun sudah mendapat izin Dispensasi/persetujuan dari Pengadilan Negeri
setempat.
d. Penafsiran Sahnya Perkawinan
Pengertian perkawinan dengan memperhatikan bunyi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 tidak lagi hanya merupakan “perbuatan hukum” saja akan tetapi
juga merupakan “perbuatan keagamaan”. Persoalannya sekarang adalah untuk sahnya
perkawinan, apakah antara “perbuatan hukum” dengan “perbuatan keagamaan”
merupakan perbuatan sebagai suatu kesatuan atau bukan merupakan perbuatan sebagai
suatu kesatuan.
Perkawinan sebagai “perbuatan hukum”, ditandai dengan dicatatkannya
perkawinan tersebut Catatan Sipil, dan “perbuatan keagamaan”, ditandai dengan
dilaksanakannya perkawinan menurut ketentuan agama yang dianut oleh kedua calon
mempelai.
Penafsiran mengenai sahnya perkawinan ini dalam kenyataannya memang terdapat
kerancuan, artinya belum adanya keseragaman atau pemahaman yang sama mengenai
sahnya perkawinan.
Apabila boleh dilakukan kualifikasi atas ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974,
maka ketentuan ayat (1) dapat dikualifikasi sebagai sahnya perkawinan secara materiil
dan ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sebagai kualifikasi sahnya perkawinan secara
materiil-formil.
1) Sahnya perkawinan secara materiil
Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 harus dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, adapun yang
dimaksud disini adalah termasuk ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentang
atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini (Sudarsono, 1991: 10).
Pendapat secara materiil tentang sahnya perkawinan yang hanya merujuk pada
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 diatas sampai ini agaknya masih
dipegang oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Artinya perkawinan sudah sah
apabila sudah dilakukan memenuhi kriteria “perbuatan keagamaan” tanpa memenuhi
kriteria “perbuatan hukum”. Maksudnya apabila sudah sah menurut agama sudah
cukup, tidak perlu dipenuhi tata cara perkawinan sebagaimana yang diatur dalam PP
No. 9 Tahun 1975.
Fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang mencerminkan pendapat
itu adalah adanya perkawinan siri dan perkawinan mut’ah atau istilah lainnya, yaitu
perkawinan “dibawah tangan” (kemungkinan perkawinan yang kedua atau yang
ketiga dan seterusnya) apakah termasuk kategori sah menurut hukum.
Menghadapi fenomena tersebut apabila dikatakan sebagai perkawinan yang
sah menurut hukum artinya perkawinan tersebut termasuk yang dimaksud sebagai
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, maka
persoalannya adalah apakah Hakim mau menyatakan sah suatu perkawinan yang
jelas-jelas tidak dilakukan menurut tata cara perkawinan yang telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan (UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975).
Masalah yang mungkin timbul adalah:
a) Pencatatan perkawinan sebagai amanat ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 tidak atau sulit terlaksana.
b) Penerobosan terhadap persyaratan perkawinan, prosedur dan persyaratan
poligami, pencegahan maupun pembatalan perkawinan sulit dilakukan atau
tidak bisa lagi dikontrol oleh hukum.
c) Sistem hukum perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menjadi tidak bisa berlaku
dalam masyarakat.
2) Sahnya perkawinan secara formil-materiil
Dalam penafsiran sahnya perkawinan secara formil-materiil menentukan sah
tidaknya suatu perkawinan, didasarkan pada penafsiran sistematis dari UU No. 1
Tahun 1974. Secara sistematis ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
sebetulnya merupakan konsep dasar untuk menentukan sahnya perkawinan-
perkawinan dan dimuat dalam Bab I tentang Dasar-dasar Perkawinan. Kemudian
perlu diingat bahwa konsep sahnya perkawinan tersebut secara sistematis harus
dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Bab II tentang Syarat-syarat
Perkawinan untuk bisa dilangsungkannya perkawinan tersebut. Penafsiran sistematis
tentang sahnya perkawinan tidaklah cukup dipahami secara partial atas dasar Pasal 2
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 saja, tetapi harus dihubungkan dengan persyaratan
perkawinan. Dalam persyaratan perkawinan diatur ada syarat materiil (pasal 6
sampai dengan pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974) dan syarat formil (pasal 12 UU No.
1 Tahun 1974).
UU No. 1 Tahun 1974 adalah undang-undang pokok, artinya hanya mengatur
yang pokok-pokok saja, untuk itu sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UU No. 1 Tahun
1974. UU ini baru efektif apabila telah dibuat Peraturan Pemerintah yang
melaksanakan UU ini, dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975;
dengan demikian secara yuridis posisi hukum dari Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 merupakan kesatuan dengan UU No. 1 Tahun 1974.
PP No. 9 Tahun 1975 telah mengkontruksi penafsiran tentang sahnya
perkawinan dilihat secara substansial dari tata cara perkawinan yang diatur dalam
Pasal 10 ayat (1,2,3), sebagai berikut:
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Menafsirkan ketentuan Pasal 10 ayat (1,2,3) PP No. 9 Tahun 1975 diatas,
dapat diartikan bahwa implementasi konsep sahnya perkawinan yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 telah dikontruksi secara yuridis
formal. Dengan demikian pencatatan perkawinan juga sudah diakomodir dalam tata
cara pencatatan perkawinan tersebut, sebagaimana disebutkan pada Pasal 11 PP No.
9 Tahun 1975, yang berbunyi:
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Pasal 10 PP ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan
yang telah disipkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan telah tercatat secara resmi.
Jadi agaknya ketentuan Pasal 10 ayat (1,2,3) PP No. 9 Tahun 1975 merupakan
penafsiran yang menjembatani makna dari bunyi pasal antara ketentuan Pasal 2 ayat
(1) dengan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai suatu kesatuan, bukan sebagai
suatu pasal yang bisa ditafsirkan secara terpisah.
Untuk penjelasan yang terakhir, maka dapat ditafsirkan sahnya perkawinan
menurut ketentuan KUHPerdata seperti sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974,
yang hanya melihat dari sudut hukum keperdataan saja. Sehingga dapat
menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan istilah “anak haram perdata”, yaitu
perkawinan yang tidak dicatatkan di Catatan Sipil, dan istilah “anak haram” menurut
ketentuan agama, karena dilakukan tidak menurut ketentuan hukum agama
(Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978: 10-11).
D. Asas Monogami dan Poligami
UU No. 1 Tahun 1974 menentukan suatu prinsip dalam hubungan perkawinan dengan
berdasar atas asas monogami yang dinyatakannya: “Pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami” (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Ketentuan tersebut di atas secara tegas merumuskannya dengan kalimat yang sifatnya
pemaksa (dwingenrecht) yang diwujudkannya dengan kata “hanya boleh …” atau bisa
diperlunak pemahamannya dengan mengambil prinsip monogami dalam sistem
perkawinannya. Hal ini dikemukakan karena terdapat keanehan dengan pada Pasal 3 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 justru merumuskan kalimat yang bertentangan dengan kata “hanya
boleh …” pada ayat (1)-nya, yaitu: “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 walaupun menganut
prinsip asas monogami akan tetapi memberikan pula kesempatan (pengecualian) untuk pria
dapat melakukan poligami, apabila hukum agama yang dianut yang bersangkutan
membolehkan.
1. Asas Monogami
Istilah monogami berasal dari istilah yunani, mono berarti tunggal dan gamein atau
gamos berarti kawin atau perkawinan, sehingga monogami berarti pekawinan tunggal,
yakni perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.
Asas monogami ini merupakan asas yang umum dipergunakan oleh sebagian besar
masyarakat di dunia, karena pada hakekatnya seorang wanita pada umumnya tidak mau
dimadu, apabila terjadi seorang bersedia dimadu dalam perkawinannya sudah dipastikan
karena ada faktor lain, atau karena pengaruh keyakinan atau budaya masyarakatnya. Hal
ini berbeda pada diri seorang pria yang terdapat kecenderungan untuk itu, baik dilihat dari
aspek biologis, budaya, dan psikologis.
Sejalan dengan asas monogami yang merupakan suatu prinsip yang dikandung
dalam UU No. 1 Tahun 1974 juga dipilih suatu sistem keluarga bilateral atau sistem
keluarga yang bersifat parental, yaitu suatu sistem yang tersusun atas dasar hubungan
darah (kewangsaan) yang berorientasi pada kabapak ibuan; artinya setiap anak memiliki
dua hubungan silsilah, yaitu dari silsilah bapaknya maupun silsilah dari ibunya. Selain itu
juga dikontruksi aspek hubungan diantara suami isteri adalah seimbang dan masing-
masing cakap bertindak dalam hukum di lapangan harta benda perkawinan (Pasal 31 ayat
(1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
2. Poligami
Istilah poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu polu dan gamein, polu berarti
banyak dan gamein berarti kawin, jadi poligami dapat diartikan sebagai perkawinan yang
banyak.
Menurut Sayuti Thalib (1985: 56) poligami yaitu seorang laki-laki beristeri lebih
dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama, memang diperbolehkan dalam hukum
Islam, tetapi pembolehan itu diberikan sebagai suatu pengecualian, pembolehan diberikan
dengan pembatasan-pembatasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang
mendesak.
Menurut penjelasan angka 4 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan:
Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.
Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
Agama Islam membolehkan poligami dan poligami ini merupakan jalan keluar dari
kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim. Syarat
utama bagi seorang laki-laki dapat melakukan poligami adalah harus dapat berbuat adil,
apabila khawatir tidak akan dapat berbuat adil, supaya kawin dengan seorang isteri saja;
sebab monogamy lebih menjamin seseorang tidak akan berbuat aniaya.
Alasan berpoligami dikatakan dalam tafsir al Maraghy, jilid 4, halaman 182-183
sebagai berikut:
a. Tidak mempunyai anak yang akan menyambung keturunan.
b. Istri pertama menderita penyakit menahun (chronis) yang tidak memungkinkan
melakukan tugas-tugas sebagai istri.
c. Sebab tabiat kemanusiaan suami, yaitu nafsu keinginan melakukan hidup berkelamin
yang terlalu besar (terlalu kuat), sehingga suami memerlukan istri lebih dari seorang.
d. Jumlah wanita lebih banyak dari pria, karena peperangan dan lain-lain, termasuk di
dalamnya ialah janda-janda sehingga merupakan suatu masalah social yang perlu
mendapat perhatian.
UU No. 1 Tahun 1974 memberikan kesempatan bagi warga negara Indonesia yang
hukum agamanya membolehkan untuk melakukan poligami, akan tetapi harus sebelumnya
memperoleh izin terlebih dahulu dari Pengadilan.
Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi:
“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Pasal di atas menunjukkan secara jelas maksud pembentuk UU, bahwa UU No. 1
Tahun 1974 menganut asas monogamy akan tetapi memberikan pengecualian poligami
dengan memberikan persyaratan tertentu (pemaksa atau dwingenrecht) wajib, hanya,
harus dipenuhi oleh yang bersangkutan, yaitu:
1. Poligami wajib ada izin dari Pengadilan (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
2. Poligami hanya yang memiliki alasan-alasan yang ditentukan oleh UU (Pasal 4 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974).
3. Poligami harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU (Pasal 5 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974).
Alasan-alasan yang harus dipenuhi untuk poligami diatur dalam ketentuan Pasal 4
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, sebagai berikut:
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan untuk poligami yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 bersifat alternative, artinya untuk dapat melakukan poligami cukup salah satu alasan
dari ketiga alasan tersebut di atas.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami, diatur dalam
Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Berbeda halnya dengan alasan-alasan poligami, untuk syarat-syarat poligami justru
bersifat kumulatif, artinya ketiga syarat tersebut harus dipenuhi semua, ada salah satu
syarat yang tidak dipenuhi maka akan tidak dikabulkan permohonan untuk dapat
melakukan poligami.
Diberikannya izin poligami oleh Pengadilan berdasarkan atas hasil Pengadilan diatur
dalam Lampiran Instruksi Dirjen Binmas Islam tanggal 12 Agustus 1975 sebagai berikut:
a. Surat permohonan kepada Pengadilan.
b. Surat keterangan tentang keadaan isterinya yang dapat dijadikan alasan untuk poligami.
c. Surat keterangan yang dapat membuktikan bahwa dia mampu untuk menjamin
kehidupan isteri dan anak-anaknya.
d. Surat persetujuan dari isteri.
e. Surat pernyataan bahwa ia akan berbuat adil terhadap isteri dan anak-anaknya.
Pemerikasaan dan pemberian izin poligami dilihat dari aspek hukum administrasi
negara menurut K. Wantjik Saleh (1987: 24) merupakan tindakan “penetapan”
(Beschikking), bukanlah suatu “putusan” (vonis) sebagaimana halnya dalam suatu perkara
gugatan (yurisdictio Contentiosa); dengan kata lain bahwa suatu “tindakan administratif”
yang diberikan kepada Pengadilan untuk melakukannya, atau lebih dikenal dengan istilah
“Yurisdictio Voluntaria”. Jadi jelaslah bahwa pemeriksaan dan pemberian izin untuk
beristeri lebih dari seorang adalah merupakan suatu perkara “Yurisdictio Voluntaria”,
maka izin tersebut haruslah dituangkan dalam bentuk suatu “Penetapan”. Suatu
perkawinan yang tidak mengindahkan ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No.
9 Tahun 1975, maka dengan sendirinya dari sudut hukum termasuk kategori perkawinan
yang tidak sah maka tidak memiliki akibat hukum.
Timbul suatu pernyataan mengenai apakah poligami yang dilakukan tanpa izin
Pengadilan atau tidak mengikuti ketentuan hukum yang berlaku dalam pelaksanaan
perkawinan keduanya atau dan seterusnya, merupakan tindakan dalam kategori kejahatan
atau tindakan dalam kategori pelanggaran hukum saja.
Analisa mengenai persoalan ini agaknya oleh Abdurrahman dan Riduan Syahrani
(1978: 105-110) dengan mengambil pemikiran Dr. T. Jafizham dalam disertasinya, telah
diberikan suatu penjelasan yang pada intinya adalah:
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia bulan Agustus 1975 menyatakan agar
seorang suami yang kawin tanpa izin Pengadilan, dapat dihukum menurut Pasal 279
KUHP.
Dalam Pasal 279 KUHP ditentukan:
(1) Dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun:
1e. Barang siapa yang kawin sedang diketahuinya, bahwa perkawinannya yang sudah
ada menjadi halangan yang sah baginya akan kawin lagi.
2e. Barang siapa yang kawin, sedang diketahuinya, bahwa perkawinan yang sudah ada
dari pihak yang lain itu akan menjadi halangan yang sah bagi pihak yang lain itu akan
kawin lagi.
(2) Kalau orang yang bersalah karena melakukan perbuatan yang diterangkan di 1e,
menyembunyikan kepada yang lain, bahwa perkawinannya yang sudah ada itu
menjadi halangan yang sah akan kawin lagi, dihukum penjara selama-lamanya 7
tahun.
(3) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1-5.
Pendapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia di atas
menganggap bahwa perkawinan kedua (poligami) merupakan kejahatan. Perlu dipahami
bahwa ketentuan Pasal 279 KUHP tersebut di atas lebih tepat diberlakukan bagi warga
negara Indonesia yang hukum agamanya dan kepercayaannya tidak membolehkan
melakukan poligami, berbeda halnya dengan warga negara Indonesia yang beragama
Islam yang menurut hukum Islam diperbolehkan poligami. Kecuali bagi mereka yang
melakukan perkawinan ke lima, padahal hukum Islam hanya membolehkan poligami
dengan 4 (empat) orang isteri.
Pendapat dari Dr. T. Jafizham di atas agaknya menafsirkan sahnya perkawinan
secara materiil saja, yaitu cukup berdasar atas Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974,
sehingga perkawinan tetap sah, karena dilakukan sesuai hukum Islam, dan yang
bersangkutan hanya melanggar prosedur hukum yang harus dilakukan; selanjutnya
tindakan tersebut hanya dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hukum bukan
merupakan kejahatan.
Menurut penulis penafsiran sahnya perkawinan secara materiil saja lebih
mendasarkan pada kebiasaan selama ini yang terjadi sebelum lahirnya UU No. 1 Tahun
1974 yang sepenuhnya perkawinan hanya merupakan urusan privat semata, sedangkan
politik hukum yang diarahkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan cara berpikir
bahwa perkawinan lebih dominan aspek publiknya daripada aspek privatnya semata.

BAB IV

TAHAPAN DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN

Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan


tersendiri (Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974), yang dalam hal ini telah diterbitkan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada tanggal 1 April 1975.

PP No. 9 Tahun 1975 mengatur mengenai Pencatatan Perkawinan, Tata Cara


Perkawinan, Akta Perkawinan, Tata Cara Perceraian, Pembatalan Perkawinan, Waktu
Tunggu, Beristeri Lebih dari Seorang, Ketentuan Pidana dan Penutup. Sistematika dari
Peraturan pemerintah ini merupakan konsekuensi sesuai amanat Pasal 67 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974, yang berbunyi:

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya


secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan tersebut secara tegas telah menentukan kapan saat berlakunya, yaitu sejak
saat diundangkannya pada tanggal 2 Januari 1974. Hanya selanjutnya diberi suatu keterangan
bahwa yang pelaksanaannya secara efektif akan diatur dengan PP, dengan demikian telah
jelas bahwa UU No. 1 Tahun 1974 merupakan UU Pokok. Persoalan ini akan menjadi
berkembang setelah dicermati secara mendalam nantinya pada Pasal 67 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974, yang berbunyi:

Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur


lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang prosesnya melalui beberapa tahapan
(formalitas) yang harus dilalui, dan pada setiap tahapan harus diperhatikan persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi sesuai peraturan yang berlaku.

Tahapan dalam proses pelaksanaan perkawinan dapat dirinci sebagai berikut:

1. Tahapan pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan (Pasal 3-7 PP No. 9


Tahun 1975).
2. Tahapan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan (Pasal 8-9 PP No. 9 Tahun 1975).
3. Tahapan pelaksanaan perkawinan (Pasal 10-11 PP No. 9 Tahun 1975).
A. Tahapan Perkawinan
Pada tahapan pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan merupakan tahapan
awal yang harus dilakukan oleh calon mempelai yang secara yuridis menyatakan
kehendaknya dalam ruang lingkup hukum public (hukum administrasi negara), agar
perkawinan yang hendak dilangsungkannya sah dan mendapat pengakuan serta perlindungan
hukum. Hal-hal yang berkaitan dengan tahapan pemberitahuan ini meliputi ketentuan
mengenai syarat-syarat perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan dirumuskan secara konsepsual merupakan konsep operasional
dari dasar-dasar perkawinan sebagaimana telah dirumuskan pada Bab I pada UU No. 1 Tahun
1974. Melalui syarat-syarat perkawinan ini dapat diperoleh gambaran indicator suatu
perkawinan dapat atau tidak dapat dilangsungkan. Pegawai Pencatat yang menerima
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan berkewajiban meneliti apakah syarat-
syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan menurut Undang-
undang.
1. Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan dapat dirumuskan sebagai keadaan yang harus ada, atau
keadaan yang menghalangi untuk dilangsungkannya perkawinan. Apabila syarat-syarat
perkawinan tersebut dilanggar berarti proses perkawinan tidak bisa dilangsungkan. Syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat dilangsungkannya perkawinan telah diatur dalam Pasal 6
sampai dengan Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974. Syarat-syarat perkawinan ini ditentukan
secara limitatif dan dirumuskan dengan menggunakan kalimat “harus”, “hanya”, “larangan”,
“tidak boleh” dan meliputi aspek: persetujuan calon suami isteri, izin dari orang tua, umur
kawin, larangan kawin, waktu tunggu, serta tata cara (formalitas) perkawinan.
a. Syarat Materiil
Syarat materiil yang berlaku umum adalah syarat yang harus dipenuhi oleh
setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan, sebagai berikut:
a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suami isteri (Pasal 6
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Yang dimaksud dengan “persetujuan kedua calon mempelai” adalah
perkawinan itu harus didasarkan pada kehendak bebas calon mempelai pria
maupun wanita untuk melaksanakan perkawinan. Persetujuan atau kerelaan kedua
belah pihak untuk melaksanakan perkawinan merupakan syarat penting (bersifat
fundamental) sebagai pembentuk “ikatan lahir batin” atau persetujuan yang
didasarkan atas kehendak bebas dan didasari oleh saling cinta diantara calon
mempelai, untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai
dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Menurut Hilman Hadikusuma (1983: 45)
kata “Atas persetujuan kedua calon mempelai” di dalam Pasal 6 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974 dimaksudkan bahwa orang tua atau wali tidak boleh
memaksakan anak mereka untuk melaksanakan perkawinan jika mereka tidak
setuju terhadap pasangannya atau belum bersedia untuk melangsungkan
perkawinan.
b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang
tuanya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Orang tua oleh pembentuk UU No. 1 Tahun 1974 diberikan tanggung jawab
dan sebagai factor penting dalam proses perkawinan, calon mempelai dinilai oleh
orang tua, karena nantinya mereka harus bertanggung jawab atas kehidupan
keluarganya (rumah tangganya), oleh karena itu bagi mereka calon mempelai
yang belum berumur 21 tahun harus mendapatkan izin dari orang tuanya. Untuk
itu bisa dibaca sebagai kehendak dari para pembentuk UU menentukan batas
umur 21 tahun sebagai batas seorang anak dipandang telah mampu mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri.
c) Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita
sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan diharapkan
sudah dalam keadaan “matang” jiwa raganya (lahir batin) dan bagi mereka yang
masih sangat muda apabila akan melangsungkan perkawinan akan banyak
medapat persoalan dalam rumah tangganya dan juga anak-anak yang
dilahirkannya merupakan anak yang dilahirkan dari orang tua yang belum
“matang”. Namun demikian Undang-Undang Perkawinan memberi kelonggaran
untuk terjadinya perkawinan yang menyimpang dari ketentuan tersebut, asal ada
dispensasi dari Pengadilan berdasarkan permintaan dari orang tua calon mempelai
yang belum memenuhi syarat tersebut di atas (Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974). Dalam hukum Islam batas umur untuk melaksanakan perkawinan tidak
disebutkan dengan pasti, hanya disebutkan bahwa baik pria maupun wanita
supaya sah melakukan akad nikah harus sudah baligh atau dewasa (Soemiyati,
1982: 71).
d) Bagi wanita yang putus perkawinannya, berlaku waktu tunggu (Pasal 11 UU No.
1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975), yaitu:
(1) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
hari.
(2) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
dating bulan, ditetapkan 3 kali suci sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang
tidak dating bulan ditetapkan 90 hari.
(3) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka
waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.
(4) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dengan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada
waktu tunggu.
e) Larangan Kawin
a) Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
(1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas.
(2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
(3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu bapak
tiri.
(4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi
susuan.
(5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
(6) Yang mempunyai hubungan oleh agamnya atau peraturan lain yang
berlaku sekarang, dilarang kawin (Pasal 8 UU Perkawinan).
Dalam al Quran Surat an-Nisa: 22-24, menyebutkan macam-macam
perempuan yang haram di nikah laki-laki, yaitu:
Ibu tiri (janda ayah), ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi (saudara
perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), kemanakan (anak
perempuan saudara laki-laki), kemenakan (anak perempuan saudara
perempuan), ibu susuan, saudara perempuan susuan, mertua (ibu isteri), anak
tiri apabila ibunya telah campur (sebelum ibunya dicampuri apabila berpisah,
anak tiri dapat dikawini), menantu (isteri anak kandung), mengumpulkan dua
perempuan bersaudara sebagai isteri dan perempuan yang dalam ikatan
perkawinan dengan laki-laki lain.
b) Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU
ini (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).
c) Apabila suami isteri telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU No. 1 Tahun
1974).
Mengenai Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974, menurut Soemiyati (1982: 40)
dinyatakan:
Mereka yang beragama Islam tidak terkena ketentuan dalam Pasal 10 UU
No. 1 Tahun 1974, sebab hukum Islam mempunyai ketentuan sendiri, yaitu
suami isteri yang bercerai untuk kedua kalinya masih boleh kawin lagi satu
sama lainnya, sedangkan yang dilarang kawin lagi antara keduanya, ialah
apabila terjadi perceraian yang ketiga kalinya.
Selanjutnya dalam Surat al-Baqarah: 230 mengenai persoalan ini juga
dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa bilangan thalaq adalah tiga kali, isteri yang telah thalaq tiga kali
oleh suaminya, tidak dapat kawin lagi dengan bekas suaminya. Kecuali
apabila bekas isterinya telah kawin dengan laki-laki lain (dan terjadi
persetubuhan), akhirnya bercerai dari laki-laki lain itu (tanpa direncanakan
lebih dahulu).
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 10
UU No. 1 Tahun 1974, tidak berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan berdasarkan hukum Islam.
b. Syarat Formal
Syarat formal diatur dalam Pasal 3-9 PP No. 9 Tahun 1975, yang terdiri dari
tiga tahap, yaitu:
1) Pemberitahuan kepada pegawai pencatat perkawinan
Memberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan kepada
Pegawai Pencatat merupakan keharusan, dan dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian untuk itu
karena alasan penting dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan
dispensasi kepada Camat atas nama Bupati (Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) PP No. 9
Tahun 1975).
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai,
atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4 PP No. 9 Tahun 1975) dan harus
dimuat identitas calon mempelai secara lengkap, yaitu: nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dan apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu (Pasal
5 PP No. 9 Tahun 1975).
Pegawai Pencatat yang dimaksud disini adalah Pegawai Pencatat
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk (NTR) bagi orang-orang yang beragama Islam (Pasal 2 ayat (1)
PP No. 9 Tahun 1975) dan Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan bagi orang-orang yang beragama selain Islam (Pasal 2
ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975).
2) Penelitian syarat perkawinan
Pegawai pencatat perkawinan meneliti:
a) Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan
surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang
diberikan oleh Kepala Desa, atau yang setingkat dengan itu.
b) Keterangan mengenai nama, agama, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua
calon mempelai.
c) Ijin tertulis/ijin pengadilan, dalam hal salah seorang calon mempelai atau
keduanya belum mencapai usia yang ditentukan oleh Undang-undang
Perkawinan.
d) Ijin pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih
mempunyai isteri.
e) Dispensasi Pengadilan/Pejabat, dalam hal adanya halangan kawin.
f) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian
surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua kali.
g) Ijin tertulis bagi pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB,
apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya Angkatan Bersenjata.
h) Surat Kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pejabat
pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak hadir
sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada
orang lain.
2. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam
Hukum perkawinan Islam berlaku sebagai hukum positif berada dalam bingkai sistem
hukum perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penafsiran dalam penerapan
kaidah-kaidah hukum perkawinan Islam di Indonesia harus memperhatikan suasana
kebatinan dari politik hukum keluarga dan perkawinan secara nasional. Jadi apabila terdapat
hal-hal yang bertentangan antara hukum perkawinan Islam dengan hukum perkawinan
nasional, maka secara logika sistem hukum harus dipahami penerapannya tidak boleh
bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974. Syarat-syarat Perkawinan melekat pada masing-
masing rukun perkawinan, yaitu adanya calon mempelai, adanya wali yang sah, saksi-saksi
dan ijab qabul. Pada setiap rukun perkawinan tersebut harus memenuhi syarat yang dirinci
sebagai berikut:
a. Calon mempelai
1) Telah baligh dan mempunyai kecakapan sempurna
2) Berakal sehat
3) Tidak karena paksaan
4) Wanita yang hendak dinikah bukanlah termasuk wanita yang haram dinikah: berlainan
agama, hubungan nasab, hubungan susuan, dan hubungan semenda.
b. Wali nikah
Wali disini adalah wali bagi pihak wanita. Menurut Imam Syafi’i bahwa perempuan
yang kawin, wajib memakai wali. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Tirmizi, dan Ibnu Majjah yang berbunyi “Tidak nikah kecuali pakai
wali”.
1) Kedudukan wali dalam perkawinan
Wali dalam perkawinan merupakan rukun dan oleh Soemiyati (1982: 43) yang
mengutip Imam Abu Hanafiah dikatakan bahwa “Wali dalam perkawinan hanya
disyaratkan bagi wanita yang belum dewasa, sedangkan wanita yang sudah dewasa dan
janda boleh mengawinkan dirinya sendiri.
a) Wali Nasab
1. Ayah
2. Kakek
3. Saudara laki-laki
4. Paman dan seterusnya
Wali nasab ini dapat dibagi lagi menjadi:
1. Wali Mujbir: Wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk
mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa izin dulu dari yang
bersangkutan. Bandingkan dengan Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
persetujuan calon suami isteri.
2. Wali Nasab Biasa: Wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa.
b) Wali Hakim
Wali yang diberi kuasa untuk mewakili atau menggantikan wali nasab untuk
mengawinkan seorang gadis. Wali hakim dapat mewakili wali nasab yang dekat
(aqrab), yaitu: Ayah, kakek, dan saudara laki-laki sekandung yang ghoib atau
menolak menjadi Wali nikah. Alasan menggunakan Wali Hakim:
1. Wali nasab memang tidak ada.
2. Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada di tempat tetapi tidak memberi kuasa
kepada Wali yang lebih dekat yang ada.
3. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4. Wali nasab sedang ihram, haji atau umroh.
5. Wali nasab menolak bertindak sebagai Wali.
6. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada dibawah
perwaliannya. Misal pernikahan antara seorang perempuan dengan saudara laki-
laki sepupunya yang sekandung seayah.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987
disebutkan:
Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di
luar negeri/wilayah ekstra-tertorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali
nasab yang berhak atau Wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud
atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali
Hakim
Selanjutnya disebutkan juga dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agama
No. 2 Tahun 1987 sebagai berikut:
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat nikah
ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai
wanita sebagai dimaksud Pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
Permohonan Wali nikah dengan Wali Hakim dapat dimohonkan ke Pengadilan
Agama di wilayah hukum pemohon dengan memberikan alasan-alasan sesuai yang
ditentukan di atas.
c) Wali Muhakam
Wali nasab menolak dan Wali Hakim tidak ada maka dapat ditunjuk Wali
Muhakam.
2) Syarat-syarat menjadi wali
a. Orang Mukalaf ialah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
b. Muslim
c. Berakal sehat
d. Laki-laki
e. Adil
c. Saksi
Syarat sebagai saksi adalah:
1) Beragama islam
2) Mukalaf atau baligh
3) Adil
4) Dua orang saksi laki-laki, tetapi bila tidak ada, boleh satu orang saksi laki-laki dan dua
orang saksi perempuan.
d. Ijab dan Kabul
“Ijab” adalah pernyataan dari pihak calon isteri dan “Kabul” adalah pernyataan atau
jawaban dari calon suami bahwa ia menerima calon isterinya dan menjadi isterinya.
B. Tahapan Pengumuman
Setelah semua syarat perkawinan dipenuhi, maka pegawai pencatat kemudian
mengadakan pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan, dengan
cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor
Pegawai Pencatat Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca
oleh umum. Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan dan
memuat hal ikhwal orang yang akan melangsungkan perkawinan juga memuat kapan dan
dimana perkawinan itu akan dilangsungkan. (K. Wantjik Saleh, 1982: 19). Konkritnya
pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan harus memuat:
1. Nama
2. Umur
3. Agama/kepercayaan
4. Pekerjaan
5. Tempat
6. Tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai
7. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga sama isteri dan atau
suami mereka terdahulu.
8. Hari
9. Tanggal
10. Jam
11. Tempat perkawinan akan dilangsungkan
Pengumuman yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan memiliki beberapa arti
penting, yaitu:
1. Tujuan Pengumuman
Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang bersifat publik, sehingga dalam
proses perkawinan bersifat terbuka, artinya setiap orang dapat mengetahui dan memiliki
hak untuk mempertahankan haknya apabila terjadi pelanggaran atau ia memiliki
kepentingan sehubungan dengan pelaksanaan perkawinan tersebut. Adapun tujuan adanya
pengumuman, yaitu memberi kesempatan kepada umum supaya mengetahui dan dapat
mengajukan keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan. Keberatan-
keberatan itu dapat diajukan ke Pengadilan (pencegahan perkawinan) dengan dalam
syarat-syarat perkawinan atau bertentangan dengan hukum masing-masing agamanya, atau
bertentangan dengan peraturan pengundang-undangan lainnya (penjelasan Pasal 6
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
2. Kebenaran yang Objektif
Tindakan pengumuman tersebut di atas bisa dikatakan sebagai “uji publik”, suatu
tahapan untuk memperoleh kebenaran yang obyektif, karena perkawinan tersebut memiliki
akibat yang luas tidak hanya di bidang hukum saja, tetapi juga akan berdampak di bidang
sosial dan memuati juga aspek “religious” atau keagamaan yang merupakan aspek yang
peka dalam masyarakat, sebelum pada akhirnya pengumuman tersebut ditindak lanjuti
sesuai hukum berupa tindakan pelaksanaan perkawinan dan kemudian dilakukan
pencatatan perkawinan.
C. Pelaksanaan Perkawinan
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak
melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat (Pasal 10 ayat (1) PP. No. 9 Tahun 1975),
artinya perkawinan dapat dilaksanakan setelah lewatnya masa pengumuman (uji publik),
sehingga secara yuridis dapat dipakai dasar telah hilangnya keraguan mengenai persyaratan
perkawinan secara materiil yang harus dipenuhi oleh calon mempelai.
Setelah itu tata cara perkawinannya dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu (Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975), artinya proses pelaksanaan
perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu harus dilakukan terlebih dahulu
(perkawinan menjadi sah secara materiil; tidak seperti pada masa sebelum berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974); perlu dikemukakan disini bahwa pelaksanaan perkawinan menurut
hukum agama dan kepercayaannya itu, dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat serta
dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi (Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975). Ketentuan inilah
yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan hubungan antara ketentuan Pasal 2 ayat (1)
dengan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 (formil-materiil).
Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai ketentuan-ketentuan Pasal 10 PP No.
9 Tahun 1975, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh
Pegawai Pencatat, kemudian juga ditandatangani oleh kedua orang saksi dan Pegawai
Pencatat yang menghadiri perkawinan. Bagi orang-orang yang beragama Islam, akta
perkawinan ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya; sejak saat itulah
secara yuridis peristiwa perkawinan yang dilaksanakan telah tercatat secara resmi (Pasal 11
ayat (1,2,3) PP No. 9 Tahun 1975).
Keadaan yang digambarkan di atas apabila terjadi pelanggaran prosedur perkawinan dan
poligami, hanya dinyatakan sebagai tindak pidana pelanggaran (Pasal 45 ayat (3) PP No. 9
Tahun 1975). Akibat dari pelanggaran ini bagi mereka (mempelai) dan bagi Pegawai Pencatat
yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10, dan 40 PP No. 9 Tahun 1975 hanya dihukum denda
setinggi-tingginya Rp7.500,-
Melihat ketentuan Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975, semakin menjadikan penafsiran
mengenai sahnya perkawinan menjadi sangat interpretable. Antara penafsiran para pakar
hukum yang menggunakan logika akademis berdasarkan atas logika ilmu hukum, bisa
berbeda dengan penafsiran para Hakim yang lebih cenderung berbicara dari aspek kepastian
hukum (logika sistem hukum), demikian juga penafsiran para praktisi dari para eksekutif,
sebagai pelaksana dalam aspek hukum administrasi negara yang terikat pada penafsiran para
pejabat atasan.
D. Catatan Sipil dan Akta Perkawinan
Pada tahap pelaksanaan perkawinan ini perlu dijelaskan pula disini mengenai Catatan
Sipil dan Akta Perkawinan.
1. Catatan Sipil dan Perkembangannya
a. Riwayat catatan sipil
Catatan sipil yang dikenal sekarang sebenarnya merupakan lembaga hukum yang
dikenal di negara Belanda dan merupakan suatu lembaga pemerintahan yang pada
masa penjajahan Belanda di Indonesia dahulu dikenal dengan nama “Burgerlijke
Stand” dan kemudian diterjemahkan menjadi Catatan Sipil (Sukarno, 1985: 14), jadi
Lembaga Catatan Sipil sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak jaman
penjajahan Belanda. Pada jaman penjajahan Belanda Catatan Sipil ditangani oleh
Gubernur Jenderal, tetapi semenjak Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1945 istilah
Gubernur Jenderal tidak dikenal lagi dan yang ada adalah Gubernur atau Kepala
Daerah.
Berdasar atas Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala
Badan Negara dan Peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, maka Ordonansi-ordonansi catatan
sipil buatan penjajah Belanda masih berlaku.
Menurut Soedjito Tjokrowisastro (1985: 268) Ordonansi-ordonansi tersebut
adalah:
1. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Eropa adalah S. 1849 No. 25
2. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Tionghoa adalah S. 1917 No. 130 jo S.
1919 No. 81
3. Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan WNI yang beragama Kristen adalah S. 1933
No. 75 jo S. 1936 No. 607
Menurut pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling (IS) yang berlaku atas dasar
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, penduduk Indonesia dibagi ke dalam 3 golongan
besar, yaitu:
a) Golongan Eropa
b) Golongan Timur Asing (Tionghoa dan selain Tionghoa)
c) Golongan Indonesia Asli
Pasal 163 I.S. berbunyi sebagai berikut:
a) Apabila peraturan-peraturan dari undang-undang ini dari peraturan-peraturan lain,
reglemen-reglemen, peraturan-peraturan polisi dan peraturan administratif
membeda-bedakan antara golongan Eropa, Indonesia, dan Timur Asing, untuk
mereka berlaku peraturan-peraturan berikut.
b) Pada peraturan-peraturan untuk golongan Eropa tunduk:
1) Semua orang Belanda
2) Semua orang tak termasuk dalam golongan nomor 1, yang berasal dari Eropa
3) Semua orang Jepang dan selanjutnya semua orang yang berasal dari lain
tempat, tak termasuk dalam golongan-golongan nomor 1 dan 2 untuk siapa di
negerinya berlaku hukum keluarga, yang dalam pokoknya berdasar apa asas-
asas yang sama dengan asas-asas Belanda.
4) Anak-anak yang sah atau yang diakui secara sah menurut Undang-undang yang
dilahirkan di Indonesia dan turunan-turunan lanjutan dari orang-orang yang
dimaksudkan dan di bawah nomor 2 dan 3.
c) Pada peraturan-peraturan untuk golongan Indonesia tunduk kecuali kedudukan
hukum dari golongan Indonesia asli, begitu juga mereka yang dahulu termasuk
dalam golongan-golongan Indonesia asli.
Adanya perbedaan golongan penduduk Indonesia menjadi 3 golongan besar,
inilah yang mendorong dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966
yang intinya menghapus penggolongan-penggolongan penduduk di Indonesia berdasar
pasal 131 dan 163 I.S. pada kator catatan sipil di seluruh Indonesia.
Adapun isi dari Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 31/U/IN/12/1966 adalah
sebagai berikut:
1. Sambil menunggu dikeluarkannya Undang-undang catatan sipil tidak
menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 dan 163
I.S. pada kantor catatan sipil di seluruh wilayah Indonesia.
2. Untuk selanjutnya kantor catatan sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh penduduk
Indonesia yaitu untuk seluruh WNI dan orang asing.
3. Ketentuan-ketentuan tersebut angka 1 dan 2 tidak mengurangi berlakunya
ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, warisan, dan ketentuan hukum
perdatanya.
4. Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman mengatur lebih lanjut pelaksanaan
dalam instruksi ini di lingkungan masing-masing.
Mengenai jenis-jenis akta catatan sipil yang diterbitkan oleh masing-masing
golongan seperti yang telah diuraikan diatas menurut Soekarno (1985: 57-59) adalah
sebagai berikut:
1. Untuk golongan Eropa ada 5 macam Daftar Catatan Sipil, yakni:
a) Daftar-daftar Kelahiran
b) Daftar-daftar Pemberitahuan Perkawinan
c) Daftar-daftar Ijin untuk menikah
d) Daftar-daftar Perkawinan dan Perceraian
e) Daftar-daftar Kematian
2. Untuk orang-orang golongan Tionghoa ada 3 macam, yaitu:
a) Daftar-daftar Kelahiran
b) Daftar-daftar ijin untuk menikah
c) Daftar-daftar perkawinan dan perceraian
3. Untuk orang-orang golongan Indonesia asli di Jawa dan Madura ada 3 macam
daftar, yaitu:
a) Satu daftar kelahiran
b) Satu daftar pemilihan nama
c) Satu daftar kematian
4. Untuk orang-orang golongan Indonesia asli Nasrani di Jawa dan di Madura,
Minahasa, dan Amboina ada 5 daftar catatan sipil, yaitu:
a) Satu daftar kelahiran
b) Satu daftar pemilihan utama
c) Satu daftar perkawinan
d) Satu daftar perceraian
e) Satu daftar kematian
Dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 31/U/In/12/1966
tentang Penghapusan penggolongan Penduduk di Indonesia tanggal 27 Desember 1966
yang menyatakan bahwa Catatan Sipil terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan
tidak membeda-bedakan golongan di antara sesama warga negara seperti sebelumnya,
tetapi hanya dibedakan antara warga negara Indonesia dan orang asing.
Pengertian catatan sipil:
Menurut Soedjito Tjokrowisastro (1985: 81),
Lembaga Catatan Sipil adalah untuk mencatat/mendaftarkan secara lengkap tentang
setiap peristiwa penting dari seseorang seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, dan
kematian termasuk pengakuan anak luar kawin.
Menurut Departemen Kehakiman (termasuk BPHN):
Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat atau mendaftar setiap
peristiwa yang dialami oleh warga masyarakat, misalnya seperti kelahiran, kematian,
perkawinan, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data selengkap
mungkin, agar status warga masyarakat dapat diketahui.
Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah lembaga Catatan sipil
merupakan lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk
mencatat atau mendaftar setiap peristiwa yang dialami warga masyarakat, setelah ada
laporan yang dimulai sejak lahir sampai meninggal, seperti: kelahiran, perkawinan,
perceraian, pengakuan anak, kematian, dan sebagainya.
Menurut Pasal 1 Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1983 ditegaskan bahwa
Menteri Dalam Negeri secara fungsional mempunyai kewenangan dan tanggung jawab
di bidang Catatan Sipil yaitu:
a) Menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta
Perkawinan, Akta Perceraian, Akta Pengakuan dan Pengesahan Anak bagi mereka
yang bukan beragama Islam.
b) Melaksanakan penyuluhan dan pengembangan kegiatan Catatan Sipil.
c) Menyediakan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang
kependudukan atau kewarganegaraan.
Adapun pokok-pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam Keputusan
Presiden No. 12 Tahun 1983 adalah sebagai berikut:
1) Menteri Dalam Negeri secara fungsional mempunyai kewenangan dan tanggung
jawab penyelenggaraan Catatan Sipil dan mempunyai tugas:
1. Menetapkan perumusan kebijaksanaan di bidang Catatan Sipil.
2. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Catatan Sipil.
3. Melaksanakan koordinasi penyelenggaraan kegiatan Catatan Sipil dengan
departemen dan lembaga pemerintahan non Departemen yang ada kaitannya.
2) Gubernur Kepala Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan catatan sipil di
daerah. Keadaan seperti ini tidak dijumpai sebelum adanya Keputusan Presiden No.
12 Tahun 1983.
3) Penyelenggaraan Catatan Sipil dilaksanakan oleh Bupati (Walikotamadya) Kepala
Daerah Tingkat II selaku Kepala Wilayah.
Sedangkan fungsi catatan sipil menyelenggarakan:
a) Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran
b) Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perkawinan
c) Pencatatan dan penerbitan kutipan akta perceraian
d) Pencatatan dan penerbitan kutipan akta pengakuan dan pengesahan anak
e) Pencatatan dan penerbitan kutipan akta kematian
f) Penyimpanan dan pemeliharaan akta pengakuan dan akta pengesahan anak dan
akta kematian
g) Penyediaan bahan dalam rangka perumusan kebijaksanaan di bidang
kependudukan atau kewarganegaraan. (Soekarno, 1985: 34).
b. Peraturan catatan sipil dalam hal perkawinan bagi WNI keturunan tionghoa dan
WNI asli yang beragama katolik dan budha (non Islam)
1) Sebelum Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Peraturan perundang-undangan mengenai Catatan Sipil pada jaman Hindia
Belanda sifatnya masih pluralisme dan membagi golongan penduduk menjadi 3
golongan besar yaitu: golongan Eropa, golongan Indonesia asli, golongan Timur
Asing. Pasal 131 I.S. jo 163 I.S. merupakan dasar hukum daripada aneka ragamnya
peraturan-peraturan Catatan Sipil yang berlaku di Indonesia. (Soedjito
Tjokrowisastro, 1985: 79). Adapun maksud Lembaga Catatan Sipil adalah untuk
mencatat atau mendaftarkan secara lengkap tentang peristiwa penting dari
seseorang yaitu kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, dan ijin untuk
menikah. Pencatatan ini merupakan bukti otentik baik bagi orang yang
bersangkutan maupun bagi orang atau pihak ketiga yang berkepentingan.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebelum tahun 1974, pada jaman
penjajahan Belanda berdasar atas dasar Pasal 131 dan 163 I.S. maka akan
berpengaruh terhadap produk-produk yang dibuat oleh Catatan Sipil di Indonesia
misalnya terhadap Kutipan Akta Perkawinan. Di dalam “kepala” Kutipan Akta
Perkawinan masih tertulis kata “Golongan”, dan pada permulaan ikhtisar Kutipan
Akta Perkawinan memakai perkataan “Golongan Eropa” atau “Golongan Tionghoa
(Cina)”. (Soedjito Tjokrowisastro, 1985: 260).
2) Sesudah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Peraturan Catatan Sipil yang bersifat nasional belum ada, namun demikian
berdasar Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/In/12/1966 tanggal 27 Desember
1967 telah menghapuskan golongan penduduk Indonesia, walaupun dalam
Instruksi Presidium tersebut masih menggunakan Staatsblad dalam hal peraturan
Catatan Sipil bukan berarti ada diskriminasi penduduk Indonesia. Hal tersebut
ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Kehakiman No. J.A.2/2/2/5 Pemdes 51/1/3 tanggal 28 Januari 1967
tentang Pelaksanaan Keputusan Presidium Kabinet Ampera No.
127/U/Kep/12/1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 31/U/In/12/1966
yang isinya antara lain menyebutkan bahwa setelah berlakunya UU No. 1 Tahun
1974 di dalam Kutipan Akta Perkawinan perkataan “Warga Negara Indonesia”
dan untuk orang asing menggunakan perkataan “Warga Negara : …….” Dengan
diisi nama negara yang bersangkutan. Jika kewarganegaraannya tidak jelas, ditulis
perkataan “Tanpa Kewarganegaraan”. (Soedjito Tjokrowisastro, 1985: 260).
Pada permulaan ikhtisar Kutipan Akta Perkawinan yang memakai perkataan-
perkataan “Untuk Golongan Eropa” atau “Untuk Golongan Tionghoa” diganti
dengan perkataan “Menurut Stb ….. no …..” dengan diisi Stb yang bersangkutan,
yaitu Stb. 1849 No. 25 untuk Golongan Eropa, Stb. 1917 No. 130 jo 1919 No. 81
untuk Golongan Tionghoa dan Stb. 1933 No. 75 jo 1936 No. 607 untuk golongan
WNI Asli yang beragama Kristen, (Soedjito Tjokrowisastro, 1985: 260). Dengan
demikian penggunaan Staatblad adalah untuk mengganti perkataan golongan
sehingga tidak ada kesan diskriminasi penduduk Indonesia.
Selain Instruksi Presidium Kabinet No. 31/IN/12/1966 dan Surat Edaran
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman No. J.A.2/2/5 Pemdes
51/1/3 ada juga Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221 a tahun 1975 tentang
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil sehubungan
dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta peraturan pelaksanaannya.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 221 a Tahun 1975 mengatur bahwa sebelum
dikeluarkannya Undang-Undang Catatan Sipil yang bersifat nasional maka
pencatatan perkawinan dan perceraian dilakukan di Kantor Catatan Sipil menurut
ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 bagi mereka yang
pencatatan perkawinannya dilakukan berdasarkan Ordonansi-ordonansi,
disebutkan oleh Soedjito Tjokrowisastro (1985: 267-268) sebagai berikut:
1) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Eropa S. 1849 No. 25
2) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan Cina S. 1917 No. 130 Jo 1919 No. 81
3) Ordonansi Catatan Sipil untuk golongan WNI Asli yang beragama Kristen S.
1933 No. 75 Jo 1936 No. 607
Peraturan Catatan Sipil yang telah disebutkan di atas masih tetap berlaku
sebelum ada Undang-Undang Catatan Sipil yang bersifat nasional.
2. Akta Perkawinan dan Kutipan Akta Perkawinan Setelah Berlakunya UU No. 1
Tahun 1974
a. Akta Perkawinan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
Perihal Akta Perkawinan diatur dalam Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975 yang
menyebutkan bahwa,
Akta Perkawinan memuat:
1) Nama, tanggal lahir, tempat lahir, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat
tinggal suami isteri, jika pernah kawin disebutkan juga nama suami isteri yang
terdahulu.
2) Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua
mereka.
3) Izin kedua orang tua bagi yang melangsungkan perkawinan belum mencapai umur
21 tahun, atau dari wali, atau dari pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat
(2) s/d (5) UU No. 1 Tahun 1974.
4) Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
bagi yang melaksanakan perkawinan di bawah umur 19 tahun bagi pria, di bawah
umur 16 tahun bagi wanita.
5) Izin pengadilan dari seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih
dari seorang isteri.
6) Persetujuan dari kedua calon mempelai.
7) Izin dari pejabat yang ditunjuk Menhankam atau Pangab bagi anggota ABRI.
8) Perjanjian perkawinan jika ada.
9) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman dari saksi
dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10) Nama, umur, agama, kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila
perkawinan dilaksanakan melalui seorang kuasa.
Hal-hal yang harus dimuat dalam Akta Perkawinan yang ditentukan dalam Pasal
12 PP No. 9 Tahun 1975 merupakan ketentuan minimal sehingga masih
dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya mengenai Nomor Akta, tanggal,
bulan, tahun pendaftaran, jam dan tahun pernikahan dilaksanakan, nama dan jabatan
pegawai pencatat perkawinan, tanda tangan dari mempelai, pegawai pencatat
perkawinan, saksi dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya
(Hilman Hadikusuma, 1990: 93).
b. Kutipan Akta Perkawinan
Seperti telah diketahui bersama bahwa Akta Perkawinan dibuat rangkap dua,
helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera
Pengadilan dalam wilayah Kantor Perkawinan itu berada, sedangkan kedua suami istri
masing-masing diberi Kutipan Akta Perkawinan (Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975).
Adapun tentang isi dan format Akta Perkawinan dan kutipan Akta Perkawinan
belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. UU No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur
tentang hal-hal yang harus dimuat di dalam Akta Perkawinan seperti yang diatur dalam
Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975.

BAB V

PENCEGAHAN DAN BATALNYA PERKAWINAN

Persamaan dan perbedaan antara “pencegahan perkawinan” dan “pembatalan


perkawinan” adalah:

Persamaan:

 Merupakan tindakan hukum sebagai tindakan kontrol terhadap perkawinan yang


melanggar syarat-syarat perkawinan (Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UU No. 1 Tahun
1974).
 Prosesnya harus dilakukan melalui Pengadilan (Pasal 17 dan Pasal 25 UU No. 1 Tahun
1974), artinya tidak bisa dilakukan secara sepihak.
 Dilibatkannya lembaga Pengadilan ini dapat lebih menjamin adanya kepastian hukum.
 Pengajuan permohonan pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan, maupun
penarikan kembali permohonan tersebut harus dilakukan dengan putusan pengadilan.
Perbedaan:
 Pencegahan perkawinan merupakan sistem kontrol sebelum perkawinan dilangsungkan,
sedangkan Pembatalan perkawinan merupakan sistem kontrol setelah perkawinan
dilangsungkan.
 Pada pencegahan perkawinan tidak berkaitan dengan akibat perkawinan, sedangkan pada
pembatalan perkawinan kemungkinan berkaitan dengan akibat perkawinan.
 Tata cara pengajuan permohonan pencegahan perkawinan menggunakan acara
permohonan, sedangkan tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diajukan
dengan cara gugatan.
 Akibat hukum pencegahan perkawinan menjadikan pelaksanaan perkawinan terhenti,
sedangkan pada pembatalan perkawinan menjadikan perkawinan tidak sah sejak saat
dibatalkan.
A. PENCEGAHAN PERKAWINAN
1. Orang-orang Yang Berhak Mengajukan Permohonan Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan tidak diberikan
pengaturan lebih lanjut dalam PP No. 9 Tahun 1975. Agaknya dipandang pengaturan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 sebanyak 8 (delapan) pasal, yaitu dari Pasal 13 sampai
dengan Pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 sudah dianggap cukup jelas. Secara prinsipil
perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak (calon mempelai) yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 13 UU No. 1 Tahun 1974). Untuk
mencegah perkawinan sebagaimana dimaksud di atas, oleh UU No. 1 Tahun 1974
diberikan hak untuk mencegah perkawinan tersebut (Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 dan Pasal
16 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974) kepada:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
2) Saudara
3) Wali nikah
4) Wali
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai
6) Pihak-pihak yang berkepentingan
7) Suami atau isteri
8) Pejabat yang ditunjuk
Orang-orang sebagaimana disebutkan di atas pada nomor 1 sampai dengan nomor 6,
juga berhak mencegah perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974 dibawah ini:
Mereka yang tersebut pada ayat 1 berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah
pengampunan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan
orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Seorang suami atau seorang isteri karena masih terikat perkawinan dengan salah satu
calon mempelai, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu yang berkaitan dengan
izin poligami (Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1974). Ketentuan pasal ini menunjukkan prinsip
monogami yang dianut oleh UU No. 1 Tahun 1974, sehingga pelanggaran terhadap prinsip
monogami merupakan pelanggaran hukum, maka untuk itu kepada suami atau isteri yang
terikat karena perkawinan diberikan hak untuk mencegah perkawinan yang baru tersebut.
Pejabat yang ditunjuk berkewajiban untuk mencegah berlangsungnya perkawinan
apabila terdapat syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi, yaitu:
1) Batas umur untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
2) Larangan untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974).
3) Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UU No. 1 Tahun
1974), kecuali dalam hal yang disebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU No. 1
Tahun 1974.
4) Suami atau isteri yang telah cerai kawin lagi dengan orang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, dan diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974).
5) Syarat-syarat formil untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam PP
No. 9 Tahun 1975 (Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974).
2. Tata Cara Permohonan Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan dilakukan dengan suatu tindakan hukum, yaitu dengan
melakukan permohonan yang diajukan ke Pengadilan. Dalam hal ini ada dua istilah yang
disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang harus
diperhatikan yaitu istilah permohonan dan istilah Pengadilan.
UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan istilah permohonan semestinya juga
menggunakan proses acara permohonan bukan proses acara gugatan. Sayangnya PP No. 9
Tahun 1975 tidak memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai acara permohonan
pencegahan perkawinan ini, tidak seperti untuk acara pembatalan perkawinan yang dalam
Pasal 38 ayat (2) dinyatakan acara pembatalan perkawinan dilakukan dengan tata cara
pengajuan permohonan pembatalan perkawinan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan
perceraian.
Istilah Pengadilan menunjukkan aspek kewenangan, yaitu untuk orang-orang yang
beragama Islam ke Pengadilan Agama dan bagi orang-orang yang beragama non Islam ke
Pengadilan Umum atau dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri (Pasal 63 ayat (1) UU No.
1 Tahun 1974).
Yang perlu dicermati sekarang adalah bunyi ketentuan Pasal 63 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 yang berbunyi: Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh
Pengadilan Umum. Mengapa perlu dicermati karena dalam ayat (2) tersebut ada istilah
dikukuhkan oleh Pengadilan Umum, artinya keputusan Pengadilan Agama belum
memiliki kekuatan eksekutorial sebelum dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Lantas
bagaimana sekarang setelah dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama yang dinyatakan telah memiliki kewenangan untuk itu, apakah ketentuan Pasal 63
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 di atas masih relevan atau tidak. Prinsip hukum yaitu lex
posteriori derogat legi lex priori, yang artinya hukum kemudian akan dimenangkan
terhadap hukum yang lalu, dapat dipergunakan untuk menjelaskan persoalan ini dari
analisa sistem.
Pencegahan perkawinan terjadi pada tahap pemberitahuan untuk melangsungkan
perkawinan dan pada tahap pengumuman dengan akibat proses perkawinan terhenti/tidak
dapat dilangsungkan, sepanjang pencegahan perkawinan belum dicabut (Pasal 19 UU No.
1 Tahun 1974). Pencegahan perkawinan harus dilakukan dengan mengajukannya ke
Pengadilan, maka penarikan kembali atau pencabutan permohonan pencegahan
perkawinan hanya dapat dilakukan dengan putusan Pengadilan (Pasal 18 UU No. 1 Tahun
1974).
Pegawai Pencatat Perkawinan yang mengetahui adanya pelanggaran syarat-syarat
perkawinan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 UU
No. 1 Tahun 1974, tidak boleh melangsungkan perkawinan atau membantu
melangsungkan perkawinan (Pasal 20 UU No. 1 Tahun 1974). Kewajiban hukum yang
ditentukan oleh UU No. 1 Tahun 1974 bagi Pegawai Pencatat dan hak-hak dari calon
mempelai dalam kaitannya dengan penolakan untuk melangsungkan perkawinan, telah
disebutkan dalam Pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut
ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan
tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan,
agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan
penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi
pemberitahuan tentang maksud mereka.
B. BATALNYA PERKAWINAN
1. Orang-orang yang Berhak Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan ini juga merupakan sistem kontrol setelah perkawinan
dilangsungkan, yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 1974 dan hak untuk mengajukan
pembatalan perkawinan diberikan (Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974) kepada:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini.
e. Setiap orang yang mempunyai berkepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Hak untuk membatalkan perkawinan ini juga dimiliki oleh Jaksa (K. Wantjik Saleh,
1978: 31) karena adanya kemungkinan pelanggaran hukum (UU) yang dilakukan oleh
salah satu atau kedua suami isteri atau oleh pegawai pencatat perkawinan dalam proses
melangsungkan perkawinan.
Dalam hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan ini terdapat dua hal yang
penekanan, yaitu seperti yang ditentukan dalam Pasal 24 dan Pasal 27 UU No. 1 Tahun
1974, sebagaimana disebutkan dibawah ini.
Pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini.
Dasar pijakan dari Pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974 di atas berorientasi pada prinsip
monogami, oleh karena itu bagi suami atau isteri memiliki hak untuk mengajukan
pembatalan perkawinan yang baru.
Pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya,
dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.
Dasar pijakannya adalah Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang merupakan prinsip yang
menjadi dasar dari pengertian perkawinan sebagai suatu ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974).
Ketentuan yang mengatur mengenai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan
ini juga ada yang perlu dicermati secara sistematis, yaitu ketentuan dalam Pasal 26 UU
No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi:
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2
(dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1)
pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang tidak berwenang
dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Ketentuan diatas menjelaskan bahwa suatu perkawinan yang dilangsungkan tidak
memenuhi persyaratan formil untuk dilangsungkannya perkawinan sesuai Pasal 10 ayat
(3) PP No. 9 Tahun 1975 termasuk kategori suatu perkawinan yang tidak sah, oleh karena
dapat diajukan pembatalan perkawinan oleh:
 Keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri
 Jaksa
 Suami atau isteri
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 di atas oleh
Pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975 hanya dikategorikan tindakan pelanggaran ringan saja dan
dikenai sanksi berupa denda sebesar Rp. 7.500,- (Tujuh Ribu Lima Ratus Rupiah).
Pada Pasal 26 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan bahwa hak bagi
suami isteri menjadi gugur apabila mereka telah hidup sebagai suami isteri dan dapat
menunjukkan akte perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang, dan justru
ditegaskan bahwa perkawinan mereka harus diperbaharui supaya sah. Keadaan tersebut
menjadi agak membingungkan apabila dikaitkan dengan pengertian perkawinan menurut
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975
mengenai pelaksanaan perkawinan, yang mengatur bahwa perkawinan harus dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, serta dilaksanakan dihadapan pewagai pencatat perkawinan dan dihadiri 2 (dua) orang
saksi. Hal itu menimbulkan pertanyaan bagaimana apabila ada syarat materiil dan syarat
formil yang dilanggar, apalagi bagaimana pula apabila dilihat dari hukum Islam bahwa
wali nikah merupakan rukun dan syarat untuk sahnya pernikahan (perkawinan), sehingga
bagaimana dalam membaca atau menafsirkan kalimat perkawinan harus diperbaharui
supaya sah.
2. Tata Cara Permohonan Pembatalan Perkawinan
Batalnya perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (Pasal 37 PP No. 9
Tahun 1975).
Menurut M. Yahya Harahap (1975: 71) dikatakan bahwa:
“Pembatalan perkawinan adalah tindakan pengadilan yang berupa keputusan yang
menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legal force or
declared void)”
Tujuan diaturnya pembatalan perkawinan adalah untuk memberikan kesadaran
hukum masyarakat dalam hal akan melangsungkan perkawinan supaya syarat-syarat
perkawinan diperhatikan, pada prinsipnya suatu perkawinan yang telah dilangsungkan
adalah sah sampai suatu saat perkawinan itu dinyatakan tidak batal (Ali Afandi, 1984:
117).
Pembatalan perkawinan dilakukan dengan mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan ke Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau
di tempat tinggal kedua suami isteri (Pasal 25 UU No. 1 Tahun 1974). Sebagaimana telah
diuraikan pada bagian pencegahan perkawinan, tata cara permohonan pembatalan
perkawinan telah diatur dalam Pasal 38 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 bahwa tata cara
pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara
pengajuan gugatan perceraian.

BAB VI
PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974

A. Perjanjian Perkawinan
1. Istilah Perjanjian Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974 ini memberikan ketentuan mengenai perjanjian perkawinan
sebagai lembaga hukum yang diperkenalkan kepada seluruh masyarakat Indonesia,
sedangkan semula hanya merupakan lembaga hukum khusus bagi anggota masyarakan
Indonesia yang semula tunduk pada KUHPerdata dan disebut dengan istilah perjanjian
kawin. Suatu istilah selalu diberi makna sesuai dengan stelsel system hukum yang
melahirkannya, Perjanjian Perkawinan merupakan istilah yang diambilkan dari judul Bab
V UU No. 1 Tahun 1974 yang berisi satu pasal, yaitu Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974,
sedangkan mengenai pengertiannya dari perjanjian perkawinan ini tidak diperoleh
penjelasan dalam UU ini.
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum
agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
Sebenarnya UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian
perkawinan, hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan “perjanjian
tertulis”, dan dari bunyi Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud adalah perjanjian perkawinan.
2. Kapan Perjanjian Perkawinan Dibuat dan Siapa yang Membuatnya
Pada Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan “….kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis….”. Pasal 29 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dinyatakan bahwa yang berhak membuat perjanjian
perkawinan adalah kedua belah pihak calon suami dan calon isteri.
Mengingat bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
menikah, menurut UU berada di bawah kekuasaan orang tua atau walinya, orang tua
mewakili anak-anak tersebut dalam segala peraturan (Pasal 47 dan Pasal 50 UU No. 1
Tahun 1974).
Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa:
1. Bagi mempelai laki-laki yang berumur 19 tahun atau mempelai perempuan yang telah
berumur 18 tahun, atau sebelumnya telah pernah kawin, diperbolehkan membuat
perjanjian perkawinan sendiri.
2. Bagi mempelai perempuan yang belum genap berumur 18 tahun atau belum pernah
kawin, maka ia harus diwakili/didampingi oleh orang tua atau walinya.
3. Bagi kedua mempelai yang kawin dengan dispensasi umur, maka harus
diwakili/didampingi oleh orang tua atau walinya pada waktu membuat perjanjian
perkawinan.
3. Bentuk Perjanjian Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974 tidak mensyaratkan bentuk tertentu untuk sahnya perjanjian
perkawinan. Sebagai syarat yang ditentukan adalah perjanjian perkawinan tersebut harus
tertulis (Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), oleh karena itu perjanjian perkawinan
dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta authentik.
Apabila dengan bentuk akta di bawah tangan, maka perjanjian perkawinan tersebut harus
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Pada asasnya perjanjian perkawinan bersifat tetap selama perkawinan, dengan
diberikan pengecualian adanya penyimpangan (perubahan) yang memenuhi persyaratan:
1. Atas persetujuan dari kedua belah pihak.
2. Tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (Pasal 29 ayat
(3) UU No. 1 Tahun 1974) dan berlaku bagi suami isteri yang bersangkutan maupun
terhadap pihak ketiga, dan juga tidak ada syarat pengumuman terlebih dahulu sebelum
dinyatakan berlaku terhadap pihak ketiga.
4. Isi Perjanjian Perkawinan
Mengenai isi perjanjian perkawinan tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam UU,
perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974). Selanjutnya UU No. 1
Tahun 1974 menganut struktur persatuan (kebersamaan) terbatas dalam harta benda
perkawinannya, artinya struktur harta benda perkawinan telah ditentukan dan terdiri atas:
a. Harta pribadi suami atau harta pribadi isteri, yaitu harta yang dibawa masuk ke dalam
perkawinan oleh suami atau isteri.
b. Dan harta bersama, yaitu harta yang diperoleh oleh suami dan atau isteri secara sendiri-
sendiri atau bersama-sama selama perkawinan yang bukan berasal dari warisan atau
hadiah yang ditujukan kepada salah satu suami atau isteri.
(Apabila dibandingkan dengan struktur harta benda perkawinan menurut
KUHPerdata, dianut struktur persatuan bulat harta atau kebersamaan keseluruhan harta
perkawinan). Walaupun UU No. 1 Tahun 1974 telah menentukan struktur harta benda
perkawinan, akan tetapi UU-pun telah memberikan suatu pengecualian, yaitu memberikan
kebebasan kepada calon mempelai untuk secara individual dapat menentukan lain
mengenai harta benda perkawinannya (Pasal 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), asalkan
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU ini. Adanya kebebasan para calon
mempelai, apakah akan menjadi persatuan bulat harta atau justru sama sekali tidak ada
persatuan (kebersamaan) harta, atau pemisahan sama sekali antara harta calon suami dan
harta calon isteri dalam perkawinan nantinya; dan atau justru maksud pembentuk UU
secara system membuka diri untuk menampung (meng-akomodasi) masuknya nilai-nilai
dari system kekeluargaan Patrilineal dan Matrilineal, sehubungan dengan berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974 yang menganut system bilateral (Parental).
Mengenai hal ini menurut dari J. Satrio (1991; 88) ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36
UU No. 1 Tahun 1974 dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan bisa berisi tentang:
a. Kebersamaan harta yang menyeluruh/bulat (algehe gemeenschap van goederen).
b. Peniadaan setiap kebersamaan harta.
Sedangkan untuk kebersamaan harta yang terbatas tidak perlu dibuat perjanjian
perkawinan karena tanpa perjanjian kawinpun setelah UU No. 1 Tahun 1974 berlaku
sudah terjadi kebersamaan harta yang terbatas yaitu terbatas apa yang diperoleh sepanjang
perkawinan.
Pendapat J. Satrio tersebut di atas agaknya lebih dipengaruhi pada aspek historis
dengan latar belakang sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, dikenal adanya
pergolongan rakyat dan berlaku KUHPerdata yang menganut prinsip persatuan bulat harta
bagi golongan tertentu, sehingga aspirasi hukum yang berlaku sebelumnya masih dapat
diberi ruang untuk dapat diberlakukan. Menyimak dasar pemikiran yang disampaikan oleh
J. Satrio tersebut menjadi logis pula apabila ditafsirkan, bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 juga dapat memberi peluang masuknya hukum kebiasaan
masyarakat yang berkaitan dengan system kekeluargaannya, dan ditetapkan pengaturannya
dalam perjanjian perkawinan.
5. Perjanjian Perkawinan Tidak Termasuk Tak’lik Talak
Pada penjelasan pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dalam pasal ini
tidak termasuk taklik talak. Taklik talak adalah syarat-syarat atau janji-janji yang
disepakati bersama dan menjadi keinginan pihak-pihak yang akan menikah yang
diucapkan dalam ijab Kabul dan dihadapkan saksi-saksi dalam akad nikah. Biasanya
dalam perkawinan oleh mempelai pria dibacakan Sighat Ta’lik: “Tepatilah janjimu
sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut”.
SIGHAT TA’LIK YANG DIUCAPKAN SESUDAH AKAD NIKAH SEBAGAI
BERIKUT:

Sesudah akad nikah saya, ……………….. bin …………………….. berjanji dengan


sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan
akan saya pergauli isteri saya bernama ………………….. binti …………………. dengan
baik (mu’asyarah bil-ma’ruf) menurut ajaran syariat agama Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas isteri saya, itu seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
a. Meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu.
d. Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan Agama atau
petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta
diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya itu membayar uang sebesar
Rp. 50,- (lima puluh rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak
saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk
menerima uang ‘iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan
ibadah sosial.
…………,………………2……..
Suami

(……………………………….)

Menurut Hazairin (1975: 28-29) dikatakan bahwa perjanjian yang dimaksud dalam
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 memang bukan taklik talak dalam perkawinan Islam yang
dibacakan mempelai pria di muka umum setelah selesai upacara ijab kabul, sebagaimana
bentuk yang telah ditetapkan Menteri Agama untuk seluruh Indonesia.

B. Perjanjian Kawin Menurut KUHPerdata


1. Penyimpangan atas Asas Persatuan Harta
Menurut KUHPerdata dalam system harta benda perkawinannya terdapat asas
bahwa di dalam satu perkawinan atau keluarga terdapat satu harta yaitu harta persatuan
bulat, dan beheer atas harta tersebut dijalankan oleh suami (Pasal 119 jo Pasal 124
KUHPerdata). Penyimpangan atas asas tersebut dapat terjadi dalam hal suami atau isteri
menerima warisan atau hibah dari pihak ketiga, dengan ketentuan bahwa warisan atau
hibah tersebut tidak dibawa masuk dalam harta persatuan (Pasal 120 KUHPerdata) dan
persetujuan calon suami dan isteri tersebut disebut perjanjian kawin (Pasal 139
KUHPerdata).
2. Manfaat dan Tujuan Perjanjian Kawin
Perjanjian kawin biasanya dibuat dengan tujuan untuk:
a. Melindungi hak si isteri atas tindakan beheer suami
Manfaat atau tujuan dibuatnya perjanjian kawin adalah untuk melindungi harta
isteri dari kemungkinan adanya tindakan-tindakan beheer suami yang tidak baik, yang
meliputi tindakan beschikking atas harta tak bergerak dan harta bergerak tertentu
lainnya yang dibawa masuk oleh isteri ke dalam perkawinan. Tanpa perjanjian kawin,
suami mempunyai wewenang penuh dan bahkan tidak harus
mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan beheer-nya atas harta persatuan. Untuk
menghindarkan kemungkinan adanya tindakan-tindakan beschikking atas barang-
barang tak bergerak dan surat-surat berharga tertentu milik isteri yang dianggap oleh
isteri bisa merugikan dirinya, isteri dapat memperjanjikan dalam perjanjian kawin,
bahwa tanpa persetujuannya, suami tidak diperbolehkan memindahtangankan ataupun
membebani harta milik si isteri. Jadi disini yang diperjanjikan adalah pembatasan atas
wewenang beheer suami.
b. Melindungi harta isteri/suami atas tanggungjawab terhadap hutang-hutang
suami/sebaliknya
(1) Agar barang-barang yang dibawa suami atau isteri dalam perkawinan, tidak
termasuk dalam persatuan bulat harta dan tetap menjadi harta pribadi isteri atau
suami.
(2) Agar harta pribadi tersebut terlepas dari beheer suami, dan isteri dapat mengurus
sendiri harta tersebut. Untuk ini dalam perjanjian kawin harus disebut secara jelas,
dan yang diperjanjikan adalah adanya harta pribadi dan atau beheer atas harta
pribadi.
3. Syarat-syarat dalam Perjanjian Kawin
KUHPerdata hanya mengatur mngenai syarat-syarat, sebagai berikut:
a. Mengenai diri pribadi (suami isteri)
b. Pembuatan akta dan mulai berlakunya pejanjian kawin
c. Mengenai isi perjanjian kawin
Menganai diri pribadi adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang
akan membuat perjanjian, kecuali dalam peraturan khusus ditentukan lain. Perjanjian
kawin adalah merupakan suatu perjanjian dan karenanya harus memenuhi persyaratan
umum suatu perjanjian.
Merujuk Pasal 1320 jo Pasal 330 sub (1) KUHPerdata dikatakan bahwa orang yang
telah dewasa (berumur 21 tahun atau pernah kawin) mempunyai kecakapan bertindak,
yang dalam hal ini adalah mengikatkan diri dalam perjanjian kawin. Undang-undang juga
memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum dewasa, untuk membuat perjanjian
kawin asalkan dipenuhi syarat:
a. Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.
b. Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan perkawinan.
c. Perkawinan yang berlangsung dengan izin hakim, maka rancangan perjanjian kawin
tersebut harus mendapat persetujuan Pengadilan (Pasal 151 KUHPerdata).
Bagi calon mempelai yang belum dewasa, untuk membuat perjanjian kawin
diperlukan bantuan dari orang tua atau walinya. Bantuan itu dapat berupa turut hadirnya
orang tua/wali turut menandatangani akta perjanjian kawin; atau izin tertulis yang
menyatakan persetujuan aka nisi perjanjian kawin. Sebelum calon mempelai mencapai
umur untuk melangsungkan perkawinan, perjanjian kawin yang dibuatnya menjadi tidak
sah, juga sekalipun yang bertindak adalah orang tua atau walinya, hal itu demi
kepentingan mereka para calon mempelai. Sebaliknya, bagi mereka yang telah berusia 21
tahun atau sudah pernah kawin adalah cakap untuk membuat perjanjian kawin, sekalipun
untuk menikah mereka masih memerlukan izin orang tua/walinya (J. Satrio, 1991: 150-
152).
Bentuk yang dipergunakan dalam pembuatan perjanjian kawin menggunakan bentuk
akta authentic atau akta notaris (Pasal 147 KUHPerdata). Ketentuan tersebut dimaksudkan
untuk memperoleh kepastian tentang tanggal pembuatan perjanjian kawin. Menurut
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan (1995: 77) dikatakan bahwa perjanjian
kawin yang dibuat dengan akta di bawah tangan, besar kemungkinan terjadi pemalsuan
tanggal akta dan tanggal pembuatan perjanjian setelah perkawinan dilangsungkan (Pasal
149 KUHPerdata).
Menurut Pasal 147 KUHPerdata, perjanjian kawin harus dibuat sebelum perkawinan
dilangsungkan. Maksud dari ketentuan ini adalah agar setelah perkawinan dilangsungkan
dapat diketahui dengan pasti mengenai adanya perjanjian kawin dan berikut isi perjanjian
kawin tersebut. Perjanjian kawin berlaku sepanjang perkawinan berlangsung dan tidak
dapat diubah (Pasal 149 KUHPerdata).
Pada Pasal 148 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi:
Segala perubahan dalam perjanjian yang sedianya pun boleh diadakan sebelum
perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan
dalam bentuk yang sama, seperti akta perjanjian itu dulu pun dibuatnya.
Selama dari pada itu, tiada suatu perubahan pun boleh berlaku, jika
penyelenggaraannya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh segala mereka, yang dulu
telah menghadiri dan menyetujui perjanjian.
Pasal 148 KUHPerdata di atas pada prinsipnya menentukan bahwa perjanjian kawin
hanya dapat diubah sebelum perkawinan dilangsungkan. Artinya sebelum perkawinan
dilangsungkan, perjanjian kawin itu masih dapat diubah, dan perubahan tersebut harus
dilakukan dengan akta notaris. Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh
mereka yang dulu menjadi pihak (partij), tidak hanya mereka saja yang memberikan izin
kesepakatan, akan tetapi juga yang memberikan hadiah (schenking) pada calon suami
isteri.
4. Bentuk-bentuk Perjanjian Kawin
Ada 2 (dua) macam perjanjian kawin, yaitu:
a. Persatuan untung dan rugi
Perjanjian kawin yang berisi bahwa antara suami isteri akan ada persatuan
untung dan rugi, maka antara suami isteri sama sekali tak berlaku persatuan harta
secara bulat, setelah berakhirnya persatuan suami isteri (perkawinan), segala
keuntungan yang diperoleh sepanjang perkawinan, harus dibagi antara suami isteri,
demikian juga segala kerugian yang harus dipikul berdua suami isteri (Pasal 155
KUHPerdata).
Kesimpulan dari Pasal 155 KUHPerdata di atas, adalah:
1) Antara suami isteri tidak ada persatuan bulat harta perkawinan.
2) Antara suami isteri masih ada persatuan harta yang terbatas yaitu persatuan untung
dan rugi saja.
3) Keuntungan dan kerugian menjadi hak dan tanggungan suami isteri bersama-sama.
4) Harta yang dibawa ke dalam perkawinan yang sudah dimiliki pada saat perkawinan
dilangsungkan, menjadi hak pribadi masing-masing suami isteri yang
membawanya.
5) Dalam perkawinan tersebut akan terbentuk:
a. Harta persatuan yang terbatas, yang berupa persatuan untung dan rugi.
b. Harta pribadi suami.
c. Harta pribadi isteri.
Menurut Ali Afandi (1986: 175) bahwa Pasal 155 KUHPerdata mengandung
prinsip bahwa:
a. Pada mulanya tidak ada persatuan harta.
b. Setelah perkawinan maka segala yang jatuh pada suami isteri sebagai keuntungan
dan kerugian adalah menjadi hak dan kewajiban persatuan.
Selanjutnya juga ditegaskan bahwa, penyimpangan persatuan harta secara bulat dalam
perjanjian kawin belum berarti ada persatuan untung dan rugi, kecuali dengan tegas-
tegas disebutkan (Pasal 144 KUHPerdata).
Kesimpulan dari Pasal 144 KUHPerdata tersebut adalah persatuan untung dan
rugi dapat diadakan dengan dua cara yaitu:
1. Para pihak secara tegas memperjanjikannya dalam perjanjian kawin.
2. Dalam perjanjian kawin dinyatakan bahwa diantara mereka (suami isteri) tidak ada
persatuan harta secara bulat.
Dasar pemikiran dari perjanjian kawin dengan persatuan untung dan rugi
adalah:
a. Suami isteri masing-masing tetap memiliki sendiri-sendiri harta kekayaan yang
dimiliki sebelum perkawinan dilangsungkan dan yang diperolehnya sepanjang
perkawinan yang sifatnya cuma-cuma.
b. Semua barang yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi milik bersama
(persatuan).
Menurut Pitlo dalam Soetojo Prawirohamidjojo (1995: 90) dikatakan bahwa
pengertian untuk dan rugi dapat digunakan dalam dua arti yaitu:
1. Sebagai saldo (sisa) yang ada pada akhir perkawinan mereka.
2. Sebagai keuntungan (wins) berupa semua aktiva, sedangkan kerugian adalah semua
pasiva atas kebersamaan harta perkawinan itu.
Pembuat UU menentukan dalam Pasal 157-163 KUHPerdata, sebagai berikut:
1. Hasil harta kekayaan mereka, seperti sewa rumah, bunga, deviden saham dan
sebagainya, serta pendapatan mereka masing-masing sebagai hasil dari usaha dan
kerajinan mereka.
2. Tabungan pendapatan-pendapatan yang tidak terhabiskan misalnya pendapatan-
pendapatan yang telah dikurangi dengan berbagai pengeluaran.
Keuntungan adalah tiap bertambahnya kekayaan sepanjang perkawinan karena
hasil harta kekayaan dan pendapatan suami dan isteri, hasil harta kekayaan dan
pendapatan suami dan isteri masing-masing, yang dinamakan kerugian adalah tiap
berkurangnya kekayaan karena pengeluaran yang melebihi pendapatan (Ali Afandi,
1986: 176).
Keuntungan dalam Pasal 157 sub 1 KUHPerdata mengandung pengerian
sebagai laba (aktiva) tanpa dikurangi pengeluaran-pengeluaran. Sementara
keuntungan dalam Pasal 157 sub 2 KUHPerdata adalah dalam arti saldo, yaitu sebagai
perhitungan jumlah kelebihan yang dimiliki oleh suami isteri pada saat persatuan
untung dan rugi berakhir, dibandingkan dengan milik mereka pada saat perkawinan
dilangsungkan. Jadi dalam hal ini dapat dipersamakan aktiva dikurangi pasiva dengan
seorang pedagang yang pada akhir tahun menghitung keuntungan yang diperolehnya
dalam tahun tersebut.
Dalam Pasal 157 KUHPerdata, istilah kerugian digunakan dalam artian kedua
yaitu “tiap-tiap pengeluaran harta kekayaan disebabkan pengeluaran yang melampaui
pendapatan” dalam arti, saldo negatif dari pendapatan dan pengeluaran. Sebaliknya
dalam Pasal 163 ayat (1) KUHPerdata, istilah kerugian digunakan dalam artian
pertama. Apa saja yang dirampas dari suami atau isteri karena salah satu mereka telah
melakukan kejahatan tidak dianggap sebagai kerusakan (Pasal 163 ayat (2)
KUHPerdata).
Di dalam Pasal 157 sampai Pasal 163 dan Pasal 167 KUHPerdata, istilah
“keuntungan dan kerugian” kadang-kadang hanya keduanya (saldo) sehingga
mempersulit penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan itu.
Apabila keuntungan dan kerugian ditafsirkan dalam arti kedua (saldo), yaitu
sebagai perhitungan berapa kelebihan atau kekurangan yang dimiliki suami isteri pada
saat “persatuan untung dan rugi” berakhir dibandingkan dengan milik mereka pada
saat diadakan perkawinan, maka akan sulit untuk mengetahui apakah sesuatu barang
tertentu adalah milik pribadi suami atau isteri atau termasuk dalam persatuan untung
dan rugi dalam arti (milik bersama), hutang-hutang dan beban pribadi termasuk dalam
persatuan untung dan rugi (milik bersama). Barang-barang dan hutang-hutang yang
menjadi milik dan beban suami atau isteri adalah sebagai berikut:
1. Barang-barang bawaan masing-masing suami isteri.
Bagi barang-barang bergerak, maka barang-barang “bawaan” suami atau isteri ini
secara tegas harus disebutkan dalam akta perjanjian kawin sendiri atau dalam surat
pertelaan yang ditandatangani oleh Notaris dan para pihak, dan selanjutnya
dilekatkan pada akta asli perjanjian kawin. Tanpa bukti ini, barang-barang bergerak
dianggap sebagai keuntungan (Pasal 165 KUHPerdata pasal 60 ayat (2) F jo pasal
150 KUHPerdata).
2. Hutang-hutang bawaan masing-masing, yaitu hutang-hutang yang dibuat oleh
suami atau isteri sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Barang-barang yang selama perkawinan diperoleh suami isteri sebagai warisan,
legaat atau hadiah.
Sifat kebendaan barang-barang itu juga tidak dibedakan baik karena
diperoleh dari pihak keluarga maupun bukan keluarga (Pasal 158 KUHPerdata).
4. Hutang-hutang yang dibuat selama perkawinan dan yang tidak termasuk kekayaan
suami isteri.
Pasal 163 KUHPerdata menentukan bahwa semua hutang yang tidak
termasuk harta persatuan suami isteri dan dibuat selama perkawinan, harus
dianggap sebagai kerugian bersama. Misalnya:
i. Harga pakaian-pakaian untuk suami isteri
ii. Pengeluaran rumah tangga sehari-hari
iii. Biaya kesehatan dan biaya pendidikan anak-anak dan sebagainya
Mengenai hutang-hutang yang tidak termasuk harta persatuan suami isteri,
undang-undang menyebutnya sebagai hutang-hutang karena kejahatan. Denda
harus dibayar sendiri oleh suami isteri yang melakukan kejahatan, demikian
halnya dengan kerugian-kerugian yang harus dibayar kapada pihak yang
menderita kerugian karena kejahatan (onrechtmatigedaad) yang dilakukan oleh
suami isteri menjadi pihak yang menjamin orang lain (borgtocht) atau
menjanjikan suatu pemberian, maka segalanya menjadi beban suami atau isteri
sendiri dan bukan merupakan hutang persatuan.
5. Barang-barang yang diperoleh akibat diperbungakannya barang-barang tersebut
dalam sub 1 dan sub 3.
Untuk memperoleh lebih banyak hasil, uang tunai dimaksud dalam sub 1 dan
sub 3 mungkin dibelanjakan dalam bentuk barang-barang (beleggen) dan barang-
barang yang dimaksud dalam sub 1 dan mungkin dijual guna membeli barang-
barang lain dengan uang pendapatannya (wederbeleggen). Barang-barang yang
diperoleh dengan cara yang demikian sudah tentu menjadi milik suami atau isteri
yang bersangkutan. Di dalam suatu pembuktian tidak cukup hanya dengan
membuktikan bahwa barang-barang itu atas nama suami atau isteri saja (Soetojo
Prawirohamidjojo, 1994: 90-91).
Akibat hukum persatuan untung dan rugi adalah bahwa semua keuntungan
yang diperoleh dan semua kerugian yang diderita sepanjang perkawinan menjadi
bagian dan beban suami isteri menurut perbandingan yang sama besarnya, dengan
demikian dalam persatuan untung dan rugi ada persatuan yang terbatas, yaitu
bahwa hanya untung dan rugi (bersama) suami isteri.
b. Persatuan Hasil dan Pendapatan
Perjanjian kawin mengenai persatuan hasil dan pendapatan, dijelaskan pada
Pasal 164 KUHPerdata berbunyi:
Perjanjian bahwa antara suami isteri hanya akan berlaku persatuan hasil dan
pendapatan, berarti secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan
seluruhnya menurut undang-undang, dan ketiadaan persatuan untung dan rugi.
Pada persatuan hasil dan pendapatan, juga terdapat kemungkinan adanya tiga
jenis harta kekayaan yaitu:
 Harta kekayaan suami
 Harta kekayaan isteri
 Harta kekayaan persatuan hasil dan pendapatan
Mengenai persatuan hasil dan pendapatan pada dasarnya sama dengan persatuan
untung dan rugi. Perbedaannya adalah apabila persatuan tersebut menunjukkan
kerugian (saldo negatif) maka suami yang mengurus persatuan itu. Dengan kata lain,
suami memikul seluruh kerugian. Apabila persatuan itu menimbulkan keuntungan,
maka keuntungan itu dibagi antara suami isteri. Jadi bagi isteri yang tidak mengurus
persatuan hanya ada kemungkinan untuk mendapat sebagian dari keuntungan, dan
tidak ada kemungkinan untuk diwajibkan turut memikul sebagian kerugian.
Hutang-hutang bersama termasuk dalam persatuan, untuk hutang-hutang dari
pihak isteri tidak ikut bertanggung jawab, dan itu harus dibayar oleh persatuan.
Apabila harta bersama tidak cukup untuk membayar hutang-hutang tersebut, maka
sisanya harus dibayar oleh suami. Hutang-hutang si isteri sendiri, bukan termasuk
hutang persatuan sehingga dengan demikian harus dibayar oleh isteri sendiri (Soetojo
Prawirohamidjojo, 1994: 95).
Seperti juga dalam persatuan-persatuan yang lain, isteri berhak melepaskan
haknya dalam persatuan hasil dan pendapatan (Pasal 132 KUHPerdata), tetapi
pelepasan oleh pihak isteri tidak akan menguntungkannya. Apabila ada keuntungan, ia
tidak akan menerima bagiannya, apabila persatuan menunjukkan adanya kerugian,
tanpa pelepasan pun isteri tidak wajib turut membayar.
Mengenai hutang-hutang si isteri sendiri, apabila ia melepaskan haknya atas
persatuan, tetap harus dibayar oleh si isteri. Jadi isteri tidak mempunyai kepentingan
untuk melepaskan haknya tersebut. Si isteri secara yuridis adalah cakap dan
bertanggung jawab sendiri atas tindakan hukum (hutang) yang dilakukannya
(dibuatnya), oleh karena itu si isteri tetap harus bertanggung jawab sendiri untuk
melunasi hutang tersebut.
BAB VII

AKIBAT PERKAWINAN

Perkawinan sebagai suatu peristiwa hukum memiliki akibat hukum, yang meliputi: hak
dan kewajiban suami isteri, harta benda perkawinan, kedudukan anak, dan hak dan kewajiban
antara orang tua dengan anak.

A. Hak Dan Kewajiban Suami Isteri


Keluarga merupakan kesatuan kemasyarakatan yang terkecil (yang anggotanya paling
sedikit dua orang), yang organisasinya didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Keluarga
dalam pemahaman sosiologis merupakan nucleus family (keluarga inti), yang dalam hal ini
akan menimbulkan persepsi pada aspek pandangan makro dan pandangan mikro.
Pada aspek pandangan makro, berkaitan dengan susunan masyarakat yang
melingkupinya (sistem sosial), dan keluarga ini menjadi dasar susunan masyarakat (basic
social structure). Dalam aspek pandangan mikro, berkaitan pada hubungan di antara
hubungan suami isteri sendiri dalam keluarga. Suami isteri sebagai unsur-unsur dalam
keluarga, oleh pembentuk UU No. 1 Tahun 1974 telah diberikan amanat yang diwujudkan
sebagai kewajiban baik dalam aspek pandangan makro, maupun dalam aspek pandangan
mikro.
1. Rumah Tangga sebagai Sendi Dasar Susunan Masyarakat
Susunan masyarakat di Indonesia secara horizontal ditandai dengan kenyataan
adanya kesatuan-kesatuan masyarakat berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa,
perbedaan-perbedaan agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan, dan secara
vertical ditandai adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang
cukup tajam. Keadaan-keadaan yang demikian inilah yang menggambarkan sifat majemuk
dari masyarakat Indonesia (Nasikun, 1986: 30). Melalui politik hukum ditetapkan konsep
keluarga (rumah tangga) dan kepada suami isteri diberikan beban kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat Pasal
30 UU No. 1 Tahun 1974.
Kewajiban merupakan sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan;
suatu keharusan (Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 1266). Kewajiban dalam
terminologi hukum menjadi suatu peranan atau prestasi yang harus dilakukan sebagai
suatu keharusan, atau dalam hal ini dituangkan oleh pembentuk UU No. 1 Tahun 1974
dalam kaidah perintah (imperatif, pemaksa), yaitu sebagai memikul kewajiban luhur.
Berarti ada misi (tujuan) yang dibebankan kepada suami isteri untuk menegakkan rumah
tangga, yaitu tidak sekedar membentuk keluarga saja akan tetapi juga secara nyata
menegakkan kehidupan rumah tangga. Dalam bahasa Jawa disebut dengan kehidupan
Somah, yaitu kehidupan satu rumah. Kehidupan rumah tangga secara moril menjadi
tanggung jawab suami isteri, dan diharapkan melalui kehidupan rumah tangga yang
bahagia dan kekal, dapat menjadi dasar pembentukan suatu susunan masyarakat
(basic social structure) Indonesia. Selanjutnya dapat menjadi dasar dan arah pembentukan
hukum nasional (Indonesia) yang bersumberkan dan berdasarkan atas Pancasila dan UUD
1945.
2. Kedudukan Suami Isteri dalam Keluarga
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, kedudukan suami
isteri dalam keluarga pada masyarakat di Indonesia berbeda-beda untuk setiap masyarakat,
terutama pada masyarakat dengan sistem kemasyarakatan Patrilineal dan Matrilineal. Pada
masyarakat Patrilineal kedudukan suami lebih tinggi daripada kedudukan isteri (dilingkupi
oleh kekuasaan Marga), dan pada masyarakat Matrilineal kedudukan isteri dalam keluarga
lebih tinggi daripada suaminya (dilingkupi oleh kekuasaan Kaum), sedangkan pada
masyarakat Parental kedudukan antara suami isteri adalah seimbang (sama).
Pembentuk UU No. 1 Tahun 1974 melalui beberapa pasalnya telah menentukan
prinsip-prinsip yang merupakan cerminan politik hukum sehubungan dengan adanya sifat
masyarakat Indonesia yang majemuk di atas, maka dirumuskan:
1) Keluarga (rumah tangga) didasarkan atas prinsip hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami (Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
2) Menurut hukum suami atau isteri masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan
hukum baik di lapangan harta kekayaan keluarga maupun dalam pergaulan hidup
bermasyarakat (Pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
3) Dalam keluarga (rumah tangga) sebagai suatu kesatuan kemasyarakatan, telah
ditemukan bahwa suami sebagai kepala keluarga dan si isteri sebagai ibu rumah tangga
(Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974).
Penyebutan suami sebagai kepala keluarga, mempunyai arti bahwa dalam konteks
keluarga sebagai suatu kesatuan kemasyarakatan menjadi tanggung jawab suami (ibarat
sebuah kapal, maka suami adalah nahkodanya), sedangkan dalam aspek kehidupan rumah
tangga menjadi tanggung jawab si isteri sebagai ibu rumah tangga. Konsep ini merupakan
suatu bentuk distribusi dalam rangka pengorganisasian kehidupan keluarga (rumah
tangga).
UU No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip bilateral (Parental), hanya perlu ditegaskan
disini bahwa ruang lingkup yang diatur tidak meliputi aspek keluarga besar, seperti marga,
kaum, clan, dan sebagainya. Materi hak dan kewajiban suami isteri dalam lingkup
keluarga, meliputi hak dan kewajiban yang timbul dalam hubungan antara suami isteri
sendiri dan suami sebagai kepala keluarga serta isteri sebagai ibu rumah tangga.
a. Hubungan suami isteri
Apabila terdapat suatu kewajiban bagi satu pihak, berarti ada hak bagi pihak lain,
atau sebaliknya.
1) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33 UU No. 1
Tahun 1974)
Aspek yang menjadi sasaran dari ketentuan di atas, berada dalam aspek batin
(cinta mencintai, hormat menghormati, dan saling membantu lahir dan batin), oleh
karena itu sifatnya merupakan landasan moril atau etika yang harus diperhatikan
oleh suami isteri. Dikatakan sebagai landasan karena sifatnya yang fundamental,
sebab tanpa adanya moralitas seperti di atas, maka perkawinan sebagaimana
diharapkan oleh Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tidak akan tercapai, atau dalam
kehidupan rumah tangga sehari-harinya tidak akan tercermin suasana bahagia, serta
tidak dijamin akan bisa kekal.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan (Pasal 34 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974)
Ketentuan ini membebankan kewajiban kepada suami, aspek yang tampak
pada ketentuan ini menunjukkan bahwa tanggung jawab kehidupan rumah tangga,
termasuk nafkah keluarga (isteri) atau keperluan hidup berumah tangga, sesuai
dengan posisinya sebagai kepala keluarga. Secara materiil tanggung jawab tersebut
tidak mutlak hanya dibebankan kepada suami saja, karena pada hakekatnya sesuai
ketentuan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 yang merupakan landasan moril juga
menjadi tanggung jawab isteri (tidak hanya suami saja).
3) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974)
UU hanya menentukan keharusan ada tempat kediaman tetap tempat mereka
tinggal bersama dan ada kehidupan rumah tangga. Apakah bersifat Patrilocal (isteri
ikut suami) atau matrilokal (suami ikut isteri), atau bentuk lainnya, tidak dijelaskan
disini. Yang penting adalah mereka tinggal bersama dalam suatu kediaman tetap,
sehingga oleh pembentuk UU hanya diberikan ketentuan bahwa rumah tempat
kediaman yang dimaksudkan ditentukan oleh suami isteri bersama atau dengan
kesepakatan bersama suami isteri (Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Mengenai tempat kediaman ini dalam Pasal 81 Kompilasi Hukum Islam
diberikan penafsiran secara khusus:
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau
bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam
ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari
gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat
kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan, sebagai
tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
4) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974)
Ketentuan ini menjelaskan setelah ditentukan suami bertanggung jawab atas
keperluan hidup berumah tangga, maka isteri bertanggung jawab mengatur rumah
tangganya. Kewajiban tersebut ditentukan secara umum adalah demikian (sesuai
norma masyarakat), walau secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, terutama
pada suatu keluarga yang diantara suami isteri sama-sama bekerja, pengaturannya
bisa bermacam-macam, akan tetapi sebaiknya pemahamannya tetap dalam koridor
distribusi kewajiban tersebut.
5) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan (Pasal 34 ayat (3) UU No. 1 Tahun
1974)
Hak dan kewajiban suami isteri merupakan terminologi hukum, artinya apabila
suatu menjadi suatu hak, maka bagi pihak yang berhak dapat mempertahankan atau
menuntutkan hak tersebut kepada pihak lainnya; dan apabila suatu menjadi
kewajiban salah satu pihak maka bagi pihak yang berkewajiban tersebut harus
mewujudkan suatu prestasi yang menjadi kewajibannya. Sehubungan dengan itu
oleh pembentuk UU diberikan bentuk penyelesaiannya dengan yang bersangkutan
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
b. Suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga
Suami isteri adalah status yang timbul sebagai akibat adanya perkawinan dan
terdapat distribusi status suami dan status isteri, yang dalam hal ini telah ditentukan
bahwa suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
1) Suami sebagai kepala keluarga
Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ini memperkenalkan suatu konsep keluarga
yang bersifat unifikasi (nasional), maka perlu diberi pemahaman yang jelas untuk
itu. Baik UU No. 1 Tahun 1974 dan penjelasannya serta PP No. 9 Tahun 1975 tidak
menjelaskan secara rinci mengenai konsep keluarga tersebut, maka dibawah ini
dicoba dijelaskan melalui konsep yang dikenal dalam KUHPerdata, sebagai konsep
yang dapat dijadikan bahan masukan atau perbandingan.
Asas maritale macht merupakan suatu asas yang menentukan bahwa suami
adalah kepala keluarga, sedang isteri harus taat dan patuh kepada suaminya. Hal ini
dapat dipahami dari ketentuan Pasal 105 dan Pasal 106 KUHPerdata (Soetojo
Prawirohamidjojo, 1986: 48). Pemahaman asas maritale macht untuk menjelaskan
konsep suami sebagai kepala keluarga menurut UU No. 1 Tahun 1974 tidak bijak
apabila diterima begitu saja, sebab dalam pengertian asas maritale macht menurut
KUHPerdata berkaitan dengan seorang wanita yang bersuami menjadi tidak cakap
berbuat di lapangan harta kekayaan keluarga, sehingga beheer atas harta kekayaan
keluarga berada pada suami; sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 seorang
wanita yang bersuami tetap cakap berbuat di lapangan harta kekayaan keluarga.
Ada suatu wacana yang berkembang pada tahun 1963 yang dikemukakan oleh
Soetojo Prawirohamidjojo (1986: 50) bahwa sebaiknya seorang isteri (wanita yang
bersuami) dapat mengurus harta kekayaannya sendiri, tetapi dalam semua perbuatan
hukum yang dilakukannya persetujuan suami tetap diperlukan (asas maritale macht).
Sehubungan dengan itu Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan
S.E.M.A. No. 1115/P/3292/M/1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk
Wetboek (KUHPerdata) tidak sebagai undang-undang tanggal 5 September 1963.
Konsekuensi dari gagasan tersebut maka beberapa pasal dalam KUHPerdata
dianggap tidak berlaku lagi, antara lain:
1. Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang isteri untuk
melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa
izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian, maka tidaklah ada lagi perbedaan
antara semua warga negara Indonesia.
2. Pasal 284 ayat (3) KUHPerdata mengenai pengakuan anak yang lahir di luar
perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli, dan seterusnya.
S.E.M.A. di atas menjelaskan adanya wacana yang berkembang dalam hukum di
Indonesia, sehingga beberapa pasal dalam KUHPerdata dianggap tidak berlaku lagi,
akan tetapi prinsip yang terkandung dalam asas maritake macht masih tetap berlaku.
2) Isteri sebagai ibu rumah tangga
Isteri sebagai ibu rumah tangga merupakan status yang timbul sebagai akibat
perkawinan yang telah ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974.
Dalam kedudukannya sebagai ibu rumah tangga ini oleh pembentuk UU diberikan
ketentuan bahwa suami isteri harus mempunyai tempat kediaman tetap, atau berdiam
dalam satu rumah sebagai tempat kediaman, sehingga suasana kehidupan somah,
atau suasana kehidupan harmonis antara suami isteri, atau juga kedudukan isteri
sebagai ibu rumah tangga dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
B. Harta Benda Perkawinan
Seseorang yang hendak melangsungkan perkawinan biasanya dikuasai oleh perasaan
cinta, sehingga dalam pikirannya segalanya untuk berdua, atau kadang kala digambarkan
bahwa harta kekayaan mereka (harta benda perkawinan) sebagai “milikku menjadi milikmu
dan milikmu menjadi milikku”. Padahal persoalannya tidaklah demikian sederhana, dan
karena sebetulnya diantara mereka ada batas masing-masing yang disebut dalam istilah
hukum sebagai hak suami dan hak isteri terhadap Harta Benda Perkawinan mereka dan
mengenai hal ini menjadi penting apabila terjadi perceraian.
UU No. 1 Tahun 1974 merupakan undang-undang yang mengatur hal-hal yang bersifat
pokok-pokok saja, maka keadaan tersebut menimbulkan berbagai penafsiran mengenai
berlakunya hukum Harta Benda Perkawinan ini, apakah UU No. 1 Tahun 1974 masih
membutuhkan peraturan pelaksanaan mengenai harta benda perkawinan atau tidak perlu lagi
dikeluarkan peraturan pelaksanaan untuk itu.
1. Penafsiran Hukum Harta Benda Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974
a. Kelompok harta benda perkawinan
Di dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Istilah yang digunakan pada ketentuan di atas adalah “harta benda”, dan
menurut J. Satrio (1991: 191):
Kata “harta benda: ini ditafsirkan sebagai vermogen atau harta kekayaan, karena
di dalam kata harta kekayaan termasuk pula semua passive atau hutang-
hutangnya. Penafsiran yang demikian itu lebih sesuai dengan prinsip tanggung
jawab extern suami isteri. Konsekuensinya: semua harta yang ada, termasuk
semua hutang-hutang yang sudah ada, pada waktu perkawinan dilangsungkan,
pada asasnya adalah hak (milik) dan kewajiban suami atau isteri yang
mempunyai harta atau hutang tersebut.
Harta benda perkawinan atas dasar Pasal 35 ayat (1) dan ayat (23) UU No. 1
Tahun 1974 menganut prinsip persatuan harta terbatas, sehingga kelompok harta
benda perkawinannya terdiri atas:
1) Harta bersama
2) Harta pribadi masing-masing suami isteri, yang dapat dirinci lebih lanjut sebagai
berikut:
a. Harta bawaan dan harta hadiah atau warisan suami
b. Harta bawaan dan harta hadiah atau warisan isteri
1) Harta bersama
Menurut Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 hanya dirumuskan definisi
konsepsionalnya dengan kalimat “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama”. Secara operasional dapat dikonkritkan lagi
indikatornya, yaitu pada kalimat “….diperoleh selama perkawinan….”, dari
kalimat tersebut dapat ditentukan dua indikator, yaitu “diperoleh” dan “selama
perkawinan”.
Indikator “diperoleh”, yang diperoleh suami isteri dengan cara atau dari
apapun untuk memperolehnya atau berasal dari mana harta tersebut diperoleh, baik
diperoleh oleh suami isteri secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri.
Indikator “selama perkawinan”, menunjuk waktu atau masa perkawinan
yang dimulai sejak saat perkawinan selesai dilangsungkan sampai perkawinan itu
putus.
Indikator “tidak termasuk dalam harta bawaan dan harta hadiah atau
warisan suami isteri”, indicator ini sebagai ukuran yang tegas untuk membedakan
antara harta bersama dengan harta pribadi suami atau isteri.
Menurut J. Satrio (1991: 189) bahwa yang termasuk harta bersama adalah:
a. Hasil dan pendapatan suami
b. Hasil dan pendapatan isteri
c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta
pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya itu diperoleh
sepanjang perkawinan.
Pendapat di atas menentukan indikator operasionalnya adalah “hasil dan
pendapatan”, maka harus dimengerti apa yang dimaksudkan dengan “hasil” dan
“pendapatan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 391) kata “hasil”
memiliki arti sebagai sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan, dan sebagainya)
oleh usaha (tanam-tanaman, sawah, tanah, ladang, hutan, dan sebagainya).
Selanjutnya istilah “usaha” menunjuk pengertian kegiatan yang mengerahkan
tenaga, pikiran atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan,
prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu; kegiatan di bidang
perdagangan (dengan maksud mencari untung); perusahaan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001: 1254). Istilah hasil dalam hal ini dapat pula diartikan dalam
pengertian “penghasilan”, sedangkan “pendapatan” memiliki arti sebagai
perolehan, sesuatu yang diperoleh atau didapatkan bisa dari hasil usaha atau bisa
bukan dari hasil usaha. Ruang lingkup dari pendapatan ini lebih luas dari hasil atau
penghasilan. Jadi pengertian pendapatan di dalamnya mencakup juga pengertian
penghasilan.
2) Harta pribadi
Harta pribadi yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
adalah “Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan….”. Terdapat tiga istilah
yang disebutkan dalam kalimat di atas, yaitu: Harta “bawaan”, harta benda dari
“hadiah” dan harta benda dari “warisan”.
a) Harta bawaan
Harta bawaan merupakan harta yang dibawa masuk ke dalam perkawinan,
harta bawaan menunjuk pada pengertian sebagai harta yang dibawa masuk ke
dalam perkawinan merupakan harta yang sudah ada pada (dimiliki) oleh suami
atau isteri sebelum perkawinan. Dalam hukum Adat sering disebut sebagai
“harta pambujangan”, artinya harta yang ada dan dimiliki calon suami isteri
semasa masih “bujang” (masih berstatus gadis atau berstatus perjaka, sebelum
dilangsungkannya perkawinan).
b) Harta hadiah
Dalam bahasa hukum suatu hadiah atau pemberian merupakan hasil atau
perolehan yang didasarkan atas tindakan hukum sepihak, artinya dari tindakan
hukum tersebut terdapat prestasi tetapi tidak ada contra prestasi. Tindakan
hukum semacam ini dalam istilah hukum disebut dengan istilah “hibah” atau
“hibahan”.
Menurut J. Satrio (1991: 194) mengenai harta hibahan (termasuk warisan)
terdapat asa yang berbeda antara Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
dengan Pasal 120 KUHPerdata yang dijelaskan sebagai berikut:
Menurut Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, semua harta hibahan
(dan harta warisan) yang diterima suami/isteri secara otomatis/demi
hukum, artinya tanpa yang bersangkutan harus memperjanjikannya
menjadi harta pribadi suami/isteri yang bersangkutan. Penyimpangan baru
hanya terjadi, kalau “para pihak” menentukan lain.
Pasal 120 KUHPerdata, disebutkan bahwa yang suami dan/atau isteri
peroleh sepanjang perkawinan dengan cuma-cuma, baik sebagai hibahan
atau warisan otomatis masuk ke dalam harta persatuan, kecuali si pemberi
hibah/warisan menentukan sebaliknya.
c) Harta warisan
Harta warisan adalah harta yang diperoleh dari warisan si suami atau si
isteri. Harta warisan ini di dalam hukum Adat dikategorikan sebagai harta asal,
yaitu harta yang asal-usulnya berasal dari warisan, atau berasal dari leluhurnya
atau kesatuan masyarakat genealogisnya.
Harta bawaan, harta hadiah, dan harta warisan di atas berdasar atas pasal 35
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 adalah merupakan harta pribadi. Kemudian
terhadap harta pribadi tersebut penguasaannya (beschikking) dibawah masing-
masing suami atau isteri. Ada hal yang perlu dicermati disini dari bunyi Pasal 35
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “….adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hal tersebut adalah
mengenai siapa yang dimaksud dengan istilah “para pihak”, sebab pada ketentuan
di atas berkaitan dengan istilah harta “bawaan”, “hadiah”, dan “warisan”. Untuk
istilah harta “bawaan” dan “warisan” para pihak yang dimaksud lebih mengarah
pada pihak suami atau pihak isteri; sedangkan untuk “hadiah” terdapat para pihak
disini bisa ditafsirkan pihak suami atau pihak isteri, bisa juga diartikan sebagai
pihak pemberi hadiah tersebut bermaksud menghadiahkan (memberikan) kepada
siapa; kepada suami saja, isteri saja, atau kepada suami isteri.
Pengelompokkan kelompok harta benda perkawinan ini mencerminkan pengertian
menurut hukum Adat. Kesimpulan ini didasarkan atas pendapat dari Soebekti dan
Purwoto S. Gandasubrata dalam bukunya J. Satrio yang berjudul “Hukum Harta
Perkawinan” pada halaman 15. Soebekti menggunakan istilah “sudah memilih untuk
menetapkan pola hukum Adat sebagai peraturan mengenai harta benda suami isteri,
sedangkan Purwoto S. Gandasubrata dalam pembahasan terhadap makalah Rasjim
Wiraatmaja, persetujuan suami/isteri untuk menjaminkan harta bersama dari batas
umur kedewasaan bagi seorang calon nasabah untuk membuka rekening serta
meminjam uang kepada Bank, dimuat dalam Media Notariat, No. 10 tahun ke IV,
Januari 1990, lebih tegas lagi, dengan mengatakan bahwa: ….pembangunan hukum
nasional haruslah berdasarkan hukum Adat….” dan “….pengaturan mengenai harta
benda dalam perkawinan ini (menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, tambahan
penjelasan dari J. Satrio) adalah sesuai dengan hukum Adat….”.
b. Wewenang suami isteri atas harta benda perkawinan
Wewenang dapat diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak
(kewenangan), hak atau fungsi yang boleh dilaksanakan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001: 1272); sedangkan dalam artian manajemen oleh Soehardi Sigit (1992:
26) juga dikatakan bahwa wewenang itu berkaitan dengan tugas, supaya tugas
kewajiban itu dapat dilaksanakan. Wewenang adalah kekuasaan yang melekat pada
tugas-tugas atau pekerjaan (kedudukan), sedangkan hak melekat pada pribadi.
Selanjutnya dalam aspek yuridis wewenang dalam ruang lingkup harta benda
perkawinan menunjukkan arti pada pengertian pengurusan atau pengelolaan (beheer)
dan penguasaan (beschikking).
Wewenang suami atau isteri atas harta benda perkawinan dapat dijelaskan
dengan bertitik tolak dari:
1) Adanya kelompok harta benda perkawinan (Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
1 Tahun 1974) yang terdiri dari:
a) Harta pribadi suami atau isteri, yang berupa:
(1) Harta bawaan, hadiah dan warisan suami
(2) Harta bawaan, hadiah dan warisan isteri
b) Harta bersama
2) Masing-masing pihak (suami isteri) cakap melakukan perbuatan hukum (Pasal 31
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
3) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974).
4) Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah
pihak (Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Harta pribadi masing-masing suami atau isteri yang berupa harta bawaan,
hadiah dan warisan pada prinsipnya menjadi wewenang dalam arti beheer dan
beschiking ada pada masing-masing suami atau isteri. Hal ini didasarkan atas suami
atau isteri masing-masing cakap melakukan perbuatan hukum, bahwa suami atau isteri
masing-masing memiliki hak sepenuhnya melakukan perbuatan hukum (beheer
maupun beschikking) atas harta bendanya.
Harta bersama merupakan harta milik bersama suami isteri, maka mengenai
harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas perjanjian atau persetujuan kedua
belah pihak (suami isteri). Penafsiran terhadap kalimat atas persetujuan kedua belah
pihak, dapat diperhatikan penafsiran yang dilakukan oleh J. Satrio (1991: 205) yang
menyatakan sebagai “asas” saja, tidak ditafsirkan mutlak harus ada persetujuan secara
tegas dari suami/isteri; dengan demikian maka suami atau isteri dapat bertindak
sendiri dalam hukum, tidak perlu harus mendapat bantuan, asal ada izin atas
persetujuan dari pihak lain. Sehubungan dengan itu apakah dapat disimpulkan bahwa
terhadap harta bersama hak beheer dan beschikkingnya berada pada suami isteri
secara bersama-sama.
c. Tanggungjawab suami isteri terhadap pihak ketiga
Tanggungjawab dalam bahasa inggrisnya adalah responsibility atau dalam
Bahasa Belandanya adalah aanprakkelijk, yang artinya adalah bertanggung jawab,
terikat, bertanggung jawab menurut hukum atas kesalahan atau akibat suatu perbuatan
(Fockema Andreae, 1983: 6). Tanggungjawab dalam arti bahasa Indonesia adalah
berasal dari kata tanggung yang artinya sama dengan menanggung, memikul,
memanggul, dan jawab yang artinya sama dengan suatu sahutan atau balasan.
Tanggungjawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, kalau terjadi
apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya, atau menjadi
keharusan menanggung baik buruknya atau dalam bahasa hukum apabila terjadi
sesuatu dapat digugat, dituntut, atau dipersalahkan. Selanjutnya tanggungjawab yuridis
dapat dipahami dari pengertian pada umumnya bahwa setiap orang harus bertanggung
jawab atas segala tindakan atau perbuatannya.
Tanggungjawab suami isteri atas hubungan hukum (hutang-hutang) yang
dibuatnya dengan pihak ketiga:
1) Hutang pribadi
Hutang pribadi ini bisa terjadi sebelum perkawinan dilangsungkan maupun
sepanjang perkawinan. Menurut J. Satrio (1991: 215) mengenai tanggung jawab
terhadap hutang pribadi ini, ditafsirkan dari Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 yang menggunakan istilah “harta” dalam kaitannya dengan “harta bawaan”
dan menggunakan istilah “harta benda” dalam kaitannya dengan hadiah atau
warisan, sehingga berorientasi pada pengertian aktiva, tetapi tidak menggunakan
istilah “harta kekayaan” (vermogen), yang berarti aktiva dan passiva; telah
ditafsirkan dengan mengesampingkan konsekuensi yuridis dari penggunaan istilah
tersebut karena dipandang tidak logis. Jadi tidak logis apabila ditafsirkan bahwa
aktiva masuk harta pribadi, tetapi passiva menjadi beban harta bersama.
Persoalan muncul apabila harta pribadi masing-masing tidak cukup dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tidak diatur secara jelas, akan tetapi apabila melihat aspek
sejarahnya bahwa UU No. 1 Tahun 1974 disusun berdasar atas hukum Adat, maka
dapat ditafsirkan menggunakan ketentuan dalam hukum Adat. Menurut Hukum
Adat Jawa Barat orang tidak membedakan antara hutang bersama dan hutang
pribadi (J. Satrio, 1991: 215-216), oleh karena itu apabila harta pribadi tidak cukup
untuk melunasi hutang dimaksud maka bisa dibebankan pada harta bersama.
2) Hutang bersama
Hutang bersama, seperti keperluan hidup berumah tangga (sehari-hari),
kesehatan dan pendidikan anak-anak atau pengeluaran yang bukan untuk keperluan
pribadi suami atau isteri. Penyelesaian terhadap hutang bisa terjadi dalam
kaitannya dengan kepentingan atau keperluan bersama ini adalah logis apabila
dibebankan kepada harta bersama, artinya suami maupun isteri bertanggung jawab
atas hutang bersama yang dibuat olehnya dengan harta bersama. Jadi harta bersama
dipakai sebagai dasar pelunasan terhadap hutang bersama.
Persoalannya adalah apabila harta bersama tidak cukup untuk melunasi
hutang bersama tersebut, maka mengingat suami atau isteri bertanggungjawab atas
hutang bersama yang dibuatnya, maka apabila harta bersama tidak cukup memang
sudah seharusnya pelunasannya dibebankan kepada harta pribadi. Sebagai bahan
bandingan terhadap pemecahan masalah tersebut dibawah ini disitir penjelasan dari
J. Satrio (1991: 217) yang menjelaskan penyelesaian hutang bersama apabila
pelunasannya tidak cukup dibebankan atas harta bersama menurut KUHPerdata
dan menurut Hukum Adat, sebagai berikut:
 Menurut system KUHPerdata harta persatuan memang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap hutang persatuan. Kalau harta persatuan tidak
mencukupi, maka harta pribadi si pembuat hutang dapat diambil untuk
pelunasan hutang, malah kalau si pembuat hutang adalah isteri, maka harta
pribadi suami dapat pula dipertanggungjawabkan.
 Dalam hukum Adat, hutang bersama pertama-tama mengambil pelunasan dari
harta bersama dan dalam hal harta tersebut tidak mencukupi, maka harta asal
dapat diambil pula.
2. Penafsiran Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Khusus mengenai Harta Benda
Perkawinan
a. Penafsiran berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
UU No. 1 Tahun 1974 sebagai UU pokok, artinya hanya mengatur yang pokok-
pokok saja dan lebih lanjut pengaturannya akan diatur dalam peraturan
pelaksanaannya. Pemahaman mengenai penafsiran di atas bisa dimulai dengan
membaca Pasal 66 dan Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974, seperti disebutkan dibawah
ini:
Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh sudah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 dalam kaitannya dengan pemahaman ini dilihat
dari kalimat “….sejauh sudah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku”, artinya peraturan hukum yang disebutkan secara tersurat (explisit) dan
tersirat (implisit) dalam Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 ini secara tegas dinyatakan
tidak berlaku lagi, kecuali yang memang belum diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
secara yuridis masih dinyatakan berlaku. Jadi terdapat dua keadaan, yaitu:
 Yang sudah diatur dalam Undang-undang dinyatakan tidak berlaku;
 Yang belum diatur dalam Undang-undang ini masih dinyatakan berlaku.
Dua keadaan yang secara tegas telah disebutkan di atas, apabila dikaitkan
dengan bunyi ketentuan pada pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974, masih diperlukan
penafsiran lagi.
Pasal 67 UU No. 1 Tahun 1974
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan
pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasar ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Undang-undang ini
yang sudah dinyatakan berlaku sejak saat diundangkan, baru berlaku efektif setelah
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Kenyataan yang ada
sampai saat ini peraturan pelaksanaan yang sudah diterbitkan adalah Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang ternyata hanya mengatur mengenai Ketentuan-ketentuan
Umum, Pencatatan Perkawinan, Tatacara Perkawinan, Akta Perkawinan, Tatacara
Perceraian, Pembatalan Perkawinan, Waktu Tunggu, Beristeri Lebih Dari Seorang
dan Ketentuan Pidana, serta Penutup, selebihnya yang merupakan materi di luar yang
disebutkan di atas belum diatur dalam PP No. 9 Tahun 1974, ternyata sebagian besar
tidak menentukan akan diatur secara tersendiri dalam peraturan perundangan
tersendiri, atau Peraturan Pemerintah; dan terdapat beberapa ketentuan yang secara
tegas (explisit) dinyatakan akan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri, atau
dalam Peraturan Pemerintah, seperti disajikan dibawah ini.
Pasal 11 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974
Tatacara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri.
Pasal 39 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974
Tatacara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Pasal 40 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Terdapat lima pasal yang secara tegas menentukan akan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri, atau dalam Peraturan Pemerintah, yaitu:
1) Ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan yang
berbentuk Peraturan Pemerintah adalah Tenggang waktu jangka waktu tunggu
(Pasal 11 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974) dan Kedudukan Anak luar kawin (Pasal
43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
2) Ketentuan yang akan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
Ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan dalam
peraturan perundangan tersendiri adalah tatacara Perkawinan (Pasal 12 UU No. 1
Tahun 1974), Tatacara Perceraian di depan siding Pengadilan (Pasal 39 ayat (3)
UU No. 1 Tahun 1974), tatacara mengajukan gugatan (Pasal 40 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974).
Berdasar atas penjelasan di atas dapat ditafsirkan maksud pembentuk UU bahwa
UU No. 1 Tahun 1974 berlaku sejak saat diundangkannya (2 Januari 1974) dan
pelaksanaannya secara efektif berlaku sejak saat diterbitkannya Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 April 1975, kecuali yang secara tegas dinyatakan
dalam UU ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan tersendiri atau
Peraturan Pemerintah, seperti Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974. Kenyataannya adalah UU No. 1 Tahun 1974 ini ada sebagai suatu kenyataan
dan berlaku secara nasional, dan pelaksanaannya jangan justru akan menjadikan
semakin rancunya sistem hukum yang berlaku, dan cita-cita unifikasi hukum menjadi
semakin jauh dari kenyataan.
b. Penafsiran berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 khususnya mengenai Harta Benda
Perkawinan dalam praktek
Penafsiran mengenai berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 khususnya mengenai
Harta Benda Perkawinan dalam prakteknya telah menimbulkan perbedaan penafsiran
antara para akademisi (Pakar Hukum) dengan para praktisi, yaitu para Hakim dan para
Notaris. Pada umumnya para Notaris mengikuti pendapat dari para Hakim, terutama
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Perkembangan perjalanan penafsiran mengenai berlakunya UU No. 1 Tahun
1974, khususnya mengenai Harta Benda Perkawinan sudah dimulai pada tahun 1975
sampai tahun 1985 (sampai sekarang).
1) Yang menafsirkan mengenai Hukum Harta Benda Perkawinan perlu
peraturan pelaksanaannya
Setelah UU No. 1 Tahun 1974 diundangkan dan berlaku efektif dengan
diterbitkannya PP No. 9 Tahun 1975 pada tanggal 1 April 1975, para praktisi
terutama para Hakim sudah menyikapi mengenai Hukum Harta Benda Perkawinan
ini perlu ada peraturan pelaksanaan, hal ini ditandai dengan adanya pernyataan dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengeluarkan Surat Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. M.A./Pemb/0807/75 tertanggal 20 Agustus 1975,
sebagai berikut:
 Petunjuk MA mengenai pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9
Tahun 1975, pada sub 4
Dinyatakan bahwa: tentang Harta Benda Perkawinan, …. ternyata tidak diatur
dalam PP 9/1975, karenanya belum dapat diberlakukan secara efektif dan
dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan
hukum dan perundang-undangan lama.
Petunjuk Mahkamah Agung ini merupakan sikap hukum yang akan diikuti
oleh para praktisi hukum, baik dikalangan para Hakim maupun para Notaris.
Sejak adanya petunjuk tersebut terdapat suatu keadaan yang secara yuridis UU
No. 1 Tahun 1974 adalah hukum yang berlaku, akan tetapi dalam hal ini
disikapi sebagai hukum atau Undang-undang yang belum bisa diberlakukan,
artinya hukum yang ada, akan tetapi dianggap tidak ada; oleh karena itu telah
berkembang berbagai penafsiran yang ternyata masih dijiwai oleh pikiran
adanya pergolongan rakyat, yaitu digunakan peraturan lama yang berlaku bagi
golongan masyarakat yang bersangkutan. Apabila terhadap golongan yang
semula tunduk pada KUHPerdata; selanjutnya apabila terhadap golongan
Indonesia asli, maka akan diterapkan Hukum Adat.
 Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 726/K/Sip/1976 tertanggal 15 Februari
1976
Dalam pertimbangannya disebutkan: Sekalipun UU No. 1 Tahun 1974 telah
berlaku, tetapi untuk pelaksanaannya masih memerlukan peraturan pelaksanaan
yang mengatur sebagai pengganti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
KUHPerdata belum ada, maka bagi penggugat dan tergugat yang adalah WNI
keturunan Cina masih berlaku ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang
tercantum dalam KUHPerdata.
 Putusan Mahkamah Agung RI No. 263/K/Sip/1976 tertanggal 13 November
1978
Bahwa penjualan harta bersama harus dengan persetujuan isteri atau paling
tidak isteri ikut hadir pada waktu jual beli diadakan (subyek hukum Adat).
Putusan Hakim yang memberlakukan Hukum harta Benda Perkawinan
menurut KUHPerdata pada perkara yang para pihaknya adalah WNI keturunan
Cina, agaknya kurang memahami jiwa dan semangat yang terkandung dalam
UU No. 1 Tahun 1974, yang semestinya dibaca bahwa pembentuk UU sudah
menetapkan prinsip-prinsip hukum keluarga sebagaimana diatur dalam Pasal 31
ayat (1-3) UU No. 1 Tahun 1974), walau belum ada peraturan yang secara rinci
mengaturnya lebih lanjut, maka selanjutnya menjadi tugas para akademisi dan
para praktisilah yang harus mengisi dengan melakukan penafsiran terhadap
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 sesuai dengan visi dan semangat kedepan,
bukan bahkan mundur kebelakang dan seolah-olah tidak mau atau tidak siap
menghadapi perubahan.
Pada putusan Hakim yang memeriksa perkara yang para pihaknya adalah
orang Indonesia asli terlihat bahwa yang diterapkan adalah ketentuan dari
Hukum Adat mengenai harta bersama, yaitu dengan persetujuan isteri (menurut
KUHPerdata tidak memerlukan persetujuan isteri), akan tetapi apabila disimak
dari kasusnya para pihak yang berperkara adalah orang Indonesia asli yang
tunduk pada Hukum Adat.
Walaupun demikian fenomena tersebut juga bisa dibaca bahwa telah
terjadi perkembangan sikap para Hakim dalam menafsirkan berlakunya UU No.
1 Tahun 1974, da nada perubahan apabila dibandingkan dengan sikap yang
tergambar pada petunjuk Mahkamah Agung di atas.
2) Yang menafsirkan mengenai Hukum Harta Benda Perkawinan sudah bisa
berlaku sepenuhnya
Perkembangan penafsiran mengenai berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
khususnya mengenai Hukum Harta Benda Perkawinan, yang dinyatakan sudah
dapat berlaku sepenuhnya, artinya tanpa menunggu diterbitkannya peraturan
pelaksanaan, seperti disebutkan dibawah ini:
 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 681/K/Sip/1975
tertanggal 18 Agustus 1979
Berpendirian bahwa UU No. 1 Tahun 1974 khususnya dalam lapangan Harta
Perkawinan, telah berlaku sepenuhnya (subyek hukum Adat).
 Putusan M.A. No. 2690/K/Pdt/1985
Menetapkan bahwa untuk penjualan harta bersama harus ada persetujuan dari
suami/isterinya dan persetujuan ini diartikan sebagai persetujuan secara tegas,
selanjutnya dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 sebagai hukum nasional
mengikuti sistem Hukum Adat.
 Soebekti
UU No. 1 Tahun 1974 mendasarkan pada asas Hukum Adat, walau peraturan
pelaksanaannya belum ada (yang ada baru PP No. 9 Tahun 1975), maka
peraturan pelaksanaan yang akan dipinjam adalah dari Hukum Adat dan
pendapatnya mengenai Surat M.A.R.I. No. M.A./Pemb/0807/1975, yang
menyatakan …. sepanjang yang mengatur tentang Harta Perkawinan …
sebenarnya tidaklah perlu (J. Satrio, 1991: 15-16).
 Tahir Tungadi
Berpendapat bahwa UU No. 1 Tahun 1974 sudah dapat dilaksanakan walaupun
untuk lingkungan lebih terbatas, yaitu hanya bagi mereka yang menikah sesudah
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (J. Satrio, 1991: 16).
Yang menarik disini dari pendapat para praktisi hukum, yaitu para Hakim
dan para Sarjana (Pakar Hukum) yang menafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974
secara umum maupun khusus mengenai Harta Benda Perkawinan, berangkat dari
pemikiran sama, yaitu menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 sebagai hukum
nasional dan berdasar asas Hukum Adat, serta mengikuti sistem Hukum Adat.
Pernyataan tersebut semakin jelas jika dilihat dari kalimat Soebekti yang
menyatakan bahwa “walau peraturan pelaksanaannya belum ada, maka
pelaksanaannya dipinjam dari Hukum Adat …”, dan pendapat yang sudah tegas
dari Tahir Tungadi bahwa UU No. 1 Tahun 1974 sudah dapat diberlakukan
sepenuhnya bagi orang-orang yang menikah sesudah berlakunya UU No. 1 Tahun
1974. Pernyataan-pernyataan di atas terlihat sama sekali sudah tidak lagi berpikiran
adanya pergolongan rakyat, dan sudah berpikir dalam skala masyarakat nasional.
C. Kedudukan Anak
Kedudukan dari aspek Bahasa memiliki arti sebagai letak atau tempat seseorang
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 278), dan dalam aspek hukum dapat diartikan sebagai
suatu posisi yang di dalamnya mengandung aspek sekumpulan hak dan kewajiban (status).
Jadi dengan demikian kedudukan anak berarti suatu posisi (status) anak dalam keluarga,
dalam aspek hubungannya dengan orang tua atau sebaliknya, sebagai akibat adanya
perkawinan.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai kedudukan anak ini dalam tiga pasal saja,
yaitu Pasal 42-44 UU No. 1 Tahun 1974. Kedudukan anak ini merupakan suatu konsep
hukum yang penting, karena berkaitan dengan kehidupan dan masa depan serta pembinaan
seorang anak dalam keluarga, dan dalam jangkauan yang lebih luas akan menjadi dasar
pembentukan karakter generasi muda yang akan memberi warna masyarakat Indonesia
dikemudian hari. Kedudukan anak ini juga berkaitan dengan nilai-nilai (budaya) suatu
masyarakat, mengingat di Indonesia terdapat beberapa system kemasyarakatan (Patrilineal,
Matrilineal, dan Parental), dan di dalam setiap system kemasyarakatan kedudukan anak ini
memiliki arti dan peranan yang berbeda-beda.
Kedudukan anak dapat dipahami melalui pemahaman tiga konsep dasar, sebagai
berikut:
1. Pengertian Anak Yang Sah
Ada dua konsep mengenai anak yang penting untuk dikemukakan disini, yaitu
konsep biologis dan konsep yuridis, dalam hal ini hukum hanya mengakomodasi konsep
yuridis saja. Kedudukan anak dalam keluarga dikontruksi dalam pengertian anak sah yang
dirumuskan: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah (Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974).
Di dalam ketentuan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 di atas terdapat indikator
sebagai berikut:
a. Perkawinan yang sah
Perkawinan yang sah sudah semestinya menunjuk pada suatu perkawinan yang
dilakukan menurut hukum yang berlaku, yang dalam hal ini adalah menurut ketentuan
UU No. 1 Tahun 1974 yo. PP No. 9 Tahun 1975.
b. Anak yang dilahirkan
Dilahirkan berasal dari kata lahir, yang artinya adalah keluar dari kandungan,
muncul di dunia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 624). Jadi anak yang
dilahirkan menunjuk pada peristiwa atau kejadian seorang anak (bayi) yang keluar dari
kandungan atau muncul ke dunia.
c. Dalam
Istilah dalam yang dimaksud disini menunjuk pada pengertian lingkungan,
bagian yang di dalam bukan bagian luar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 232),
selanjutnya dapat dibaca sebagai anak yang dilahirkan di dalam perkawinan bukan
diluar perkawinan atau diukur dari sejak saat perkawinan dilangsungkan sampai
putusnya perkawinan.
d. Sebagai akibat perkawinan yang sah
Istilah akibat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 20) adalah sesuatu
yang merupakan akhir atau hasil suatu peristiwa (perbuatan, keputusan) atau akibat
yang timbul karena peristiwa hukum. Selanjutnya sebagai akibat perkawinan yang sah
dapat dibaca menjadi anak yang lahir karena akibat peristiwa perkawinan yang sah;
atau anak tersebut dilahirkan sudah diluar masa perkawinan yang sah, akan tetapi
proses pembuahannya terjadi di dalam masa perkawinan yang sah, yang secara yuridis
dianggap (seperti) sebagai lahir di dalam perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 sebagai UU yang berlaku secara nasional, yang diharapkan
dapat menjadi satu hukum yang memenuhi kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat Indonesia. Lebih lanjut dicoba dibandingkan pemahamannya dengan:
1) Ketentuan dalam KUHPerdata
Menurut Wirjono Prodjodikoro (1984: 78) dikatakan bahwa berdasar atas Pasal 255
KUHPerdata seorang anak yang lahir setelah lampau 300 hari sesudah perkawinan
terputus, adalah tidak sah (unwettig), dengan kata lain anak yang lahir dalam
tenggang waktu 300 hari sesudah perkawinan putus adalah anak yang sah.
2) Menurut Hukum Islam
Menurut Yuynboll dalam Wirjono Prodjodikoro (1984: 72) dikatakan bahwa
menurut Hukum Islam, si anak itu supaya dapat dianggap anak dari suami ibunya,
harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam
tenggang iddah (4 bulan dan 10 hari) sesudah perkawinan putus.
Perlu disajikan penafsiran terakhir mengenai masa iddah ini sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 39 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 jo. 153 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengenai masa iddah bagi seorang janda ditentukan sebagai
berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul (belum
dicampuri), waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Antara pendapat Yuynboll dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) di atas terdapat perbedaan mengenai masa iddah, karena
Yuynboll hanya menunjuk ketentuan seperti pada huruf a pada PP No. 9 Tahun 1975
dan KHI dan hal ini merupakan pendapat terakhir yang sampai saat ini dipakai
sebagai rujukan untuk menafsirkan mengenai masa iddah, yang meliputi beberapa
kondisi yang melekat pada dari seorang janda.
3) Menurut Hukum Adat
Tenggang waktu 6 bulan dan tenggang iddah tidak dikenal, artinya meskipun
seorang anak lahir dalam waktu yang amat pendek sesudah perkawinan
dilangsungkan, maka suami ibunya tetap dianggap sebagai bapaknya. Selanjutnya
bahwa seorang anak yang lahir sesudah perkawinan putus tetapi dalam tenggang
yang sama dengan tenggang hamil yang biasa (8 atau 9 bulan), tetap dianggap anak
dari bekas suami ibunya (Wirjono Prodjodikoro, 1984: 73-74).
Kesimpulan dari beberapa indicator tersebut di atas, maka pengertian anak sah
merupakan konsep hukum yang secara tegas memberikan gambaran mengenai kedudukan
anak secara jelas. Selanjutnya dapat diartikan pula konsep anak yang sah ini dalam
terminologi yang lebih operasional, yaitu sebagai anak yang beribu wanita yang
melahirkannya dan berayah laki-laki suami ibunya. Dalam keadaan apapun mengenai
kelahiran seorang anak yang memenuhi terminologi di atas adalah termasuk dalam anak
yang sah, kecuali terdapat penyangkalan dari suami yang dilakukan melalui Pengadilan.
2. Kedudunak Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau sering pula disebut sebagai anak luar
kawin, bisa terjadi karena adanya peristiwa seorang anak (bayi) dilahirkan dari seorang
wanita yang tidak kawin atau statusnya masih “gadis” atau janda. Jadi jangan disalah
artikan termasuk anak yang lahir karena perzinahan (overspel) dalam pemahaman hukum,
bukan dalam pemahaman agama atau norma masyarakat pada umumnya. Menurut UU
dinyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya (single parent) dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974).
UU No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip bahwa hubungan hukum antara anak yang
dilahirkannya dengan ibunya adalah terjadi secara otomatis, artinya tidak lagi memerlukan
pengakuan anak; sedangkan terhadap anak luar kawin ini hubungan hukum antara anak
tersebut dengan bapak biologisnya secara yuridis harus dilakukan melalui pengakuan
anak.
Fungsi pengakuan anak oleh bapak biologisnya ini terdapat dua teori yang bisa
dipakai untuk menjelaskan (J. Satrio: 3-4), yaitu sebagai berikut:
a. Teori Pembuktian (Bewijsrechtelijke Theorie)
Pengakuan anak menimbulkan bukti adanya hubungan biologis antara si anak luar
kawin dan sekaligus akan memberikan akibat hukum kepadanya dan sifat pengakuan
ini adalah declaratief: dengan demikian pengakuan anak hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang benar-benar “ayah” dari di anak tersebut.
b. Teori Materiil (Materieel Rechtelijke Theorie)
Pengakuan anak sebetulnya merupakan tindakan hukum (rechtshandeling) yang
menimbulkan hubungan darah secara hukum (jurisdische bloodverwantschap) antara si
orang yang mengakui dengan si anak luar kawin. Disini pengakuan merupakan unsur
constitutif yang menimbulkan hubungan darah dan karenanya hubungan hukum antara
yang mengakui dan yang diakui.
UU No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan pengaturan lainnya mengenai kedudukan
anak yang lahir diluar perkawinan ini, hanya ditentukan bahwa mengenai kedudukan anak
tersebut pada Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pasal 43 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. Sepanjang belum
diterbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) UU No.
1 Tahun 1974, maka mengenai hal-hal lainnya seperti pengakuan anak diluar perkawinan
dapat diperuntuki peraturan lama.
Sebagai bahan bandingan dalam memahami persoalan ini dikemukakan ketentuan-
ketentuan dalam KUHPerdata, yang dijelaskan bahwa pengakuan anak dari seorang laki-
laki dengan seorang perempuan yang lahir diluar perkawinan mereka, dapat dianggap
disahkan, asal ditegaskan pada waktu perkawinan dilangsungkan dan ada pengakuan dari
suami isteri tersebut. Selanjutnya pengakuan anak hanya dilakukan dengan surat kawin
(akta Perkawinan), jadi mereka terlebih dahulu harus melangsungkan perkawinan untuk
dapat mengakuinya (Pasal 283 jo. Pasal 272 KUHPerdata). Konsekuensi yuridis dari
dilangsungkannya perkawinan tersebut maka anak tersebut tidak hanya sebagai anak yang
diakui tetapi juga menjadi anak sah. Selain itu pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan
melalui prosedur Pengadilan dengan memenuhi persyaratan:
a. Harus ada pengakuan dari bapak dan ibunya (Pasal 274 KUHPerdata).
b. Pengakuan anak seperti ini dapat pula dilakukan dalam hal antara si bapak dan si ibu
tidak dapat melakukan perkawinan, karena salah seorang dari mereka telah meninggal
dunia, atau karena ada keberatan pemerintah (hukum) apabila dilakukan perkawinan di
antara mereka (Pasal 275 KUHPerdata).
KUHPerdata mengenal dua macam pengakuan anak, yaitu:
1. Pengakuan secara sukarela, artinya pengakuan atas inisiatif si ayah biologis itu sendiri
dan dilakukan secara tegas tidak boleh atas dasar disimpulkan (ditafsirkan).
2. Pengakuan secara terpaksa, artinya pengakuan yang didasarkan atas keputusan
Pengadilan bahwa orang tersebut adalah ayah anak luar kawin yang bersangkutan.
3. Hak Penyangkalan Suami atas Sahya Anak yang Dilahirkan oleh Isterinya
Hak penyangkalan suami atas sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya
dikarenakan adanya perzinahan yang dilakukan oleh isterinya, menunjukkan bahwa ruang
lingkupnya berbeda dengan anak yang lahir di luar perkawinan. Dalam kasus perzinahan
yang dilakukan oleh isteri yang kemudian menghasilkan seorang anak, maka terdapat dua
keadaan, yaitu:
 Apabila tidak ada penyangkalan dari suaminya, maka anak tersebut berkedudukan
sebagai anak sah.
 Apabila ada penyangkalan dari suami terhadap anak yang dilahirkannya oleh isterinya
tersebut, maka anak tersebut adalah bukan anak yang sah.
Penyangkalan yang dilakukan oleh suami terhadap sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya dapat terjadi apabila:
a. Suami dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
perzinahan tersebut (Pasal 44 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
b. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan (Pasal 44 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Setelah Pengadilan memutuskan bahwa anak yang dilahirkan oleh isterinya karena
perzinahan dan disangkal oleh suaminya, maka akibat hukumnya adalah si anak tidak
memiliki hubungan hukum keperdataan dengan si suami dari ibunya, dan dengan
sendirinya si anak hanya memiliki hubungan hukum keperdataan dengan ibunya atau
keluarga ibunya saja. Ketentuan tersebut di atas bila dibandingkan dengan ketentuan
dalam KUHPerdata pada dasarnya terdapat kesamaan, yaitu:
Pasal 253 KUHPerdata:
Berdasar atas perbuatan zina, suami tak dapat mengingkari (menyangkal –pen.)
keabsahan seorang anak, kecuali jika lahir anak itu pun disembunyikan baginya,
dalam hal mana ia harus diperkenankan membuktikan dengan sempurna, bahwa ia
bukan bapak anak itu.
Pasal 255 ayat (1) KUHPerdata:
Anak yang dilahirkan tiga ratus hari setelah perkawinan dibubarkan, adalah tak sah.
Selanjutnya oleh Wirjono Prodjodikoro (1984: 78) juga dijelaskan bahwa
berdasar atas Pasal 256 KUHPerdata dikatakan:
Bahwa “Pengingkaran (penyangkalan –pen.) ini semua harus dalam tenggang dua
bulan diikuti dengan penuntutan di muka Pengadilan….”.
Menurut KUHPerdata akibat hukum dari adanya penyangkalan atas sahnya anak
yang dilahirkan oleh isterinya dan telah ada keputusan Pengadilan yang menyatakan
sah/tidaknya anak dimaksud, maka anak tersebut juga sebagai anak yang tidak sah (anak
haram) dan si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya
saja (single parent).
Menurut Hukum Islam yang dikemukakan oleh Yuynboll dalam Wirjono Prodjodikoro
(1984: 77):
Disebutkan bahwa apabila tidak cukup bukti; maka mereka suami isteri melakukan
sumpah LI’AN, yaitu suami melakukan sumpah bahwa pendakwaan terhadap isterinya
telah berzina adalah benar, dan si isteri juga bersumpah bahwa ia tidak melakukan zina
(baca juga Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam).
Apabila sumpah LI’AN telah dilakukan maka berakibat:
 Anaknya dianggap tidak sah.
 Perkawinannya dianggap terputus selama-lamanya dalam arti bahwa bekas suami dan
bekas isteri tidak diperbolehkan kawin lagi satu sama yang lain.
 Suami tidak mendapat hukuman.
 Isteripun tidak mendapat hukuman.
4. Anak Angkat
Anak angkat adalah merupakan kebiasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu melalui
suatu tindakan hukum tertentu secara diam-diam atau secara terang menempatkan seorang
anak orang lain (bisa anggota kerabat) dalam kedudukan sebagai anak atau seperti anak
kandung, atau juga dimaksudkan untuk berkedudukan sebagai penerus silsilah/keturunan
dari orang tua yang mengangkatnya. Maksud dari secara diam-diam adalah terjadi tanpa
mengikuti formalitas tertentu (secara materiil), sedangkan secara terang adalah dilakukan
dengan mengikuti formalitas tertentu, baik melalui prosedur pengakuan atau pengesahan
anak angkat di Pengadilan atau melalui prosedur di luar Pengadilan, yaitu dengan upacara
atau publikasi yang dilakukan dalam masyarakat.
UU No. 1 Tahun 1974 hanya mengatur mengenai kedudukan anak, yang didalamnya
mengatur mengenai anak yang sah, anak luar kawin dan pembuktian asal-usul anak.
Penafsiran mengenai kedudukan anak angkat dalam keluarga orang tua angkatnya dapat
ditafsirkan sebagaimana kaedudukan anak yang sah.
Menurut Hukum Adat di Jawa Barat disebutkan bahwa kedudukan anak angkat
dipersamakan dengan kedudukan anak kandung, oleh karena itu dapat mewarisi harta
peninggalan orang tua angkatnya (Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. No.
578/K/Sip/1974 tanggal 7 Januari 1976). Sedangkan menurut Hukum Islam yang dalam
perkembangannya mengalami perubahan mengenai anak angkat juga diberikan
pengertiannya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasa Pasal 171 huruf h, yang
berbunyi:
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
Pengangkatan anak yang diakui menurut KHI adalah pengangkatan anak yang
dibuktikan dengan putusan Pengadilan. Selanjutnya perkembangan mengenai
kedudukan hukum anak angkat ini dapat dibaca dalam Pasal 209 KHI, sebagai
berikut:
(1) Harta peninggalan orang tua angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan
Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima
wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak lebih bermotif solidaritas sosial, bukan bersifat suksesi.
Selanjutnya tindakan pengangkatan anak tidak mengakibatkan peralihan hubungan
perdata:
 Kedudukannya tidak diakui dan tidak disamakan sebagai anak kandung.
 Tidak mempunyai hak untuk mewarisi harta peninggalan orang tua angkat.
 Apabila yang diangkat anak perempuan, hak wali tetap berada pada ayah alami, tidak
beralih kepada ayah angkat. Hak anak angkat dikontruksi dalam bentuk wajibah wasiat.
Menurut S. 1917 No. 129 jo. S. 1925 No. 92 mengenai ADOPSI yang berlaku bagi
anak laki-laki bagi golongan keturunan Cina ditentukan bahwa anak adopsi mendapat
nama keturunan orang tua angkatnya (marga) dan anak adopsi dianggap dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkatnya. Atas dasar itu maka dapat disimpulkan bahwa anak
adopsi memiliki kedudukan yang sama dengan anak sah atau dengan anak kandung (M.
Yahya Harahap, 1992: 14).
Ketentuan-ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak sebagaimana disebutkan
di atas hanya mencakup peristiwa pengangkatan anak di dalam negeri saja, tidak
menjangkau terhadap pengangkatan anak antar negara. Peraturan Pengangkatan Anak
yang dapat diterapkan dan berlaku sebagai pedoman untuk pengangkatan anak antar warga
negara maupun antar negara adalah S.E.M.A. R.I. No. 6 Tahun 1983, tanggal 30
September 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun
1979 perihal: Penyempurnaan Pemeriksaan Permohonan Pengesahan/Pengangkatan Anak.
Kemudian juga diikuti dengan keputusan Menteri Sosial R.I. No. 41/HUK/KEP/VII/1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, tanggal 14 Juni 1984 beserta
lampirannya. Selanjutnya disusul pula dengan Keputusan Menteri Sosial R.I. No.
58/HUK/1985 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Antar
Warganegara Indonesia dan Warga Negara Asing (Intercountry Adoption) tanggal 18
September 1985.
5. Pembuktian Asal-Usul Anak
Kelahiran seorang anak adalah suatu peristiwa hukum, yang dari kelahiran tersebut
telah menimbulkan akibat hukum di lapangan hukum keluarga, yaitu kedudukan (status)
seorang anak; oleh karena itu menjadi penting pengaturan mengenai pembuktian asal-usul
anak. Menurut UU telah disebutkan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan
dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang (Pasal
55 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Membaca ketentuan ini berarti menunjuk ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi catatan sipil, karena yang berwenang menerbitkan akta
kelahiran yang otentik adalah Kantor Catatan Sipil.
Prinsip yang dapat disimak disini adalah pembuktian asal-usul anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik. Disini digunakan istilah hanya,
menggunakan istilah yang bersifat limitatif, artinya tidak bisa dengan bukti selain akta
kelahiran yang otentik. Kemudian apabila akta tersebut tidak ada oleh pembentuk UU
diberikan suatu solusi (jalan keluar), yaitu dengan penetapan Pengadilan. Apabila seorang
anak tidak memiliki akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, maka
Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat (Pasal 55
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Selanjutnya atas dasar ketentuan Pengadilan, maka instansi pencatat kelahiran
(Kantor Catatan Sipil setempat) yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan (Pasal 55 ayat (3)
UU No. 1 Tahun 1974); dengan demikian semakin jelas maksud pembentuk UU, bahwa
prinsip dalam pembuktian asal-usul anak hanya dibuktikan dengan akta kelahiran yang
otentik.
Permasalahan yang mungkin timbul adalah pembuktian asal-usul anak seolah-olah
tidak ada jalan lain selain hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik.
Apakah bukti-bukti lain, seperti surat kelahiran yang dikeluarkan oleh rumah sakit atau
Kelurahan yang disahkan oleh camat setempat, kartu keluarga (dan lainnya) tidak bisa
dipakai sebagai pembuktian asal-usul anak. Kemudian lantas bagaimana dengan penetapan
ahli waris oleh Pengadilan apakah juga hanya dapat didasarkan atas akta kelahiran yang
otentik. Persoalan ini akan menyangkut kesadaran hukum masyarakat dan aspek efektifitas
sosialisasi UU No. 1 Tahun 1974. Pada hal secara yuridis suatu peristiwa hukum dapat
dibuktikan melalui berbagai alat bukti, antara lain berupa alat bukti surat (akta dan akta
otentik) juga keterangan saksi, dan juga alat bukti persangkaan.
D. Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban orang tua kepada anak meliputi:
 Memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus (Pasal 45 ayat (1)
dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
 Mengurus diri pribadi si anak yang belum berumur 18 tahun dalam perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974).
 Pengurusan harta benda yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun (Pasal 48
UU No. 1 Tahun 1974).
1. Kewajiban Orang Tua
a. Kewajiban memelihara dan mendidik
Kewajiban orang tua oleh pembentuk UU ditentukan bahwa kedua orang tua
(bapak dan ibu) wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Kewajiban kedua orang tua ini merupakan
kewajiban hukum yang meliputi dua aspek, yaitu memelihara dan mendidik. Filosofi
dari ketentuan ini adalah anak bagaikan kertas putih yang akan diwarnai oleh kedua
orang tuanya, baik pada aspek penghidupan maupun aspek perkembangan
pendidikannya. Kewajiban orang tua ini disisi lain merupakan hak bagi anak-anaknya,
artinya apabila kedua orang tua lalai melakukan kewajiban hukumnya dapat dituntut
oleh anak-anaknya di muka Pengadilan.
Aspek dan ruang lingkup dari pengertian memelihara (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001: 845):
a. Menjaga dan merawat baik-baik, kesehatan badan.
b. Mengusahakan dan menjaga.
c. Menyelamatkan, melindungi, melepaskan dari bahaya.
Dan pengertian mendidik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 263):
a. Memelihara dan memberi latihan (ajaran tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran.
b. Pengubahan sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.
Aspek-aspek memelihara dan mendidik tersebut di atas apabila dikonversikan
dalam rumusan yuridis dapat diartikan meliputi kebutuhan atau kepentingan anak dari
aspek lahiriah (physical) dan non lahiriah (non physical) untuk hidup dan kehidupan
sebagai anak manusia, seperti antara lain:
1) Pemberian nafkah
2) Sandang (pakaian) dan papan (tempat kediaman)
3) Pemeliharaan dan perawatan kesehatan
4) Pendidikan bagi anak, meliputi pembentukan akhlak dan kualitas atau kemampuan
istelektual anak (ilmu pengetahuan).
Kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak secara yuridis
diberikan batasan, yaitu sampai anak itu melangsungkan perkawinan atau dapat
berdiri sendiri dan berlaku terus-menerus walau perkawinan kedua orang tuanya
putus. Indikatornya bukan secara kuantitatif, misal: menunjuk pada umur anak telah
mencapai 18 tahun, akan tetapi ditentukan secara kualitatif, sebagai berikut:
1) Sampai anak itu melangsungkan perkawinan
Anak melangsungkan perkawinan, artinya secara yuridis telah menjadi cakap
melakukan perbuatan hukum secara sendiri, dan sejak saat itulah anak itu telah
menjadi dewasa atau tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tua. Anak-anak
secara yuridis telah dianggap mampu bertanggung jawab atas tindakan atau
perbuatannya; oleh karena itu menjadi indicator atau batasan berhentinya
kewajiban orang tua terhadap anaknya bagi yang telah melangsungkan perkawinan.
2) Sampai anak dapat berdiri sendiri
Sampai anak dapat berdiri sendiri merupakan indikator yang mengandung
dua konsep, yaitu berdiri sendiri dalam konsep yuridis atau dalam konsep sosial
ekonomis.
Dilihat dari konsep yuridis, arti dari dapat berdiri sendiri dapat dilihat
anak tersebut telah dapat bertanggung jawab dimuka hukum atas segala tindakan
atau perbuatan hukum yang dilakukannya; dengan perkataan lain telah dapat
memikul hak dan kewajibannya sendiri.
Dilihat dari konsep sosial ekonomi, dapat berdiri sendiri tidak diukur dari
anak tersebut telah dianggap cakap dan mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya di muka hukum, akan tetapi secara sosial telah memiliki kemampuan
dan keberadaannya dalam masyarakat sudah diakui atau dari aspek ekonomi bisa
diukur sejak anak itu memiliki penghasilan tetap sendiri.
3) Berlaku terus walau perkawinan kedua orang tua putus
Kewajiban orang tua terhadap anak-anak yang belum berumur 18 tahun atau
belum melangsungkan perkawinan atau belum dapat berdiri sendiri berlaku
seterusnya sampai anak-anaknya melangsungkan perkawinan atau sudah dapat
berdiri sendiri, walau perkawinan kedua orang tuanya putus (Pasal 45 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974).
Kewajiban orang tua selama perkawinan juga berkaitan dengan adanya kekuasaan
orang tua, sehingga anak-anak yang belum berumur 18 tahun atau belum
melangsungkan perkawinan berada dibawah kekuasaan orang tua. Apabila perkawinan
antara kedua orang tua putus kewajiban tersebut masih terus berlangsung, dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa putusnya perkawinan tidak menjadikan
berhentinya kewajiban orang tua.
b. Kekuasaan Orang Tua
Selain kewajiban orang tua terhadap anak, kepada orang tua juga diberikan
kewajiban lainnya yang berupa kekuasaan orang tua atas anak-anaknya. Kekuasaan
orang tua ini meliputi beberapa aspek, yaitu kekuasaan orang tua sebagai suatu hak,
kekuasaan orang tua atas diri pribadi anak-anaknya dan kekuasaan orang tua atas
barang-barang tetap yang dimiliki anak-anaknya.
1) Kekuasaan Orang Tua sebagai Suatu Hak
Kekuasaan orang tua sebagai suatu hak, artinya sebagai sesuatu yang dapat
dipertahankan atau dituntutkan kepada pihak lain apabila ada pihak lain (orang
lain) yang akan melanggar hak tersebut. Yang dimaksudkan dengan pihak lain
adalah semua pihak di luar bapak-ibu si anak, termasuk dalam hal ini adalah
keluarga garis lurus ke atas dan ke samping, serta orang lain.
Kekuasaan orang tua sebagai suatu hak, artinya kekuasaan orang tua tersebut
berada pada bapak dan ibu. Hal ini didasarkan atas prinsip dalam Pasal 31 ayat (1),
(2), dan (3) UU No. 1 Tahun 1974 yang ditentukan bahwa diantara suami isteri
memiliki kedudukan yang seimbang dalam keluarga, dan masing-masing cakap
melakukan perbuatan hukum, oleh karena itu masing-masing bapak ibunya
memiliki kekuasaan orang tua ini. Selanjutnya dalam pelaksanaannya diantara
suami dan isteri terdapat pengaturan bersama atas persetujuan masing-masing
untuk pelaksanaan kekuasaan (kewajiban) orang tua.
2) Kekuasaan Orang Tua atas Diri Pribadi Anak-anaknya
Kekuasaan orang tua yang ditujukan atas diri pribadi si anak secara
normative diutamakan pada anak-anaknya yang masih dibawah umur atau masih
belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan. Kedua orang tua
mewakili anak-anaknya dalam melakukan perbuatan hukum di dalam maupun di
luar Pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), kecuali salah satu atau
kedua orang tua tersebut dicabut dari kekuasaan orang tua (Pasal 47 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974), walaupun dicabutnya kekuasaan orang tua tersebut tidak
membebaskan kewajiban orang tua untuk memberi biaya pemeliharaan kepada
anak-anaknya (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
3) Kekuasaan Orang Tua atas Harta Benda yang Dimiliki Anak
Kekuasaan orang tua atas harta benda yang dimiliki anak-anaknya yang
belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, meliputi dua
aspek, yaitu aspek kepengurusan terjadi karena anak-anak tersebut belum memiliki
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dan aspek keuntungan yang
diperolehnya adalah tindakan ikut menikmati hasil atas pengurusan harta benda
atau barang-barang tetap yang dimiliki anak-anaknya tersebut.
Kedua orang tua dilarang melakukan tindakan penguasaan (beschikking)
yang menimbulkan kerugian bagi anak-anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
belum melangsungkan perkawinan, seperti memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anak-anaknya, kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendaki (Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974).
2. Kewajiban Anak
Kewajiban anak ini oleh UU ditentukan bahwa anak wajib menghormati orang tua
dan mentaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Kemudian jika anak telah dewasa, maka ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya
(Pasal 46 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Melihat kewajiban yang ditemukan bagi anak terhadap orang tua di atas meliputi dua
aspek, yaitu kewajiban anak belum dewasa dan kewajiban anak telah dewasa. Sampai
disini dimunculkan suatu istilah dewasa dalam Pasal 46 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.
Istilah dewasa (meerderjarig) ini muncul pada Bab X mengenai Hak dan Kewajiban
Antara Orang Tua dan Anak, dan dalam kewajiban orang tua terhadap anak dikaitkan
dengan istilah kekuasaan orang tua, sehingga pengertian anak belum dewasa (minderjarig)
adalah anak yang dibawah kekuasaan orang tua, dan anak telah dewasa berarti anak yang
tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali (Pasal 50 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974).
Berbeda halnya apabila dibandingkan dengan KUHPerdata, yang menentukan
bahwa dewasa diukur apabila seorang anak telah berumur 21 tahun atau telah
melangsungkan perkawinan, sebab anak belum dewasa adalah anak yang belum berumur
21 tahun dan tidak terlebih dahulu telah kawin (Pasal 330 KUHPerdata).
Hukum Islam mengukur saat seorang anak telah menginjak dewasa tidak dengan
ukuran umur, akan tetapi dengan ukuran bagi anak laki-laki telah mengalami mimpi (akhil
baligh) dan bagi anak perempuan telah mengalami menstruasi (haid).
Hukum adat juga tidak menentukan kedewasaan anak dari batasan umur tertentu
atau telah kawin, akan tetapi kedewasaan anak dilihat sebagai proses “circle of life”
(lingkarang hidup dari bayi sampai meninggal) yang telah sampai pada “purna jeneng”,
atau sempurna statusnya dan diukur dari telah mandiri atau sudah “kuat gawe”; dan
keberadaannya diakui oleh masyarakatnya.
a. Kewajiban anak belum dewasa
Ada dua kewajiban anak yang belum dewasa terhadap orang tuanya, yaitu
menghormati orang tua dan mentaati kehendak orang tua yang baik.
1) Menghormati orang tua
Menghormati berasal dari kata hormat, artinya menghargai atau dalam hal ini
adalah menghargai dan menjunjung tinggi atau memandang orang tua berada di
tempat yang lebih tinggi status sosialnya, sehingga ada rasa untuk mentaati atau
memperhatikan apa yang dikehendaki oleh orang tua (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001: 408).
Kewajiban ini termasuk dalam lingkaran moral atau etika, sebagai pasangan
dari kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang belum
dewasa supaya tujuan memelihara dan mendidik dapat berjalan dengan baik.
2) Mentaati kehendak orang tua yang baik
Kewajiban anak untuk mentaati kehendak orang tua yang baik, dalam hal
ini ada dua hal yang dirumuskan disini, yaitu mentaati kehendak dan yang baik.
Mentaati berasal dari kata taat, yang artinya adalah senantiasa tunduk atau
mematuhi setiap perintah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 1116).
Kehendak artinya keinginan, menghendaki atau mengharapkan (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2001: 433). Yang baik, artinya meliputi pengertian patut, elok,
tidak ada cela, berguna, tidak jahat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 90).
Mentaati kehendak orang tua yang baik, dapat ditafsirkan sebagai
senantiasa tunduk atau mematuhi setiap perintah yang dikehendaki atau yang
diharapkan oleh orang tua, tetapi hanya yang baik, patut, berguna tidak terhadap
kehendak orang tua yang cela atau jahat.
Apabila orang tua dalam memelihara atau mendidik anak justru
menunjukkan gejala berperilaku tidak baik, atau akan menyebabkan si anak
menjadi tidak baik akhlaknya, hal ini bertentangan dengan kewajiban orang tua
dan melanggar hak anak, maka orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya.
Menghadapi kehendak orang tua yang tidak baik ini, seorang anak tidak perlu
mentaatinya, dalam arti kehendak tersebut tidak perlu dilaksanakan.
b. Kewajiban anak telah dewasa
Anak yang sudah dewasa, artinya anak yang sudah berumur 18 tahun atau
telah melangsungkan perkawinan, dengan catatan disini adalah ada kemampuan
pada diri si anak yang dewasa, maka yang bersangkutan berkewajiban untuk
memelihara orang tua maupun keluarga dalam garis lurus ke atas, apabila
diminta.
Memelihara disini mengarah pada aspek kehidupannya (nafkah lahir) dan
kesehatannya. Kewajiban ini merupakan kewajiban sebagai bentuk penghargaan
atau penghormatan anak kepada orang tuanya atau leluhurnya sesuai adat
ketimuran. Dalam hal ini hanya ditekankan pada aspek memelihara, mengenai
bagaimana yang harus dilakukan untuk melaksanakan kewajiban memelihara
orang tua tidak diatur, berarti diberikan kebebasan untuk itu. Walau demikian
kewajiban saling memelihara antara orang tua dan anak, begitu pula sebaliknya
sesuai yang telah ditentukan, oleh UU ditetapkan demikian mempunyai arti
secara yuridis sebagai kewajiban hukum yang ditetapkan oleh UU sebagai
kewajiban umum dan didasarkan atas ketertiban umum, dengan sendirinya tidak
bisa dihapus atau disampingi dengan suatu perjanjian.
Kewajiban untuk memelihara orang tua atau keluarga dalam garis lurus ke
atas tersebut bukan kewajiban yang merupakan keharusan (absolut), karena UU
memberikan batasan apabila kedua orang tua atau keluarga garis lurus ke atas
membutuhkan bantuannya. Dalam kenyataannya tidak jarang orang tua sudah
mempersiapkan kehidupan di hari tuanya, dengan melakukan investasi tertentu,
sehingga ia memilih di rumah jompo dengan biaya sendiri, supaya tidak
merepotkan anak-anaknya.
Ruang lingkup dari pengertian orang tua atau keluarga dalam garis lurus
ke atas, oleh UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada penjelasan lebih lanjut. Maka dapat
ditafsirkan sesuai norma yang ada dalam masyarakat Indonesia pada umumnya,
khususnya pada masyarakat yang menganut system keluarga parental atau
bilateral, bahwa arti orang tua tidak hanya menunjuk pada kedua orang tua
kandung saja akan tetapi meliputi juga pada mertuanya. Bisa dibayangkan
apabila tidak mencakup mertua; dengan sendirinya logika hukumnya termasuk
dalam pengertian keluarga dalam garis lurus keatas.

BAB VIII

PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBATNYA

Ada awal semestinya juga ada akhir, oleh UU akhir suatu perkawinan disebut dengan
istilah putusnya perkawinan dan putusnya perkawinan ini bisa terjadi melalui tiga peristiwa
hukum, yaitu karena: kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan (Pasal 38 UU No.
1 Tahun 1974).

Putusnya perkawinan bisa terjadi melalui proses yudiciil maupun non yudiciil.
Putusnya perkawinan melalui proses non yudiciil terjadi karena adanya kematian salah satu
atau kedua suami isteri; yang melalui proses yudiciil melalui gugatan perceraian atau gugatan
pembatalan perkawinan. Antara putusnya perkawinan karena perceraian dengan putusnya
perkawinan atas keputusan Pengadilan ada kesamaan, yaitu harus dengan keputusan
Pengadilan. Adapun perbedaannya adalah pada subyek-subyek atau pihak-pihak dalam pokok
perkaranya, yaitu:

1. Pada putusnya perkawinan karena perceraian sebagai pihak-pihak dalam perkaranya


adalah diantara suami isteri itu sendiri dan alas hak untuk gugatannya adalah didasarkan
atas alasan-alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974 dan Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Pada putusnya perkawinan atas keputusan Pengadilan, pihak-pihak dan alasan-alasan
dalam perkaranya sebagaimana dalam perkara pembatalan perkawinan seperti diatur
dalam Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974
mengenai pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan.
A. Putusnya Perkawinan Karena Kematian Dan Atas Keputusan Pengadilan
1. Putusnya Perkawinan karena Kematian
Kematian adalah peristiwa alam akan tetapi diberi atau memiliki akibat hukum, oleh
karena itu peristiwa kematian merupakan peristiwa hukum. Kematian yang dimaksud
disini adalah peristiwa meninggalnya salah satu atau kedua suami isteri, sehingga unsur
subyek hukum (pihak) dalam perkawinan telah meninggal atau sudah tidak ada lagi.
2. Putusnya Perkawinan karena Keputusan Pengadilan
Putusnya perkawinan atas Keputusan Pengadilan yang membatalkan suatu
perkawinan, sehubungan dengan adanya gugatan untuk membatalkan perkawinan yang
disebabkan karena melanggar persyaratan perkawinan. Dalam peristiwa ini pihak-pihak
yang terlibat dalam perkara bisa diantara suami isteri itu sendiri maupun pihak-pihak lain
yang memiliki hak untuk membatalkan perkawinan sesuai yang ditentukan oleh Pasal 23
UU No. 1 Tahun 1974.
B. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian
Perceraian merupakan keadaan yang sebetulnya tidak diharapkan oleh setiap orang
yang melangsungkan perkawinan maupun oleh masyarakat, demikian juga apabila dipandang
dari segi agama; bahkan pada agama Nasrani melarang adanya perceraian (konsep
perkawinan sekali seumur hidup).
1. Pengertian Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara
suami isteri dengan keputusan Pengadilan melalui pemeriksaan di depan siding Pengadilan
dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi
sebagai suami isteri (Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Menurut Soemiyati (1982: 104) dikatakan bahwa:
“Perceraian dalam istilah ahli Fiqh disebut “talak” atau “furqah”. Adapun arti dari
pada talak ialah membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan furqah
artinya bercerai yaitu lawannya dari berkumpul. Kata talak dalam istilah fiqh
mempunya dua pengertian yaitu dalam arti umum dan dalam arti khusus”.
Menurut Hadits Nabi riwayat H.R. Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh al-
Hakim), Rasulullah SAW mengatakan:
“Yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah perceraian”.
Melihat hadits Nabi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa talak itu
walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu
alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami isteri.
2. Alasan-alasan Perceraian
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar mengajukan gugatan perceraian, diatur
dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu
tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri”.
Selanjutnya alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian disebutkan secara
alternative dan dirinci dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah
sebagai berikut dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Ahrum Hoerudin (1990: 24-27)
sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
Alasan perceraian karena salah satu pihak berbuat zina, dan yang dimaksud zina
dalam hal ini adalah suatu perbuatan perselingkuhan sampai terjadi hubungan badan
(bersetubuh) yang dilakukan oleh salah satu dari suami atau isteri. Terhadap
permohonan cerai atau gugatan cerai karena alasan salah satu pihak berbuat zina,
sedangkan Pemohon atau Penggugat tidak dapat membuktikan perzinaan yang
dituduhkan, dan kemudian Tergugat atau Termohon melakukan penyangkalan,
sehingga tidak ada bukti sama sekali, maka Pemohon atau Penggugat dapat
meneguhkan tuduhannya dengan jalan sumpah, setelah ada suruhan dari Majelis
Hakim untuk bersumpah (Li’an).
Alasan perceraian karena salah satu di antara suami isteri adalah pemabuk
berarti telah menghilangkan rasa tanggung jawab dalam membina rumah tangga dan
telah gagal dalam mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah yang
diridhoi oleh Allah.
Alasan perceraian karena salah satu diantara suami atau isteri adalah pemadat
hampir sama dengan pemabuk hanya kalau pemabuk cenderung menggunakan
minuman kalau pemadat dalam bentuk serbuk. Mabuk maupun madat akan merusak
sel-sel syaraf sehingga pemakai akan kehilangan akal sehat dan tidak bisa diharapkan
dapat membina rumah tangganya.
Alasan perceraian karena salah satu diantara suami atau isteri adalah penjudi
dan lain sebagainya yang tidak dapat atau susah untuk disembuhkan akan merusak
kondisi keuangan karena uang yang seharusnya dipergunakan untuk menghidupi anak
isteri malah dipergunakan untuk mencari keuntungan yang belum pasti. Sehingga
apabila uang sudah tidak ada apapun yang dapat diuangkan akan dilelang demi judi.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya
Alasan perceraian karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2
(dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya, maka untuk pengajuan gugatannya, diajukan setelah
lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak Tergugat meninggalkan rumah, agar gugatannya
diterima maka perlu dibuktikan bahwa Tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap
tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
Alasan cerai karena salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk
membuktikan alasan tersebut, Penggugat menyampaikan salinan atau turunan putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap atau pasti.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain
Alasan cerai karena melakukan kekejaman atau penganiayaan. Apabila tindakan
suami melampaui batas sehingga membahayakan bagi kehidupan isteri maka dengan
kesepakatan bersama di antara kerabat anggota isteri harus berpisah tempat dari suami
dan kerabat berkewajiban mendamaikan dan merukunkan kembali rumah tangga yang
berselisih itu, apabila tidak berhasil terpaksa mengambil keputusan untuk melakukan
perceraian.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri
Alasan perceraian karena Tergugat mendapat cacat badan atau penyakit yang
berakibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri, amak untuk
membuktikan alasan tersebut, Penggugat dapat mengajukan bukti hasil pemeriksaan
diri dari dokter.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Alasan perceraian karena suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam membina rumah
tangga, maka untuk membuktikan alasan yang diajukan itu dan menjadi jelas sebab-
sebab perselisihan dan pertengkaran suami isteri akan didengar dari pihak keluarga dan
orang yang terdekat dengan suami isteri tersebut. Lebih dari masalah itu, perselisihan
sampai memuncak dan dapat terjadi gugatan cerai karena alasan shiqoq, hingga
dengan alasan itu karenanya Pengadilan Agama akan mendengar keterangan saksi-
saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami.
Kompilasi Hukum Islam dalam alasan perceraian ini juga telah merumuskannya
sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 yang menyebutkan alasan-alasan yang sama
(a-f) dengan penambahan huruf g dan huruf h, sebagai berikut:
g. Suami melanggar tak’lik talak
Alasan cerai karena suami melanggar tak’lik talak, dapat dijelaskan bahwa arti
tak’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian tak’lik talak ialah suatu talak yang
digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu
perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu. Tak’lik talak merupakan pelanggaran
perjanjian perkawinan yang diucapkan oleh suami dalam sighat ta’lik talak kemudian
si isteri tidak dapat menerima keadaan tersebut maka isteri dapat mengajukan gugatan
perceraian dengan alasan pelanggaran ta’lik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga
Alasan cerai karena salah satu pihak pindah agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Menurut Hukum Islam,
murtadnya seorang suami atau isteri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan karena
perkawinannya menjadi fasakh. Para ulama sepakat bahwa putusnya perkawinan tidak
sejak saat diputuskan di depan pengadilan akan tetapi berlaku surut yakni sejak
murtadnya salah seorang dari suami isteri itu. Terhadap pernyataan diatas penulis
menarik kesimpulan bahwa para ulama dalam pertimbangannya hanya mendasarkan
pada argumentasi atas dasar agama saja, dan tidak mengingat akibat hukum dari suatu
putusan apabila diberlakukan surut, yaitu bagaimana perlindungan hukum atas pihak
ketiga.
Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 menentukan alasan-alasan yang dapat
dipergunakan untuk mengajukan gugatan perceraian ada 6 (enam) alasan yang bersifat
alternative bukan bersifat kumulatif, sedangkan Pasal 116 KHI menambahkan 2 (dua)
alasan lagi. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan apakah penambahan alasan
perceraian dapat diterima secara normative, sehingga alasan-alasan perceraian
selanjutnya akan bisa bertambah lagi.
Disebutnya 6 (enam) alasan perceraian dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975
secara teknis bisa dibaca sebagai alasan yang bersifat limitatif, artinya hanya 6 (enam)
alasan perceraian itu saja (tidak ada alasan lainnya) yang dapat dipergunakan untuk
mengajukan gugatan perceraian; akan tetapi dilihat dari rumusan Pasal 19 PP No. 9
Tahun 1975 tidak menggunakan istilah “hanya” atau istilah lain yang sifatnya
limitatif, tetapi dengan istilah “karena”, dari sini dapat ditafsirkan dari sudut pandang:
a) Secara tersurat (eksplisit)
Tidak digunakan istilah yang sifatnya limitatif, hanya digunakan istilah
“karena”, berarti alasan-alasan perceraian bisa ditafsirkan menjadi tidak dibatasi
sebagaimana yang disebutkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, asalkan dalam hal ini
tidak boleh menyimpangi jiwa UU No. 1 Tahun 1974 yang berorientasi pada
kehidupan keluarga yang bahagia dan kekal atau dengan perkataan lain tidak diberi
kemudahan untuk terjadinya perceraian.
Atas dasar itu penambahan 2 (dua) alasan lagi sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 116 KHI, masih dapat diterima secara normatif atau dari sudut pandang
system hukum, karena penambahan alasan perceraian dalam KHI masih dalam
koridor alasan-alasan perceraian sesuai Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975.
b) Secara tersirat (implisit)
Dilihat dari aspek tersirat 2 (dua) alasan yang disebutkan pada Pasal 116 KHI
substansinya masih dalam koridor ke 6 (enam) alasan perceraian yang disebutkan
dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, sehingga penambahan 2 (dua) alasan dalam
KHI masih dapat diterima secara normatif. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
(1) Melanggar tak’lik talak yang diucapkan pada waktu perkawinan
dilangsungkan (sighat tak’lik), yang isinya memuat substansi alasan perceraian
yang disebutkan pada Pasal 19 huruf b, d, dan e PP No. 9 Tahun 1975.
(2) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga, dapat dibaca tidak setiap murtad dapat dijadikan alasan
perceraian, karena terdapat syarat keadaan yang menyertainya sebagaimana
disebutkan di atas; sehingga dalam hal ini masih berkaitan dengan alasan ke 6
(enam) dari Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975.
3. Acara Cerai Talak dan Cerai Gugat
Perceraian sebagai dasar putusnya perkawinan harus dengan keputusan Pengadilan,
berarti harus melalui proses pemeriksaan melalui siding (acara) di Pengadilan. Acara
perceraian harus dilakukan di depan siding pengadilan seperti yang tercantum dalam Pasal
39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Pengadilan yang dimaksudkan adalah menunjuk pada Pasal 63 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
Pengadilan yang berwenang memeriksa perceraian ini ada dua lembaga Pengadilan,
yaitu bagi orang-orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama yang ditentukan
dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”.
Selanjutnya bagi orang-orang yang beragama non Islam adalah Pengadilan Umum, yang
dimaksud dengan Pengadilan Umum disini adalah Pengadilan Negeri.
1) Acara perceraian di Pengadilan Negeri
Menurut Pasal 40 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 telah ditentukan, bahwa
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan, selanjutnya pada Pasal 20 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau
isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat; dengan demikian acara perceraian menggunakan acara gugatan,
artinya pihak-pihak dalam perkaranya adalah sebagai penggugat dan tergugat.
Ketentuan di atas merupakan ketentuan yang berlaku umum, yang dalam hal ini
berlaku baik untuk acara perceraian baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan
Agama.
Acara perceraian di Pengadilan Negeri berlaku bagi orang-orang yang beragama
non Islam (Hindu, Kristen, Katolik, Budha, dan lainnya), maka untuk acara
perceraiannya menggunakan acara gugatan. Dalam acara gugatan perceraian
didasarkan kontruksi adanya sengketa atau dalam hal ini adalah hendak memutuskan
suatu ikatan perkawinan yang semula merupakan kesepakatan diantara mereka, maka
pemutusannya tidak boleh dilakukan secara sepihak dan oleh UU ditentukan harus
dilakukan di muka siding Pengadilan.
a) Prosedur pengajuan gugatan perceraian
Prosedur pengajuan gugatannya melalui prosedur administrasi di Pengadilan,
sebagai berikut:
(1) Penggugat atau kuasanya dating ke kantor kelurahan untuk memperoleh surat
keterangan tempat tinggal dari lurah.
(2) Penggugat atau kuasanya dengan membawa surat keterangan dari lurah datang
ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat kediaman penggugat (atau tergugat)
untuk mengajukan gugatan tertulis atau lisan kepada panitera dan untuk
membayar uang muka untuk biaya perkara.
(3) Berkas perkara diproses untuk penentuan Hakim atau Majelis Hakimnya yang
akan memeriksa perkaranya dan penentuan dari siding pertama.
b) Persidangan acara gugat cerai
a) Penggugat dan tergugat atau masing-masing kuasanya menghadiri sidang-
sidang Pengadilan Negeri berdasarkan surat panggilan panitera.
b) Majelis Hakim memeriksa perkara dengan tahap-tahap sidang sebagai berikut:
(1) Membaca surat gugatan oleh Penggugat
(2) Replik Tergugat
(3) Duplik dari tergugat
(4) Pemeriksaan alat-alat bukti Penggugat dan Tergugat
(5) Kesimpulan Penggugat dan Tergugat
(6) Putusan Hakim (HIR Pasal 131 dan 132)
c) Suatu perceraian dianggap terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
d) Panitera Pengadilan Negeri segera setelah perceraian itu diputuskan
menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau
kuasanya dan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing suami isteri yang
bersangkutan.
e) Panitera Pengadilan Negeri berkewajiban mengirim putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Perkawinan
(Kantor Catatan Sipil) yang bersangkutan.
f) Berkas suami dan bekas isteri atau kuasanya dengan membawa surat
keterangan (putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap)
tersebut di atas datang kepada Pegawai Pencatat Nikah di daerah tempat tinggal
yang bersangkutan untuk mendapatkan kutipan buku pendaftaran cerai.
g) Pihak yang menang perkara yang ada hubungannya dengan hak kebendaan
dengan bantuan Pengadilan Negeri dapat meminta sita eksekusi, apabila
putusan tidak dijalankan secara sukarela.
2) Acara perceraian di Pengadilan Agama
Acara perceraian di Pengadilan Agama pada prinsipnya juga berdasar atas
ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 20 ayat (1) PP No. 9 Tahun
1975, akan tetapi dalam hal ini terdapat kekhususan dalam acara perceraian di
Pengadilan Agama yang berbeda dengan acara perceraian di Pengadilan Negeri, yaitu
putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak
atau berdasarkan gugatan perceraian (Pasal 114 KHI); dengan demikian dalam acara
perceraian di Pengadilan Agama ada dua acara, yaitu acara cerai talak dan acara cerai
gugat.
a) Acara cerai talak
1) Pengertian talak
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 (Pasal 117 KHI).
Talak sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ini ada beberapa
macam yang dikenal dan disebutkan dalam KHI, yaitu:
(a) Talak Raj’i
Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah (Pasal 118 KHI).
(b) Talak Ba’in Shugraa
Talak Ba’in Shugraa ini menurut Pasal 119 ayat (1) dan ayat (2) KHI
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akan nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam iddah, dan talak ba’in shugraa ini:
(1) Talak yang terjadi qabla al dukhul.
(2) Talak dengan tebusan atau khuluk.
(3) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
(c) Talak Ba’in Kubraa
Talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan
orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis
masa iddahnya.
(d) Talak Sunny
Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut (Pasal 121 KHI).
(e) Talak Bid’i
Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah
dicampuri pada waktu suci tersebut.
2) Tatacara cerai talak
Tatacara cerai talak ini merupakan acara permohonan (Pdt. P) bukan
acara gugatan (Pdt. G), maka acara cerai talak ini merupakan acara sidang
untuk izin ikrar talak dari suami kepada isterinya yang diucapkan di muka
sidang Pengadilan.
Secara sistematis dapat disajikan proses acara cerai talak, sebagai
berikut:
(a) Pengajuan permohonan izin talak
Bagi suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
kemudian ia bermaksud akan menceraikan isterinya maka harus
mengajukan surat permohonan (secara tertulis) kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya, untuk itu:
(1) Pemohon atau kuasanya datang ke kantor kelurahan untuk
mendapatkan surat keterangan lurah (Peraturan Menteri Agama
Nomor 3 Tahun 1975, pasal 3 ayat (1)).
(2) Pemohon atau kuasanya dengan membawa surat keterangan lurah
datang ke Pengadilan Agama untuk:
(i) Mengajukan permohonannya secara tertulis atau lisan kepada
panitera (Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 14 jis.
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 12, 13, 17,
dan 20, HIR pasal 118. Reg. Pasal 142).
(ii) Membayar uang muka untuk biaya perkara kepada bendaharawan
khusus (Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 pasal 4 jis Stb. 1937
Nomor 637 638/639 pasal 4 dan 10 dan pasal 5 Peraturan
Pemerintah Nomor 45/1957).
(3) Isi surat permohonan cerai talak sebagaimana disebutkan dalam Pasal
14 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 129 KHI, adalah:
(i) Pemberitahuan bahwa ia akan menceraikan isterinya (izin talak)
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
pengadilan agar diadakan sidang untuk itu.
(ii) Surat tersebut ditujukan kepada Pengadilan Agama setempat.
(b) Pemeriksaan berkas permohonan
(1) Pengadilan Agama mempelajari isi surat permohonan tersebut dan
dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan kehendak itu. (Pasal 15 PP
No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 131 ayat (1) KHI).
(2) Setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu Pengadilan
Agama memanggil suami isteri tersebut dan berusaha mendamaikan
kedua belah pihak.
(3) Pengadilan Agama meminta bantuan Badan Penasehat Perkawinan
dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat agar suami isteri hidup
rukun lagi dalam berumah tangga.
(c) Persidangan acara izin talak
(1) Pemohon atau kuasanya menghadiri sidang Pengadilan Agama
berdasarkan surat panggilan Panitera (Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 pasal 26, 27 dan 28 jo. HIR pasal 121, 124, dan 125).
(2) Pemohon atau kuasanya wajib membuktikan kebenaran isi
permohonannya, berdasarkan alat-alat bukti surat-surat, saksi,
pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim dan sumpah salah
satu pihak (HIR pasal 131 dan 132).
(3) Pengadilan Agama mengeluarkan ketetapan baik permohonan itu
diterima maupun ditolak, digugurkan, ataupun dicabut. (Instruksi
Dirjen Bimas Islam Nomor D/IV/INS/117/1975 berdasarkan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 dan 14).
(4) Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum
banding atau kasasi (Pasal 130 KHI).
(5) Pengadilan menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talak (Pasal 131 ayat (2) KHI).
(6) Diadakan sidang untuk menyaksikan ikrar talak, setelah kedua belah
pihak tidak mungkin untuk didamaikan lagi dan berpendapat adanya
alasan untuk talak (Pasal 16 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 131 ayat
(3) KHI).
(7) Suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama
dengan dihadiri isteri, kemudian menandatangani surat ikrar tersebut
(Pasal 17 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 131 ayat (2) dan ayat (3)
KHI).
Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam)
bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar
talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak
suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap
utuh (Pasal 131 ayat (4) KHI).
(8) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan
bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri (Pasal 131 ayat (5) KHI).
Pemohon dan Termohon memperoleh salinan penetapan Pengadilan
Agama atau SKT 3 khusus untuk Pemohon dan Termohon dalam ikrar
talak. (Stb. 1975 ayat (1) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9/1975
pasal 17).
(9) Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan (Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975).
b) Acara cerai gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan berdasarkan suatu gugatan
yang dilakukan oleh isteri. Hanya dalam hal ini perlu diperhatikan Hadits Rasul
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmizi, Abu Daud dan Ibnu Majah. Rasul
bersabda:
“Perempuan manapun yang minta cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab
yang wajar yang menghalalkan, maka haramlah bagi perempuan itu membaui
atau merasakan kewangian surga nantinya”.
Mengenai tatacara gugatan perceraian dilakukan berdasarkan gugatan dari
seorang isteri, oleh karena itu didasarkan atas adanya perkara atau sengketa dan
para pihaknya disebut sebagai penggugat dan tergugat (Pdt. G).
1) Prosedur pengajuan gugatan cerai
Prosedur pengajuan gugatannya adalah sebagai berikut:
(a) Penggugat atau kuasanya datang ke kantor kelurahan untuk memperoleh
surat keterangan tempat tinggal dari lurah (Pasal 3 Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 1975).
(b) Penggugat atau kuasanya dengan membawa surat keterangan dari lurah
datang ke Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan tertulis atau lisan
kepada panitera dan untuk membayar uang muka untuk biaya perkara.
2) Persidangan acara gugatan cerai
(a) Penggugat dan Tergugat atau masing-masing kuasanya menghadiri sidang
Pengadilan Agama berdasarkan surat panggilan panitera.
(b) Majelis Hakim memeriksan perkara dengan tahap-tahap sidang sebagai
berikut:
(1) Membaca surat gugatan oleh Penggugat.
(2) Replik Tergugat.
(3) Duplik dari tergugat.
(4) Pemeriksaan alat-alat bukti Penggugat dan Tergugat.
(5) Kesimpulan Penggugat dan Tergugat.
(6) Putusan Hakim (Pasal 131 dan Pasal 132 HIR).
(c) Penggugat dan Tergugat diberikan salinan putusan Pengadilan Agama dan
surat keterangan bahwa putusan Pengadilan Agama telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
(d) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
(e) Panitera Pengadilan Agama segera setelah perceraian itu diputuskan
menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau
kuasanya dengan menarik kutipan akta nikah dari masing-masing suami
isteri yang bersangkutan.
(f) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirim putusan pengadilan
agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap kepada Pegawai
Pencatat Nikah di daerah tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(g) Panitera Pengadilan Agama memberikan surat keterangan kepada masing-
masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut pada Pasal 31
ayat (1) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 ini telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
(h) Bekas suami dan bekas isteri atau kuasanya dengan membawa surat
keterangan tersebut di atas datang kepada Pegawai Pencatat Nikah di daerah
tempat tinggal isteri untuk mendapatkan kutipan buku pendaftaran cerai dan
Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia
pada kutipan akta nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai
(Pasal 30, Pasal 31 Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975).
(i) Pihak yang menang perkara yang ada hubungannya dengan hak kebendaan
dengan bantuan Pengadilan Agama dapat meminta sita eksekusi, apabila
putusan tidak dijalankan secara sukarela.
Acara gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan, dan yang dimaksud
dengan Pengadilan ini adalah Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri bagi non
muslim dan Pengadilan Agama bagi muslim. Sejak berlakunya UU No. 7 Tahun
1987 Pengadilan Agama memiliki kewenangan penuh dalam memeriksa dan
mengadili yang dalam hal ini untuk perkara perceraian, sehingga ketentuan Pasal
63 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa setiap Keputusan Pengadilan
Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, menjadi tidak berlaku lagi. (Prinsip
lex posteriori derogat legi lex priori).
C. Akibat Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan dapat terjadi karena tiga hal, yaitu karena kematian, atas
keputusan Pengadilan dan karena perceraian, maka secara sistematis akibat putusnya
perkawinan akan disajikan mengikuti urutan yang disebutkan di atas.
1. Akibat Putusnya Perkawinan karena Kematian
Akibat putusnya perkawinan karena kematian meliputi status suami atau isteri yang
tinggal hidup, harta benda perkawinan, kewajiban orang tua yang tinggal hidup dengan
anak-anaknya yang masih kecil dan terhadap pihak ketiga yang memiliki hubungan
perikatan dengan salah satu suami atau isteri yang meninggal.
a. Terhadap status suami atau isteri yang tinggal hidup
Putusnya perkawinan karena salah satu pihak dari suami atau isteri meninggal
dunia, maka status hubungan diantara suami atau isteri menjadi putus selama-lamanya,
artinya tidak ada kemungkinan bisa disambung lagi (dirujuk); maka suami atau isteri
yang tinggal hidup status hukumnya menjadi tidak berada dalam ikatan perkawinan
(status tidak kawin atau menjadi duda atau janda).
Bagi suami atau isteri yang tinggal hidup menjadi terbuka hak untuk dapat
melangsungkan perkawinan lagi. Bagi isteri untuk dapat melangsungkan perkawinan
laki-laki lain terlebih dahulu harus menunggu jangka waktu tertentu yang disebut
iddah.
Masa iddah atau waktu tunggu bagi Janda oleh Pasal 39 ayat (1) huruf a dan
huruf c PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (2) huruf a dan huruf d KHI yang
bunyinya sebagai berikut:
Huruf a: Apabila perkawinan putus karena kematian (walaupun qobla al dukhul),
waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
Huruf c: Apabila perkawinan putus (karena kematian), sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Waktu tunggu bagi janda (iddah) di atas dimaksudkan untuk menjaga kesucian
bagi seorang janda apabila akan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, dan
juga untuk kepastian hukum bagi status seorang anak yang dilahirkan seorang janda
karena kematian suaminya. Adapun bagi duda sepeninggal isterinya, pada prinsipnya
menurut hukum tidak ada ketentuan mengenai masa tunggu (iddah) untuk
melangsungkan perkawinan dengan perempuan lain.
b. Terhadap harta benda perkawinan
Menurut hukum kematian salah satu suami atau isteri akan menimbulkan akibat
terhadap harta benda perkawinan. Perkawinan putus atau bubar karena kematian, maka
konsekuensinya secara yuridis harta benda perkawinannya juga ikut bubar. Peristiwa
kematian salah satu suami atau isteri ini akan berkaitan dengan timbulnya masalah
pewarisan, yaitu mengenai harta peninggalan si mati. Konsekuensi lebih lanjut dari
masalah pewarisan ini, maka salah satu dari suami atau isteri yang tinggal hidup
berkewajiban atau bertanggung jawab menyelesaikan perikatan yang dibuat si mati
dengan pihak ketiga semasa hidupnya, yang dibebankan atas harta peninggalannya.
Dalam pandangan Hukum Islam mengenai hal ini menurut Djamil Latif (1981:
39) dikatakan bahwa putusnya ikatan perkawinan dengan matinya salah satu pihak dari
suami atau isteri menimbulkan hak saling waris mewarisi antara suami isteri atas harta
peninggalan yang mati (tirkah) menurut hukum waris (faraid), kecuali matinya salah
satu pihak itu karena dibunuh oleh salah satu pihak yang lain (Sabda Nabi: “Tidak ada
pusaka bagi pembunuh”). Selanjutnya juga ditentukan bahwa apabila terjadi cerai mati,
maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (Pasal 96
ayat (1) KHI), dan separoh lainnya adalah menjadi harta peninggalan pasangan yang
meninggal dunia.
c. Terhadap kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya yang masih kecil
Kematian salah satu suami atau isteri memiliki arti bahwa salah satu yang tinggal
hidup meneruskan kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya,
serta mewakili anak-anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan sampai kawin atau sampai mereka mandiri (Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU
No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 47 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Kewajiban orang tua tersebut, tidak hanya memelihara dan mendidik anak saja,
akan tetapi meliputi juga (aspek kekuasaan orang tua) mengenai diri pribadi si anak
maupun terhadap harta benda yang dimiliki si anak, kekuasaan orang tua tetap harus
dilakukan walau salah si janda atau si duda tersebut melangsungkan perkawinan dengan
orang lain.
2. Akibat Putusnya Perkawinan atas Keputusan Pengadilan
Atas Keputusan Pengadilan (pembatalan perkawinan) yang terjadi karena melanggar
persyaratan perkawinan, maka perkawinan menjadi putus, dan menurut Pasal 28 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa:
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan adanya Keputusan Pengadilan
membatalkan perkawinan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berarti kembali
pada keadaan semula seperti sebelum adanya perkawinan, sehingga perkawinan putus atau
bubar dan dianggap tidak pernah ada. Terhadap ketentuan tersebut dikecualikan oleh Pasal
28 (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut:
Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
lebih dulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Atas dasar ketentuan di atas, maka perkawinan yang dibatalkan (asas Keputusan
Pengadilan) tetap mempunyai akibat terhadap anak-anaknya, diantara suami isteri,
maupun terhadap pihak ketiga:
a. Akibat terhadap anak yang dilahirkan
UU No. 1 Tahun 1974 mengakui anak-anak yang dilahirkan sejak
berlangsungnya perkawinan sampai perkawinan tersebut dibatalkan atas Keputusan
Pengadilan, anak-anak tersebut dianggap sah. Ketentuan demikian sangatlah adil dan
manusiawi, mengingat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tuanya tidaklah
pantas dipikul anaknya. Hal ini untuk melindungi kepentingan si anak, maka anak
tersebut tetap digolongkan sebagai anak yang sah yang mempunyai hubungan hukum
dengan ayah dan ibunya serta keluarga kedua orang tuanya.
b. Akibat terhadap hak-hak suami isteri yang beritikad baik
Sepanjang suami isteri dengan itikad baik dalam melakukan perkawinan, maka
hak-hak dari suami isteri tersebut akan diberikan sebagaimana suatu perkawinan yang
sah, sampai dibatalkannya perkawinan tersebut.
Itikad baik dapat ditentukan apabila pada waktu perkawinan dilangsungkan
mereka tidak tahu adanya halangan untuk melangsungkan perkawinan atau adanya
suatu formalitas yang harus dilakukan. Itikad baik ini diukur dari aspek subyektif,
artinya sekedar diukur bahwa yang bersangkutan pada waktu perkawinan
dilangsungkan sudah atau belum mengetahuinya, sedang siapa yang mengemukakan
tidak adanya itikad baik harus membuktikannya (Soetojo Prawirohamidjojo, 1986: 40).
Apabila Keputusan Pengadilan tentang pembatalan perkawinan didasarkan atas
adanya perkawinan lain lebih dahulu, maka akibat hukum terhadap harta bersama
dianggap tidak pernah ada (perkawinan rangkap). Lain halnya kalau disebabkan karena
alasan lain dan sepanjang suami isteri beritikad baik, maka mempunyai akibat hukum
atas harta perkawinan sebagaimana kalau perkawinan tersebut terputus karena
perceraian.
Apabila salah satu dari suami isteri ada yang beritikad tidak baik kemudian
menjadi sebab adanya pembatalan perkawinan dan kemuadian menimbulkan akibat
yang merugikan pihak lain; maka akibat pembatalan perkawinan atau kerugian yang
ditimbulkannya haruslah dibebankan pihak yang beritikad tidak baik.
Selama suami isteri tersebut melakukan perkawinan didasarkan atas itikad baik,
maka akibat pembatalan perkawinan terhadap harta perkawinan adalah sama
sebagaimana perkawinan putus karena perceraian, sehingga ketentuan-ketentuan yang
mengatur masalah harta perkawinan karena perceraian dapat diterapkan dalam
pemecahan masalah ini.
c. Akibat terhadap pihak ketiga
Akibat adanya pembatalan perkawinan terhadap hak-hak pihak ketiga
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf c UU No. 1 Tahun 1974, bahwa
pihak ketiga lainnya tidak termasuk a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan baik sebelum Keputusan Pengadilan tentang pembatalan perkawinan
mempunyai kekuatan hukum tetap, maksudnya pembatalan perkawinan tidak
mempunyai akibat hukum yang berlaku surut terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.
Segala ikatan hukum keperdataan atau perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh
suami isteri selama perkawinan (sebelum dibatalkan) terhadap pihak ketiga, adalah
merupakan ikatan-ikatan atau persetujuan-persetujuan yang sah dan dibebankan atas
harta perkawinan, apabila ada pihak ketiga yang mempunyai piutang (hutang bersama),
sudah barang tentu menjadi tanggungjawab suami maupun isteri atas hutang bersama
dan dilunasi atas beban harta bersama.
Apabila dari harta bersama tidak mencukupi untuk pelunasan, maka
penyelesaiannya dengan menafsirkan pengertian harta bersama menurut UU No. 1
Tahun 1974, yaitu meliputi juga aktiva dan passiva dan pelunasan hutang tersebut
menjadi ditanggung bersama (masing-masing separo beban).
Dalam hal pihak ketiga mempunyai piutang yang merupakan hutang pribadi,
maka menjadi tanggung jawab dari suami isteri masing-masing pribadi yang berhutang.
Sebagai landasan pemikirannya adalah UU No. 1 Tahun 1974 menganut adanya
struktur harta dalam harta benda perkawinan yang terdiri atas harta pribadi masing-
masing suami isteri dan harta bersama.
3. Akibat Putusnya Perkawinan karena Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian yang terjadi karena adanya gugatan
perceraian (termasuk izin talak), akan berakibat terhadap hubungan antara suami isteri,
terhadap harta benda perkawinan, terhadap hubungan antara orang tua dan anak, serta
terhadap pihak ketiga.
a. Terhadap hubungan antara suami isteri
Konsekuensi yuridis dari adanya perceraian, maka diantara suami isteri sudah
tidak ada lagi hubungan perkawinan; oleh karena itu mereka menjadi orang-orang yang
tidak lagi terikat dalam suatu perkawinan, sehingga dilarang diantara mereka untuk
melakukan persetubuhan sebagai layaknya suami isteri.
Diantara bekas suami dan isteri sudah tidak ada lagi hak dan kewajiban sebagai
suami isteri, hanya dalam hal tertentu terdapat hak dan kewajiban diantara bekas suami
dan bekas isteri setelah perceraian atau isteri yang dijatuhi talak, dalam artian apabila
ada kewajiban disitu terkait adanya hak dari pihak lainnya, yaitu sebagai berikut:
1) Kewajiban bekas suami terhadap bekas isterinya
(a) Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri (Pasal 41 huruf c
UU No. 1 Tahun 1974).
(b) Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib (Pasal 149
KHI):
(1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.
(2) Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
(3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila
qobla al dukhul.
(4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.
(c) Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas isteri yang masih dalam
masa iddah.
(d) Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia
nusyuz.
Menurut Surat al-Baqarah ayat 241 disebutkan bahwa:
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh bekas
suaminya mut’ah menurut yang mak’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-
orang yang bertaqwa”.
Penafsiran mengenai hal ini adalah bahwa suami wajib memberikan sejumlah
uang hiburan untuk sekali saja kepada bekas isterinya, jika perceraian itu terjadi
bukan karena kesalahan si isteri. Jumlah mut’ah ini disesuaikan dengan kemampuan
suami dan tidak memberatkan pihak suami. Jika terjadi perselisihan pendapat antara
kedua suami isteri mengenai jumlahnya, Pengadilan Agama dapat menentukan
jumlah dan wujud mut’ah yang diberikan setelah masa iddah habis, dengan maksud
untuk membiayai penghidupan bekas isteri sebelum melakukan perkawinan lagi
dengan laki-laki lain (Soemiyati, 1982: 124).
Ada pula disebut nafkah lampau (hutang) yang menjadi kewajiban bekas
suami atas bekas isteri yang diceraikannya walau hanya satu bulan, jika isteri
menuduh suaminya selama meninggalkannya tidak memberikan nafkah yang wajib.
Menurut Sayid Sabiq (1981: 76) mengenai nafkah lampau adalah:
a. Isteri atau perempuan yang dicerai berhak untuk meminta penetapan nafkah
kepada suaminya sejak masa yang telah lewat walaupun lebih dari satu bulan,
apabila isteri menuduh bahwa suaminya selama ini telah meninggalkannya tanpa
memberikan nafkah yang wajib diberikan kepadanya, baik dalam tempo pendek
atau lama.
b. Hutang nafkah tidak gugur karena kematian suami isteri, dan tidak karena
perceraian walaupun dengan khulu’. Bagi perempuan yang dicerai berhak
sepenuhnya terhadap nafkah yang dibekukan, ketika berlangsung ikatan suami
isteri.
c. Perempuan yang dicerai karena melakukan kemungkaran terang-terangan (zina)
tidak gugur nafkah yang dibekukan oleh suami sebelumnya. Dan bahwa
kedurhakaan yang menyebabkan gugurnya nafkah itu apabila perempuan masih
jadi isteri atau dalam masa iddah atau karena durhaka.
Dalam keadaan apapun bekas suami tetap berkewajiban memberikan nafkah
wajib selama meninggalkan isterinya, walau nafkah tersebut sudah lampau
(terutang).
2) Kewajiban bekas isteri yang dijatuhi talak
Adapun kewajiban isteri selama masa iddah seperti disebutkan bahwa bekas
isteri salam dalam iddah, wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak
menikah dengan pria lain. Dasar pemikirannya adalah selama masa iddah masih
dapat diruju’ lagi.
Perempuan (bekas isteri) yang telah habis masa iddahnya berhak
meninggalkan rumah dan boleh menikah dengan laki-laki lain. Oleh karena itu
suami tidak wajib memberikan nafkah lagi.
Bagi bekas suami atau bekas isteri setelah perkawinan putus karena cerai atau
talak, masing-masing dapat melangsungkan perkawinan dengan orang lain. Untuk ini
perlu diperhatikan masa iddah bagi seorang janda untuk dapat melangsungkan
perkawinan dengan laki-laki lain (Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 1533 ayat (2)
KHI). Sedangkan bagi bekas suami pada prinsipnya tidak berlaku ketentuan masa
iddah.
Bagi bekas suami yang telah menjatuhkan talak kepada isterinya menurut UU No.
1 Tahun 1974 yang ditafsirkan secara sistematis, apabila akan melakukan perkawinan
dengan perempuan lain juga harus menunggu masa iddah bagi isterinya telah habis. Hal
ini dikarenakan adanya ketentuan izin poligami dari Pengadilan (Pasal 3 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974) bagi laki-laki yang akan beristeri lebih dari satu. Sebab dalam masa
iddah bekas suami dapat merujuk kembali bekas isterinya yang ditalaknya tadi, maka
apabila dalam masa iddah bekas suami melangsungkan perkawinan dengan perempuan
lain, kemudian meruju’ kembali bekas isterinya, maka terjadi peristiwa penerobosan
terhadap ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang izin beristeri lebih
dari satu.
b. Terhadap harta benda perkawinan
Akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan sebetulnya lebih tampak pada
aspek pembagian harta bersama, sebab harta pribadi masing-masing suami isteri tidak
mengalami pengaruh apapun karena sejak awal tetap dalam pengurusan (beheer) dan
penguasaan (beschiking) masing-masing pemiliknya (suami atau isteri).
Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing (Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974). Yang dimaksud dengan
hukumnya masing-masing disini adalah hukum masing-masing suami isteri yang
melangsungkan perkawinan, yaitu menunjuk pada hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya (Penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974).
Hukum Adat pada umumnya mengenai harta bersama ini yang merupakan harta
milik bersama, maka hak dan bagian diantara suami isteri apabila terjadi perceraian
adalah masing-masing mendapatkan separoh bagian dari harta bersama, sedangkan
menurut ketentuan dalam Hukum Islam yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), mengenai penentuan hak dan bagian janda atau duda cerai hidup masing-
masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan (Pasal 97 KHI), artinya ketentuan mengenai harta bersama akan
mengikuti yang disepakati dalam perjanjian perkawinannya.
c. Terhadap hubungan antara orang tua dengan anak
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap hubungan antara orang
tua dengan anak-anaknya telah diatur dalam Pasal 41 huruf a dan huruf b UU No. 1
Tahun 1974, yang berbunyi:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberikan
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Perceraian tidak menghapuskan kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya,
malahan biaya pemeliharaan dan pendidikan kepada anak-anaknya dibebankan kepada
bapaknya, baru apabila si bapak tidak mampu maka si ibu ikut membantu biaya
tersebut. Kesimpulannya adalah hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya
masih tetap berlangsung seperti seolah-olah tidak ada perceraian diantara kedua orang
tuanya; dengan perkataan lain akibat putusnya perkawinan karena perceraian tidak
mempengaruhi atau tidak ada akibat apapun terhadap hubungan antara orang tua
dengan anak-anaknya. Hanya apabila mengenai hal itu terdapat perselisihan diantara
bekas suami dan bekas isteri mengenai penguasaan atas anak-anaknya, barulah
melibatkan Pengadilan untuk memberikan keputusannya.
Menurut Hukum Islam akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap
anak-anaknya diatur dalam Pasal 156 KHI sebagai berikut:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan keputusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c),
dan (d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
Pada Hukum Islam menurut KHI, akibat putusnya perkawinan karena perceraian
terhadap hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya terdapat beberapa prinsip
yang berbeda dengan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1) Menurut KHI dibedakan tanggungjawab mengenai hadhanah untuk anak yang
belum dan sudah mumayyiz, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 tidak membedakan
hal itu.
2) Kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya sebagaimana dirumuskan
sebagai hak hadhanah dan nafkah anak-anak menjadi tangunggjawab ayahnya saja
menurut kemampuannya sampai anak dewasa atau dapat mengurus dirinya sendiri
(21 tahun), sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tanggung jawab tersebut ada
pada ayah ibunya (kedua orang tuanya).
3) Menurut KHI mengatur secara rinci siapa dari kerabat lainnya yang harus
bertanggungjawab, apabila ibu atau ayah anak-anak itu atau mereka yang memegang
hak hadhanah tidak mampu menjamin kesehatan jasmani dan rohani si anak,
sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur keterlibatan kerabat lainnya dalam
urusan ini.
Persamaan antara KHI dengan UU No. 1 Tahun 1974 mengenai kewajiban orang
tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, seperti yang dimaksudkan dalam
penyebutan istilah hadhanah dan nafkah dalam KHI, apabila terdapat perselisihan
mengenai hal itu barulan melibatkan Pengadilan untuk memberikan keputusannya.
d. Terhadap pihak ketiga
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap pihak ketiga, dapat
dijelaskan dengan menggunakan konstruksi peristiwa hukum dalam hubungannya
dengan pihak ketiga tersebut. Perceraian secara yuridis sudah sah (terjadi) sejak saat
keputusan Pengadilan mengenai dikabulkannya gugatan perceraian telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, akan tetapi secara empiris belum tentu pemberesan mengenai
harta benda perkawinannya sudah dilaksanakan, khususnya dalam hal ini adalah
mengenai harta bersama (bagaimana dalam kasus talak dengan kemungkinan masih
dapat ruju’ kembali selama masa iddah).
Dalam hubungannya dengan pihak ketiga, yaitu piutang atau tagihan pihak ketiga
kepada suami isteri yang putus perkawinannya karena perceraian, dapat dikontruksi
peristiwanya sebagai berikut:
1) Setelah perceraian terjadi
Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang perikatannya disepakati setelah
perceraian terjadi, berarti setelah ikatan perkawinan putus; maka status masing-
masing secara yuridis sudah menjadi bekas suami atau bekas isteri, maka dengan
sendirinya perikatan tersebut hanya mengikat masing-masing bekas suami atau
bekas isteri yang membuat perikatan tersebut.
Piutang atau tagihan tersebut di atas menjadi hutang pribadi masing-masing
bekas suami atau bekas isteri, dan dengan sendirinya dibebankan atas harta pribadi
masing-masing atau penyelesaiannya atas tanggung jawab masing-masing bekas
suami atau bekas isteri tersebut.
2) Sebelum perceraian terjadi
Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang perikatannya dibuat atau
disepakati sebelum perkawinannya putus (bercerai), maka piutang atau tagihan
tersebut tetap merupakan piutang atau tagihan pihak ketiga seperti sebelum
perkawinan putus. Untuk itu dapat disimak kembali prinsip penyelesaiannya
terhadap piutang pihak ketiga atas hutang suami isteri yang terjadi selama
perkawinan, sebagaimana telah diuraikan di depan, pada Bab IV bagian B tentang
Harta Benda Perkawinan.
a) Hutang pribadi suami atau isteri
Hutang pribadi suami atau isteri merupakan tanggung jawab masing-masing
suami isteri yang membuat perikatan (perjanjian), hal ini bisa terjadi karena
masing-masing suami isteri cakap melakukan perbuatan hukum dan terhadap
harta pribadi masing-masing suami isteri mengenai pengelolaan (beheer) dan
penguasaan (beschiking) ada pada masing-masing pemilik harta tersebut.
Persoalannya adalah apabila harta pribadi masing-masing tidak cukup,
maka sebagai konsekuensi adanya perkawinan sesuai dengan ketentuan UU No. 1
Tahun 1974 bahwa mereka diwajibkan saling membantu diantara suami isteri,
maka dapat dilunasi atas harta bersama. Setidak-tidaknya dalam aspek hubungan
keluar dapat diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian ada perhitungan sendiri
diantara suami isteri.
b) Hutang bersama
Hutang bersama merupakan hutang yang dibuat oleh suami atau oleh isteri
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama selama perkawinan dan terjadi dalam
rangka memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama untuk kehidupan rumah
tangganya, maka sudah sepantasnya apabila dibebankan atas harta bersama.
Apabila ternyata dari harta bersama tidak cukup untuk melunasinya, maka dapat
diambilkan dari harta pribadi suami atau isteri. Yang perlu dipahami disini bahwa
dalam penyelesaian hutang-hutang terhadap pihak ketiga, pada prinsipnya pihak
ketiga yang beritidak baik (jujur) harus mendapatkan perlindungan hukum, dan
sebetulnya dalam pandangan pihak ketiga pada umumnya terhadap suami isteri
mereka memandang atas dasar kepercayaan bahwa diantara suami isteri terdapat
tanggungjawab bersama sebagai konsekuensi bahwa suami sebagai kepala
keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.

BAB IX

PERWALIAN

A. Pengertian Wali dan Perwalian


Wali adalah orang yang menurut hukum (agama dan adat) diserahi kewajiban mengurus
anak sebelum anak itu dewasa, sedangkan perwalian adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan wali (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 :1267), mengenai pemeliharaan, dan
pengawasan terhadap orang (diri pribadi) dan hartanya.
“Perwalian” dalam istilah fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan
perlindungan. Jadi arti perwalian menurut fiqih adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh
agama kepada seseorang untuk menguasai atau melindungi orang atau barang (Soemiyati,
1982: 41). Selanjutnya juga dijelaskan ruang lingkup pengertian wali secara umum meliputi
aspek penguasaan dan perlindungan, sebagai berikut:
a. Pemilikan atas barang atau orang
Seperti perwalian atas budak yang dimiliki atas barang-barang yang dimiliki.
b. Hubungan kerabat atau keturunan
Seperti perwalian seseorang atas salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya.
c. Karena memerdekakan budak
Seperti perwalian seseorang atas budak yang telah dimerdekakannya.
d. Karena pengangkutan
Seperti perwalian seorang Kepala Negara atas rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin
atas orang-orang yang dipimpinnya.
Berdasarkan atas uraian di atas maka aspek perwalian dapat dirinci menjadi:
a. Perwalian atas orang
b. Perwalian atas barang
c. Perwalian atas orang dalam perkawinannya
Masalah perwalian berhubungan dengan kekuasaan orang tua, dimana perwalian tidak
akan terjadi apabila si anak masih ada dalam kekuasaan orang tuanya, dan kekuasaan tersebut
meliputi diri pribadi si anak dan harta bendanya. Menurut Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974
disebutkan:
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Masalah perwalian ini dikaitkan dengan kekuasaan orang tua, artinya menurut hukum
(UU No. 1 Tahun 1974) seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada
dibawah kekuasaan wali. Hal ini menimbulkan pertanyaan kapan kekuasaan orang tua itu
sudah tidak ada lagi, atau kapan seorang anak yang berada dibawah kekuasaan orang tua
berpindah menjadi berada di bawah kekuasaan wali.
Pembahasan mengenai hal ini dimulai dari pengertian kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya walau perkawinan kedua orang
tuanya putus (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974) dan ketentuan mengenai
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan orang
tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan
(Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Antara kewajiban orang tua dengan kekuasaan orang tua terlihat ada perbedaan, artinya
kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya tetap berlangsung walau perkawinan putus (Pasal
45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dan apabila kekuasaan orang tuanya dicabut (Pasal 49
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), termasuk apabila sudah ditetapkan seorang wali dari
anakpun, kewajiban orang tua tetap tersebut masih harus diteruskan.
Kekuasaan orang tua ini berada di tangan kedua orang tuanya, yaitu pada bapak dan
ibunya, akan tetapi pada single parent, hanya ada pada satu orang, bapak atau ibunya. Hal ini
sejalan dengan KUHPerdata selama perkawinan bapak dan ibu, setiap anak sampai mereka
dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka tidak dibebaskan atau
dipecat dari kekuasaan itu (Pasal 299 KUHPerdata). Setiap pemangku kekuasaan orang tua
terhadap anak yang belum dewasa harus mengurus barang-barang itu (Pasal 307
KUHPerdata). Dia tidak boleh memindahtangankan barang-barang milik anak-anaknya yang
belum dewasa melainkan dengan mengindahkan aturan tentang pemindahan tangan barang-
barang kepunyaan anak-anak yang belum dewasa (Pasal 309 KUHPerdata).
Ayah atau ibu yang melaksanakan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari
kekuasaan orang tua terhadap semua anak atau terhadap seorang anak atau lebih, atas
permohonan dewan perwalian atau atas tuntutan kejaksaan, bila ternyata bahwa dia tidak
cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-
anaknya itu tidak bertentangan dengan pembebasan itu berdasarkan hal yang lain. (Hilman
Hadikusuma, 1990: 148). Selanjutnya juga ditegaskan pula bahwa orang tua tidak
diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki
anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974).
Perbedaan antara KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 yaitu dalam hal dicabutnya
kekuasaan orang tua terhadap anak yang berada di bawah kekuasaannya. Dalam Pasal 319
KUHPerdata disebutkan bisa atas permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang
keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak itu sampai ke derajat ke empat atau Dewan
Perwalian atau Kejaksaan atas dasar:
a. Telah menyalahgunakan kekuasaan orang tuanya atau terlalu mengabaikan kewajibannya
dalam memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih.
b. Kelakuannya yang buruk.
c. Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan mutlak,
karena telah sengaja turut serta dalam sesuatu kejahatan terhadap seorang anak belum
dewasa yang ada dalam kekuasaannya.
d. Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan mutlak,
karena sesuatu kejahatan yang tercantum dalam Bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX
buku kedua kitab Undang-undang Hukum Pidana, dilakukan terhadap seorang anak belum
dewasa yang ada dalam kekuasaannya.
e. Telah mendapat hukuman badan dua tahun lamanya atau lebih, dengan putusan yang telah
memperoleh kekuatan mutlak.
Selanjutnya dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 hanya terdiri dari dua hal
yaitu: melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan buruk sekali.
Kesimpulan dari uraian di atas atau berdasar atas ketentuan Pasal 45 ayat (2), Pasal 47
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, maka seorang tidak lagi dibawah kekuasaan orang tua adalah:
a. Anak telah berumur 18 tahun.
b. Anak telah melangsungkan perkawinan.
c. Orang tua dicabut kekuasaan orang tuanya.
d. Kematian orang tua yang memegang kekuasaan orang tua.
Dengan demikian awal untuk penentuan munculnya kekuasaan wali bisa ditentukan karena
orang tua dicabut kekuasaannya atau karena kematian orang tuanya.
B. Penunjukan Wali
Adanya kematian orang tua atau dicabutnya kekuasaan orang tua atas anak-anaknya,
maka untuk kepentingan anak yang belum dewasa atau belum berumur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, perlu ditunjukkan seorang wali yang menjalankan
kekuasaan wali sebagai pengganti kekuasaan orang tua.
Pasal 51 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan:
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang
saksi.
1. Yang melakukan penunjukan wali
Prinsip yang terlihat dari ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 di atas,
adalah anak yang belum dewasa menjadi tanggung jawab orang tua atau berada di bawah
kekuasaan orang tua, selama perkawinan dan masih berlangsung walau perkawinan putus
(bisa karena kematian, perceraian, atau atas Keputusan Pengadilan); maka yang dapat
menunjuk Wali adalah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, artinya
dari kata yang digunakan adalah satu orang tua, dapat ditafsirkan bahwa orang tua lainnya
(yang satunya) sudah tidak ada lagi. Satu orang tua tersebut oleh UU diberi kewenangan
untuk menunjuk pengganti yang akan memegang kekuasaan Wali atas anak-anaknya.
2. Cara penunjukan wali
Penunjukan wali dilakukan sebelum ia meninggal tetapi pelaksanaannya setelah
orang tua meninggal, artinya:
a. Orang tua semasa hidup tetap sebagai yang menjalankan kekuasaan orang tua.
b. Kekuasaan wali dimulai setelah orang tua tersebut meninggal.
c. Penunjukan wali tersebut dilakukan dengan surat wasiat atau dengan lisan.
d. Sahnya penunjukan wali dengan wasiat tertulis atau lisan tadi harus di hadapan 2
(dua) orang saksi.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 ini tidak dijelaskan lebih lanjut apakah ada
penunjukan wali oleh Pengadilan, padahal kekuasaan orang tua dapat dicabut atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan
(Pasal 49 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).
Apabila terjadi peristiwa pencabutan kekuasaan orang tua seperti dimaksud di atas
siapakah yang berwenang untuk menunjuk seorang wali atas anak-anak tersebut, apakah
orang tua yang dicabut kekuasaan orang tua tersebut juga memiliki kewenangan untuk
menunjuk seorang wali dari kerabat ata orang lain untuk kepentingan anak-anaknya.
Dalam hal demikian maka Pengadilan berwenang untuk menetapkan seorang wali
sementara selama orang tua tidak dapat melakukan kekuasaan orang tua sampai orang tua
tersebut minta kembali kekuasaan sebagai orang tua. Pencabutan kekuasaan orang tua ini
tidak meliputi pencabutan kekuasaan dalam hal Wali Nikah, jadi dalam hal pernikahan
anak yang ada dalam perwalian, wewenangnya sebagai Wali Nikah tetap ada pada orang
tua nasabnya (orang tua kandung) menurut hukum Agama Islam. Selanjutnya juga perlu
dikemukakan disini bahwa terdapat kesamaan antara KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun
1974 mengenai orang tua yang dicabut kekuasaan orang tuanya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan kepada anak tersebut.
3. Yang dapat ditunjuk sebagai wali
Pada prinsipnya semua orang dapat ditunjuk sebagai wali, hanya diutamakan adalah
orang-orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan anak-anak dimaksud.
Menurut Pasal 51 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan:
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
Ada dua kategori orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai wali, yaitu:
1) Dari keluarga anak (prioritas)
2) Orang lain
Orang-orang yang termasuk dalam kedua kategori di atas dapat ditunjuk sebagai
wali asalkan memenuhi syarat: sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan
berkelakuan baik. Persyaratan ini penting mengingat kepada mereka masa depan dari
hidup dan kehidupan anak-anak dipertaruhkan. Dengan demikian suatu wasiat penunjukan
wali oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua kepada orang lain (kerabat
atau bukan) apabila dikemudian hari ternyata tidak memenuhi persyaratan dimaksud
semestinya dapat dilakukan pencabutan kekuasaan wali, yang kemudian dapat digantikan
oleh orang lain yang memenuhi persyaratan dimaksud.
Mengenai orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai wali, dalam UU No. 1 Tahun
1974 hanya menyebutkan dua kategori di atas. Dalam hal ini tidak disebutkan suatu badan
hukum bisa ditunjuk sebagai wali, misal seperti yayasan yatim piatu atau lainnya. Suatu
badan hukum dimungkinkan dapat ditunjuk sebagai wali, ditunjukkan melalui Pasal 108
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu:
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan
perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal
dunia.
Ketentuan ini akan menjadi bernilai positif apabila dibaca sebagai ketentuan yang
melengkapi dan berlaku sebagai UU untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
perwalian ini, sebab apabila dinilai secara negatif akan menjadikan ada kebutuhan dalam
masyarakat yang tidak diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974.
C. Kewajiban Wali
Wali sebagai pengganti yang menjalankan kekuasaan orang tua semestinya memiliki
hak dan kewajiban. Ternyata dalam UU hanya disebutkan mengenai kewajibannya saja, maka
dengan sendirinya mengenai haknya perlu ditafsirkan sebagai suatu konsekuensi yuridis atas
pelaksanaan kewajiban sebagai wali tersebut. Kewajiban wali disebutkan sebagai berikut:
a. Mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya (Pasal
51 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974).
b. Menghormati agama dan kepercayaan anak tersebut (Pasal 51 ayat (3) UU No. 1 Tahun
1974).
c. Memberikan bimbingan agama, pendidikan, dan ketrampilan lainnya untuk masa depan
anak yang berada dibawah perwaliannya (Pasal 110 ayat (1) KHI).
d. Membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu
memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahannya (Pasal 51 ayat (4) UU
No. 1 Tahun 1974).
e. Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di
bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi anak yang
berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindarkan (Pasal 110 ayat (2) KHI).
f. Bertanggung jawab tentang harta benda anak yang dibawah kekuasaannya serta kerugian
yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 51 ayat (5) UU No. 1 Tahun
1974 jo. Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 110 ayat (3) KHI).
g. Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta anak yang berada di bawah perwaliannya,
bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin (Pasal 111 ayat (1)
KHI).
h. Pertanggungjawaban wali harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun
sekali (Pasal 110 ayat (4) KHI).
Hak seorang wali atas pelaksanaan kewajibannya atas anak yang berada di bawah
perwaliannya, adalah sebagai berikut:
a. Keuntungan yang dapat diperolehnya dari tindakan ikut menikmati hasil (het
vruchtgenot) atas pengurusan atas harta benda atau barang-barang tetap yang dimiliki
anak-anaknya tersebut.
b. Wali dapat mempergunakan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir
(Pasal 112 KHI).
D. Pencabutan Kekuasaan Wali
Wali dalam menjalankan kekuasaannya bertindak untuk dan atas nama (perwakilan)
anak yang di bawah perwaliannya, mengenai diri pribadi anak maupun mengenai hartanya.
Apabila wali dalam menjalankan kewajibannya itu telah melakukan tindakan:
a. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak yang berada di bawah perwaliannya.
b. Wali berkelakuan buruk sekali.
Maka wali dapat dicabut kekuasaannya, dan selanjutnya oleh Pengadilan ditunjuk orang lain
sebagai wali (Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 49 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974).
Pencabutan kekuasaan wali ini juga diatur dalam Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam,
yaitu Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros, gila, dan atau melalaikan, atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya
sebagai wali demi kepentingan anak yang berada di bawah perwaliannya. Konsekuensi lebih
lanjut dari pencabutan kekuasaan sebagai wali dari seorang anak yang berada di bawah
perwaliannya, maka wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di
bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan
Pengadilan, yang bersangkutan dapat diminta pertanggungjawabannya dengan diwajibkan
untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974), maka bagi wali tersebut
diminta memberikan pertanggungjawaban dengan bukti yang berupa pembukuan yang
ditutup tiap tahun (Pasal 110 ayat (4) KHI).

Anda mungkin juga menyukai